Vous êtes sur la page 1sur 37

ALIRAN

ASYARIYAH
&
MATURIDIYAH
Makalah
Disusun pada tanggal 31 April 2010
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ilmu
Kalam di jurusan Pendidikan Kimia semester 4
yang dibimbing oleh Hasan Basri, M.Ag.

Disusun Oleh:
Nama
Rofa Yulia Azhar
M. Wildan R. B. Y.
Syifa Fauziah

NIM
204 208
137
208 204
126
208 204
146

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2010

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

Kata Pengantar

Bismillahirohmanirohim,
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
nikmat iman dan islam-Nyalah kita masih merasakan nikmatnya kehidupan ini.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada jungjungan kita The Leader of
Moeslim Muhammad saw, kepada keluarganya, sahabatnya dan kepada kita
sekalian selaku umatnya yang setia sampai akhir zaman.
Dalam kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan banyak terima kasih
bagi pihak-pihak yang telah membantu penyusun dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT, yang telah memberikan taufik, rahmat dan hidayahnya


kepada penyusun sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya.
2. Kedua orang tua Penyusun, yang telah memberikan dukungan baik
moril maupun materil kepada penyusun.
3. Hasan Basri, M.Pd selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
arahan dalam penyusunan makalah ini.
4. Dan semua pihak yang telah membantu penyusun dimulai dari
penjaga perpustakaan, penjaga warnet, tukang fotokopi, narasumber
dalam makalah ini serta pihak-pihak lainnya yang telah membantu
penyusun yang tidak mungkin penyusun sebutkan satu-persatu

Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang. Itulah


pribahasa yang kiranya dapat mewakili harapan penyusun dalam makalah ini.
Secercah harapan yang penyusun siratkan dalam makalah ini adalah semoga

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

makalah ini dapat berguna bagi semua pihak, manjadi amal baik bagi penyusun,
menjadi motivator bagi mahasiswa lainnya untuk menyusun makalah yang lebih
baik lagi serta semoga menjadi buah yang manis kelak.
Tidak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan karya yang penyusun
buat ini. Maka dari itu penyusun menantikan saran dan kritik yang membangun
dari semua pihak agar penyusun dapat mengoreksi kesalahan tersebut dan sebagai
bahan pembelajaran bagi penyusun dimasa yang akan datang.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandung, 28 Maret 2010

Penyusun

Daftar Isi

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

Kata Pengantar.......................................................1
Daftar Isi................................................................3
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah..................................................4
2.2 Rumusan Masalah...........................................................4
BAB II Sejarah Asyariyah dan Maturidiyah
2.1 Latar Belakang Asyariyah ............................................6
2.2 Latar Belakang Maturidiyah ............................................13
BAB III Teologi Asyariyah dan Maturidiyah
3.1 Teologi Asyariyah ...........................................................17
3.2 Teologi Maturidiyah ........................................................24
BAB IV Persamaan dan Perbedaan antara Asyariyah dan
Maturidiyah
4.1 Pandangan Mengenai Asyariyah dan Maturidiyah .........31
4.2 Persamaan dan Perbedan antara Asyariyah dan Maturidiyah
31
BAB V Penutup
5.1 Simpulan........................................................................
34
5.2 Kritik dan Saran..............................................................34
Daftar Pustaka........................................................35

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Sebuah kajian atau kritikan terhadap teologi yang berkembang bukanlah
usaha untuk menghilangkan subtansi atau membongkar total terhadap pemikiranpemikiran yang sudah dibangun oleh para teologi yang berkembang di zamannya,
namun untuk melihat kembali apakah pemikiran tersebut masih relevan di
kembangkan pada zaman sekarang yang penuh dengan berbagai macam
krakteristik dan dinamika pemikiran atau pemikiran tersebut perlu dikonstruksi
sehingga mampu berdaptasi dengan kehidupan modern, disamping itu dapat
mengkomparasikan antara beberapa pemikiran para teolog yang berbeda dalam
metodelogi objektifitas dan kemampuan dalam memahami kebenaran /hakekat.
Kajian terhadap teologi Al-Asyariyah dan Al-Maturidiyah disini tidak
dimaksudkan untuk meninggalan aspek-aspek positif dalam teologi Asyariyah
dan Maturidiyah dari praktek keagamaan umat Islam seluruhnya atau
sebagiannya, namun yang diinginkan dalam wacana ini adalah mencoba mengkaji
kebenaran dan keabsahan konsepteologi ini sebagai landasan berfikir dan beramal
umat Islam di masa kini dan mendatang.
Penulis mengutip pandangan Nur Kholis Majid tentang Akidah (teologi
Asariyah). Yang dimaksud akidah, itu apa sih? Istilah itu tidak ada dalam alQuran,. Akidah itu artinya ikatan, sampul iman yang dirumuskan dan diturunkan
dalam ilmu kalam, Ushul al-Dinatau ilmu Tauhid. Dan itu merupakan hasil
presepsi sejarah, Taruhlah akidah yang sangat domenan saat ini, akidah Asyari,
Misalnya sifat dua puluh (wujud, kidam, baqodan seterusnya) itu adalah hasil
kreasi kaum Asyariyah sebagai respon terhadap bahaya banjirnya Hellenisme.
Tapi sebagai mana Al-Attas dalam menghadapi barat, Asyari juga menyerang
Hellinisme dengan menggunakan falsafat Hellenisme .Dan untuk itu, Asyari

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

berjasa. Akidah Asyariyah itu otentik, meskipun perlu di pertanyakan


relevansinya untuk saat ini.
Pandanganseorang tokoh tersebut dapat dilihat, Bahwa tidak menutup
kemungkinan ajaran-ajaran yang sudah tersebar dan mendarah daging di
masyarakat, serta dijadikan idiologi paten yang tidak boleh di otak-atik, masih ada
yang perlu dikritisi dan dirubah, karena banyak pendapat yang juga perlu di
pertanyakan keontetikannya, karena tidak sesuai dengan Naqli ataupun Aqli , hal
ini bertujuan untuk mengkaji sejauh mana relevansi doktrin Asyariyah dan
Maturidiyah terhadap kehidupan umat.
2.2 Rumusan Masalah
Salah satu ciri manusia hidup adalah dengan adanya masalah. Penulis tidak
mengedepankan perbedaan melainkan mencoba memberikan penjelasan yang seobjektif
mungkin terhadap aliran Asyariyah dan Maturidiyah. Penjelasan yang penyusun
sampaikan dalam makalah ini berdasarkan rumusan masalah yang telah penyususn kaji.
Adapun rumusan masalah yang ingin penyusun sajikan dalam makalah ini adalah:
Sejarah Asyariyah dan Maturidiyah
Teologi yang terdapat dalam Asyariyah dan Maturidiyah
Definisi Asyariyah dan Maturidiyah
Perbedaan Asyariyah dan Maturidiyah

