Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB 1
PENDAHULUAN
kendaraan dengan pejalan kaki merupakan penyebab pada 50-75% kasus. Etiologi
lainnya adalah jatuh dan kecelakaan kerja atau rekreasi. Penyebab yang jarang
terjadi seperti trauma iatrogenik selama resusitasi cardiopulmonary, atau Heimlich
manuver (Malinosky, 2013).
Cedera pada trauma abdomen dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa
benturan, perlambatan (deselerasi), dan kompresi. Akibat cedera ini dapat berupa
memar, luka jaringan lunak, cedera muskuloskeletal, kerusakan organ dan ruptur
pada berbagai organ. Ruptur adalah robek , atau pecahnya suatu jaringan secara
paksa yang dapat terjadi akibat rudapaksa tumpul maupun tajam. (Legome, 2014)
Sebagian besar kasus (92,7%) dari cedera tumpul abdomen memiliki
tanda-tanda eksternal trauma tumpul abdomen, tetapi dalam kasus yang sangat
sedikit (7,2%) tidak menunjukkan tanda-tanda eksternal trauma tumpul abdomen ,
tetapi terdapat trauma visceral fatal. Hati adalah organ yang paling sering terlibat
dalam trauma tumpul abdomen diikuti oleh limpa, usus kecil, ginjal, lambung,
kandung empedu, kandung kemih dan pankreas. (Advanced Trauma Life Support,
2012)
1.2.
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam laporan kasus ini adalah
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan kasus ini diantaranya:
1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis kegawatdaruratan pada trauma
tumpul abdomen.
2. Untuk memahami penanganan dan perawatan terhadap kegawatdaruratan
pada trauma tumpul abdomen
1.4.
Manfaat Penulisan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Trauma Abdomen
Trauma tumpul abdomen adalah cedera atau perlukaan pada abdomen tanpa
penetrasi ke dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan,
ledakan, deselarasi (perlambatan) atau kompresi.
Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada
permukaan tubuh tetapi dapat mengakinatkan kontusi atau laserasi jaringan atau
organ di bawahnya. Benturan pada trauma tumpuil abdomen dapat mengakibatkan
cedera pada organ berupa perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan.
Kecelakaan deselarasi sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas karena setelah
tabrakan badan masih melaju dan tertahan suatu benda keras sedangkan bagian
tubuh yang relatif tidak terpancang bergerak terus dan mengakibatkan robekan
pada organ tersebut. Pada intraperitoneal, trauma tumpul abdomen paling sering
mencederai organ limpa (40-55%), hati (35-45%), dan usuS halus (5-10%).
Sedangkan pada retroperitoneal, organ paling sering terkena adalah ginjal, dan
organ paling jarang cedera adalah pankreas dan ureter. (Advanced Trauma Life
Support, 2012)
2.2. Klasifikasi Trauma Abdomen
Trauma abdomen pada garis besarnya dibagi menjadi trauma tumpul dan trauma
tajam. Keduanya mempunyai biomekanika, dan klinis yang berbeda sehingga
algoritma penanganannya berbeda. (Stone, 2011)
Trauma abdomen dapat menyebabkan laserasi organ tubuh sehingga memerlukan
tindakan pertolongan dan perbaikan pada organ yang mengalami kerusakan.
Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis:
1. Trauma penetrasi : Trauma Tembak, Trauma Tusuk
2. Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul : diklasifikasikan ke dalam 3
mekanisme utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman), tenaga deselerasi
dan akselerasi. Tenaga kompresi (compression or concussive forces) dapat
berupa hantaman langsung atau kompresi eksternal terhadap objek yang
terfiksasi. Misalnya hancur akibat kecelakaan, atau sabuk pengaman yang
salah (seat belt injury). Hal yang sering terjadi adalah hantaman, efeknya
dapat menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ padat
viseral. Hantaman juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen pada organ berongga dan menyebabkan ruptur.
Pengeluaran darah yang banyak dapat berlangsung di dalam kavum
abdomen tanpa atau dengan adanya tanda-tanda yang dapat diamati oleh
pemeriksa, dan akhir-akhir ini kegagalan dalam mengenali perdarahan
intraabdominal adalah penyebab utama kematian dini pasca trauma. Selain itu,
sebagian besar cedera pada kavum abdomen bersifat operatif dan perlu tindakan
segera dalam menegakan diagnosis dan mengirim pasien ke ruang operasi.
Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada
permukaan tubuh, tetapi dapat mengakibatkan cedera berupa kerusakan daerah
organ sekitar, patah tulang iga, cedera perlambatan (deselerasi), cedera kompresi,
peningkatan mendadak tekanan darah, pecahnya viskus berongga, kontusi atau
laserasi jaringan maupun organ dibawahnya.
Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan adanya
deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai kelenturan (non
complient organ) seperti hati, lien, pankreas, dan ginjal. (Legome, 2014)
Secara garis besar trauma tumpul abdomen dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Trauma kompresi
Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak,
sedangkan bagian belakang dan bagian dalam tetap bergerak ke depan. Organorgan terjepit dari belakang oleh bagian belakang thorakoabdominal dan
kolumna vertebralis dan di depan oleh struktur yang terjepit. Trauma abdomen
menggambarkan variasi khusus mekanisme trauma dan menekankan prinsip
yang menyatakan bahwa keadaan jaringan pada saat pemindahan energi
mempengaruhi kerusakan jaringan. Pada tabrakan, maka penderita akan secara
refleks menarik napas dan menahannya dengan menutup glotis. Kompresi
abdominal mengkibatkan peningkatan tekanan intrabdominal dan dapat
Lumbal
Fraktur pelvis
2.3.
Trauma Pelvis
2.4.
Hemathothorax
Trauma toraks merupakan penyebab mortalitas yang bermakna. Sebagian
besar pasien trauma toraks meninggal saat datang di rumah sakit. Kurang dari
10% kasus trauma tumpul toraks dan sekitar 15-30% trauma tembus toraks
memerlukan tindakan torakotomi.
Hipoksia, hiperkarbia dan asidosis seringkali terjadi akibat trauma toraks.
Hipoksia jaringan terjadi akibat kegagalan distribusi oksigen menuju jaringan
akibat hipovolemia (perdarahan), ketidakseimbangan ventilasi perfusi pulmonal
(misalnya kontusio, hematoma dan kolaps alveolar) dan perubahan pada tekanan
intratorakal (misalnya tension pneumotoraks dan pneumotoraks terbuka).
Hiperkarbia seringkali terjadi akibat kegagalan ventilasi yang disebabkan oleh
perubahan pada tekanan intratorakal dan penurunan derajat kesadaran. Asidosis
metabolik juga dapat terjadi akibat hipoperfusi jaringan.
Cedera pada dinding dada, pembuluh darah besar, ataupu paru dapat
menyebabkan hemato thorax. secara definisi hematothorax adalah akumulasi
darah secara akut dengan jmlah 100-1500cc atau sepertiga dari volume darah
pasien dalam rongga thorax. (Stone and Humphries, 2008)
Pasien dengan cedera pada pembuluh darah besar, 50 % akan meninggal
dengan segera, hidup dalam waktu 5-10 menit, dan 25% hidup di atas 30 menit
atau lebih lama. Insufisiensi pada pernafasan bergantung dengan jumlah darah
yang hilang. Pada hematothoraks masif dapat terjadi kolap pada paru-paru
sehingga menyebabkan right to left shunt. Hilangnya darah juga menyebabkan
perubahan pada sirkulatori. (Stone and Humphries, 2008)
Penyebab utama hemotoraks (<1500 ml) ialah laserasi paru atau laserasi
pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria interna akibat adanya trauma
tumpul atau trauma tembus.
Gejala yang ditemui pada paseien dengan hematothorax adalah takipnea,
dan hipoksia. Perkusi beda pada thorax ,hipotensi dan kolapsnya vena pada leher
bisa ditemui pada kehilangan darah yang masif. Pulse pressure yang menyempil
juga dapat ditemui. (Stone and Humphries, 2008)
Diagnosis ditegakan dengan foto thorax. hematotorax yang kecil (<350cc)
tampak seperti efusi pada foto supine. Efusi sedang (350-1500cc) meningkatkan
gambaran radioopak pada sisi yang terkena. Efusi yang besar (<1500cc) akan
memeberikan gambaran ground glass.Penatalaksanaan dari hematotoraks adalah
dengan melakukan torakostomi dan autotransfusi jika hematototoraks masif.
(Stone and Humphries, 2008)
2.5.
