Vous êtes sur la page 1sur 35

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma masih merupakan penyebab kematian paling sering di empat
dekade pertama kehidupan, dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang utama di setiap negara (Gad et al, 2012). Sepuluh persen dari kematian di
seluruh dunia disebabkan oleh trauma (Maegel, 2010). Diperkirakan bahwa pada
tahun 2020, 8,4 juta orang akan meninggal setiap tahun karena trauma, dan
trauma akibat kecelakaan lalu lintas jalan akan menjadi peringkat ketiga yang
menyebabkan kecacatan di seluruh dunia dan peringkat kedua di negara
berkembang (Udeani, 2013). Di Indonesia tahun 2011 jumlah kecelakaan lalu
lintas sebanyak 108.696 dengan korban meninggal sebanyak 31.195 jiwa (BPS,
2011).
Trauma abdomen menduduki peringkat ketiga dari seluruh kejadian
trauma dan sekitar 25% dari kasus memerlukan tindakan operasi (Hemmila,
2008). Trauma abdomen diklasifikasikan menjadi trauma tumpul dan trauma
tembus.Trauma tembus abdomen biasanya dapat didiagnosis dengan mudah dan
andal, sedangkan trauma tumpul abdomen sering terlewat karena tanda-tanda
klinis yang kurang jelas (Jansen et al, 2008).
Trauma abdomen merupakan salah satu jenis trauma yang sering terjadi.
Trauma abdomen merupakan penyebab kematian pada sekitar 15-20% kasus
trauma (Demetriades, 2003). Penyebab kematian paling cepat setelah trauma
adalah perdarahan, meskipun kematian yang lebih lama terjadi dapat disebabkan
oleh karena sepsis. Secara garis besar, trauma abdomen dapat dibagi menjadi 2,
yaitu trauma abdomen tumpul dan trauma abdomen tembus. Pada makalah ini
akan dibahas tentang trauma abdomen tumpul.
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma tumpul abdomen
pada populasi masyarakat. kecelakaan antara sesama kendaraan atau antara

kendaraan dengan pejalan kaki merupakan penyebab pada 50-75% kasus. Etiologi
lainnya adalah jatuh dan kecelakaan kerja atau rekreasi. Penyebab yang jarang
terjadi seperti trauma iatrogenik selama resusitasi cardiopulmonary, atau Heimlich
manuver (Malinosky, 2013).
Cedera pada trauma abdomen dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa
benturan, perlambatan (deselerasi), dan kompresi. Akibat cedera ini dapat berupa
memar, luka jaringan lunak, cedera muskuloskeletal, kerusakan organ dan ruptur
pada berbagai organ. Ruptur adalah robek , atau pecahnya suatu jaringan secara
paksa yang dapat terjadi akibat rudapaksa tumpul maupun tajam. (Legome, 2014)
Sebagian besar kasus (92,7%) dari cedera tumpul abdomen memiliki
tanda-tanda eksternal trauma tumpul abdomen, tetapi dalam kasus yang sangat
sedikit (7,2%) tidak menunjukkan tanda-tanda eksternal trauma tumpul abdomen ,
tetapi terdapat trauma visceral fatal. Hati adalah organ yang paling sering terlibat
dalam trauma tumpul abdomen diikuti oleh limpa, usus kecil, ginjal, lambung,
kandung empedu, kandung kemih dan pankreas. (Advanced Trauma Life Support,
2012)
1.2.

Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam laporan kasus ini adalah

bagaimana gambaran klinis dan penatalaksanaan pasien yang mengalami trauma


tumpul abdomen?
1.3.

Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan kasus ini diantaranya:
1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis kegawatdaruratan pada trauma
tumpul abdomen.
2. Untuk memahami penanganan dan perawatan terhadap kegawatdaruratan
pada trauma tumpul abdomen

1.4.

Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dari penulisan laporan kasus ini diantaranya:


1. Memperkokoh landasan teoritis ilmu kedokteran di bidang ilmu
kegawatdaruratan, khususnya mengenai kegawatdaruratan pada trauma
tumpul abdomen.
2. Sebagai bahan informasi bagi pembaca yang ingin mendalami lebih lanjut
topik topik yang berkaitan dengan kegawatdaruratan pada trauma
tumpul abdomen

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Trauma Abdomen
Trauma tumpul abdomen adalah cedera atau perlukaan pada abdomen tanpa
penetrasi ke dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan,
ledakan, deselarasi (perlambatan) atau kompresi.
Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada
permukaan tubuh tetapi dapat mengakinatkan kontusi atau laserasi jaringan atau
organ di bawahnya. Benturan pada trauma tumpuil abdomen dapat mengakibatkan
cedera pada organ berupa perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan.
Kecelakaan deselarasi sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas karena setelah
tabrakan badan masih melaju dan tertahan suatu benda keras sedangkan bagian
tubuh yang relatif tidak terpancang bergerak terus dan mengakibatkan robekan
pada organ tersebut. Pada intraperitoneal, trauma tumpul abdomen paling sering
mencederai organ limpa (40-55%), hati (35-45%), dan usuS halus (5-10%).
Sedangkan pada retroperitoneal, organ paling sering terkena adalah ginjal, dan
organ paling jarang cedera adalah pankreas dan ureter. (Advanced Trauma Life
Support, 2012)
2.2. Klasifikasi Trauma Abdomen
Trauma abdomen pada garis besarnya dibagi menjadi trauma tumpul dan trauma
tajam. Keduanya mempunyai biomekanika, dan klinis yang berbeda sehingga
algoritma penanganannya berbeda. (Stone, 2011)
Trauma abdomen dapat menyebabkan laserasi organ tubuh sehingga memerlukan
tindakan pertolongan dan perbaikan pada organ yang mengalami kerusakan.
Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis:
1. Trauma penetrasi : Trauma Tembak, Trauma Tusuk
2. Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul : diklasifikasikan ke dalam 3
mekanisme utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman), tenaga deselerasi
dan akselerasi. Tenaga kompresi (compression or concussive forces) dapat
berupa hantaman langsung atau kompresi eksternal terhadap objek yang
terfiksasi. Misalnya hancur akibat kecelakaan, atau sabuk pengaman yang

