Vous êtes sur la page 1sur 19

ANALISIS SPASIAL KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE

DI KOTA SEMARANG
Disusun Guna Memenuhi Tugas Manajemen Lingkungan
Dosen Pengampu: Arum Siwiendrayanti, S.KM, M.Kes

Disusun Oleh :

Ganies Pradhitya S

(6411412231)

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang

cenderung meningkat jumlah kasusnya dan penyebarannya, serta sering menimbulkan


kejadian luar biasa dan kematian. DBD menular yang disebabkan oleh virus dengue yang
ditularkan melalui nyamus Aedes yang cenderung semakin luas penyebarannya sejalan
dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk (Permenkes, 1992). Penyebaran
geografis dari vektor nyamuk telah menyebabkan munculnya DBD dalam 25 tahun
terakhir dengan perkembangan hiperendemisitas pada pusat perkotaan di daerah tropis.
(WHO,2012)
. Berdasarkan data yang didapat dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati
urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, menurut
WHO sejak tahun tahun 1968 hingga tahun 2009, Indonesia merupakan negara dengan
kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (WHO,2012). Seluruh wilayah Indonesia,
mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit DBD karena virus penyebab dan nyamuk
penularnya tersebar luas, baik di rumah-rumah maupun di tempat umum, kecuali yang
ketinggiannya lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut (Permenkes, 1992).
Penyakit DBD masih merupakan permasalahan yang serius di Provinsi Jawa Tengah.
Angka kesakitan DBD di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012 sebesar 19,29/100.000
penduduk, meningkat bila dibandingkan tahun 2011 (15,27/100.000 penduduk) dan masih
dalam target nasional yaitu <20/100.000 penduduk. Sedangkan angka kematian pada tahun
2012 sebesar 1,52% lebih tinggi dari target nasional yaitu 1%. (Dinkesprov, 2012)
Kota Semarang merupakan salah satu daerah endemis penyakit DBD dengan
menduduki peringkat ketiga IR DBD Jawa Tengah setelah Kabupaten Jepara dan Kota
Magelang. Incidence Rate (IR) DBD Kota Semarang dari Tahun 2006 sampai dengan
Tahun 2013 selalu jauh lebih tinggi dari IR DBD Jawa Tengah dan IR DBD Nasional.
Tahun 2013 IR DBD Kota Semarang dua kali lebih tinggi dari IR DBD Jawa Tengah.
Tahun 2013 jumlah kasus DBD sejumlah 2.364 kasus atau naik 89,11% dari 1.250 kasus
pada tahun 2012. Jumlah Kematian pada tahun 2013 27 kasus atau naik 22,73% dari tahun
2012 yang berjumlah 22 kasus, tetapi CFR turun dari 1,80 % pada tahun 2012 turun
menjadi 1,14 pada Tahun 2013 karena jumlah penderita pada Tahun 2013 meningkat.
(DKK, 2013)
Kejadian DBD dapat menimbulkan kematian dan Kejadian Luar Biasa (KLB), oleh
karena itu kejadian DBD perlu diatasi berdasarkan faktor yang dapat berhubungan dengan

