Vous êtes sur la page 1sur 46

GASTROENTEROLOGI HEPATOLOGI (GEH)

1.
2.
3.
4.
5.

DIARE AKUT
2
DIARE KRONIK 8
DISPEPSIA
16
INFEKSI HELICOBACTER PYLORI

17

PENYAKIT HIRSCHSPRUNG
19
(CONGENITAL AGANGLIONIK MEGACOLON)

6. DIVERTICULUM MECKEL

20

7. AKALASIA ESOPHAGUS
20
8. ILEUS OBSTRUKSI
23
9. KISTA DUKTUS KOLEDOKUS
24
10. INVAGINASI
25
11. PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS 26
12. KOLESTASIS
28
13. KOLITIS ULSERATIF 33
14. CROHN DISEASE
34
15. HIPERTROFI STENOSIS PILORUS
36
16. KERACUNAN MAKANAN/MINUMAN
37
17. NYERI PERUT BERULANG
38
18. KOLESISTITIS
41
19. PERITONITIS TUBERKULOSA
43
20. KONSTIPASI

44

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


1

1. DIARE AKUT
1.

Batasan :
Epidemiologis : merupakan kumpulan penyakit dengan gejala diare, yaitu defekasi
dengan feses cair atau lembek dengan/tanpa lendir atau darah, dengan
frekuensi 3 kali atau lebih sehari, berlangsung belum lebih dari 14
hari, kurang dari 4 episode/bulan.
Klinis
: merupakan diare yaitu berak dengan kandungan air lebih dari normal
atau disertai darah/lendir atau bila orang tua menganggap anaknya
menderita berak-berak.
Indikasi rawat penderita diare akut :
Diare akut dehidrasi ringan sedang dengan berak-berak dan muntah profuse dan
upaya rehidrasi oral di UGD gagal, atau disertai penyakit penyerta yang memerlukan
perawatan di rumah sakit.
Diare akut dehidrasi berat.
Tujuan perawatan dan pengobatan penderita diare akut :
Melakukan koreksi terhadap kehilangan cairan dan elektrolit.
Melakukan feeding adjustment.
Memberikan pengobatan medikamentosa :
Pemberian preparat zinc
Pengobatan terhadap kausa pada kasus-kasus tertentu
Pengobatan terhadap penyakit penyerta/penyulit.
Pengobatan penunjang/simptomatik yang diperlukan.
Memberikan health education.
Terapi cairan dan elektrolit :
Koreksi cairan dan elektrolit dibedakan 2 macam:
Pada diare akut murni.
Pada diare akut dengan penyulit/komplikasi.
Ad 1. Pada diare akut murni
Ditujukan untuk :
Rehidrasi
: mengganti previous water losses dengan IVFD atau per oral..
Maintenance : mencegah dehidrasi dengan mengganti on going water losses
dengan oralit peroral/CRO.
Requirement : dengan makan dan minum seperti biasa.
Pemberian IV menggunakan cairan ringer laktat dan pada pemberian oral
menggunakan oralit

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


2

Ad 2. Pada diare akut dengan penyulit :


Menggunakan modifikasi Sutejo dengan cairan yang mengandung:
Na
: 63,3 mEq/L.
K
: 10,4mEq/L.
CI
: 61,4 mEq/L.
HCO3 : 12,6 mEq/L.
Kalori : 200 kalori
Yang terdiri dari NaCl 15% 10 cc, KC1 10% 4 cc, NaHCO3 2,5% 7 cc dalam 500 cc
D5% setara dengan KAEN 3A.
Koreksi diberikan secara IV dengan kecepatan :
Diare akut dengan penyulit dengan dehidrasi ringan-sedang :
4 jam I
: 50 cc/kg BB.
20 jam II
: 150 cc/kgBB.
Diare akut dengan penyulit dehidrasi berat :
4 jam I
: 60 cc/kg BB.
20 jam II
: 190 cc/kgBB.
Bentuk penyulit, jenis dan jumlah cairan dilihat pada skema 2.
Terapi diet lihat skema 1
Terapi medikamentosa :
Diberikan
Preparat zink elemen :
untuk usia < 6 bln sebanyak 1 x 10 mg dan
usia > 6 bln sebanyak 1 x 20 mg

selama 14 hari.

Obat-obatan antimikroba termasuk antibiotik tidak dipakai secara rutin pada penyakit
diare akut. Patokan pemberian antimikroba/antibiotika adalah sebagai berikut :
1. Kolera.
2. Diare bakterial invasif.
3. Diare dengan penyakit penyerta.
4. Diare karena parasit/jamur.

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


3

Ad. 1. Kolera :
Semua penderita yang secara klinis dicurigai kolera diberi Tetrasiklin 50
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 3 hari.
Ad. 2. Diare bakterial invasif :
Secara klinis didiagnosis jika :
Panas lebih dari 38,5oC dan ada meteorismus.
Ada lendir dan darah dalam tinja secara makroskopis maupun mikroskopis.
Lekosit dalam tinja secara mikroskopis lebih dari 10/lpb atau ++.
Antibiotika yang dipakai sementara menunggu hasil kultur :
K1inis diduga ke arah Shigella diberi :
Nalidixid acid 55mg/kgBB/hari diberi 4 dosis selama 5 hari atau
Amoksisilin 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 5 hari atau
Ciprofloksasin 30mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis dalam 3-5 hari.
K1inis diduga ke arah Salmonella diberikan
Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 10 hari.
Ad. 3. Penyakit penyerta diobati sebagaimana mestinya.
Ad. 4 Untuk penyakit parasit diberikan :
Amubiasis diberikan :
Metronidazole 50 mg/kbBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 5-10 hari.
Helminthiasis :
Untuk Ascaris / Ankylostoma / Oxyuris :
Pyrantel Pantoate 10 mg/kgBB/hari dosis tungga1.
Untuk Trichuris : Mebendazole 2 X l00 mg selama 3 hari.
Giardiasis : Metronidazole 15 mg/kgBB/hari selama 5 hari.
Untuk penyebab jamur diberikan :
Candidiasis diberikan Nistatin :
- Kurang dari 1 tahun : 4 X 100.000 I se1ama 5 hari.
- Lebih dari 1 tahun
: 4 X 300.000 I se1ama 5 hari.
Pemberian Health Education :
Pendidikan kesehatan dilakukan pada saat visite dan di ruangan khusus dimana
orangtua penderita dikumpulkan.
Pokok ceramah meliputi :
Usaha pencegahan diare dan KKP.
Usaha pertolongan untuk mencegah dehidrasi pada diare dengan menggunakan oralit
dan cairan.
Imunisasi.
Keluarga berencana.

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


4

Penderita dipulangkan :
Bi1a ibu sudah dapat/sanggup membuat/memberikan oralit kepada anak dengan
cukup wa1aupun diare masih berlangsung.
Diare bermasalah atau dengan penyakit penyerta sudah diketahui dan diobati.
Skema 1. Terapi Cairan dan Pemberian Makanan Ada GE Akut Tanpa Penyulit.
Dehidrasi
Tanpa
dehidrasi

Rehidrasi
Waktu

Cairan

Pencegahan
Dehidrasi

10-20
cc/kgBB/
BAB oralit
atau

Makan Minum
ASI diteruskan. Susu
formula diteruskan.
Makanan padat
diteruskan dengan
mengurangi makanan
berserat, ekstra 1 porsi

Ringansedang

4 jam

75 cc ( gelas) oralit/
kg BB atau ad
libitum sampai tandatanda dehidrasi
hilang

Idem

Dapat ditangguhkan
sampai anak menjadi
segar

Berat

4 Jam

IVFD RL 30 cc/kg
BB 7
tetes/kgBB/menit.
Oralit ad libitum
segera setelah anak
bisa minum

Idem

Idem

Monitoring dilakukan tiap 1 jam


Setelah
rehidrasi

Idem penderita tanpa dehidrasi

Patokan koreksi cairan melalui NGD (Nasogastrik Drip) adalah :


Nadi masih dapat diraba dan masih dapat dihitung.
Tidak ada meteorismus.
Tidak ada penyulit yang mengharuskan kita memakai cairan IV
Dikatakan gaga1 jika dalam 1 jam pertama muntah dan diare terlalu banyak atau
syok bertambah berat.

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


5

Skema 2. Beberapa Penyulit Gastroenteristis Akut dan Penanggulangannya.


Jenis Penyulit

Jenis/Cara
Pemberian Cairan

KKP I-II

Modifikasi Sutejo

Sesuai GEA nurni

KKP III

Modifikasi Sutejo

Maras : 250 cc/kgBB


Kwash : 200 cc/kg BB

Bronco
Pneumonia

Modifikasi Sutejo

Kebutuhan

Sesuai BP

Ensefalitis

Modifikasi Sutejo

Kebutuhan

Sesuai Ensefalitis

Meteorismus

Modifikasi Sutejo

Kebutuhan

Antibiotic
profilaksis

Miningitis
Purulenta

Modifikasi Sutejo

Kebutuhan

Sesuai menpur

Dehidrasi
hipertonik

Sesuai skema 3

Sesuai skema 3

Sesuai etiologi

Gagal
Ginjal Akut

Sesuai GGA

30 cc kg/BB + volume
urin 1 hari sebelumnya
+ 12% setiap kenaikan
suhu 10 C

Sesuai GGA

Impending
Decomp
Cordis

Cairan rendah
natrium

Kebutuhan

Digitalisasi

Jumlah Cairan

Terapi
Medikametosea

Ket

Sesuai kausa/
penyakit penyerta

**

***

Diberikan pada bronkopneumonia dimana anak sangat sesak dan sistim kardiovaskuler
tidak mungkin menerima terapi rehidrasi cepat.

**

Akibat lanjut dari meteorismus adalah terjadinya ballooning effect, langkah-langkah;


untuk mengatasi ini adalah dengan melakukan dekompresi :
Dari atas dengan sonde lambung yang dihisap secara berkala.
Dari bawah dengan mernasang schorstein.
Menghentikan makanan peroral (sesuai dengan beratnya meteorismus), memberi
makanan parenteral sedini mungkin, memberikan antibiotika profilaksis.
Dasar klinis diagnosis dehidrasi hipertonis :
1. Klinis : turgor yang relatif baik, hiperiritabel, rasa haus yang sangat nyata, kejang
yang biasanya timbul setelah terapi cairan.
2. Labor : kadar Na* serum 1ebih dari 150 meq/l.

***

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


6

Skema 3. Terapi Cairan Dehidrasi Hipertonik.


Jumlah
Waktu
Cairan
jam keMl/kgBB

Jumlah
Tetesan
tts/kgBB/men

60

3
3
3
3
2 3/8

190

1
2
3
4
5-20

120
DG
DG
DG
DG
DG

Jenis cairan
Yang diberikan sesuai
Frekuensi nadi
120-140
140-160
>160
RL
RL
RL
DG
RL
RL
DG
DG
RL
DG
DG
DG
DG
DG
DG

Filiformis
RL
RL
RL
RL
DG

Ca
Glukonas
10%
5-10 ml

Jam ke9: 5-10ml


Jam ke17: 5-10ml

Referensi:

1.

