Vous êtes sur la page 1sur 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya
sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan
klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya. 1 Perbedaan
paham, perselisihan pendapat, pertentangan maupun sengketa tersebut tidak boleh dibiarkan
berlarut-larut dan harus diselesaikan secara memuaskan bagi semua pihak. Meskipun tiaptiap masyarakat memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyelesaikan perselisihan tersebut,
namun demikian perkembangan dunia usaha yang berkembang secara universal dan global
mulai mengenal bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang homogen, menguntungkan
dan memberikan rasa aman dan keadilan bagi para pihak, salah satu yang paling populer
dan banyak diminati dewasa ini adalah cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Menurut Gary Goodpasker dalam Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa dalam
buku "Arbitrase di Indonesia", setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk
memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa dan
konflik. Cara yang dipakai pada suatu sengketa tertentu jelas memiliki konsekuensi, baik
bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Karena
adanya konsekuensi itu, maka sangat diperlukan untuk menyalurkan sengketa-sengketa
tertentu kepada suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang paling tepat bagi mereka.2
Pengertian Arbitrase juga tertuang dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Arbitrase dan
Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999:
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa
1 Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
hlm.3
2 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001, Hukum Arbitrase (Seri Hukum Bisnis), Raja Grafindo Persada,Jakarta,
hlm. 1-3.

Sedangkan pengertian Lembaga Arbitrase tertuang dalam Pasal 1 angka 8 UndangUndang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999:
Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan
pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa.
Dalam

Pasal

Undang-undang

No.

30

tahun

1999

disebutkan

bahwa:

Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang


perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup
hukum keluarga.3 Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak
diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional
tersebut.4
Dalam penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasioanal adalah
sengketa PT. Newmont Nusa Tenggara ke badan arbitrase internasional. Sengketa tersebut
memilih penyelesaian melalui arbitrase internasional. Adapun syarat-syarat yang menjadi
tolak ukur dalam penerapan jalan arbitrase internasioanl berdasarkan UNCITRAL yaitu
sebagai berikut :
1. Jika pada soal penandatanganan kontrak yang menjadi sengketa para pihak
mempunyai tempat yang di Negara berbeda.
2. Jika tempat arbitrase sesuai dengan kontrak arbitrase berada di luar tempat para
pihak.
3. Jika pelaksanaan sebagian besar kewajiban dalam kontrak berada diluar para pihak
atau pokok sengketa sangat terkait dengan tempat yang beada diluar para pihak.
4. Para pihak dengan tegas lebih menyetujui bahwa pokok persoalan dalam kontrak
arbitrase berhubungan dengan satu Negara.5

3 Gatot Soemartono, Op.cit, hlm.4


4 Ibid, hlm.27
2

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik suatu permasalahan-permasalahan hukum yaitu:
1.

Apakah penyelesaian sengketa antara Pemerintah RI dengan PT Newmont Nusa Tenggara


melalui Arbitrase Internasional telah sesuai dengan UU Nomor 30 Tahun 1999?

2.

Apakah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing dalam Kasus PT Newmont Nusa Tenggara
telah memenuhi Syarat-Syarat dalam Pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999 dan ketentuan
dalam Konvensi New York 1958?

5 Hasanudin Rahman, Contract Drafting Seri Ketrampilan Merancang Kontrak Bisnis,Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, hlm.375.
3

BAB II
PEMBAHASAN
KASUS POSISI
Perselisihan terjadi antara Pemerintah RI dengan Newmont terkait divestasi saham
perusahaan. PT. NNT mengoperasikan daerah tambang emas. Setiap tahunnya Newmont
membayar pajak dan royalti tambang kepada pemerintah RI yang nilainya triliunan rupiah.
Akuisisi 7% saham Newmont oleh pemerintah menghabiskan biaya 2,7 triliun rupiah sehingga
nilai perusahaan diperkirakan hampir 40 triliun rupiah. Sesuai Kontrak Karya tahun 1986 yang
ditandatangani Pemerintah RI dan PT. NNT, ada kesepakatan untuk mendivestasikan mayoritas
saham Newmont kepada bangsa Indonesia (dalam kontrak disebut sebagai Indonesian
Participant) setelah 5 tahun masa operasi tambang. Divestasi direncanakan bertahap dan
dilakukan selama 5 tahun, yang semestinya jatuh pada tahun 2006-2010. Singkat kata divestasi
Newmont gagal dilakukan pada masa awal periode tersebut dan baru dilakukan setelah
Pemerintah RI menang dalam kasus divestasi saham tersebut di pengadilan arbitrase tahun 2009.
Saham sebesar 31% mesti didivestasikan oleh kepemilikan asing Newmont (yang 20% telah
dimiliki PT. Pukuafu Indah, perusahaan swasta nasional) sehingga Indonesian Participant bisa
memiliki 51% saham perusahaan tambang ini.
Perselisihan terjadi setelah Pemerintah RI menjatuhkan status default (lalai) kepada
Newmont, 11 Februari 2008, karena tidak kunjung menjual 3% sahamnya untuk periode
2006 dan 7% saham periode 2007.
Pemerintah menggugat Newmont ke arbitrase internasional pada 3 Maret 2008. Di hari
yang sama, Newmont juga mengajukan gugatan atas pemerintah. Pada 11 Juli 2008, Newmont
mengajukan arbitrase tambahan terkait divestasi 7% saham yang diwajibkan kontrak karya.
Proses arbitrase berjalan sejak 15 Juli 2008 melalui korespondensi sampai digelarnya sidang
tertutup 3-8 Desember 2008 di Jakarta. Panel terdiri atas tiga anggota. Dua orang adalah ahli
hukum yang masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia, yaitu M Sonnarajah, dan pihak
Newmont (Stephen Schwebel) dan satu ahli independen yang sekaligus menjadi ketua panel
(Robert Briner).

