Vous êtes sur la page 1sur 64

Perdarahan Antenatal

Perdarahan antenatal merupakan perdarahan yang terjadi selama masa


kehamilan. Biasanya, perdarahan per vaginam ini terjadi sejak pertama
kehamilan hingga sebelum persalinan dimulai. Perdarahan antenatal
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu perdarahan antenatal dini dan perdarahan
antenatal lanjut. Perdarahan antenatal dini adalah perdarahan per vaginam yang
terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu. Biasanya termasuk abortus,
kehamilan ektopik, dan mola hidatidosa. Sementara itu, perdarahan antenatal
lanjut adalah perdarahan yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu.
Biasanya termasuk plasenta previa, abruptio plasenta, dan ruptura uteri.

Abortus
Definisi dari abortus
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum embrio atau
janin dapat hidup di luar kandungan saat usia gestasi kurang dari 20 minggu
atau berat janin kurang dari 500 gram.

Klasifikasi untuk abortus

Abortus Iminens
Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus
ditandai dengan perdarahan per vaginam, ostium uteri masih tertutup dan
hal konsepsi masih baik dalam kandungan.
Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan
per vaginam pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita
mengeluh mulas sedikit atau tidak ada keluhan sama sekali kecuali
perdarahan per vaginam. Ostium uteri masih tertutup, besarnya uterus
masih sesuai dengan usia kehamilan, dan tes kehamilan urin masih positif.

Abortus Insipiens
Abortus yang mengancam, yang ditandai dengan serviks yang telah
mendatar dan ostium uteri telah terbuka, tetapi hasil konsepsi masih
dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran.
Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan kuat,
perdarahannya bertambah sesuai dengan pembukaan serviks uterus dan

umur kehamilan. Besar uterus masih sesuai dengan usia kehamilan


dengan tes urin kehamilan yang juga masih positif.

Abortus kompletus
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada usia kehamilan
yang masih kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, ostium uteri telah menutup,
uterus sudah mengecil, sehingga perdarahan yang keluar sedikit dan
besar uterus tidak sesuai dengan usia kehamilan.

Abortus inkompletus
Sebagian hasil dari konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada
yang tertinggal. Batasan ini juga masih terpancang pada usia kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Sebagian
jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di dalam uterus di mana pada
pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan
pada kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri eksternum.
Perdarahan biasanya masih terjadi, jumlahnya pun bisa banyak atau
sedikit, bergantung pada jaringan yang tersisa, yang menyebabkan
sebagian placental site masih terbuka sehingga perdarahan tetap
berjalan. Pasien dapat jatuh dalam keadaan anemia atau syok hemoragik
jika sisa jaringan konsepsi belum dikeluarkan.

Missed abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus yang telah meninggal
dalam kandungan sebelum kehamilan usia 20 minggu dan hasil konsepsi
seluruhnya masih tertahan di dalam kandungan.
Penderita missed abortion biasanya tidak mengalami keluhan apa-apa
kecuali merasakan pertumbuhan kehamilannya tidak seperti yang
diharapkan. Bila kehamilan di atas 14 minggu sampai 20 minggu,
biasanya penderita jurtru merasakan rahimnya semakin mengecil dengan
tanda-tanda kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang.
Kadangkala, missed abortion juga diawali dengan abortus iminens yang
kemudian dirasa sembuh, tetapi pertumbuhan janin terhenti. Pada
pemeriksaan urin kehamilan biasanya negatif setelah satu minggu dari
terhentinya pertumbuhan kehamilan.

Abortus habitualis
Merupakan abortus spontan yang terjadi 3 kali berturut-turut atau lebih.
Penderita abortus habitualis pada umumnya tidak sulit untuk menjadi
hamil kembali, namun kehamilannya berisiko untuk berakhir kembali

dengan keguguran/abortus secara berturut-turut. Bishop melaporkan


kejadian abortus habitualis sekitar 0,41% dari seluruh kehamilan.

Abortus infeksiosus, abortus sepsis


Merupakan abortus yang disertai dengan infeksi pada alat genitalia.
Abortus sepsis adalah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada
peredaran darah tubuh atau peritoneum. Kejadian ini merupakan salah
satu komplikasi tindakan abortus yang paling sering terjadi apalagi bila
dilakukan kurang memperhatikan asepsis dan antiseptis.
Abortus infeksiosus dan abortus sepsis perlu segera mendapatkan
pengelolaan yang adekuat karena dapat menyebabkan terjadinya infeksi
yang lebih luas selain di sekitar alat genitalia, juga ke rongga peritoneum,
bahkan dapat ke seluruh tubuh (sepsis, septikemia) dan dapat jatuh ke
dalam keadaan syok sepsis.

Epidemiologi dari abortus


Angka kejadian abortus sulit untuk ditentukan karena abortus provokatus banyak
yang tidak dilaporkan, kecuali jika sudah terjadi komplikasi. Abortus spontan dan
tidak jelas umur kehamilannya hanya sedikit memberikan gejala atau tanda
sehingga biasanya ibu tidak melaporkannya ataupun berobat. Sementara itu,
dari kejadian yang diketahui, 15-20% merupakan abortus spontan atau
kehamilan ektopik. Sekitar 5% dari pasangan yang mencoba hamil akan
mengalami 2 kali keguguran yang berurutan, dan sekitar 1% dari pasangan akan
mengalami 3 atau lebih keguguran yang berurutan.
Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Sebagian besar studi menyatakan
kejadian abortus spontan antara 15-20% dari semua kehamilan. Kalau dikaji
lebih jauh kejadian abortus, sebenarnya bisa mendekati 50%. Hal ini dikarenakan
tingginya angka chemical pregnancy loss yang tidak bisa diketahui pada 2-4
minggu setelah konsepsi. Sebagian besar kegagalan kehamilan ini dikarenakan
kegagalan gamet (misalnya sperma dan disfungsi oosit).
Abortus habitualis adalah abortus yang terjadi berulang tiga kali secara berturutturut. Kejadiannya sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa
setelah 1 kali abortus spontan, pasangan memiliki risiko 15% untuk mengalami
keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali abortus, maka risiko akan
meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko abortus setelah 3 kali
abortus sebelumnya secara berurutan adalah 30-45%.

Patofisiologi dari abortus


Sebagian besar abortus spontan disebabkan karena kematian dari embrio atau
kegagalan dari embrio/plasenta untuk tumbuh dan berkembang secara normal.
Hal ini kemudian diikuti oleh perdarahan di desidua basalis, yang akan
menyebabkan perubahan nekrosis di daerah plasentasi. Di waktu yang
bersamaan, ada penurunan tingkat konsentrasi estrogen dan progesteron yang
menyebabkan pengelupasan desidua. Semua perubahan ini akan menyebabkan
perdarahan per vaginam dan iritabilitas uterus, yang akan memicu kontraksi
uterus dan pengeluaran paksa dari hasil konsepsi.

Faktor risiko terjadinya abortus

Usia. Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk mengalami abortus dibanding wanita yang berusia lebih
muda. Saat berusia 35 tahun ke atas, seorang wanita akan memiliki risiko
sebesar 20%, pada usia 40 tahun ke atas, risikonya sekitar 40%, dan usia

45 tahun ke atas adalah sekitar 80%.


Riwayat abortus sebelumnya. Risiko abortus lebih tinggi pada wanita
dengan riwayat lebih dari satu kali keguguran. Setelah satu keguguran,
risiko untuk terulang kembali keguguran adalah sama dengan wanita yang
belum pernah mengalaminya, 20%. Setelah keguguran sebanyak dua klai,

maka risiko akan meningkat menjadi sekitar 28%.


Kondisi kronis. Wanita dengan kondisi kronis tertentu seperti diabetes atau

penyakit tiroid, memiliki risiko terjadinya abortus yang lebih tinggi.


Masalah pada uterus atau pada serviks. Beberapa ketidaknormalan pada
uterus atau kelemahan atau serviks yang pendek dapat meningkatkan

risiko abortus.
Merokok, alkohol, dan obat-obatan lainnya. Wanita yang merokok ataupun
mengonsumsi alkohol selama kehamilan memiliki risiko yang besar untuk
terjadinya keguguran dibandingkan dengan mereka yang bukan perokok
dan yang menghindari alkohol selama kehamilan.

Manifestasi klinis dari abortus

Perdarahan per vaginam (bisa berupa bercak maupun yang sudah benar-

benar perdarahan)
Nyeri atau kram di daerah abdomen atau punggung belakang
Adanya jaringan yang mungkin keluar dari vagina
Adanya dilatasi serviks
Adanya tanda-tanda infeksi pada abortus sepsis

Pemeriksaan diagnostik untuk abortus

Anamnesis. Terdapat hal-hal yang menunjukkan kehamilan (tidak


mengalami menstruasi, mual, muntah, dan nyeri pada payudara) diikuti
oleh kram dan bercak perdarahan atau perdarahan yang seringkali disertai
keluarnya jaringan. Semua pasien dengan perdarahan yang cukup untuk

memenuhi satu pembalut per jam atau dengan gejala penurunan tekanan
darah ortostatik (pusing jika berdiri, pingsan) harus diperiksa. Pasien
lainnya mungkin dapat dipantau ketat melalu telepon. Ingat bahwa pasien

harus diperiksa RhoGAM dalam 48 jam jika diindikasikan.


Pemeriksaan. Antara lain kestabilan tanda-tanda vital, tanda vital
ortostatik, pemeriksaan panggul untuk melihat mulut serviks yang terbuka
atau tertutup, adanya jaringan, penyebab perdarahan per vaginam yang
lainnya (misalnya eversi serviks, polip, infeksi, lesi vagina, janin ektopik).
Pemeriksaan ukuran uterus, pemeriksaan tonus jantung janin dengan cara

scan doppler dalam usia kehamilan minggu ke-10 sampai minggu ke-12.
Uji laboratorium
Uji kehamilan positif pada 75% kasus, sehingga uji kehamilan yang

negatif tidak menyingkirkan kemungkinan abortus spontan.


Hitung darah lengkap, golongan darah, dan uji tapis antibodi pada
semua pasien untuk memeriksa status Rh. RhoGAM diindikasikan

pada semua wanita Rh-negatif dan antibodi negatif.


Ultrasonografi (USG) uterus atau pemeriksaan patologi jaringan lainnya
jika diindikasikan.

Penatalaksanaan untuk pasien dengan abortus

Jika terdapat hipertensi ortostatik, obati dengan larutan garam normal


atau Ringer Lactate IV. Pikirkan untuk dilakukannya transfusi darah jika Hb

kurang dari 8 g/dL.


Abortus imminens. Tirah baring jika memungkinkan; gunakan
asetaminofen untuk nyeri, jangan memasukkan apapun ke dalam vagina
(tampon, pencucian, senggama), pikirkan untuk melakukan pemeriksaan
dengan ultrasonografi untuk mencari kantong gestasi, aktivitas jantung,
atau untuk menyingkirkan kehamilan ektopik. Aktivitas jantung yang
positif meramalkan bahwa kehamilan dapat dilanjutkan >90%. Pikirkan
untuk melakukan pemantauan terhadap beta-hCG kuantitatif untuk
menentukan prognosisnya, yang dengan peningkatan kurang dari 66%

dalam 48 jam meramalkan abortus atau kehamilan ektopik.


Abortus inkomplet dan insipiens. Rawat inap jika terdapat hipovolemik,
anemik, atau kehamilan lanjut lebih dari 12 minggu. Jaringan yang terlihat
di mulut serviks harus diangkat perlahan-lahan dengan forseps cincin
sehingga memungkinkan kontraksi uterus, tetapi memperkecil manipulasi
untuk mengurangi risiko infeksi. Pasien dengan abortus inkomplet

(terdapat jaringan yang keluar dengan perdarahan terus-menerus)


seringkali memerlukan kuretase isap atau dilatasi dan kuretase.
Pertimbangan pemberian tetes oksitosin sebagai alternatif (20 IU dalam
1000 mL cairan kristaloid dengan kecepatan 50 sampai 100 mL/jam). Jika

tidak berhasil, maka dilanjutkan dengan dilatasi dan kuretase.


Abortus komplet. Pulangkan jika tanda-tanda vital stabil, Hb stabil, dan
perdarahan berkurang. Pertimbangkan pemberian metilergonovin
(Metergin) 0,2 mg PO 3x sehari selama 3 hari jika diagnosisnya pasti atau

setelah evakuasi uterus.


Missed abortion. Lakukan pemeriksaan hitung darah lengkap dengan
diferensial, hitung trombosit, PT dan PTT, serta panel DIC jika
diindikasikan. Rawat inap jika terdapat tanda-tanda infeksi, DIC, atau jika
janin belum keluar lebih dari 4 minggu. Persiapkan untuk melakukan
dilatasi dan kuretase, penatalaksanaan pasien rawat jalan dapat dipikirkan
jika janin belum keluar <4 minggu, jika kadar fibrinogen mingguan telah
diperoleh, dan jika pasien dipantau ketat untuk DIC. Kadar fibrinogen

<150 mg/dL memerlukan evakuasi uterus segera.


Abortus septik. Lakukan pemeriksaan hitung darah lengkap, urinalisis,
biakan sekret dari uterus, biakan darah, radiografi dada untuk diagnosis
emboli septik, radiografi abdomen untuk mendiagnosis adanya perforasi
uterus (udara bebas) atau benda asing dalam uterus. Elektrolit dan gas
darah arteri juga perlu diperiksa. Rawat inap, obati sepsis, dilatasi dan
kuretase, serta pemberian antibiotik IV: Doksisiklin ditambah sefoksitin
atau imipenem atau tikarsilin; atau diberikan klindamisin ditambah
sefalosporin generasi ketiga atau gentamisin. Pulangkan dengan diberikan

klindamisin atau doksisiklin per oral.


Hindari aktivitas seksual untuk menghindari risiko infeksi hingga
perdarahan berhenti dan kondom pun harus digunakan jika tetap
melakukannya.

Asuhan keperawatan untuk pasien dengan abortus


Pengkajian
Adapun hal-hal yang perlu dikaji adalah :

Biodata : mengkaji identitas klien dan penanggung yang meliputi ; nama,


umur, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
perkawinan ke- , lamanya perkawinan dan alamat.

