Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
ASYARIYAH
&
MATURIDIYAH
Makalah
Disusun pada tanggal 31 April 2010
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ilmu
Kalam di jurusan Pendidikan Kimia semester 4
yang dibimbing oleh Hasan Basri, M.Ag.
Disusun Oleh:
Nama
Rofa Yulia Azhar
M. Wildan R. B. Y.
Syifa Fauziah
NIM
204 208
137
208 204
126
208 204
146
Kata Pengantar
Bismillahirohmanirohim,
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
nikmat iman dan islam-Nyalah kita masih merasakan nikmatnya kehidupan ini.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada jungjungan kita The Leader of
Moeslim Muhammad saw, kepada keluarganya, sahabatnya dan kepada kita
sekalian selaku umatnya yang setia sampai akhir zaman.
Dalam kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan banyak terima kasih
bagi pihak-pihak yang telah membantu penyusun dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
makalah ini dapat berguna bagi semua pihak, manjadi amal baik bagi penyusun,
menjadi motivator bagi mahasiswa lainnya untuk menyusun makalah yang lebih
baik lagi serta semoga menjadi buah yang manis kelak.
Tidak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan karya yang penyusun
buat ini. Maka dari itu penyusun menantikan saran dan kritik yang membangun
dari semua pihak agar penyusun dapat mengoreksi kesalahan tersebut dan sebagai
bahan pembelajaran bagi penyusun dimasa yang akan datang.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar.......................................................1
Daftar Isi................................................................3
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah..................................................4
2.2 Rumusan Masalah...........................................................4
BAB II Sejarah Asyariyah dan Maturidiyah
2.1 Latar Belakang Asyariyah ............................................6
2.2 Latar Belakang Maturidiyah ............................................13
BAB III Teologi Asyariyah dan Maturidiyah
3.1 Teologi Asyariyah ...........................................................17
3.2 Teologi Maturidiyah ........................................................24
BAB IV Persamaan dan Perbedaan antara Asyariyah dan
Maturidiyah
4.1 Pandangan Mengenai Asyariyah dan Maturidiyah .........31
4.2 Persamaan dan Perbedan antara Asyariyah dan Maturidiyah
31
BAB V Penutup
5.1 Simpulan........................................................................
34
5.2 Kritik dan Saran..............................................................34
Daftar Pustaka........................................................35
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
Tapak Tilas Asyariyah dan Maturidiyah
Jubba`i dan setelah mimpi beliau bertemu dengan Rasulullah, beliau secara
tegas keluar dari Mu`tazilah.
Inti ajaran faham Mu`tazilah adalah dasar keyakinan harus bersumber
kepada suatu yang qath`i dan sesuatu yang qath`i harus sesuatu yang masuk
akal (rasional). Itulah sebabnya maka kaum Mu`tazilah menolak ajaran AlQur`an apalagi as Sunnah yang tidak sesuai dengan akal (yang tidak
rasional). Sebagaimana penolakan mereka terhadap mu`jizat para nabi,
adanya malaikat, jin dan tidak percaya adanya takdir. Mereka berpendapat
bahwa sunnatullah tidak mungkin dapat berubah, sesuai dengan firman Allah:
Itulah sebabnya
dianggapnya tidak rasional. Menurut mereka bila benar ada mu`jizat berarti
Allah telah melangar sunnah-Nya sendiri.
Sudah barang tentu pendapat seperti ini bertentangan dengan apa yang
dikajinya dari al Qur`an dan as Sunnah. Bukankah Allah menyatakan bahwa:
adalah Penguasa mutlak. Hukum yang berlaku bagi manusia jelas berbeda
dengan hukum yang berlaku bagi Allah. Bukankah Allah dalam mencipta
segala sesuatu tidak melalui hukum sunnatullah yang berlaku bagi kehidupan
manusia ? Allah telah menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada,
menciptakan dari suatu benda mati menjadi benda hidup. Adakah yang
dilakukan Allah dapat dinilai secara rasional ?