Pemerintah Indonesia mengajukan dua tuntutan, yaitu meminta panel arbitrase agar
memutuskan bahwa pemerintah bisa melakukan terminasi kontrak karya Newmont dengan
alasan karena perusahaan melakukan kelalaian alias default. Apabila terminasi tidak bisa
dilakukan, pemerintah meminta arbitrase memerintahkan Newmont untuk menjual saham sesuai
isi surat Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi terkait default. Isi surat Dirjen Minerba
Pabum itu diacu oleh arbitrase dalam menetapkan putusan mereka soal pelaksanaan divestasi.
Sebaliknya, Newmont meminta pihak arbitrase untuk menyatakan pihaknya tidak melakukan
kelalaian yang bisa berakibat pada terminasi kontrak. Meminta arbitrase menentukan apakahfirst
right of refusal pemerintah sudah tidak berlaku lagi. Dengan alasan itu, Newmont bisa menjual
sahamnya kepada pihak yang diinginkan.
Pada 31 Maret 2009, Pemerintah Indonesia akhirnya memenangkan gugatan atas kasus
divestasi PT NNT di arbitrase internasional. United Nation Commission on International Trade
Law (UNCITRAL) dan Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) yang terdiri dari panel yang dikenal
secara internasional, memerintahkan PT NNT untuk melaksanakan ketentuan pasal 24.3 Kontrak
Karya. Mereka juga menyatakan bahwa PT NNT telah melakukan default (pelanggaran
perjanjian), memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17 persen saham, yang
terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3% dan 7% tahun 2007 kepada pemerintah daerah
sedangkan untuk tahun 2008 sebesar 7% kepada Pemerintah Republik Indonesia. Semua
kewajiban tersebut harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah tanggal putusan
arbitrase. Selain itu, saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai (clean and clear) dan
sumber dana untuk pembelian saham tersebut bukan menjadi urusan PT NNT. Newmont juga
harus mengganti biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk kepentingan
arbitrase dan harus dibayar dalam tempo 30 hari sesudah tanggal putusan arbitrase. Perusahaan
tambang yang berkantor pusat di Denver, Colorado itu wajib membayar biaya yang telah
dikeluarkan pemerintah untuk proses arbitrase sebesar AS$ 1,8 juta.
PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Keputusan Arbitrase Internasional tertanggal 31 Maret 2009 memenangkan Pemerintah RI
dan memerintahkan PT NNT untuk:
1.

Melaksanakan

ketentuan

pasal

24

(3)

Kontrak

Karya

tentang

kewajiban

mendivestasikan sahamnya.
2.

PT NNT dinyatakan telah melakukan default (pelanggaran perjanjian) .

3.

Memerintahkan PT. NNT melakukan divestasi 17% saham dari tahun 2006 2008
kepada pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
5

4.

Saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai (clean and clear)dan sumber dana
untuk pembelian saham itu bukan menjadi urusan PT NNT.

5.

Memerintahkan PT NNT mengganti biaya yang sudah dikeluarkan pemerintah bagi


kepentingan arbitrase perkara ini dalam tempo 30 hari sesudah tanggal putusan arbitrase

LANDASAN TEORI
Abitrase merupakan alternatif penyelesaian sengketa perusahaan selain mediasi,
negoisasi, dan pengadilan. Menurut Blacks Law Dictionary arbitrase didefinisikan sebagai:
Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in
some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is
intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada
Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dilihat
dari bentuknya, arbitrase dapat dibedakan menjadi dua, pertama, Klausul arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian

tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul

sengketa (Pactum de compromitendo). Kedua, suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang


dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta kompromis).
Pendapat hukum lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding), oleh karena pendapat
tersebut akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan
pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap
pendapat hukum tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract
wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya
hukum apapun.
Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat, berkekuatan hukum tetap,
sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan
putusan arbitrase tersebut. Dalam jurisprudensi (keputusan hakim terdahulu yang
digunakan sebagai dalil untuk memutuskan kasus serupa) kita mengetahui ada suatu kasus
yaitu Arrest Artist de Labourer, dimana perkara tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri
padahal sudah memuat klausul arbitrase untuk penyelesaian sengketanya. Sekalipun dalam
praktik, masih kerap dijumpai pengadilan negeri yang melayani gugatan pihak yang kalah dalam
arbitrase.
Arbitrase baik nasional maupun Internasional mempunyai fungsi dan peran dalam kerangka
proses penyelesaian sengketa khususnya pada perdagangan. Arbitrase merupakan salah satu
6

model penyelesaian sengketa yang dapat di pilih di antara penyelesaian sengketa komersial yang
tersedia karena arbitrase merupakan tempat penyelesaian sebagai forum komersial efektif dan
Komersial yang reliable, efisien dan efektif.
Forum arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa secara privat di antranya dapat di
ketahui sebagai berikut:
1.

Kebebasan Kepercayaan, Keamanan yang Arbitrase menarik berbagai perusahaan,


pedagang untuk memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas kepada mereka.

2.

Keahlian (expertise) disini para pihak yang bersengketa memiliki kepercayaan yang lebih
besar pada keahlian arbiter mengenai keahlian yang di sengketakan melalui pengadilan

3.

Cepat dan hemat biaya proses Arbiter tidak terlalu formal sehingga mekanisme
penyelesaian masalah lebih fleksibel. Di bandingkan dengan proses litigasi di pengadilan.
Dengan demikian maka proses arbitrase lebih mudah dan efisisen. dan juga pada Arbitrase
tidak ada putusan banding atau upaya hukum lainnya.

4.

Bersifat rahasia arbitrase sifatnya melindungi para pihak dari publisitas yang merugikan
serta segala akbiatnya

5.

Pertimbangan putusan arbitrase lebih bersifat privat oleh sebab itu para arbiter dalam
mempertimbangkan penyelesaian arbiter lebih bersifat privat dari pada bersifat public.

6.

Kecenderungan yang modern di maksudkan bahwa dalam dunia perdagangan


internasional kecenderungan yang terlihat adalah Liberalisasi peraturan/perundang-undangan
arbitrase untuk lebih mendoorong penggunaan arbitrase dari pada penyelesaian sengketa
dagang melalui badan peradilan umum.

7.

Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat sesuai dengan kehendak dan niat dari para
pihak pelaku bisnis yang menghendaki putusan penyelesaian pada forum arbitrase bersifat
final dan mengikat (final and binding) kedua belah pihak. Sedangkan putusan pengadilan
masih terbuka berbagai upaya hukum. Sehingga untuk memperoleh putusan yang tetap perlu
waktu yang lama atau cukup lama.6
Pada Arbtirase pilihan pada forum arbitrase sebagai fenomena penyelesaian sengketa ialah

seperti Alternatif penyelesaian sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR) karena
arbitrase pada dasarnya tergolong kelompok Adjudicatory methods of settlement atau
adjudication yang terdiri dari dua prototype yakni litigasi di pengadilan dan arbitrase. Sedangkan
metode ADR termasuk dalam kelompok non-adjudicatory methods of settlement yang meliputi
mediasi konsoliasi tapi berbeda dengan arbitrase pada arbitrase putusan mengikat final tapi pada
6 Gary Goodpaster, felix, fatma jatim, Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang secara umum dan Arbitrase
Dagang di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,1995 , hlm. 19-22.
7

konsoliasi dan mediasi putusan tidak dapat menghasilkan putusan yang mengikat yang dapat di
laksananakan.7
ANALISIS
Penyelesaian Sengketa Divestasi Saham antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT
Newmont Nusa Tenggara dikaji dari UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.
Di zaman sekarang ini, dalam menyelesaikan sengketa, para pihak dihadapkan banyak sekali
pilihan. Tidak hanya melalui pengadilan, mereka juga bisa menyelesaikan sengketanya di
luar pengadilan

atau

sering

disebut

dengan model Alternative

Dispute

Resolution

(Alternatif Penyelesaian Sengketa), yang salah satunya termasuk Arbitrase. Masing-masing


