Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
mempengaruhi sintesis asam nukleat jamur, ketiga bekerja pada unsur utama dinding sel
jamur yaitu kitin, glukan, dan mannooprotein.
Kebanyakan obat antijamur sistemik bekerja secara langsung (seperti
golongan
polien) pada sterol membran plasma, dan bekerja secara tidak langsung (seperti golongan
azol). Sedangkan golongan ekinokandin secara unik bekerja pada unsur utama dinding sel
1,3 glukan.
1.
ergosterol).(Gambar 3)9
2. Sintesis asam nukleat
Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah dengan cara
menterminasi secara dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis DNA. Sebagai contoh
obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5 flusitosin (5 FC),
dimana 5 FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui sitosin permease. Di dalam sel
jamur 5 FC diubah menjadi 5 fluoro uridin trifosfat yang menyebabkan terminasi dini
rantai RNA. Trifosfat ini juga akan berubah menjadi 5 fuoro deoksiuridin monofosfat
yang akan menghambat timidilat sintetase sehingga memutus sintesis DNA.9
3. Unsur utama dinding sel jamur : glukans
Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas mannoproteins, kitin,
dan dan glukan yang menyelenggarakan berbagai fungsi, diantaranya menjaga
rigiditas dan bentuk sel, metabolisme, pertukaran ion pada membran sel. Sebagai
griseofulvin
Kedua kelompok
ini memiliki spektrum dan mekanisme aksi yang sama. Triazol dimetabolisme lebih lambat
dan efek samping yang sedikit dibandingkan imidazol, karena keuntungan itulah para peneliti
berusaha mengembangkan golongan triazol daripada imidazol. 8
Gambar 3. Mekanisme biosintesis ergosterol dan mekanisme kerja berberapa obat antijamur
terhadap biosintesis ergosterol12
1.
Ketokonazol
Ketokonazol diperkenalkan tahun 1970 merupakan antijamur golongan imidazol
pertama yang diberikan secara oral. Ketokonazol tidak lagi digunakan sebagai lini pertama
untuk pengobatan infeksi dermatofitosis atau kandidiasis.
Aktivitas spektrum
Ketokonazol mempunyai spektrum yang luas dan efektif terhadap Blastomyces
dermatitidis, Candida species, Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum, Malasezzia
furfur, Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak
efektif terhadap Aspergillus spesies dan Zygomycetes.
Farmakokinetik
Absorpsi peroral tiap individu bervariasi.Setelah pemberian peroral dosis 200,400, dan
800 mg, konsentrasi puncak plasma sekitar 4, 8, 20 g/ml. Waktu paruh tergantung dari
peningkatan dosis sekitar 7-8 jam pada dosis 800 mg. Konsentrasi zat aktif dalam urin
sangat rendah. Di dalam darah, 84% ketokonazol terikat dalam plasma protein; 15% terikat
pada eritrosit; dan 1% dalam bentuk bebas. Ketokonazol mencapai keratinosit secara efisien,
dan konsentrasi pada cairan di vagina sama dengan di plasma. Konsentrasi dalam cairan
serebrospinal (CSF) pada pasien meningitis jamur kurang dari 1% dari total konsentrasi obat
di plasma.
Pemberian bersama dengan obat yang menginduksi enzim mikrosomal hepatik seperti
rifampisin, dan isoniazid, dapat menurunkan 50% absorpsi ketokonazol. Konsentrasi
ketokonazol dapat meningkat dalam plasma apabila diberikan bersama dengan siklosporin,
midazolam, triazolam, indinavir, dan fen itoin karena obat tersebut dimetabolisme oleh enzim
sitokrom p 450 CYP3A4.8 Makanan dapat menurunkan konsentrasi ketokonazol dalam serum,
maka preparat ini lebih baik diberikan dalam kondisi perut kosong.
Dosis
Dosis ketokonazol yang diberikan pada dewasa 400 mg/hari sedangkan dosis untuk
anak-anak 3,3-6,6 mg/kgBB dosis tunggal. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan tinea
kruris selama 2-4 minggu, 5 hari untuk kandida vulvovaginitis, 2 minggu untuk kandida
esofagitis, tinea versikolor selama 5-10 hari, 6-12 bulan untuk mikosis dalam.