Primary Survey
Hal pertama yang harus dilakukan apabila pasien yang dicurigai mengalami
trauma abdomen adalah penatalaksanaan sesuai dengan ABCDE dilanjutkan
dengan penilaian trauma. Penilaian patensi jalan nafas harus dilakukan pada
pasien dengan trauma. Penilaian ini harus dilakukan bersamaan dengan
pemasangan cervical spine untuk melindungi leher dari cedera yang mungkin
terjadi. Jaw thrust tanpa head tilt dapan dilakukan pada pasien dengan trauma,
10
11
luka yang bersifat penetratif. Penilaian suara bising usus , adanya distensi
abdomen, maupun muscle guarding harus dilakukan untuk mengetahui adanya
trauma abdomen. (Stone and Humphries, 2008)
2.6.
Primary Survey
Hal pertama yang harus dilakukan apabila pasien yang dicurigai mengalami
trauma abdomen adalah penatalaksanaan sesuai dengan ABCDE dilanjutkan
dengan penilaian trauma. Penilaian patensi jalan nafas harus dilakukan pada
pasien dengan trauma. Penilaian ini harus dilakukan bersamaan dengan
pemasangan cervical spine untuk melindungi leher dari cedera yang mungkin
terjadi. Jaw thrust tanpa head tilt dapan dilakukan pada pasien dengan trauma,
apabila ada kecurigaan adanya trauma cervical. Pemberian oksigen dilakukuan
dengan pemberian flow rendah dan dapat dilakukan intubasi bila perlu. (Stone and
Humphries, 2008)
Penilaian pernafasan dilakukan dengan inspeksi gerakan dada apakah ada
gerakan dada yang tidak normal, ada luka di sekitar dada, maupun adanya flail
chest. Palpasi dada dapat dilakukan untuk mengetahui adanya pneumothoraks dan
fraktur costae yang ditandai dengan adanya krepitasi. Penilaian selanjutnya
dilakukan dengan melakukan auskultasi dari suara nafas. Hal yang perlu
diperhatikan dalam penilaian suara nafas adalah melemahnya suara pernafasan
atau hilangnya suara pernafasan yang dapat dicurigai sebagai pneumothorax.
apabila terdapat pneumothorax dapat dilakukan dekompresi dengan jarum
maupun thoracostomy. Pemasangan pulse oximetry dan capnography dapat
berguna untuk memantau saturasi oksigen. (Stone and Humphries, 2008)
Sirkulai dinilai dengan pemeriksaan nadi , capillary refill time dan tekanan
darah. Pemasangan akses intravena harus dilakukan dan minimal menggunakan
kateter berukuran besar (> 16 -gauge) pada kateter periferal. Apabila pemasangan
akses intravena perifer tidak dapat dilakukan , pemasangan akses intraosesous
maupun pemasangan dari akses vena sentral dapat dilakukan. setelah jalur
terpasang resuitasi cairan dapat langsung dilakukan. dapat dilakukan FAST untuk
12
mengetahui seberapa besar perdarahan dan untuk mengetahui apakah ada indikasi
untuk melkukan laparatomy emergency. (Stone and Humphries, 2008)
Disabilitas dinilai dengan pemeriksaan neurologis terutama untuk status
kesadaran. pemeriksaan ukuran pupil dan penilaian Glasgow Coma Scale harus
dilakukan. Pemeriksaan terhadap kelemahan pada anggota gerak harus dilakukan.
Penilaian disabilitas harus dilakukan sebelum adanya pemberian obat-obatan
seperti sedativa maupun pelumpuh otot. (Stone and Humphries, 2008)
Sebelum memulai secondary survey harus dilakukan Exposure untuk
melihat adanya cedera di tempat lain. Exposure dilakukan dengan cara melepas
seluruh pakaian pasien sambil mencegah terjadinya hipotermia. Penilaian
dilakukan dengan melakukan log roll terlebih dahulu kemudian mengamti lipatan
kulit dan tanda-tanda trauma seperti adanya abrasi pada kulit, lebam , maupun
luka yang bersifat penetratif. Penilaian suara bising usus , adanya distensi
abdomen, maupun muscle guarding harus dilakukan untuk mengetahui adanya
trauma abdomen. (Stone and Humphries, 2008)
2.7.