media penyelesaian sengketa mempunyai kelebihan dan kekurangan. Hal tersebut tergantung
pada pada beberapa faktor misalnya jenis dan sifat transaksi; strategi masing-masing pihak
yang bertransaksi dan pelaksanaannya.
Seperti halnya dalam kasus di atas yaitu perselisihan sengketa antara Pemerintah RI
Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara. Kedua belah pihak dalam menyelesaikan
sengketanya memilih Arbitrase sebagai tempat mencari penyelesaian sengketa. Pemerintah
Indonesia mempermasalahkan kelalaian PT Newmont yang gagal melaksanakan kewajiban
divestasi dan menyatakan bahwa dapat diakhirinya kontrak karya. Pada Pasal 24 ayat 3 Kontrak
karya antara Pemerintah RI dan PT NNT menyatakan bahwa pemegang saham asing PT NNT
diwajibkan menawarkan saham asing PT NNT sehingga pada tahun 2010 minimal 51% saham
PT NNT akan beralih ke Pemerintah RI atau peserta Indonesia lainnya. Saat ini 80% saham PT
NNT yang mengeksplitasi tambang tembaga dan emas di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa
Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) dikuasai Nusa Tenggara Partnership (Newmont 45% dan
Sumitono 35%). Sisa 20% dimiliki PT Pukuafu Indah.
Kasus sengketa antara Pemerintah RI versus PT Newmont NNT terkait dengan tuduhan wan
prestasi (cidera janji) yang dilakukan oleh perusahaan tambang berbasis Amerika Serikat tersebut
telah melewati sebuah pergulatan hebat di forum arbitrase internasional, akhirnya putusan
arbitrase international memutus PT Newmont NNT bersalah dan dibebani kewajiban untuk
mendivestasikan saham sesuai dengan prosentase yang tertera dalam perjanjian kontrak karya
yang telah disepakati.
Dalam sidang arbitrase antara Pemerintah RI dengan PT NNT, 31 Maret 2009,
diputuskan perusahaan emas asing ini harus mendivestasi 17% sahamnya pada pihak
7 Sofyan Mukhtar, Mekanisme Alternatif Bagi Penyelesaian Sengketa Perdata Dagang,Varia peradilan
No 48.1999. hlm.126.
8

Indonesia dalam keadaan bersih dari gadai. Perusahaan asal Nevada AS itu diberi waktu 180 hari
menuntaskan divestasi tersebut, terhitung sejak putusan.
Arbitrase dilangsungkan dengan komposisi majelis arbitrase yaitu, panel terdiri atas tiga
anggota. Dua orang adalah ahli hukum yang masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia,
yaitu M Sonnarajah warga negara Indonesia dan pihak Newmont (Stephen Schwebel) dan satu
ahli independen yang sekaligus menjadi ketua panel (Robert Briner). Proses arbitrase antara
Pemerintah RI dan PT Newmont Nusa Tenggara berjalan sejak 15 Juli 2008 melalui
korespondensi sampai digelarnya sidang tertutup 3-8 Desember 2008 di Jakarta.
Pengertian putusan arbitrase asing, dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi New York
1958. Dalam Pasal ini dijelaskan, yang dimaksud dengan putusan arbitrase asing (menurut
Konvensi ini) ialah putusan-putusan arbitrase yang dibuat di wilayah negara lain dari negara
tempat dimana diminta pengakuan dan pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase yang
bersangkutan (made in the territory of a states other than the states where the recognition and
enforcement of such awards are sought).
UU 30/1999 tentang Arbitrase tidak memberikan pengertian apakah yang dimaksud dengan
Arbitrase Internasional. Namun dalam Pasal 1 angka 9 UU tersebut diberikan pengertian
mengenai Putusan Arbitrase Internasional, yaitu:
Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase
atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap
sebagai suatu putusan arbitrase internasional.
Didasarkan atas pengertian tersebut maka putusan arbitrase antara Pemerintah RI dan PT
Newmont Nusa Tenggara adalah Putusan Arbitrase Internasional karena di bawah prosedur
arbitrase United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL), Majelis
Arbitrase (Arbitral Tribunal) yang terdiri dari panel yang dikenal secara internasional sehingga
dapat dikatakan pula bahwa arbitrase tersebut adalah arbitrase internasional. Apabila dilihat
dari rules yang dipakai, yaitu rules dari United Nation Commission on International Trade
Law (UNCITRAL), adanya arbitrator asing, maka menunjukkan adanya unsur asing (foreign
elements) dari arbitrase ini yang menyebabkan arbitrase ini dapat dikatakan sebagai arbitrase
internasional.
Perlu diingat, faktor perbedaan kewarganegaraan tidak mutlak. Tidak mesti persengketaan
terjadi antara dua pihak yang saling berbeda kewarganegaraan. Bisa juga persengketaan terjadi
antara orang-orang atau badan hukum yang memiliki kewarganegaraan yang sama, asal mereka
9

sepakat persengketaan diselesaikan oleh badan arbitrase luar negeri. Dalam kasus yang
demikian, putusan arbitrase yang bersangkutan adalah arbitrase asing.[7]