Efek samping
Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering dijumpai terjadi
pada 20% pasien yang mendapat dosis 400 mg/hari. Pemberian pada saat menjelang tidur atau
dalam dosis terbagi dapat mengatasi keadaan ini. Alergi dapat terjadi pada 4% pasien, dan
gatal tanpa rash terjadi sekitar 2% pada pasien yang diterapi ketokonazol.
Ketokonazol dapat menginhibisi biosintesis steroid, seperti halnya pada jamur.
Peninggian transaminase sementara dapat terjadi pada 5-10% pasien. Untuk pengobatan
jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Hepatitis drug
induced dapat terjadi pada beberapa hari pemberian terapi atau dapat terjadi berbulan-bulan
setelah pemberian terapi ketokonazol. Ketokonazol dosis tinggi (>800 mg/hari) dapat
menghambat
2. Itrakonazol
Itrakonazol diperkenalkan pada tahun 1992 merupakan sintesis derivat triazol.
Digunakan sebagai lini pertama untuk infeksi yang disebabkan Candida dan spesies
nondermatofita lainnya.5
Aktivitas spektrum
Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillosis sp.,
Blastomyces dermatidis, Candida sp., Cossidiodes immitis, Cryptococcus neoformans,
Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium
apiospermum dan Sporothrix schenckii. Itrakonazol juga efektif terhadap dematiaceous mould
dan dermatofita tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes.
Farmakokinetik
Konsentrasi itrakonazol di dalam serum dipengaruhi oleh makanan dan asam lambung.
Absorpsi itrakonazol tidak begitu sempurna pada saluran gastrointestinal (55%) tetapi
absorpsi tersebut dapat ditingkatkan jika itrakonazol dikonsumsi bersama makanan.
Pemberian oral dengan dosis tunggal 100 mg, konsentrasi puncak plasma akan mencapai 0,10,2 mg/L dalam waktu 2-4 jam.
Itrakonazol didistribusikan ke kulit melalui difusi pasif dari plasma menuju keratinosit
dimana obat melekat di keratin. Itrakonazol dapat ditemukan dalam keringat sampai 24 jam
setelah pemberian dosis awal. Eksresi terbanyak itrakonazol melalui sebum. Sejumlah kecil
itrakonazol didistribusikan kembali dari kulit dan ke plasma, selanjutnya itrakonazol
dieliminasi melalui stratum korneum. Kurang dari 0,03% dari dosis itrakonazol akan dieksresi
di urin tanpa mengalami perubahan tetapi lebih dari 18% akan dibuang melalui feces tanpa
mengalami perubahan. Itrakonazol dimetabolisme di hati oleh sistem enzim hepatik sitokrom
P-450. Kebanyakan metabolit yang tidak aktif akan dieksresi oleh empedu dan
urin.
Dosis
Itrakonazol dosis kontinyu sama efektif dengan dosis pulse. Pada onikomikosis kuku
tangan, pulse terapi diberikan selama 2 bulan, sedangkan onikomikosis kuku kaki selama 3
bulan. Itrakonazol merupakan obat kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk wanita
hamil dan menyusui, karena dieksresikan di air susu. Itrakonazol tersedia juga dalam bentuk
kapsul 100 mg. Bentuk kapsul diberikan dalam kondisi lambung penuh untuk absorpsi
maksimal, karena cyclodextrin yang terdapat dalam bentuk ini sering menimbulkan keluhan
gastrointestinal.
Tabel 1. Rejimen dosis itrakonazol5
Onikomikosis
Tinea kapitis
Dewasa
Kuku tangan : 200 mg 2xsehari 1
minggu/bulan , 2 dosis pulse
Kuku kaki : 200 mg/harix12
minggu
Atau
200 mg 2xsehari x 1minggu/bulan,
3 dosis pulse
250 mg/hari x 2-8 minggu
Anak-anak
Kuku tangan : 5 mg/kg/hari x 1
minggu/bulan, 2 dosis pulsea
Kuku kaki : 5 mg/kg/hari x 1
minggu/bulan, 3 dosis pulse
Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti mual, nyeri
abdomen dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit kepala, pruritus, dan ruam alergi.