kejadian DBD. Kejadian DBD yang tinggi dapat dipengaruhi oleh mobilitas serta
kepadatan penduduk (Putri, 2008).
Faktor kepadatan penduduk dapat berhubungan dengan kejadian DBD di suatu
wilayah. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Daud (2005) di Kota Palu
dengan desain cross sectional melalui analisis spasial diketahui bahwa kepadatan
penduduk berhubungan dengan kejadian DBD. Penelitian oleh Suyasa et al (2007) di Kota
Denpasar juga menunjukan bahwa kepadatan penduduk berhubungan dengan kejadian
DBD.
Program penanggulangan DBD seperti penyelidikan epidemiologi DBD dan
Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) DBD berdampak pada angka kejadian DBD.
Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Hairani (2009) di Kota Depok dengan
desain ecological study melalui analisis spasial, diketahui bahwa semakin besar cakupan
penyelidikan epidemiologi DBD maka semakin rendah angka kejadian DBD. Adapun
kegiatan PJB dapat mengetahui kepadatan jentik vektor di suatu lingkungan. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Erliyanti (2008) di Kota Metro Provinsi Lampung
diketahui bahwa kepadatan jentik vektor berhubungan dengan angka kejadian DBD.
Penyelesaian masalah DBD dapat dilakukan dengan teknis analisis manajemen
penyakit berbasis wilayah dengan analisis spasial (Achmadi, 2005). Pemanfaatan analisis
spasial kejadian DBD diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mengetahui pola
penyebaran penyakit DBD sehingga dapat menyelesaikan masalah DBD berdasarkan luas
wilayah. Sebagaimana pemanfaatan analisis spasial yang telah dilakukan di Dinas
Kesehatan Provinsi Sematera Selatan oleh Hasyim (2009), dapat memperlihatkan pola
penyebaran DBD melalui pemetaan dan dihubungkan dengan determinan lain seperti
kegiatan upaya pengendalian DBD yang telah dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan.
1.2.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana distribusi spasial terhadap pola dan luas penyebaran kejadian DBD di
Kota Semarang tahun 2013?
2. Bagaimana distribusi pola penyebaran DBD menurut kondisi topografi di Kota
Semarang tahun 2013?
3. Bagaimana distribusi kejadian DBD berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin di
Kota Semarang tahun 2013?
4. Bagaimana distribusi kejadian DBD berdasarkan kepadatan penduduk dan kepadatan
jentik vektor di Kota Semarang tahun 2013?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui penyebaran kejadian DBD di Kota Semarang tahun 2013.

1.3.2

Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi spasial terhadap pola dan luas penyebaran kejadian
DBD di Kota Semarang tahun 2013.
2. Mengetahui distribusi pola penyebaran DBD menurut kondisi topografi
di Kota Semarang tahun 2013
3. Mengetahui distribusi kejadian DBD berdasarkan kelompok umur dan
jenis kelamin di Kota Semarang tahun 2013.
4. Mengetahui distribusi kejadian DBD berdasarkan kepadatan penduduk
dan kepadatan jentik vektor di Kota Semarang tahun 2013

BAB II
HASIL
2.1 Karakteristik Wilayah Penelitian
2.1.1 Peta Wilayah
Kota Semarang teletak antara garis 6o50 7o10 Lintang Selatan dan garis
109o35 110o50 Bujur Timur. Dibatasi sebelah barat dengan Kabupaten Kendal,
sebelah timur dengan Kabupaten Demak, sebelah Selatan dengan Kabupaten Semarang
dan sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa dengan panjang garis pantai meliputi 13,6
km. Ketinggian Kota Semarang terletak antara 0,75 sampai 348,00 di atas garis pantai.

Gb 1. Peta Kota Semarang

Secara administratif, Kota Semaranng terbagi atas 16 wilayah Kecamatan dan


177 Kelurahan. Luas wilayah Kota Semarang tercatat 373,70 km2. Luas yang ada terdiri
dari 39,56 km2 (10,59%) tanah sawah dan 334,14 km2 (89,41%) bukan lahan sawah.
Menurut penggunaannya, luas tanah sawah terbesar merupakan tanah sawah tadah
hujan (53,12%) dan hanya sekitar 19,97% nya yang dapat ditanami 2 (dua) kali.
Lahan kering sebagian besar digunakan untuk tanah perkarangan untuk bangunan
dan halaman sekitas, yaotu sebesar 42,17% dan total lahan bukan sawah.

2.1.2

Kependudukan
Berikut adalah jumlah penduduk dan luas wilayah Kota Semarang :
Kecamatan

Luas

Jum.

Kepadatan

(Km2)

Penduduk

(Jiwa/Km2)

Semarang

6,05

71.125

42.953

Tengah
Semarang

11,35

127.945

8.506

Utara
Semarang

7,58

78.750

10.389

Timur
Semarang

8,48

84.103

9.917

Selatan
Semarang

18,74

152.957

8.163

Barat
Gayamsari
Candisari
Gajahmungku

6,36
5,56
8,53

273.179
76.032
58.533

42.953
13.674
6.864

Genuk
Pedurungan
Tembalang
Banyumanik
Gunungpati
Mijen
Ngaliyan
Tugu

27,98
20,72
44,20
25,13
53,99
62,15
32,07
31,29

92.234
176.253
106.090
135.689
58.130
38.843
92.548
24.400

3.296
8.506
2.400
5.399
1076
624
2.885
779

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa Kecamatan Semarang Tengah,