Dilihat dari

kronologis, putusan arbitrase internasional yang memenangkan pihak penggugat (Pemerintah RI)
itu sudah benar adanya, karena berdasarkan ketentuan perjanjian yang disepakati oleh para pihak,
tercantum klausula perjanjian yang menegaskan adanya kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
PT Newmont untuk mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah daerah. Tetapi kewajiban
tersebut tidak dilaksanakan oleh Newmont sehingga pemerintah merasa dirugikan haknya.
Mengacu kepada perjanjian yang ada, bahwa setiap sengketa yang timbul akibat adanya
perjanjian itu, maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan melalui lembaga arbitrase
internasional.
Langkah hukum yang ditempuh pemerintah RI dengan menggugat Newmont NNT ke
arbitrase internasional sudah tepat dan sesuai dengan kesepakatan yang tertuang didalam
perjanjian kontrak karya.
Meskipun Newmont berkelit dan membantah tudingan melakukan pelanggaran dengan
menunjukan beberapa bukti, bahwa saham-saham Newmont sedang berada pada posisi
tergadaikan sehingga hal itu menjadi kendala dan menyebabkan tidak terlaksanakanya kewajiban
divestasi tersebut tetapi arbiter yang memimpin persidangan arbitrase dalam sengketa
Pemerintah RI versus PT Newmont tersebut tidak mau terjebak dalam skenario hukum yang
didalilkan oleh Newmont sehingga mampu menghasilkan pustusan yang obyektif dan sesuai
dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh arbitrase.
Berdasarkan peta kasus terlihat bahwa:
1.

Ada kontrak karya pertambangan antara Pemerintah RI dengan PT Newmont NNT;

2.

Mereka menyepakati klausula kontrak yang ada, hal itu dibuktikan dengan
penandatanganan persetujuan pelaksanaan kontrak oleh para pihak;

3.

Newmont telah melakukan eksplorasi di lokasi yang menjadi salah satu obyek perjanjian;

4.

Newmont tidak melaksanakan kewajiban yang telah disepakati bersama untuk


mendivestasikan sahamnya sesuai besaran yang telah diperjanjikan;

5.

Dalam jangka waktu tertentu Newmont tidak ada iktikad baik untuk melaksanakan
kewajibannya.
Berdasarkan hal tersebut, secara terang menunjukan bahwa kesalahan berada pada pihak

Newmont NNT, sebab terdapat point dalam klausula perjanjian yang menyebutkan bahwa
Newmont berkewajiban mendivestasikan saham pertambangan dan itu tidak dilaksanakan oleh
Newmont. Sehingga secara hukum Newmont dianggap telah melakukan breanch of
10

contract (pelanggaran terhadap kontrak). Hal tersebut berarti bahwa kemenangan yang diperoleh
oleh pemerintah RI melalui putusan arbitrase itu sesuai dengan kaidah hukum dan asas keadilan.
Obyektifitas para arbiter yang memimpin persidangan dan memutus perkara ini patut
diapresiasi positif oleh dunia internasional, khususnya oleh para pelaku bisnis. Hal tersebut
menunjukan bahwa arbitrase merupakan alternative penyelesaian sengketa yang efektif
dan creadible. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam undang-Undang nomor
30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa. Pesimisme memang
seringkali muncul ketika menghadapi persoalan hukum di lembaga internasional. Hal tersebut
disebabkan oleh lemahnya kemampuan para ahli hukum kita dalam penguasaan aspek-aspek
hukum internasional dan argumentasi hukum. Dengan adanya putusan arbitrase ini berarti secara
hukum posisi pemerintah sangat kuat untuk menuntut hak-haknya dari PT Newmont NNT.
Dasarnya adalah, bahwa berdasarkan asas yang dianut dalam hukum arbitrase, putusan arbitrase
itu sifatnya final and binding sehingga tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh apabila
suatu kasus telah diputus oleh persidangan arbitrase.
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing dalam Sengketa Divestasi antara Pemerintah RI
dengan PT Newmont Nusa Tenggara.
Kegagalan divestasi pada periode tahun ke enam dan ke tujuh menyebabkan tertundanya
pelaksanaan divestasi wajib ini. Sehingga pemerintah Indonesia mengenakan status lalai dan
berujung pada penetapan wanprestasi pada Arbitrase dalam negeri. Sesuai dengan perjanjian
kontrak karya yang di dalamnya terdapat ketentuan pelaksanaan tempat menurut Pasal 22 ayat 3
akan diadakan di Jakarta kecuali kedua belah pihak mufakat memilih tempat lain.
Klausula arbitrase bukanlah merupakan suatu perjanjian bersyarat, oleh karena itu dalam
pelaksanaannya tidak digantungkan kepada suatu kejadian tertentu di masa yang akan datang
serta tidak dipersoalkan mengenai masalah pelaksanaan perjanjian tetapi hanya mempersoalkan
masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara
para pihak yang berselisih tersebut. Klausula arbitrase ini merupakan tambahan yang diletakkan
pada perjanjian pokok, itu sebabnya disebut sebagai perjanjian assesoir yang berisi mengenai
persyaratan khusus mengenai cara penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian pokok.
Dan tidak menyimpangi ketentuan pada Pasal 22 ayat 3 ini, karena arbitrase yang berdimensi
internasional lebih sering dihunakan oleh kalangan bisnis lintas negara. Maka kondisi ini dapat
dipahami apabila dua pihak dalam perjanjian dari negara yang berbeda akan merasa penyelesaian
sengketa dalam pengadilan di negara salah satu pihak dapat menimbulkan ketidakpercayaan,
maka akan lebih baik apabila akan diselesaikan oleh badan arbitrase internasional yang berpusat
di negara lain yang dianggap netral.
11