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

BAB II
Tapak Tilas Asyariyah dan Maturidiyah

2.1 Latar Belakang Asyariyah


1. Sejarah Asyariyah
Asyariyah adalah satu firqah yang dinisbatkan kepada pemahaman Abul
Hasan Al-Asyari rahimahullahu. Nama asli beliau adalah `Ali bin Isma`il bin
Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Isma`il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin
Burdah bin Musa Al Asy`ary, lebih dikenal dengan Abu Al Hasan Al Asy`ary.
Dilahirkan pada tahun 260 Hijriyah atau 875 Masehi, pada akhir masa daulah
Abbasiyah yang waktu itu berkembang pesat berbagai aliran ilmu kalam,
seperti : al Jahmiyah, al Qadariyah, al Khawarij, al Karamiyah, ar Rafidhah,
al Mu`tazilah, al Qaramithah dan lain sebagainya. Sejak kecil Abul Hasan
telah yatim. Kemudian ibunya menikah dengan seorang tokoh Mu`tazilah
bernama Abu `Ali Al Jubba`i. Beliau (Abul Hasan) seorang yang cerdas,
hafal Al Qur`an pada usia belasan tahun dan banyak pula belajar hadits. Pada
akhirnya beliau berjumpa dengan ulama salaf bernama al Barbahari (wafat
329 H). inilah yang akhirnya merubah jalan hidupnya sampai beliau wafat
pada tahun 324 H atau 939 M dalam usia 64 tahun.

Abu al Hasan al Asy`ary dan Mu`tazilah


Pada mulanya, selama hampir 40 tahun, beliau menjadi penganut
Mu`tazilah yang setia mengikuti gurunya seorang tokoh Mu`tazilah yang juga
ayah tirinya. Namun dengan hidayah Allah setelah beliau banyak
merenungkan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah, beliau mulai
meragukan terhadap ajaran Mu`tazilah. Apalagi setelah dialog yang terkenal
dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Abu `Ali al

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

Jubba`i dan setelah mimpi beliau bertemu dengan Rasulullah, beliau secara
tegas keluar dari Mu`tazilah.
Inti ajaran faham Mu`tazilah adalah dasar keyakinan harus bersumber
kepada suatu yang qath`i dan sesuatu yang qath`i harus sesuatu yang masuk
akal (rasional). Itulah sebabnya maka kaum Mu`tazilah menolak ajaran AlQur`an apalagi as Sunnah yang tidak sesuai dengan akal (yang tidak
rasional). Sebagaimana penolakan mereka terhadap mu`jizat para nabi,
adanya malaikat, jin dan tidak percaya adanya takdir. Mereka berpendapat
bahwa sunnatullah tidak mungkin dapat berubah, sesuai dengan firman Allah:

Tidak akan ada perubahan dalam sunnatullah (Al Ahzab:62; lihat


juga Fathir:43 dan Al Fath:23).

Itulah sebabnya

mereka tidak percaya

adanya mu`jizat, yang

dianggapnya tidak rasional. Menurut mereka bila benar ada mu`jizat berarti
Allah telah melangar sunnah-Nya sendiri.
Sudah barang tentu pendapat seperti ini bertentangan dengan apa yang
dikajinya dari al Qur`an dan as Sunnah. Bukankah Allah menyatakan bahwa:

(Allah) melakukan segala apa yang Dia kehendaki (Hud : 107).

Untuk kehidupan manusia Allah telah memberikan hukum yang


dinmakan sunnatullah dan bersifat tetap. Tetapi bagi Allah berlaku hukum
pengecualian, karena sifat-Nya sebagai Pencipta yang Maha Kuasa. Allah

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

adalah Penguasa mutlak. Hukum yang berlaku bagi manusia jelas berbeda
dengan hukum yang berlaku bagi Allah. Bukankah Allah dalam mencipta
segala sesuatu tidak melalui hukum sunnatullah yang berlaku bagi kehidupan
manusia ? Allah telah menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada,
menciptakan dari suatu benda mati menjadi benda hidup. Adakah yang
dilakukan Allah dapat dinilai secara rasional ?
Salah satu dialog beliau dengan Abu Ali Al Jubba`i yang terkenal adalah
mengenai, apakah perbuatan Allah dapat diketahui hikmahnya atau di
ta`lilkan atau tidak. Faham Mu`tazilah berpendapat bahwa perbuatan Allah
dapat dita`lilkan dan diuraikan hikmahnya. Sedangkan menurut pendapat
Ahlus Sunnah tidak. Berikut ini dialog antara Abu Al Hasan dengan Abu Ali
al Jubba`i:

A1:Bagaimana kedudukan orang mukmin dan orang kafir menurut tuan?


B2 :Orang mukmin mendapat tingkat tinggi di dalam surga karena imannya
dan orang kafir masuk ke dalam neraka.
A

:Bagaimana dengan anak kecil?

:Anak kecil tidak akan masuk neraka.

:Dapatkah anak kecil mendapatkan tingkat yang tinggi seperti orang


mukmin?

:Tidak, karena tidak pernah berbuat baik.

1 Sebagai Abu al Hasan


2 Sebagai Abu Ali al Jubai

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

:Kalau demikian anak kecil itu akan memprotes Allah kenapa ia tidak
diberi umur panjang untuk berbuat kebaikan.

:Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan engkau hidup, engkau akan
berbuat kejahatan atau kekafiran sehingga engkau tidak akan
selamat.

:Kalau demikian, orang kafir pun akan protes ketika masuk neraka,
mengapa Allah tidak mematikannya sewaktu kecil agar selamat dari
neraka.

Abu Ali Al Jubba`i tidak dapat menjawab lagi, ternyata akal tidak dapat
diandalkan. Abu al Hasan Al Asy`ary dalam meninjau masalah ini selalu
berdasar kepada sunnah Rasulullah. Itulah sebabnya maka madzhab yang
dicetuskannya lebih dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jama`ah.

Abu al Hasan al Asy`ary Pencetus Faham Asy`ariyah


Namun karena pengaruh yang cukup dalam dari faham Mu`tazilah, pada
mulanya cetusan pendapat Abu Al-Hasan sedikit banya dipengaruhi oleh Ilmu
Kalam. Keadaan seperti ini sangat dimaklumi karena tantangan yang beliau
hadapi adalah kelompok yang selalu berhujjah kepada rasio, maka usaha
beliau untuk koreksi terhadap Mu`tazilah juga berusaha dengan memberikan
jawaban yang rasional. Setidak-tidaknya beliau berusaha menjelaskan dalildalil dari Al Qur`an atau As Sunnah secara rasional. Hal ini dapat dilihat
ketika beliau membahas tentang sifat Allah dalam beberapa hal beliau masih
menta`wilkan sebagiannya. Beliau menyampaikan pendapatnya tentang
adanya sifat Allah yang wajib menurut akal.