Keluhan utama : Kaji alasan penyebab klien datang mencari bantuan

medis.
Riwayat kesehatan, yang terdiri atas :
1. Riwayat kesehatan sekarang yaitu keluhan sampai saat klien pergi ke
Rumah Sakit atau pada saat pengkajian seperti perdarahan per
vaginam di luar siklus haid, pembesaran uterus lebih besar dari usia

kehamilan.
2. Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat pembedahan : Kaji adanya pembedahan yang pernah dialami
oleh klien, jenis pembedahan , kapan , oleh siapa dan di mana tindakan

tersebut berlangsung.
Riwayat penyakit yang pernah dialami : Kaji adanya penyakit yang
pernah dialami oleh klien misalnya DM, jantung, hipertensi, masalah

ginekologi/urinari, penyakit endokrin, dan penyakit-penyakit lainnya.


Riwayat kesehatan keluarga : Yang dapat dikaji melalui genogram dan
dari genogram tersebut dapat diidentifikasi mengenai penyakit turunan

dan penyakit menular yang terdapat dalam keluarga.


Riwayat kesehatan reproduksi : Kaji tentang mennorhoe, siklus
menstruasi, lamanya, banyaknya, sifat darah, bau, warna dan adanya
dismenorrhae serta kaji kapan menopause terjadi, gejala serta keluahan

yang menyertainya
Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas : Kaji bagaimana keadaan
anak klien mulai dari dalam kandungan hingga saat ini, bagaimana

keadaan kesehatan anaknya.


Riwayat seksual : Kaji mengenai aktivitas seksual klien, jenis kontrasepsi

yang digunakan serta keluahn yang menyertainya.


Riwayat pemakaian obat : Kaji riwayat pemakaian obat-obatan

kontrasepsi oral, obat digitalis dan jenis obat lainnya.


Pola aktivitas sehari-hari : Kaji mengenai nutrisi, cairan dan elektrolit,
eliminasi (BAB dan BAK), istirahat tidur, hygiene, ketergantungan, baik
sebelum dan saat sakit.

Pemeriksaan fisik, meliputi :


Inspeksi adalah proses observasi yang sistematis yang tidak hanya terbatas
pada penglihatan tetapi juga meliputi indera pendengaran dan penghidung.
Hal yang diinspeksi antara lain :
mengobservasi kulit terhadap warna, perubahan warna, laserasi, lesi terhadap
drainase, pola pernafasan terhadap kedalaman dan kesimetrisan, bahasa tubuh,

pergerakan dan postur, penggunaan ekstremitas, adanya keterbatasan fifik, dan


seterusnya
Palpasi adalah menyentuh atau menekan permukaan luar tubuh dengan jari.

Sentuhan : merasakan suatu pembengkakan, mencatat suhu, derajat

kelembaban dan tekstur kulit atau menentukan kekuatan kontraksi uterus.


Tekanan : menentukan karakter nadi, mengevaluasi edema,

memperhatikan posisi janin atau mencubit kulit untuk mengamati turgor.


Pemeriksaan dalam : menentukan tegangan/tonus otot atau respon nyeri
yang abnormal

Perkusi adalah melakukan ketukan langsung atau tidak langsung pada


permukaan tubuh tertentu untuk memastikan informasi tentang organ atau
jaringan yang ada dibawahnya.

Menggunakan jari : ketuk lutut dan dada dan dengarkan bunyi yang

menunjukkan ada tidaknya cairan , massa atau konsolidasi.


Menggunakan palu perkusi : ketuk lutut dan amati ada tidaknya
refleks/gerakan pada kaki bawah, memeriksa refleks kulit perut apakah
ada kontraksi dinding perut atau tidak

Auskultasi adalah mendengarkan bunyi dalam tubuh dengan bentuan stetoskop


dengan menggambarkan dan menginterpretasikan bunyi yang
terdengar. Mendengar : mendengarkan di ruang antekubiti untuk tekanan darah,
dada untuk bunyi jantung/paru abdomen untuk bising usus atau denyut jantung
janin.(Johnson & Taylor, 2005 : 39)

Pemeriksaan laboratorium :

Darah dan urine serta pemeriksaan penunjang : rontgen, USG, biopsi, pap

smear.
Keluarga berencana : Kaji mengenai pengetahuan klien tentang KB,
apakah klien setuju, apakah klien menggunakan kontrasepsi, dan

menggunakan KB jenis apa.


USG

Data lain-lain :

Kaji mengenai perawatan dan pengobatan yang telah diberikan selama


dirawat di RS.

Kaji orang terdekat dengan klien, bagaimana pola komunikasi dalam


keluarga, hal yang menjadi beban pikiran klien dan mekanisme koping

yang digunakan.
Status sosio-ekonomi : Kaji masalah finansial klien
Data spiritual : Kaji tentang keyakinan klien terhadap Tuhan YME, dan
kegiatan keagamaan yang biasa dilakukan.

Intervensi
Diagnosis: Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif
Tujuan:

Keseimbangan cairan tubuh klien adekuat setelah 2 x 24 jam


Status hidrasi klien adekuat setelah 2 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Kekurangan volume cairan terliminasi, ditandai dengan keseimbangan

cairan, elektrolit dan asam-basam, dan hidrasi yang adekuat.


Klien akan memiliki hemoglobin dan hematokrit dalam rentang normal.
Hb: 12-16 g/dL, sementara Hct: 38%-48%.

Intervensi:

Monitor jumlah, dan frekuensi dari perdarahan yang terjadi pada klien.
Rasional: jumlah dan frekuensi yang meningkat dari perdarahan bisa
berisiko untuk menyebabkan klien jatuh ke dalam kondisi syok

hipovolemik.
Evaluasi adanya vertigo maupun postural hipotensi.
Rasional: terjadinya sakit kepala seperti postural hipotensi menandakan
penurunan tekanan darah akibat berkurangnya jumlah darah dalam tubuh

yang disebabkan oleh perdarahan.


Monitor status hidrasi seperti mukosa membran, keadekuatan pulsasi, dan
tekanan darah ortostatik.
Rasional: agar perawat bisa waspada jika suatu ketika terjadi perubahan
akibat perdarahan yang terjadi.

Kolaborasikan dengan dokter untuk melakukan transfusi darah jika


diperlukan.
Rasional: pada abortus yang menyebabkan perdarahan terus-menerus,
klien bisa berisiko untuk mengalami syok hipovolemik jika tidak diberikan

transfusi untuk menggantikan perdarahan yang keluar.


Instruksikan pada keluarga klien agar memberitahukan pada perawat jika
klien mulai merasa haus.
Rasional: haus merupakan mekanisme tubuh untuk memberitahu bahwa
status hidrasi klien sedang tidak baik.

Diagnosis: Risiko infeksi


Tujuan:

Status imun klien tetap adekuat setelah 1 x 24 jam.


Tidak terjadi infeksi pada klien setelah 1 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Faktor risiko infeksi akan tereliminasi ditandai dengan keadekuatan status


imun klien, kontrol terhadap risiko infeksi, dan secara konsisten

mendemonstrasikan deteksi risiko dan perilaku mengontrol risiko.


Klien akan terbebas dari tanda-tanda dan gejala terkait infeksi.

Intervensi:

Monitor tanda dan gejala dari infeksi pada klien (seperti peningkatan suhu
tubuh dan nadi).
Rasional: agar apabila muncul tanda-tanda infeksi, perawat bisa segera

memberitahukan pada dokter.


Awasi faktor yang sangat rentan (abortus) terhadap terjadinya infeksi.
Rasional: abortus dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi karena
perdarahan yang terjadi.
Ajarkan pada klien dan keluarga mengenai alasan abortus bisa
menyebabkan infeksi.
Rasional: agar klien dan keluarga paham dan dapat ikut serta dalam

upaya pencegahan infeksi terhadap klien.


Ajarkan pada klien dan keluarga mengenai tanda dan gejala dari infeksi
serta kapan mereka harus melapor.

Rasional: agar jika infeksi pada akhirnya tetap terjadi pada klien, keluarga
maupun klien bisa segera melaporkannya sebelum komplikasi lebih lanjut

terjadi.
Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik jika diperlukan.
Rasional: antibiotik biasa digunakan untuk menekan terjadinya infeksi.
Gunakan teknik universal precaution setiap kali berhadapan dengan klien.
Rasional: untuk mencegah penyebaran infeksi dan mengurasi risiko
terjadinya infeksi.

Diagnosis: Risiko syok


Tujuan:

Syok pada klien tidak terjadi setelah 1 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Klien menunjukkan status hidrasi yang baik seperti mukosa membran

yang lembab dan mampu berkeringat dengan baik.


Klien memiliki hemoglobin dan hematokrit dalam rentang normal.

Intervensi:

Monitor jumlah, dan frekuensi dari perdarahan yang terjadi pada klien.
Rasional: jumlah dan frekuensi yang meningkat dari perdarahan bisa
berisiko untuk menyebabkan klien jatuh ke dalam kondisi syok

hipovolemik.
Dengan saran dokter, lakukan transfusi darah pada klien jika diperlukan.
Rasional: syok bisa terjadi akibat status hipovolemik yang terjadi yang

disebabkan oleh perdarahan yang dialami oleh klien.


Monitor tanda-tanda infeksi dari klien.
Rasional: jika terjadi infeksi bahkan sepsis pada klien, perdarahan yang
terjadi bisa menjadi semakin parah yang mungkin akan menyebabkan

syok hipovolemik terjadi.


Anjurkan klien untuk banyak minum.
Rasional: untuk membantu hidrasi secara oral dan meningkatkan volume
darah dalam tubuh klien.

Kehamilan Ektopik
Definisi dari kehamilan ektopik

Kehamilan ektopik (KE) adalah suatu keadaan di mana hasil konsepsi


berimplantasi, tumbuh, dan berkembang tidak pada dinding endometrium kavum
uteri. Bila kehamilan tersebut mengalami proses pengakhiran (abortus), maka
disebut dengan kehamilan ektopik terganggu (KET). Sementara itu, kehamilan
yang berimplantasi di luar uterus disebut kehamilan ekstrauterin. Dengan
pengertian seperti itu, maka kehamilan pada pars interstitial tuba dan kehamilan
pada servikal termasuk kehamilan intrauterin, namun memiliki sifat kehamilan
ektopik yang sangat berbahaya. Sebagian besar kehamilan ektopik terjadi pada
tuba, jarang terjadi pada ovarium atau pada rongga abdomen.

Klasifikasi untuk kehamilan ektopik


Berdasarkan tempat implantasinya:

Kehamilan pada tuba


Lebih dari 95% kehamilan ektopik terjadi pada tuba. Tanda dan gejalanya
bervariasi pada masing-masing wanita, tetapi pada umumnya hampir
sama dengan aborsi atau ruptur tuba. Ovum yang dibuahi dapat
berkembang di setiap bagian oviduktus yang menyebabkan kehamilan
tuba di ampula, ismus, maupun di interstisium (kornu). Ampula adalah
tempat tersering terjadinya kehamilan tuba, sedangkan kehamilan
interstisium terhitung hanya sekitar 3% dari seluruh gestasi tuba.

Kehamilan di dalam ovarium


Kehamilan jenis ini jarang ditemukan. Pada kehamilan ovarial biasanya
terjadi ruptur pada kehamilan muda dengan akibat perdarahan di dalam
abdomen. Hasil konsepsi dapat pula mengalami kematian sebelumnya,
sehingga tidak terjadi ruptur, ditemukan benjolan dengan berbagai
ukuran, yang terdiri atas jaringan ovarium yang mengandung darah, vili
korialis, dan mungkin juga selaput mudigah.

Kehamilan di daerah serviks


Kehamilan servikal pun sangat jarang terjadi. Bila ovum berimplantasi
dalam kanalis servikalis, maka akan terjadi perdarahan tanpa rasa nyeri
pada kehamilan muda. Jika kehamilan berlangsung terus, maka serviks
akan membesar dengan ostium uteri eksternum yang terbuka sebagian.
Kehamilan servikal jarang melewati usia kehamilan12 minggu dan
biasanya diakhiri secara operatif karena adanya perdarahan. Pengeluaran
hasil konsepsi per vaginam dapat menyebabkan banyak perdarahan,

sehingga untuk menghentikan perdarahan diperlukan histerektomia


totalis.

Kehamilan di dalam abdomen


Kehamilan di dalam abdomen hampir selalu diakibatkan oleh ruptur dini
kehamilan pada tuba atau aborsi ke dalam rongga peritoneum. Pada
beberapa kasus yang jarang terjadi, sel telur yang telah dibuahi memilih
abdomen sebagai tempat untuknya menanamkan diri.

Epidemiologi dari kehamilan ektopik


Kehamilan tuba meliputi >95% yang terdiri dari: pars ampularis (55%), pars
ismika (25%), pars fimbriae (17%) dan pars interstisialis (2%). Di Amerika Serikat
pada tahun 1991-1999, kehamilan ektopik menjadi penyebab kematian yang
berhubungan dengan kehamilan di antara wanita berkulit gelap sebesar 8%,
dibanding dengan 4% untuk wanita berkulit cerah.
Semua wanita yang memiliki gangguan dengan ovariumnya berpotensi
mengalami kehamilan ektopik, termasuk wanita sejak menarche hingga
menopause. Wanita yang berusia lebih dari 40 tahun juga memiliki prevalensi
yang lebih tinggi. Kehamilan ektopik lainnya seperti yang terjadi pada serviks,
abdomen, maupun ovarium memiliki prevalensi sebesar 5% dari semua
kehamilan.

Patofisiologi dari kehamilan ektopik


Patofisiologi terjadinya kehamilan ektopik tersering adalah karena ovum yang
sudah dibuahi dalm perjalanannya menuju endometrium tersendat sehingga
embrio sudah berkembang sebelum mencapai kavum uteri dan akibatnya
tumbuh di luar rongga rahim. Bila kemudian nidasi tersebut tidak dapat
menyesuaikan diri dengan besarnya buah kehamilan, maka akan terjadi ruptura
dan menjadi kehamilan ektopik yang terganggu.

Faktor risiko terjadinya kehamilan ektopik

Faktor tuba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba
menyempit atau buntu.
Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan saluran tuba yang
berkelok-kelok panjang dapat menyebabkan fungsi silia tuba tidak
berfungsi dengan baik. Juga pada keadaan pasca operasi rekanalisasi tuba
dapat menjadi predisposisi terjadinya kehamilan ektopik.
Faktor tuba yang lainnya adalah kelainan endometriosis tuba atau
divertikel saluran tuba yang bersifat kongenital.
Adanya tumor di sekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri atau tumor
ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk dan patensi tuba, juga

dapat menjadi etiologi kehamilan ektopik.


Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka
zigot akan tersendat dalam perjalanannya saat melalui tuba, kemudian

terhenti dan tumbuh di saluran tuba.


Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang
kontralateral, dapat membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih
panjang sehingga kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik jauh lebih

besar.
Faktor hormonal
Pada akseptor, pil KB hanya mengandung progesteron yang dapat
mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan,

dapat menyebabkan kehamilan ektopik.