Secondary Survey
Penilainan trauma abdomen dilakukan dengan memperhatikan bagian
anterior maupun posterior dari abdomen. Daerah pinggang, skrotum, dan area
perianal harus diperhatikan dengan seksama. Adanya darah pada meatus
urethra,memar, bengkak dan laserasi pada daerah perineum, vagina maupun,
rektum merupakan tanda adanya fraktur pelvis. (Advanced Trauma Life Support,
2012)
Auskultasi kadang sulit dilakukan di instalasi gawat darurat karena suara
yang berisik di instalasi gawat darurat. Tujuan dilakukan auskultasi adalah untuk
memastikan ada atau tidaknya suara bising usus. Darah dalam rongga peritoneum
atau di dalam rongga gastrointestinal dapat menimbulkan ileus sehinga
menyebabkan hilangnya suara bising usus. (Advanced Trauma Life Support,
2012)
Perkusi dapat menyebabkan pergerakan peritoium yang mengakibatkan iritasi
peritoneal. Apabila iritasi peritoneal didapati , perkusi sebaiknya tidak dilakukan
13
karena akan menambah nyeri yang dialami oleh pasien.gerakan volunteer pada
abdomen
mengakibatkan
pemeriksaan
fisik
tidak
valid.
Palpasi
dapat
kembalikan keposisi semula secara manual dengan menekan crista iliaca setentang
spina ilica anterior superior. (Advanced Trauma Life Support, 2012)
Kerusakan pada ligament dapat menyebabkan pelvis bergerak ke arah kaudal.
Gerakan transisional dapat dirakasan saat melakukan palpasi ke spina iliaca
posterior dan tuberkel saat menekan dan menarik hemipelvis yang tidak stabil.
Abnormalitas neurologi yang disertai cedera pada daerah perineum dan rectum
menunujukkan adanya instabilitas dari cincin pelvis. (Advanced Trauma Life
Support, 2012)
Adanya perdarahan pada meatus urethra menunujukkan adanya cedera
urethra. Adanya hematoma dan ekimosis pada perineum menunjukan adanya
fraktur pelvis. Pada pemeriksaan colok dubur, Posisi prostat yang tinggi
menunjukkan adanya kerusakan pada uretra. Pemeriksaan colok dubur juga dapat
membantu menentukan adanya fraktur pelvis. (Advanced Trauma Life Support,
2012)
Laserasi pada vagina dapat terjadi apabila ada fragmen dari tulang yang
menembus vagina. Oleh sebab itu jika ada kecurigaan terhadap laserasi vagina,
14
Seperti pada laserasi perineal yang kompleks dan fraktur pelvis maka pemeriksaan
vagina harus dilakukan. (Advanced Trauma Life Support, 2012)
2.8.
Kelas Perdarahan
Perdarahan adalah kehilangan volume darah pada sirkulasi
secara akut.
Perdarahan dibagi menjadi empat kelas seuai dengan kehilangan darah yang
terjadi:
Kehilangan
darah
Persentase
kehilangan darah
Nadi
Tekanan darah
sistolik
Tekanan nadi
Laju pernafasan
Jumlah
urin(cc/jam)
Status mental
Penggantian
cairan
KELAS I
KELAS II
KELAS III
KELAS IV
>750 cc
750-1500 cc
1500-2000 cc
>2000 cc
>15%
15%-30%
<100 kali/
menit
normal
100-120 kali /
menit
normal
Normal atau
meningkat
14-20
>30
menurun
menurun
Menurun
20-30
20-30
30-40
5-15
Sedikit gelisah
gelisah
bingung
kristaloid
kristaloid
Darah dan
kristaloid
>35
Dapat
diabaikan
Bingung,
letargis
Darah dan
kristaloid
30%-40%
>40%
15
2.9.
Resusitasi Cairan
Pemberian bolus cairan inisial pada pasien dewasa diberikan dengan jumlah 2
liter cairan kristaloid. Pemberian cairan pada anak adalah sekitar 20ml/ kgBB.
Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan triad koagulopati, asidosis
dan hipotermia. (Graf Jr, 2015)
Pemasangan akses intravena perifer minimal 16-gauge . Resusitasi cairan
dilakukan dengan perbandingan 3:1 untuk cairan kristaloid. Pada pasien yang
mengalami shock pemberian kristaloid minimal 2L diberikan pada pasien dalam
jangka waktu 2 menit. Apabila tekanan darah yang adekuat telah tercapai kritaloid
dapat terus diberikan sambil menunggu darah yang tersedia. Jika dalam keadaan
mendesak dapat diberikan golongan darah O negatif tanpa cross match. (Graf Jr,
2015)
Apabila tidak ada respon terhadap pemberian darah dan resusitasi kristaloid,
hal ini menandakan bahwa dibutuhkan intervensi segera untuk menanggulangai
perdarahan yang terjadi. Pasien dengan perdarahan kelas III dan kelas IV
membutuhkan pemberian PRC yang segera untuk resusitasi. (Advanced Trauma
Life Support, 2012)
Transfusi darah dapat dilakukan dengan darah yang dicross match, darah dengan
golongan spesifik maupun , darah golongan O negatif. Cross macth membutuhkan
waktu sekitar satu jam sebelum darah tersedia. Darah dengan golongan spesifik
membutuhkann waktu 10 menit untuk dapat digunakan. Apabila darah dengan
golongan spesifik tidak tersedia, maka golongan darah O dengan rhesus negative
harus dipertimbangkan untuk digunakan dalam resusitasi. (Advanced Trauma Life
Support, 2012)
Cross match merupakan pilihan terbaik untuk menaggulagi terjadinya
aglutinasi pada resepien dengan golongan dara ABO dan rhesus. Crosss match
16
Tabel 2.3. Respon terhadap resusitasi (Advanced Trauma Life Support, 2012)
Respon Cepat
Tanda-tanda vital Kembali ke normal
Respon Transien
Perbaikan
17
Estimasi
kehilangan darah
Kebutuhan
kritaloid
Kebutuhan darah
Persiapan darah
Kebutuhan
operasi segera
dengan
perburukan
tekanan darah dan
peningkatan
denyut
jantung kembali
Minimal (10%-20%)
Sedang
dan
terus Berat (>40%)
berlangsung
(20%40%)
rendah
Rendah hingga sedang Sedang
dan
membutuhkan transfusi
rendah
Sedang hingga tinggi
secepatnya
Sesuai tipe dan cross Tipe spesifik
Persediaan
darah
match
emegency
Mungkin dibutuhkan
dibutuhkan
Sangat dibutuhkan
2.10.
Alur Penatalaksanaan Trauma Pelvis
Penanganan trauma pelvis dimuai dari anamnesis terjadinya trauma gejala klinis
yang khas dan tatalaksana sesuai dengan hasil resusitasi dan pemeriksaan
penunjang. (Advanced Trauma Life Support, 2012)
Anamnesis mekanisme
terjadinya cedera.
Kecelakaan lalu lintas
Jatuh dari ketinggian
Tertimpa reruntuhan
18
2.11.
Radiografi FAST
Individu yang terlatih dapat menggunakan USG untuk mendeteksi adanya
hemoperitonium. Dengan peralatan yang khusus ditangan mereka yang
berpengalaman, ultrasound memiliki sensitifitas, spesitifitas dan ketajaman untuk
mendeteksi adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan DPL, dan CT
19
Indikasi Laparatomy
Keadaan hemodinamik pasien yang tidak stabil yang disertai dengan hasil
skrining tes yang positif pada FAST ataupun DPL membutuhkan laparotomi untuk
mengontrol perdarahan dan mengevaluasi cidera intra-abdominal. Laparotomi
rutin tidak diindikasikan pada keadaan hemodinamik pasien yang stabil dengan
luka tusuk bila tidak ada tanda- tanda dari peritonitis ataupun diffuse abdominal
tenderness. Laparotomi rutin juga tidak diindikasikan pada pasien stabil dengan
luka tembak bila luka tangensial dan tanpa tanda peritoneal. (Advanced Trauma
Life Support, 2012)
Namun walaupun begitu, pasien dengan trauma tumpul yang stabil dengan
trauma abdomen yang teridentifikasi harus secara hati- hati diobservasi sehingga
bila jatuh ke keadaan hemodinamik yang tidak stabil, mereka bisa dengan segera
menerima tindakan intervensi operasi. (Advanced Trauma Life Support, 2012)
20
21
BAB 3
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama
: SP
Jenis Kelamin
: Laki - laki
Umur
: 50 tahun
Agama
: Islam
Alamat
: Dusun Sriwing Bancar , Jawa Timur
Pendidikan
: SD
2. Anamnesis
KU: Nyeri pinggang sebelah kiri.
