Vous êtes sur la page 1sur 1

Manifestasi Klinis Gangguan Konversi

Paralisis, buta, dan mutisme adalah gejala gangguan konversi yang paling sering.
Gangguan konversi mungkin paling sering berhubungan dengan gangguan kepribadian
pasif-agresif, dependen, antisosial, dan histrionik. Gejala gangguan depresif d
an kecemasan seringkali dapat menyertai gangguan konversi, dan pasien yang terke
na berada dalam resiko untuk bunuh diri.
Gejala Sensorik. Pada gangguan konversi, anestesia dan parestesia adalah gejala
yang lazim ditemukan, khususnya anggota gerak. Semua modalitas sensorik dapat te
rlibat dan distribusi gangguan biasanya tidak konsisten dengan yang ditemukan pa
da penyakit neurologis perifer maupun sentral. Dengan demikian, klinisi dapat me
lihat anestesia Stocking and-glove pada tangan atau kaki yang khas, atau hemianeste
sia tubuh yang dimulai tepat di sepanjang garis tengah.
Gejala gangguan konversi dapat melibatkan organ indera spesifik dan dapat menimb
ulkan tuli, buta, serta penglihatan terowongan (tunnel vision). Gejala ini dapat
unilateral atau bilateral, tetapi evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensori
k yang utuh. Pada kebutaan gangguan konversi, contohnya, pasien berjalan berkeli
ling tanpa bertabrakan atau mencederai diri sendiri, pupilnya bereaksi terhadap
cahaya, dan evoked potential korteks normal.
Gejala Motorik. Gejala motorik meliputi gerakan abnormal, cara berjalan, kelemah
an, dan paralisis. Tremor ritmikal yang jelas, gerakana koreiform, tic , dan sentak
an dapat ditemukan. Gerakan tersebut umumnya memburuk ketika orang memperhatikan
mereka. Satu gangguan gaya berjalan yang dapat ditemukan pada gangguan konversi
adalah astasia-abasia, yaitu gaya berjalan yang sangat ataksik dan sempoyongan
yang disertai gerakan batang tubuh yang menyentak, iregular, kasar, dan gerakan
lengan yang menggelepar dan bergelombang. Pasien dengan gejala tersebut jarang t
erjatuh; jika jatuh, umumnya mereka tidak cedera.
Gangguan motorik lainnya yang sering ditemukan adalah paralisis dan paresis yang
mengenai satu, dua, atau keempat ekstremitas, walaupun distribusi otot yang ter
libat tidak sesuai dengan jaras saraf. Refleks tetap normal; pasien tidak mengal
ami fasikulasi atau atrofi otot (kecuali setelah paralisis konversi yang berlang
sung lama); temuan elektromiografi normal.
Gejala Kejang. Kejang semu (pseudoseizure) adalah gejala lain gangguan konversi.
Klinisi mungkin akan merasa sulit membedakan kejang semu dengan kejang yang ses
ungguhnya hanya dengan pengamatan klinis saja. Selain itu, kira-kira sepertiga p
asien yang mengalami kejang semu juga memiliki gangguan epileptik. Menggigit lid
ah, inkontinensia urin, dan cedera setelah terjatuh dapat terjadi pada kejang se
mu walaupun gejala tersebut umumnya tidak ada. Refleks pupil dan batuk tetap ada
setelah kejang semu dan konsentrasi prolaktin pasien tidak mengalami peningkata
n setelah kejang.
Sumber: Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan & Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2010. h. 84-115.

Vous aimerez peut-être aussi