Vous êtes sur la page 1sur 9

Anemia

Anemia

Definisi
Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass)

sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang
cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell
count).
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala
berbagai macam penyakit dasar. Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup
sampai kepada label anemia tetapi harus ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan
anemia tersebut.

Kriteria diagnosis anemia

Definisi anemia bervariasi sesuai jenis kelamin dan usia. Definisi yang paling umum
digunakan adalah berdasarkan Centers for Disease Control (CDC) dan World Health
Organization (WHO).

Etiologi dan klasifikasi anemia


Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena gangguan pembentukan eritrosit
oleh sumsum tulang, perdarahan, proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum
waktunya. Klasifikasi untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik
dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Anemia dapat dibagi menjadi
3 golongan yaitu anemia hipokromik mikrositer (MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg),
anemia normokromik normositer (MCV 80 95 fl dan MCH 27 34 pg) dan anemia
makrositer (MCV > 95 fl).
Klasifikasi anemia menurut etiopatogenesis
A.
Anemia karena gangguan 1. Kekurangan bahan esensial pembentuk
pembentukan eritrosit dalam sumsum eritrosit
tulang

a. Anemia defisiensi besi


b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12

2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi


a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a.
b.
c.
d.
e.

Anemia aplastik
Anemia mieloptisik
Anemia pada keganasan hematologi
Anemia diseritropoietik
Anemia
pada
sindrom

mielodisplastik
4. Anemia akibat kekurangan eritropoietin
: anemia pada gagal ginjal kronik.
B. Anemia akibat hemoragi

1. Anemia pasca perdarahan akut

C. Anemia hemolitik

2. Anemia akibat perdarahan kronik


1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a.
2

Gangguan

membran

eritrosit

(membranopati)
b.
Gangguan

enzim

eritrosit

(enzimopati) : anemia defisiensi G6PD


c.
Gangguan
hemoglobin
(hemoglobinopati) : thalassemia dan
hemoglobinopati

struktural

(HbS,

HbE)
2. Anemia hemolitik ektrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik
D.

Anemia dengan penyebab tidak

diketahui atau dengan patogenesis


yang kompleks.

Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi


1. Anemia hipokromik mikrositer

a.
b.
c.
d.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
f.
a.

2. Anemia normokromik normositer

3. Anemia makrositer

Anemia defisiensi besi


Thalassemia mayor
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia sideroblastik
Anemia pasca perdarahan akut
Anemia aplastik
Anemia hemolitik didapat
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia pada gagal ginjal kronik
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia pada keganasan hematologik
Bentuk megaloblastik
1. anemia defisiensi asam folat
2. anemia defisiensi B12, termasuk

anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
1. anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3.
Anemia
pada
sindrom
mielodisplastik

Anemia defisiensi besi


Anemia defisiensi besi merupakan bentuk dari defisiensi nutrisi yang paling umum
diseluruh dunia. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas kerja dewasa dna
dampak pada perkembangan motorik dan mental pada anak dan remaja. Terdapat bukti
bahwa defisiensi besi tanpa anemia mempengaruhi kognitif pada remaja wanita dan
menyebabkan fatigue pada wanita dewasa. Anemia defisiensi besi dapat mempengaruhi
fungsi visual dan auditorik dan kerkorelasi lemah dengan perkembangan kognitif yang
buruk pada anak.

Prevalensi
Prevalensi anemia defisiensi besi bervariasi tergantung usia, jenis kelamin dan ras. Di
Indonesia, memberikan gambaran prevalen

Metabolisme besi
Besi merupakan elemen yang kritis dalam fungsi semua sel, meskipun jumlah besi
yang dibutuhkan oleh jaringan individu bervariasi selama perkembangan individu.
Pada waktu yang sama, tubuh harus melindungi dirinya dari besi bebas yang sangat
toksik dan berperan dalam reaksi kimia yang membentuk radikal bebas seperti O 2- atau
OH-.
Mayoritas besi pada mamalia adalah membawa oksigen sebagai bagian dari
hemoglobin. Oksigen juga diikat oleh mioglobin otot. Besi merupakan elemen kritis
pada enzim yang mengandung elemen besi (sistem sitokrom pada mitokondria). Tanpa
besi, sel kehilangan kapasitas mereka untuk mengangkut elektron dan metabolisme
energi. Pada sel erithroid, sintesis hemoglobin terganggu menyebabkan anemia dan
berkurangnya deliveri oksigen ke jaringan.

Siklus besi pada manusia

Gambar 1 : Pertukaran besi internal

Absorpsi besi dari diet atau dilepaskan dari simpanan sirkulasi dari simpanan di
plasma terikat pada transferrin, merupakan protein transport besi. Transferin merupakan
glikoprotein bilobus dengan dua sisi pengikat besi. Transferin membawa besi dengan 2
bentuk, yaitu monoferric (1 besi atom) atau diferric (2 atom besi). Pergantian transferrin
bound iron sangat cepat, sekitar 60 90 menit. Karena hampir semua besi ditransport oleh
transferin ditransportasikan ke sumsum tulang, clearance time dari transferrin bound iron
dari sirkulasi dipengaruhi oleh level besi plasma dan aktivitas sumsum tulang. Ketika
eritropoiesis terstimulasi, kebutuhan akan besi meningkat dan clearance time besi dari
sirkulasi menurun. Dengan supresi eritropoiesis, level plasma besi meningkat dan waktu
paruh clearance time memanjang beberapa jam.
Kompleks besi-transferin bersirkulasi di plasma hingga berinteraksi dengan reseptor
transferin spesifik pada permukaan sumsum sel eritroid.