2.

Subagyo B. Nurcahyo NB. Diare Akut. Dalam : Juffrie M, Soenarto SSY,Oswari H, Arief S, Rosalina
I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroentero-Hepatologi: jilid 1. Jakarta :UKK
Gastroenterohepatologi IDAI.2010 :87-120
Guandalini S. Acute Diarrhea. Dalam : walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith JA,
Watkins JB. Penyunting. Pediatric gastrointestinal disease: pathophysiology,diagnosis, management.
Edisi ketiga. Canada : B.C Decker Inc. 2000: 28-38

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


7

2. DIARE KRONIK
1.

Definisi :
Diare kronik ada1ah diare berlangsung 14 hari atau lebih, dapat berupa diare cair atau
disentri.

2.

Insiden :
Pada Indonesian Demographic and Hea1th Survey, 2001, di1aporkan bahwa prevalensi
diare persisten adalah 3,3% dan diare berdarah adalah 1,2%.

3.

Klasifikasi :
Pembagian diare kronik yang didasarkan atas sifat tinja-berair, berlemak atau berdarah,
menurut Arasu dkk. (1979) akan lebih dapat membantu menghadapi masalah diare
kronik. Klasifikasi diare kronik pada bayi dan anak adalah sebagai berikut :
a. Watery stools atau tinja cair :
1. Gastroenteropati alergi :
Alergi protein susu sapi.
Alergi protein kedele.
2.a. Defisiensi disakaridase :
Defisiensi lactase sering sekunder.
Defisiensi sucrose isomaltase.
b. Malabsorbsi glukosa galaktosa
3. Defek imun primer.
4. Infeksi usus oleh virus, bakteri dan parasit (giardisis).
5. CSBS (Contaminated Small Bowel Syndrome).
Obstruksi usus, ma1rotasi, short bowel syndrome, dll.
Penyakit Hirschsprung, enterokolitis.
6. Persistent postenteriting diarrhoea dengan atau tanpa intoleransi karbohidrat.
7. Diare sehubungan dengan penyakit endokrin.
Hiperparatiroidism.
Insufisiensi adrenal.
Diabetes melitus.
8. Diare sehubungan dengan tumor.
Karsinoma medula tiroid.
Ganglionewoma.
Zolinger-Ellison syndrome.
9. Ma1absorbsi asam empedu.
Cholerrhoeic diarrhoea.

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


8

b. Fatty stools atau tinja berlemak :


1. Insufisiensi pancreas, PEM, BBLR.
Hipoplasia (Swachman Syndrome).
Cystic fibrosis. celiac disease.
2. Limfangiektasi usus.
3. Kolestasis.
Atresia biliaris ekstra atau intrahepatik.
Hepatitis neonatal.
Sirosis hepatis.
4. Steatorhoe akibat obat (misa1: neomisin, kolestiramin).
5. CSBS: -Short bowel syndrome.
6. Gastroenteropati alergi, defek imun primer, enteropati akrodennatitis, anemia
defisiensi besi.
c. Bloody stools atau tinja berdarah :
1. V. campylobacter, Salmonella, Shigella.
2. Disentri amuba.
3. Inflammatory bowel disease.
Kolitis ulseratif.
Penyakit Chron .
4. Enterokolitis pseudomembranosa.
5. Diare sehubungan dengan lesi anal.
4.

Patofisiologi :
Mekanisme patofisiologi diare kronik bergantung penyakit dasarnya dan sering terdapat
lebih dari satu mekanisme (Arasu dkk. 1979), yaitu :
a. Diare osmotik.
b. Diare sekretorik.
c. Bakteri tumbuh lampau, malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak.
d. Defek sistem pertukaran anion.
e. Kerusakan mukosa.
f. Motilitas dan transit abnormal.
g. Sindrom diare intraktabel.
h. Mekanisme-mekanisme lain.
Berdasarkan patogenesis dan patofisiologinya, diare kronik diklasifikasikan menjadi :
1. Diare persisten, yaitu diare yang melanjut/menetap sampai 2 minggu atau lebih dan
disebabkan oleh infeksi serta sering disertai gangguan pertumbuhan.
2. Sindroma rawan usus SUS (SRU)/Irritable bowel syndrome (IBS), yaitu suatu
sindrom klinis yang menyebabkan diare kronik non spesifik pada anak yang
tampaknya sehat, tidak ditemukan adanya kelainan organik. Keluhan yang
ditemukan berupa kolik, diare nonspesifik.

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


9

3. Diare intraktibel bayi (Intractable diarrhea of infancy), yaitu bayi dengan diare yang
berhubungan dengan kerusakan mukosa yang difus yang timbul sebelum bayi
berusia 6 bulan, berlangsung lebih dari 2 minggu. disertai malabsorbsi dan
malnutrisi. Berbagai penyakit dapat menyebabkan diare yang sulit diatasi,
melanjutkan kerusakan mukosa usus halus, yang merupakan penyebab utama dari
diare intraktabel ini.

5.

Diagnosa dan Evaluasi :


Riwayat penyakit:
saat mulainya diare, frekuensi diare, kondisi tinja meliputi penampakan, konsistensi,
adanya darah atau lendir, gejala ekstraintestinal seperti gejala infeksi saluran
pernafasan bagian atas, failure to thrive sejak lahir (cystic fibrosis), terjadinya diare
sesudah diberikan susu atau makanan tambahan. Buah-buahan (defisiensi sukraseisomerase), hubungan dengan serangan sakit perut dan muntah (malrotasi), diare
sesudah gangguan emosi atau kecemasan (irritable colon syndrome), riwayat
pengobatan antibiotika sebelumnya (antibiotic associated diarrhea).
Pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan yang cermat keadaan umum pasien, status dehidrasi, pemeriksaan
abdomen, ekskoriasi pada bokong, manifestasi kulit. juga penting untuk mengukur
berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi
badan, gejala kehilangan berat badan, menilai kurva pertumbuhan, dan sebagainya.
Pemeriksaan laboratoris :
a. Pemeriksaan tinja :
Makroskopis: warna, konsistensi, adanya darah, lendir.
Mikroskopis :
Darah samar dan leukosit yang positif (> 10/lpb) menunjukkan kemungkinan
adanya peradangan pada kolon bagian bawah.
pH tinja yang rendah menunjukkan adanya maldigesti dan malabsorbsi
karbohidrat di dalam usus kecil yang diikuti fermentasi oleh bakteri yang ada
di dalam kolon.
Clinitest, untuk memeriksa adanya substansi reduksi dalam sample tinja yang
masih baru, yang menunjukkan adanya malabsorbsi karbohidrat.
Breath hydrogen test, digunakan untuk evaluasi malabsorbsi karbohidrat
Uji kualitatif ekskresi lemak di dalam tinja dengan pengecatan butir lemak,
merupakan skrining yang cepat dan sederhana untuk menentukan adanya
malabsorbsi lemak.
Biakan kuman dalam tinja, untuk mendapat informasi tentang flora usus dan
kontaminasi
Pemeriksaan parasit (Giardia lamblia, cacing).

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


10

b. Pemeriksaan darah: darah rutin, elektrolit (Na, K; Cl) dan bicarbonate, albumin,
kadang diperlukan pemeriksaan kadar serum, dll.
c. Pemeriksaan radiologi / Endoskopi:
Pemeriksaan
radiologi/
endoskopi
saluran
gastrointestinal
membantu
mengidentifikasi cacat bawaan (malrotasi, stenosis) dan kelainan-kelainan seperti
limfangiektasis, inflammatory bowel disease, penyakit Hirschsprung, enterokolitis
nekrotikans.
6.

Penatalaksanaan :
Umum dan Dietetik.
a.Menentukan diare sekretorik atau osmotik :
Puasa
Sifat feses
b.Nutrisi enteral :
Alimentasi enteral merupakan cara yang paling efektif dan dapat diterima untuk
mempertahankan dan mencukupi kebutuhan nutrisi penderita anak dengan saluran
pencernaan yang masih berfungsi jalur enteral dapat ditempuh melalui oral atau
nasograstrik, nasojejunal, gastrostomi atau jejunostomi dengan feeding tube
Pemilihan formula diet yang diberikan secara enteral dapat dikategorisasikan
dalam 3 macam diet:
i. Diet polimerik, yang mengandung protein sebagai sumber protein dan
dipakai untuk pasien dengan fungsi usus yang normal.
ii. Diet elemental, yang mengandung nutrient dengan berat molekul rendah dan
dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi gastrointestinal.
iii. Diet formula khusus, yang mengandung kadar tinggi asam amino rantai
bercabang untuk pemakaian pada ensefalopati hepatik dan pasien dengan
perubahan kadar asam amino lain atau kesalahan metabolisme bawaan
(inborn errors of metabolism)
Kandungan formula yang ditetapkan meliputi:
i. Karbohidrat
Karbohidrat akan dipecah oleh enzim oligosakaridase dalam mikrovili
menjadi monosakarida yang akan diabsorbsi ke dalam enterosit. Terdapat 4
enzim oligosakaridase yang berbeda dalam mikrovili yaitu maltase (glukosa
amilase (glukosa a-dekstrinase), lactase dan trehalase. Semua enzim ini
berkurang pada penyakit yang mengenai mukosa usus halus. Lactase
merupakan enzim yang paling peka dan paling akhir pulih apabila terjadi
kerusakan mukosa.
ii. Lemak
Lemak merupakan nutrien yang paling padat kandungan kalorinya.
Pemberian lemak pada penderita diare kronik sangat penting karena sering
disertai keterbatasan pemasukan kalori.
iii. Protein
Kebutuhan anak akan protein dapat dipenuhi dengan penggunaan protein
utuh. protein hidrolisat, asam amino atau gabungan.
Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH
11

iv. Vitamin dan mineral


Kekurangan vitamin dan mineral dapat terjadi pada anak kendatipun dan
pemasukan kalori yang cukup apabila terdapat malabsorbsi lemak. atau
terjadi interaksi obat/nutrien dengan diet yang sangat khusus.
Formula yang paling baik diberikan pada diare kronik ialah yang mengandung
glukosa primer, bebas laktosa mengandung protein hidrolisat, medium chain
triglyceride, osmolaritas kurang sedikit dari 600 mOsm/l. dan bersifat
hipoalergik. (Pregestimil). atau yang mengandung short chain peptide (Pepti
Yunior).
Menaikkan jumlah formula dilakukan perlahan-lahan. mula-mula dianjurkan
konsentrasi 1/3 IV, selanjutnya dinaikkan menjadi 2/3 oral: 1/3 IV. dan bila
keadaan sudah cukup baik (kenaikan BB minimal 1 kg) diberikan pregestimil
dalam konsentrasi penuh.
Pemberian melalui pipa nasogastrik diperlukan apabila bayi/anak tidak mampu
atau tidak mau menerima makanan secara oral, namun keadaan saluran
gastrointestinalnya masih berfungsi. Pemberian nutrisi dilakukan dengan
meningkatkan kecepatan dan kadar formula secara bertahap sampai mencapai
kebutuhan nutrisi anak.
Komplikasi nutrisi enteral :
- Hidrasi berlebih.
- Hiperglikemia.
- Azotemia (konsumsi protein berlebih).
- Hipervitaminosis K.
- Dehidrasi sekunder karena diare.
- Gangguan elektrolit dan mineral (terutama akibat muntah dan diare).
- Gagal tumbuh sekunder akibat pemasukan energi tidak cukup.
- Aspirasi.
- Defisiensi nutrisi sekunder karena kesalahan formula.
-

c. Nutrisi Parenteral
Nutrisi parenteral merupakan teknik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh
melalui Jalan intraven. Nutrien khusus terdiri atas air, dekstrosa, asam amino,
emulsi lemak, mineral, vitamin, trace elemen. Jalur ini jangan digunakan apabila
penderita masih mempunyai saluran gastrointestinal yang masih berfungsi serta
masih dimungkinkan pemberian secara peroral, enteral atau gastrostomi. Pada
umumnya tidak digunakan untuk waktu kurang dari 5 hari.