salah (seat belt injury). Hal yang sering terjadi adalah hantaman, efeknya
dapat menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ padat
viseral. Hantaman juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen pada organ berongga dan menyebabkan ruptur.
Pengeluaran darah yang banyak dapat berlangsung di dalam kavum
abdomen tanpa atau dengan adanya tanda-tanda yang dapat diamati oleh
pemeriksa, dan akhir-akhir ini kegagalan dalam mengenali perdarahan
intraabdominal adalah penyebab utama kematian dini pasca trauma. Selain itu,
sebagian besar cedera pada kavum abdomen bersifat operatif dan perlu tindakan
segera dalam menegakan diagnosis dan mengirim pasien ke ruang operasi.
Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada
permukaan tubuh, tetapi dapat mengakibatkan cedera berupa kerusakan daerah
organ sekitar, patah tulang iga, cedera perlambatan (deselerasi), cedera kompresi,
peningkatan mendadak tekanan darah, pecahnya viskus berongga, kontusi atau
laserasi jaringan maupun organ dibawahnya.
Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan adanya
deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai kelenturan (non
complient organ) seperti hati, lien, pankreas, dan ginjal. (Legome, 2014)
Secara garis besar trauma tumpul abdomen dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Trauma kompresi
Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak,
sedangkan bagian belakang dan bagian dalam tetap bergerak ke depan. Organorgan terjepit dari belakang oleh bagian belakang thorakoabdominal dan
kolumna vertebralis dan di depan oleh struktur yang terjepit. Trauma abdomen
menggambarkan variasi khusus mekanisme trauma dan menekankan prinsip
yang menyatakan bahwa keadaan jaringan pada saat pemindahan energi
mempengaruhi kerusakan jaringan. Pada tabrakan, maka penderita akan secara
refleks menarik napas dan menahannya dengan menutup glotis. Kompresi
abdominal mengkibatkan peningkatan tekanan intrabdominal dan dapat

menyebabkan ruptur diafragma dan translokasi organ-organ abdomen ke dalam


rongga thorax. Transient hepatic kongestion dengan darah sebagai akibat
tindakan valsava mendadak diikuti kompresi abdomen ini dapat menyebabkan
pecahnya hati. Keadaan serupa dapat terjadi pada usus halus bila ada usus
halus yang closed loop terjepit antra tulang belakang dan sabuk pengaman.
2. Kompresi eksternal
Kompresi eksternal ini sering terjadi pada benda-benda yang telah
difiksasi kuat pada abdomen, seperti sabuk pengaman. kompresi ini
menyebabkan meningkatnya tekanan intrabadominal dan menyebabkan
rupturnya organ abdomen.
3. Cedera akselerasi / deselerasi.
Trauma deselerasi terjadi bila bagian yang menstabilasi organ, seperti
ligamentum teres berhenti bergerak, sedangkan organ yang distabilisasi tetap
bergerak. Shear force terjadi bila pergerakan ini terus berlanjut, contoh pada
aorta distal yang menempel pada tulang belakang dan terjadi deselerasi yang
cepat dibandingkan pergerakan dari aorta (Advanced Trauma Life Support,
2012).
Kerusakan organ lunak karena trauma tumpul biasanya terjadi sesuai dengan
tulang yang terkena.
Organ/area yang terkena langsung
Fraktur kosta kanan
Fraktur kosta kiri
Kontusio midepigastrium
Fraktur prosessus tranversalis

Cedera yang mungkin terkait


Cedera hepar
Ruptur lien
Perforasi duodenum, cedera pankreas
Cedera ginjal

Lumbal
Fraktur pelvis

Ruptur VU, cedera urethra

2.3.

Trauma Pelvis

Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan jiwa.


Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun terutama
lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 1530% pasien dengan cedera
pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara
langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan
merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan
keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi
rangkaian besar.
Perdarahan sehubungan fraktur pelvis menuntut evaluasi yang efisien dan
intervensi yang cepat. Evaluasi dan perawatan pasien dengan fraktur pelvis
membutuhkan sebuah pendekatan multidisiplin. Meskipun ahli trauma bedah
umum pada akhirnya mengarahkan pengobatan seseorang dengan cedera multipel,
penting bagi pasien dengan fraktur pelvis agar ahli bedah ortopedi ikut terlibat
dalam setiap fase pengobatan, termasuk resusitasi primer. Penilaian dini oleh ahli
bedah ortopedi yang mengenal pola fraktur pelvis memudahkan tim pengobatan
untuk membangun diagnosa dan prioritas pengobatan, dan mempercepat
pembentukan manuver penyelamatan-hidup. Sebuah pemahaman seksama
terhadap sumber perdarahan potensial dan kesadaran akan pilihan pengobatan
adalah penting bagi semua dokter yang terlibat.
Pasien dengan syok perdarahan dan fraktur pelvis yang tidak stabil
mungkin kehilangan darah karena fraktur tulang, pleksus vena pelvis yang robek,
cedera arteri pelvis atau sumber dari ekstrapelvik. Ada 4 pola pukulan yang
mengakibatkan fraktur pelvis yaitu kompresi antero-posterior, kompresi lateral,
tarikan lateral, dan pola kombinasi/kompleks. Kompresi anterior-posterior bisa
terjadi pada pejalan kaki yang ditabrak mobil atau motor, pukulan langsung atau
jatuh dari ketinggian lebih dari 12 kaki. Cedera dengan kompresi lateral sering
terjadi karena tabrakan motor yang mengakibatkan rotasi interna dari bagian
pelvis yang terkena. Tarikan yang kuat pada bidang vertikal pada pelvic ring
anterior maupun posterior akan merobek ligamentum sakrospinosum dan

sakrotuberosum dan mengakibatkan instabilitas pelvis. (Advanced Trauma Life


Support, 2012)
Respon tubuh secara umum terdiri dari 3 fase, fase syok, fase katabolik, dan
fase restoratif. Perubahan yang terjadi pada fase syok sama dengan yang terjadi
pada syok hemoragik, hanya pada luka bakar syok terjadi oleh karena kehilangan
plasma. Perubahan hemodinamik ini ditandai dengan adanya takikardi, hipotensi,
penurunan cardiac out put dan vasokonstriksi perifer. Penurunan cardiac out put
terjadi pada taha awal setelah trauma termis sebagai akibat dari hipovolemi.
Perubahan awal pada fungsi ginjal terjadi karena hipovolemik, vasokonstriksi
pembuluh darah ginjal dan aktivitas adrenergik. Manifestasi klinis berupa oliguri,
penurunan glomerulofiltrasi rate, retensi Na, ekskresi K.Selama fase katabolik,
akan terjadi kekurangan energi yang besar, keadaan ini berhubungan dengan
meningkatnya evaporasi air dan kehilangan panas melalui luka bakar. Walaupun
pada penelitian menunjukkan peningkatan evaporasi air merupakan faktor penting
dalam peningkatan kebutuhan energi. Faktor-faktor yang mempengaruhi lama dan
defisit energi adalah luas dan dalamnya luka bakar, berat-ringannya infeksi,
regimen nutrisi, dan lamanya fase luka terbuka.

2.4.
Hemathothorax
Trauma toraks merupakan penyebab mortalitas yang bermakna. Sebagian
besar pasien trauma toraks meninggal saat datang di rumah sakit. Kurang dari
10% kasus trauma tumpul toraks dan sekitar 15-30% trauma tembus toraks
memerlukan tindakan torakotomi.
Hipoksia, hiperkarbia dan asidosis seringkali terjadi akibat trauma toraks.
Hipoksia jaringan terjadi akibat kegagalan distribusi oksigen menuju jaringan
akibat hipovolemia (perdarahan), ketidakseimbangan ventilasi perfusi pulmonal
(misalnya kontusio, hematoma dan kolaps alveolar) dan perubahan pada tekanan
intratorakal (misalnya tension pneumotoraks dan pneumotoraks terbuka).
Hiperkarbia seringkali terjadi akibat kegagalan ventilasi yang disebabkan oleh
perubahan pada tekanan intratorakal dan penurunan derajat kesadaran. Asidosis
metabolik juga dapat terjadi akibat hipoperfusi jaringan.