Faktor lain
Yang termasuk di sini adalah pemakaian IUD di mana proses peradangan
yang dapat timbul pada endometrium dan endosalping dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik. Faktor umum penderita yang

sudah menua dan faktor perokok juga sering dikaitkan dengan terjadinya
kehamilan ektopik.

Manifestasi klinis dari kehamilan ektopik


1. Amenorea
Lamanya amenorea bervariasi dari beberapa hari hingga beberapa

bulan
Dengan amenorea, dapat ditandai tanda-tanda hamil muda, yaitu
emesis gravidarum, mual, dan terjadi perasaan mengidam.

2. Terjadi nyeri abdomen


Nyeri abdomen disebabkan kehamilan tuba yang pecah.
Rasa nyeri dapat menjalar ke seluruh abdomen, bergantung pada

perdarahan di dalamnya.
Bila rangsangan darah dalam abdomen mencapai diafragma, dapat

terjadi nyeri di daerah bahu.


Bila darahnya membentuk hematokel, yaitu timbunan di daerah
kavum Douglas, akan terjadi rasa nyeri di bagian bawah dan saat

buang air besar.


3. Perdarahan
Terjadinya abortus atau ruptura kehamilan tuba terdapat
perdarahan ke dalam kavum abdomen dalam jumlah yang

bervariasi.
Darah yang tertimbun dalam kavum abdomen tidak berfungsi
sehingga terjadi gangguan dalam sirkulasi umum yang
menyebabkan nadi meningkat, tekanan darah menurun hingga

jatuh ke dalam keadaan syok.


Hilangnya darah dari peredaran darah umum yang mengakibatkan
penderita tampak anemis, daerah ujung ekstremitas dingin,
berkeringat dingin, kesadaran menurun, dan pada abdomen

terdapat hematoma.
Setelah kehamilannya mati, desidua dalam kavum uteri dikeluarkan
dalam bentuk desidua spuria, seluruhnya dikeluarkan bersama dan
dalam bentuk perdarahan hitam seperti menstruasi.

Pemeriksaan diagnostik untuk kehamilan ektopik


1. Anamnesa tentang trias kehamilan ektopik terganggu
Terdapat amenorea (terlambat menstruasi atau tidak menstruasi)

Terdapat rasa nyeri mendadak diserai rasa nyeri di daerah bahu dan

seluruh abdomen.
Terdapat perdarahan melalui vagina.
2. Pemeriksaan fisik
Fisik umum:
Penderita tampak anemis dan sakit
Kesadaran bervariasi dari baik sampai koma tidak sadar
Daerah ujung ekstremitas dingin
Pemeriksaan nadi meningkat, tekanan darah turun hingga syok
Pemeriksaan abdomen, perut kembung, terdapat cairan bebasdarah, nyeri saat perabaan.
Pemeriksaan khusus melalui vagina
Nyeri goyang pada pemeriksaan serviks
Kavum Douglas menonjol dan nyeri
Mungkin terasa tumor di samping uterus
Pada hematokel tumor dan uterus sulit dibedakan.
3. Pemeriksaan laboratorium: kadar hemoglobin, leukosit, tes kehamilan,
dilatasi dan kuretase.
4. Pemeriksaan ultrasonografi (USG): dijumpai kantong kehamilan
(gestational sac) di luar kavum Douglas untuk KET.
5. Pemeriksaan Kuldosentesis: ditemukan adanya darah cair di kavum
Douglas, dengan karakteristik hallo-sign, namun pemeriksaan ini sangat
tidak nyaman bagi pasien dan dapat dilewati jika telah terdapat keyakinan
diagnosis (khususnya dengan pemeriksaan USG)
6. Pemeriksaan laparoskopi jika perlu
Penatalaksanaan untuk pasien dengan kehamilan ektopik

Segera dibawa ke rumah sakit.


Transfusi darah dan pemberian cairan alkaloid untuk koreksi anemia dan
hipovolemia.
Operasi (laparotomi) segera setelah diagnosis dipastikan:
a. Salpingektomi untuk kehamilan tuba.
b. Ooforektomi atau salpingo-ooforektomi untuk kehamilan kornu.
c. Pada kehamilan kornu yang ibunya berusia lebih dari 35 tahun
dapat dilakukan histerektomi, atau fundektomi bila usia masih
muda, atau hanya insisi dan reparasi bila kerusakan pada kornu
kecil saja.
d. Kehamilan abdominal dilakukan laparotomi lalu produk kehamilan
diambil seluruhnya, jika kehamilan tersebut kecil. Tetapi pada
kehamilan abdominal lanjut, tali pusat dipotong sedekat mungkin
dengan plasenta, dan plasenta tersebut ditinggalkan secara utuh

dalam rongga abdomen lalu dinding abdomen ditutup (pasang drain


jika perlu). Upaya untuk mengangkat plasenta pada kehamilan
abdominal lanjut dapat berakhir dengan bencana, yaitu perdarahan
yang tidak dapat dikendalikan maupun diatasi.

Asuhan keperawatan untuk pasien dengan kehamilan ektopik


Pengkajian
1. Biodata Meliputi identitas pasien, identitas penanggung jawab dan
identitas masuk.
2. Riwayat kesehatan, meliputi keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang,
riwayat kesehatan dahulu, riwayat kesehatan keluarga dan riwayat sosial
ekonomi.
3. Status Obstetrikus, meliputi :
Menstruasi : menarche, lama, siklus, jumlah, warna dan bau
Riwayat perkawinan : berapa kali menikah, usia perkawinan
Riwayat persalinan
Riwayat KB
4. Pengkajian pasca operasi rutin, menurut (Ingram, Barbara, 1999)
Kaji tingkat kesadaran
Ukur tanda-tanda vital
Auskultasi bunyi nafas
Kaji turgor kulit
Pengkajian abdomen
Inspeksi ukuran dan kontur abdomen
Auskultasi bising usus
Palpasi terhadap nyeri tekan dan massa Tanyakan tentang perubahan pola defekasi Kaji status balutan
Kaji terhadap nyeri atau mual
5. Data penunjang
pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah lengkap (NB, HT,

SDP)
Terapi : terapi yang diberikan pada post operasi baik injeksi

maupun peroral
USG

Intervensi
Diagnosis: Risiko syok
Tujuan:

Syok pada klien tidak terjadi setelah 1 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Klien menunjukkan status hidrasi yang baik seperti mukosa membran

yang lembab dan mampu berkeringat dengan baik.


Klien memiliki hemoglobin dan hematokrit dalam rentang normal.

Intervensi:

Monitor jumlah, dan frekuensi dari perdarahan yang terjadi pada klien.
Rasional: jumlah dan frekuensi yang meningkat dari perdarahan bisa
berisiko untuk menyebabkan klien jatuh ke dalam kondisi syok

hipovolemik.
Dengan saran dokter, lakukan transfusi darah pada klien jika diperlukan.
Rasional: syok bisa terjadi akibat status hipovolemik yang terjadi yang

disebabkan oleh perdarahan yang dialami oleh klien.


Monitor tanda-tanda infeksi dari klien.
Rasional: jika terjadi infeksi bahkan sepsis pada klien, perdarahan yang
terjadi bisa menjadi semakin parah yang mungkin akan menyebabkan

syok hipovolemik terjadi.


Anjurkan klien untuk banyak minum.
Rasional: untuk membantu hidrasi secara oral dan meningkatkan volume
darah dalam tubuh klien.

Diagnosis: Nyeri akut b.d agen cedera fisik (KET)


Tujuan:

Tingkat nyeri klien bisa diturunkan dalam 3 x 24 jam.


Tingkat kenyamanan klien bisa ditingkatkan setelah 2 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Klien akan melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologisnya.


Klien mampu melaporkan rasa nyeri yang dirasakannya lagi.

Klien mampu mendemonstrasikan teknik relaksasi yang efektif untuk


mengurangi rasa nyerinya.

Intervensi:

Tanyakan pada klien terkait tingkat atau skala nyeri dalam rentang 0
sampai 10 dengan 0 adalah tidak nyeri sama sekali dan 10 adalah sangat
nyeri.
Rasional: untuk mengetahui apakah perawat perlu memberitahukan pada
dokter terkait kebutuhan analgesik jika nyeri klien sudah melewati skala 5

ke atas.
Lakukan pengkajian menyeluruh terhadap nyeri yang dirasakan klien
seperti lokasi nyeri, karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas atau keparahan nyeri, serta faktor presipitasi.
Rasional: dapat membantu perawat dan dokter untuk menentukan

intervensi yang sesuai untuk mengatasi nyeri klien.


Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik jika dibutuhkan.
Rasional: analgesik mampu membantu mengurangi rasa nyeri yang
muncul.
Bantu pasien untuk mengidentifikasi metode yang dapat mengurangi rasa
nyeri di masa lalu seperti teknik distraksi, relaksasi, atau penggunaan alat
bersuhu hangat atau dingin.
Rasional: jika di masa lalu, klien mampu mengatasi nyerinya dengan
efektif setelah menggunakan cara yang sama, ada kemungkinan metode

tersebut bisa digunakan kembali untuk mengurangi rasa nyeri.


Awasi faktro lingkungan yang mungkin mampu meningkatkan
ketidaknyamanan klien sepeti suhu ruangan, pencahayaan, dan
kebisingan.
Rasional: lingkungan yang tenang dan membuat nyaman klien bisa
membantu klien lebih relaks dan hal tersebut mampu mengurangi rasa
nyeri yang diderita klien.

Diagnosis: Penurunan curah jantung b.d penurunan volume sekuncup.


Tujuan:

Status sirkulasi klien adekuat setelah 1 x 24 jam.


Perfusi jaringan perifer klien adekuat setelah 1 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Klien akan memiliki urin output, BUN, dan plasma kreatinin dalam rentang

normal.
Klien akan memiliki warna kulit yang normal.
Klien mampu mendemonstrasikan peningkatan toleransi aktivitas fisik.

Intervensi:

Ukur tekanan darah klien, periksa adanya sianosis, status respirasi, dan
status mental.
Rasional: penurunan curah jantung dapat menyebabkan penurunan

tekanan darah, status mental, dan status respirasi.


Monitor pulsasi perifer, CRT, suhu dan warna pada ekstremitas.
Rasional: jika warna ekstremitas pucat, CRT > 3 detik, suhu dingin, dan
pulsasi lemah, menandakan perfusi ke jaringan perifer tidak efektif akibat

penurunan curah jantung yang disebabkan oleh perdarahan yang terjadi.


Instruksikan pada klien terkait penetapan intake dan output selama
perdarahan masih terjadi.
Rasional: agar status hidrasi klien bisa tetap adekuat dan menjaga curah

jantung dalam rentang normal.


Lakukan administrasi IV jika terjadi hipotensi mendadak dan parah.
Rasional: untuk membantu meningkatkan tekanan darah klien.

Mola hidatidosa
Definisi dari mola hidatidosa
Yang dimaksuda dengan mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang
berkembang tidak wajar di mana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili
korialis mengalami perubahan berupa degenarasi hidropik. Secara makroskopik,
mola hidatidosa mudah dikenal, yaitu berupa gelembung-gelembung putih,
tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari beberapa
mililiter sampai 1 atau 2 cm.
Gambaran histopatologik yang khas dari mola hidatidosa adalah edema stroma
vili, tidak ada pembuluh darah pada vili/degenerasi hidropik dan proliferasi selsel trofoblas.

Klasifikasi dari mola hidatidosa


Terdapat dua tipe mola hidatidosa yang berbeda-beda: mola komplet dan mola
parsial.

Pada mola komplet, kromosomnya bisa 46XX atau 46 XY, tetapi diberikan
hanya pada satu orang tua dan material kromosomnya diduplikasi. Tipe ini

biasanya mengarah pada koriokarsinoma.


Mola parsial memiliki 69 kromosom. Terdapat tiga kromosom untuk setiap
pasang dan bukannya dua. Tipe mola ini jarang menyebabkan terjadinya
koriokarsinoma.

Epidemiologi dari mola hidatidosa


Angka insidensi kejadian mola hidatidosa secara keseluruhan mencapai lebih
kurang 1,5 dalam 1000 kehamilan. Risiko akan meningkat pada wanita Asia.
Jepang memiliki insidensi kehamilan paling tinggi yaitu 2,0 per 1000 kehamilan
vs. 0,6-1,1 untuk Eropa dan Amerika Utara. Variasi rata-rata insidensi di seluruh
dunia menyebabkan perbedaan antara data berbasis populasi dengan data yang
berbasis rumah sakit.
Angka insidensi ini akan meningkat 10 kali lebih tinggi pada wanita hamil yang
berusia lebih dari 45 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa kehamilan mola lebih
sering terjadi pada kehamilan menjelang akhir siklus masa subur. Wanita yang
memiliki riwayat dengan kehamilan mola sebelumnya juga memiliki angka
rekurensi yang cukup tinggi.

Patofisiologi untuk mola hidatidosa


Mola hidatidosa adalah tumor plasenta yang berkembang setelah terjadi
kehamilan; tumor ini bisa jinak atau ganas. Risiko keganasan lebih besar terjadi
pada mola komplet. Embrio akan mati dan sel-sel trofoblastik akan terus tumbuh
untuk membentuk tumor yang invasif. Penyakit ini ditandai dengan proliferasi vili
plasenta yang menjadi edema dan membentuk kumpulang menyerupai anggur.
Vesikel-vesikel yang berisi cairan ini akan tumbuh dengan cepat dan
menyebabkan uterus menjadi lebih besar dari yang seharusnya untuk usia
kehamilan. Kemudian pembuluh-pembuluh darah menghilang atau tidak ada,
demikian pula dengan janin dan kantung amnion.

Faktor risiko untuk mola hidatidosa


Penyebab pasti mola hidatidosa tidak diketahui. Faktor-faktor penyebab
kehamilan ini meliputi:

Ovum: ovum yang sudah patologis sehingga mati, namun terlambat untuk

dikeluarkan.
Imunoselektif dari trofoblas.
Keadaan sosio-ekonomi yang rendah.
Paritas tinggi.
Kekurangan protein.
Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas.

Manifestasi klinis dari mola hidatidosa

Mual dan muntah yang menetap, sering kali menjadi parah.


Perdarahan uterus yang terlihat pada minggu ke-12; bercak darah ataupun
perdarahan hebat mungkin terjadi, tetapi biasanya hanya berupa rabas
yang bercampur darah, cenderung berwarna merah dibanding coklat,

yang terjadi secara intermiten atau terus-menerus.