Penelitian efek samping itrakonazol oleh Sharkey dkk., tahun 1991 terhadap 189
pasien yang mendapat dosis 50-400 mg per hari, melaporkan bahwa mual dan muntah
(10%), hipertrigliseridemia (9%) hipokalemia (6%), peningkatan serum aminotransferase
(5%), rash (2%) dan efek samping lain (39%). Ditemukannya hipokalemia pada pasien yang
menerima dosis itrakonazol 600 mg perhari yang dikombinasi dengan pemberian jangka
panjang Amfoterisin B. Efek samping lain meliputi insufisiensi adrenal, edema tungkai
bawah, hipertensi, dan pada satu pasien mengalami rhabdomyolisis. Dosis di atas 400 mg
perhari tidak direkomendasikan untuk pemberian jangka panjang.10
Interaksi obat
Absorpsi itrakonazol akan berkurang jika diberikan bersama dengan obat yang dapat
menurunkan sekresi asam lambung seperti antasida, H2 antagonis, omeprazol dan
lansoprazol.9
Itrakonazol merupakan suatu inhibitor dari sistem hepatik sitokrom P 450-3A4
sehingga pemberian bersama obat lain yang metabolismenya melalui sistem tersebut dapat
meningkatkan konsentrasi azol. Itrakonazol dapat memperpanjang dari waktu paruh paruh
obat terfenadin, astemizol, midazolam, triazolam, lovastatin, simvastatin, cisaprid, pimozid,
quinidin. Itrakonazol juga dapat meningkatkan konsentrasi serum digoksin, siklosporin
takrolimus, dan warfarin.9,10
3. Flukonazol
Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat dalam bentuk oral
dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan diperkenalkan pertama kali di Eropa lalu di
Amerika Serikat. Bersifat fungistatik dan efektif melawan yeast (kecuali Candida krusei).5
Mekanisme kerja
Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan triazol lain yaitu
merupakan suatu inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja dengan menghambat
sistem enzim sitokrom P-450 14--demethylase dan bersifat fungistatik.5
Aktifitas spektrum
Menurut FDA flukonazol efektif untuk mengatasi kandidiasis oral atau esophageal,
criptococcal meningitis dan pada penelitian lain dinyatakan efektif
pada sporotrikosis
tergantung dari keasaman lambung. Flukonazol memiliki waktu paruh 25-30 jam, dan
mencapai kadar tetap setelah pemberian sekali sehari selama 7 hari. Flukonazol berikatan
lemah pada protein plasma dan sekitar 90% obat bersirkulasi bebas di dalam plasma. Sekitar
80% obat dieksresikan melalui urin, 2 % feses, dan 11 % dalam bentuk metabolit di urin.5
Kadar flukonazol di dalam CSF, saliva, jaringan vagina, sputum, kulit dilaporkan
sebanding dengan konsentrasi dalam plasma. Gangguan farmakokinetik flukonazol berupa
penurunan plasma klirens ditemukan pada pasien dengan sirosis dan gagal ginjal. Pada bayi
di bawah 3 bulan , flukonazol klirens lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa.5
Dosis
Flukonazol digunakan sebagai lini pertama terapi kandidiasis mukotan. 5 Pada pediatrik
digunakan untuk terapi tinea kapitis yang disebabkan Tinea tonsurans dengan dosis 6
mg/kg/hr selama 20 hari, dan 5 mg/kg/hr selama 30 hari. Tetapi diberikan lebih lama pada
infeksi Mycoplasma canis.5
Flukonazol tersedia sediaan tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan 200mg; sediaan oral
solusio 10 mg/ml dan 40 mg/ml dan dalam bentuk sediaan intravena. Direkomendasikan pada
anak-anak <6 bulan.5
Penggunaan untuk orang dewasa dan kandidiasis vagina adalah 150 mg dosis tunggal.