Karena alasan menggeruk keuntungan sebanyak-banyaknya perusahaan swata asing di


Indonesia berkecenderungan untuk menghindari adanya pembagian keuntungan apalagi yang
dibagikan cukup besar dengan penjualan sekitar 1,5 milyar dollar lebih pada tahun 2005. Nilai
penjualan tersebut cenderung meningkat seiring dengan peningkatan harga emas dan tembaga di
pasaran Internasional. Dengan skema divestasi saham sebagaimana yang diatur pada Pasal 24,4.
Perjanjian kontrak pada PT NNT dengan pemerintah Indonesia, maka dalam tiga tahun ke depan
PT NNT, telah dimiliki oleh mayoritas nasional dengan andil sebesar 51% saham.
Untuk melaksanakan putusan arbitrase ini diperlukan penetapan melalui Pengadilan Negeri.
Untuk pelaksanaan putusan arbitrase dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri yang telah
dilaporkan oleh arbiter yang menyerahkan putusan arbiter selambat-lambatnya 30 (tiga puluh
hari) sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase
diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Pendaftaran dan pencatatan ini kegunaannya ialah untuk kepentingan atas pelaksanaan
putusan Arbitrase tersebut, jika salah satu pihak dalam putusan arbitrase tersebut tidak
melaksanakan putusan arbitrase tersebut secara sukarela. Dalam hal yang demikian maka atas
permohonan dari pihak yang berkepentingan terhadap pelaksanaan putusan arbitrase tersebut,
Ketua Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut didaftarkan dan dicatat, dapat menjatuhkan
perintah pelaksanaan putusan arbitrase.
Perintah pelaksanaan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri, diberikan dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada
Panitera Pengadilan Negeri, sebelum memberikan perintah pelaksanaan, diberikan hak untuk
memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase tersebut telah diambil dalam suatu proses
yang sesuai.8
1.

Arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa dan memutuskan perkara telah diangkat
oleh para pihak sesuai dengan kehendak mereka;

2.

Perkara yang diserahkan untuk diselesaikan oleh arbiter atau majelis arbitrase tersebut
adalah perkara yang menurut hukum memang dapat diselesaikan dengan arbitrase; dan

3.

Putusan yang dijatuhkan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban
umum.
Seperti uraian yang telah dikemukakan di depan, arbitrase menjanjikan penyelesaian yang

cepat serta tidak melibatkan badan-badan Negara dalam mengambil putusan. Sehingga banyak
8 Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 142.

12

negara telah menyetujui pemakaian arbitrase dalam menyelesaikan perselisihan perdagangan


antar negara. Terhadap putusan yang telah dijatuhkan oleh arbiter tersebut, dan kemudian akan
dapat dilaksanakan di negara dimana putusan tersebut seharusnya dijalankan. Hingga saat ini
dikenal beberapa konvensi tingkat internasional yang berisikan kesepakatan dari para peserta
konvensi tersebut untuk menerima, mengakui dan melaksanakan setiap keputusan arbitrase di
negara peserta konvensi yang telah meratifikasi konvensi tersebut. Konvensi yang pertama
berkaitan dengan perselisihan dalam bidang penanaman modal yaitu ICSID Convention, yang
kedua berhubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan semua putusan arbitrase asing di
Indonesia yaitu New York Convention 1958.
New York Convention menyatakan adanya pengakuan dan pelaksanaan dari setiap putusan
arbitrase yang di ambil di luar wilayah negara dimana putusan tersebut akan dilaksanakan. Hal
tersebut tertuang dalam ketentuan Pasal 3 Konvensi New York. Hal ini merupakan pengakuan
pada setiap negara yang telah meratifikasi Konvensi New York agar memperlakukan semua
putusan arbitrase yang diambil di Negara lain seolah-olah sebagai putusan arbitrase dalam
negeri.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur ketentuan mengenai arbitrase
internasional hanya mengenai aspek putusannya atau eksekusinya, tetapi sama sekali tidak
menyebutkan definisi dari arbitrase internasional. Menurut Munir Fuady, arbitrase internasional
yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebenarnya adalah arbitrase
asing.9
Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Konvensi New York 1958 yang mempersoalkan
putusan eksekusi arbitrase asing (foreign arbitral award), bukan hanya arbitrase Internasional.
Bahkan dalam sejarah hukum arbitrase di Indonesia, juga yang dikenal adalah eksekusi putusan
arbitrase asing. Hal ini terlihat dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1981 yang
mengesahkan berlakunya Konvensi New York 1958 maupun dengan adanya Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing.
Dihadapkan kepada badan peradilan di Indonesia yang dianggap belum mampu dalam
permasalahan transaksi bisnis Internasional, sesuai dengan keputusan pemerintah mengajukan
kegagalan divestasi PT NNT kepada arbitrase internasional maka akan timbul pertanyaan
mengenai keraguan pelaksanaan putusan pengadilan asing di Indonesia. Sesuai dengan prinsip
9 Munir Fuady, Arbitrase Internasional : Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000, hlm. 183.

