Vous êtes sur la page 1sur 17

Laporan kasus

KERATITIS NUMULARIS

Oleh :
Anjari Agnesia Wibowo
NIM. 0908113646

Pembimbing :
dr. Amiruddin, Sp.M

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU
2015

BAB I
PENDAHULUAN

Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang merupakan bagian


darimedia refraksi, kornea juga berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela
yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Kornea terdiri atas 5 lapis yaitu
epitel,membran bowman, stroma, membran descemet, dan endotel. Endotel lebih
penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi atau fisik
pada endotel jauh lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya
cedera pada epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat pada stroma kornea
yang akan menghilang bila sel-sel epitel itu telah beregenerasi.1,2
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri,
virus, dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang
terkena seperti keratitis superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya.
Keratitis diklasifikasikan berdasarkan lapisan pada kornea yang terkena, keratitis
superfisial dan keratitis profunda, atau berdasarkan penyebabnya yaitu keratitis
karena berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan obat, keratitis
reaksi alergi, infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap konjungtivitis menahun.2,3,4
Pada Keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea
bergesekan dengan palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk
refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk
ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama
apabila lesi terletak sentral dari kornea. Fotofobia terutama disebabkan oleh iris
yang meradang Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau dan
merasa ada yang mengganjal atau kelilipan.3,4
Beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian terjadinya
keratitis antara lain perawatan lensa kontak yang buruk, Herpes genital atau
infeksi virus lain, kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain, higienis
dan nutrisi yang tidak baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi dan Fisiologi Kornea

Gambar 1. Kornea
Kornea (latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata,
bagianselaput mata yang tembus cahaya. Kornea transparan (jernih), bentuknya
hampirsebagian lingkaran dengan diameter vertikal 10-11mm dan horizontal 1112mm,tebal 0,6-1mm terdiri dari 5 lapis .Kemudian indeks bias 1,375 dengan
kekutanpembiasan 80%. Sifat kornea yang dapat ditembus cahaya ini disebabkan
olehstruktur kornea yang uniform, avaskuler dan diturgesens atau keadaan
dehidrasirelative jaringan kornea, yang dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif
padaendotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting
daripadaepitel dalam mencegah dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada
endotel jauhlebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh
menyebabkan

sifat

transparan

hilang

dan

edema

kornea,

sedangkan

kerusakanepitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat karena akan menghilang


seiringdengan regenerasi epitel.2,5
Kornea dipersarafi oleh banyak serat saraf sensoris terutama saraf siliaris
longus, saraf nasosiliaris, saraf ke V saraf siliaris longus berjalan supra koroid
,masuk kedalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan
selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai kedua lapis
terdepantanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan
didaerahlimbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah limbus terjadi
dalamwaktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan
mengakibatkansystem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel
dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.

Gambar 2 Lapisan Kornea


Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan
dan terdiri atas lapis:
1.

Epitel
Bentuk epitel gepeng berlapis tanpa tanduk. Bersifat fat soluble substance.

Ujung saraf kornea berakhir di epitel oleh karena itu kelaianan pada epitel akan
menyebabkan gangguan sensibilatas korena dan rasa sakit dan mengganjal. Daya
regenerasi cukup besar, perbaikan dalam beberapa hari tanpa membentuk jaringan
parut. Tebalnya 50um, terdiri atas sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering
terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap
dan semakin maju kedepan menjadisel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel
basal disampingnya dan sel poligonal didepannya melalui desmosom dan makula
okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang
merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan menjadi erosi rekuren. Epitel berasal dari
ektoderm permukaan.2
2.

Membrana Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen

yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.

Mempertahankan bentuk kornea Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.


Kerusakan akan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut.2
3.

Stroma
Lapisan yang paling tebal dari kornea. Bersifat water soluble substance.

Terdiri atas jaringan kolagen yang tersusun atas lamel-lamel, pada permukaan
terlihat anyaman yang teratur sedang dibagian perifer serat kolagen bercabang.
Stroma bersifat higroskopis yang menarik air, kadar air diatur oleh fungsi pompa
sel endotel dan penguapan oleh sel epitel. Gangguan dari susunan serat kornea
terlihat keruh. Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang
kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblast terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau
sesudah trauma.2
4.

Membran Descemet
Lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat dan tidak berstruktur dan bening

terletak dibawah stroma dan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya
pembuluh

darah.