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


12

Indikasi nutrisi Ament ME, 1993 :


Disfungsi Usus

Penyakit yang Diperkirakan Berlangsung 7 Hari

Intractable vomiting

Pankreatitits berat

Diare

Penyakit usus beradang berat. intoleransi

Ileus

Makanan enteral

Obstruksi usus halus

Karena trauma/pembedaan berat atau sepsis

Malabsorbsi

Kanker pseudo-obstruksi intestinal

Penghentian makanan

Kerusakan mukosa parah. sindroma usus pendek enteritis

Peroral > 7 hari radiasi

Fistula enterokutan. ileus transplantasi

Kebutuhan pada nutrisi parenteral :


a. Kalori :
Kebutuhan kalori per berat badan (Ament, 1993) :
Umur

Perkiraan Kebutuhan Kalori Per Hari (Kkal/Kg)

Neonatus
Berat Badan Lahir
Rendah

150

Berat Badan Lahir


Normal
Anak 0 10 kg
11 20 kg
> 20 kg

100 200
100
1.000 kkal/kg + 50 kkal/kg untuk setiap kg > 10 kg
1.500 kkal/kg + 20 kkal/kg untuk setiap kg > 20 kg

Pada beberapa keadaan diperlukan penambahan kebutuhan kalori: panas (12%


per setiap setiap kenaikan 1C di atas 37C) gagal jantung (15-20%),
pembedahan besar (20-30%), kombusio (sampai 100%), dan sepsis berat
(25%).
b. Cairan :
Kebutuhan cairan sesuai umur (Ament ME, 1993)
Berat Badan
< 10 kg
10 20 kg
< 20 kg

Kebutuhan Cairan (ml/kg)


100 ml
1.000 ml + 50 ml/kg untuk setiap kg > 10 kg
1.500 ml + 20 ml/kg untuk setiap kg > 20 kg

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


13

c. Karbohidrat :
Dekstrosa merupakan sumber utama kalori non protein yang memberikan
3,4 kka1/gram dalam bentuk monohidrat.
Keterbatasannya adalah terjadinya phlebitis apabila kadar > 10-12,5%.
Pemberian dilakukan secara bertahap untuk memberikan kesempatan
respon tubuh dalam memproduksi insulin endogen dan mencegah terjadinya
glikosuria.
d. Asam amino
Kebutuhan asam amino menurut usia (Ament ME, 1993) :
Kebutuhan
(gr protein/kg/hari)
2,5 3

Umur
Bayi prematur
Bayi 0 1 tahun

2,5 3

Anak 2 13 tahun
Remaja Dewasa

1,5 2
1 1,5

Mulai pemberian
0,5 gram protein/kg/hari dinaikan
0,5 gram protein/kg/hari.
1 gram protein/gram/hari dinaikan
0,5 gram.
protein/kg/hari per hari.

e. Lemak :
Selain untuk memenuhi kebutuhan kalori, lemak menyediakan asam lemak
essensial untuk pertumbuhan bayi dan anak, dan menunjang perkembangan
yang normal.
Preparat lemak intravena tersedia dalam larutan 10% (1 kkal/ml) dan 20%
(2 kka1/ml).
Minimal 2-4% dari kebutuhan kalori total diberikan berupa lemak intravena
untuk menghindari terjadinya defisiensi asam lemak. yang dapat dicapai
dengan penggunaan 0,5-1 gram emulsi lemak/kg/hari.
Defisiensi asam lemak paling awal terjadi pada neonatus dalam 2 hari
dengan tanda kecepatan pertumbuhan yang lambat, kulit kering bersisik,
pertumbuhan rambut berkurang. trombositopeni, peka terhadap infeksi dan
gangguan penyembuhan luka.
f. Elektrolit :
Kebutuhan elektrolit intravena (Ament ME, 1993) :
Elektrolit
Na
K
Cl
Ca
Fosfat
Mg

Dosis Anak
(mEq/kg/24 jam)

Dosis Bayi
(mEq/kg/24 jam)

34
23
24
0,5 1
2
0,25 0,5

28
26
06
0,9 2,3
1 1,5
0,25 0,5

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


14

g. Trace Element :
Kebutuhan trace element :
Elemen

Kebutuhan Bayi
(mg/kg/hari)
Prematur

Na
K
Cl
Ca
Fosfat
Mg

Matur

34
23
24
0,5 1
2
0,25 0,5

Kebutuhan Anak (mg/kg/hari)


dan Kebutuhan
Maksimum/hari
28
26
06
0,9 2,3
1 1,5
0,25 0,5

Medikamentosa :
a. Obat anti diare (kaolin, pectin, difenoksilat) tidak perlu diberikan karena tidak satupun
yang memberikan efek positif.
b. Obat anti mikroba :
Pada umumnya tidak dianjurkan, bahkan dapat mengubah flora usus dan memperburuk
diare. Kecuali pada neonatus, anak dengan sakit berat (sepsis), anak dengan defisiensi
imunologi dan anak dengan diare kronis yang sangat berat, dianjurkan pemberian
antimikroba. Sedangkan metronidazole efektif untuk Giardia lamblia.
c. Kortikosteroid :
Pada anak dengan colitis ulseratif, pemberian enema steroid pada tahap awal
memberikan respon yang baik, dan pada beberapa anak mendapat kombinasi dengan
steroid sistemik.
d. Immunosupressif, seperti Azathioprine digunakan pada penyakit Chron apabila
pengobatan konvensional tidak mungkin.
e. Kolestiramin
Penggunaan kolestiramin sangat bermanfaat pada diare kronik, terutama malabsorbsi
asam empedu serta pada infeksi usus karena bakteri (mengikat toksin).
f. Operasi
Indikasi operasi adalah pada diare kronis pada kasus-kasus bedah seperti penyakit
Hirschprung, enterokolitis nekrotikans. Namun hanya dilakukan setelah keadaan umum
membaik.
Referensi:
1. Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Dalam : Juffrie M, Soenarto SSY,Oswari H, Arief S,
Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroenterologi-Hepatologi: jilid 1. Jakarta :UKK
Gastroenterohepatologi IDAI.2010 :121-136
2. Kadim M, Salakede SB, Hartantyo I, Athiyah AF, Rosalina I,. Dalam : Juffrie M, Mulyani
SM,penyunting. Modul pelatihan diare: edisi pertama. Jakarta : UKK gastrohepatologi IDAI.
2009:29-42

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


15

3. DISPEPSIA
1.

Diagnosis :
Diagnosis dispepsia dibuat berdasarkan gejala klinis adanya dyspepsia, mual, muntah,
dan nyeri epigastrik. Dispepsia dengan keluhan yang berat, kronik dan berulang
dilakukan pemeriksaan endoskopis. Diagnosis endoskopi bisa berupa esofagitis,
gastritis, gastropathi, atau duodenitis. Diagnosis PA menentukan tipe kelainan yang
terjadi, misalnya akut/ kronik eosonophilia, helicobacter pylori.

2.

Penatalaksanaan :
1) Terapi diet disesuaikan dengan toleransi penderita, sebaiknya lunak, mudah dicema
dan tidak merangsang.
2) Terapi obat, diberikan berdasarkan gejala yang predominan. Obat-obatan yang dapat
di berikan :
Untuk mengurangi faktor agresi asarn larnbung diberikan antasida 3 ka1i sehari
,dosis 2-8 mg/kg/kali atau 50-150 mg/kg/24 jam dalam dosis terbagi tiap 4-6 jam,
titrasi dosis sampai tercapai kadar fosfat dalam rentang normal. atau cimetidine
5-10 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali sehari atau ranitidin dosis 2-4 mg/kgBB/kali
sebanyak dua kali sehari jika terbukti atau diduga terdapat ulkus dapat diberikan
sukralfat dosis 40-80 mg/kg/hari secara oral dibagi setiap 6 jam atau 0,5 - 1 gram
sehari empat kali.
Untuk menekan muntah yang berlebihan diberikan metoklopramide 0,15-0,3
mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali sehari atau domperidone 0,15-0,3 mg.kg BB/ kali
Jika terbukti helicobacter pylori sebagai penyebab atau secara klinis dispepsia kronik dan
hematemesis dapat diberikan Antibakterial selama 14 hari. untuk eradikasi Helicobacter
pylori, diberikan Amoksisilin 50 mg/kgBB/hari 4 kali sehari, Clarithromycin 7,5-15
mg/kg/hari dalam dosis terbagi 2 ka1i sehari, ditambah PPI (Omeprazole) dengan dosis
1 mg/kg/dosis (preparat sebaiknya dalam bentuk 10 mg, 20 mg, atau 40 mg) 1 kali
sehari lebih dari 14 hari.

