Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Penilaian Trauma
Pemeriksaan pada korban trauma harus cepat dan sistematik sehingga
tidak ada cedera yang tidak terdeteksi sebelum dilakukan penanggulangan yang
efisien dan terencana. Diagnosis dapat ditegakkan dengan menganalisis data yang
didapat dari anamnese, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pencitraan.5
1. Anamnese
Anamnese yang teliti terhadap pasien yang mengalami trauma abdomen
akibat tabrakan kendaraan bermotor harus mencakup kecepatan kendaraan, jenis
tabrakan, berapa besar penyoknya bagian kendaraan ke dalam ruang penumpang,
jenis pengaman yang dipergunakan, ada/tidak air bag, posisi pasien dalam
kendaraan, dan status penumpang lainnya. Keterangan ini dapat diperoleh
langsung dari pasien, penumpang lain, polisi maupun petugas emergensi jalan
raya. Informasi mengenai tanda-tanda vital, luka-iuka yang ada maupun respons
terhadap perawatan pra-rumah sakit harus dapat diberikan oleh petugas-petugas
pra-rumah sakit.2
Bila meneliti pasien dengan trauma tajam, anamnese yang teliti harus
diarahkan pada waktu terjadinya trauma, jenis senjata yang dipergunakan (pisau,
pistol, senapan), jarak dari pelaku, jumlah tikaman atau tembakan, dan jumlah
perdarahan eksternal yang tercatat di tempat kejadian. Bila mungkin, informasi
tambahan harus diperoleh dari pasien mengenai hebatnya maupun lokasi dari
setiap nyeri abdominalnya, dan apakah ada nyeri-alih ke bahu. Selain itu pada
luka tusuk dapat diperkirakan organ mana yang terkena dengan mengetahui arah
tusukan, bentuk pisau dan cara memegang alat penusuk tersebut.1
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian tubuh yang terkena
trauma, kemudian menetapkan derajat cedera berdasarkan hasil analisis riwayat
trauma.1 Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan teliti dan sistimatis
meliputi inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Temuan-temuan positif ataupun
negatif didokumentasi dengan baik pada status.2
ini
mengakibatkan
pergerakan
peritoneum
dan
D. Palpasi
Adanya kekakuan dinding perut yang volunter (disengaja oleh
pasien) mengakibatkan pemeriksaan abdomen ini menjadi kurang
bermakna. Sebaliknya, kekakuan perut yang involunter merupakan tanda
yang bermakna untuk rangsang peritoneal. Tujuan palpasi adalah untuk
mendapatkan adanya nyeri lepas yang kadang-kadang dalam. Nyeri lepas
sesudah tangan yang menekan kita lepaskan dengan cepat menunjukkan
peritonitis,
yang
bisanya
oleh
kontaminasi
isi
usus,
maupun
dikirim untuk urinalisa ataupun tes obat dalam urin bilamana diperlukan. Untuk
wanita dengan usia produktif, dilakukan juga pemeriksaan tes kehamilan. 2
Indikasi untuk urinalisis diagnostik termasuk trauma yang signifikan pada dan
perut/atau panggul, gross hematuria, hematuria mikroskopis dalam pengaturan
hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang signifikan.5
5. Pemeriksaan radiologi
A. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, thorax AP
dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma.
Rontgen foto abdomen 3 posisi (telentang, tegak dan lateral dekubitus)
berguna untuk melihat adanya udara bebas di bawah diafragma ataupun
udara di luar lumen di retroperitonium, yang kalau ada pada keduanya
menjadi petunjuk untuk dilakukannya laparotomi. Hilangnya bayangan
psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal.
B. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan screening X-Ray. Pada pasien luka tusuk di atas
umbilikus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan
hemodinamik yang normal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk
menyingkirkan hemo atau pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi
adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya
normal, pemasangan klip pada luka masuk maupun luka keluar dari suatu
luka tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya udara
retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.
C. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
1. Uretrografi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan
uretrografi sebelum pemasangan kateter urin bila kita curigai adanya
ruptur uretra. Pemeriksaan uretrografi dilakukan dengan memakai
kateter No. 8-F dengan balon dipompa 15-20 cc di fossa naviculare.