Cedera pada dinding dada, pembuluh darah besar, ataupu paru dapat
menyebabkan hemato thorax. secara definisi hematothorax adalah akumulasi
darah secara akut dengan jmlah 100-1500cc atau sepertiga dari volume darah
pasien dalam rongga thorax. (Stone and Humphries, 2008)
Pasien dengan cedera pada pembuluh darah besar, 50 % akan meninggal
dengan segera, hidup dalam waktu 5-10 menit, dan 25% hidup di atas 30 menit
atau lebih lama. Insufisiensi pada pernafasan bergantung dengan jumlah darah
yang hilang. Pada hematothoraks masif dapat terjadi kolap pada paru-paru
sehingga menyebabkan right to left shunt. Hilangnya darah juga menyebabkan
perubahan pada sirkulatori. (Stone and Humphries, 2008)
Penyebab utama hemotoraks (<1500 ml) ialah laserasi paru atau laserasi
pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria interna akibat adanya trauma
tumpul atau trauma tembus.
Gejala yang ditemui pada paseien dengan hematothorax adalah takipnea,
dan hipoksia. Perkusi beda pada thorax ,hipotensi dan kolapsnya vena pada leher
bisa ditemui pada kehilangan darah yang masif. Pulse pressure yang menyempil
juga dapat ditemui. (Stone and Humphries, 2008)
Diagnosis ditegakan dengan foto thorax. hematotorax yang kecil (<350cc)
tampak seperti efusi pada foto supine. Efusi sedang (350-1500cc) meningkatkan
gambaran radioopak pada sisi yang terkena. Efusi yang besar (<1500cc) akan
memeberikan gambaran ground glass.Penatalaksanaan dari hematotoraks adalah
dengan melakukan torakostomi dan autotransfusi jika hematototoraks masif.
(Stone and Humphries, 2008)
2.5.

Primary Survey

Hal pertama yang harus dilakukan apabila pasien yang dicurigai mengalami
trauma abdomen adalah penatalaksanaan sesuai dengan ABCDE dilanjutkan
dengan penilaian trauma. Penilaian patensi jalan nafas harus dilakukan pada
pasien dengan trauma. Penilaian ini harus dilakukan bersamaan dengan
pemasangan cervical spine untuk melindungi leher dari cedera yang mungkin
terjadi. Jaw thrust tanpa head tilt dapan dilakukan pada pasien dengan trauma,

10

apabila ada kecurigaan adanya trauma cervical. Pemberian oksigen dilakukuan


dengan pemberian flow rendah dan dapat dilakukan intubasi bila perlu. (Stone and
Humphries, 2008)
Penilaian pernafasan dilakukan dengan inspeksi gerakan dada apakah ada
gerakan dada yang tidak normal, ada luka di sekitar dada, maupun adanya flail
chest. Palpasi dada dapat dilakukan untuk mengetahui adanya pneumothoraks dan
fraktur costae yang ditandai dengan adanya krepitasi. Penilaian selanjutnya
dilakukan dengan melakukan auskultasi dari suara nafas. Hal yang perlu
diperhatikan dalam penilaian suara nafas adalah melemahnya suara pernafasan
atau hilangnya suara pernafasan yang dapat dicurigai sebagai pneumothorax.
apabila terdapat pneumothorax dapat dilakukan dekompresi dengan jarum
maupun thoracostomy. Pemasangan pulse oximetry dan capnography dapat
berguna untuk memantau saturasi oksigen. (Stone and Humphries, 2008)
Sirkulai dinilai dengan pemeriksaan nadi , capillary refill time dan tekanan
darah. Pemasangan akses intravena harus dilakukan dan minimal menggunakan
kateter berukuran besar (> 16 -gauge) pada kateter periferal. Apabila pemasangan
akses intravena perifer tidak dapat dilakukan , pemasangan akses intraosesous
maupun pemasangan dari akses vena sentral dapat dilakukan. setelah jalur
terpasang resuitasi cairan dapat langsung dilakukan. dapat dilakukan FAST untuk
mengetahui seberapa besar perdarahan dan untuk mengetahui apakah ada indikasi
untuk melkukan laparatomy emergency. (Stone and Humphries, 2008)
Disabilitas dinilai dengan pemeriksaan neurologis terutama untuk status
kesadaran. pemeriksaan ukuran pupil dan penilaian Glasgow Coma Scale harus
dilakukan. Pemeriksaan terhadap kelemahan pada anggota gerak harus dilakukan.
Penilaian disabilitas harus dilakukan sebelum adanya pemberian obat-obatan
seperti sedativa maupun pelumpuh otot. (Stone and Humphries, 2008)
Sebelum memulai secondary survey harus dilakukan Exposure untuk
melihat adanya cedera di tempat lain. Exposure dilakukan dengan cara melepas
seluruh pakaian pasien sambil mencegah terjadinya hipotermia. Penilaian
dilakukan dengan melakukan log roll terlebih dahulu kemudian mengamti lipatan
kulit dan tanda-tanda trauma seperti adanya abrasi pada kulit, lebam , maupun

11

luka yang bersifat penetratif. Penilaian suara bising usus , adanya distensi
abdomen, maupun muscle guarding harus dilakukan untuk mengetahui adanya
trauma abdomen. (Stone and Humphries, 2008)
2.6.
Primary Survey
Hal pertama yang harus dilakukan apabila pasien yang dicurigai mengalami
trauma abdomen adalah penatalaksanaan sesuai dengan ABCDE dilanjutkan
dengan penilaian trauma. Penilaian patensi jalan nafas harus dilakukan pada
pasien dengan trauma. Penilaian ini harus dilakukan bersamaan dengan
pemasangan cervical spine untuk melindungi leher dari cedera yang mungkin
terjadi. Jaw thrust tanpa head tilt dapan dilakukan pada pasien dengan trauma,
apabila ada kecurigaan adanya trauma cervical. Pemberian oksigen dilakukuan
dengan pemberian flow rendah dan dapat dilakukan intubasi bila perlu. (Stone and
Humphries, 2008)
Penilaian pernafasan dilakukan dengan inspeksi gerakan dada apakah ada
gerakan dada yang tidak normal, ada luka di sekitar dada, maupun adanya flail
chest. Palpasi dada dapat dilakukan untuk mengetahui adanya pneumothoraks dan
fraktur costae yang ditandai dengan adanya krepitasi. Penilaian selanjutnya
dilakukan dengan melakukan auskultasi dari suara nafas. Hal yang perlu
diperhatikan dalam penilaian suara nafas adalah melemahnya suara pernafasan
atau hilangnya suara pernafasan yang dapat dicurigai sebagai pneumothorax.
apabila terdapat pneumothorax dapat dilakukan dekompresi dengan jarum
maupun thoracostomy. Pemasangan pulse oximetry dan capnography dapat
berguna untuk memantau saturasi oksigen. (Stone and Humphries, 2008)
Sirkulai dinilai dengan pemeriksaan nadi , capillary refill time dan tekanan
darah. Pemasangan akses intravena harus dilakukan dan minimal menggunakan
kateter berukuran besar (> 16 -gauge) pada kateter periferal. Apabila pemasangan
akses intravena perifer tidak dapat dilakukan , pemasangan akses intraosesous
maupun pemasangan dari akses vena sentral dapat dilakukan. setelah jalur
terpasang resuitasi cairan dapat langsung dilakukan. dapat dilakukan FAST untuk