Kecamatan Gayamsari memiliki kepadatan penduduk yang tinggi yaitu >40.000
jiwa/km2. Sedangkan pada Kecamatan Mijen dan Kecamatan Tugu memiliki kepadatan
penduduk yang rendah yaitu <1000 jiwa/km2.
2.2 Kejadian DBD di Kota Semarang
2.2.1 Morbiditas dan Mortalitas Kejadian DBD
Morbiditas dan mortalitas kejadian DBD dapat diketahui melalui jumlah kasus
kejadian DBD serta jumlah meninggal akibat DBD.
Tahun 2013 jumlah kasus DBD sejumlah 2.364 kasus atau naik 89,11% dari
1.250 kasus pada Tahun 2012. Jumlah Kematian pada Tahun 2013 27 kasus atau naik
22,73% dari Tahun 2012 yang berjumlah 22 kasus, tetapi CFR turun dari 1,80 %
pada Tahun 2012 turun menjadi 1,14 pada Tahun 2013 karena jumlah penderita pada
Tahun 2013 meningkat.
Berdasarkan tempat kejadian, Incidence Rate DBD Kecamatan Tembalang
dengan 218,20 per 100.000 penduduk kembali menduduki peringkat IR DBD
Kecamatan Tertinggi Kota Semarang setelah pada Tahun 2012 berada di peringkat
ketiga. Pada urutan kedua Kecamatan Ngaliyan dengan IR 217 dan Kecamatan
Genuk diurutan ketiga dengan IR DBD 195,52. Kecamatan Semarang Utara dengan
IR 72,91 menjadi Kecamatan dengan IR DBD terendah untuk kedua kalinya secara
beruntun pada Tahun 2012 dan 2013.

Gambar 3 Peta Capaian IR DBD Th 2013


2.2.2

Pola Penyebaran Kejadian DBD Menurut Topografi


Berikut data ketinggian tempat Kota Semarang :

Dari hasil analisis korelasi penelitian yang sama sebelumnya, kekuatan hubungan
topografi wilayah dan kasus DBD adalah kuat dan berlangsung secara negatif, artinya
semakin rendah topografi suatu wilayah akan memungkinkan peningkatan Kasus DBD.
Pada suhu udara yang lebih tinggi dan kelembaban yang lebih rendah nyamuk Ae.
aegypti betina di wilayah yang memiliki topografi lebih tinggi, mempunyai jangka
hidup lebih lama, waktu siklus gonotrofik lebih pendek dan siklus gonotrofik lebih
banyak daripada di wilayah yang memiliki topografi lebih rendah, oleh karena itu

potensinya sebagai vektor dalam penularan penyakit Demam Berdarah Dengue sangat
besar. Peningkatan populasi nyamuk juga dilaporkan pada ketinggian 220 m di
Columbia, sedangkan di Mexico pada ketinggian 1500 m dengan suhu tertentu,
berkembang tidak efektif, oleh karena itu iklim dapat mengubah distibusi dan siklus
dari vektor.
2.2.3

Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur
Jumlah kejadian DBD di wilayah Kota Semarang menurut jenis kelamin dan
kelompok umur dapat disajikan dalam tabel di bawah ini:
Variabel
Jenis

IR

1.197

50,63

67,88

1.167
2364

49,37
100

66,21
134,09

Umur
<1 tahun
1-4 tahun
5-9 tahun
10-14

118
378
686
772

5
16
29
20

6,70
21,45
38,88
26,81

tahun
15-19

213

12,06

tahun
20-24

142

8,04

tahun
25-29

70

4,02

tahun
30-34

70

4,02

tahun
35-39

70

4,02

tahun
40-44

47

2,68

tahun
45-49

26

1,34

tahun
50-54

26

1,34

tahun
55-59

47

2,68

Kelamin
Perempua
n
Laki-laki
Total
Kelompok

tahun
>60 tahun
7
0
0,40
Total
2364
100
134,09
Sumber data dinkes 2013
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa pada tahun 2013 penyakit DBD paling
banyak diderita oleh wanita. Sedangkan berdasarkan golongan umur terbanyak pada
golongan umur 5-9 tahun yaitu sebanyak 686 kasus atau 29% dan terendah pada
golongan umur >60 tahun, sebanyak 7 kasus atau 0,3%. Jika dilihat dari sudut pandang
lebih luas lagi maka golongan usia balita dan usia sekolah yang palin dominan.
2.2.4

Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk dan


Kepadatan Jentik Vektor
Jumlah kepadatan jentik vektor dapat dilihat melalui rata-rata nilai Angka Bebas
Jentik (ABJ). Suatu wilayah memiliki kepadatan jentik vektor tinggi apabila nilai ABJ
di bawah 95%. Adapun jumlah kejadian DBD berdasarkan kepadatan penduduk dan
kepadatan jentik vektor do Kota Semarang:
Kecamatan
Semarang Tengah
Semarang Utara

IR DBD
80,18
72,91

Kepadatan Penduduk
42.953
8.506

ABJ
86
84,7
4

Semarang Timur

97,05

10.389

81,6
2

Semarang Selatan

175,98

9.917

83,4
6

Semarang Barat

87,43

8.163

Gayamsari

123,57

42.953

76,4
8
91,0
8

Candisari

127,80

13.674

73,6
2

Gajahmungkur

163,45

6.864

61,9
4

Genuk

195,52

3.296

Pedurungan

186,74

8.506

82,7
6
81,5
8

Tembalang
Banyumanik

218,20
145,15

2.400
5.399

78,2
81,2
2

Gunungpati

111,56

1076

Mijen

75,83

624

83,3
2
82,0
9

Ngaliyan

217

2.885

76,5
5

Tugu

79,81

779

83,2
6

Jika dilihat berdasarkan wilayah kelurahan, diketahui bahwa pada tahun 2013 IR
DBD paling tinggi terjadi pada wilayah dengan kepadatan penduduk yang rendah yaitu
<5000 jiwa/km2 sera nilai ABJ yang paling rendah atau kepadatan jentik vektor tinggi
yakni Kecamatan Tembalang.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Analisis Spasial
3.1.1 Kejadian DBD di Kota Semarang
Penyakit DBD merupakan penyakit infeksi yang banyak ditemukan di daerah
tropis. Penyakit DBD sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB)

dan

mengakibatkan kematian pada masyarakat. Penyakit DBD termasuk penyakit infeksi


yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue mengakibatkan spektrum
manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling ringan , deman dengue (DB),
DBD, dan demam dengeu yang disertai renjatan atau Dengue Shock Sundrome (DSS)
(Chandra,2010)
Permasalahan penyakit DBD di suatu wilayah dapat diketahui dengan melihat
jumlah kejadian DBD serta jumlah meninggal akibat DBD. Sedangkan angka kejadian
DBD suatu wilayah dapat dilihat dari angka Incidence Rate (IR) dan angka kematian
terhadap kasus DBD di wilayah tersebut di wilayah tersebut dilihat dari Case Fatality
Rate (CFR) DBD.
Diketahui IR DBD di wilayah Kota Semarng dari Tahun 2006 sampai dengan
Tahun 2013 selalu jauh lebih tinggi dari IR DBD Jawa Tengah dan IR DBD Nasional.
Tahun 2013 IR DBD Kota Semarang dua kali lebih tinggi dari IR DBD Jawa Tengah.

Kondisi lingkungan geografis di wilayah Kota Semarang juga sangat mendukung


berkembangbiaknya virus DBD sehingga kejadian DBD tinggi. Kondisi lingkungan
wilayah Kota Semarang dengan banyak kompleks perumahan penduduk yang
biasanya memiliki pekarangan rumah atau tempat penampungan air dapat berisiko
untuk menjadi sumber penularan DBD. Hal ini disebabkan karena banyaknya tempat
yang mudah menjadi sarang nyamuk, seperti pekarangan rumah, tempat penampungan
air dan kalueng-kaleng kosong yang dibuang sembarangan, serta tempat minum
burung atau tatakan pot bungan yang kurang pengontrolan kebersihannya.
Sebagaimana Achmadi (2011) menyebutkan bahwa larva nyamuk penular DBD dapat
ditemukan di air bersih, wadah yang dibuat oleh manusia seperti ban, kaleng, tangki
3.1.2

air hujan, tong air, vas dan botol.