13

hukum acara yang berlaku di Indonesia, keputusan hakim asing tidak dapat serta merta
dilaksanakan di Indonesia. Pengadilan di Indonesia hanya dapat menggunakan keputusan
tersebut sebagai salah satu bahan atau bukti dalam memberikan keputusannya sendiri dalam
suatu perkara baru yang diajukan ke hadapan pengadilan tersebut. Dalam hubungannya dengan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase maka perlu diperjanjikan bahwa putusan arbitrase
tersebut final and binding, yaitu tidak bisa dimintakan banding ke pengadilan. Walaupun sudah
ditetapkan bahwa penyelesaian sengketa akan dilaksanakan melalui arbitrase , tidak jarang salah
satu pihak tetap mengajukan perselisihannya ke Pengadilan, namun Mahkamah Agung RI
konsisten dengan kompetensi ablosut yaitu apabila para pihak telah memperjanjikan arbitrase
sebagai tempat sengketa, pengadilan tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa perkara yang
diajukan kepadanya.
Menurut Pasal V Konvensi New York 1958 tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase Luar Negeri, meyatakan bahwa negara yang diminta untuk melaksanakan putusan
arbitrase luar negeri dapat menolak melaksanakannya karena beberapa alasan. Untuk lebih
jelasnya berikut adalah petikan dari Pasal V Konvensi New York 1958:
1.

Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the party
against whom it is invoked, only if that party furnishes to the competent authority where the
recognition and enforcement is sought, proof that:

a)

The parties to the agreement referred to in article II were, under the law applicable to

them, under some incapacity, or the said agreement is not valid under the law to which the
parties have subjected it or, failing any indication thereon, under the law of the country where
the award was made; or
b)

The party against whom the award is invoked was not given proper notice of the

appointment of the arbitrator or of the arbitration proceedings or was otherwise unable to


present his case; or
c)

The award deals with a difference not contemplated by or not falling within the terms of

the submission to arbitration, or it contains decisions on matters beyond the scope of the
submission to arbitration, provided that, if the decisions on matters submitted to arbitration can
be separated from those not so submitted, that part of the award which contains decisions on
matters submitted to arbitration may be recognized and enforced; or
d)

The composition of the arbitral authority or the arbitral procedure was not in accordance

with the agreement of the parties, or, failing such agreement, was not in accordance with the law
of the country where the arbitration took place; or

14

e)

The award has not yet become binding on the parties or has been set aside or suspended by

a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made.
2. Recognition and enforcement of an arbitral award may also be refused if the competent
authority in the country where recognition and enforcement is sought finds that:
a)

The subject matter of the difference is not capable of settlement by arbitration under the

law of that country; or


b)

The recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy of that

country.
Selanjutnya Pasal VI Konvensi ini juga menegaskan kembali mengenai penolakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal V ayat (1) huruf e dengan menyatakan bahwa:
If an application for the setting aside or suspension of the award has been made to a competent
authority referred to in article V (1) (e), the authority before which the award is sought to be
relied upon may, if it considers it proper, adjourn the decision on the enforcement of the award
and may also, on the application of the party claiming enforcement of the award, order the other
party to give suitable security.
Berdasar ketentuan yang terdapat dalam Konvensi New York Pasal V tersebut, dapat
disimpulkan bahwa putusan arbitrase luar negeri tidak dengan serta merta dapat dilaksanakan di
negara dimana putusan tersebut dimohonkan untuk dieksekusi sebelum memenuhi prosedur dan
ketentuan yang telah ditetapkan dalam konvensi ini. Dan putusan arbitrase Internasional dapat
merupakan salah satu bahan yang akan ditindaklanjuti dengan memohonkan penyelesaian
perkara kepada pengadilan di Indonesia.
Indonesia, melalui dikeluarkannya Keppres No. 34 tahun 1981, telah menjadi anggota
dalam Konvensi New York 1958 tentang Penerimaan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing,
yang mana atas dasar artikel 3 konvensi tersebut Indonesia harus menerima dan melaksanakan
putusan arbitrase asing yang akan dilaksanakan atau dieksekusi di wilayahnya. Dalam kasus di
atas eksekusi putusan arbitrase dapat dilakukan karena alasan untuk melakukan penolakan
sebagaimana yang tercantum Pasal V dan VI Konvensi New York 1958 tidak terpenuhi.
Selain hal tersebut, berdasarkan Pasal 66 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase, maka ada
beberapa syarat suatu putusan arbitrase asing/internasional dapat diakui dan dilaksanakan di
Indonesia:

Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun
multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
15

Indonesia dan Swiss, negara dimana putusan dijatuhkan, terikat dalam perjanjian multilateral
yaitu pada konvensi New York 1958, yang mana Swiss telah meratifikasi konvensi tersebut pada
tanggal 1 Juni 1965.

Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dalam huruf a terbatas pada putusan yang
menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.

Putusan arbitrase dalam kasus ini merupakan putusan atas sengketa divestasi saham PT
Newmont Nusa Tenggara yang dalam klasifikasi hukum di Indonesia masuk dalam lingkup
hukum perdagangan (commercial law)

Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat


dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban
umum.
Masalah ketertiban umum (Public Order/Public Policy) adalah sesuatu yang sudah cukup lama
diperdebatkan oleh ahli hukum, khususnya dalam hukum perdata internasional. Tidak adanya
ketentuan yang baku mengenai batas-batas suatu ketertiban umum selalu menimbulkan polemik
yang berkepanjangan. Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 1990
tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing secara tidak langsung memberikan
definisi dari ketertiban umum di Indonesia yaitu sebagai sendi-sendi asasi dari seluruh sistem
hukum dan masyarakat di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah sendi-sendi asasi
yang dimaksud dan sejauh apakah pelanggaran terhadap sendi-sendi asasi tersebut.
Beberapa ahli hukum menyatakan bahwa dengan ditabraknya sendi-sendi asasi di suatu negara
maka akan menimbulkan kegoncangan yang luar biasa hebat dari suatu negara. Adanya putusan
dari arbitrase yang mengharuskan PT Newmont Nusa Tenggara melakukan divestasi sahamnya
tampaknya masih terlalu jauh untuk dikatakan sebagai putusan yang menggoncangkan sendisendi asasi di Indonesia.

Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh

eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.


Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut
Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksanakaan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus PT NNT
melibatkan langsung Negara Republik Indonesia karena PT NNT adalah badan usaha yang
menjalankan usahanya di Indonesia.
Atas dasar telah memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 66 UU 30/1999 maka seharusnya

putusan arbitrase dalam kasus ini dapat dilaksanakan dalam wilayah hukum Republik Indonesia.
16

BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Berdasarkan analisis di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.

Didasarkan atas pengertian Pasal 1 angka 9 UU N0. 30 Tahun 1999 maka putusan
arbitrase antara Pemerintah RI dan PT Newmont Nusa Tenggara adalah Putusan Arbitrase
Internasional karena di bawah prosedur

arbitrase United Nation Commission on

International Trade Law (UNCITRAL), dan Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) yang terdiri
dari panel yang dikenal secara internasional sehingga rules yang dipakai ialah rules
dari United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL), adanya arbitrator
asing, maka menunjukkan adanya unsur asing (foreign elements) dari arbitrase ini dapat
dikatakan pula bahwa arbitrase tersebut adalah arbitrase internasional.
2.

Indonesia melalui dikeluarkannya Keppres No. 34 tahun 1981, telah menjadi anggota
dalam Konvensi New York 1958 tentang Penerimaan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Asing, yang mana atas dasar artikel 3 konvensi tersebut Indonesia harus menerima dan
melaksanakan putusan arbitrase asing yang akan dilaksanakan atau dieksekusi di wilayahnya.
Dalam kasus di atas eksekusi putusan arbitrase dapat dilakukan karena alasan untuk
melakukan penolakan sebagaimana yang tercantum Pasal V dan VI Konvensi New York 1958
tidak terpenuhi. Selain hal tersebut, atas dasar telah memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 66
UU 30/1999 maka seharusnya putusan arbitrase dalam kasus ini dapat dilaksanakan dalam
wilayah hukum Republik Indonesia.

17

DAFTAR PUSTAKA
Gary Goodpaster, felix, fatma jatim. Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang secara umum dan
Arbitrase Dagang di Indonesia. Ghalia Indonesia.Jakarta.1995.
Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Huala Adolf. Arbitrase Komersial Internasional. Raja Grafindo Persad.Jakarta. 2005.
Munir Fuady, Arbitrase Internasional : Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000
Priyatna Abdurrasyid. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Fikahati Aneska. JAkarta.
2002.
Satjipto Rahartdjo. Ilmu Hukum, Alumni. Bandung. 1996.
Sajtjipto Rahardjo. Hukum Masyarakat dan Pembangunan. Alumni. Bandung 1989.
Sofyan Mukhtar. Mekanisme Alternatif Bagi Penyelesaian Sengketa Perdata Dagang. Varia
peradilan No 48.1999.
Sudargo Gautama. Kontrak Dagang Internasional. Alumni Bandung. 1976.
Yahya Harahap, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
Sumber dari Peraturan Perundang-Undangan
Undang Undang No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitase.
Keppres Nomor 43 Tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi New York 1958.
Perma nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
Konvensi New York Tahun 1958

18

Vous aimerez peut-être aussi