12

mengetahui seberapa besar perdarahan dan untuk mengetahui apakah ada indikasi
untuk melkukan laparatomy emergency. (Stone and Humphries, 2008)
Disabilitas dinilai dengan pemeriksaan neurologis terutama untuk status
kesadaran. pemeriksaan ukuran pupil dan penilaian Glasgow Coma Scale harus
dilakukan. Pemeriksaan terhadap kelemahan pada anggota gerak harus dilakukan.
Penilaian disabilitas harus dilakukan sebelum adanya pemberian obat-obatan
seperti sedativa maupun pelumpuh otot. (Stone and Humphries, 2008)
Sebelum memulai secondary survey harus dilakukan Exposure untuk
melihat adanya cedera di tempat lain. Exposure dilakukan dengan cara melepas
seluruh pakaian pasien sambil mencegah terjadinya hipotermia. Penilaian
dilakukan dengan melakukan log roll terlebih dahulu kemudian mengamti lipatan
kulit dan tanda-tanda trauma seperti adanya abrasi pada kulit, lebam , maupun
luka yang bersifat penetratif. Penilaian suara bising usus , adanya distensi
abdomen, maupun muscle guarding harus dilakukan untuk mengetahui adanya
trauma abdomen. (Stone and Humphries, 2008)
2.7.
Secondary Survey
Penilainan trauma abdomen dilakukan dengan memperhatikan bagian
anterior maupun posterior dari abdomen. Daerah pinggang, skrotum, dan area
perianal harus diperhatikan dengan seksama. Adanya darah pada meatus
urethra,memar, bengkak dan laserasi pada daerah perineum, vagina maupun,
rektum merupakan tanda adanya fraktur pelvis. (Advanced Trauma Life Support,
2012)
Auskultasi kadang sulit dilakukan di instalasi gawat darurat karena suara
yang berisik di instalasi gawat darurat. Tujuan dilakukan auskultasi adalah untuk
memastikan ada atau tidaknya suara bising usus. Darah dalam rongga peritoneum
atau di dalam rongga gastrointestinal dapat menimbulkan ileus sehinga
menyebabkan hilangnya suara bising usus. (Advanced Trauma Life Support,
2012)
Perkusi dapat menyebabkan pergerakan peritoium yang mengakibatkan iritasi
peritoneal. Apabila iritasi peritoneal didapati , perkusi sebaiknya tidak dilakukan

13

karena akan menambah nyeri yang dialami oleh pasien.gerakan volunteer pada
abdomen

mengakibatkan

pemeriksaan

fisik

tidak

valid.

Palpasi

dapat

membedakan kedalaman terderness pada abdomen dan menentukan uterus dengan


kehamilan. Palpasi dengan hasil prostat letak tinggi merupakan tanda yang
signifikan dari adanya fraktur pelvis. (Advanced Trauma Life Support, 2012).
Tanda- tanda yang menunujukkan adanya fraktur pelvis antara lain ruptur
uretra, scrotal hematoma, darah dari meatus urethra, perbedaan panjang anggota
gerka bawah dan deformitas rotational. Pemeriksaan stabilitas pelvis dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan yang lebih hebat. (Advanced Trauma Life
Support, 2012).
Pelvis yang tidak stabil akan terangkan ke cephalad akibat tarikan otot dan
pengaruh gravitasi

sehingga terrotasi keluar. Pelvis yang tidak stabil dapat

kembalikan keposisi semula secara manual dengan menekan crista iliaca setentang
spina ilica anterior superior. (Advanced Trauma Life Support, 2012)
Kerusakan pada ligament dapat menyebabkan pelvis bergerak ke arah kaudal.
Gerakan transisional dapat dirakasan saat melakukan palpasi ke spina iliaca
posterior dan tuberkel saat menekan dan menarik hemipelvis yang tidak stabil.
Abnormalitas neurologi yang disertai cedera pada daerah perineum dan rectum
menunujukkan adanya instabilitas dari cincin pelvis. (Advanced Trauma Life
Support, 2012)
Adanya perdarahan pada meatus urethra menunujukkan adanya cedera
urethra. Adanya hematoma dan ekimosis pada perineum menunjukan adanya
fraktur pelvis. Pada pemeriksaan colok dubur, Posisi prostat yang tinggi
menunjukkan adanya kerusakan pada uretra. Pemeriksaan colok dubur juga dapat
membantu menentukan adanya fraktur pelvis. (Advanced Trauma Life Support,
2012)
Laserasi pada vagina dapat terjadi apabila ada fragmen dari tulang yang
menembus vagina. Oleh sebab itu jika ada kecurigaan terhadap laserasi vagina,

14

Seperti pada laserasi perineal yang kompleks dan fraktur pelvis maka pemeriksaan
vagina harus dilakukan. (Advanced Trauma Life Support, 2012)

2.8.
Kelas Perdarahan
Perdarahan adalah kehilangan volume darah pada sirkulasi

secara akut.

Perdarahan dibagi menjadi empat kelas seuai dengan kehilangan darah yang
terjadi:

Perdarahan kelas I : merupakan kondisi perdarahan seperti yang dialami

oleh orang yang mendonorkan darah sebanyak satu unit.


Perdarahan kelas II : merupakan perdarahan yang tidak memiliki

komplikasi dan dapat diresusitasi dengan kristaloid.


Perdarahan kelas III: merupakan perdarahan yang membutuhkan resusitasi

minimal kritaloid dan kadang transfusi darah.