Pola Penyebaran Kejadian DBD Menurut Topografi
Penyakit DBD dapat ditularkan oleh nyamuk di wilayah dengan karakteristik
tertentu. Spesies nyamuk penular DBD dapat ditemukan di wilayah dengan ketinggian
1000 m di atas permukaan laut.sebagaimana hasi dari observasi yang telah dilakukan,
diketahui bahwa wilayah Kota Semarang memiliki ketinggian yang bervariasi dari
0,75 mdpl hingga 348 mdpl, hal tersebut menandakan bahwa spesies nyamuk penular
DBD dapat hidup dan berkembang biak dengan baik. Dengan demikian, Kota
Semarang termasuk daerah yan rawan terjangkit penyakit DBD.
Sesungguhnya penyakit DBD di Kota Semarang dapat dicegah agar tidak
menyebabkan KLB melalui kegiatan penanggulangan. Penanggulanganpenyakit DBD
bisa dilakukan secara efektif, apabila dilakukan sesuai kejadian di lapangan seperti
pemetaan penyakit.
Menurut Achmadi (2005) pemetaan penyakit bisa memberikan informasi
geografis yang cukup kompleks tentang kejadian penyakit, sedangkan menurut Lai et
al (2009) pemetaan penyakit dapat memberikan informasi penyakit berdasarkan
fenomena geografis.
Pemetaan penyakit dapat dimanfaatkan untuk menyusun langkah penanggulangan
DBD dengan menerapkan teknik analisis spasial. Pemanfaatan teknik analisis spasial
dapat memberikan informasi mengenai lokasi penyebaran kejadian DBD dan pola
penyebaran yang sesungguhnya melalui tampilan muka bumi.
Berdasarkan hasil observasi, diketahui bahwa penyebaran kejadian DBD di Kota
Semarang dapat digambarkan melalui titik sebaran berdasarkan lokasi geografis di
lapangan. Sebagaimana hasil yang didapatkan, diketahui bahwa kejadian DBD di
Kota Semarang pada tahun 2013 berpola mengelompok.

Apabila disuatu wilayah memiliki pola penyakit berkelompok dan jarak yang
berdekatan secara geografis, hal tersebut dapat menandakan probabilitas faktor
hubungan sebab akibat terhadap kejadian DBD semakin bertambah. Sehingga perlu
adanya analisis untuk mencari sumber penyakit DBD khususnya terkait faktor
individu.
Pertambahan luas area penyebaran kejadian DBD menandakan bahwa wilayah
risiko penularan DBD semakin meluas. Informasi tentang luas wilayah penularan
DBD dapat digunakan petugas Puskesmas untuk meningkatkan cakupan pelayanan
kesehatan melalui kegiatan penanggulangan DBD. Kegiatan penanggulangan DBD
yang dapat dilakukan antara lain Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) dan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD.
Pola penyebaran kejadian DBD yang telah diketahui melalui analisi spasial dapat
dimanfaatkan untuk penanggulangan KLB DBD dengan cara melakukan penyelidikan
yang mengarah pad sumber yang ditemukan. Informasi mengenai pola penyebaran
kejadian DBD sebenarnya juga dapat digunakan untuk menyusun strategi intervensi
program kesehatan. Pola penyakit DBD yang berkelompok di Kota Semarang
sebenarnya mempermudah petugas Puskesmas untuk melakukan intervensi program
kesehatan dibanding pola menyebar.
3.1.3

Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Menurut Jenis Kelamin dan Umur


Penyakit DBD dapat diderita oleh siapa saja baik muda maupun tua, anakanak atau orang dewasa, laki-laki juga wanita. Akan tetapi selama satu dekade
terakhir, penyakit DBD cenderung mengalami kenaikan proporsi pada kelompok
dewasa dibanding kelompok usia 5-14 tahun (Kemenkes RI,2014).
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, diketahui bahwa kejadian
penyakit DBD di Kota Semarang dapat diderita oleh laki-laki maupun perempuan.
Pada tahun 2013 penyakit DBD paling banyak diderita oleh perempuan.
Berdasarkan kelompok umur, kejadian DBD didominasi oleh kelompok usia
5-9 tahun yang merupakan kelompok umur anak usia sekolah. Anak usia sekolah
dapat tertular DBD baik di lingkungan rumah maupun sekolah. Pada pagi hari anak
sekolah beraktivitas di lingkungan sekolah, sedangkan pada sore hari mereka berada
di rumah. Pola ini sesuai dengan kebiasaan nyamuk penular DBD menggigit manusia.
Kejadian DBD pada kelompok usia dewasa dapat diakibatkan karena aktivitas
luar dan perilaku mobilisasi. Oleh karena itu dibutuhkan analisis lebih lanjut tentang
aktivitas dan perilaku mobilisasi penduduk Kota Semarang