Salah satu dialog beliau dengan Abu Ali Al Jubba`i yang terkenal adalah
mengenai, apakah perbuatan Allah dapat diketahui hikmahnya atau di
ta`lilkan atau tidak. Faham Mu`tazilah berpendapat bahwa perbuatan Allah
dapat dita`lilkan dan diuraikan hikmahnya. Sedangkan menurut pendapat
Ahlus Sunnah tidak. Berikut ini dialog antara Abu Al Hasan dengan Abu Ali
al Jubba`i:
:Kalau demikian anak kecil itu akan memprotes Allah kenapa ia tidak
diberi umur panjang untuk berbuat kebaikan.
:Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan engkau hidup, engkau akan
berbuat kejahatan atau kekafiran sehingga engkau tidak akan
selamat.
:Kalau demikian, orang kafir pun akan protes ketika masuk neraka,
mengapa Allah tidak mematikannya sewaktu kecil agar selamat dari
neraka.
Abu Ali Al Jubba`i tidak dapat menjawab lagi, ternyata akal tidak dapat
diandalkan. Abu al Hasan Al Asy`ary dalam meninjau masalah ini selalu
berdasar kepada sunnah Rasulullah. Itulah sebabnya maka madzhab yang
dicetuskannya lebih dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jama`ah.
sama
dengan
Al-Baqillani,
ajaran-ajaran
yang
sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah
seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
3. Abu Hamid al-Ghazali
Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada
tahu 1058-1111 Masehi.
Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan pahampaham Al-Asyari. Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
35
qadim yang tidak identik dengan dzat Tuhan dan mempunyai wujud diluar
dzat. Juga Al-Quran bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai
perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan
daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang
mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya
adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mutazilah.
Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah)
manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas
perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak
mungkin dikerjakan manusia.
2.1 Latar belakang Maturidiyah
1. Sejarah Maturidiyah
Berdirinya aliran ini kembali kepada Abu Mansur al-Maturidi, dia adalah
Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-Samarqandi.
Maturidi adalah nisbat kepada Maturid, sebuah tempat di Samarkand, di
daerah inilah Abu Mansur lahir, tahun kelahirannya samar, tidak diketahui
dengan pasti. Ahli sejarah yang menyebutkan biografinya tidak menjelaskan
kehidupannya, bagaimana dia tumbuh dan dari siapa dia belajar, yang
diketahui dari guru-gurunya adalah Nashir atau Nushair bin Yahya alBalakhi, dari orang ini Abu Mansur belajar fikih madzhab Hanafi dan ilmu
kalam.
35
seorang murid lagi yaitu Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa bin Isa alBazdawi, wafat tahun 390 H, selanjutnya orang ini memiliki seorang cucu
yang menjadi salah satu pembawa pemikiran-pemikiran Maturidiyah, dia
adalah Abul Yasar al-Bazdawi Muhammad bin Muhammad bin al-Husain bin
Abdul Karim yang berjuluk al-Qadhi ash-Shadr, Syaikh madzhab Hanafi di
Bazdawah pada masanya.
Abul Yasar ini belajar dari bapaknya yang belajar dari kakeknya Abdul
Karim salah seorang murid Abu Mansur, di samping dia membaca kitab-kitab
35
ahli filsafat seperti al-Kindi dan lainnya, dia juga mempelajari buku-buku
Mutazilah seperti al-Jubbai, an-Nazham dan lain-lain. Dia juga mempelajari
buku-buku Abu Musa al-Asyari dan buku-buku Abu Mansur seperti atTawilat dan at-Tauhid. Untuk buku yang terakhir ini dia memandang
pembahasannya bertele-tele dan menyulitkan serta penyusunannya yang tidak
sistematis oleh karena itu dia mengulang penyusunan dan pemaparannya agar
lebih muda untuk dikaji, hal ini dia tuangkan dalam bukunya Ushuluddin
dengan beberapa penambahan darinya. Abul Yasar wafat di Bukhara tahun
493 H dengan meninggalkan banyak murid, salah satunya adalah Najmuddin
Umar bin Muhammad an-Nasafi, peletak sebuah buku dalam akidah yang
terkenal dengan al-Aqidah an-Nasafiyah.