Perdarahan kelas IV: perdarahan yang dianggap sebagai kejadian
preterminal. (Advanced Trauma Life Support, 2012)
Tabel 2.2. Perkiraan kehilangan darah berdasarkan gejala klinis

Kehilangan
darah
Persentase
kehilangan darah
Nadi
Tekanan darah
sistolik
Tekanan nadi
Laju pernafasan
Jumlah
urin(cc/jam)
Status mental
Penggantian
cairan

KELAS I
KELAS II
KELAS III
KELAS IV
>750 cc
750-1500 cc
1500-2000 cc
>2000 cc
>15%

15%-30%

<100 kali/
menit
normal

100-120 kali /
menit
normal

Normal atau
meningkat
14-20
>30

menurun

menurun

Menurun

20-30
20-30

30-40
5-15

Sedikit gelisah

gelisah

bingung

kristaloid

kristaloid

Darah dan
kristaloid

>35
Dapat
diabaikan
Bingung,
letargis
Darah dan
kristaloid

Faktor-Faktor yang mengakibatkan syok hemoragik:


Usia pasien

30%-40%

>40%

120-140 kali/ >140 kali/menit


menit
menurun
Menurun

15

Keparahan jejas dan lokasi jejas


Waktu jeda antara cedera dan dan awal penatalaksanaan
Terapi cairan prehospital
Obat-obatan yang digunakan untuk penyakit kronis

2.9.
Resusitasi Cairan
Pemberian bolus cairan inisial pada pasien dewasa diberikan dengan jumlah 2
liter cairan kristaloid. Pemberian cairan pada anak adalah sekitar 20ml/ kgBB.
Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan triad koagulopati, asidosis
dan hipotermia. (Graf Jr, 2015)
Pemasangan akses intravena perifer minimal 16-gauge . Resusitasi cairan
dilakukan dengan perbandingan 3:1 untuk cairan kristaloid. Pada pasien yang
mengalami shock pemberian kristaloid minimal 2L diberikan pada pasien dalam
jangka waktu 2 menit. Apabila tekanan darah yang adekuat telah tercapai kritaloid
dapat terus diberikan sambil menunggu darah yang tersedia. Jika dalam keadaan
mendesak dapat diberikan golongan darah O negatif tanpa cross match. (Graf Jr,
2015)
Apabila tidak ada respon terhadap pemberian darah dan resusitasi kristaloid,
hal ini menandakan bahwa dibutuhkan intervensi segera untuk menanggulangai
perdarahan yang terjadi. Pasien dengan perdarahan kelas III dan kelas IV
membutuhkan pemberian PRC yang segera untuk resusitasi. (Advanced Trauma
Life Support, 2012)
Transfusi darah dapat dilakukan dengan darah yang dicross match, darah dengan
golongan spesifik maupun , darah golongan O negatif. Cross macth membutuhkan
waktu sekitar satu jam sebelum darah tersedia. Darah dengan golongan spesifik
membutuhkann waktu 10 menit untuk dapat digunakan. Apabila darah dengan
golongan spesifik tidak tersedia, maka golongan darah O dengan rhesus negative
harus dipertimbangkan untuk digunakan dalam resusitasi. (Advanced Trauma Life
Support, 2012)
Cross match merupakan pilihan terbaik untuk menaggulagi terjadinya
aglutinasi pada resepien dengan golongan dara ABO dan rhesus. Crosss match

16

bertujuan untuk memastikan keamanan dengan mendeteksi antibody lain dala


darah, dan mendeteksi antibody lain dalam titer rendah yang tidak mudah
teraglutinasi. (Butterworth et al., 2013)
Hipotermia pada saat resusitasi dapat dicegah dengan menghangatkan
cairan resusitasi. Pada pasien dengan resusitasi kristaloid dengan jumlah besar
dilakukan penghangatan cairan hingga 39o C sebelum dilakukan resusitasi. Darah
dihangatkan dengan penghangat cairan infuse. (Advanced Trauma Life Support,
2012)
Selain hipotermia dapat terjadireaksi transfusi demam tanpa hemolisis, reaksi
alergi, bahkan hipotensi. Reaksi anafilaksis juga dapat terjadi. Dalam kasus
tertentu dapat terjadi Transfusion-related acute lung injury (TRALI) dengan
manifestasi sesak nafas, hipoksemia, dan rales serta tanda-tanda edema paru dan
demam.
Transfusi masif adalah transfuse yang melebihi 10 kantong pRBC dalam
24 jam setelah masuknya pasien ke rumah sakit. Pemberian komponen darah
seperti pRBC, plasma, dan platelet secara cepat dapat mengurangi pemberian
kristaloid secara masif. Tiga puluh persen pasien dengan perdarahan hebat akan
mengalami consumption koagulopati. Hal ini terjadi terutama pada pasien dengan
resusitasi kristaloid masif. (Advanced Trauma Life Support, 2012)
Respon dari sesusitasi terbagi menjadi tiga yaitu respon cepat, transien dan
minimal. Respon terhadap resusitasi menggambarkan tindakan selanjutnya yang
harus dilakukan pada pasien dengan fraktur pelvis.

Tabel 2.3. Respon terhadap resusitasi (Advanced Trauma Life Support, 2012)
Respon Cepat
Tanda-tanda vital Kembali ke normal

Respon Transien
Perbaikan

Respon minimal atau


Tidak Ada Respon
traisien Tetap tidak normal

17

Estimasi
kehilangan darah
Kebutuhan
kritaloid
Kebutuhan darah
Persiapan darah
Kebutuhan
operasi segera

dengan
perburukan
tekanan darah dan
peningkatan
denyut
jantung kembali
Minimal (10%-20%)
Sedang
dan
terus Berat (>40%)
berlangsung
(20%40%)
rendah
Rendah hingga sedang Sedang
dan
membutuhkan transfusi
rendah
Sedang hingga tinggi
secepatnya
Sesuai tipe dan cross Tipe spesifik
Persediaan
darah
match
emegency
Mungkin dibutuhkan
dibutuhkan
Sangat dibutuhkan

2.10.
Alur Penatalaksanaan Trauma Pelvis
Penanganan trauma pelvis dimuai dari anamnesis terjadinya trauma gejala klinis
yang khas dan tatalaksana sesuai dengan hasil resusitasi dan pemeriksaan
penunjang. (Advanced Trauma Life Support, 2012)
Anamnesis mekanisme
terjadinya cedera.
Kecelakaan lalu lintas
Jatuh dari ketinggian
Tertimpa reruntuhan

18

Gejala dan tanda fraktur pelvis:

Nyeri yang hebat


Lebam pada skrotum, vulva, maupun daerah retroperitoneal
Perdarahan pada meatus urethra, vagina, atau rectal.
Asimetri pada pelvis
Berkurangnya pulsasi nadi pada ekstremitas bawah.
Hilangnya atau berkurangnya sensasi pada ekstremitas bawah.
Hemodinamik yang tidak stabil.
Adanya cairan bebas pada FAST scan di daerah pelvis

Tanda dan gejala syok

Terdapat tanda dan gejala syok:


Pasang pengaman pelvis
Tatalaksana syok
Lakukan penilaian cedera lain,
pemberian analgesisk, dan
FAST.