Ukuran uterus besar untuk usia kehamilan (terjadi pada kurang lebih

sepertiga kasus).
Sesak nafas.
Ovarium biasanya mengalami nyeri tekan dan membesar (theca lutein

cysts).
Tidak ada denyut jantung janin.
Tidak ada aktivitas janin.
Pada palpasi tidak ditemukan bagian-bagian janin.
Hipertensi akibat kehamilan, preeklamsia atau eklamsia sebelum usia
kehamilan 24 minggu.

Pemeriksaan diagnostik untuk mola hidatidosa

Pemeriksaan ultrasonografi (USG). Pada pemeriksaan USG, dapat


dipastikan bawah mola hidatidosa akan tampak seperti TV rusak, tidak
terdapat janin, muncul tampak sebagian plasenta dan kemungkinan dapat

tampak janin.
Pemeriksaan laboratorium. Beta hCG urin lebih tinggi dari 100.000

mIU/mL. Beta hCG serum di atas 40.000 IU/mL.


Pemeriksaan foto abdomen dengan kontras secara intrauteri akan tampak
gambaran seperti sarang lebah.

Pemeriksaan MRI akan menunjukkan tidak adanya janin dan jaringan mola
hidatidosa akan terlihat jelas.

Penatalaksanaan untuk pasien dengan mola hidatidosa

Berikan caira IV dekstrosa 5% dan normal saline dengan perbandingan 1:2


bersama 10 mEq KCl dan 100 mg Piridoksin (B6). 1 liter pertama dialirkan

secara cepat pada kisaran 250 cc per jam. Kaji ulang dalam 24 jam.
Jangan berikan apapun melalui oral selama 24-48 jam.
Berikan diet setelah 24-48 jam:
Cairan jernih: mulai dengan cangkir setiap 15 menit dan meningkat

secara bertahap sesuai dengan kemampuan pasien.


Diet Bratt/lunal: mulai dengan roti panggang kering, biskuit, nasi, atau

kentang rebus dan tingkatkan sesuai dengan kemampuan pasien.


Antiemetik:
Phenergan: 25 mg per IM, IV atau oral.
Zofran: 4-8 mg IV, per oral, atau dititrasi per SC.
Reglan: 10 mg IV, per oral, atau dititrasi per SC.

Adapun pengelolaannya dengan 3 tahap, yaitu:

Perbaikan keadaan umum


Yang termasuk usaha ini adalah misalnya memberikan transfusi darah
untuk memperbaiki syok atau anemia dan menghilangkan atau

mengurangi penyulit seperti preeklamsia atau tirotoksikosis.


Pengeluaran jaringan mola
Ada dua cara, yaitu:
Vakum kuretase
Setelah keadaan umum diperbaiki, dilakukan vakum kuretase tanpa
pembiusan. Untuk memperbaiki keadaan kontraksi diberikan pula
uterotonika. Vakum kuretase dilanjutkan dengan kuretase dengan
sendok kuret biasa yang tumpul. Tindakan kuret cukup dilakukan satu
kali saja, asal bersih. Kuret kedua hanya dilakukan jika ada indikasi.
Sebelum tindakan kuret, lebih baik disediakan darah untuk menjaga

apabila terjadi perdarahan yang banyak.


Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada perempuan yang telah cukup umur dan
cukup memiliki anak. Alasan untuk melakukan histerektomi adalah
karena umur tua dan paritas tinggi merupakan faktor predisposisi
untuk terjadinya keganasan. Batasan yang dipakai adalah umur 35
tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang bahwa pada sediaan

histerektomi bila dilakukan pemeriksaan histopatologis, sudah tampak

adanya tanda-tanda keganasan berupa mola invasif/koriokarsinoma.


Pemeriksaan tingkat lanjut
Hal ini perlu dilakukan mengingat kemungkinan adanya keganasan setelah
mola hidatidosa. Tes hCG harus mencapai nilai normal 8 minggu setelah
evakuasi. Lama pengawasan berkisar satu tahun. Untuk tidak
mengacaukan pemeriksaan, selama periode ini pasien dianjurkan untuk
tidak hamil terlebih dulu dengan penggunaan kondom, diafragma, atau
pantang berkala dengan pasangannya.

Asuhan keperawatan pada pasien dengan mola hidatidosa


Pengkajian

Biodata
Mengkaji identitas klien dan penanggung yang meliputi : nama, umur,
agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,

perkawinan ke-, lamanya perkawinan dan alamat


Keluhan utama: Kaji adanya menstruasi tidak lancar dan adanya

perdarahan pervaginam berulang.


Riwayat kesehatan, yang terdiri atas :
Riwayat kesehatan sekarang: yaitu keluhan sampai saat klien pergi ke
Rumah Sakit atau pada saat pengkajian seperti perdarahan pervaginam di
luar siklus haid, pembesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan.
Riwayat kesehatan masa lalu yaitu riwayat pembedahan. Kaji adanya
pembedahan yang pernah dialami oleh klien, jenis pembedahan, kapan,

oleh siapa dan di mana tindakan tersebut berlangsung.


Riwayat penyakit yang pernah dialami.
Kaji adanya penyakit yang pernah dialami oleh klien misalnya DM,
jantung, hipertensi, masalah ginekologi/urinari, penyakit endokrin, dan

penyakit-penyakit lainnya.
Riwayat kesehatan keluarga yang dapat dikaji melalui genogram dan dari
genogram tersebut dapat diidentifikasi mengenai penyakit turunan dan

penyakit menular yang terdapat dalam keluarga.


Riwayat kesehatan reproduksi. Kaji tentang mennorhoe, siklus menstruasi,
lamanya, banyaknya, sifat darah, bau, warna dan adanya dismenorhoe
serta kaji kapan menopause terjadi, gejala serta keluahan yang
menyertainya

Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas. Kaji bagaimana keadaan anak


klien mulai dari dalam kandungan hingga saat ini, bagaimana keadaan

kesehatan anaknya.
Riwayat seksual. Kaji mengenai aktivitas seksual klien, jenis kontrasepsi

yang digunakan serta keluhan yang menyertainya.


Riwayat pemakaian obat. Kaji riwayat pemakaian obat-obatankontrasepsi

oral, obat digitalis dan jenis obat lainnya.


Pola aktivitas sehari-hari. Kaji mengenai nutrisi, cairan dan elektrolit,
eliminasi (BAB dan BAK), istirahat tidur, hygiene, ketergantungan, baik
sebelum dan saat sakit.

Pemeriksaan fisik
Inspeksi:

Muka dan kadang-kadang badan terlihat pucat kekuningan yang disebut

muka mola (mola face).


Jika gelembung mola yang sudah keluar dapat dilihat dengan jelas.

Palpasi:

Uterus membesar tidak sesuai dengan tuanya kehamilan, terasa lembek.


Tidak teraba bagian-bagian janin dan balotemen, juga pergerakan dari

janin.
Adanya fenomena harmonica, yaitu darah dan gelembung mola keluar dan
fundus uteri turun, lalu naik lagi karena berkumpulnya darah baru.

Auskultasi:

Tidak terdengar denyut jantung janin.


Terdengar bising dan bunyi khas.

Pemeriksaan dalam:

Pastikan besarnya rahim, rahim terasa lembek, tidak ada bagian janin,
terdapat perdarahan dan jaringan dalam kanalis servikalis dan vagina

serta evaluasi keadaan serviks.


Uji sonde: sonde dimasukkan pelan-pelan dan hati-hati ke dalam kanalis
servikalis dan kavum uteri. Jika tidak ada tahanan, sonde diputar serta
ditarik sedikit. Jika tidak ada tahanan, kemungkinan mola.

Intervensi
Diagnosis: Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif.

Tujuan:

Keseimbangan cairan tubuh klien adekuat setelah 2 x 24 jam


Status hidrasi klien adekuat setelah 2 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Kekurangan volume cairan terliminasi, ditandai dengan keseimbangan

cairan, elektrolit dan asam-basam, dan hidrasi yang adekuat.


Klien akan memiliki hemoglobin dan hematokrit dalam rentang normal.
Hb: 12-16 g/dL, sementara Hct: 38%-48%.

Intervensi:

Monitor jumlah, dan frekuensi dari perdarahan yang terjadi pada klien.
Rasional: jumlah dan frekuensi yang meningkat dari perdarahan bisa
berisiko untuk menyebabkan klien jatuh ke dalam kondisi syok

hipovolemik.
Evaluasi adanya vertigo maupun postural hipotensi.
Rasional: terjadinya sakit kepala seperti postural hipotensi menandakan
penurunan tekanan darah akibat berkurangnya jumlah darah dalam tubuh

yang disebabkan oleh perdarahan.


Monitor status hidrasi seperti mukosa membran, keadekuatan pulsasi, dan
tekanan darah ortostatik.
Rasional: agar perawat bisa waspada jika suatu ketika terjadi perubahan

akibat perdarahan yang terjadi.


Kolaborasikan dengan dokter untuk melakukan transfusi darah jika
diperlukan.
Rasional: pada abortus yang menyebabkan perdarahan terus-menerus,
klien bisa berisiko untuk mengalami syok hipovolemik jika tidak diberikan

transfusi untuk menggantikan perdarahan yang keluar.


Instruksikan pada keluarga klien agar memberitahukan pada perawat jika
klien mulai merasa haus.
Rasional: haus merupakan mekanisme tubuh untuk memberitahu bahwa
status hidrasi klien sedang tidak baik.

Diagnosis: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d


ketidakmampuan mencerna makanan.
Tujuan :

Status nutrisi klien terpenuhi dalam 1 x 24 jam

Kriteria hasil:

Klien akan mengungkapkan nutrisi terpenuhi dengan kriteria : nafsu

makan meningkat, porsi makan dihabiskan.


Klien melaporkan keadekuatan tingkat energinya.

Intervensi :

Evaluasi status nutrisi klien dan tentukan kebutuhan nutrisi yang dapat
dipenuhi klien sesuai dengan kebutuhannya.
Rasional: sebagai langkah awal bagi perawat untuk menetapkan rencana

intervensi selanjutnya.
Anjurkan pada klien untuk makan sedikit demi sedikit tetapi sering.
Rasional: makan sedikit demi sedikit tapi sering mampu membantu untuk

meminimalkan rasa mual yang akan menyebabkan malas untuk makan.


Anjurkan untuk makan makanan dalam keadaan hangat dan bervariasi
Rasional: makanan yang hangat dan bervariasi dapat membantu untuk

membangkitkan nafsu makan klien.


Timbang berat badan klien sesuai indikasi.
Rasional: mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian

nutrisi pada klien.


Tingkatkan kenyamanan lingkungan termasuk sosialisasi saat makan,
anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan yang disukai klien.
Rasional: sosialisasi waktu makan dengan orang terdekat atau teman
dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makanan.

Diagnosis: Risiko infeksi


Tujuan :

Tidak terjadi infeksi pada klien setelah 1 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Klien akan terbebas dari infeksi dengan kriteria :


Tidak tampak tanda-tanda infeksi
Vital sign dalam batas normal

Intervensi :

Evaluasi

dan

monitor

adanya

tanda-tanda

infeksi

pada

klien

Rasional: agar perawat bisa mengetahui adanya gejala awal dari proses
infeksi dan segera melaporkannya pada dokter.

Observasi tanda-tanda vital klien seperi nadi dan status respirasi.


Rasional: perubahan vital sign merupakan salah satu indikator dari
terjadinya proses infeksi dalam tubuh.

Observasi dan evaluasi daerah yang mengalami kerusakan akibat


kuretase.
Rasional:

deteksi

melakukan

dini

tindakan

perkembangan
dengan

segera

infeksi
dan

memungkinkan
pencegahan

untuk

komplikasi

selanjutnya.

Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antibiotik


Rasional:

antibiotik

dapat

menghambat

pembentukan

sel

bakteri,

sehingga proses infeksi tidak terjadi. Di samping itu antibiotik juga dapat
langsung membunuh sel bakteri penyebab infeksi

Plasenta Previa
Definisi dari plasenta previa
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim
sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum. Meskipun
separuh dari wanita berada pada tahap aterm saat perdarahan pertama kali
terjadi, persalinan prematur masih tetap merupakan masalah besar bagi separuh
lainnya karena tidak semua wanita dengan plasenta previa dan janin prematur
dapat ditangani dengan cara menunggu. Dari sudut pandang ibu, transfusi darah
yang memadai serta prosedur sesar telah banyak mengurangi angka kematian
akibat plasenta previa.

Klasifikasi
1. Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi seluruh
ostium uteri internum.

2. Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium


uteri internum.
3. Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir
ostium uteri internum.
4. Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen
bagian bawah rahim sedemikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada
jarak lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum. Jarak yang lebih dari 2
cm dianggap plasenta letak normal.

Epidemiologi dari plasenta previa


Plasenta previa lebih banyak pada kehamilan dengan paritas tinggi dan pada
usia ibu di atas 30 tahun. Juga lebih sering terjadi pada kehamilan ganda
dibandingkan dengan kehamilan tunggal. Uterus yang cacat juga ikut

mempertinggi angka kejadiannya. Pada beberapa rumah sakit umum


pemerintah dilaporkan insidennya berkisar 1,7% sampai dengan 2,9%. Di
negara maju, insidensinya lebih rendah, yaitu kurang dari 1%. Hal itu mungkin
disebabkan oleh berkurangnya perempuan hamil paritas tinggi.
Sementara itu, usia juga berhubungan dengan prevalensi kejadian dari plasenta
previa. Risiko terjadinya plasenta previa pada ibu usia 12-19 tahun adalah 1%,
usia 20-29 tahun adalah 0,33%, usia 30-39 tahun adalah 1%, dan di atas 40
tahun adalah 2%.
Patofisiologi dari plasenta previa
Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trimester ketiga dan mungkin
juga lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuknya segmen bawah rahim,
tapak plasenta akan mengalami perlepasan. Sebagaimana telah diketahui
bahwa tapak plasenta terbentuk dari jaringan maternal, yaitu bagian desidua
basalis yang tumbuh menjadi bagian dari uri. Dengan melebarnya isthmus uteri
menjadi segmen bawah rahim, maka plasenta yang berimplantasi di sana akan
sedikit banyak mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua sebagai
tapak plasenta. Demikian pula pada waktu serviks mendatar (effacement) dan
membuka (dilatation) ada bagian tapak plasenta yang terlepas. Pada tempat
laserasi itu akan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal, yaitu
dari ruangan intervillus dari plasenta. Oleh karena fenomena pembentukan
segmen bawah rahim itu, perdarahan pada plasenta previa berapapun pasti
akan terjadi (unavoidable bleeding).
Perdarahan di tempat itu relatif dipermudah dan diperbanyak oleh karena
segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi dengan kuat
karena elemen otot yang dimilikinya sangat minimal, dengan akibat pembuluh
darah pada tempat itu tidak akan tertutup dengan sempurna. Perdarahan akan
berhenti apabila terjadi pembekuan dan akan berlangsung lebih banyak dan
lebih lama apabila terdapat laserasi yang mengenai sinus yang besar dari
plasenta. Karena pembentukan segmen bawah rahim akan berlangsung lama
dan bertahap, maka adanya laserasi yang baru akan mengulangi kejadian
perdarahan.
Darah yang keluar akan berwarna merah segar tanpa rasa nyeri. Pada plasenta
yang menutupi seluruh ostium uteri internum, perdarahan terjadi lebih awal
dalam kehamilan karena segmen bawah rahim terbentuk lebih dulu pada bagian
yang paling bawah (ostium uteri internum). Sebaliknya, pada plasenta previa

parsialis atau letak rendah, perdarahan baru terjadi pada waktu mendekati atau
dimulainya persalinan.
Perdarahan pertama sudah bisa terjadi di bawah usia kehamilan 30 minggu,
tetapi lebih dari separuh kejadiannya terjadi pada usia kehamilan 34 minggu ke
atas. Berhubung tempat perdarahan dekat dengan ostium uteri internum, maka
perdarahan akan lebih mudah mengalir ke luar rahim dan tidak membentuk
hematoma retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas dan
melepaskan tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian,
sangat jarang terjadinya koagulopati pada plasenta previa.