Referensi:
1. Soeparto P, Ranuh R. Nyeri abdomen akut. Dalam : Juffrie M, Soenarto SSY,Oswari H, Arief S,
Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroenterologi-Hepatologi: jilid 1. Jakarta :UKK
Gastroenterohepatologi IDAI.2010 ;44-45

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


16

4. INFEKSI HELICOBACTER PYLORI


Helicobater pylori adalah bakteri gram negatif yang dapat berkoloni pada saluran
cerna dan merupakan salah satu penyebab ulkus duodemum dan gaster. Menular secara
oral-oral, gastric oral, dan fekal-oral.
Patogenesis :
Infeksi H. pylori pada antrum gaster menyebabkan inflamasi mukosa gaster dan ulkus
gaster dan duodenum.
Diagnosis :
Gejala Klinis :
Sangat bervariasi
Dipengaruhi faktor mikrobanya dan faktor host
Asimptomatik atau simptomatik
Gejala : gangguan gastro intestinal,nyeri perut, rasa panas dan terbakar pada
epigastrium, rasa penuh di gaster, kembung, mual, muntah
Pemeriksaan penunjang :
Tes invasif (endoskopi)
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi
Test Urea cepat pada jaringan biopsi
Kultur bakteri
PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode non invasif
Tes Imunoassay untuk mendeteksi Antibodi Helicobacter pylori
Tes Urine dan Saliva untuk mendeteksi Antibodi Helicobacter pylori
Tes Feses untuk Antigen Helicobacter pylori
Tes Napas Urea
Penatalaksanaan
Mengeliminasi secara lengkap dari organisme
Regimen terapi yang dikatakan berhasil jika dapat menyembuhkan lebih dari 80%
subjek yang diterapi
Efek samping minimal
Tidak menginduksi resistensi bakteri
Terapi eradikasi H. pylori diberikan selama 7-14 hari
- Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari/12 jam + amoksisilin (50
mg/kgBB/hari/12) + clarithromycin (15 mg/kgBB/hari/12 jam)
- Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari/12 jam + amoksisilin (50
mg/kggBB/hari/12 jam) + metronidazole (20 mg/kgBB/hari/12 jam)
- Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari + clarithromycin
(15mg/kggBB/hari/12 jam) + metronidazole (20 mg/kgBB/hari/12 jam)

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


17

Edukasi Pasien
Konseling menghindari faktor yang meningkatkan resiko dispepsia dan ulkus
peptikum
Selama terapi eradikasi, maka obat-obatan NSAIDs mesti dihentikan.
Diberitahu tentang efektifikasi terapi eradikasi
Pentingnya menyelesaikan regimen obat inisial
Pencegahan
Antibiotik untuk pencegahan sangat tidak dianjurkan
Vaksin Helicobacter pylori (Helicobacter pylori urease + enterotoxin E. Coli)
efektifitas sangat rendah
Perbaiki hygiene dan gizi dari anak-anak
Prognosis
Tergantung dari penanganannya
Dideteksi lebih dini dan diterapi adekuat komplikasi minimal
Terambat didiagnosa atau terapi tidak adekuat komplikasi lanjut
Komplikasi
Ulkus dengan pendarahan gastrointestinal
Kanker
Relaps atau resisten terhadap obat

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


18

5. PENYAKIT HIRSCHSPRUNG
(CONGENITAL AGANGLIONIK MEGACOLON)
Penyakit Hirschsprung adalah suatu keadaan tidak ditemukannya sel ganglion Aurbach
dan Meissner pada dinding usus. Berdasarkan panjang segmen yang terkena dapat
dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu :
Penyakit Hirschsprung segmen pendek.
Merupakan 70% dari kasus. Segmen aganglionosis mu1ai dari anus sampai sigmoid.
Lebih sering pada anak laki-Iaki daripada anak perempuan.
Penyakit hirschprung ultrashort.
Segmen aganglionosis hanya melibatkan sedikit segmen diatas anus.
Penyakit Hirschsprung segmen panjang
- Daerah aganglionosis dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon
atau sampai ke usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak perempuan dan anak
laki-laki.
Gejala Klinik :
Pada segmen pendek gejala klinis meliputi ,riwayat mekonium terlambat atau ada riwayat
frekuensi defeksi yang jarang pada masa neonatus. Gejala klinis obstruksi parsial saluran
cerna dapat terjadi berupa distensi abdomen, ferkuensi BAB yang jarang dan muntah
( muntah hijau atau feses ). Pada colok dubur, jari akan merasakan jepitan dan pada waktu
keluar dan dapat diikuti oleh keluarnya udara dan mekonium feses yang
menyemprot.penyakit hirschprung dibedakan dengan konstipasi berdasarkan bentuk feses
yang berbentuk paste. Pada segmen panjang terjadi manifestasi klinis obstruksi total pada
masa neonatus. Pada segmen ultrashort, gambaran klinis mirip konstipasi fungsional.
Gambaran foto polos abdomen ter1ihat usus-usus melebar atau terdapat gambaran obstruksi
usus rendah. Pada foto barium enema (dengan tehnik hirschprung) ditemukan daerah
transisi, gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di segmen yang menyempit.
Diagnosis pasti dengan biopsy rectal, dengan gambaran PA tidak ditemukan sel ganglion di
submukosa.
Penatalaksanaan :
Dekompresi dengan melakukan washing.
Kolostomi diikuti operasi Pullthrough, pada usia 6-12 bulan dengan metode Swenson
Duhamel dan Soave
Referensi :
1. Jong W,Syamsuhidayat R. Dalam : buku ajar Ilmu bedah : edisi 2. Jakarta.: penerbit buku
kedokteran EGC; 908-10
2. Brunicardi FC. Hirschprung disease. Dalam : Schwartz Manual Surgery: 8th Ed. New york:
MacGraw Hill. 2006;1015-017

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


19

6. DIVERTICULUM MECKEL
Adalah suatu keadaan terdapatnya gaster pancreas ektopik. Biasanya terletak 50-75 cm dari
proksimal ileocaecal junction pada bagian antimesenterik intestinal. Asam atau sekresi
pepsin dari mukosa yang ektopik dapat menyebabkan ulkus sehingga terjadi perdarahan
yang dapat menjadi masif. Biasanya perdarahan tanpa disertai rasa sakit, timbu1 secara
periodik dan tanpa disertai feses. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
technitium scan (akurasi 90%). Diagnosis pasti diperoleh saat operasi.

7. AKALASIA ESOPHAGUS
Adalah kelainan esophagus primer yaag ditandai dengan adanya Obstruksi
esofagogastrik junction dengan karakteristik bertambahnya tekanan sfingter esophagus
bagian bawah dan tidak adanya peristaltik esophagus.
Gangguan motilitas esophagus akibat peristaltik yang melemah dan adanya kontraksi
yang menetap pada sfingter esophagus bagian bawah menyebabkan obstruksi relatif di
mana bagian proksimal esophagus melebar (megaesofagus).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan radiologis.
Terutama djiumpai pada anak besar dan remaja, hanya 5 % dijumpai pada anak dibawah
usia 4 tahun.
Anamnesis :
Adanya gejala klinik yang sering berupa :
1. Disfagia :
Perjalanan penyakit biasanya kronis dengan disfagia yang bertambah berat. Berat
ringannya disfagia menurut British Oesophageal Surgery dibagi menjadi 5 tingkat,
yaitu :
Tingkat 0 : normal.
Tingkat 1 : tidak dapat menelan makanan padat.
Tingkat 2 : tidak dapat menelan makanan daging halus.
Tingkat 3 : tidak dapat menelan sup atau makanan cair.
Tingkat 4 : tidak dapat menelan ludah.
2. Nyeri dada : Gejala kurang menonjol pada permulaan penyakit. Rasa nyeri biasanya di
substernal dan dapat menjalar ke belakang bahu, rahang dan lengan, timbul bila
makan/minum dingin.
3. Regurgitasi : Timbul tidak hanya berhubungan dengan bentuk/jenis makanan tetapi
juga berhubungan dengan posisi. Bila penyakit makin kronis, maka pada saat penderita
berbaring sisa makanan dan saliva yang terdapat pada kantong esofagus dapat mengalir
ke faring dan mulut sehingga akhirnya dapat menimbulkan aspirasi pneumonia.
4. Kehilangan berat badan.
Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH
20

Pemeriksaan Radiologis :
1. Foto thoraks polos :
Bermakna bila esofagus mengalami dilatasi yang hebat. Foto AP akan tampak bayangan
yang menonjol ke arah jantung. Pada foto lateral akan tampak adanya bayangan di
posterior jantung. Terdapat gambaran air fluid level di dalam esofagus, tak tampak
gelembung udara di daerah gaster.
2. Esofagografi :
Stadium permulaan adanya obstruksi kardia dan pelebaran minimal dari esofagus.
Stadium lanjut adanya penyempitan pada bagian distal esofagus pada batas
esofagogastric junction dengan pelebaran pada bagian proksimalnya. Terdapat
gambaran menyerupai paruh burung, beak like appearance atau mouse tail appearance.
Pemeriksaan ini penting untuk menyingkirkan kelainan seperti striktura esofagus dan
keganasan. Pada akalasia, esofagoskopi masih bisa dimasukkan ke dalam lambung
dengan hambatan ringan dan dapat terlihat dilatasi esofagus, mukosa lembek agak
edema, tanda-tanda esofagitis dan penutupan sfingter esofagus distal.
3. Pemeriksaan Manometer :
Setelah menelan, tekanan daerah sfingter esofagus menguat 2 kali normal akibat dilatasi
dan retensi makanan.
Diagnosis Banding :
Ca cardia.
Spasme cardia.
Striktura esofagus dekat diafragma.
Hipermotilitas.
Penyakit cagas.
Komplikasi :
Aspirasi pneumonia.
Perdarahan ulkus dalam mukosa.
Perforasi akut.
Ca esofagus.
Ca lambung.
Penatalaksanaan :
1. Konservatif
a. Diet cair /lunak dan hangat
b. Medikamentosa
Sedatif ringan untuk penenang.
Preparat kalsium antagonis seperti verapamil atau nifedipin oleh karena dapat
menurunkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Nifedipin diberikan 10-20
mg sublingual dapat menurunkan tekanan esofagus bagian bawah kurang lebih 1
jam akan tampak perbaikan gejala bila diberikan sebelum makan.

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


21

2. Tindakan aktif
a. Forced dilatation : dilakukan pada akalasia ringan sedang. Ada 3 macam dilatator :
- Mekanik.
- Pneumatik.
- Hidrostatik.
b. Tindakan bedah yaitu: operasi Heler, melakukan esofagomiotomi.
Komplikasi yang timbul adalah : - Perforasi.
- Paralisis N. Phrenicus.
- Refluks gastroesofagal.
- Perdarahan masif.
- Disfagia.
Referensi:
1. Sayoeti Y. Disfagia. Dalam : Juffrie M, Soenarto SSY,Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS,
penyunting. Buku ajar Gastroenterologi-Hepatologi: jilid 1. Jakarta :UKK Gastroenterohepatologi
IDAI.2010 :51-68

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


22

8. ILEUS OBSTRUKSI
a.

Definisi: gangguan pasase usus yang disebabkan oleh obstruksi lumen usus. Gangguan
pasase isi usus ke rektum karena hambatan ekstrinsik atau intrinsik, baik pada usus kecil
maupun pada usus besar.

b. Dasar Diagnosis :
Anamnesis :
Adanya riwayat muntah, sakit perut, kolik, tidak ada BAB dan flatus, kembung,
riwayat operasi usus.
Pemeriksaan fisik :
Distensi usus,metallik sound, darm contour, bising usus meningkat, tanda-tanda
dehidrasi.
Radiologis :
Pada foto polos 3 posisi didapatkan gambaran distensi usus dan step ladder. Pada
volvulus sigmoid tampak sigmoid yang distensi berbentuk U yang terbalik. Pada dugaan
tumor kolon dapat dibuat foto barium enema.
Diagnosis Banding :
1. Kongenital (terjadi kurang dari 2-3 minggu) :
Stenosis pilorus.
Atresia atau stenosis duodenum.
Atresia atau stenosis jejunum.
Ileus mekonium.
Volvulus.
Hirschsprung.
2. Didapat :
Intususepsi.
Bolus askaris.
Terapi :

Dekompresi dengan pipa lambung


Pemasangan infus untuk koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit. Juga
keseimbangan asam-basa.
Koreksi bedah. Tindakan bedah yang dilakukan sesuai dengan kelainan
patologinya.
Antibiotika profilaksis atau terapeutik tergantung proses patologi penyebabnya.