Najmuddin Umar an-Nasafi, bisa dikatakan, dia adalah pelopor
Maturidiyah dalam bidang karya tulis karena dia banyak menuangkan dasardasar akidah Maturidiyah dalam buku-bukunya yang berjumlah besar, dia
adalah Abu Hafsh Najmuddin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Ismail
al-Hanafi an-Nasafi, nisbat kepada Nasaf, sebuah kota di antara Jaihun dan
Samarkand. Najmuddin adalah julukannya.
Najmuddin Umar an-Nasafi lahir di Nasaf pada tahun 462 H, dia terkenal
dengan syaikh-syaikhnya yang berjumlah besar mencapai lima ratus orang, di
antara mereka adalah Abul Yasar al-Bazdawi dan Abdullah bin Ali bin Isa anNasafi, sebagaimana dia memiliki murid dalam jumlah besar pula, tidak
hanya itu dia juga memiliki karya tulis juga dalam jumlah besar yang menjadi
buku induk dalam menetapkan pemikiran-pemikiran Maturidiyah. Di antara
buku-bukunya adalah Majma al-Ulum, at-Taisir fi Tafsir al-Qur`an, an-
Najah fi Syarh Kitab Akhbar ash-Shihah, buku ini adalah syarah dari shahih
al-Bukhari, dan sebuah buku dalam akidah yaitu al-Aqidah an-Nasafiyah,
buku ini adalah ringkasan dari buku at-Tabshirah karya Abu Muin an-Nasafi,
buku ini adalah salah satu buku terpenting dalam akidah Maturidiyah.
Najmuddin Umar an-Nasafi wafat di Samarkand pada malam Kamis, 12
Jumadil Ula 537 H.
Setelah masa Najmuddin Umar an-Nasafi, Maturidiyah mengalami
kemajuan dan perkembangan yang berarti, hal ini karena mereka mampu
35
meraih simpati para Sultan Daulah Utsmaniyah yang berpusat di Turki, dan
akhirnya para sultan tersebut menjadi pendukung Maturidiyah sehingga
pengaruh Maturidiyah menyebar ke negeri-negeri yang dijangkau oleh
kekuasaan Daulah Utsmaniyah. Di masa ini muncul al-Kamal bin alHammam penulis al-Muyasarah fi al-Aqaid al-Munjiyah fi al-Akhirah yang
pada saat ini masih dijadikan sebagai buku wajib di sebagian universitas.
Di masa kini pemikiran Maturidiyah banyak dianut di beberapa negeri
kaum muslimin khususnya di Turki, Afghanistan dan sekitarnya, Pakistan dan
India. Di dua negara yang terakhir ini ada beberapa madrasah yang
mengusung
pemikiran-pemikiran
Maturidiyah,
salah
satunya
adalah
madrasah Kautsariyah yang dinisbatkan kepada syaikh Muhammad Zahid alKautsari al-Jarkasi al-Hanafi al-Maturidi, wafat tahun 1371 H. Madrasah ini
berciri khas mencela dan menyerang para imam Islam, menurut mereka para
imam Islam tersebut adalah mujassimah dan musyabbihah yakni orang-orang
yang menjasadkan dan menyerupakan Allah dengan makhlukNya, hanya
karena para imam tersebut menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang
ditetapkan oleh al-Qur`an dan sunnah sesuai dengan pamahaman salaf umat,
mereka mengkategorikan buku-buku para imam Islam seperti at-Tauhid, alIbanah, asy-Syariah,as-Sifat, al-Uluw dan buku para imam sunnah lainya
sebagai buku-buku watsaniyah (berhalawiyah). Madarasah ini juga getol
berdakwah kepada bidah-bidah syirkiyah seperti mengagung-agungkan
kubur dan penghuninya dengan kedok bertawasul.