Tidak terdapat tanda dan gejala


syok:
Lakukan penilaian adanya cedera
lain.
Pemberian analgesia
FAST

Gambar 2. Alur Tatalaksana Trauma Fraktur Pelvis (Advanced Trauma Life


Support, 2012)

2.11.
Radiografi FAST
Individu yang terlatih dapat menggunakan USG untuk mendeteksi adanya
hemoperitonium. Dengan peralatan yang khusus ditangan mereka yang
berpengalaman, ultrasound memiliki sensitifitas, spesitifitas dan ketajaman untuk
mendeteksi adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan DPL, dan CT

19

abdomen. Ultrasound memberikan cara yang cepat , noninvasive, akurat dan


murah untuk mendeteksi hemoperitoneum, dan dapat diulang kapanpun.
Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostic bedside dikamar
resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur
diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan DPL.
Faktor yang mempengaruhi penggunaannya antara lain adalah obesitas, adanya
udara subkutan ataupun bekas operasi abdomen sebelumnya. Scanning dengan
ultrasound bisa dengan cepat dilakukan untuk mendeteksi hemoperitoneum.
Dicari scan dari kantung perikard, fossa hepatorenalis, fossa splenorenalis ataupun
cavum Douglas. Sesudah scan pertama, 30 menit berikutnya idealnya dilakukan
lagi scan kedua atau scan kontrol . scan control ini gunanya adalah untuk
melihat pertambahan hemoperitoneum pada pasien dengan perdarahan yang
berangsur- angsur. ((Advanced Trauma Life Support, 2012)
2.12.

Indikasi Laparatomy

Keadaan hemodinamik pasien yang tidak stabil yang disertai dengan hasil
skrining tes yang positif pada FAST ataupun DPL membutuhkan laparotomi untuk
mengontrol perdarahan dan mengevaluasi cidera intra-abdominal. Laparotomi
rutin tidak diindikasikan pada keadaan hemodinamik pasien yang stabil dengan
luka tusuk bila tidak ada tanda- tanda dari peritonitis ataupun diffuse abdominal
tenderness. Laparotomi rutin juga tidak diindikasikan pada pasien stabil dengan
luka tembak bila luka tangensial dan tanpa tanda peritoneal. (Advanced Trauma
Life Support, 2012)
Namun walaupun begitu, pasien dengan trauma tumpul yang stabil dengan
trauma abdomen yang teridentifikasi harus secara hati- hati diobservasi sehingga
bila jatuh ke keadaan hemodinamik yang tidak stabil, mereka bisa dengan segera
menerima tindakan intervensi operasi. (Advanced Trauma Life Support, 2012)

20

21

BAB 3
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama
: SP
Jenis Kelamin
: Laki - laki
Umur
: 50 tahun
Agama
: Islam
Alamat
: Dusun Sriwing Bancar , Jawa Timur
Pendidikan
: SD
2. Anamnesis
KU: Nyeri pinggang sebelah kiri.
Telaah: hal ini dialami pasien sejak 6 jam SMRS HAM. Pasien
sebelumnya mengalami kecelakaan yaitu jatuh dari ketinggian 6 meter.
Riwayat pingsan (-), muntah (-). Kencing berdarah (+). Kemudian os dibawa
ke Rumah Sakit Grand Medistra di Lubuk Pakam dan mendapat resusitasi
cairan dan transfusi WB sebanyak 2 kantong dan PRC sebanyak 1 kantong.
Lalu tidak lama kemudian, os langsung dirujuk ke RSUP HAM dan diterima
sebagai pasien bedah.
RPT : RPO :
o Inj. Ceftriaxone 1gr/ 12 jam
o inj. Transamine 1000mg
o inj. Ketorolac 1 amp.
o inj. Ranitidine 1 amp.
o Dobutamine 3cc/ jam
o Lasik 1 amp
o inj. Dexamethasone 1 amp

Kronologis Waktu Kejadian (Time Sequence)

22

16 April 2015
Pukul 19.10 WIB
Masuk
RSUP.H.Adam
Malik pada
bagian RED
LINE IGD

16 April 2015
Pukul 22.05 WIB
Pasien
mengalami
perburukan dan
dipindahkan ke
BLUE LINE IGD

16 April 2015
Pukul 22.10 WIB
Anestesi
manajemen
Airway dan
resusitasi cairan

16 April 2015
Pukul 23.00 WIB
Pasien dipindahkan ke
Kamar Bedah Emergency

16 April 2015
Pukul 22.15 WIB
Pasien direncanakan untuk
dilakukan eksplorasi
laparatomi

16 April 2015
Pukul 23.10WIB
Pasien tiba-tiba apnoea
sehingga dilakukan RJPO
dan pemasangan ETT

17 April 2015
Pukul 02.00 WIB
Pasien dipindahkan ke ICU
Pasca Bedah

23

3. Pemeriksaan Fisik dan Penanganan di IGD tanggal 16 April 2015


pukul 22.10 WIB (Konsul Resusitasi Cairan)
Gejala
Tanda
A (Airway)
Airway unclear
Snoring (+)
Gargling (-)
Crowing (-)
B (Breathing)
RR = 28 x/i,
suara
pernapasan
:
vesikuler, suara
tambahan ()

Kesimpulan

Dijumpai
obstruksi airway
disebabkan oleh
jatuhnya pangkal
lidah dikarenakan
os tidak sadar.
Takipnea

Penanganan

Melakukan
Snoring
pembebasan
jalan menghilang
napas
dengan
pemasangan
Orofaringeal Tube
Diberikan oksigen 10 RR = 22 x / i,
L/menit via mask takipnea
mulai
rebreathing
berkurang,
breathing stabil

C (Circulation )
Hipovolemik ec . Resusitasi
cairan
CRT >2
perdarahan
dengan kristaloid 2 fl
Akral
dan koloid 3 fl
dingin/pucat/
basah
t/v lemah
TD
=
90/50 mmHg
HR = 140
x/i
D(Disability)
sens : Sopor

Dijumpai
Penurunan
Kesadaran

Hasil

Keep A-B-C clear

Tekanan
darah
meningkat
menjadi 100/60
mmHg,
akral
mulai hangat.

Pasien
menjadi
somnolen.

24

E(Exposure)

Nyeri pada
pinggang dan
perut bagian
bawah sebelah
kiri dan dijumpai
darah keluar dari
meatus uretra.

Melakukan penilaian
Rencana
dan log roll.
diagnostik dengan
FAST dan
emergency
laparatomi

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 16-4-2015 pukul 20.41


1. Hematologi
a. Hb
: 7,90 gr%
b. Eritrosit
: 3,05 x 106/ mm3
c. Leukosit
: 18.490 /mm3
d. Ht
: 24,40 %
e. PLT
: 159.000 /mm3
2. Metabolisme Karbohidrat
a. KGD Sewaktu : 135.30 mg/dL
3. Renal Function Test
a. Ureum : 40,1 mg/dL
b. Kreatinin : 1,54 mg/dL
4. Elektrolit
a. Natrium (Na) : 140 mEq/L
b. Kalium (K) : 3,2 mEq/L
c. Klorida (Cl) : 113 mEq/L
5. Hemostasis
a. PT : Pasien (23,5) Kontrol (13.50)
b. INR : 1,79
c. APTT : Pasien (49) Kontrol (33.0)
d. TT : Pasien (22,5) Kontrol (17,5)
6. Fungsi Hati
a. AST/SGOT : 208 u/L
b. Amilase : 1412 u/L
c. Lipase : 74 u/L
7. Analisa gas darah
a. PH : 7,4
b. pCO2 : 28 mmHg
c. pO2 : 171 mmHg
d. HCO3 : 17,3 mmol/L
e. Total CO2 : 18,2 mmol/L
f. BE : - 6,8 mmol/L
g. SpO2 : 100%

25

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 16-4-2015 pukul 22.24


1. Hematologi
a. Hb
b. Eritrosit
c. Leukosit
d. Ht
e. PLT

: 4,7 gr%
: 1,80 x 106/ mm3
: 14.620 /mm3
: 14,9 %
: 28.000 /mm3

4. Pendampingan Kamar Bedah Emergency tanggal 16 April 2015 pukul


23.00 WIB
Gejala
Tanda
A (Airway)
Airway clear
Snoring (-)
Gargling (-)
Crowing (-)

Kesimpulan

Penanganan

Hasil

Tidak dijumpai Dilakukan observasi Tidak dijumpai


obstruksi airway
selama pasien berada masalah airway
di
IGD
dan selama observasi
dipertahankan agar
jalan napas tetap
bebas.