3.1.4

Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Menurut Kepadatan Penduduk dan


Kepadatan Jentik Vektor
Kepadatan penduduk di suatu wilayah bisa berdampak pada penyebaran
penyakit DBD. Penyakit DBD ditularkan melalui vektor nyamuk yang mempunyai
daya terbang hingga jarak 100 meter (WHO,2003). Oleh karena itu, wilayah dengan
kepadatan penduduk yang tinggi menandakan risiko penularan melalui nyamuk harus
diwaspadai, karena kemampuan daya terbang nyamuk yang cukup dekat.
Sebagimana hasi observasi yang diperoleh, diketahui bahwa pada tahun 20122013 IR DBD di Kota Semarang mengalami peningkatan. Angka kejadian DBD di
daerah yang memiliki kepadatan penduduk tinggi cenderung lebih rendah dibanding
daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang rendah. Hal tersebut disebabkan
daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi didominasi dengan wilayah
perumahan denganstatus sosial lebih tinggi sehingga ada kemungkinan penderita
DBD berobat ke Rumah Sakit di luar Kota Semarang dan tid ak tercatat di Dinas
Kesehatan Kota Semarang. Penyebaran penyakit DBD tidak hanya dipengaruhi oleh
kepadatan penduduk melainkan juga dapat dipengaruhi oleh kepadatan jentik vektor
penular DBD. Keberadaan vektor penular DBD dapat diidentifikasi dari kepadatan
jentik vektor, karena siklus perkembangan nyamuk penular DBD tidak membutuhkan
waktu yang lama. Jentik vektor DBDdapat ditemukan pada tempat yang berpotensi
untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes seperti genangan air pada pekarangan rumah
dan tempat penampungan air, kaleng-kaleng bekas, tatakan pot dan lain sebagainya.
Kepadatan jentik vektor di suatu wilyah dapat dilihat dari rata-rata nilai ABJ
yang dihasilkan melalui kegiatan PJB. PJB dilakukan oleh petugas Puskesmas.
Kepadatan jentik yang tinggi ditandai oleh nilai ABJ yang rendah yakni <95%.
Sedangkan keadatan jentik vektor yang rendah ditandai oleh nilai ABJ yang tinggi
yakni >95% (Kemenkes RI, 2011)
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, diketahui bahwa secara deskriprif
menunjukkan bahwa kejadian DBD terjadi pada wilayah dengan kepadatan vektor
tinggi. Pada tahun 2013 di Kota Semarang berada masih di bawah 95%. IR DBD
paling tinggi terjadi pada wilayah dengan ABJ paling rendah. Peneliitian spasial yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa pola penyebaran DBD di wilayah Kota
Semarang berpola mengelompok. Pola penyebaran mengelompok merupakan
indikator bahwa ada konsentrasi habitat vektor, sehingga berpotensi terjadi penularan
setempat.

Penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk menganalisis lebih lanjut antara