Pada kandidiasis vulvovaginal rekuren 150 mg tiap minggu selama 6 bulan atau lebih. Tinea
pedis dengan 150 mg tiap minggu selama 3-4 minggu, dengan 75% perbaikan pada minggu
ke-4. Pada terapi onikomikosis, terbinafin 250 mg sehari selama 12 minggu lebih utama
dibandingkan flukonazol 150 mg tiap minggu selama 24 minggu. Pada pitiriasis versikolor
digunakan 400 mg dosis tunggal. Pada suatu penelitian open label randomized meneliti
pitiriasis versikolor yang diterapi dengan 400 mg flukonazol dosis tunggal dibandingkan
10
Varikonazol
Varikonazol merupakan triazol generasi kedua berupa turunan flukonazol dan tersedia
Mekanisme kerja
11
terhadap Zygomycetes.9
Farmakokinetik
Vorikonazol tersedia dalam bentuk tablet dan sediaan intravena (dalam bahan
pembawa sulfobutyl betadex sodium) dengan pemberian dua kali sehari. Bioavailabilabilitas
oral
vorikonazol sebesar 96% dan 56% terikat dengan protein. Asam lambung dapat
menghambat absorpsi vorikonazol.15 Konsentrasi maksimal pada plasma terjadi dua jam
setelah pemberian oral.14 Vorikonazol dapat mencapai cairan serebrospinal dengan konsentrasi
1-3 g/ml dengan waktu paruh enam jam dalam darah.10
Dosis
Pemberian pada kandidiasis esofageal dimulai dengan dosis oral 200 mg setiap 12 jam
untuk berat badan > 40 kg dan 100 mg setiap 12 jam untuk berat badan < 40 kg. Untuk
aspergilosis invasif dan penyakit jamur, lainnya yang disebabkan Scedosporium asiospermum
dan Fussarium spp, direkomendasikan loading dose 6 mg/kg IV setiap 12 jam untuk 24 jam
pertama, diikuti dengan dosis pemeliharaan 4 mg/kgBB setiap 12 jam dengan pemberian
intravena atau 200 mg setiap 12 jam per oral.15
Efek samping
Vorikonazol dapat ditoleransi baik oleh manusia. Efek toksik vorikonazol yang sering
ditemukan adalah gangguan penglihatan transien (30%). Meski dapat ditoleransi dengan baik,
pada 10-15% kasus ditemukan adanya abnormalitas fungsi hepar sehingga dalam pemberian
vorikonazol perlu dilakukan monitor fungsi hepar. Vorikonazol bersifat teratogenik pada
hewan dan kontraindikasi pada wanita hamil.10,14
12
Interaksi obat
Absorpsi varikonazol tidak mengalami penurunan jika diberikan bersama dengan obat
lain seperti simetidin, ranitidin yang berfungsi mengurangi sekresi asam lambung.
Varikonazol kurang poten sebagai inhibitor sistem enzim human hepatik sitokrom P
-450- 3A4 dibandingkan itrakonazol ataupun ketokonazol, namun varikonazol dapat
meningkatkan konsentrasi serum terfenadin, astemizol, cisaprid, pimozid, warfarin,
tolbutamid,
glipizid
Aktivitas spektrum
Posakonazol memiliki kemampuan antijamur terluas saat ini. Tidak ditemukan
resistensi silang posakonazol dengan flukonazol. Posakonazol merupakan satu-satunya
golongan azol yang dapat menghambat jamur golongan Zygomycetes. Posakonazol juga dapat
digunakan dalam pengobatan aspergilosis dan fusariosis.16,17
Dosis
Posakonazol hanya tersedia dalam bentuk suspensi oral, dapat diberikan dengan
rentang dosis 50-800 mg. Pemberian awal posakonazol dibagi menjadi empat dosis guna
13
mencapai level plasma adekuat. Pemberian posakonazol dapat juga diberikan dua kali sehari
pada keadaan tidak membahayakan jiwa. Absorbsi posakonazol lebih baik bila diberikan
bersama dengan makanan atau suplemen nutrisi.16
Mekanisme kerja
Terbinafin menghambat kerja enzim squalene epoxidase (enzim yang berfungsi
sebagai katalis untuk merubah squalene-2,3 epoxide) pada membran sel jamur sehingga
menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen sterol yang utama pada membran
plasma sel jamur). Terbinafin menyebabkan Hal ini mengakibatkan berkurangnya ergosterol
yang berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan membran sel jamur sehingga
pertumbuhan akan berhenti (efek fungistatik) dan dengan adanya penumpukan squalene yang
banyak di dalam sel jamur dalam bentuk endapan lemak sehingga menimbulkan kerusakan
pada membran sel jamur (efek fungisidal).5,10
Aktifitas spektrum
Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap dermatofit
yang bersifat fungisidal dan fungistatik untuk Candida albican, s tetapi bersifat fungisidal
terhadap Candida parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis sp.,
14
15
Tinea kapitis
Dewasa
Kuku tangan : 250 mg/hr x 6
minggu
Kuku kaki : 250 mg/hr x 12
minggu
250 mg/hr x 2-8 minggu
Anak-anak
3-6 mg/khg/hr x 6-12 minggua
Infeksi
Trichophyton
:
mg/kg/hr x 2-4 minggua
Infeksi
Microsporum :
mg/kg/hr x 6-8 minggua
3-6 mg/kg/hr x 1-2 minggu
3-6
3-6
Efek samping
Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dispepsia, dan nyeri abdomen.
Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar kronik atau aktif.10
Interaksi obat
Konsentrasi terbinafin akan menurun jika diberikan bersama rifampisin. Namun kadar
dalam darah dapat meningkat apabila diberikan bersama simetidin yang merupakan suatu
inhibitor sitokrim P-450.10
Amfoterisin B
Amfoterisin B merupakan antibiotik polien yang berasal dari Streptomyces nodosus,
diperkenalkan pada tahun 1956 dan disetujui digunakan sebagai anti jamur pada manusia di
tahun 1960.10
Amfoterisin B deoksikolat (formula konvensional) digunakan untuk pengobatan
infeksi deep mycoses, pemberian secara parenteral sering menimbukkan efek toksik terutama
pada ginjal (nefrotoksik) sehingga kemudian dikembangkan 3 jenis formula yang kurang
toksik terhadap ginjal dengan dasar lipid (lipid-based formations) yaitu (1) Amfoterisin B
liposomal (AmBisome), obat ini diselubungi dengan fosfolipid yang mengandung liposom.
(2) Amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet, ABLC), merupakan suatu kompleks dengan
fosfolipid yang membentuk struktur seperti pita. (3) Amfoterisin B dispersi koloid (Amphocil,
16
Amphotec, ABCD), merupakan suatu kompleks dengan kolesterol sulfat yang membentuk
potongan lemak kecil.10,18
Mekanisme kerja
Amfoterisin B (AMB) berikatan dengan ergosterol sehingga mengakibatkan fungsi
barier membran menjadi rusak, hilangnya unsur sel penting, mengganggu metabolisme
jamur, serta menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap sel jamur.10
Aktifitas spektrum
Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp.,
Mucorales sp., Blastomyces dermatitidid, candida sp., Coccidiodiodes immitis, Cryptococcus
neoformans, Histoplasma capsulatum, paracoccidioides brasiliensis, Penicillium marneffei.
17
sedangkan di
konsentrasi darah. Formula konvensional mempunyai waktu paruh fase kedua 24-48 jam dan
waktu paruh fase ketiga 2 minggu.8,18
Sebagian besar struktur formula dengan dasar lemak seperti Amfoterisin B lipid
kompleks (ABLC) akan menghilang dengan cepat dari dalam darah tetapi sebagian kecil
liposom akan menetap di sirkulasi untuk jangka waktu yang lama.
Konsentrasi serum maksimum dari liposomal amfoterisin B (AmBisome) yaitu 10-35
mg/L dengan dosis 3 mg/kbBB dan 25-60 mg/L dengan dosis 5 mg/kgBB. Kadar 5-10 mg/L
dapat dideteksi setelah pemberian 24 jam dengan dosis 5 mg/kgBB. Pemberian liposomal
amfoterisin B menghasilkan konsentrasi obat yang lebih tinggi di dalam hepar dan limpa
dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi obat pada ginjal lebih
rendah dibandingkan dengan formula konvensional. Waktu paruh liposomal amfoterisin B
100-200 jam.8,18
Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet) setelah
pemberian perenteral lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional sehingga
distribusi obat pada jaringan lebih cepat, konsentrasi maksimum dicapai 1-2 mg/L setelah
pemberian dosis 5 mg/kgBB selama 1 minggu. Pemberian amfoterisin B lipid kompleks
menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar, limpa dan paru-paru dibandingkan
dengan formula konvensional, sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan
dengan formula konvensional. Waktu paruh amfoterisin B lipid kompleks 170 jam.
Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B dispersi koloid (ABCD) sekitar 2 mg/L
dengan dosis 1 mg/kbBB, tetapi kadar obat di dalam darah akan segera menurun setelah
18
pemberian berakhir dan dijumpai distribusi obat yang cepat ke jaringan. Pemberian
amfoterisin B dispersi koloid akan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar
dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional, sedangkan konsentrasi pada ginjal
lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional.8,18
Dosis
Kebanyakan pasien dengan infeksi mikosis dalam diberikan dosis 1-2 gr amfoterisin B
deoksikolat selama 6-10 minggu. Orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal diberikan
dosis 0,6-1,0 mg/kg BB. Sebelum pemberian obat, terlebih dahulu dites dengan dosis 1 mg
amfoterisin B di dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2 jam (anak-anak
dengan berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis 0,5 mg) kemudian diobservasi dan
dimonitor suhu, denyut jantung dan tekanan darah setiap 30 menit oleh karena pada beberapa
pasien dapat timbul reaksi hipotensi berat atau reaksi anafilaksis. Dosis obat dapat
ditingkatkan > 1mg/kgBB, tetapi tidak melebihi 50 mg. Setelah 2 minggu pengobatan,
konsentrasi di dalam darah akan stabil dan kadar obat di jaringan makin bertambah dan
memungkinkan obat diberikan pada interval 48 atau 72 jam.8
Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis 1,0 mg/kg BB
dapat ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mg.kgBB atau lebih. Formula ini harus diberikan
intravena dalam waktu 2 jam, jika ditoleransi baik maka waktu pemberian dapat dipersingkat
menjadi 1 jam. Obat ini berikan pada individu selama 3 bulan dengan dosis kumulatif 15 g
tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis yang dianjurkan adalah 3 mg/kbBB/hari.18
Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid kompleks yaitu 5
mg/kgBB dan diberikan intravena dengan rata-rata 2,5 mg/kbBB/jam. Obat ini pernah
diberikan pada individu selama 11 bulan dengan dosis kumulatif 50 g tanpa efek samping
toksik yang signifikan.18
Dosis awal amfoterisin B dispersi koloid yaitu 1,0 mg/kgBB diberikan intravena
dengan rata-rata 1 mg/kgBB/jam dan jika dibutuhkan dosis dapat ditingkatkan menjadi 3,04,0 mg/kgBB. Obat ini pernah diberikan pada individu dengan dosis kumulatif 3 g tanpa efek
samping toksik yang signifikan.8,18
Efek samping
Pemberian formula konvensional dengan cara intravena dapat segera menimbulkan
efek samping seperti demam, menggigil dan badan menjadi kaku. Biasanya timbul setelah 1-3
jam pemberian obat. Mual dan muntah dapat juga dijumpai tetapi jarang, sedangkan efek
lokal flebitis sering juga dijumpai. Efek samping toksik yang paling serius adalah kerusakan
19
tubulus ginjal. Kebanyakan pasien yang mendapat formula konvensional sering menderita
kerusakan fungsi ginjal terutama pada pasien yang mendapat dosis lebih dari 0,5/kgBb/hari.
Formula konvensional dapat juga menyebabkan hilangnya potasium dan magnesium. Pasien
yang mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu, dapat timbul anemia normokromik dan
normositik sedang.10,18
Prevalensi timbulnya efek samping yang cepat setelah pemberian amfoterisin B lipid
kompleks dan amfoterisin B dispersi koloid lebih sedikit dibandingkan dengan formula
konvensional. Efek samping yang dapat dijumpai yaitu demam, menggigil dan hipoksia yang
dilaporkan sekitar 25% penderita yang menggunakan obat tersebut tetapi biasanya tidak
menetap. Formula dengan dasar lemak kurang menimbulkan efek samping dibandingkan
formula konvensional dan dari hasil penelitian (konsentrasi serum kreatinin) menunjukkan
kerusakan ginjal akibat amfoterisin B lipid kompleks sebanyak 25%, amfoterisin B dispersi
koloid sebanyak 15%, amfoterisin B liposomal sebanyak 20% sedangkan formula
konvensional sebanyak 30-50%.8
Efek samping yang lain dari formula dengan dasar lemak yaitu peningkatan kadar
transaminase, alkalin fosfatase dan konsentrasi serum bilirubin. Pasien yang mendapat
pengobatan liposomal amfoterisin B dijumpai tes fungsi hati yang tidak normal sekitar 2550%, tetapi biasanya tidak menetap.8,10,18
Interaksi obat
Amfoterisin B dapat menambah efek nefrotoksik obat lain seperti antibiotik
aminoglikosida, siklosporin, antineoplastik tertentu sehingga kombinasi obat tersebut harus
hati-hati. Kombinasi obat amfoterisin B dengan kortikosteroid dan digitalis glikosid dapat
menimbulkan hipokalemi.10
2.Nistatin
Nistatin merupakan antibotik yang digunakan sebagai antijamur, diisolasi dari
Streptomyces nourse pada tahun 1951. Untuk pengobatan kandidiasis oral, nistatin diberikan
tablet nistatin 500.000 unit setiap 6 jam. Suspensi nistatin oral terdiri dari 100.000 unit/ml
yang diberikan 4 kali sehari dengan dosis pada bayi baru lahir 1 ml, infant 2 ml dan dewasa 5
ml.10
KELOMPOK ANTIJAMUR EKINOKANDIN
1.