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

Pada mulanya manhaj Abul Hasan Al Asy`ary dalam bidang aqidah


menurut pengakuan secara teoritis pertama berdasarkan naqli atau wahyu
yang terdiri dari Al Qur`an dan Al Hadits Al Mutawatir, dan kedua
berdasarkan akal. Namun dalam prakteknya lebih mendahulukan akal
daripada naql. Misalnya dalam menetapkan dua puluh sifat wajib bagi Allah,
diawali dengan menetapkan hanya tiga sifat wajib, kemudian berkembang
dalam menyimpulkan menjadi lima sifat, tujuh sifat, dua belas sifat atau dan
akhirnya dua puluh sifat atau yang lebih dikenal dengan Dua puluh Sifat
Allah (7 sifat hakiki, 13 sifat majazi). Penetapan sifat hakiki dan majazi
adalah berdasarkan rasio.
Penetapan tujuh sifat hakiki tersebut karena bila Allah tidak memilikinya
berarti meniadakan Allah. Ketujuh sifat hakiki tersebut adalah hayyun
bihayatin, alimun bi ilmin, qadirun bi qudratin, sami`un bi sam`in, basyirun
bi basharin, mutakallimun bi kalamin dan muridun bi iradatin. Sedangkan
mengenai tiga belas sifat majazi bila dikatakan sebagai sifat hakiki berarti
tasybih atau menyamakan Allah dengan makhluk.
Ketika ditanyakan: Bagaimana menetapkan sifat hakiki tersebut,
sedangkan sifat itu secara lafziah sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh
makhluk? Jawabannya: Sifat-sifat tersebut dari segi lafaz sama dengan
makhluk, namun bagi Allah SWT mempunyai arti `maha` sesuai dengan
kedudukan Allah yang Maha Kuasa. Hal inilah yang menjadi bahan
pertentangan dikemudian hari.

Abu Al Hasan Al Asy`ary kembali ke Salaf


Pada akhirnya setelah banyak berdialog dengan seorang bernama Al
Barbahari (wafat 329 H), Abul Hasan Al Asy`ary menyadari kekeliruannya
dalam pemahaman aqidah terutama dalam menetapkan sifat-sifat Allah dan
hal lain tentang ghaibiyat. Empat tahun sebelum beliau wafat beliau mulai

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

menulis buku Al Ibanah fi Ushul Al-Diyanah merupakan buku terakhir beliau


sebagai pernyataan kembali kepada faham Islam sesuai dengan tununan salaf.
Namun buku ini tidak sempat terbahas secara luas di kalangan umat Islam
yang telah terpengaruh oleh pemikiran beliau sebelumnya.
Untuk mengenal lebih jauh tentang kaidah pemikiran beliau di bidang
aqidah sesudah beliau kembali ke metode pemikiran salaf yang kemudian
lebih dikenal dengan Salafu Ahli As Sunnah wa Al Jama`ah, beliau
merumuskannya dalam tiga kaidah sebagai berikut:

a) Memberikan kebebasan mutlak kepada akal sama sekali tidak dapat


memberikan pembelaan terhadap agama. Mendudukkan akal seperti ini
sama saja dengan merubah aqidah. Bagaimana mungkin aqidah
mengenai Allah dapat tegak jika akal bertentangan dengan wahyu.
b) Manusia harus beriman bahwa dalam urusan agama ada hukum yang
bersifat taufiqi, artinya akal harus menerima ketentuan wahyu. Tanpa
adanya hukum yang bersifat taufiqi maka tidak ada nilai keimanan.
c) Jika terjadi pertentangan antara wahyu dan akal maka wahyu wajib
didahulukan dan akal berjalan dibelakang wahyu. Dan sama sekali tidak
boleh mensejajarkan akal dengan wahyu apalagi mendahulukan akal atas
wahyu.

Adapun manhaj Abul Hasan dalam memahami ayat (tafsir) adalah


sebagai berikut:
Menafsirkan ayat dengan ayat.
Menafsirkan ayat dengan hadits

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

Menafsirkan ayat dengan ijma`.


d) Menafsirkan ayat dengan makna zahir tanpa menta`wilkan kacuali ada
dalil.
e) Menjelaskan bahwa Allah menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab,
untuk itu dalam memahami Al Quran harus berpegang pada kaidah-kaidah
bahasa Arab.
f) Menafsirkan ayat dengan berpedoman kepada asbabun-nuzul dari ayat
tersebut
g) Menjelaskan bahwa isi ayat Al Quran ada yang umum dan ada yang
khusus, kedua-duanya harus ditempatkan pada kedudukannya masingmasing.

Banyak sekali buku-buku karya Abul Hasan Al Asy`ary. Yang ditulis


beliau sebelum tahun 320 (sebelum kembali kepada manhaj salaf) lebih dari
60 buku. Sedangkan yang ditulis sesudah tahun 320 hampir mencapai 30
buah buku, diantara yang terakhir ini adalah Al Ibanah fi Ushul Ad Diyanah.

2. Tokoh-tokoh Asyariyah dan Ajaran-Ajarannya.


1. Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
Ia adalah tokoh Asyariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asyari
dari dua murid Al-Asyari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan AlBahili.. beliau wafat di Bagdad pada tahun 1013 Masehi.
Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran
Al-Asyari, misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal.
Selanjutanya ia juga tidak sepaham dengan Al-Asyari mengenai

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

perbuatan manusia. Menurut Al-Asyari perbuatan manusia adalah


diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia
mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya.
Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia,
adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataannya mengarah pada extrim, dalam mengikuti
suatu pendapat dan dalam memberikan dukungan dan pembelaan, sebab
premis rasional tidak pernah disebutkan dalam al-Quranmaupun sunnah,
ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar. Metode yang
ditempuhnya juga banyak. Boleh saja seseorang sampai kepada buktibukti dari berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi
melalui berbagai eksperimen yang tidaklah buruk selama tidak
bertentangan dengan konklusi yang dicapainya dan pemikiran yang
dihasilkannya.
2. Abd al-Malik al-Juwaini
Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478
Hijriyah. Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan
nama Iman Al-Haramain.
Hampir

sama

dengan

Al-Baqillani,

ajaran-ajaran

yang

disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asyari.


Misalnya Tangan Tuhan diartikan (tawil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan
diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan,
sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan
berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih
jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek,
tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan
musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada
manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah
seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
3. Abu Hamid al-Ghazali
Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada
tahu 1058-1111 Masehi.
Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan pahampaham Al-Asyari. Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
35

qadim yang tidak identik dengan dzat Tuhan dan mempunyai wujud diluar
dzat. Juga Al-Quran bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai
perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan
daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang
mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya
adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mutazilah.
Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah)
manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas
perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak
mungkin dikerjakan manusia.
2.1 Latar belakang Maturidiyah
1. Sejarah Maturidiyah
Berdirinya aliran ini kembali kepada Abu Mansur al-Maturidi, dia adalah
Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-Samarqandi.
Maturidi adalah nisbat kepada Maturid, sebuah tempat di Samarkand, di
daerah inilah Abu Mansur lahir, tahun kelahirannya samar, tidak diketahui
dengan pasti. Ahli sejarah yang menyebutkan biografinya tidak menjelaskan
kehidupannya, bagaimana dia tumbuh dan dari siapa dia belajar, yang
diketahui dari guru-gurunya adalah Nashir atau Nushair bin Yahya alBalakhi, dari orang ini Abu Mansur belajar fikih madzhab Hanafi dan ilmu
kalam.