BAB III
35
yang
empiris-metodologis.
Bahayanya
lagi,
argumen-argumen
(pengingkaran
akan
(antropomorfisme).
Dapat kita temukan
wujud
dalam
alur
Tuhan)
pemikiran
dan
tajsim
Asyariyah
35
tetap
saja
membingungkan.
Bagaimana
mungkin
dasar, dan jarak antara keberadaan Tuhan dan keberadaan alam tidak
mungkin diukur dengan waktu. Dengan kata lain, tidak ada rentang
waktu antara Tuhan dengan alam walau sedetik pun. Dan posisi Tuhan
tidak lain adalah illat atau sebab keberadaan alam. Tanpa Tuhan alam
tidak akan pernah ada.
Asyariyah dalam logikanya mengambil kaidah kunci yaitu
kemustahilan daur dan tasalsul. Apa alas an Asyariyah menetapkan
kaidah seperti itu? Pada hakikatnya, daur dan tasalsul itu hal yang
wajar dan merupakan tabiat alam. Tuhan telah menciptakan siklus dan
hubungan kausalitas (sebab akibat) sehingga manusia sanggup
mengolah dan memproses daur ulang alam ini dengan ilmu
pengetahuannya. Teori kemustahilan ini hanya berakibat terhambatnya
ilmu pengetahuan dan menjadikan manusia pasif dalam hidupnya.
Hubungan hadits-muhdits oleh Asyariyah diidentikan dangan
hubungan mashnu dan shaninya (pembuat dan yang dibuat). Katanya
alam ini adalah buatan Tuhan,sebagaimana kursi adalah buatan tukang.
Konsekuensi dari keyakinan tersebut membawa akal manusia sehingga
mengibaratkan Tuhan sebagai person (al Syakhsy) dan pada gilirannya
menimbulkan penafsiran materil terhadap hal-hal ghaib. Seiring
dengan itu pula, penafsiran fenomena alam dengan kaidah haditsmuhdits sama halnya merampas esensi alam tersendiri. Dengan
memahami hadits sebagai sesuatu yang pada awalnya tidak ada
kemudian diadakan menjadikan ketidakadaan sebagai standar
keberadaan.
35
Asyariyah. Alam itu tidak dapat dibagi dan diurai dalam bentuk unsurunsur dan penguraian ini dapat berlangsung terus menerus tanpa
berhenti. Kondisi ini sangat mendukung perkembangan ilmu
pengetahuan dan penemuan-penemuan ilmiah. Jelasnya argumen
Asyariyah tentang adanya jauhar fard tidak lebih dari hipotesa
imajinatif akal yang tidak faktual. Perlu diketahui, bahwa makna
wujud itu sendiri ada tiga; pertama, wujud sesuatu itu dapat dipahami
35
bila sesuatu itu dapat diketahui. Jadi, standar wujud sesuatu adalah
adanya kemungkian pengetahuan terhadapnya.
Teologi yang dipelopori oleh asyari dan di kembangkan oleh alGhazali itu telah mempengaruhi banyak agama di dunia, khususnya
yang bersentuhan langsung dengan Islam,yaitu yahudi dan Kresten,
sebegitu rupa. Sehingga banyak agama Yahudi seperti yang ada pada
sekarang ini adalah adalah bahwa agama yahudi yang dalam bidang
teologi telah mengalami pengislaman,.