Telaah: hal ini dialami pasien sejak 6 jam SMRS HAM. Pasien
sebelumnya mengalami kecelakaan yaitu jatuh dari ketinggian 6 meter.
Riwayat pingsan (-), muntah (-). Kencing berdarah (+). Kemudian os dibawa
ke Rumah Sakit Grand Medistra di Lubuk Pakam dan mendapat resusitasi
cairan dan transfusi WB sebanyak 2 kantong dan PRC sebanyak 1 kantong.
Lalu tidak lama kemudian, os langsung dirujuk ke RSUP HAM dan diterima
sebagai pasien bedah.
RPT : RPO :
o Inj. Ceftriaxone 1gr/ 12 jam
o inj. Transamine 1000mg
o inj. Ketorolac 1 amp.
o inj. Ranitidine 1 amp.
o Dobutamine 3cc/ jam
o Lasik 1 amp
o inj. Dexamethasone 1 amp
22
16 April 2015
Pukul 19.10 WIB
Masuk
RSUP.H.Adam
Malik pada
bagian RED
LINE IGD
16 April 2015
Pukul 22.05 WIB
Pasien
mengalami
perburukan dan
dipindahkan ke
BLUE LINE IGD
16 April 2015
Pukul 22.10 WIB
Anestesi
manajemen
Airway dan
resusitasi cairan
16 April 2015
Pukul 23.00 WIB
Pasien dipindahkan ke
Kamar Bedah Emergency
16 April 2015
Pukul 22.15 WIB
Pasien direncanakan untuk
dilakukan eksplorasi
laparatomi
16 April 2015
Pukul 23.10WIB
Pasien tiba-tiba apnoea
sehingga dilakukan RJPO
dan pemasangan ETT
17 April 2015
Pukul 02.00 WIB
Pasien dipindahkan ke ICU
Pasca Bedah
23
Kesimpulan
Dijumpai
obstruksi airway
disebabkan oleh
jatuhnya pangkal
lidah dikarenakan
os tidak sadar.
Takipnea
Penanganan
Melakukan
Snoring
pembebasan
jalan menghilang
napas
dengan
pemasangan
Orofaringeal Tube
Diberikan oksigen 10 RR = 22 x / i,
L/menit via mask takipnea
mulai
rebreathing
berkurang,
breathing stabil
C (Circulation )
Hipovolemik ec . Resusitasi
cairan
CRT >2
perdarahan
dengan kristaloid 2 fl
Akral
dan koloid 3 fl
dingin/pucat/
basah
t/v lemah
TD
=
90/50 mmHg
HR = 140
x/i
D(Disability)
sens : Sopor
Dijumpai
Penurunan
Kesadaran
Hasil
Tekanan
darah
meningkat
menjadi 100/60
mmHg,
akral
mulai hangat.
Pasien
menjadi
somnolen.
24
E(Exposure)
Nyeri pada
pinggang dan
perut bagian
bawah sebelah
kiri dan dijumpai
darah keluar dari
meatus uretra.
Melakukan penilaian
Rencana
dan log roll.
diagnostik dengan
FAST dan
emergency
laparatomi
25
: 4,7 gr%
: 1,80 x 106/ mm3
: 14.620 /mm3
: 14,9 %
: 28.000 /mm3
Kesimpulan
Penanganan
Hasil
B (Breathing)
Depresi
RR = 10 X/i, pernafasan
suara
pernapasan
:
vesikuler, suara
tambahan ()
C (Circulation )
Cardiac arrest ec
CRT >2
syok hipovolemik
Akral
dingin/pucat/
basah
t/v lemah
TD
=
tidak terukur
HR = 40
x/i
Dilakukan
RR = 14 x / i,
pemasangan ETT no,
7,5.
26
D(Disability)
sens : Sopor
Dijumpai
Penurunan
Kesadaran
E(Exposure)
Trauma abdomen
Distensi abdomen tumpul
fraktur
dan
nyeri pelvic.
pinggang kiri
Pasien somnolen
PS ASA
: 4E
Metode Anastesi
:GA ETT
Premedikasi
:Fentanyl 100mg
induksi
:Ketamin 50 mg
Ukuran ETT
:no 7
Lama pembiusan
27
o
o
o
o
o
28
c.
d.
e.
f.
g.