Faktor risiko terjadinya plasenta previa


Faktor predisposisi untuk plasenta previa:
1. Melebarkan pertumbuhan plasenta akibat:

Kesuburuan endometrium kurang


Kehamilan gemelli
Tumbuh-kembang plasenta tipis.

2. Kurang suburnya endometrium akibat:

Pada grandemultipara
Jarak kehamilan terlalu pendek
Malnutrisi ibu hamil
Melebarnya plasenta oleh karena kehamilan gemelli
Usia ibu yang sudah lanjut

3. Terlambatnya implantasi akibat:

Endometrium fundus kurang subur


Terlambatnya tumbuh-kembang hasil konsepsi dalam bentuk blastula siap
untuk nidasi

4. Riwayat plasenta previa sebelumnya


5. Riwayat persalinan dengan pembedahan sesar sebelumnya
6. Multiparitas

Manifestasi klinis dari plasenta previa

Perdarahan per vaginam berwarna merah cerah tanpa rasa nyeri,


Biasanya baru terjadi pada akhir trimester kedua ke atas
Perdarahan biasanya berlangsung tidak banyak serta berhenti sendiri

sebelum nanti terjadi lagi.


Pada setiap pengulangan perdarahan maka darah yang keluar akan lebih

banyak bahkan seperti mengalir.


Seringnya terjadi pada saat malam hari ketika pembentukan segmen
bawah rahim (SBR).

Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan plasenta previa

Ultrasonografi (USG).
USG merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendiagnosis plasenta
previa. Hanya 5% plasenta previa yang diidentifikasi melalui USG pada
trimester kedua yang bertahan hingga kehamilan cukup bulan (aterm).

Penatalaksanaan untuk pasien dengan plasenta previa

Tujuan dari penatalaksanaan terhadap plasenta previa adalah untuk


memaksimalkan pematangan janin dan meminimalkan risiko terhadap ibu dan
janin.
1. Tata laksana secara rawat jalan mungkin menjadi pilihan bagi ibu yang
mengalami perdarahan tunggal dalam jumlah sedikit jika mereka dapat
mematuhi instruksi untuk membatasi aktivitas dan berada di sekitar rumah
sakit.
2. Jika kehamilan berusia 37 minggu atau lebih, atau jika janin sudah matur,
seksio sesaria merupakan indikasi kecuali jika hanya terdapat plasenta previa
derajat minimal.
3. Jika perdarahan cukup membahayakan ibu atau janin meskipun telah
diberikan transfusi, seksio sesaria merupakan indikasi tanpa memandang
usia kehamilan. Walau demikian, sebagian besar episode perdarahan tidak
bersifat mengancam nyawa. Dengan pemantauan seksama, persalinan dapat
ditunda dengan aman pada sebagian besar kasus ibu dengan plasenta
previa.
4. Pada kehamilan preterm, penatalaksanaan diindikasikan pada pasien tanpa
perdarahan yang nyata, uji tanpa tekanan reaktif, hematokrit yang stabil,
dan mengeluh akan perintah dokter. Sebagian besar pasien memerlukan
pengawasan bangsal, aktivitas fisik dibatasi. Jangan memasukkan apapu ke
dalam vagina, termasuk pemeriksaan dalam vagina. Hematokrit
dipertahankan pada 30% atau lebih. Persalinan prematur dapat dikelola
dengan magnesium sulfat. Penggunaan agen beta-adrenergik dapat
menyebabkan takikardia dan menutupi tanda-tanda perdarahan. Jika usia
kehamilan telah mencapai 36-37 minggu, dengan maturitas janin yang
ditunjukkan dengan amniosentesis, pasien dipersiapkan untuk pemeriksaan
double-setup elektif.
5. Periksa adanya perdarahan janin: untuk 5 mL air ledeng ditambahkan 6 tetes
KOH dan 3 tetes darah vagina pada tabung yang lain. Darah ibu akan
berubah warna menjadi coklat hijau kekuningan setelah 2 menit. Jika
terdapat sel eritrosit janin, larutan ini akan berubah menjadi merah muda.
Persalinan segera merupakan indikasinya.
6. Ingat bahwa plasenta akreta dapat menjadi penyulit plasenta previa pada
wanita dengan riwayat seksio sesaria sebelumnya. Perdarahan dapat
mengharuskan dilakukannya histerektomi.
7. Hindari pelaksanaan sexual intercourse agar tidak memperparah terjadinya
perdarahan.

Asuhan keperawatan untuk pasien dengan plasenta previa


Pengkajian
1. Pengumpulan data
Identifikasi klien : nama klien, jenis kelamin, status perkawinan,

agama, suku atau bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan alamat.


Identitas Penanggung Jawab Pasien
Keluhan utama dan riwayat kesehatan sekarang dan masa lalu
Keluhan utama
Pasien mengatakan perdarahan yang disertai nyeri.
Rahim keras seperti papan dan nyeri tekan karena isi rahim
bertambah dengan dorongan yang berkumpul dibelakang

plasenta, sehingga rahim tegang.


Perdarahan yang berulang-ulang.
Riwayat penyakit sekarang
Darah terlihat merah kehitaman karena membentuk gumpalan darah,
darah yang keluar sedikit banyak, terus menerus. Akibat dari
perdarahan pasien lemas dan pucat. Sebelumnya biasanya pasien
pernah mengalami hypertensi esensialis atau pre eklampsi, tali pusat
pendek trauma, uterus yang sangat mengecil (hydroamnion gameli)

dll.
Riwayat penyakit masa lalu
Kemungkinan pasien pernah menderita penyakit hipertensi, tali pusat

pendek, trauma, uterus / rahim feulidli.


Riwayat psikologis
Pasien cemas karena mengalami perdarahan disertai nyeri, serta tidak

mengetahui asal dan penyebabnya.


2. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Kesadaran : compos mentis s/d koma
Postur tubuh : biasanya gemuk
Cara berjalan : biasanya lambat dan tergesa-gesa
Raut wajah : biasanya pucat
Tanda-tanda vital
Tensi : normal sampai turun (syok)
Nadi : normal sampai meningkat (> 90x/menit)
Suhu : normal / meningkat (> 37C)
RR : normal / meningkat (> 24x/menit)

Anamnesa plasenta previa


1.

Terjadi perdarahan pada kehamilan sekitar 28 minggu.

2.

Shift perdarahan :

Tanpa rasa sakit terjadi secara tiba-tiba


Tanpa sebab yang jelas
Dapat berulang
3. Perdarahan menimbulkan penyulit pada ibu atau janin dalam

rahim
Pada inspeksi dijumpai:
1.

Perdarahan pervagina encer sampai menggumpal

2.

Pada perdarahan yang banyak ibu tanpa anemis

3.

Pemeriksaan fisik ibu:

Dijumpai keadaan bervariasi dari keadaan normal

sampai syok.
Kesadaran penderita bervariasi dari kesadaran baik

sampai koma.
4. Pada pemeriksaan dapat dijumpai :
Tekanan darah, nadi dan pernafasan dalam batas

normal.
Tekanan darah tuirun, nadi dan pernafasan meningkat.
Tanpa anemis

3. Pemeriksaan khusus
1. Pemeriksaan palpasi abdomen
Janin belum cukup bulan, tinggi fundus uteri sesuai dengan

umur hamil.
Karena plasenta di segmen bahwa rahim, maka dapat
dijumpai kelainan letak janin dalam rahim dan bagian

terendah masih tinggi.


2. Pemeriksaan denyut jantung janin
Bervariasi dari normal sampai ke ujung asfiksia dan kematian dalam

rahim.
Pemeriksaan dalam dilakukan diatas meja operasi dan siap untuk
segera mengambil tindakan, Tujuan pemeriksaan dalam untuk :
Menegakkan diagnosa pasti.
Mempersiapkan tindakan untuk melakukan operasi persalinan
atau hanya memecahkan ketuban.

Hasil pemeriksaan dalam teraba plasenta sekitar osteum, uteri,


internum.

Intervensi:
Diagnosis: Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif
Tujuan:

Keseimbangan cairan tubuh klien adekuat setelah 2 x 24 jam


Status hidrasi klien adekuat setelah 2 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Kekurangan volume cairan terliminasi, ditandai dengan keseimbangan

cairan, elektrolit dan asam-basam, dan hidrasi yang adekuat.


Klien akan memiliki hemoglobin dan hematokrit dalam rentang normal.
Hb: 12-16 g/dL, sementara Hct: 38%-48%.

Intervensi:

Monitor jumlah, dan frekuensi dari perdarahan yang terjadi pada klien.
Rasional: jumlah dan frekuensi yang meningkat dari perdarahan bisa
berisiko untuk menyebabkan klien jatuh ke dalam kondisi syok

hipovolemik.
Evaluasi adanya vertigo maupun postural hipotensi.
Rasional: terjadinya sakit kepala seperti postural hipotensi menandakan
penurunan tekanan darah akibat berkurangnya jumlah darah dalam tubuh

yang disebabkan oleh perdarahan.


Monitor status hidrasi seperti mukosa membran, keadekuatan pulsasi, dan
tekanan darah ortostatik.
Rasional: agar perawat bisa waspada jika suatu ketika terjadi perubahan

akibat perdarahan yang terjadi.


Kolaborasikan dengan dokter untuk melakukan transfusi darah jika
diperlukan.
Rasional: pada abortus yang menyebabkan perdarahan terus-menerus,
klien bisa berisiko untuk mengalami syok hipovolemik jika tidak diberikan

transfusi untuk menggantikan perdarahan yang keluar.


Instruksikan pada keluarga klien agar memberitahukan pada perawat jika
klien mulai merasa haus.
Rasional: haus merupakan mekanisme tubuh untuk memberitahu bahwa
status hidrasi klien sedang tidak baik.

Diagnosis: Risiko syok


Tujuan:

Syok pada klien tidak terjadi setelah 1 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Klien menunjukkan status hidrasi yang baik seperti mukosa membran

yang lembab dan mampu berkeringat dengan baik.


Klien memiliki hemoglobin dan hematokrit dalam rentang normal.

Intervensi:

Monitor jumlah, dan frekuensi dari perdarahan yang terjadi pada klien.
Rasional: jumlah dan frekuensi yang meningkat dari perdarahan bisa
berisiko untuk menyebabkan klien jatuh ke dalam kondisi syok

hipovolemik.
Dengan saran dokter, lakukan transfusi darah pada klien jika diperlukan.
Rasional: syok bisa terjadi akibat status hipovolemik yang terjadi yang

disebabkan oleh perdarahan yang dialami oleh klien.


Monitor tanda-tanda infeksi dari klien.
Rasional: jika terjadi infeksi bahkan sepsis pada klien, perdarahan yang
terjadi bisa menjadi semakin parah yang mungkin akan menyebabkan

syok hipovolemik terjadi.


Anjurkan klien untuk banyak minum.
Rasional: untuk membantu hidrasi secara oral dan meningkatkan volume
darah dalam tubuh klien.

Diagnosis: Penurunan curah jantung b.d penurunan volume sekuncup.


Tujuan:

Status sirkulasi klien adekuat setelah 1 x 24 jam.


Perfusi jaringan perifer klien adekuat setelah 1 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Klien akan memiliki urin output, BUN, dan plasma kreatinin dalam rentang

normal.
Klien akan memiliki warna kulit yang normal.
Klien mampu mendemonstrasikan peningkatan toleransi aktivitas fisik.

Intervensi:

Ukur tekanan darah klien, periksa adanya sianosis, status respirasi, dan
status mental.
Rasional: penurunan curah jantung dapat menyebabkan penurunan

tekanan darah, status mental, dan status respirasi.


Monitor pulsasi perifer, CRT, suhu dan warna pada ekstremitas.
Rasional: jika warna ekstremitas pucat, CRT > 3 detik, suhu dingin, dan
pulsasi lemah, menandakan perfusi ke jaringan perifer tidak efektif akibat

penurunan curah jantung yang disebabkan oleh perdarahan yang terjadi.


Instruksikan pada klien terkait penetapan intake dan output selama
perdarahan masih terjadi.
Rasional: agar status hidrasi klien bisa tetap adekuat dan menjaga curah

jantung dalam rentang normal.


Lakukan administrasi IV jika terjadi hipotensi mendadak dan parah.
Rasional: untuk membantu meningkatkan tekanan darah klien.

Abruptio Plasenta
Definisi dari abruptio plasenta
Abruptio plasenta atau yang memiliki nama lain sebagai solusio plasenta,
ablatio placentae, dan accidental hemorrhage ini merupakan suatu keadaan
di mana terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta
dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua endometrium
sebelum waktunya, yaitu sebelum anak lahir.