Merupakan

membrane

selular

dan

merupakan

batas

belakangstroma kornea dihasilkan. sel endotel dan merupakan membrane


basalnya.Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40um.2
5.

Endotel
Satu lapis sel terpenting untuk mempertahankan kejernihan kornea,

mengatur cairan didalam stroma kornea, tidak mempunyai daya regenerasi, pada
kerusakan bagian ini tidak akan normal lagi. Dapat rusak atau terganggu
fungsinya akibat trauma bedah, penyakit intra okuler dan usia lanjut jumlah mulai
berkurang. Berasal dari mesotalium, berlapis satu bentuk heksagonal besar 2040um. Endotel melekat pada mebran descemet melalui hemi desmosom dan
zonula okluden.2
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf V saraf siliar longus berjala suprakoroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman melepaskan
selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel di persyarafi sampai pada kedua lapis

terdepan tanpa ada akhir syaraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di
daerah limbus. Daya regenerasi syaraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi
dalam waktu 3 bulan. Kornea bersifat avaskular, mendapat nutrisi secara difusa
dari humor aquos dan dari tepi kapiler. Bagian sentral kornea menerima oksigen
secara tidak langsung dari udara, melalui oksigen yang larut dalam lapisan air
mata, sedangkan bagian perifer, menerima oksigen secara difusa dari pembuluh
darah siliaris anterior.4
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem
pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema
kornea. Endotel tidak memiliki daya regenerasi.4 Pembiasan sinar terkuat
dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk
kornea dilakukan oleh kornea. Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya
yang seragam, avaskularitas dan detrugensi.4
Lapisan epitel merupakan sawar yang efisien terhadap masuknya
mikroorganisme ke dalam kornea. Cedera pada epitel mengakibatkan stroma dan
membran bowman mudah terkena infeksi, seperti bakteri, amuba dan jamur.
Kortikosteroid lokal maupun sistemik akan mengubah reaksi imun hospes dengan
berbagai cara dan memungkinkan terjadi infeksi oportunistik.2
Kornea

memiliki

banyak

serabut

nyeri

sehingga

lesi

kornea

dapatmenimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperhebat oleh


gesekanpalpebra (terutama palpebra superior) pada kornea dan menetap sampai
sembuh. Lesi kornea pada umumnya dapat mengaburkan penglihatan terutama
pada lesi di tengah kornea.2
Fotofobia kornea terjadi akibat kontraksi dari iris yang meradang. Dilatasi
pembuluh darah iris merupakan fenomena refleks yang disebabkan oleh iritasi
pada ujung saraf kornea. Meskipun mata berair dan fotofobia umumnya menyertai
penyakit kornea namun kotoran mata hanya terjadi pada ulkus bakteri purulenta.
2.2

Keratitis

2.2.1 Definisi
Keratitis adalah suatu kondisi dimana kornea bagian depan mata mengalami
inflamasi. Kondisi ini sering ditandai dengan rasa nyeri,kemudian berkembang

menjadi photofobia atau rasa silau bila terkena cahaya dan dapat terjadi gangguan
penglihatan. Keratitis dapat terjadi pada setiap kelompok usia dan tidak
dipengaruhi oleh jenis kelamin.2,6,7

Gambar 3 Keratitis
2.2.2 Etiologi
Penyebab keratitis bermacam-macam, seperti infeksi bakteri, virus maupun
jamur (virus herpes simpleks merupakan penyebab tersering), kekeringankornea,
pajanan cahaya yang terlalu terang, benda asing, reaksi alergi terhadapkosmetik,
debu, polusi atau bahan iritan lainnya, kekurangan vitamin A dan penggunaan
lensa kontak yang kurang baik.2
2.2.3 Gejala dan Tanda Keratitis
a. Gejala keratitis 1,2,4
- Mata terasa sakit
- Gangguan penglihatan
- Trias keratitis (lakrimasi, fotofobia dan blefarospasme)
b. Tanda keratitis 1,2,4

Infiltrat (berisi infiltrat sel radang, kejernihan kornea berkurang,

terjadi supurasi dan ulkus)


Neovaskularisasi (superfisial bentuk bercabang-cabang, profunda

berbentuk lurus seperti sisir)


Injeksi perikornea
Kongesti jaringan yang lebih dalam (iridosiklitis yang dapat
disertai hipopion)