B (Breathing)
Depresi
RR = 10 X/i, pernafasan
suara
pernapasan
:
vesikuler, suara
tambahan ()
C (Circulation )
Cardiac arrest ec
CRT >2
syok hipovolemik
Akral
dingin/pucat/
basah
t/v lemah
TD
=
tidak terukur
HR = 40
x/i

Dilakukan
RR = 14 x / i,
pemasangan ETT no,
7,5.

Dilakukan RJPO dan HR=140 X/i


pemberian
Sulfas
Atropin.
Transfusi
WB
golongan O+ dengan
volume 350cc .
Transfusi
PRC
dengan volume 175cc
golongan darah O+

26

D(Disability)
sens : Sopor

Dijumpai
Penurunan
Kesadaran
E(Exposure)
Trauma abdomen
Distensi abdomen tumpul
fraktur
dan
nyeri pelvic.
pinggang kiri

Keep A-B-C clear

Pasien somnolen

Dilakukan FAST dan Dijumpai


kemudian
perdarahan
Laparostomi
intraabdominal.
eksplorasi

PS ASA

: 4E

Metode Anastesi

:GA ETT

Premedikasi

:Fentanyl 100mg

induksi

:Ketamin 50 mg

Ukuran ETT

:no 7

Lama pembiusan

:1 jam 40 menit lama pembedahan 1 jam 25 menit

Instruksi medikasi pasca bedah:

midazolam 10mg /50 ccNaCl 4 cc/jam


mual muntah : inj. ranitidin 50 mg/ 8 jam
inj. ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
inj. vitamin C 1 gr/ 24 jam inj. vitamin E 1x 200IU
IVFD RL 20 gtt/i

Laporan Laparatomy Emergency 16 April 2015 pukul 23.50 -01.15

Darah yang keluar sejumlah 500cc.


Tidak didapati perdarahan aktif dari iliaca kanan dan kiri hepar , spleen, di

dapati tidak ada perdarahan aktif.


Solid organ terdapat dalam batas normal
Explorasi pada zona II dan III menunjukkan bahwa didapati hematoma.
Dilakukan pemasangan drain.
Jumlah perdarahan total 700cc
Medikasi pasca bedah:
o IVFD RL 20 gtt/i

27

o
o
o
o
o

Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam


Inj Ranitidin 50 mg/12 jam
Ketorolac 30mg/ 8 jam
Cek HB serial
puasa

Laporan Pemasangan CVC 17 April 2015 pukul 01.00-01.20


Dilakukan pemasangan CVC atas indikasi resusitasi cairan dengan komplikasi
berupa:pneumothorax, henti nafas, henti jantung.

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 17-4-2015 pukul 02.58


1. Hematologi
a. Hb
: 6,7 gr%
b. Eritrosit
: 2,27 x 106/ mm3
c. Leukosit
: 109.230 /mm3
d. Ht
: 20,4 %
e. PLT
: 38.000 /mm3
2. Metabolisme Karbohidrat
a. KGD Sewaktu : 182,40 mg/dL
3. Renal Function Test
a. Ureum : 45,8 mg/dL
b. Kreatinin : 1,97 mg/dL
4. Elektrolit
a. Natrium (Na) : 143 mEq/L
b. Kalium (K) : 4,1 mEq/L
c. Klorida (Cl) : 117 mEq/L
5. Hemostasis
a. PT : Pasien (35,5) Kontrol (13.50)
b. INR : 2,76
c. APTT : Pasien (72,8) Kontrol (33.0)
d. TT : Pasien (28,2) Kontrol (17,5)
e. Fibrinogen : 51 mg/dL
f. Ddimer : 1100 ng/dL
6. Analisa gas darah
a. PH : 7,134
b. pCO2 : 24,7 mmHg

28

c.
d.
e.
f.
g.

pO2 : 191 mmHg


HCO3 : 8,1 mmol/L
Total CO2 : 8,9 mmol/L
BE : - 19,2 mmol/L
SpO2 : 99%

4. Perawatan di ICU Pascabedah

Tanggal
17/04/201

B1 (breathing)
Airway
:

clear

terpasang ETT no. 7,5


CUFF

(+),

modus

SIMV, TV: 380, RR =


14 x/i, PEEP : 5, FIO 2

60%
B2 (Blood)
Akral : hangat, merah,
kering, TD : 90/50

Transfusi PRC 1
bag (200ml)

mmHg, HR: 100 x/i, Transfusi FFP 1


CRT

<2,

t/v bag (200ml)

lemah/kurang

B3 (Brain)
Sensorium

DPO,

Pupil : isokor, ka/ki :


4mm/4mm,

Refleks

cahaya : -/-, kejang(-)


B4 (Bladder)
UOP : (+) 30 cc/jam,
Kateter terpasang

29

B5 (Bowel)
Abdomen:
kaku/distensi,

LO

tertutup verban, drain


terpasang, kesan aktif.
Peristaltik (-), LP : 85
cm

B6 (Bone)
Oedem : (-), Fraktur
(+)

Laporan Pemasangan Chest Tube dan WSD 17 April 2015 pukul 16.30

Pemasangan Chest tube dan WSD dilakukan atas indikasi Hematothorax

dengan anestesi lokal menggunakan lidocain


Dilakukan insisi transversal pada sela iga V di anterior linea mid axillaris
Chest tube yang digunakan adalah no chest tube 32 dan didapati bubble

hemoragic sebanyak 800cc.


Chest tube difiksasi dengan silk no 5 kemudian di tutup dengan kain kasa.

BAB 4
MASALAH DAN PEMBAHASAN

30

No
.
1.

Masalah & Pembahasan

Pasien

Airway

Airway

Obstrusi jalan nafas dapat terjadi pada

Unclear yang ditandai dengan

pasien dengan penurunan kesadaran snoring.


yaitu snoring, gargling dan crowing. S/G/C +/-/-.
Snoring terjadi karena jatuhnya pangkal
lidah

dikarenakan

Dilakukan pembebasan jalan

penurunan napas

kesadaran.

dengan

menggunakan

Orofaringeal Tube dan kemudian

Jika terdapat tanda-tanda obstruksi dilanjutkan dengan pemasangan


jalan nafas, maka dapat dilakukan ETT saat di KBE .
pembebasan jalan napas. Pembebasan
jalan napas dapat dilakukan dengan 2
cara,

yaitu

dengan

alat

(ETT,

Orofaringeal Tube) dan tanpa alat


( triple airway maneuver).ETT dengan
teknik intubasi dapat menyebabkan
komplikasi seperti edema laring, maka
2.

jika tidak perlu jangan diintubasi.