Klasifikasi untuk abruptio plasenta


Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptur sinus
marginalis), dapat pula terlepas lebih luas (solusio plasenta parsialis), atau
bisa seluruh permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis).
Perdarahan yang terjadi dalam banyak kejadian akan merembes antara
plasenta dan miometrium untuk seterusnya menyelinap di bawah ketuban
dan akhirnya memperoleh jalan ke kanalis servikalis dan ke luar melalui
vagina (revealed hemorrhage). Akan tetapi, ada kalanya walaupun jarang,
perdarahan tersebut tidak keluar melalui vagina (concealed hemorrhage)
jika:

Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim


Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim

Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput ketuban

pecah karenanya
Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada
segmen bawah rahim

Dalam klinis, solusio plasenta dibagi ke dalam berat-ringannya gambaran


klinis sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas, yaitu
solusio plasenta ringan, solusio plasenta sedang, dan solusio plasenta berat.
Yang ringan, biasanya baru diketahui setelah plasenta lahir dengan adanya
hematoma yang tidak luas pada permukaan maternal atau adanya ruptura
sinus marginalis. Pembagian secara klinik ini baru definitif bila ditinjau
retrospektif karena solusio plasenta sifatnya berlangsung progresif yang
berarti solusio plasenta ringan bisa berkembang menjadi yang lebih berat
dari waktu ke waktu. Keadaan umum penderita bisa menjadi buruk apabila
perdarahannya cukup banyak pada kategori concealed hemorrhage.

Solusio plasenta ringan


Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25%, atau ada yang
menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar
biasanya kurang dari 250 mL. Tumpahan darah yang keluar terlihat
seperti haid bervariasi dari sedikit sampai seperti menstruasi yang
banyak. Gejala-gejala perdarahan sukar dibedakan dari plasenta
previa kecuali warna darah yang kehitaman. Komplikasi terhadap ibu
dan janin belum ada pada saat ini.

Solusio plasenta sedang


Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25%, tetapi belum
mencapai separuhnya (50%). Jumlah darah yang keluar lebih banyak
dari 250 mL tetapi belum mencapai 1000 mL. Umumnya,
pertumpahan darah terjadi ke luar dan ke dalam bersama-sama.
Gejala-gejala dan tanda-tanda sudah jelas seperti adanya rasa nyeri
pada perut yang terus-menerus, denyut jantung janin menjadi cepat,
hipotensi, dan takikardia.

Solusio plasenta berat


Luas plasenta yang terlepas sudah mencapai 50% dan jumlah darah
yang keluar telah mencapai 1000 mL atau lebih. Pertumpahan darah
bisa terjadi ke luar dan ke dalam secara bersama-sama. Gejala-gejala
dan tanda-tanda klinik jelas, keadaan umum penderita buruk disertai
syok, dan hampir semua janinnya telah meninggal. Komplikasi

koagulopati dan gagal ginjal yang ditandai dengan oliguri biasanya


telah muncul.

Epidemiologi dari abruptio plasenta


Melihat latar belakan yang sering dianggap sebagai faktor risiko diyakini
bahwa insidensi solusio plasenta semakin menurun dengan semakin baiknya
perawatan antenatal sejalan dengan semakin menurunnya jumlah ibu hamil
di usia dan paritas tinggi, serta membaiknya kesadaran masyarakat untuk
berperilaku lebih higienis. Transportasi yang lebih mudah memberi peluang
pasien untuk cepat sampai ke tujuan sehingga keterlambatan dapat dihindari
dan solusio plasenta tidak sampai berat dan mematikan bagi janin.
Dalam kepustakaan dilaporkan insidensi solusio plasenta 1 dalam 155
sampai 1 dalam 225 persalinan (yang berarti <0,5%) di negara-negara Eropa
untuk solusio plasenta yang tidak sampai mematikan janin. Untuk solusio
yang lebih berat sampai mematikan janin, insidensinya lebih rendah yaitu 1
dalam 830 persalinan (1974-1989) dan turun menjadi 1 dalam 1550
persalinan (1988-1999). Namun, insidensi solusio plasenta diyakini masih
lebih tinggi di tanah air dibanding dengan negara-negara maju.

Patofisiologi untuk abruptio plasenta

Sebenarnya, solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang
bermula dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korialis
plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi
perdarahan. Oleh karena itu, patofisiologinya bergantung pada etiologi. Pada
trauma abdomen, etiologinya jelas karena terjadinya robek pada pembuluh
darah di desidua.
Dalam banyak kejadian, perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis)
yang disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat
menyebabkan pembentukan trombosis dalam pembuluh darah desidua atau
dalam vaskular vili dapat berujung pada iskemia dan hipoksia setempat yang
menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan
sebagai hasil akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis
terlepas kecuali selapis tipis yang tetap melekat pada miometrium. Dengan
demikian, pada tingkat permulaan sekali, proses terdiri atas pembentukan
hematoma yang bisa menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi,
dan kerusakan pada bagian plasenta sekelilingnya yang berdekatan. Pada
awalnya mungkin belum ada gejala kecuali terdapat hematoma
retroplasenta yang disebabkan oleh putusnya arteria spiralis dalam desidua.
Hematoma retroplasenta akan mempengaruhi penyampaian nutrisi dan
oksigen dari sirkulasi maternal/plasenta ke sirkulasi janin.
Hematoma yang terbentuk, dengan cepat akan meluas dan melepaskan
plasenta lebih luas/banyak sampai ke pinggirnya sehingga darah yang keluar
merembes antara selaput ketuban dengan miometrium untuk selanjutnya ke
luar melalui serviks ke vagina (revealed hemorrhage). Perdarahan tidak bisa
berhenti karena uterus yang sedang mengandung tidak mampu berkontraksi
untuk menjepit pembuluh darah arteria spiralis yang terputus. Walaupun
jarang, dapat terjadi pula perdarahan yang terperangkap di dalam uterus
(concealed hemorrhage).

Faktor risiko terjadinya abruptio plasenta


1. Trauma langsung pada abdomen, seperti jatuh atau ada tekanan
mendadak lainnya yang mengenai langsung ke bagian abdomen, akan
meningkatkan risiko abruptio plasenta.

2. Hipertensi pada kehamilan, entah yang bersifat kronis maupun akut


akibat adanya kehamilan, akan meningkatkan risiko terjadinya
abruptio plasenta
3. Usia ibu saat kehamilan. Abruptio plasenta lebih sering terjadi pada
wanita hamil yang berusia lebih dari 40 tahun.
4. Riwayat solusio plasenta terdahulu. Jika ibu pernah mengalami
abruptio plasenta sebelumnya, maka ibu akan berisiko tinggi untuk
mengalaminya lagi.
5. Kehamilan gemelli. Jika ibu ternyata mengalami kehamilan ganda,
maka kelahiran bayi yang pertama berisiko untuk menyebabkan
beberapa perubahan pada uterus yang mungkin dapat berakibat
terjadinya abruptio plasenta pada bayi yang masih berada dalam
rahim.
6. Gangguan pembekuan darah. Kondisi apapun yang mengganggu
kemampuan pembekuan darah pada ibu dapat menjadi risiko
terjadinya abruptio plasenta.
7. Penyalahgunaan bahan kimia. Abruptio plasenta sering terjadi pada
wanita yang merokok, meminum alkohol, maupun yang mengonsumsi
kokain selama kehamilan.
8. Ketuban pecah dini. Selama kehamilan, janin dilindungi oleh cairan
yang bernama cairan ketuban. Risiko abruptio plasenta akan
meningkat apabila terjadi ruptur pada ketuban atau bahkan ketuban
pecah sebelum waktunya kelahiran.

Manifestasi klinis dari abruptio plasenta


Manifestasi klinis dari penderita solusio plasenta bervariasi sesuai dengan
berat ringannya atau luas permukaan maternal plasenta yang terlepas.
Belum ada uji coba yang khas untuk menentukan diagnosisnya. Gejala dan
tanda klinis yang klasik dari solusio plasenta adalah terjadinya perdarahan
yang berwarna tua yang keluar dari vagina (80% kasus), rasa nyeri perut dan
uterus menegang terus-menerus mirip his partus prematurus. Sejumlah
penderita bahkan tidak menunjukkan tanda dan gejala klasik, karena hanya
menunjukkan tanda-tanda yang mirip dengan persalinan prematur saja. Oleh
sebab itu, kewaspadaan atau kecurigaan yang tinggi diperlukan oleh pihak
pemeriksa.

Solusi plasenta ringan

Kurang lebih 30% penderita solusio plasenta ringan tidak atau sedikit
sekali menampakkan gejala. Pada keadaan yang sangat ringan tidak
ada gejala kecuali hematoma yang berukuran beberapa sentimeter
yang terdapat pada permukaan maternal plasenta. Ini dapat diketahui
secara retrospektif pada inspeksi plasenta setelah partus. Rasa nyeri
pada perut masih ringan dan darah yang keluar masih sedikit,
sehingga belum keluar melalui vagina. Nyeri yang belum terasa
membuatnya sulit untuk dibedakan dengan plasenta previa kecuali
darah yang keluar berwarna merah segar pada plasenta previa. Tandatanda vital dan keadaan umum ibu ataupun janin masih baik. Pada
inspeksi dan auskultasi tidak dijumpai kelainan kecuali pada palpasi
terasa sedikit nyeri lokal di tempat terbentuknya hematoma dan perut
sedikit tegang namun bagian-bagian dari janin masih bisa dikenali.
Kadar fibrinogen darah dalam batas-batas normal, yaitu 330 mg%.
Walaupun belum memerlukan intervensi segera, keadaan ringan ini
perlu dimonitor terus sebagai upaya mendeteksi keadaan bertambah
berat. Pemeriksaan ultrasonografi berguna untuk menyingkirkan
plasenta previa dan mungkin bisa mendeteksi luasnya solusio
terutama pada solusio sedang maupun berat.

Solusio plasenta sedang


Gejala-gejala dan tanda-tanda sudah jelas seperti rasa nyeri pada
perut yang terus-menerus, denyut jantung janin biasanya sudah
menunjukkan gawat janin, perdarahan yang tampak keluar lebih
banyak, takikardia, hipotensi, kulit dingin, dan berkeringat. Oliguria
mulai ada, kadar fibrinogen berkurang antara 150 sampai 250 mg/100
mL, dan mungkin kelainan pembekuan darah serta gangguan fungsi
ginjal sudah mulai tampak.
Rasa nyeri dan tegang perut tampak jelas sehingga palpasi pada
bagian-bagian janin mulai sulit untuk dilakukan. Rasa nyeri datangnya
akut, kemudian menetap, tidak bersifat hilang-timbul seperti pada his
yang normal. Perdarahan per vaginam jelas dan berwarna kehitaman.
Penderita tampak pucat karena mulai ada syok hingga keringat dingin.
Keadaan janin biasanya sudah gawat. Pada stadium ini, bisa terjadi his
dan persalinan bisa segera dimulai. Pada pemantauan keadaan janin
dengan kardiotokografi, bisa jadi telah tampak deselerasi yang
lambat. Perlu dilakukan tes gangguan pembekuan darah. Bila

terminasi persalinan terlambat atau fasilitas perawatan intesif


neonatus tidak memadai, kematian perinatal dapat dipastikan terjadi.

Solusio plasenta berat


Perut terasa sangat nyeri dan tegang serta keras seperti papan
(defance musculaire) disertai perdarahan yang berwarna hitam. Oleh
karena itu, palpasi pada bagian-bagian janin tidak mungkin lagi untuk
dilakukan. Fundus uteri lebih tinggi daripada yang seharusnya karena
telah terjadi penumpukan darah di dalam rahim pada kategori
concealed hemorrhage. Jika dalam masa observasi tinggi fundus
bertambah lagi, maka perdarahan baru masih berlangsung. Pada
inspeksi rahim, terlihat seperti membulat dan kulit di atasnya
mengencang serta berkilat. Pada auskultasi, denyut jantung janin
tidak terdengar lagi akibat gangguan anatomik dan fungsi dari
plasenta. Keadaan umum ibu menjadi sangat buruk dan disertai syok.
Ada kalanya keadaan umum ibu lebih buruk lagi dibandingkan
perdarahan yang tidak seberapa yang keluar dari vagina.
Hipofibrinogenemia dan oliguria boleh jadi telah ada sebagai akibat
komplikasi pembekuan darah intravaskular yang luas (disseminated
intravascular coagulation), dan gangguan fungsi ginjal. Kadar
fibrinogen darah rendah yaitu kurang dari 150 mg% dan telah ada
trombositopenia.

Pemeriksaan diagnostik untuk abruptio plasenta

Monitoring keadaan lebih lanjut untuk ibu dan janin.


Pemeriksaan lab darah.
Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan dengan ultrasonografi berfungsi untuk membedakannya
dengan plasenta previa, tetapi pada solusio plasenta, pemeriksaan
dengan USG tidak memberikan kepastian karena kompleksitas
gambaran retroplasenta yang normal mirip dengan gambaran
perdarahan retroplasenta pada solusio plasenta. Kompleksitas
gambaran normal retroplasenta, kompleksitas vaskular rahim sendiri,
desidua dan mioma, semuanya bisa mirip dengan solusio plasenta dan
memberikan hasil pemeriksaan positif palsu. Di samping itu, solusio
plasenta sulit dibedakan dengan plasenta itu sendiri. Pemeriksan
ulang pada perdarahan baur sering bisa membantu karena

ultrasonografi dari darah yang telah membeku akan berubah menurut


waktu menjadi lebih ekogenik pada 48 jam kemudian dan menjadi
hipogenik dalam waktu 1 sampai 2 minggu kemudian.

Penatalaksanaan untuk pasien dengan abruptio plasenta


1. Jika solusio plasenta ringan dan janin belum matur, dapat
diindikasikan penatalaksanaan kehamilan, dengan pemantauan
denyut jantung janin, pemeriksaan ultrasonografi, dan laboratorium
serial. Kadang-kadang, terjadi pemisahan kecil tanpa masalah lebih
lanjut. Pada pasien ini tidak terdapat gejala uterus, namun
pengamatan masih tetap dilakukan, hanya saja, jika tidak terjadi
gawat janin dalam 2 hari selanjutnya, maka pasien dapat dipulangkan.
2. Pada semua kasus lainnya, persalinan merupakan indikasi. Persalinan
per vaginam lebih dipilih jika tidak terdapat gawat janin atau janin
tidak lagi dapat hidup. Seksio sesaria merupakan indikasi jika terdapat
gawat janin. Seksio sesaria juga dilakukan jika nyawa ibu terancam
atau percobaan persalinan gagal.
3. Syok harus diobati dengan penggantian darah yang mencukupi. Lebih
baik diberikan darah lengkap segar. Sambil menunggu darah, pasien
dapat diberikan koloid (1 mL koloid [yaitu albumin, Plasmanate]) untuk
setiap mililiter perkiraan kehilangan darah atau 3 mL kristaloid (yaitu
NS atau RL) per setiap mililiter darah. Keluaran urin harus
dipertahankan 25 sampai 30 mL/jam. Jalur tekanan vena sentral atau
kateter Swan-Ganz akan membantu pemantauan status hemodinamik.
4. Koagulopati harus diobati dengan darah lengkap segar. Plasma beku
segar (Fresh Frozen Plasma) digunakan sebagai alternatif. Satu unit
FFP meningkatkan kadar fibrinogen sebesar 25 mg/dL. Transfusi
trombosit diperlukan jika hitung trombosit kurang dari 50.000. Heparin
tidak digunakan pada DIC akibat solusio plasenta.
Asuhan keperawatan untuk pasien dengan abruptio plasenta
Pengkajian
1. Biodata
Pada biodata yang perlu dikaji berhubungan dengan solusio plasenta
antara lain
Nama

Nama dikaji karena nama digunakan untuk mengenal dan merupakan


identitas untuk membedakan dengan pasien lain dan menghindari
kemungkinan tertukar nama dan diagnosa penyakitnya.
Jenis kelamin
Pada solusio plasenta diderita oleh wanita yang sudah menikah dan
mengalami kehamilan.
Umur
Solusio plasenta cenderung terjadi pada usia lanjut (> 45 tahun) karena
terjadi penurunan kontraksi akibat menurunnya fungsi hormon (estrogen)
pada masa menopause.
Pendidikan
Solusio plasenta terjadi pada golongan pendidikan rendah karena mereka
tidak mengetahui cara perawatan kehamilan dan penyebab gangguan
kehamilan.
Alamat
Solusio plasenta terjadi di lingkungan yang jauh dan pelayanan kesehatan,
karena mereka tidak pernah dapat pelayanan kesehatan dan pemeriksaan
untuk kehamilan.