kemampuan daya terbang vektor melalui pengamatan terhadap tempat perindukan
vektorDBD dengan kejadian DBD. Analisis distance index dapat mengukur jarak
kejadian DBD dengan tempat perindukan vektor. Analisi distance index diharapkan
dapat memberi informasi adanya hubungan antara pola penyebaran DBD yang
berkelompok dengan kemampuan daya terbang vektor DBD.
3.2 Program WHO
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan penyakit yang masih
mengancam bagi masyarakat yang tinggal di negara tropis dan subtropis. Dalam kurun
lima puluh tahun terakhir, angka kesakitan akibat infeksi virus Dengue terus meningkat,
baik dari segi jumlah maupun penyebarannya. Diperkirakan angka kesakitan global
mencapai 96 juta pertahun dan sekitar 300 juta penduduk terinfeksi dan separuhnya
terjadi di Asia Tenggara. Di Indonesia, meskipun angka kematian akibat infeksi virus
Dengue terus menurun dan telah mencapai di bawah 1 %, angka kesakitan masih sangat
tinggi mancapai 27,6 kasus per-100 ribu penduduk.
Upaya untuk mengatasi penyakit ini terus dilakukan, tetapi hasilnya belum begitu
memuaskan. Upaya itu meliputi pencegahan, termasuk di dalamnya pengedalian vektor
virus Dengue, pengembangan vaksin anti-Dengue, pengembangan model untuk
memprediksi munculnya wabah dan diagnosis yang lebih cepat dan akurat.
Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) RI, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M. Sc.,
Ph.D mengatakan kasus infeksi virus Dengue ini masih tinggi di Indonesia karena banyak
menyerang pada anak-anak. Kendati belum ditemukan vaksin yang efektif untuk
mencegah virus ini, pemerintah bersama perguruan tinggi dan rumah sakit terus berupaya
melakukan upaya pengedalian penyakit ini.
Terkait dengan pengembangan vaksin dan pemetaan penyakit Dengue ini,
pemerintah juga telah membentuk konsorsium kelompok kerja melibatkan berbagai
lembaga riset dan perguruan tinggi seperti Litbangkes, Eijkman Institute for Molecular
Biology, UGM, UI, Unair, IPB, BPPT, LIPI dan Biofarma.
Untuk menanggulangi penyakit DBD ini, WHO telah melakukan program dengan
pendekatan One Health. Penanganan penyakit ini dilakukan melalui kolaborasi
multidisiplin dan multisektor. Beberapa peneliti telah melakukan riset dalam bidang ini
bekerjasama dengan beberapa lembaga riset di luar negeri seperti Australia dan Perancis.
Hal itu pun dilakukan guna memecahkan masalah terkait dengan penyakit Dengue baik
dari aspek pencegahan, pengendalian vektor, diagnosis maupun penanganan pasien
demam berdarah.

3.3 Teori Simpul

Lingkungan Strategis Strategis/politik

Dengan melihat skema diatas, maka patogenesis penyakit dapat diuraikan


menjadi 4 (empat) simpul, yakni :
a. Simpul 1: Sumber Penyakit
Sumber penyakit adalah sesuatu yang secara konstan mengeluarkan agent penyakit.
Agent penyakit merupakan komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan
penyakit baik melalui kontak secara langsung maupun melalui perantara. Pada kasus
penyakit DBD virus dengue berada di simpul 1. Virus dengue merupakan agent biologis
yang dapat menimbulkan seseorang terserang DBD.
b. Simpul 2: Komponen Lingkungan Sebagai Media Transmisi,
Komponen lingkungan berperan dalam patogenesis penyakit, karena dapat
memindahkan agent penyakit. Komponen lingkungan yang menjadi media tranmisi
penularan DBD adalah vektor berupa nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
c. Simpul 3: Penduduk
Pada simpul 3 yaitu melakukan pengamatan terhadap faktor apa saja yang dapat
menghambat atau mempercepat paparan vektor hingga seseorang menjadi sakit.
Pengamatan yang dilakukan adalah dengan mengamati perilaku masyarakat dalam
melakukan PSN di rumah. Status gizi masyarakat juga dilakukan karena semakin bagus
status gizi seseorang maka semakin tahan terhapat suatu paparan penyakit. Pengetahuan
juga berpengaruh karena semakin tinggi pengetahuan maka semakin baik masyarakat
dalam menjaga kebersihan dan menangani hewan vektor.
d. Simpul 4 : Kejadian Penyakit (Dampak)
Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan antara masyarakat dengan
paparan vektor yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Kejadian penyakit ini
dapat diketahui dengan cara pengamatan, pemeriksaan, dan pengendalian bila sudah
berdampak pada kesehatan manusia.
Dampak yang ditimbulkan dari paparan vektor
yaitu seseorang menjadi sakit atau tetap sehat.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan di Kota Semarang, maka simpulan
yang didapat adalah sebagai berikut:
1. Penyebaran kejadian DBD di Kota Semarang paling banyak berada di
Kecamatan Tembalang, penyebaran DBD berpola berkelompok (clustered).
2. Pada tahun 2013 kejadian DBD paling banyak terjadi di wilayah dataran
tinggi yaitu Kecamatan Tembalang.
3. Pada tahun 2013 kejadian DBD paling banyak diderita oleh perempuan dan
kelompok umur 5-9 tahun.
4. IR DBD paling tinggi terjadi pada wilayah dengan kepadatan penduduk
rendah serta nilai ABJ paling rendah atau kepadatan vektor yang tinggi yaitu
Kecamatan Tembalang.
5. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD di Kota Semarang
tahun 2013 yaitu kondisi topografi, kepadatan penduduk dan kepadatan
vektor.

Vous aimerez peut-être aussi