2.2.4 Stadium Perjalanan Keratitis


Stadium infiltrasi. Infiltrasi epitel stroma, sel epitel rusak, edema, nekrosis
lokal. Hanya stadium 1 yang terjadi pada keratitis, sedangkan stadium 2 dan 3
terjadi pada keratitis lanjut seperti pada ulkus kornea. Gejala objektif pada
stadium ini selalu ada dengan batas kabur, disertai tanda radang, warna keabuabuan dan injeksi perikorneal.9
Stadium regresi. Ulkus disertai infiltrasi di sekitarnya, vaskularisasi
meningkat dengan tes flouresensi positif.9
Stadium sikatrik. Pada stadium ini terjadi epitelisasi, ulkus menutup,
terdapat jaringan sikatrik dengan warna kornea kabur. Tanpa disertai tanda
keratitis, batas jelas, tanpa tanda radang, warna keputihan dan tanpa injeksi
perikorneal.9
2.3

Patofisiologi
Karena kornea avaskular, maka pertahanan sewaktu peradangan tidak dapat

segera datang. Maka badan kornea, sel-sel yang terdapat di dalam stroma segera
bekerja sebagai makrofag baru kemudian disusul oleh pembuluh darah yang
terdapat di limbus dan tampak sebagi Injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi
infiltrat, yang tampak sebagai bercak bewarna kelabu, keruh, dan permukaan yang
licin. Kemudian dapat terjadi kerusakan epitel kornea dan timbul ulkus yang dapat
menyebar ke permukaan dalam stroma. Pada peradangan yang hebat, toksin dari
kornea dapat menyebar ke iris dan badan siliar dengan melalui membran descemet
dan endotel kornea. Baru demikian iris dan Badan siliar meradang dan timbullah
kekeruhan dicairan COA, disusul dengan terbentuknya hipopion. Bila peradangan
terus mendalam, tetapi tidak mengenai membran descemet dapat timbul tonjolan
membran descement yang disebut mata lalat atau descementocele. Pada
peradangan dipermukaan kornea, penyembuhan dapat berlangsung tanpa
pembentukan jaringan parut. Pada peradangan yang lebih dalam, penyembuhan
berakhir dengan terbentuknya jaringan parut yang dapat berupa nebula, makula,
atau leukoma. Bila ulkusnya lebih mendalam lagi dapat timbul perforasi yang
dapat mengakibatkan endoftalmitis, panoftalmitis, dan berakhir dengan ptisis
bulbi.2

2.4

Klasifikasi Keratitis
Keratitis diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu

keratitissuperfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau Bowman dan keratitis


profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang
mengenai lapisan stroma. Pada keratitis epitelial dan keratitis stromal, tes
fluoresin (+), sedangkan pada keratitis subepitelial dan keratitis profunda, tes
fluoresin (-). Menurut tempatnya, keratitis diklasifikasikan sebagai berikut:
I. Keratitis Superfisial
1. Keratitis epitelial
a. Keratitis punctata superfisialis
b. Herpes simpleks
c. Herpes zoster
2. Keratitis subepitelial
a. Keratitis nummularis
b. Keratitis disiformis
3. Keratitis stromal
a. Keratitis neuroparalitik
b. Keratitis et lagoftalmus
II. Keratitis Profunda
1. Keratitis interstisial
2. Keratitis sklerotikans
3. Keratitis disiformis
2.5

Keratitis Superfisial
Keratitis superfisial dapat dibagi menjadi keratitis superfisial nonulseratif

dan keratitis superfisial ulseratif.


2.5.1 Keratitis Superfisial nonulseratif
a. Keratitis Pungtata Superfisial dari Fuchs
Merupakan suatu peradangan akut, yang mengenai satu, kadang-kadangdua
mata, mulai dengan konjungitivitis kataral, disertai dengan infeksi dari traktus
respiratorius bagian atas. Disusul dengan pembentukan infiltrat yang berupa titiktitik pada kedua permukaan membran Bowman. Infiltrat tersebut dapat besar atau

kecil dan dapat timbul hingga berratus-ratus. Infiltrat ini di dapatkan di bagian
superfisial dari stroma, sedang epitel di atasnya tetap licin sehingga tes fluoresin
(-) oleh karena letaknya di subepitelial.Penyebabnya adalah infeksi virus, bakteri,
parasit, neurotropik, dan nutrisial