Di zaman Modern yang pengetahuan semakin melimpah ruah ini,
ternyata teologi Asyari masih relefan dalam buku Nur Khalis Madjid,
Willian Craig, seorang tokoh ahli Filsafat Modern dari Berkeley,
California, Ilmu pengetahuan mutahir, khususnya teori-teori tentang
asal kejadian alam raya seperti teori ledakan besar dalam Astronomi
Modern sangat menujang argumen-argumen Ilmu kalam yang di
kembangkan oleh asyariyah.
b. Keadilan Manusia dan Perilaku Manusia
Diantara tema-tema sentral teologi Asyariyah, topik keadilan
Tuhan (al Adl)- dalam hal ini adalah standar nilai kebaikan dan
keburukan- menempati deretan yang paling penting. Topik ini,
disamping merupakan pembahasan yang cukup luas dan sangat
berkaitan dengan segi-segi fundamental dalam bangunan ideologi
Islam, juga sangat mempengaruhi corak perilaku umat penganutnya.
Pada awal kemunculannya, konsep ini hanya merupakan respons
terhadap teologi Mutazilah yang ekstrem-rasionalistik. Dan pada
35
keburukan itu merupakan sesuatu yang relatif- dalam artian, tidak ada
sesuatu yang pada hakikatnya baik dan buruk- dan selanjutnya
mengembalikan kedua nilai tersebut kepada kemutlakan syara sebagai
standar utama. Segala yang diakui dan dilegitimasi oleh syara sebagai
kebaikan, maka hal itu pastilah baik. Dan demikian pula sebaliknya,
bahwa keburukan hanyalah yang diakui oleh syara sebagai keburukan.
Namun kalau demikian halnya, bagaimana mungkin Asyariyah
mengakui adanya nilai baik danburuk dari satu sisi dan mengingkari
keberadaannya dari sisi lain?
Sesungguhnya, argumentasi Asyariyah yang demikian itu hanya
ditujukan untuk menolak pendapat Mutazilah (ahlal adl) yang
menempatkan akal sebagai satu-satunya standar nilai baik dan buruk.
Dengan sangat responsif, mereka menegaskan bahwa syara lah satusatunya sumber nilai yang berwenang menentukan segalanya, dan
dengan sendirinya menafikan fungsi akal dalam menilai suatu
perbuatan. Dengan kata lain, sebelum syara diturunkan, akal manusia
tidak mampu mengetahui bahwa kejujuran adalah baik dan bohong itu
adalah buruk. Bahwa seandainya Tuhan memerintahkan manusia untuk
berbohong atau setidaknya melegitimasi kebohongan tersebut, maka
tentunya hukum pun akan berubah, sesuatu yang awalnya buruk
berubah nilai menjadi baik. atau seandainya Tuhan melarang manusia
untuk berlaku jujur maka kejujuran akan berubah menjadi perbuatan
tercela.
35
35
agar
manusia
menggunakan
akalnya
untuk
35
bilangannya
yang
qadim
(taadud
al-qadama).
dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang
dikehendaki-Nya.
Kewajiban-kewajiban
tersebut
antara
lain:
35
35
Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut AlMaturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham
Asyariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat
Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat
dengan Mutazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya
mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa
Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
b) Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad AlBazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan
penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi
menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud
dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut AlBazdawi
dalam
aliran
Al-Maturidiyah.
35
BAB IV
Persamaan dan Perbedaan antara Asyariyah dan
Maturidiyah
4.1
dengan Al Maturidy akan tetapi perbedaan itu sangat sedikit sekali, bahkan
dapat dikatakan bahwa antara Asyariyah dan Maturidiyah nyaris meiliki
kesamaan kalau tidak bisa di sebut sama.