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

Abu Mansur memiliki kedudukan tinggi di kalangan para pengikut


Maturidiyah sehingga mereka menjulukinya dengan Imam al-Huda dan
Imam al-Mutakallimin.
Abu Mansur hidup satu masa dengan Abul Hasan al-Asyari meskipun
tidak ada keterangan sejarah bahwa keduanya pernah bertemu atau saling
membaca buku yang lain, hanya saja dalam beberapa hasil pemikiran kedua
orang ini bertemu, tentu dengan pemikiran Abu Musa yang lama sebelum dia

35

rujuk kepada pemikiran salaf shalih.


Abu Mansur wafat di Samarkand pada tahun 333 H dan dimakamkan di
sana. Dia meninggalkan beberapa karya tulis diantarnya, Tawilat Ahlus
Sunnah atau Tawilat al-Qur`an, dalam bukunya ini Abu Mansur mengangkat
ayat-ayat al-Qur`an khususnya ayat-ayat sifat dan mentakwilkannya dengan
takwil Jahmiyah. Di antara bukunya yang lain adalah Kitab Tauhid, kitab ini
tentang ilmu kalam, di dalamnya dia menetapkan pendapat-pendapatnya yang
berkaitan dengan masalah-masalah itiqadiyah, dan yang dia maksud dengan
tauhid dalam kitabnya ini adalah tauhid Khaliqiyah dan Rububiyah ditambah
dengan sedikit tauhid Asma wa Sifat akan tetapi dengan manhaj Jahmiyah
dengan mengingkari banyak sifat-sifat Allah dengan alasan mensucikan dan
meniadakan tasybih dari Allah, hal ini tidak sejalan dengan manhaj yang
shahih yaitu manhaj salaf shalih.
2. Tokoh-tokoh Maturidiyah dan Ajaran-Ajarannya.
Setelah Abu Mansur wafat, pemikiran-pemikirannya diwarisi dan
diperjuangkan oleh murid-muridnya dan orang-orang yang terpengaruh oleh
pemikirannya, di tangan mereka ini Maturidiyah membentuk diri sabagai
aliran kalamiyah yang muncul pertama kali di Samarkand. Murid-murid Abu
Mansur mulai menyebarkan pemikiran-pemikiran syaikh dan imam mereka,
mereka menulis buku-buku demi itu, hasilnya pemikiran-pemikiran
Maturidiyah laku di negeri tersebut, hal ini karena mereka terbantu oleh
kesamaan dalam madzhab fikih yaitu madzhab Hanafi.
Salah satu murid Abu Mansur adalah Abul Qasim Ishaq bin Muhammad
bin Ismail al-Hakim al-Samarqandi, wafat tahun 342 H, dia dikenal dengan
al-Hakim karena hikmahnya yang banyak dan nasihat-nasihatnya. Ada

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

seorang murid lagi yaitu Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa bin Isa alBazdawi, wafat tahun 390 H, selanjutnya orang ini memiliki seorang cucu
yang menjadi salah satu pembawa pemikiran-pemikiran Maturidiyah, dia
adalah Abul Yasar al-Bazdawi Muhammad bin Muhammad bin al-Husain bin
Abdul Karim yang berjuluk al-Qadhi ash-Shadr, Syaikh madzhab Hanafi di
Bazdawah pada masanya.
Abul Yasar ini belajar dari bapaknya yang belajar dari kakeknya Abdul
Karim salah seorang murid Abu Mansur, di samping dia membaca kitab-kitab

35

ahli filsafat seperti al-Kindi dan lainnya, dia juga mempelajari buku-buku
Mutazilah seperti al-Jubbai, an-Nazham dan lain-lain. Dia juga mempelajari
buku-buku Abu Musa al-Asyari dan buku-buku Abu Mansur seperti atTawilat dan at-Tauhid. Untuk buku yang terakhir ini dia memandang
pembahasannya bertele-tele dan menyulitkan serta penyusunannya yang tidak
sistematis oleh karena itu dia mengulang penyusunan dan pemaparannya agar
lebih muda untuk dikaji, hal ini dia tuangkan dalam bukunya Ushuluddin
dengan beberapa penambahan darinya. Abul Yasar wafat di Bukhara tahun
493 H dengan meninggalkan banyak murid, salah satunya adalah Najmuddin
Umar bin Muhammad an-Nasafi, peletak sebuah buku dalam akidah yang
terkenal dengan al-Aqidah an-Nasafiyah.
Najmuddin Umar an-Nasafi, bisa dikatakan, dia adalah pelopor
Maturidiyah dalam bidang karya tulis karena dia banyak menuangkan dasardasar akidah Maturidiyah dalam buku-bukunya yang berjumlah besar, dia
adalah Abu Hafsh Najmuddin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Ismail
al-Hanafi an-Nasafi, nisbat kepada Nasaf, sebuah kota di antara Jaihun dan
Samarkand. Najmuddin adalah julukannya.
Najmuddin Umar an-Nasafi lahir di Nasaf pada tahun 462 H, dia terkenal
dengan syaikh-syaikhnya yang berjumlah besar mencapai lima ratus orang, di
antara mereka adalah Abul Yasar al-Bazdawi dan Abdullah bin Ali bin Isa anNasafi, sebagaimana dia memiliki murid dalam jumlah besar pula, tidak
hanya itu dia juga memiliki karya tulis juga dalam jumlah besar yang menjadi
buku induk dalam menetapkan pemikiran-pemikiran Maturidiyah. Di antara
buku-bukunya adalah Majma al-Ulum, at-Taisir fi Tafsir al-Qur`an, an-

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

Najah fi Syarh Kitab Akhbar ash-Shihah, buku ini adalah syarah dari shahih
al-Bukhari, dan sebuah buku dalam akidah yaitu al-Aqidah an-Nasafiyah,
buku ini adalah ringkasan dari buku at-Tabshirah karya Abu Muin an-Nasafi,
buku ini adalah salah satu buku terpenting dalam akidah Maturidiyah.
Najmuddin Umar an-Nasafi wafat di Samarkand pada malam Kamis, 12
Jumadil Ula 537 H.
Setelah masa Najmuddin Umar an-Nasafi, Maturidiyah mengalami
kemajuan dan perkembangan yang berarti, hal ini karena mereka mampu

35

meraih simpati para Sultan Daulah Utsmaniyah yang berpusat di Turki, dan
akhirnya para sultan tersebut menjadi pendukung Maturidiyah sehingga
pengaruh Maturidiyah menyebar ke negeri-negeri yang dijangkau oleh
kekuasaan Daulah Utsmaniyah. Di masa ini muncul al-Kamal bin alHammam penulis al-Muyasarah fi al-Aqaid al-Munjiyah fi al-Akhirah yang
pada saat ini masih dijadikan sebagai buku wajib di sebagian universitas.
Di masa kini pemikiran Maturidiyah banyak dianut di beberapa negeri
kaum muslimin khususnya di Turki, Afghanistan dan sekitarnya, Pakistan dan
India. Di dua negara yang terakhir ini ada beberapa madrasah yang
mengusung

pemikiran-pemikiran

Maturidiyah,

salah

satunya

adalah

madrasah Kautsariyah yang dinisbatkan kepada syaikh Muhammad Zahid alKautsari al-Jarkasi al-Hanafi al-Maturidi, wafat tahun 1371 H. Madrasah ini
berciri khas mencela dan menyerang para imam Islam, menurut mereka para
imam Islam tersebut adalah mujassimah dan musyabbihah yakni orang-orang
yang menjasadkan dan menyerupakan Allah dengan makhlukNya, hanya
karena para imam tersebut menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang
ditetapkan oleh al-Qur`an dan sunnah sesuai dengan pamahaman salaf umat,
mereka mengkategorikan buku-buku para imam Islam seperti at-Tauhid, alIbanah, asy-Syariah,as-Sifat, al-Uluw dan buku para imam sunnah lainya
sebagai buku-buku watsaniyah (berhalawiyah). Madarasah ini juga getol
berdakwah kepada bidah-bidah syirkiyah seperti mengagung-agungkan
kubur dan penghuninya dengan kedok bertawasul.