Gambar 4 Keratitis Punctata Superfisial


b. Keratitis Numularis atau Keratitis Dimmer
Keratitis numularis disebut juga keratitis sawahica atau keratitis punctata
tropica. Keratitis numularis diduga diakibatkan oleh virus. Diduga virus yang
masuk ke dalam epitel kornea melalui luka setelah trauma. Replikasi virus pada
sel epitel diikuti penyebaran toksin pada stroma kornea sehingga menimbulkan
kekeruhan atau infiltrat berbentuk bulat seperti mata uang. Pada kornea terdapat
infiltrat bulat-bulat subepitelial dan di tengahnya lebih jernih, seperti halo. Tes
fluoresinnya (-).2,3,7
Untuk melihat adanya defek pada epitel kornea dapat dilakukan uji
fluoresin. Caranya, kertas fluoresin dibasahi terlebih dahulu dengan garam
fisiologis kemudian diletakkan pada saccus konjungtiva inferior setelah terlebih
dahulu penderita diberi anestesi lokal. Penderita diminta menutup matanya selama
20 detik, kemudian kertas diangkat. Defek kornea akan terlihat berwarna hijau dan
disebut sebagai uji fluoresin positif.

10

Gambar 5 Keratitis Numularis


c. Keratitis Disiformis dari Westhoff
Disebut juga sebagai keratitis sawah, karena merupakan peradangan kornea
yang banyak di negeri persawahan basah. Penyebabnya adalah virus yang
berasaldari sayuran dan binatang. Pada anamnesa umumnya ada riwayat trauma
darilumpur sawah. Pada mata tanda radang tidak jelas, mungkin terdapat injeksi
silier.
Apabila disertai dengan infeksi sekunder, mungkin timbul tanda-tanda
konjungtivitis. Pada kornea tampak infiltrat yang bulat-bulat, di tengahnya
lebihpadat dari pada di tepi dan terletak subepitelial. Tes Fluoresin (-).3
Terletak terutama dibagian tengah kornea. Umumnya menyerang orangorang berumur 15-30 tahun.
2.5.2 Keratitis Superfisial Ulseratif
a. Keratitis Pungtata Superfisial Ulserativa
Penyakit ini didahului oleh konjungtivitis kataral, akibat stafilokok ataupun
pneumokok. Tes fluoresin (+).4
b. Keratokonjungtivitis Flikten
Merupakan radang kornea dan konjungtiva akibat dari reaksi imun yang
mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen.
Padamata terdapat flikten yaitu berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih
keabuan yang terdapat pada lapisan superfisial kornea dan menonjol di atas
permukaan kornea. 2,5
Bentuk keratitis dengan gambaran bermacam-macam, dengan ditemukannya
infiltrat dan neovaskularisasi pada kornea. Gambaran karakteristiknya adalah
dengan terbentuknya papul dan pustula pada kornea ataupun konjungtiva. Pada
mata terdapat flikten pada kornea berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih
keabuan, dengan atau tanpa neovaskularisasi yang menuju kearah benjolan
tersebut. Biasanya bersifat bilateral yang dimulai dari daerah limbus.
Pada gambaran klinis akan terlihat suatu keadaan sebagai hiperemia
konjungtiva, kurangnya air mata, menebalnya epitel kornea, perasaan panas

11

disertai gatal dan tajam penglihatan yang berkurang. Pada limbus di dapatkan
benjolan putih kemerahan dikelilingi daerah konjungtiva yang hyperemia. Bila
terjadi penyembuhan akan terjadi jaringan parut dengan noevaskularisasi pada
kornea.
Pada anak-anak keratitis flikten disertai gizi buruk dapat berkembang
menjadi tukak kornea karena infeksi sekunder. Tukak flikten sering ditemukan
berbentuk sebagai benjolan abu-abu, yang pada kornea terlihat sebagai:
- Ulkus fasikular, berbentuk ulkus yang menjalar melintas kornea dengan
pembuluh darah jelas dibelakangnya.
- Flikten multipel di sekitar limbus
- Ulkus cincin, yang merupakan gabungan ulkus.
c. Keratitis Herpetika
Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh
infeksi virus herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Kelainan mata akibat infeksi
herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi primer ditandai oleh
adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans,
bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kebanyakan kasus bersifat
unilateral, walaupun dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopi.
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi
epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya
pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering,
pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik
pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia.
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu paska infeksi
primer dengan mekanisme yang tidak jelas. Virus menjadi inaktif dalam neuron
sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior,
ganglion nervus trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan
virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan
sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks.6
Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik.
Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang

12

diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulka kematian


sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Keratitis dendritika dapat
berkembang menjadi keratitis geografika, hal ini terjadi akibat bentukan ulkus
bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian
gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi
ulkus. Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis
herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel
yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.
Keratitis epitelial dapat berkembang menjadi ulkus metaherpetik, dalam hal
ini terjadi perobekan membrana basalis. Ulkus ini berbentuk bulat atau lonjong
dengan ukuran beberapa milimeter dan bersifat tunggal. Pada kasus ini dapat
dijumpai adanya edema stroma yang berat disertai lipatan membrana descemet.
Reaksi iritasi konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. Reflek
lakrimasi berkurang, sehingga produksi tear film menjadi relatif tidak cukup.
Ulkus metaherpetik dapat menetap dalam beberapa minggu sampai beberapa
bulan. Untuk penyembuhannya memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6
minggu. Klasifikasi Diagnosis:
Hogan dkk. (1964) membuat klasifikasi diagnosis keratitis herpes simpleks
sebagai berikut:
1.

Superfisial, dibedakan atas bentuk dendritika, dendritika dan stroma,


geografika.

2. Profunda, dibedakan atas stroma dan disciform, stroma dan


penyembuhan, stroma dan ulserasi.
3.

Uveitis, dibedakan atas kerato uveitis dan uveitis; dalam hal ini
keratouveitis dibedakan atas bentuk ulserasi dan non ulserasi.

Klasifikasi

tersebut

ternyata

kurang

sempurna,

karena

bentuk

keratitispungtata yang merupakan awal keratitis dendnitik tidak dimasukkan. Selai


itu, pada beberapa kasus yang berat ternyata dijumpai glaukoma sekunder yang
diakibatkan oleh radang jaringan trabekulum.
Untuk membuat diagnosis, sekarang ini dianut kiasifikasi yang dibuat oleh
Pavan-Langston (1983) sebagai berikut:

13

1. Ulserasi

epitelial,

dibedakan

atas

bentuk

pungtata,

dendritika,

dendrogeografika, geografika.
2. Ulserasi trophik atau meta herpetika.
3. Stroma, dibedakan atas bentuk keratitis disciform, keratitis interstitialis.
4. Uveitis anterior dan trabekulitis.
Klasifikasi menurut Pavan-Langston inipun belum sempurna, mengingat
sangat jarang ditemukan kasus uveitis anterior maupun trabekulitis yang
berdirisendiri tanpa melibatkan adanya keratitis.
d. Keratokonjungtivitis Sika
Keratokonjungtivitis sika adalah suatu keadaan keringnya permukaan
korneadan konjungtiva. Kelainan ini terjadi pada penyakit yang mengakibatkan :
1. Defisiensi komponen lemak air mata. Misalnya: blefaritis menahun,
distikiasis dan akibat pembedahan kelopak mata.
2. Defisiensi kelenjar air mata: sindrom Sjogren, sindrom Riley Day,
alakrimia congenital, aplasi congenital saraf trigeminus, sarkoidosis
limfoma kelenjar air mata, obat-obat diuretik kimia, atropin dan usia tua.
3. Defisiensi komponen musin: benign ocular pemphigoid, defisiensi
vitamin A, trauma kimia, sindrom Stevens Johnson, penyakit-penyakit
yang mengakibatkan cacatnya konjungtiva.
4. Akibat penguapan yang berlebihan seperti pada keratitis neroparalitik,
hidup di gurun pasir, keratitis lagoftalmus.
5. Karena parut pada kornea atau menghilangnya mikrovili kornea.
Pada keratokonjungtivitis sika terdapat rasa gatal pada mata. Pada mata
didapatkan sekresi mukus yang berlebihan. Sukar menggerakkan kelopak mata.
Mata kering karena dengan erosi kornea. Pada pemeriksaan lama celah didapatkan
miniskus air mata pada tepi kelopak mata bawah hilang, edema konjungtiva bulbi,
filamen (benang-benang) melekat di kornea.1