Bahkan Muhammad Abduh mengatakan bahwa perbedaan antara Al
Maturidiyah dan Al Asyariyah tidak lebih dari sepuluh permasalahan dan
perbedaan di dalamnya pun hanyalah perbedaan kata-kata3. Akan tetapi ketika
kita mengkaji lebih dalam aliran Asyariyah dan Maturidiyah maka perbedaanberdeakan tersebut semakin terlihat wujudnya. Tak dapat dipungkiri bahwa
keduanya berupaya menentukan akidah berdasarkan ayat-ayat tuhan yang
terangkum dalam al- Quran secara rasional dan logis. Keduanya memberikan
porsi besar pada akal dalam menginterpretasikan al- Quran dibandingkan
3 al Khilf Al Lafdziyu
Maturidiyah
1. Persamaan
35
a) Kedua aliran ini lahir akibat reaksi terhadap paham aliran Mutazilah.
b) Mengenai sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya
tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
c) Keduanya menentang ajaran Mutazilah mengenai al-Salah wal Aslah dan
beranggapan bahwa al-Quran adalah kalam Tuhan yang tidak diciptakan,
tetapi bersifat qadim.
d) Al-Asyari dan Al-Maturidi juga berkeyakinan bahwa manusia dapat
melihat Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah
pula yang tahu bagaimana keadaan sifat dan wujud-Nya. Hal ini
mengingat nash al-Quran:
35
2. Perbedaan
a) Tentang perbuatan manusia. Al-Asyari menganut paham Jabariyah
sedangkan Al-Maturidi menganut paham Qadariyah.
b) Tentang fungsi akal. Akal bagi aliran Asyariyah tidak mampu untuk
mengetahui kewajiban-kewajiban manusia sedangkan menurut pendapat
Maturidiyah akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban manusia untuk
berterima kasih kepada Tuhan.
c) Tentang Janji dan ancaman Tuhan. Al-Asyari berkeyakinan bahwa Allah
bisa saja menyiksa orang yang taat, memberi pahala kepada orang yang
durhaka, sedangkan Al-Maturidi beranggapan lain, bahwa orang yang taat
akan mendapatkan pahala sedangkan orang yang durhaka akan mendapat
4 Ittihafus Sadatil Muttaqin 2 : 6
siksa, karena Allah tidak akan salah karena Ia Maha Bijaksana dan Maha
35
Mengetahui.
BAB V
Penutup
5.1 Simpulan
Ternyata teologi Asyariyah dan Maturidiyah belum manpu menawarkan
ideologi alternatif dalam upaya mengubah umat dan menggerakkan roda
peradaban Islam ke ambang kecerahan, sehingga mapu mensejajarkan dirinya
dengan perdapan-peradaban yang lebih maju. Walau tidak biasa dipungkiri bahwa
kedua teologi ini telah ikut menghiasi perjalanan umat islam menuju sebuah
peradaban yang baru tapi pertentangan antara kedua teologi ini dengan teologiteologi lainnya malahan menambah kebingungan dalam masyarakat.
5.2 Kritik dan Saran
Apakah perubahan-perubahan positif dan fundamental akan terjadi dan
langsung sebagaimana mestinya sementara kita masih mengkultuskan antara
35
kedua teologi ini sebagai satu-satunya teologi yang paling absah? Bagaimana
mungkin mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern di saat kita
menyakini tidak adanya korelasi yang jelas antara teori dan metode penerapan
ilmu itu sendiri? Kita sering beranggapan bahwa bagaimana usaha manusia dalam
berfikir dan menganalisa fenomena-fenomena alam, manusia harus mananti dan
menunggu ilmu yang datang dari sumber lain, berupa Ilham, wangsit dan
sebagainya, Sangat tidak logis bila kita membatasi kapabilitas akan manusia dan
meletakkanya di bawah kekuasaan naql (teks-teks suci) dalam konteks masyarakat
yang masih mengalami krisi inteltual dan rasionalitas.
Pada intinya kita harus semakin kritis terhadap berbagai teologi dan
ijtihadyang diwariskan para pemikir islam. Supaya kelak akan muncul suatu
peradaban dimana islamlah yang bertindak sebagai pemimpinnya.
Daftar Pustaka
Mubarok, Jaih. 1999. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta: UI Press.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. 2000. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
35