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

BAB III

35

Teologi Asyariyah dan Maturidiyah

3.1 Teologi Asyariyah


1. Definisi Asyariyah
Asyariyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur alMaturidi yang berpijak kepada Abu al Hasan yang berdasarkan pengakuan
secara teoritis pertama berdasarkan naqli atau wahyu yang terdiri dari Al
Qur`an dan Al Hadits Al Mutawatir, dan kedua berdasarkan akal. Tujuan dari
gerakan Asyariyah sama dengan aliran maturidiyah adalah sebagai reaksi
terhadap aliran mutazilah yang dianggap tidak sesuai dengan kaidah yang
benar menurut akal dan syara.
2. Doktrin-Doktrin Teologi Asyariyah
a) Wujud dan Sifat Tuhan
Para ulama ilmu Kalam, baik Asyariyah maupun Mutazilah, dan
para filosof, dalam pembahasan penting ini menyepakati urgensi akal
dalam menetapkan keberadaan Tuhan serta menumbuhkan keyakinan
kepada-Nya. Berbeda dengan ahl al Dzahir, para Mutakalimin
menyerahkan segala kemampuan logika mereka dalam menetapkan
kebenaran tuhan sebagaimana yang diinginkan dzahir teks agama. Dari
sini, jelas Nampak adanya keterlibatan manusia -atau setidaknya aspek
kemanusiaan- dalam berbagai kajian ketuhanan (Teologi).
Asyariyah, dengan gaya ortodoksnya, mencoba menempatkan
dirinya sebagai penengah (moderasi) diantara dua aliran; yaitu
Salafiyah dan Mutazilah.Namun, kajian teologis Asyariyah dengan
didukung oleh silogisme Aristotelian atau logika formal-deduktif
ditambah dengan mengadopsi secara distorsif teori-teori filsafat natural
(tabhiat)- malah pada akhirnya tidak menampilkan kajian teologis

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

yang

empiris-metodologis.

Bahayanya

lagi,

argumen-argumen

Asyariyah dapat saja mengalami eskalasi sehingga mencapai tingkat


ilhad

(pengingkaran

akan

(antropomorfisme).
Dapat kita temukan

wujud

dalam

alur

Tuhan)
pemikiran

dan

tajsim

Asyariyah

adanya kesan keterpaksaan dalam menggunakan teori-teori filsafat


alam (natural philosophy) seperti teori al huduts (kebaharuan alam), al

35

Imkan (probabilitas) dan Jauhar fard (subtansi tunggal).


Teori al huduts menetapkan premis-premis logis bahwa alam itu
hadis (baru;tidak qadim) karena alam itu selalu berubah. Semua yang
hadis pasti berasal dari muhdis (pembaru;pelaku al hudus) dan muhdis
tersebut harus qadim, sebab kalau tidak , maka akan terjadi daur atau
tasalsul (kausalitas tanpa akhir). Sedang dalam doktrin teologinya,
daur dan tasalsul itu mustahil. Selanjutnya, Asyariyah langsung
menetapkan bahwa yang qadim itu adalah Tuhan.
Sedangkan teori al imkan mengatakan, alam itu bersifat mumkin,
yaitu mungkin terjadi mungkin tidak. Segala sesuatu yang mungkin
membutuhkan illat murajjih yang menyebabkan adanya sesuatu itu
dan illat tersebut harus berakhir pada zat yang wajib al wujub (wajib
ada). Sebab kalau tidak, akan terjadi tasalsul, dan tasalsul itu mustahil.
Maka langsung ditetapkan bahwa wajib al wujub itu adalah Tuhan.
Lain lagi dengan teori Jauhar al fard Asyariyah menetapkan bahwa
segala sesuatu itu terdiri dari bagian-bagian atau ajzaa, dan bagianbagian ini akan sampai kepada bagian yang terkecil (substansi akhir)
yang tidak dapat terbagi bagi lagi, karena selanjutnya dinamakan
Jauhar al fard (substansi tunggal). Karena semua jauhar tidak terlepas
dari aradl (sifat yang hadits), maka konklusinya semua jauhar adalah
hadits. Anehnya, beranjak dari premis-premis fisikal di atas, Asyariyah
mengadakan lompatan kepada kesimpulan metafisikal. Dalam artian,
Asyariyah berusaha menemukan dalil dari hal-hal yang natural untuk
membuktikan sesuatu yang natural.

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

Metodologi ini jelas bertentangan dengan metodi empirisme


ilmiah. Meskipun logika idealektik yang berusaha dibangun oleh
Asyariyah masih mengadung nilai- nilai empirik, tapi argumenargumennya

tetap

saja

membingungkan.

Bagaimana

mungkin

Asyariyah membuktikan bahwa alam itu hadits, sementara gerakan


dan siklus yang merupakan sifat tetap alam telah berlangsung tanpa
permulaan. Pada hakikatnya alam adalah qadim, dalam pengertian
bahwa Tuhan menciptakan alam tanpa permulaan dan tanpa bahan
35

dasar, dan jarak antara keberadaan Tuhan dan keberadaan alam tidak
mungkin diukur dengan waktu. Dengan kata lain, tidak ada rentang
waktu antara Tuhan dengan alam walau sedetik pun. Dan posisi Tuhan
tidak lain adalah illat atau sebab keberadaan alam. Tanpa Tuhan alam
tidak akan pernah ada.
Asyariyah dalam logikanya mengambil kaidah kunci yaitu
kemustahilan daur dan tasalsul. Apa alas an Asyariyah menetapkan
kaidah seperti itu? Pada hakikatnya, daur dan tasalsul itu hal yang
wajar dan merupakan tabiat alam. Tuhan telah menciptakan siklus dan
hubungan kausalitas (sebab akibat) sehingga manusia sanggup
mengolah dan memproses daur ulang alam ini dengan ilmu
pengetahuannya. Teori kemustahilan ini hanya berakibat terhambatnya
ilmu pengetahuan dan menjadikan manusia pasif dalam hidupnya.
Hubungan hadits-muhdits oleh Asyariyah diidentikan dangan
hubungan mashnu dan shaninya (pembuat dan yang dibuat). Katanya
alam ini adalah buatan Tuhan,sebagaimana kursi adalah buatan tukang.
Konsekuensi dari keyakinan tersebut membawa akal manusia sehingga
mengibaratkan Tuhan sebagai person (al Syakhsy) dan pada gilirannya
menimbulkan penafsiran materil terhadap hal-hal ghaib. Seiring
dengan itu pula, penafsiran fenomena alam dengan kaidah haditsmuhdits sama halnya merampas esensi alam tersendiri. Dengan
memahami hadits sebagai sesuatu yang pada awalnya tidak ada
kemudian diadakan menjadikan ketidakadaan sebagai standar
keberadaan.