Gambar Keratokonjungtivitis Sika

14

2.6. Penatalaksanaan
2.6.1 Keratitis Superfisial nonulseratif
a. Keratitis Pungtata Superfisial dari Fuchs
Pengobatan yang dapat diberikan pada keratitis pungtata superfisial dari
Fuchs adalah pengobatan lokal, yaitu salep antibiotik atau sulfa untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder, dan dapat dikombinasi dengan kortikosteroid.
b. Keratitis Numularis atau Keratitis Dimmer
Tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap penyakit ini. Obat-obatan
hanya diberikan untuk mencegah infeksi sekunder. Untuk terapi lokal diberikan
salep antibiotika yang dapat dikombinasi dengan kortikosteroid.
c. Keratitis Disiformis dari Westhoff
Untuk keratitis Disiformis dari Westhoff dapat diberikan salep mata
antibiotik yang dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid. Pada keratitis ini,
biasanya perjalanan penyakit lama hingga berbulan-bulan.3
2.6.2. Keratitis Superfisial Ulseratif
a. Keratitis Pungtata Superfisial Ulserativa
Salep antibiotika atau sulfa yang sesuai dengan kumannya yang didapatkan
atau memakai obat antibiotika yang berspektrum luas.
b. Keratokonjungtivitis Flikten
Pengobatan keratokonjungtivitis flikten adalah dengan memberi steroid
lokal maupun sistemik. Flikten kornea dapat menghilang tanpa bekas namun
apabila telah terjadi ulkus akibat infeksi sekunder dapat terjadi parut kornea.
Dalam keadaan yang berat dapat terjadi perforasi kornea.
c. Keratitis Herpetika
Pengobatan kadang-kadang tidak diperlukan karena dapat sembuh spontan
atau dapat sembuh dengan melakukan debridement. Dapat juga dengan
memberikan obat antivirus topikal dan antibiotika topikal. Antivirus seperti IDU
0.1% diberikan setiap 1 jam atau asiklovir. Sebagian besar para pakar
menganjurkan melakukan debridement sebelumnya. Debridement epitel kornea
selain

berperan

untuk

pengambilan

spesimen

diagnostik,

juga

untuk

menghilangkan sawar epitelial sehingga antiviral lebih mudah menembus. Dalam

15

hal ini jugauntuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity yang sering


mengikutikeratitis dendritik. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi
kandungan virus epithelial sehingga reaksi radang akan cepat berkurang.
d. Keratokonjungtivitis Sika
Pengobatan harus langsung bertujuan untuk mempertahankanlapisan air
mata dengan menggantinya dengan air mata buatan. Pada keratokonjungtivitis
yang berhubungan dengan Sjogren sindrom pemberian kortikosteroid dosis rendah
dan topikal siklosporin menunjukkan keefektifan.
2.7

Prognosis
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk luas

dan dalamnya lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidaknya perluasan ke
jaringan orbita lain, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised),
virulensi patogen,ada atau tidaknya vaskularisasi dan deposit kolagen pada
jaringan tersebut, waktu penegakkan diagnosis klinis yang dapat dikonfirmasi
dengan pemeriksaan penunjang seperti kultur pathogen di laboratorium. Pasien
dengan infeksi ringan dan diagnosis mikrobiologi yang lebih awal memiliki
prognosis yang baik; bagaimana pun, kontrol dan eradikasi infeksi yang meluas
didalam sklera atau struktur intraokular sangat sulit. Diagnosis awal dan terapi
tepat dapat membantu mengurangi kejadian hilangnya penglihatan. Imunitas
tubuh merupakan hal yang penting dalam kasus ini karena diketahui reaksi
imunologik tubuh pasien sendiri yang memberikan respon terhadap virus ataupun
bakteri. Pada keratitis superfisialis pungtata penyembuhan biasanya berlangsung
baik meskipun tanpa pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea. San
Fransisco 2007
2. Vaughan, Daniel G et al. 2010. Oftalmologi Umum edisi-14.
Jakarta:Widya Medika. Hal: 129 152
3. ILyas S. Mata merah dengan penglihatan turun mendadak. Dalam :
IlyasS. Ilmu Penyakit Mata edisi 3; 2004. Jakarta : Fakultas
KedokteranUniversitas Indonesia. Hal ; 149

16

4. Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non


infectiouskeratitis. Indian Journal of Opthalmology. 2006. 56:3; 50-56
5. Radjiman T, dkk. Ilmu Penyakit Mata. Airlangga. Surabaya, 2001.
6. Zorab R A, Straus H,Dondrea, et.al. Fundamental and Principles
ofOphtalmology. Section 2. International ophtalmology american
academyof ophtalmology. The Eye M.D;2008-2009. p.43
7. Lang G.Infectious Keratitis dalam Opthamology.A textbook
Atlas.2ndEdition 2006.
8. Kaye SB, Lynas C, Patterson A, Risk JM, McCarthy K, Hart
CA.Evidence for herpes simplex viral latency in the human cornea,
BriOphthalmol 1991; 75: 195200
9. Anonym. 2010. Keratitis. Faculty of Harvard Medical School,
NationalEye Institute. Diakses tanggal 27 Februari 2015

17

Vous aimerez peut-être aussi