Dimasukkan 15-20 cc kontras yang tidak diencerkan. Dilakukan
tidak akan
Apabila ada bukti awal atau pun bukti yang jelas menunjukkan pasien
harus segera ditransfer, pemeriksaan yang memerlukan banyak waktu tidak perlu
dilakukan. Beberapa prosedur yang dapat dilakukan antara lain diagnostik
peritoneal lavage, CT scan, maupun Focused Assesment Sonography in Trauma
(USG FAST).
Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL) merupakan prosedur invasif yang
bisa dikerjakan dengan cepat, memiliki sensitivitas sebesar 98% untuk perdarahan
intraperitoneal. DPL harus dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
hemodinamik abnormal, khususnya apabila ditemui:
1. Perubahan sensorium akibat trauma kapitis, intoksikasi alkohol, kecanduan
2.
3.
4.
5.
obat-obatan.
Perubahan sensasi akibat trauma spinal.
Cedera organ yang berdekatan dengan iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis.
Pemeriksaan fisik diagnostik tidak jelas.
Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang
agak
lama,
misalnya
pasien
menjalani
pembiusan
untuk
cidera
dinyatakan positif apabila dijumpai eritrosit lebih dari 100.000 /mm 3, leukosit >
500/mm3 atau pengecatan gram positif untuk bakteri.
Ultrasound FAST memberikan cara yang cepat, noninvasif, akurat, dan
murah untuk mendeteksi hemoperitoneum dan dapat diulang kapan pun.
Ultrasound juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside di kamar
resusitasi yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur
diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan DPL.
Faktor yang mempengaruhi penggunaannnya antara lain obesitas, adanya udara
subkutan ataupun bekas operasi abdomen sebelumnya. Scanning dengan
ultrasound bisa dengan cepat dilakukan untuk mendeteksi hemoperitoneum.
Dicari scan dari kantung perikard, fossa hepatorenalis, fossa splenorenalis serta
cavum Douglas. Sesudah scan pertama, idelanya dilakukan lagi scan kedua atau
scan kontrol 30 menit berikut. Scan kontrol ditujukan untuk melihat pertambahan
hemoperitoneum pada pasien dengan perdarahan yang berangsur-angsur.
CT Scan merupakan prosedur diagnostik di mana kita perlu memindahkan
pasien ke tempat scanner, memberikan kontras intravena untuk pemeriksaan
abdomen atas, bawah serta pelvis. Akibatnya, dibutuhkan banyak waktu dan
hanya dilakukan pada pasien dengan hemodinamik stabil, di mana kita tidak perlu
segera melakukan laparatomi. Dengan CT scan kita memperoleh keterangan
mengenai organ yang mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, serta
mendiagnosa trauma retroperitoneal maupun pelvis yang sulit didiagnosis dengan
pemeriksaan fisik, FAST, dan DPL.
Kontraindikasi relatif penggunaan CT Scan antara lain penundaan yang
terjadi sampai alat CT scan siap untuk dipergunakan, adanya pasien yang tidak
kooperatif yang tidak mudah ditenangkan dengan obat, atau alergi terhadap bahan
kontras yang dipakai bilamana bahan kontras non ionik tidak tersedia.
Tabel 2.1. Perbandingan prosedur diagnostik DPL, FAST, serta CT scan
Indikasi
DPL
Menunjukkan
bila hipotensif
FAST
darah Menunjukkan
bila hipotensi
CT Scan
cairan Menunjukkan
kerusakan organ bila
tensi normal
Keuntungan
Deteksi
dini,
semua Deteksi
pasien,
cepat
98% pasien,
dini,
tidak
transpor
Invasif,
rendah,
butuh tidak
membutuhkan
transport
spesifisitas Bergantung
tidak
untuk
diafragma
retroperitoneal
bisa distorsi
oleh
operator, Memakan
udara dibutuhkan
untuk
waktu,
transpor,
trauma
pankreas
sumber daya manusia yang besar. Dengan DPL bisa diperoleh diagnosis
lebih dini pada pasien asimptomatik dan akurasi mencapai 90% bila
menggunakan hitung jenis sel seperti pada trauma tumpul. Laparaskopi
diagnostik
bisa
mengkonfirmasi
dan
menyingkirkan
tembusnya
terutama
untuk
deteksi
cedera
retroperitoneal
maupun
waktu
serta
melintas
rongga
peritoneum
atau
retroperitoneum
viseral/vaskular.
f. Eviserasi (pengeluaran isi usus).