Penyulit
Bila disertai strangulasi dapat terjadi gangren usus. Cepatnya penanganan sangat
menentukan prognosa penderita.

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


23

9. KISTA DUKTUS KOLEDOKUS


1.

Definisi :
Pelebaran saluran empedu baik ekstra maupun intrahepatik.
Penyakit ini jarang ditemukan, meskipun begitu di Asia terutama Jepang, cukup sering
ditemukan.

2.

Etiologi : belum diketahui secara pasti karena banyak faktor yang berperan.

3.

Manifestasi Klinis:
Klasik berupa trias : - Ikterus.
- Nyeri perut yang hilang timbul.
- Massa tumor pada perut kanan atas.

4.

Diagnosis :
Ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang, ditemukan
peningkatan kadar bilirubin, transaminase, alkalin fosfatase, gamma glutamil
transpeptidase dan kadar amylase. USG mempunyai ketepatan diagnosis yang tinggi
untuk diagnosa dini, dimana terlihat gambaran massa tumor yang berbatas tegas
ekolusen di daerah kanan atas. Diagnosis pasti untuk untuk menentukan tipe kista
dengan kolangiografi.
Klasifikasi :
Klasifikasi kista koledokus berdasarkan kelainan anatomi :
Tipe I
: Tipe kistik dan fusiform/dilatasi segmental dari duktus biliaris
ekstra hepatik. Jenis ini paling sering ditemukan.
Tipe II
: Dilatasi sakulat tunggal/divertikulum dari duktus biliaris ekstra
hepatik
Tipe III
: Dilatasi intraduodenal/koledokel dari duktus biliaris.
Tipe IV A
: Kombinasi dilatasi intra dan ekstra hepatik.
Tipe IV B
: Dilatasi multipel dari duktus biliaris ekstra hepatik.
Tipe V
: Dilatasi difus duktus biliaris intra hepatik (penyakit caroli).

5.

Penatalaksanaan : Penatalaksanaan dengan tindakan bedah yaitu eksisi total.

6.

Prognosis :
Prognosis tergantung dari :
Kerusakan hepar.
Baik tidaknya drainase.
Berkembang tidaknya menjadi kolestasis.
Berulang tidaknya kista.
Berkembang atau tidaknya menjadi ganas.

Referensi:
1. Suchy FJ. Cystic Diseases of the Biliary Tract and liver. Dalam : Behrman R, Kliegman RM, Jenson
HB, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke 16: WB Saunders company,2000;1222-3

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


24

10. INVAGINASI
Terjadi karena bagian usus proksimal berinvaginasi ke dalam bagian usus sebelah distalnya.
Bagian yang masuk disebut intususeptum dan bagian yang dimasuki disebut intususipien.
1.

Dasar Diagnosis :
Anamnesis :
Nyeri perut.
Berak berdarah dan berlendir.
Muntah.
Pemeriksaan Fisik : ditemukan massa berbentuk pisang pada kuadran kanan atas.
Pemeriksaan Penunjang :
a. Foto polos 3 posisi. Dapat memberikan gambaran obstruksi usus pada stadium
lanjut penyakit.
A. Barium Enema :
Tampak cekungan cangkir (cupping) pada puncak invaginasi dan gambaran
pegas (coiled spring).
Berguna untuk mereduksi usus yang tekena, merupakan pilihan pada semua bayi
dengan gejala yang timbul kurang dari 24 jam. Berbahaya bila keadaan umum
jelek dan peritonitis karena tekanan enema dapat mengakibatkan perforasi usus.
c. USG
Tampak gambaran doughnut pada potongan tranversal
Tampak gambaran pseudo kidney pada potongan longitudinal

2.

Penatalaksanaan :
Kasus gawat darurat bedah :
1. Reduksi dengan barium enema (bila tidak ada kontraindikasi).
2. Pembedahan (laparatomi eksplorasi).
2. Tindakan yang harus dilakukan sebelumnya adalah memperbaiki keadaan umum
penderita yaitu memperbaiki cairan dan elektrolit, dekompresi dengan NGT.

Referensi:
1. Suraatmaja S. Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta : sagung seto;2005;254-6
2. Wylie R. Adhesions, Intussuseption, and Closed-loop Obstruction. Dalam : Behrman R, Kliegman RM,
Jenson HB, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke 18: Saunders Elsevier,2007

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


25

11. PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS


1.

Batasan : terjadinya perdarahan pada saluran cerna proksimal dari ligamentum Treitz.

2.

Etiologi :
Kelainan mukosa (erosi, ulkus dan peradangan).
Kelainan vaskuler (varises, hemangioma, vaskulitis).
Koagulopati.
Kelainan anatomi: duplikasi esofagus/gaster.

3.

Patofisiologi :
Perdarahan kronis: anemia defisiensi
Perdarahan akut/banyak: syok dengan segala akibatnya

4.

Bentuk Klinis :
Perdarahan nyata: hematemesis/melena.
Perdarahan tersamar.

5.

Langkah Diagnosis :
a. Keadaan umum :
Cari gangguan hemodinamik.
Bila terjadi ancaman syok/syok: IVFD RL/NaCl 0,9% 20cc/kgBB 10 menit
sampai tanda vital membaik.
Transfusi darah bila diperlukan.
Observasi perdarahan.
b. Anamnesis :
Tertelan darah ibu (24 jam pertama) : tes Apt Downey.
Muntah-muntah hebat diikuti perdarahan : Sindrom Mallory Weiss.
Riwayat makan obat: aspirin/OARNS : ulkus.
Riwayat perdarahan dalam keluarga : koagulopati.
Riwayat menelan benda asing: erosi/ulkus.
c. Pemeriksaan fisik yang dapat membantu.
Tanda-tanda sianosis, peningkatan tekanan v. porta : varises.
Luka bakar luas, penyakit infeksi, SSP: ulkus stress.
Hemangioma/telangiektasis: kelainan vaskuler.
Eritema pada kulit, kelainan ginjal: sindrom Henoch Schonlein.
d. Endoskopi

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


26

6.

Penatalaksanaan :
Bayi 6 Bulan

Anak / Bayi > 6 Bulan

APT Test
Neonatus

Hematemesis
/ Melena

(-)

(+) Darah Ibu

Singkirkan
Kelainan
Peradarahan

Tentukan
Viabilitas
Hepar

Bendungan
Hepar/Lien (+)

Bendungan
Hepar/Lien (-)

Endoskopi

Endoskopi

Ba Meal

Ba Meal

Hematemesis
/ Melena
Konsul Bedah
Varises Esofagus

Tanda
NEC (+)

Tanda
NEC (-)

BNO 3
Posisi Serial

Entero Test
Duodenal
Kapsul

Tatalaksana NEC/
Peritonitis Primer

Tatalaksana
Hipertensi Portal

Ulkus peptikum
Gastritis
Sind. Mallory

Angiografi
Hematobilia

Irigasi
Saline

Di atas
Lig. Treitz

Di bawah
Lig. Treitz

THT/GE
Endoskopi

Esofagitis, Varises, Ulkus Peptikum

Referensi :
1.

Goustout CJ, Wang KK, Ahlquist DA. Acute gastrointestinal bleeding. Experience of a specialized
management team. J Clin Gastroenterol 1992;14: 260-7

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


27

12. KOLESTASIS
1.

2.

3.

Definisi
Kolestasis adalah gangguan sekresi dan atau aliran empedu yang biasanya terjadi dalam
3 bulan pertama kehidupan, yang menyebabkan timbulnya ikterus, akibat peninggian
komponen bilirubin direk > 20% dari kadar bilirubin total. Atau kadar bilirubin direk >
1 mg/dL jika kadar bilirubin total 5 mg/ dL.
Insiden.
Kolestasis pada bayi terjadi pada 1 : 2500 kelahiran hidup
Berdasarkan etiologinya : - hepatitis neonatal 1 : 5000 kelahiran hidup
- atresia bilier 1 : 10.000 kelahiran hidup
- defisiensi 1 antitripsin 1 : 20.000
Etiologi
Berdasarkan etiologinya, kolestasis diklasifikasikan menjadi :
I. Kelainan Ekstrahepatik
a. Atresia bilier
b. Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
c. Perforasi spontan duktus bilier
d. Massa (neoplasma, batu)
e. Inspissated bile syndrome
II. Kelainan Intrahepatik
A. Idiopatik
1.
Hepatitis neonatal idiopatik
2.
Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain:
a. Displasia arteriohepatik (sindroma alagille)
b. Sindroma Zellweger (sindroma serebrohepatorenal)
c. Intrahepatic bile duct poucity
B. Anatomik
1.
Hepatik fibrosis kongenital atau penyakit polikistik infantil
2.
Penyakit coroli (pelebaran kista pada duktus intrahepatik)
C. Kelainan Metabolisme
1. Kelainan metabolisme asam amino, lipid, karbohidrat dan asam empedu
2. Kelainan metabolik tidak khas : defisiensi 1 antitripsin, dll
D. Hepatitis
1. Infeksi, antara lain TORCH, virus Hepatitis B, Reovirus tipe e, dll
2. Toksik : kolestasis akibat nutrisi parenteral, sepsis dengan kemungkinan
endotoksemia
E. Genetik atau kromosomal trisomi E, sindrom down, sindrom donahue
F. Lain-lain : obstruksi intestinal, histiosis X, sindroma polispenia

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


28

4.

Patogenesis
Kelainan yang dapat menyebabkan terjadinya kolestasis
pada hepatosit, misalnya akibat kerja estradiol yang menurunkan aliran garam empedu
pada membran hepatosit, misalnya pada defisiensi Na-K-ATPase yang berfungsi
sebagai pompa natrium
pada permukaan membran yang mengarah ke dalam saluran empedu, misalnya
pemberian obat seperti klorpromazin, karena mengganggu fungsi mikrofilamen
hingga penetrasi garam empedu ke membran terganggu
Gangguan pada saluran empedu yang terjadi didalam hari (intrahepatik) atau di luar
hati (ekstrahepatik)

5.