Riwayat persalinan
Riwayat persalinan pada solusio plasenta biasanya pernah mengalami
pelepasan plasenta.

Status perkawinan
Dengan status perkawinan apakah pasien mengalami kehamilan (KET)
atau hanya sakit karena penyakit lain yang tidak ada hubungannya
dengan kehamilan.

Agama
Untuk mengetahui gambaran dan spiritual pasien sebagai memudahkan
dalam memberikan bimbingan kegamaan.

Nama suami
Agar diketahui siapa yang bertanggung jawab dalam pembiayaan dan
memberi persetujuan dalam perawatan.

Pekerjaan
Untuk mengetahui kemampuan ekonomi pasien dalam pembinaan selama
istrinya dirawat.

2. Keluhan utama
Pasien mengatakan perdarahan yang disertai nyeri
Rahim keras seperti papan dan nyeri tekan karena isi rahim
bertambah dengan dorongan yang berkumpul dibelakang plasenta,
sehingga rahim tegang.
Perdarahan yang berulang-ulang.
3. Riwayat penyakit sekarang
Darah terlihat merah kehitaman karena membentuk gumpalan darh, darah
yang keluar sedikit banyak, terus menerus. Akibat dari perdarahan pasien
lemas dan pucat. Sebelumnya biasanya pasien pernah mengalami
hypertensi esensialis atau pre eklampsi, tali pusat pendek trauma, uterus
yang sangat mengecil (hydroamnion gameli) dll.
4. Riwayat penyakit masa lalu
Kemungkinan pasien pernah menderita penyakit hipertensi / pre eklampsi,
tali pusat pendek, trauma, uterus / rahim feulidli.
5. Riwayat psikologis
Pasien cemas karena mengalami perdarahan disertai nyeri, serta tidak
mengetahui asal dan penyebabnya.
6. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Kesadaran : composmetis s/d coma
Postur tubuh : biasanya gemuk
Cara berjalan : biasanya lambat dan tergesa-gesa
Raut wajah : biasanya pucat
Tanda-tanda vital

Tensi : normal sampai turun (syok)


Nadi : normal sampai meningkat (> 90x/menit)
Suhu : normal / meningkat (> 370 c)
RR : normal / meningkat (> 24x/menit)

7. Pemeriksaan cepalo caudal


Kepala : kulit kepala biasanya normal / tidak mudah mengelupas

rambut biasanya rontok / tidak rontok.


Muka : biasanya pucat, tidak oedema ada cloasma
Hidung : biasanya ada pernafasan cuping hidung
Mata : conjunctiva anemis
Dada : bentuk dada normal, RR meningkat, nafas cepat da dangkal,

hiperpegmentasi aerola.
Abdomen

Inspeksi : perut besar (buncit), terlihat etrio pada area perut, terlihat linea
alba dan ligra
Palpasi rahim keras, fundus uteri naik
Auskultasi : tidak terdengar DJJ, tidak terdengar gerakan janin.
8. Genetalia
Hiperpregmentasi pada vagina, vagina berdarah / keluar darah yang
merah kehitaman, terdapat farises pada kedua paha / femur.
9. Ekstrimitas
Akral dingin, tonus otot menurun.
10.Pemeriksaan penunjang
Darah : Hb, hemotokrit, trombosit, fibrinogen, elektrolit.
USG untuk mengetahui letak plasenta,usia gestasi, keadaan janin

Intervensi
Diagnosis: Nyeri akut b.d agen cedera fisik (solusio plasenta)
Tujuan:

Tingkat nyeri klien bisa diturunkan dalam 3 x 24 jam.


Tingkat kenyamanan klien bisa ditingkatkan setelah 2 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Klien akan melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologisnya.


Klien mampu melaporkan rasa nyeri yang dirasakannya lagi.
Klien mampu mendemonstrasikan teknik relaksasi yang efektif untuk
mengurangi rasa nyerinya.

Intervensi:

Tanyakan pada klien terkait tingkat atau skala nyeri dalam rentang 0
sampai 10 dengan 0 adalah tidak nyeri sama sekali dan 10 adalah sangat
nyeri.

Rasional: untuk mengetahui apakah perawat perlu memberitahukan pada


dokter terkait kebutuhan analgesik jika nyeri klien sudah melewati skala 5

ke atas.
Lakukan pengkajian menyeluruh terhadap nyeri yang dirasakan klien
seperti lokasi nyeri, karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas atau keparahan nyeri, serta faktor presipitasi.
Rasional: dapat membantu perawat dan dokter untuk menentukan

intervensi yang sesuai untuk mengatasi nyeri klien.


Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik jika dibutuhkan.
Rasional: analgesik mampu membantu mengurangi rasa nyeri yang
muncul.
Bantu pasien untuk mengidentifikasi metode yang dapat mengurangi rasa
nyeri di masa lalu seperti teknik distraksi, relaksasi, atau penggunaan alat
bersuhu hangat atau dingin.
Rasional: jika di masa lalu, klien mampu mengatasi nyerinya dengan
efektif setelah menggunakan cara yang sama, ada kemungkinan metode

tersebut bisa digunakan kembali untuk mengurangi rasa nyeri.


Awasi faktro lingkungan yang mungkin mampu meningkatkan
ketidaknyamanan klien sepeti suhu ruangan, pencahayaan, dan
kebisingan.
Rasional: lingkungan yang tenang dan membuat nyaman klien bisa
membantu klien lebih relaks dan hal tersebut mampu mengurangi rasa
nyeri yang diderita klien.

Diagnosis: Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif


Tujuan:

Keseimbangan cairan tubuh klien adekuat setelah 2 x 24 jam


Status hidrasi klien adekuat setelah 2 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Kekurangan volume cairan terliminasi, ditandai dengan keseimbangan

cairan, elektrolit dan asam-basam, dan hidrasi yang adekuat.


Klien akan memiliki hemoglobin dan hematokrit dalam rentang normal.
Hb: 12-16 g/dL, sementara Hct: 38%-48%.

Intervensi:

Monitor jumlah, dan frekuensi dari perdarahan yang terjadi pada klien.

Rasional: jumlah dan frekuensi yang meningkat dari perdarahan bisa


berisiko untuk menyebabkan klien jatuh ke dalam kondisi syok

hipovolemik.
Evaluasi adanya vertigo maupun postural hipotensi.
Rasional: terjadinya sakit kepala seperti postural hipotensi menandakan
penurunan tekanan darah akibat berkurangnya jumlah darah dalam tubuh

yang disebabkan oleh perdarahan.


Monitor status hidrasi seperti mukosa membran, keadekuatan pulsasi, dan
tekanan darah ortostatik.
Rasional: agar perawat bisa waspada jika suatu ketika terjadi perubahan

akibat perdarahan yang terjadi.


Kolaborasikan dengan dokter untuk melakukan transfusi darah jika
diperlukan.
Rasional: pada abortus yang menyebabkan perdarahan terus-menerus,
klien bisa berisiko untuk mengalami syok hipovolemik jika tidak diberikan

transfusi untuk menggantikan perdarahan yang keluar.


Instruksikan pada keluarga klien agar memberitahukan pada perawat jika
klien mulai merasa haus.
Rasional: haus merupakan mekanisme tubuh untuk memberitahu bahwa
status hidrasi klien sedang tidak baik.

Diagnosis: Risiko syok


Tujuan:

Syok pada klien tidak terjadi setelah 1 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Klien menunjukkan status hidrasi yang baik seperti mukosa membran

yang lembab dan mampu berkeringat dengan baik.


Klien memiliki hemoglobin dan hematokrit dalam rentang normal.

Intervensi:

Monitor jumlah, dan frekuensi dari perdarahan yang terjadi pada klien.
Rasional: jumlah dan frekuensi yang meningkat dari perdarahan bisa
berisiko untuk menyebabkan klien jatuh ke dalam kondisi syok

hipovolemik.
Dengan saran dokter, lakukan transfusi darah pada klien jika diperlukan.
Rasional: syok bisa terjadi akibat status hipovolemik yang terjadi yang
disebabkan oleh perdarahan yang dialami oleh klien.
Monitor tanda-tanda infeksi dari klien.

Rasional: jika terjadi infeksi bahkan sepsis pada klien, perdarahan yang
terjadi bisa menjadi semakin parah yang mungkin akan menyebabkan

syok hipovolemik terjadi.


Anjurkan klien untuk banyak minum.
Rasional: untuk membantu hidrasi secara oral dan meningkatkan volume
darah dalam tubuh klien.

Ruptura Uteri
Definisi
Ruptura uteri adalah kerobekan (diskontinuitas) dinding rahim yang terjadi
saat kehamilan atau persalinan. Bila peritoneum viserale tidak ikut robek,
disebut dengan ruptura uteri inkompleta. Namun, jika peritoneum viserale
ikut robek dan dengan demikian terdapat hubungan langsung antara kavum
uteri dengan kavum abdomen, maka disebut dengan ruptura uteri kompleta.
Sementara itu, ruptura uteri imminens (kerobekan uteri yang mengancam)
adalah suatu keadaan di mana rahim telah menunjukkan adanya tandatanda yang jelas akan mengalami ruptur, yaitu dengan dijumpainya
lingkaran retraksi Bandl yang semakin tinggi melewati batas pertengahan
antara simfisis pubis dengan pusat.

Klasifikasi dari ruptura uteri


Berdasarkan bentuk ruptura:

Kompletus: seluruh lapisan uterus terbuka.


Inkompletus: luka jaringan uterus masih tertutupi oleh peritoneum
yang cukup.

Berdasarkan terjadinya ruptura:

Terjadi spontan: umumnya dari bekas luka pada uterus.


Trauma persalinan:
Tindakan pertolongan dukun
Pada operasi persalinan vaginal

Epidemiologi
Ruptura uteri di negara berkembang masih jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan di negara maju. Angka kejadian ruptura uteri di negara

maju dilaporkan juga semakin menurun. Sebagai salah satu contoh,


penelitian di negara maju melaporkan bahwa kejadian ruptura uteri dari 1
dalam 1280 persalinan (1931-1950) menjadi 1 dalam 2250 persalinan (19731983). Dalam tahun 1996, kejadiannya menjadi 1 dalam 15000 persalinan.
Dalam masa yang hampir bersamaan, angka tersebut untuk berbagai tempat
di Indonesia dilaporkan berkisar 1 dalam 294 persalinan sampai 1 dalam 93
persalinan.

Patofisiologi
Pada waktu his, korpus uteri akan berkontraksi dan mengalami retraksi.
Dengan demikian, dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi
lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya, tubuh
janin yang menempati korpus uteri terdorong ke bawah, ke dalam segmen
bawah rahim. Segmen bawah rahim akan menjadi lebar dan karenanya,
dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik ke atas oleh kontraksi segmen
atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang
membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian
terbawah janin dapat terdorong turun tanpa halangan dan jika kapasitas
segmen bawah rahim telah penuh terpakai untuk ditempati oleh tubuh janin,
maka pada gilirannya, bagian terbawah janin akan terdorong masuk ke
dalam jalan lahir melalui pintu atas panggul ke dalam vagina melalui
pembukaan jika serviks bisa mengalah. Sebaliknya, apabila bagian terbawah
janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab yang menahannya (misalnya
panggul sempit atau kepala janin besar) maka volume korpus yang mengecil
pada waktu his harus diimbangi dengan perluasan segmen bawah rahim ke
atas. Dengan demikian, lingkaran retraksi fisiologik (physiologic retraction
ring) semakin meninggi ke arah pusat melewati batas fisiologik menjadi
patologik. Lingkaran patologik ini disebut dengan lingkaran Bandl (ring van
Bandl). Ini terjadi karena segmen bawah rahim terus-menerus tertarik ke
proksimal, tetapi tertahan di bagian distalnya oleh serviks yang terikat di
tempatnya oleh ligamentum sakrouterina di bagian belakang, ligamentum
kardinal pada kedua belah sisi kanan dan kiri, dan ligamentum vesikouterina
pada dasar kandung kemih.
Jika his berlangsung kuat terus-menerus, tetapi bagian bawah tubuh janin
tidak kunjung turun melalui jalan lahir, lingkaran retraksi akan semakin tinggi

berpindah mendekati pusat dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke


atas sembari dindingnya jadi sangat tipis, hanya beberapa milimeter saja. Ini
menandakan tanda-tanda ruptura uteri imminens dan rahim terancam robek.
Pada saatnya, dinding segmen bawah rahim akan robek spontan pada
tempat yang tertipis ketika his berikutnya datang dan terjadilah perdarahan
yang banyak, bergantung pada luas robekan yang terjadi serta pembuluh
darah yang robek.

Faktor risiko untuk ruptura uteri


Ruptura uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada
sebelumnya, karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim
yang masih utuh. Paling sering terjadi pada rahim yang telah diseksio
sesarea pada persalinan sebelumnya. Lebih lagi jika pada uterus yang
demikian dilakukan partus percobaan atau persalinan dirangsang dengan
oksitosin atau sejenisnya.
Pasien berisiko tinggi antara lain persalinan yang mengalami distosia,
grandemultipara, penggunaan oksitosin atau prostaglandin untuk
mempercepat persalinan, pasien hamil yang pernah melakukan bedah
sesarea atau operasi lain pada rahimnya, pernah histerorafia, dan
sebagainya.