Transferin diferric memiliki

afinitias paling tinggi terhadap reseptor transferin, apotransferin (tidak membawa besi)
memiliki afinitias yang sangat kecil. Sel yang memiliki jumlah reseptor transferin yang
paling besar adalah eritroblast yang sedang berkembang. Didalam sel eritroid, kelebihan
jumlah besi yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin terikat kepada protein apoferritin
membentuk ferritin.

Pada individu normal, rata rata waktu hidup sel darah merah adalah 120 hari. Pada
akhir masa hidupnya, sel darah merah dikenali oleh sel di sistem retikuloendotelial (RE)
dan mengalami fagositosis. Dalam sel RE, hemoglobin yang berasal dari sel darah merah
dirusak, globin dan protein lainnya dikembalikan kepada pool asam amino, besi digunakan
kembali untuk eritropoiesis. Pada anemia hemolitik ekstravaskuler, destruksi sel darah
merah meningkat, tetapi besi digunakan kembali untuk sintesis hemoglobin. Sebaliknya
pada hemolisis intravaskuler atau anemia karena perdarahan, produksi sel darah merah
terbatas pada jumlah besi yang dapat dimobilisasi dari simpanan.
Pada anemia karena perdarahan atau hemolisis, terjadi peningkatan kebutuhan besi,
sedangkan pada kondisi inflamasi menganggu pelepasan besi dari simpanan dan
menyebabkan penurunan yang cepat pada serum besi.

Stadium defisiensi besi


Progresi defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 stadium.

Stadium pertama

merupakan negative iron balance, dimana kebutuhan besi melebihi kemampuan tubuh
untuk menyerap besi dari diet. Stadium ini hasil dari berbagai mekanisme fisiologis,
termasuk perdarahan, hamil, pertumbuhan yang cepat pada remaja atau intake besi
yang tidak adekuat. Perdarahan lebih dari 10 20ml sel darah merah perhari lebih
besar dari jumlah besi yang dapat diserap dari diet normal. Pada keadaan ini defisit
besi harus dibantu oleh mobilisasi besi dari simpanan retikuloendotelial.

Selama

periode ini, simpanan besi dicerminkan oleh level serum ferritin atau pewarnaan besi
pada bone marrow aspiration menurun. Selama masih terdapat simpanan besi dan
dapat dimobilisasi, serum besi, total iron binding capacity (TIBC), dan level
protoporphyrin sel darah merah tetap dalam batas normal. Pada stadium ini, morfologi
sel darah merah tetap normal.
Ketika simpanan besi mulai mengalami deplesi, serum besi mulai turun. Secara
bertahap meningkatnya TIBC dan juga level protoporphyrin sel darah merah. Dengan
definisi, simpanan besi pada sumsum tulang tidak ada ketika level serum ferritin <15
g/L. Selama serum besi dalam batas normal, sintesis tidak terpengaruh meskipun
6

simpanan besi berkurang. Ketika saturasi transferin turun hingga 15 20%, sintesis
hemoglobin menjadi terganggu.

Periode ini disebut iron deficient erythropoiesis.

Evaluasi yang baik pada hapusan darah tepi menunjukkan sel mikrositer.

Secara

bertahap, hemoglobin dan hematokrit mulai turun dan menggambarkan anemia


defisiensi besi. Saturasi transferin pada keadaan ini 10 15%.
Ketika terdapat anemia sedang (hemoglobin 10 13 g/dL), sumsum tulang tetap
hipoproliferasi. Dengan anemia berat (hemoglobin 7 8 g/dL), hypochromia dan
mikrositosis menjadi lebih menonjol, sel target dan poikilositosis terlihat pada hapusan
darah dan bentuk cigar atau pensil dan sumsum tulang eritroid menjadi meningkat
secara tidak efektif. Konsekuensinya, dengan anemia defisiensi berat dan lama, terjadi
hiperplasia eritroid pada sumsum tulang daripada hipoproliferasi.

Gambar 2 : Stadium anemia defisiensi besi pada pemeriksaan laboratorium

Penyebab defisiensi besi


Kondisi yang berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan besi atau menurunnya intake
besi atau absorpsi yang dapat menyebabkan defisiensi besi.

Penyebab defisiensi besi


Meningkatnya kebutuhan besi
Pertumbuhan yang cepat pada bayi dan remaja
Kehamilan
Terapi eritropoietin
Meningkatnya iron loss
Perdarahan kronis
Menstruasi
Perdarahan akut
Donor darah
Phlebotomi pada terapi polycithemia vera
Penurunan intake atau absorpsi besi
Diet yang tidak adekuat
Penyakit malabsorpsi (crohn disease)
Malabsorpsi post operasi (postgastrectomy)
Inflamasi akut atau kronik

Terapi anemia

Transfusi sel darah merah


Transfusi merupakan terapi pada individu dengan gejala anemia, instabilitas
kardiovaskular, kehilangan darah yang berlanjut dan memerlukan intervensi yang
segera. Transfusi yang diberikan tidak hanya memperbaiki anemia secara akut, tetapi
sel darah merah yang ditransfusi memberikan sumber besi untuk digunakan kembali,
diasumsikan bahwa tidak ada perdarahan yang berlanjut. Rumus yang digunakan untuk
menghitung kebutuhan tranfusi adalah PRC = 3 x BB x

Hb

Daftar Pustaka
1.
Dennis K, Fauci A, Kasper D, Longo D, et al. Harrisons Principles of Internal
Medicine. 18th ed. United States of America: McGraw Hill; 2012.
2.
Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
5ed ed. Jakarta Pusat: Interna Publishing; 2009.
3.
Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia Defisiensi Besi. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 5ed ed. Jakarta Pusat: Interna Publishing; 2009.

Vous aimerez peut-être aussi