Diagnosis :
Manifestasi Klinis :
Anamnesis
: saat timbulnya ikterus, lama ikterus, warna tinja, perdarahan,
riwayat keluarga, riwayat kehamilan dan kelahiran.
Pemeriksaan fisik : ikterus, hepatomegali dan konsistensi hati, splenomegali dan
tanda perdarahan.
Alagille mengemukakan 4 kriteria klinis yang terpenting untuk membedakan kolestasis
intrahepatik dan ekstrahepatik. Sedangkan Meyer menambahkan 1 kriteria gambaran
histopatologik hati.
Kriteria klinis menurut Alagille meliputi :
No.
1.

2.
3.
4.

5.

Data Klinis
Warna tinja selama dirawat :
- Pucat
- Kuning
Berat badan lahir (gram)
Usia tinja akolik (hari)
Gambaran klinis hati
- Hati normal
- Hepatomegali
Konsistensi normal
Konsistensi padat
Konsistensi keras
Biopsi hati **
- Fibrosis porta
- Proliferasi duktural
- Thrombus empedu intraportal

Kolestasis
Ekstrahepatik

Kolestasis
Intrahepatik

79%
21%
3,226 + 45
16 + 1,5

26%
75%
2,678 + 55
30 + 2

13%

47%

12%
63%
24%

35%
47%
6%

94%
86%
63%

47%
30%
1%

P
*
*
*

* Kemaknaan << 0.001 **Modifikasi Meyer

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


29

6.

Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium :
a. Rutin
Darah lengkap,gambaran hapusan darah tepi.
Biokimia darah: uji fungsi hati SGOT, SGPT, gamma GT, alkali fosfatase,
waktu protrombin dan tromboplastin, ureum, kreatinine, elektroforesis
protein, albumin, globulin, kolesterol, trigliserida,gula darah puasa,asam
empedu,
Urin : (lekosit,bilirubin, urobilinogen,reduksi) dan kultur urin
Pemeriksaan tinja 3 porsi (pk. 06.00-14.00, pk. 14.00-22.00, serta pk. 22.0006.00) dan adanya empedu dalam tinja.
Pemeriksaan etiologi infeksi: TORCH(toksoplasma, rubella, CMV, herpes
simpleks), dan hepatitis virus B/C.
b. Khusus : uji aspirasi duodenum (DAT) yang diperoleh melalui aspirasi dengan
menggunakan sonde (Levine tube).
2. Pencitraan :
a. Ultrasonografi hepar
akurasi diagnostik USG 77%, dilakukan pada dua fase yaitu pada keadaan puasa(
4-6 jam) dan sesudah minum ( sampai 60 menit) . Apabila pada saat atau sesudah
minum kandung empedu tidak tampak berkontraksi, maka kemungkinan besar
(90%) diagnosis atresia bilier dapat ditegakkan.
b. Scintigrafi hepar
Pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal, tetapi dalam waktu waktu >
6 jam tidak ditemukan eksresi ke usus. Untuk meningkatkan sensitivitasnya
dilakukan perhitungan indeks hepatik (penyebaran isotop di hati dan jantung) bila
pada menit ke 1o indeks < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier.
Teknik scintigrafi dapat digabungkan dengan pemeriksaan DAT dengan akurasi
98,4%
c. Kolangiografi
Apabila diagnosis masih meragukan dapat dilakukan kolangiografi operatif
dengan anestesi lokal. Bila terbukti atresia bilier, dilakukan eksplorasi lebih jauh
dengan anestesi umum.
3. Biopsi hepar
Gambaran histopatologis hati dapat membantu perlu tidaknya laparotomi eksplorasi
Atresia bilier : gambaran histopatologis menunjukkan proliferasi duktus dan
sumbatan empedu, fibrosis porta, edema, tetapi arsitektur lobuler masih normal
Hepatitis neonatal : umumnya ditemukan infiltrat inflamasi dari lobulus yang
disertai dengan nekrosis hepatoseluler, sehingga terlihat gambaran lobul yang
kacau. Selain itu ditemukan sel raksasa, fibrosis porta dan proliferasi duktus
ringan.

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


30

Pausity : tidak / atau kurang terbentuknya duktus intrahepatik. Non sindromik


jiak berdiri sendiri, sindromik jika disertai kelainan klinis yang lain, misalnya
sindroma alagill, sindroma down.
Terapi
Terapi etiologi:
o Terapi medikamentosa untuk kolestasis intrahepatik yang dapat
diketahui penyebabnya
o Operasi untuk kolestasis ekstrahepatik
Terapi suportif:
o Stimulasi aliran empedu : asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg
dalam 2-3 dosis.
o Nutrisi diberikan untuk menunjang pertumbuhan optimal(
kebutuhan kalori umunya dapat mencapai 130-150 % kebutuhan
bayi normal) dan mengandung lemak rantai sedang(medium
chain trigliseride-MCT).
o Vitamin yang larut dalam lemak
Vit. A : 5000-25.000 IU
Vit. D : calcitriol 0,05-0,2 g/kg/hr
Vit. E : 25-200 IU/kg/hr
Vit. K1: 2,5-5 mg, 2-7 kali/minggu
o Mineral dan trace elemen : Ca, P, Mn, Zn, Se, Fe
Terapi komplikasi lain, misalnya:
o Hiperlipidemia/ xantelasma : obat HMG-coa reductase inhibitor,
cth; kolestipol, simvastatin
o Pruritus : salah satu dibawah:
Antihistamin : difenhidramin 5-10 mg/kg/hr, hidroksisin
2-5 mg/kg/hr.
Rifampisin 10 mg/kg/hari
Kolestiramin 0,25- 0,5 g/kg/hr

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


31

Referensi :
1. Lefkowich JH. Cholestasis in Hepatobiliary Disease: A practical Guide to Diagnosis.
Columbia University. 2008;1-10
Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH
32

13. KOLITIS ULSERATIF


1. Defenisi :
Reaksi radang difus yang ditandai oleh infiltrat neutrofil dengan abses kripta yang mengenai
usus besar bagian distal yang dapat meluas ke proksimal sepanjang kolon dengan panjang
bervariasi.
2.

Etiologi : idiopatik.

3.

Diagnosis :
Manifestasi klinis :

3.

- Diare kronik dengan darah segar.


- Tidak dapat menahan defekasi.
- Tenesmus dan kejang (kram) pada perut bagian bawah
terutama sesaat sebelum defekasi.

Mikrobiologi.
Serologi.
Kolonoskopi.
Biopsi.

Penatalaksanaan :
Hidrokostison enema 100 mg pada waktu tidur selama 6 minggu.
Prednison oral 1-2 mg/kgBB/hari selama 3-4 bulan, dosis penuh dibarikan selama 6
minggu kemudian diturunkan 5 mg/hari setiap minggu.
Pada kasus gawat darurat dapat dilakukan kolektomi.

Referensi :
1. Prasetyo D. Inflammatory Bowel Diseases. Dalam : Juffrie M, Soenarto SSY,Oswari H, Arief S,
Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroenterologi-Hepatologi: jilid 1. Jakarta :UKK
Gastroenterohepatologi IDAI.2010 :232-244

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


33

14. CROHN DISEASE


Definisi : Suatu penyakit kronis,transmural, proses peradangan yang dapat mengenai setiap
segmen dari traktus intestinalis dari mulai mulut sampai anus,biasanya bersifat tidak secara
kontinu (diskontinu). Sebagian besar(90%) mengenai usus kecil terutama ileum distal (70%)
dan > 50% mengenai ileum dan kolon( ileokolitis).
Prevalensi : kebanyakan dari kasus pediatri dijumpai pada usia antara 10-19 tahun, lebih
jarang pada bayi dan anak kecil.
Etiologi : sebagaimana halnya dengan kolitis ulseratif,etiologi penyakit crohn tidak
diketahui. Kecendrungan pengelompokan penyakit Crohn dari segi keluarga, ras, dan etnis
menyokong konsep dari predisposisi genetik.
Gejala klinis : pada anak klinis sebagian besar tergantung dari lokasi dan luas peradangan.
Pada kebanyakan kasus manifestasi penyakit Crohn tidak spesifik.
Gambaran klinis yang umum dijumpai antara lain:
1. Diare
88%
2. Nyeri abdomen
82%
3. Panas
77%
4. Berat badan turun
60%
5. Gagal tumbuh
30%
6. Artritis
23%
7. Perdarahan rektal
22%
8. Masa abdomen
10%
Terdapat pula defisiensi besi, folat dan vitamin B12 terutama bila yang terkena ileum
terminalis.
Diagnosis penyakit Crohn meliputi pemeriksaan:
a) Laboratorium
a. LED meningkat
b. Hematokrit berkurang
c. Leukositosis
d. Defisiensi besi
e. Defisiensi folat
b) Radiologi
a. Barium follow through
b. USG/ CT scan abdomen: bila teraba masa abdomen,nyeri fokal yang kontinu
c) Endoskopi : kolonoskopi dengan biopsi multipel dari kolon dan ileum terminalis
merupakan uji yang paling sensitif dan spesifik. Adanya ulserasi yang nyata pada
mukosa dengan eksudat disekelilingnya. Bila berat, terlihat gambaran batu kerikil (
cobble stone)
d) Histologi : fibrosis, infiltrasi sel MN dan infiltrasi sel plasma, granuloma, distorsi
arsitektur termasuk percabangan dan atrofi kripta.
Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH
34

Penatalaksanaan :
1. Saat ini belum ada pengobatan yang efektif. Pendekatan yang cermat meliputi
pendidikan penderita, penanganan ahli yang terdiri dari dokter anak, ahli
gastroenterologi, ahli gizi, psikiatri atau psikologi.
2. Pada eksaserbasi akut: metilprednisolon atau prednison 1,2 mg/kgBB/hari dalam 2
dosis. Kurangi sampai 1 mg/kg BB/hari setiap hari, kemudian setiap hari yang lain(
every otherday) untuk 4-6 minggu tergantung dari respon klinis, bila remisi tercapai,
kurangi sampai berhenti.
3. Remisi /gejala yang tidak berat:
a. Sulffasalazine 50-75 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis(maks. 3-4 gr/ hari) disertai
suplemen folat 1mg, 4 kali/hari
b. 5-aminosalisilat 30-50 mg/kg/hari
4. Penyakit yang refrakter : Azatioprin 1,5 mg/kg/hari, 6- merkaptopurin 1-1,5
mg/kg/hari.
5. Tindakan bedah dilakukan bila ada komplikasi ( adhesi, striktur, abses, fistula).
Referensi :
1. Prasetyo D. Inflammatory Bowel Diseases. Dalam : Juffrie M, Soenarto SSY,Oswari H, Arief S,
Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroenterologi-Hepatologi: jilid 1. Jakarta :UKK
Gastroenterohepatologi IDAI.2010 :217-232

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


35

15. HIPERTROFI STENOSIS PILORUS


1.
2.