2. Indikasi Berdasarkan Pemeriksaan Rontgen
a. Udara bebas, udara retroperitoneum, atau ruptur hemidiafragma setelah
trauma tumpul.
cedera
pankreas,
dan
sebaiknya
dilakukan
ulang
perut yang hebat dengan nyeri tekan. Pada sebagian lagi diagnosa agak
sulit karena perdarahan yang minimal terjadi pada organ yang tertarik.
F. Cedera organ padat
Cedera pada hepar, lien, ataupun ginjal yang mengakibatkan syok,
instabilitas hemodinamik maupun bukti klinis adanya perdarahan yang
masih berlangsung menjadi indikasi perlunya dilakukan laparotomi.
Cedera organ padat dengan hemodinamik yang normal sering berhasil
ditangani secara konservatif; pasien seperti ini harus dirawat untuk
observasi yang ketat.
3. Fraktur pelvis dan cedera yang berhubungan
Tulang sakrum dan tulang-tulang innominate (ilium, ischium, dan pubis)
beserta struktur ligamen akan membentuk pelvis. Bila terjadi fraktur tulang
maupun cedera ligamen, maka dapat disangkakan bahwa pasien telah mengalami
pukulan yang cukup kuat. Fraktur pelvis erat hubungannya dengan cedera
intraperitoneal maupun retroperitoneal, baik organ visera maupun pembuluh
darahnya. Insidensi robeknya aorta abdominalis cukup tinggi pada pasien dengan
fraktur pelvis, terutama yang jenisnya anteroposterior.
A. Mekanik trauma dan klasifikasi
Ada 4 pola pukulan yang menyebabkan fraktur pelvis: (1)
kompresi antero-posterior, (2) kompresi lateral, (3) tarikan lateral, dan (4)
pola kombinasi/kompleks. Kompresi antero-posterior dapat terjadi pada
pejalan kaki yang ditabrak mobil maupun tabrakan motor, pukulan
langsung pada pelvis maupun jatuh dari ketinggian lebih dari 3,6 m. Bila
terjadi simfisiolisis, maka akan terjadi robekan ligamen posterior
sakroiliaka, sakrospinosum, sakrotuberositas ataupun lantai fibromuskuler
dari pelvis, yang terlihat sebagai fraktur sakroiliaka dengan/tanpa dislokasi
ataupun fraktur sakrum. Dengan terbukanya pelvic ring, dapat terjadi
perdarahan dari pleksus vena pelvis, dan (kadang-kadang) perdarahan dari
cabang arteri iliaka interna.
B. Penilaian
BAB 3
KESIMPULAN
Semua pasien trauma tumpul dengan hemodinamik yang tidak stabil harus
segera dinilai kemungkinan perdarahan intrabdominal maupun kontaminasi
traktus gastrointestinal dengan melakukan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage),
ataupun FAST (Focused Assessment Sonography in Trauma). Pasien peritonitis
dengan hemodinamik normal bisa dinilai dengan CT scan, dengan keputusan
operasi didasarkan pada organ yang terkena dan beratnya trauma.
Semua pasien luka tusuk abdomen dan sekitarnya yang mengalami
hipotensi, peritonitis ataupun eviscerasi organ memerlukan laparotomi segera.
Semua luka tembak yang menyeberang rongga peritoneum ataupun bagian
retroperitoneum dengan bagian pembuluh darah harus segera di laparotomi.
Pasien luka tusuk abdomen depan dengan gejala yang ringan, bila eksplorasi lokal
DAFTAR PUSTAKA
1. Pusponegoro, A.D. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011,
Bab 6; Trauma dan Bencana.
2. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk
Dokter Edisi 7. Jakarta: IKABI, 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.
3. Ahmadsyah, I. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher, 2009, Bab 2; Digestive.
4. Fabian, Timothy C. Infection in Penetrating Abdominal Trauma: Risk
Factors and Preventive Antibiotics. The American Surgeon 2002; 68: 2935
5. Udeani, J., Geibel, J., 2011. Blunt Abdominal Trauma. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1980980-workup#aw2aab6b5b3.
[Accessed 8th January 2012]
6. Eastern Association for the Surgery of Trauma. Practice Management
Guidelines for The Evaluation of Blunt Abdominal Trauma. EAST
Practice Management Guidelines Work Group: Brandywine Hospital,
2001, p; 2-27
Trauma
Imaging:
Imaging
Choices
and