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

Ini menyebabkan alam kehilangan esensinya dan memaksakan


ketergantungannya kepada sesuatu yang lain di luar dirinya.
Akhirnya, realita dan subtansi alam ini akan hilang dan yang tinggal
bertahan dalam wujud nyata adalah alam metafisik yang pada
hakikatnya tidak nyata. Secara sosio-psikologis, pengaruhnya pun
berlanjut pada manusia, dimana menusia adalah unsur dan bagian
utama di alam ini. Dengan hilangnya esensi alam, maka manusia pun

35

kehilangan esensinya dan manjadi wujud hampa tanpa arti.


Secara psikologis, argumen tentang huduts-nya alam cukup
membahayakan esistensi manusia tatkala kita menerima hipotesa
imajinatif tersebut, yaitu bahwa alam itu diadakan dari tidak ada oleh
sang muhdits, hal itu mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya
lemah dan tidak mampu melakukan perubahan dan pembaruan dalam
kehidupannya di alam ini. Sebab secara logis, segala bentuk
perubahan, besar maupun kecil, semuanya disandarkan pada kekuatan
dan kemampuan sang muhdits, yaitu zat selain manusia. Memang
betul, manusia tidak menciptakan dirinya juga tidak mampu
menciptakan alam walau seekor nyamuk pun. Tapi, apakah itu
dimaksudkan agar manusia melemahkan dirinya dan menggantungkan
dirinya pada sesuatu kakuatan lain di luar dirinya dan di luar alam ini.
Sebenarnya, argument-argumen distorsif tersebut berangkat dari
landasan keimanan subyektif semata tidak dari tinjauan obyektif
ilmiah. .
Sesuatu argumen lagi yang tidak kalah membingungkan, yaitu
deskripsi Asyariyah tentang pembagian sesuatu pada bagian-bagian
tertentu dan berakhir pada jauhar fard. Perlu dipertanyakan
bagaimana Asyariyah menetapkan dan membuktikan adanya sesuatu
yang disebutnya jauhar fard? Apakah jauhar fard tersebut pada
kenyataannya memang ada, atau hanya hipotesa imajinatif (al wahm)
semata yang ditujukan untuk mengunggulkan eksistensi sang muhdits?
Pada hakikatnya ilmu pengetahuan membuktikan bahwa alam itu
tidak dapat dibagi-bagi kepada jauhar sebagaimana anggapan

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

Asyariyah. Alam itu tidak dapat dibagi dan diurai dalam bentuk unsurunsur dan penguraian ini dapat berlangsung terus menerus tanpa
berhenti. Kondisi ini sangat mendukung perkembangan ilmu
pengetahuan dan penemuan-penemuan ilmiah. Jelasnya argumen
Asyariyah tentang adanya jauhar fard tidak lebih dari hipotesa
imajinatif akal yang tidak faktual. Perlu diketahui, bahwa makna
wujud itu sendiri ada tiga; pertama, wujud sesuatu itu dapat dipahami

35

bila sesuatu itu dapat diketahui. Jadi, standar wujud sesuatu adalah
adanya kemungkian pengetahuan terhadapnya.
Teologi yang dipelopori oleh asyari dan di kembangkan oleh alGhazali itu telah mempengaruhi banyak agama di dunia, khususnya
yang bersentuhan langsung dengan Islam,yaitu yahudi dan Kresten,
sebegitu rupa. Sehingga banyak agama Yahudi seperti yang ada pada
sekarang ini adalah adalah bahwa agama yahudi yang dalam bidang
teologi telah mengalami pengislaman,.
Di zaman Modern yang pengetahuan semakin melimpah ruah ini,
ternyata teologi Asyari masih relefan dalam buku Nur Khalis Madjid,
Willian Craig, seorang tokoh ahli Filsafat Modern dari Berkeley,
California, Ilmu pengetahuan mutahir, khususnya teori-teori tentang
asal kejadian alam raya seperti teori ledakan besar dalam Astronomi
Modern sangat menujang argumen-argumen Ilmu kalam yang di
kembangkan oleh asyariyah.
b. Keadilan Manusia dan Perilaku Manusia
Diantara tema-tema sentral teologi Asyariyah, topik keadilan
Tuhan (al Adl)- dalam hal ini adalah standar nilai kebaikan dan
keburukan- menempati deretan yang paling penting. Topik ini,
disamping merupakan pembahasan yang cukup luas dan sangat
berkaitan dengan segi-segi fundamental dalam bangunan ideologi
Islam, juga sangat mempengaruhi corak perilaku umat penganutnya.
Pada awal kemunculannya, konsep ini hanya merupakan respons
terhadap teologi Mutazilah yang ekstrem-rasionalistik. Dan pada

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

perkembangan selanjutnya, konsep keadilan Asyariyah ini tidak dapat


terhindar dari pengaruh-pengaruh Jabariyah (Fatalisme).
Asyariyah mencoba menampilkan pemikirannya tentang keadilan
dengan beranjak dari konsep kemutlakan iradah (keinginan) Tuhan.
Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah menciptakan kebaikan (al
khair) dan keburukan (al syarr) serta sekaligus menghendaki
keberadaan keduanya sebagai dualisme nilai yang dianut manusia.
Kemudian, dari sisi lain mereka menegaskan bahwa kebaikan dan

35

keburukan itu merupakan sesuatu yang relatif- dalam artian, tidak ada
sesuatu yang pada hakikatnya baik dan buruk- dan selanjutnya
mengembalikan kedua nilai tersebut kepada kemutlakan syara sebagai
standar utama. Segala yang diakui dan dilegitimasi oleh syara sebagai
kebaikan, maka hal itu pastilah baik. Dan demikian pula sebaliknya,
bahwa keburukan hanyalah yang diakui oleh syara sebagai keburukan.
Namun kalau demikian halnya, bagaimana mungkin Asyariyah
mengakui adanya nilai baik danburuk dari satu sisi dan mengingkari
keberadaannya dari sisi lain?
Sesungguhnya, argumentasi Asyariyah yang demikian itu hanya
ditujukan untuk menolak pendapat Mutazilah (ahlal adl) yang
menempatkan akal sebagai satu-satunya standar nilai baik dan buruk.
Dengan sangat responsif, mereka menegaskan bahwa syara lah satusatunya sumber nilai yang berwenang menentukan segalanya, dan
dengan sendirinya menafikan fungsi akal dalam menilai suatu
perbuatan. Dengan kata lain, sebelum syara diturunkan, akal manusia
tidak mampu mengetahui bahwa kejujuran adalah baik dan bohong itu
adalah buruk. Bahwa seandainya Tuhan memerintahkan manusia untuk
berbohong atau setidaknya melegitimasi kebohongan tersebut, maka
tentunya hukum pun akan berubah, sesuatu yang awalnya buruk
berubah nilai menjadi baik. atau seandainya Tuhan melarang manusia
untuk berlaku jujur maka kejujuran akan berubah menjadi perbuatan
tercela.