Definisi :
Hipertrofi dari otot sirkuler pilorus yang menyebabkan obstruksi pintu keluar lambung.
Dasar Diagnosis :
Anamnesis :
Muntah proyektil tidak mengandung empedu (paling sering muncul pada minggu ke 3-6).
Muntah terjadi segera sesudah anak kenyang.
Konstipasi.
BB tidak naik diikuti BB menurun.
Dehidrasi.
Jaundice.
Pemeriksaan fisik : a. Tampak gerakan peristaltik lambung.
b. Teraba massa (hipertrofi otot pilorus) di perut kanan atas.
Pemeriksaan penunjang :
a. Foto polos abdomen:
Penyempitan lumen pilorus (string sign).
Tampak bayangan lambung sangat besar dan berisi udara.
b. USG : Akurasi 95%. Target sign adalah gambaran khas penebalan mukosa pilorus
pada stenosis pilorus lebih dari 14 mm.
c. Laboratorium :
Alkalosis metabolik.
Hipokalemia.
Hiponatremia

3.

Penatalaksanaan :
a. Operatif
Teknik operasi Fredet-Ramstedt (piloromiotomi).
b. Non operatif
Diberikan makanan kental dalam porsi sedikit tetapi sering.
Penderita ditaruh dalam posisi setengah duduk selama 1 jam setelah makan.
Obat Metoklorpramid 0,15-0,3 mg/kgBB/kali 4 kali sehari.

4.

Prognosis :
Prognosis baik bila dilakukan tindakan operatif.
Pada tindakan non operatif angka kematian meningkat dan apabila penderita dapat
hidup akan terjadi kurang gizi.

Referensi :
1. Pardede N, Ismail R, Nasir M, Halimun EM. Kelainan lambung. Dalam : Suharyono, BoediarsoA,
Halimun EM, penyunting. Gastroenterologi anak praktis. Jakarta : Balai penerbit FKUI. 1998;118-19
2. Jong W, Sjamsuhidayat R. Lambung dan duodenum. Dalam : Buku ajar ilmu bedah ,edisi revisi.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC,1997;734-6

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


36

16. KERACUNAN MAKANAN/MINUMAN


Diagnosis keracunan makanan / minuman biasanya ditentukan berdasarkan anamnesis,
gejala klinis dan pemeriksaan jenis racunnya sendiri.
Dari anamnesis dicurigai kasus keracunan makanan/minuman apabila terdapat 1 orang atau
lebih yang menunjukkan gejala keracunan yang sama setelah mengkonsumsi
makanan/minuman yang sama atau bila pihak keluarga penderita mengkaitkan kasusnya
dengan kecurigaan keracunan makanan.
Spesimen yang harus disimpan / diselamatkan dalam kasus keracunan makanan/minuman
adalah :
- Bahan makanan yang dicurigai penyebab racun.
- Muntahan penderita.
- Feses penderita.
Dari lamanya terjadi keracunan setelah penderita mengkonsumsi makanan/minuman
tersebut, secara garis besar dapat dibedakan penyebabnya :
1. Bahan kimia
: < 1 jam.
2. Eksotoksin dari kuman : < 8 jam.
3. Endotoksin dari kuman : > 8 jam.
4. Kuman tersebut
: > 24 jam.
Prinsip pengobatan keracunan secara umum adalah :
1. Menentukan secepat mungkin penyebab keracunan dengan pemeriksaan klinis,
laboratorium toksikologis, kecepatan mendapatkan contoh darah, urin, feses, muntahan
penderita serta bahan makanan/minuman yang dicurigai menjadi penyebab keracunan.
2. Mengeluarkan racun dari lambung, dengan cara membuat penderita muntah atau
tindakan bilas lambung.
3. Pemberian antidotum yang sesuai.
4. Pengobatan simptomatik dan suportif.
Yang terpenting di antara keempat prinsip tersebut adalah pemberian antidotum, tetapi bila
antidotum tidak tersedia maka pengobatan simptomatik dan suportif memegang peranan
penting.
a.

b.

Keracunan Jamur
Antidotum yang diberikan adalah antimuskarinik berupa Atropin dengan dosis 1-2 mg
dapat diberikan setiap 30 menit secara subkutan sampai gejala menghilang atau terjadi
gejala atropinisasi.
Keracunan Singkong
Diberikan antidotum Natrium tiosulfat 30% sebanyak 30cc, secara IV perlahan-lahan.
Mula-mula diberikan diberikan 10cc IV, kemudian anak dicubit untuk mengetahui
apakah kesadarannya telah pulih, bila belum sadar dapat diberikan 10 cc lagi sampai
dosis maksimal. Bila terjadi sianosis dapat diberikan oksigen.

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


37

17. NYERI PERUT BERULANG


1.
2.

Definisi : Serangan sakit perut yang timbul sekurang-kurangnya tiga kali dalam jangka
waktu tiga bulan dan mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari.
Etiologi :
Sakit perut berulang dapat dibagi menjadi fungsional dan organik.
1). Sakit perut organik non bedah :
a. Traktus gastrointestinalis dan mesenterium.
1. Kolik.
2. Ulkus peptikum.
3. Zollinger-Ellison Syndrome.
4. Gastritis.
5. Adenitis Mesenterika.
6. Konstipasi.
b. Traktus Urinarius.
1. Penyakit pada traktus urinarius.
2. Henoch-Scholein Purpura.
c. Hepar dan kandung Empedu.
1. Hepatitis.
2. Perihepatitis.
3. Kolesistitis.
4. Kolelitiasis.
d. Lien.
- Pembesaran lien congestive.
e. Pankreas.
- Pankreatitis.
2). Sakit perut organik bedah :
a. Traktus gastrointestinalis.
1.. Intestinal Malrotasi.
2. Divertikulum Meckel.
3. Obstruksi intestinal parsial
4. Kista mesenterika
b. Traktus Urinarius.
- Calculus Renal.
c. Tumor Hepar.
3) Sakit perut fungsional
1. Dispepsia
2. Nyeri perut fungsional
3. Migrain abdominal
4. IBS (irritable bowel syndrome)

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


38

3.

Patogenesis :
Mekanisme timbulnya sakit perut organik :
1. Gangguan vascular.
2. Peradangan.
3. Obstruksi organ berongga di ruang peritoneum atau retroperitoneum.
4. Penarikan dan peregangan peritoneum viseralis.

4.

Gambaran Klinis :
Pada bayi dan anak, manifestasi klinis sakit perut bergantung pada umur penderita.
Umur 0-3 bulan
: umumnya digambarkan dengan adanya muntah.
Umur 3 bulan-2 tahun : muntah tiba-tiba, menjerit, menangis tanpa adanya trauma
yang dapat menerangkan terjadinya gejala.
Umur 2-5 tahun
: sudah dapat menyatakan sakit tetapi lokalisasinya belum
tepat.
Umur > 5 tahun
: dapat menerangkan sifat dan lokasi yang dirasakan sakit.

5.

Diagnosis dan Penatalaksanan :


a. Anamnesis :
Timbulnya rasa sakit.
Onset dan lamanya sakit.
Kwalitas dan berat ringannya.
Lokalisasi sakit perut.
Demam.
Mual, muntah atau diare yang berhubungan dengan sakit perut.
Ciri-ciri dari muntah atau diare.
Perubahan kebiasan defekasi, konsistensi dan warna feses.
Faktor- factor yang memperingan dan memperberat sakit perut.
Terapi yang sudah diberikan.
Riwayat trauma.
Riwayat pernah dirawat sebelumnya.
b. Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan yang terbaik adalah pada waktu serangan, harus lengkap dengan titik
berat pada abdomen.
Pengamatan.
Secara umum penderita tampak tidak anemia, turgor normal, sirkulasi normal.
Tanda vital : temperature harus diperhatikan.
Periksa tanda-tanda peradangan dan proses infeksi pada kepala, mata, telinga,
hidung, tenggorokan, seperti faringitis, OMA, dll.
Dada : perhatikan pergerakan dada, retraksi, frequensi respirasi.
Abdomen :
- Pengamatan bentuk perut.
- Distensi / ketegangan dinding perut baik sebelum atau
- Sesudah rangsangan tangan (palpasi).

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


39

- Adanya cairan bebas, bising usus diseluruh perut meningkat atau menurun
sampai negatif.
- Perlu dicari tanda akut abdomen yaitu dinding abdomen yang kaku, defence
musculare, nyeri tekan, nyeri lepas.
- Pada pemeriksaan di luar abdomen, cari kemungkinan adanya hernia
strangulata, hernia inguinalis yang menyebabkan obstruksi dan peritonitis.
Rektum :
Pemeriksaan colok dubur perlu diperhatikan abnormalitas sfingter internal atau
eksternal, adanya massa feces, warna, konsistensi, darah.
Sistem Genitourinaria :
Perhatikan di daerah genitalia adanya trauma, discharge, peradangan nyeri pada
anak remaja periksa daerah pelvis, evaluasi adanya trauma, infeksi peradangan,
besarnya uterus, dan massa.

c. Pemeriksaan laboratorium :
Pemeriksaan rutin darah, urin, tinja perlu dilakukan. Jika ada kelainan dilanjutkan
dengan pemeriksaan khusus : WBC dengan hitung jenis, sedimen urine, urinalisis,
kultur urin / tinja.
d. Ada obstruksi intestinal : foto polos abdomen.
e. Sakit perut berulang perlu dilakukan pemeriksaan barium meal, barium enema,
endoskopi, USG.

6.

Penanganan :
Ditentukan apakah penyakitnya membutuhkan tindakan bedah atau tidak. Bila tidak
ditemukan kedaruratan perut, penyebab sakit perut harus dicari dan diberi pengobatan
yang sesuai.

Referensi :
1. Boediarso A. Sakit perut berulang. Dalam : Naskah lengkap simposium nasional badan koordinasi
Gastroenterologi Anak Indonesia. Dalam : Munyi R, Abimanyu, Sofyan L, penyunting. Banjarnasin
.2000;59-70
2. Thiessen PN. Recurrent Abdominal Pain. Pediatrics in Review.2002;23;39-46

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


40

18. KOLESISTITIS
1.

Definisi :
Kolesistitis adalah peradangan pada kantung empedu yang dapat akut atau kronik.

2.

Etiologi :
a. Kolesistitis akut :
- Stasis garam empedu : Obstruksi (batu empedu, nodus limfatikus, tumor),
kelaparan dan imobilisasi.
- Inflamasi : garam empedu, lysolecitin, bakteri.
- Iskemi : torsi, penyakit vaskuler.
b. Kolesistitis kronik : obstruksi berulang dan inflamasi.