Tanggal
17/04/201
B1 (breathing)
Airway
:
clear
(+),
modus
60%
B2 (Blood)
Akral : hangat, merah,
kering, TD : 90/50
Transfusi PRC 1
bag (200ml)
<2,
lemah/kurang
B3 (Brain)
Sensorium
DPO,
Refleks
29
B5 (Bowel)
Abdomen:
kaku/distensi,
LO
B6 (Bone)
Oedem : (-), Fraktur
(+)
Laporan Pemasangan Chest Tube dan WSD 17 April 2015 pukul 16.30
BAB 4
MASALAH DAN PEMBAHASAN
30
No
.
1.
Pasien
Airway
Airway
dikarenakan
penurunan napas
kesadaran.
dengan
menggunakan
yaitu
dengan
alat
(ETT,
Breathing
Pasien mengalami takipnoea.
perfusi
ini
tambahan,
pernafasan
memberikan oksigen.
Circulation
31
pemberian
kristaloid
yang
simpatis
meningkatkan
sehingga
peningkatan
menyebabkan dapat
denyut
menyebabkan
jantung, koagulopati,
asidosis
Apabila
triad
dan
tekanan
normal
(1ml/kgbb/jam
urin
pada
<2thn, tersedia.
Jika
dalam keadaan
dapat
diberikan
sensorium, dan vital sign yang stabil. golongan darah O negatif tanpa
Resusitasi
cairan
bertujuan
mencegah
iskemi
Exposure
terjadinya
bising
yang
adanya
usus
abdomen,
maupun
32
BAB 5
KESIMPULAN
Pasien laki-laki berusia 50 tahun mengalami trauma tumpul di
pelvis dan hematothorax akibat terjatuh dari Fly Over dengan ketinggian 6
meter. Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Grand Medistra
dengan diagnosis trauma tumpul thorachoabdominal.
Pasien diterima sebagai pasien bedah kemudian mengalami
perburukan sehingga harus diresusitasi di BLUE LINE IGD dan
mendapatkan resusitasi dengan 2 botol cairan kristaloid dan 3 botol cairan
koloid sebelum dilakukan operasi laparatomy emergency.
Pasien sempat mengalami Cardiac Arrest saat perjalanan menuju
kamar bedak kemudian dilakukan RJPO dan pemberian Sulfas atropine
dan tercapai ROSC. Kemuadian pasien mendapat transfuse WB dan PRC.
33
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons Committee on Trauma. 2012. Abdominal
Trauma. In: ATLS Student Course Manual. 9th. American College of Surgeons
BadanPusatStatistik, 2011. JumlahKecelakaan, KobanMati, Luka Berat,
Luka Ringan, danKerugianMateri yang DideritaTahun 1992-2011. Diunduh dari:
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php[Diakses19Desember 2013].
Butterworth, J., Mackey, D., Wasnick, J., Morgan, G., Mikhail, M. And
Morgan, G. (2013). Morgan & Mikhail's clinical anesthesiology. New York:
McGraw-Hill.
Demetriades, D, Murray, J, Charalambides, K, et al. 2003. Trauma
fatalities: time and location of hospital deaths. J Am Coll Surgeons 198: 20
Gad, MA., Saber, A., Farrag, S., Shams, ME., Ellaban, GM., 2012.
Incidence, Patterns, and Factors Predicting Mortality of Abdominal Injuries in
Trauma Patients. North American Journal of Medical Sciences, 4: 129-134.
34
et
al.
2014.
http://emedicine.medscape.com/article/1980980-overview#a0104[Accessed
in
24
April 2015].
Maegele, M, 2010. Acute Traumatic Coagulopathy: Incidence, Risk
Stratification, and Therapeutic Options. World Journal of Emergency Medicine,
1; 12-19.
Malinoski, D. 2013. Overview of Abdominal Trauma. Avalable at
http://www.merckmanuals.com/professional/injuries_poisoning/abdominal_traum
a/overview_of_abdominal_trauma.html [1 February 2015]
Stone, C. and Humphries, R. (2008). Current diagnosis & treatment emergency
medicine. New York: McGraw-Hill.
Udeani,
J.,
2013.
Blunt
Abdominal
Trauma.
Available
from:
35