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

Untuk membuktian kebenaran pendapatnya, Asyariyah beralasan


bahwa akal manusia sangat relatif dalam menilai sesuatu dan sangat
dipengaruhi oleh unsur subyektivitas serta kepentingan pribadi. Maka
tanpa keterlibatan otoritas syara, nilai kebaikan dan keburukan akan
sangat relatif. Secara global Asyariyah mengakui relativitas akal
manusia pada perbedaan- perbedaan yang ada dalam berbagai adat dan
aturan konvensional antar komunitas tertentu. Di samping itu,

35

kenisbian nilai moral merupakan dasar utama adanya perbedaan yang


menyolok dalam berbagai ajaran agama.
Sekilas nampak kebenaran argumentasi diatas. Tapi sebaliknya
argumen tersebut cukup keliru, sebab pendapat yang mengatakan
tentang kenisbian nilai moral tidak mutlak benar. Para ahli telah
mengakui adanya prinsip-prinsip moral dasar yang selamanya sejalan
dengan ketetapan-ketetapan syariat dan hukum konvensional. Prinsipprinsip dasar ini tidak mengalami perubahan sepanjang kehidupan
manusia. Dan manusia hanya berbeda dan berselisih sekitar hal-hal
yang parsial dan tidak prinsipil. Nilai dasar akan berubah jika
dipengaruhi atau dituntut oleh kondisi tertentu, yang pada hakikatnya
bersifat temporal.
Kewenangan syara dan pengosongan nilai yang dilakukan
Asyariyah pada setiap perbuatan manusia dapat menyebabkan
kekacauan dan pertikaian antar individu yang memperjuangkan
kepentingan tertentu. Pihak- pihak penguasa tentu saja dapat
mempolitisir dan melegitimasi ketetapan syara untuk kepentingankepentingan pribadinya atau kepentingan golongan tertentu. Dan di sisi
lain, pihak yang lebih lemah terpaksa harus mengakui kebenaran
yang diperbuat oleh pihak penguasa. Sebaga imana yang telah
disebutkan diatas, teologi Asy;ariyah adalah teologi moderasi atau
penengah antar dua ekstermitas. Dalam konteks ini, Asyariyah
menampilkan teori Kasb sebagai pelarian dari kekuatiran mereka dari
otoritas akal manusia dari satu sisi dan sifat fatalisme dari sisi lain.

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

3.2 Teologi Maturidiyah


1. Definisi Maturidiyah
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur
al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli
kalami dalam membantah penyelisihnya seperti Mutazilah, Jahmiyah dan
lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah.

35

2. Doktrin-Doktrin Teologi Maturidiyah


a) Akal dan Wahyu
Al-Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada AlQuran dan akal, akal banyak digunakan diantaranya karena
dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah. Menurut Al-Maturidi,
mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui
dengan akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang
memerintahkan

agar

manusia

menggunakan

akalnya

untuk

memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadapAllah melalui


pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaanNya. Jika akal tidak memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya
Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan
orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan
pengetahuan mengenai Allah berarti ia telah meninggalkan kewajiban
yang diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut Namun akal, menurut AlMaturidi tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang lain.
Dalam masalah amalan baik dan buruk, beliau berpendapat bahwa
penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri,
sedangkan perintah atau larangan syariah hanyalah mengikuti
kemampuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu, walau ia
mengakui bahwa akal terkadang tidak mampu melakukannya. Dalam
kondisi ini, wahyu dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga
macam, yaitu Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan
sesuatu itu, Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

sesuatu itu, Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu,


kecuali dengan petunjuk wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan Maturidiyah
memiliki kesamaan dengan Mutazilah, namun tentang kewajiban
melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan Maturidiyah
berpendapat bahwa ketentuan itu harus didasarkan pada wahyu.
b) Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu

35

dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia,


kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah mengharuskan manusia
untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar kewajiban
yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini AlMaturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah
sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam
setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian
tidak ada pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar
manusia.
Dalam masalah pemakaian daya ini Al-Maturidi memakai faham
Imam Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan ridha
(kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau
buruk tetap berada dalam kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang
diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas
kehendak dan kerelaan Allah, dan Manusia berbuat baik atas kehendak
dan kerelaan Allah, dan berbuat buruk pun dengan kehendak Allah,
tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.
c) Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Penjelasan di atas menerangkan bahwa Allah memiliki kehendak
dalam sesuatu yang baik atau buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti
bahwa Allah Allah berbuat sekehendak dan sewenang-wenang. Hal ini
karena qudrat tidak sewenag-wenang (absolute), tetapi perbuatan dan

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan


yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
d) Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan
sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan
sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat
Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha
lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud
35

tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa


kepada

bilangannya

yang

qadim

(taadud

al-qadama).

Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati


faham Mutazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap
adanya sifat Tuhan.
e) Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal
ini diberitakan dalam Al-Quran:
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (Al-Qiyamah: 22-23)
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat
dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia
immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam
bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan dunia.
f) Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca:sabda) yang
tersusun dengan huruf dan bersuara denagn kalam nafsi (sabda yang
sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi
Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah
baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari
bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara.

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

Maturidiyah menerima pendapat Mutazilah mengenai Al-quran


sebagai makhluk Allah, tapi Al-Maturidi lebih suka menyebutnya
hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Quran.
g) Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang
memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah
dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap
perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang
35

dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang
dikehendaki-Nya.

Kewajiban-kewajiban

tersebut

antara

lain:

Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan


manusia, karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan
manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam kemampuan dan
perbuatannya, Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena
merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
h) Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa
mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia
telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya.
Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mutazilah, yaitu bahwa
pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia
dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.
i) Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan
tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini
karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada
manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah
balasan untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar,
sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

tidak menambah atau mengurangi esensi iman, hanya menambah atau


mengurangi sifatnya.
j) Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat
bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan.
Al-Quran:
Orang-orang Arab Badui itu berkata: Kami telah beriman.

35

Katakanlah: Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah


tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika
kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi
sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."(Al-Hujurat: 14)
Ayat tersebut difahami sebagai penegasan bahwa iman tidak
hanya iqrar bi al-lisan, tanpa diimani oleh qalbu. Lebih lanjut AlMaturidi mendasarkan pendapatnya pada surat Al-Baqarah ayat 260 :

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku,


perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orangorang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim
menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku
tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian)
ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu.
(Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu
bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka,
niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dalam ayat tersebut, bukan berarti bahwa Nabi Ibrahim belum


beriman, tetapi beliau menginginkan agar keimanannya menjadi

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

keimanan marifah. Marifah didapat melalui penalaran akal. Adapun


pengertian iman menurut golongan Bukhara, adalah tashdiq bi al-qalb
dan iqrar bi al-lisan, yaitu meyakini dan membenarkan dalam hati
tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya dengan
membawa risalah serta mengakui segala pokok ajaran islam secara
verbal.
3. Golongan-Golongan Teologi Maturidiyah
a) Golongan Samarkand

35

Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut AlMaturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham
Asyariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat
Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat
dengan Mutazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya
mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa
Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
b) Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad AlBazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan
penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi
menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud
dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut AlBazdawi

dalam

aliran

Al-Maturidiyah.