3.

Gejala Klinis :
a. Nyeri abdomen.
b. Kwadran kanan atas.
c. Epigastrium.
d. Menyebar ke belakang, bahu.
e. Mual.
f. Intoleran makanan lemak.
Tanda :
a. Abdomen tegang.
b. Kuning.
c. Demam.
d. Teraba massa.

4.

Diagnosis :
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik.
b. Laboratorium :
Rutin : Hb, Lekosit, Hitung jenis.
Test faal hati : bilirubin, SGOT, SGPT, Alkali fosfatase.
c. Radiologis : Perlu di buat foto polos abdomen, untuk mendeteksi ada atau tidaknya
batu empedu radio opak.
d. USG :
Pemeriksaan USG lebih banyak membantu menentukan diagnosis.
Gambaran USG dari kolesistitis akut :
- Penebalan dinding kandung empedu lebih dari 3 cm.
- Pada dinding yang menebal terlihat suatu daerah bebas gema diantara lapis
luar dengan lapisan dalam, sehingga terlihat tanda dinding yang rangkap atau
disebut Double Rim Sign. Hal ini disebabkan karna adanya edema di dinding
kandung empedu.
- Terdapat tanda Murphy Ultrasonik yaitu terasa nyeri pada saat transduser
sedikit di tekan diatas daerah kandung empedu.
- Terdapat pembesaran kandung empedu.
Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH
41

- Selain tanda-tanda tersebut di atas perlu dicari penyebabnya.


- Sebagai penyebab terbanyak yaitu batu empedu, yang akan terlihat sebagai
suatu massa padat berdensitas gema meninggi, disertai bayangan akustik.
Pada perubahan posisi massa tersebut akan ikut bergerak.
5.

Diagnosis Banding :
a. Apendisitis akuta.
b. Pankretitis akuta.
c. Komplikasi dari tukak peptik (perforasi).
d. Obstruksi Intestinal.

6.

Pengobatan :
a. Pengobatan kolesistitis termasuk hospitalisasi, hidrasi dengan cairan IV, koreksi
abnormalitas elektrolit dan penghentian makanan oral.
b. Medikasi (misalnya Meperidine hidroklorida) harus diberikan untuk mengurangi
nyeri.
c. Antibiotika, termasuk ampisilin dan gentamisin digunakan untuk mengobati
kolesistitis akut karena mereka diekskresikan dalam empedu atau melindungi organ
enteric secara adekuat. Sefalosporin generasi kedua atau ketiga dapat digunakan
sebagai alternatif.
d. Kolesistektomi laparoskopik adalah pengobatan pilihan untuk manajemen
kolesistitis akut tanpa komplikasi.
Indikasi utama untuk pembedahan :
1. Ketidakpastian mengenai diagnosis ditambah dengan iritasi peritoneal perut bagian
atas yang jelas
2. Kegagalan terhadap pengobatan non operatif :
Demam terus menerus lewat 24 jam.
Tanda-tanda iritasi peritoneal yang tak berubah atau semakin lanjut.
Perkembangan atau pembesaran massa yang progesif.
Perkembangan peritonitis umum.

7.

Komplikasi :
Perforasi.
Peritonitis empedu.
Obstruksi bilier.
Sirosis bilier.
Kanker kandung empedu.

8.

Prognosis :
Angka mortalitas keseluruhan untuk kolesistitis akut dan kronik < 2 %.

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


42

19. PERITONITIS TUBERKULOSA


Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai yaitu sekitar 1-5% dari
kasus TB anak.
1.

Etiologi : Mycobacterium tuberkulosa.

2.

Patogenesis :
Peritonitis TB didahului oleh infeksi M. tuberculosis yang menyebar secara
hematogen ke organ di luar paru termasuk di peritoneum.
Cara lain adalah dengan penjalaran langsung dari kelenjar mesenterika atau dari
tuberkulosis usus.

3.

Gejala Klinis :
Gejala umum TB pada anak.
Di temukan massa intraabdomen, adanya asites, kadang-kadang ditemukan fenomena
papan catur yaitu pada perabaan abdomen didapatkan adanya massa yang diselingi
perabaan lunak.
Pemerikasaan Penunjang :
Pemeriksaan TB pada umumnya.
Foto polos abdomen : gambaran peritonitis, massa omentum dan asites.
Biopsi peritonium untuk mencari gambaran patologis.
Kultur M. tuberkulosis dari bahan cairan asites atau biopsi peritonium.

4.

Pentalaksanaan :
Tatalaksana TB ekstrapulmonal yaitu Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan,
Pirazinamid selama 2 bulan pertama. Kortikosteroid diberikan 1-2 mg/kg BB selama 12 minggu pertama.

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


43

20. KONSTIPASI
Batasan konstipasi :
1. Frekuensi < 3x/minggu
2. Konsistensi keras
3. Terdapat distress : nyeri, pengeluaran periodik sejumlah feses besar 1 x / 7 - 30 hari,
perut kembung, sensasi penuh, teraba massa di abdomen atau rektum
Berdasarkan Kriteria ROMA III (2006) :
Constipation
1. Konstipasi fungsional
Kriteria diagnosis untuk functional constipation :
Harus memenuhi 2 atau lebih dari kriteria berikut pada anak minimal umur 4 tahun
yang tidak memenuhi kriteria yang cukup untuk IBS, dialami minimal 1 kali
seminggu selama setidaknya 2 bulan sebelum diagnosis ditegakkan :
Buang air besar 2 kali seminggu atau kurang
Mengalami setidaknya 1 kali inkontinensia feses per minggu
Riwayat retensi feses
Riwayat nyeri saat buang air besar atau feses yang keras
Terdapat massa feses yang besar di rektum
Riwayat diameter feses yang besar sehingga dapat menyumbat toilet.
Berdasarkan waktu :
1. Konstipasi akut : < 1-4 minggu
2. Konstipasi kronik : > 1 bulan
Etiologi:
Hampir 90-95% penyebab konstipasi tidak diketahui (idiopatik) dan bersifat fungsional.
Hanya 5-10% yang mempunyai penyebab organik, diantaranya Hirschprungs disease,
cyctic fibrosis, fisiologi anorektal yang abnormal, dan fisura ani. Penyebab non organik
diantaranya adalah obat-obatan, kondisi metabolik karena dehidrasi, diet kurang serat, dan
penyakit malabsorpsi
Patofisiologi:
Konstipasi fungsional diduga berhubungan dengan masalah fungsi usus, termasuk kontrol
hormonal, syaraf, masalah otot-otot pada kolon, rektum atau anus. Konstipasi fungsional
sering disebabkan kebiasaan defekasi dan diet yang buruk. Kebiasaan defekasi yang tidak
teratur, akibat penghambatan refleks defekasi normal. Psikosomatik juga dapat
menyebabkan konstipasi. Terjadi pada usia 2 tahun Psikosomatik juga dapat menyebabkan
konstipasi.

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


44

Diagnosis
Anamnesis
Riwayat konstipasi yang terjadi, yakni
lamanya gejala (konstipasi akut atau
kronik), frekuensi defekasi, konsitensi feses, ada tidaknya darah pada feses, dan kebiasaan
defekasi (seberapa sering dan dimana pasien biasa defekasi). mengenai kebiasaan
makan,komsumsi obat-obatan, dan aktifitas fisik. Penting juga untuk menanyakan umur
saat awitan. Jika gejala pada saat usia toilet training (>2 tahun) kemungkinan besar bersifat
fungsional.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan terutama pada abdomen, tulang belakang dan perineum.
Pemeriksaan colok dubur dapat untuk mengevaluasi tonus otot-otot sfingter ani dan
mendeteksi obstruksi atau darah. Pemeriksaan ini dapat menyingkirkan adanya kelainan
anatomi (seperti anal stenosis dan fisura ani) dan trauma.
Pemeriksaan penunjang :
Jarang di lakukan Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengidentifikasi adanya
anemia, lekositosis, dan gangguan metabolik, seperti hipotiroidisme (hormon tiroid) atau
uncover excess hormon paratiroid (kalsium). Pemeriksaan urine berupa urin rutin dan kultur
urine juga dilakukan terutama bila diduga terjadi infeksi saluran kemih akibat konstipasi
kronis.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang digunakan untuk mengevaluasi konstipasi
yaitu foto polos abdomen, studi transit kolorektal, tes fungsi anorektal, biopsi hisap rektum,
dan defekografi. Karena peningkatan resiko kanker, dapat dillakukan tes untuk
menyingkirkan kanker, yaitu barium enema, sigmoidoskopi atau kolonoskopi. Pemeriksaan
ultrasonografi abdomen dan MRI juga dapat dilakukan untuk mencari penyebab organik
lain yang memberikan gejala konstipasi. Foto tulang belakang daerah lumbosakral dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan ketika hasil pemeriksaan neurologi
ektremitas bawah atau sakrum tampak abnormal.
Penatalaksanaan
Pengobatan konstipasi sangat bervariasi tergantung sumber masalah, usia anak, dan
kepribadian anak.
Jika konstipasi terjadi sebagai akibat suatu keadaan medis, kelainan primer harus diobati
terlebih dahulu.
Penatalaksanaan terhadap konstipasi kronis antara lain dengan menggabungkan tehnik
edukasi, evakuasi feses (disimpaction), dan terapi rumatan (modifikasi tingkah laku,
pengaturan diet, dan pemberian laksansia).
Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi antara lain nyeri anus, nyeri abdomen, fisura ani,
enkopresis, enuresis, infeksi saluran kemih, obstruksi ureter, prolaps rectum, ulkus soliter,
sindrom stasis (bakteri overgrowth, fermentasi karbohidrat, maldigesti, dekonyugasi asam
empedu, steatorea).
Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH
45

Prognosis
Pada anak di bawah usia 5 tahun dengan konstipasi kronis, sebanyak 50% sembuh
dalam 1 tahun dan 65-75% sembuh dalam 2 tahun dengan pemakaian laksansia bertahuntahun. Keberhasilan pengobatan konstipasi sangat tergantung dari penyebabnya. Sekitar
80% anak dengan konstipasi fungsional biasanya berhasil diobati dalam 5 tahun.
Referensi :
1. Firmansyah A. Konstipasi pada Anak. Dalam : Juffrie M, Soenarto SSY,Oswari H, Arief S, Rosalina
I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroenterologi-Hepatologi: jilid 1. Jakarta :UKK
Gastroenterohepatologi IDAI.2010 :201-213
2. Hyman PE dkk. Childhood Functional Gastrointestinal Disorders: Neonate/Toddler.Gastroenterology
2006;130:1519-26.
3. Rasquin dkk. Childhood Functional Gastrointestinal Disorders: Child/Adolescent. Gastroenterology
2006;130:1527-37.

Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSMH


46

Vous aimerez peut-être aussi