Breathing
Takipnea pada pasien dengan keadaan

Breathing
Pasien mengalami takipnoea.

hemodinamik tidak stabil bisa terjadi Tidak dijumpai penggunaan otot


karena kurangnya perfusi ke jaringan. nafas
Gangguan

perfusi

ini

tambahan,

pernafasan

disebabkan cuping hidung, sianosis pada bibir

karena kurangnya sirkulasi sebagai dan ujung jari. RR = 28 x/i, suara


akibat dari perdarahan dan ditambah pernapasan : vesikuler, suara
dengan ventilasi yang kurang akibat tambahan ()
dari sumbatan pada jalan napas.

Pasien diberikan O2 via

Terapi yang dapat dilakukan adalah facemask nonrebreathing 6-8 l/i


3.

memberikan oksigen.
Circulation

Pada pasien yang mengalami

31

Syok hemorargik akut menyebabkan shock

pemberian

kristaloid

penurunan Cardiac output dan pulse minimal 2L diberikan pada pasien


pressure. Hal ini menyebabkan reflex dalam jangka waktu 2 menit.
neural

yang

simpatis

meningkatkan

sehingga

peningkatan

efek Pemberian cairan yang berlebihan

menyebabkan dapat

denyut

menyebabkan

jantung, koagulopati,

asidosis

vasokonstriksi pembuluh darah dan hipotermia.

Apabila

triad
dan
tekanan

berkurangnya perfusi ke organ nonvital. darah yang adekuat telah tercapai


Resusitasi cairan yang adekuat ditandai kritaloid dapat terus diberikan
dengan

normal

(1ml/kgbb/jam

urin

output sambil menunggu darah yang

pada

<2thn, tersedia.

Jika

0,5ml/kgbb/jam pada > 2 thn), normal mendesak

dalam keadaan

dapat

diberikan

sensorium, dan vital sign yang stabil. golongan darah O negatif tanpa
Resusitasi

cairan

bertujuan

untuk cross match

mengembalikan volum plasma yang


efektif,

mencegah

iskemi

mikrovaskular, dan mempertahankan


4.

fungsi organ vital.


Exposure

Exposure

Exposure dilakukan dengan cara

Pada pasien dijumpai distensi

melepas seluruh pakaian pasien sambil abdomen,


mencegah

terjadinya

bising

log roll terlebih dahulu kemudian


mengamti lipatan kulit dan tanda-tanda
trauma seperti adanya abrasi pada kulit,
lebam , maupun luka yang bersifat
penetrative. Penilaian suara bising usus,
distensi

yang

hipotermia. menghilang dan keluarnya darah

Penilaian dilakukan dengan melakukan dari meatus uretra.

adanya

usus

abdomen,

maupun

muscle guarding harus dilakukan untuk


mengetahui adanya trauma abdomen

32

BAB 5
KESIMPULAN
Pasien laki-laki berusia 50 tahun mengalami trauma tumpul di
pelvis dan hematothorax akibat terjatuh dari Fly Over dengan ketinggian 6
meter. Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Grand Medistra
dengan diagnosis trauma tumpul thorachoabdominal.
Pasien diterima sebagai pasien bedah kemudian mengalami
perburukan sehingga harus diresusitasi di BLUE LINE IGD dan
mendapatkan resusitasi dengan 2 botol cairan kristaloid dan 3 botol cairan
koloid sebelum dilakukan operasi laparatomy emergency.
Pasien sempat mengalami Cardiac Arrest saat perjalanan menuju
kamar bedak kemudian dilakukan RJPO dan pemberian Sulfas atropine
dan tercapai ROSC. Kemuadian pasien mendapat transfuse WB dan PRC.

33

Hasil dari Laparatomy Emergency menunjukkan adannya perdarahan pada


zona II dan III.
Setelah selesai operasi dilakukan pemasangan CVC dan chest tube
dan WSD atas indikasi hematothorax. Pasien kemudian dirawat di ICU
pasca bedah.

DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons Committee on Trauma. 2012. Abdominal
Trauma. In: ATLS Student Course Manual. 9th. American College of Surgeons
BadanPusatStatistik, 2011. JumlahKecelakaan, KobanMati, Luka Berat,
Luka Ringan, danKerugianMateri yang DideritaTahun 1992-2011. Diunduh dari:
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php[Diakses19Desember 2013].
Butterworth, J., Mackey, D., Wasnick, J., Morgan, G., Mikhail, M. And
Morgan, G. (2013). Morgan & Mikhail's clinical anesthesiology. New York:
McGraw-Hill.
Demetriades, D, Murray, J, Charalambides, K, et al. 2003. Trauma
fatalities: time and location of hospital deaths. J Am Coll Surgeons 198: 20
Gad, MA., Saber, A., Farrag, S., Shams, ME., Ellaban, GM., 2012.
Incidence, Patterns, and Factors Predicting Mortality of Abdominal Injuries in
Trauma Patients. North American Journal of Medical Sciences, 4: 129-134.

34

Graf Jr, K. (2015). Unstable Pelvic Fractures. [online] Emedicine.medscape.com.


Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1247426-overview
[Accessed 27 Apr. 2015].
Hemmila, MR., Wahl, MR., 2008. Management of The Injured Patient. In: Current
Surgical Diagnosis and Treatment. McGraw-Hill Medical; 227-228.
Jansen, JO., Yule, SR., Loudon, MA., 2008. Investigation of Blunt
Abdominal Trauma. BMJ:336; 938-942.
Legome,

et

al.

2014.

Blunt Abdominal Trauma. Available

http://emedicine.medscape.com/article/1980980-overview#a0104[Accessed

in
24

April 2015].
Maegele, M, 2010. Acute Traumatic Coagulopathy: Incidence, Risk
Stratification, and Therapeutic Options. World Journal of Emergency Medicine,
1; 12-19.
Malinoski, D. 2013. Overview of Abdominal Trauma. Avalable at
http://www.merckmanuals.com/professional/injuries_poisoning/abdominal_traum
a/overview_of_abdominal_trauma.html [1 February 2015]
Stone, C. and Humphries, R. (2008). Current diagnosis & treatment emergency
medicine. New York: McGraw-Hill.
Udeani,

J.,

2013.

Blunt

Abdominal

Trauma.

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/1980980[Accessed 21 April 2014].


Washington State Department of Health, (2015). Trauma Clinical Guideline.
[online] Available at:
http://www.doh.wa.gov/Portals/1/Documents/Pubs/689165.pd [Accessed 27
Apr. 2015].

35

Vous aimerez peut-être aussi