Walaupun sebagai pengikut aliran Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi


selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak
dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga
saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan
berkembang di kalangan umat islam.

35

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

BAB IV
Persamaan dan Perbedaan antara Asyariyah dan
Maturidiyah

4.1

Pandangan Mengenai Asyariyah dan Maturidiyah


Memang dalam realitanya adala perbedaan antara pemikiran Al- Asy Arie

dengan Al Maturidy akan tetapi perbedaan itu sangat sedikit sekali, bahkan
dapat dikatakan bahwa antara Asyariyah dan Maturidiyah nyaris meiliki
kesamaan kalau tidak bisa di sebut sama.
Bahkan Muhammad Abduh mengatakan bahwa perbedaan antara Al
Maturidiyah dan Al Asyariyah tidak lebih dari sepuluh permasalahan dan
perbedaan di dalamnya pun hanyalah perbedaan kata-kata3. Akan tetapi ketika
kita mengkaji lebih dalam aliran Asyariyah dan Maturidiyah maka perbedaanberdeakan tersebut semakin terlihat wujudnya. Tak dapat dipungkiri bahwa
keduanya berupaya menentukan akidah berdasarkan ayat-ayat tuhan yang
terangkum dalam al- Quran secara rasional dan logis. Keduanya memberikan
porsi besar pada akal dalam menginterpretasikan al- Quran dibandingkan
3 al Khilf Al Lafdziyu

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

yang lainnya. Menurut Al-Asyariyah untuk mengetahui Allah wajib dengan


syari sedangkan Maturidiyah sependapat dengan Abu Hanifah bahwa akal
berperan penting dalam konteks tersebut. Hal itu merupakan salah satu contoh
perbedaan keduanya.
4.2

Perbedaan dan Persamaan antara Asyariyah dan

Maturidiyah
1. Persamaan

35

a) Kedua aliran ini lahir akibat reaksi terhadap paham aliran Mutazilah.
b) Mengenai sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya
tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
c) Keduanya menentang ajaran Mutazilah mengenai al-Salah wal Aslah dan
beranggapan bahwa al-Quran adalah kalam Tuhan yang tidak diciptakan,
tetapi bersifat qadim.
d) Al-Asyari dan Al-Maturidi juga berkeyakinan bahwa manusia dapat
melihat Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah
pula yang tahu bagaimana keadaan sifat dan wujud-Nya. Hal ini
mengingat nash al-Quran:

Wajah-wajah orang mukmin pada hari kiamat akan berseri-seri.


Kepada Tuhannya mereka melihat. (Al-Qiyamah: 23)

e) Persamaan dari kedua aliran ini adalah karena keduanya sering


menggunakan istilah ahlu sunnah wal jamaah. Dan dikalangan mereka
kebanyakan mengatakan bahwa madzhab salaf ahlu sunnah wal jamaah

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

adalah apa yang dikatakan oleh Al-Asyari an Al-Maturidi. Sebagian dari


mereka mengatakan bahwa ahlu sunnah wal jamaah adalah Asyariyah
dan Maturidiyah dan salaf. Az-Zubaidi mengatakan : Jika dikatakan ahlu
sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asyariyah dan
Maturidiyah4.

35

Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan : Ketahuilah bahwa pokok


semua aqaid ahlu sunnah wal jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni AlAsyari dan Al-Maturidi5.

2. Perbedaan
a) Tentang perbuatan manusia. Al-Asyari menganut paham Jabariyah
sedangkan Al-Maturidi menganut paham Qadariyah.
b) Tentang fungsi akal. Akal bagi aliran Asyariyah tidak mampu untuk
mengetahui kewajiban-kewajiban manusia sedangkan menurut pendapat
Maturidiyah akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban manusia untuk
berterima kasih kepada Tuhan.
c) Tentang Janji dan ancaman Tuhan. Al-Asyari berkeyakinan bahwa Allah
bisa saja menyiksa orang yang taat, memberi pahala kepada orang yang
durhaka, sedangkan Al-Maturidi beranggapan lain, bahwa orang yang taat
akan mendapatkan pahala sedangkan orang yang durhaka akan mendapat
4 Ittihafus Sadatil Muttaqin 2 : 6

5 Ar-Raudhatul Bahiyyah oleh Abi Hudibah hal.3

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

siksa, karena Allah tidak akan salah karena Ia Maha Bijaksana dan Maha

35

Mengetahui.

BAB V
Penutup
5.1 Simpulan
Ternyata teologi Asyariyah dan Maturidiyah belum manpu menawarkan
ideologi alternatif dalam upaya mengubah umat dan menggerakkan roda
peradaban Islam ke ambang kecerahan, sehingga mapu mensejajarkan dirinya
dengan perdapan-peradaban yang lebih maju. Walau tidak biasa dipungkiri bahwa

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

kedua teologi ini telah ikut menghiasi perjalanan umat islam menuju sebuah
peradaban yang baru tapi pertentangan antara kedua teologi ini dengan teologiteologi lainnya malahan menambah kebingungan dalam masyarakat.
5.2 Kritik dan Saran
Apakah perubahan-perubahan positif dan fundamental akan terjadi dan
langsung sebagaimana mestinya sementara kita masih mengkultuskan antara

35

kedua teologi ini sebagai satu-satunya teologi yang paling absah? Bagaimana
mungkin mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern di saat kita
menyakini tidak adanya korelasi yang jelas antara teori dan metode penerapan
ilmu itu sendiri? Kita sering beranggapan bahwa bagaimana usaha manusia dalam
berfikir dan menganalisa fenomena-fenomena alam, manusia harus mananti dan
menunggu ilmu yang datang dari sumber lain, berupa Ilham, wangsit dan
sebagainya, Sangat tidak logis bila kita membatasi kapabilitas akan manusia dan
meletakkanya di bawah kekuasaan naql (teks-teks suci) dalam konteks masyarakat
yang masih mengalami krisi inteltual dan rasionalitas.
Pada intinya kita harus semakin kritis terhadap berbagai teologi dan
ijtihadyang diwariskan para pemikir islam. Supaya kelak akan muncul suatu
peradaban dimana islamlah yang bertindak sebagai pemimpinnya.

Daftar Pustaka

Ahmad, Muhammad. 1998. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.


Asy-Syahratnasy. Al- Milal wa An-Nihal. Beirut: Darul Fikr.
Mahmud Qasim. 1969. Fi Ilm Al-Kalam. Kairo: Maktabah al-Anglo al-Maishriah.

Aliran Asyariyah dan Maturidiyah

Mubarok, Jaih. 1999. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta: UI Press.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. 2000. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.

35

Sodikin, Abuy. 2000. Metodologi Studi Islam. Bandung: Tunas Nusantara

Vous aimerez peut-être aussi