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis ibu meliputi: nyeri abdomen dan/ rigiditas;


perdarahan per vaginam; serta syok hipovolemik; kesadaran menurun,
tekanan darah rendah; nadi cepat; suhu tubuh meningkat; terkadang
disertai sesak nafas akibat penekanan pada diafragma oleh

perdarahan yang banyak.


Manifestasi klinis janin meliputi: gawat janin sekunder akibat
hambatan aliran darah uteroplasenta dan kemungkinan kematian
janin.

Pemeriksaan diagnostik

Laparoscopy : untuk menyikapi adanya endometriosis atau kelainan

bentuk panggul / pelvis.


Pemeriksaan laboratorium:
hapusan darah : HB dan hematokrit untuk mengetahui batas darah
HB dan nilai hematokrit untuk menjelaskan banyaknya kehilangan
darah. HB < 7 g/dl atau hematokrit < 20% dinyatakan anemia

berat.
Eritrosit: untuk mengidentifikasikan tipe anemia.
Urinalisis : hematuria menunjukan adanya perlukaan kandung

kemih.
Tes prenatal : untuk memastikan polihidramnion dan janin besar.

Penatalaksanaan untuk pasien dengan ruptura uteri

Segera atasi syok dan pasien dipersiapkan secepatnya untuk


laparotomi, pasang infus cairan intravena, pemberian darah
(transfusi), oksigen, dan antibiotika (biasanya golongan penisilin

dengan dosis tinggi, diberikan sebelum dan sesudah pembedahan).


Untuk RUI (ruptura uteri imminens):
Hentikan/kurangi kontraksi rahim (stop drip Oksitosin jika pasien

akselerasi), berikan oksigen 4-6 L/menit.


Berikan analgetika yang reaksinya cepat (misalnya Ketoprofen
suppositoria), sekaligus dapat berfungsi sebagai tokolitik

(antiprostaglandin).
Dapat diberikan tokolisis dengan hati-hati (misalnya salbutamol

bolus).
Melahirkan bayi secepatnya, bila memenuhi syarat, diusahakan
agar dapat melahirkan per vaginam dan bila syarat tidak
terpenuhi, dapat segera dilakukan
seksio sesarea.

Ruptura uteri: segera lakukan laparotomi


Segera cari sumber perdarahan, lakukan hemostasis.
Lakukan penilaian terhadap kerobekan dinding rahim tersebut

jika ada.
Bila robekan compang-camping: lakukan histerektomi subtotalis.
Bila robekan terjadi di segmen bawah rahim dan tepi luka dapat
diperbaiki (rata): lakukan histerografi dan tubektomi.

Asuhan keperawatan pada pasien dengan ruptura uteri

Pengkajian
Adapun hal-hal yang perlu dikaji adalah :

Biodata : mengkaji identitas klien dan penanggung yang meliputi ; nama,


umur, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,

perkawinan ke- , lamanya perkawinan dan alamat.


Keluhan utama : Kaji alasan penyebab klien datang mencari bantuan
medis.
Riwayat kesehatan, yang terdiri atas :
3. Riwayat kesehatan sekarang yaitu keluhan sampai saat klien pergi ke
Rumah Sakit atau pada saat pengkajian seperti perdarahan per
vaginam di luar siklus haid, pembesaran uterus lebih besar dari usia

kehamilan.
4. Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat pembedahan : Kaji adanya pembedahan yang pernah dialami
oleh klien, jenis pembedahan, kapan, oleh siapa dan di mana tindakan

tersebut berlangsung.
Riwayat penyakit yang pernah dialami : Kaji adanya penyakit yang
pernah dialami oleh klien misalnya DM, jantung, hipertensi, masalah

ginekologi/urinari, penyakit endokrin, dan penyakit-penyakit lainnya.


Riwayat kesehatan keluarga : Yang dapat dikaji melalui genogram dan
dari genogram tersebut dapat diidentifikasi mengenai penyakit turunan

dan penyakit menular yang terdapat dalam keluarga.


Riwayat kesehatan reproduksi : Kaji tentang mennorhoe, siklus
menstruasi, lamanya, banyaknya, sifat darah, bau, warna dan adanya
dismenorrhae serta kaji kapan menopause terjadi, gejala serta keluahan

yang menyertainya
Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas : Kaji bagaimana keadaan
anak klien mulai dari dalam kandungan hingga saat ini, bagaimana

keadaan kesehatan anaknya.


Riwayat seksual : Kaji mengenai aktivitas seksual klien, jenis kontrasepsi

yang digunakan serta keluahn yang menyertainya.


Riwayat pemakaian obat : Kaji riwayat pemakaian obat-obatan

kontrasepsi oral, obat digitalis dan jenis obat lainnya.


Pola aktivitas sehari-hari : Kaji mengenai nutrisi, cairan dan elektrolit,
eliminasi (BAB dan BAK), istirahat tidur, hygiene, ketergantungan, baik
sebelum dan saat sakit.

Pemeriksaan fisik:

Pemeriksaan umum : TTV : suhu panas, nadi kecil dan cepat, TD menurun

dan ireguler dan pernapasan dangkal dan cepat.


Inspeksi.
Kelihatan haus, muntah-muntah, perdarahan pervagina dan kontraksi

uterus biasanya hilang.


Palpasi.
Teraba suatu krepitasi pada kulit perut menandakan adanya emfisema
subkutan, jika kepala janin belum turun mudah dilepaskan dari pintu atas
panggul / inlet, apabila janin sudah keluar dari kavum uteri berada di
rongga perut maka akan teraba bagian-bagian janin langsung dibawah
kulit perut dan disampingnya biasa teraba uterus sebagai suatu yang
keras seperti bola dan nyeri tekan pada perut terutama pada tempat yang

robek.
Auskultasi .
Biasanya denyut jantung janin (DJJ) sulit atau tidak terdengar lagi

beberapa manit setelah ruptur.


Pemeriksaan abdomen.
Fundus uteri dapat berkontraksi dan bagian-bagian janin yang terpalpasi
dekat dinding abdomen diatas fundus yang berkontraksi. Kontraksi uterus

dapat berhenti dengan mendadak dan bunyi jantung janin tiba-tiba hilang.
Pemeriksaan pelvis.
Menjelang kelahiran bagian presentasi mengalami regresi dan tidak lagi
terpalpasi melalui vagina bila janin telah mengalami ekstrusi kedalam
rongga peritoneum, dan perdarahan pervagina mungkin hebat. Apabila
terjadi robekan lengkap jari-jari pemeriksa dapat melalui tempat ruptur
langsung kedalam rongga peritoneum, melalui permukaan serosa uterus

yang halus dan licin.


Kateterisasi.
Hematuria yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung kemih.

Intervensi:
Diagnosis: Nyeri akut b.d agen cedera fisik (ruptura uteri)
Tujuan:

Tingkat nyeri klien bisa diturunkan dalam 3 x 24 jam.


Tingkat kenyamanan klien bisa ditingkatkan setelah 2 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Klien akan melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologisnya.


Klien mampu melaporkan rasa nyeri yang dirasakannya lagi.

Klien mampu mendemonstrasikan teknik relaksasi yang efektif untuk


mengurangi rasa nyerinya.

Intervensi:

Tanyakan pada klien terkait tingkat atau skala nyeri dalam rentang 0
sampai 10 dengan 0 adalah tidak nyeri sama sekali dan 10 adalah sangat
nyeri.
Rasional: untuk mengetahui apakah perawat perlu memberitahukan pada
dokter terkait kebutuhan analgesik jika nyeri klien sudah melewati skala 5

ke atas.
Lakukan pengkajian menyeluruh terhadap nyeri yang dirasakan klien
seperti lokasi nyeri, karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas atau keparahan nyeri, serta faktor presipitasi.
Rasional: dapat membantu perawat dan dokter untuk menentukan

intervensi yang sesuai untuk mengatasi nyeri klien.


Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik jika dibutuhkan.
Rasional: analgesik mampu membantu mengurangi rasa nyeri yang
muncul.
Bantu pasien untuk mengidentifikasi metode yang dapat mengurangi rasa
nyeri di masa lalu seperti teknik distraksi, relaksasi, atau penggunaan alat
bersuhu hangat atau dingin.
Rasional: jika di masa lalu, klien mampu mengatasi nyerinya dengan
efektif setelah menggunakan cara yang sama, ada kemungkinan metode

tersebut bisa digunakan kembali untuk mengurangi rasa nyeri.


Awasi faktor lingkungan yang mungkin mampu meningkatkan
ketidaknyamanan klien sepeti suhu ruangan, pencahayaan, dan
kebisingan.
Rasional: lingkungan yang tenang dan membuat nyaman klien bisa
membantu klien lebih relaks dan hal tersebut mampu mengurangi rasa
nyeri yang diderita klien.

Diagnosis: Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif


Tujuan:

Keseimbangan cairan tubuh klien adekuat setelah 2 x 24 jam


Status hidrasi klien adekuat setelah 2 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Kekurangan volume cairan terliminasi, ditandai dengan keseimbangan

cairan, elektrolit dan asam-basam, dan hidrasi yang adekuat.


Klien akan memiliki hemoglobin dan hematokrit dalam rentang normal.
Hb: 12-16 g/dL, sementara Hct: 38%-48%.

Intervensi:

Monitor jumlah, dan frekuensi dari perdarahan yang terjadi pada klien.
Rasional: jumlah dan frekuensi yang meningkat dari perdarahan bisa
berisiko untuk menyebabkan klien jatuh ke dalam kondisi syok

hipovolemik.
Evaluasi adanya vertigo maupun postural hipotensi.
Rasional: terjadinya sakit kepala seperti postural hipotensi menandakan
penurunan tekanan darah akibat berkurangnya jumlah darah dalam tubuh

yang disebabkan oleh perdarahan.


Monitor status hidrasi seperti mukosa membran, keadekuatan pulsasi, dan
tekanan darah ortostatik.
Rasional: agar perawat bisa waspada jika suatu ketika terjadi perubahan

akibat perdarahan yang terjadi.


Kolaborasikan dengan dokter untuk melakukan transfusi darah jika
diperlukan.
Rasional: pada abortus yang menyebabkan perdarahan terus-menerus,
klien bisa berisiko untuk mengalami syok hipovolemik jika tidak diberikan
transfusi untuk menggantikan perdarahan yang keluar.

Diagnosis: Risiko syok


Tujuan:

Syok pada klien tidak terjadi setelah 1 x 24 jam.

Kriteria hasil:

Klien menunjukkan status hidrasi yang baik seperti mukosa membran

yang lembab dan mampu berkeringat dengan baik.


Klien memiliki hemoglobin dan hematokrit dalam rentang normal.

Intervensi:

Monitor jumlah, dan frekuensi dari perdarahan yang terjadi pada klien.
Rasional: jumlah dan frekuensi yang meningkat dari perdarahan bisa
berisiko untuk menyebabkan klien jatuh ke dalam kondisi syok

hipovolemik.
Dengan saran dokter, lakukan transfusi darah pada klien jika diperlukan.

Rasional: syok bisa terjadi akibat status hipovolemik yang terjadi yang

disebabkan oleh perdarahan yang dialami oleh klien.


Monitor tanda-tanda infeksi dari klien.
Rasional: jika terjadi infeksi bahkan sepsis pada klien, perdarahan yang
terjadi bisa menjadi semakin parah yang mungkin akan menyebabkan

syok hipovolemik terjadi.


Anjurkan klien untuk banyak minum.
Rasional: untuk membantu hidrasi secara oral dan meningkatkan volume
darah dalam tubuh klien.

Daftar Pustaka
1. Achadiat, Chrisdiono M. 2004. Prosedur Tetap: Obstetri & Ginekologi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. American Pregnancy. 2006. Placental Abruption: Abruptio Placentae.
http://www.americanpregnancy.org/pregnancycomplications/placentalabrupti
on.html. Diakses pada 18 September 2012.
3. Brooker, Chris; Nicol, Maggie. 2011. Alexanders Nursing Practice E-Book:
Hospital and Home The Adult. UK: Elsevier.

4. Finn, Martha; et al. 2005. Womens Health: A Core Curriculum. Australia:


Elsevier Australia.
5. Graber, Mark A; Toth, Peter P; Herting, Robert L. 2006. Buku Saku Dokter
Keluarga, ed. 3. Alih bahasa oleh: Susilawati, Dewi Asih Maharani. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Haws, Paulette S. 2003. Asuhan Neonatus: Rujukan Cepat. Alih bahasa oleh
H. Y. Kuncara. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
7. Herdman, T.H. 2012. NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions &
Classifications 2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell.
8. Joy, Saju. 2012. Placenta Previa.
http://emedicine.medscape.com/article/262063/. Diakses pada 18 September
2012.
9. Leveno, Kenneth J; et al. 2009. Obstetri Williams: Panduan Ringkas, ed. 21.
Alih bahasa oleh: Egi Komara Yudha, Nike Budhi Subekti. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
10.Manuaba, Ida BG. 2001. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga
Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
11.Manuaba, Ida Bagus Gde. 2004. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetri dan
Ginekologi, ed. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
12.Mayo Clinic Staff. 2012. Placental Abruption.
http://www.mayoclinic.com/health/placental-abruption/ . Diakses pada 18
September 2012.
13.Mayo Clinic Staff. 2011. Placenta Previa.
http://www.mayoclinic.com/health/placenta-previa/. Diakses pada 18
September 2012.
14.Norwitz, Errol; Schorge, John. 2006. At a Glance Obstetri & Ginekologi, ed. 2.
Alih bahasa oleh Diba Artsiyanti. Jakarta: Penerbit Erlangga.
15.Manuaba, Ida BG; et al. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
16.Morgan, Geri; Hamilton, Carol. 2003. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik,
Ed. 2. Alih bahasa oleh Rusi M Syamsi, Ramona P Kapoh. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
17.Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
18.Stright, Barbara R. 2005. Panduan Belajar Keperawatan Ibu-Bayi Baru Lahir,
Ed. 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
19.Varney, Helen; et al. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Ed. 4. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
20.Wilkinson, Judith. 2005. Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with NIC
Interventions and NOC Outcomes. New Jersey: Prentice Hall.
21.Yulaikhah, Lily. 2008. Seri Asuhan Kebidanan: Kehamilan. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

PROJECT BASED LEARNING


PERDARAHAN ANTENATAL

TRISA PRADNJA PARAMITA


105070203131001
PSIK-K3LN

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2012

Vous aimerez peut-être aussi