Kaspofungin
20
Aktifitas spektrum
Kaspofungin
21
Candida sp., dengan efek fungisidal yang tinggi, tetapi dengan Candida parpsilosis dan
Candida krusei kurang efektif, dan resisten terhadap Cryptococcus neoformans.15
Farmakokinetik
Pemberian kaspofungin secara parenteral setelah 1 jam dengan dosis 70 mg akan
dicapai konsentrasi serum sebanyak 20 mg/L. Kurang dari 10% dosis obat akan menetap di
dalam darah setelah pemberian 36-48 jam dan lebih dari 96% akan berikatan dengan protein.
Sebagian besar obat akan didistribusikan ke dalam jaringan ( 92% dari dosis) dengan
konsentrasi yang tertinggi dijumpai pada hepar. Sekitar 1% dari dosis akan dieksresi tanpa ada
perubahan melalui urin. Kaspofungin dimetabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif
akan dibuang melalui empedu (35%) dan urin (40%).9,10,15
Dosis
Pada pasien aspergilosis, dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama dan 50
mg/hari untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus diberikan intravena melalui infus dalam
periode 1 jam. Pasien dengan kerusakan hepar sedang, direkomendasikan dosis kaspofungin
diturunkan menjadi 35 mg.8
Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam kulit, mual, muntah.7,18
Interaksi obat
Pemberian kaspofungin bersama siklosporin dapat meningkatkan transaminase 2-3
kali lipat dari batas normal.18
2. Mikafungin
Pada tahun 2005, mikafungin disetujui FDA untuk terapi esofagitis kandida pada
pasien HIV.12
Dosis
Pettengell et al. melaporkan pemberian mikafungin 50-100 mg/hari menyebabkan
respon total atau parsial pada 35 dari 36 pasien kandidiasis esophagus (97,2%) dan insiden
efek simpang hanya 2,8% (1 dari 36 pasien). Mikafungin juga bermanfaat untuk terapi
aspergilosis invasif.14
22
23
Mekanisme kerja
Flusitosin masuk ke dalam sel jamur disebabkan kerja sitosin permease, kemudian
diubah oleh sitosin deaminase menjadi 5-flourourasil yang bergabung ke dalam RNA jamur
sehingga mengakibatkan sintesis protein terganggu. Flusitosin dapat juga
menghambat
Farmakokinetik
Pemberian flusitosin secara oral absorpsinya cepat dan hampir sempurna. Konsentrasi
plasma puncak pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal sekitar 70-80 g/ml, tercapai
dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian dosis 37,5 mg/kg. Sekitar 80% pemberian dosis
dieksresikan di urin tanpa mengalami perubahan; konsentrasi di urin 200-500 g/ml. Waktu
paruh 3-6 jam pada orang normal. Pada pasien gagal ginjal, waktu paruh lebih lama selama
200 jam. Konsentrasi flusitosin di CSF sekitar 65%-90% secara simultan sama dengan di
dalam plasma. Flusitosin juga ditemukan dalam humour aqueus.10
Dosis
Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin diawali
dengan dosis 100 mg/kg BB perhari, dibagi dalam 4 dosis dengan interval 6 jam namun jika
terdapat gangguan ginjal pemberian flusitosin diawali dengan dosis 25 mg/kgBB.10
Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai yaitu mual,muntah dan diare. Trombositopenia
dan leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi obat di dalam darah meninggi, menetap (>100
24
mg/L) dan dapat juga dijumpai jika obat dihentikan. Peninggian kadar transaminase dapat
juga dijumpai pada beberapa pasien tetapi dapat kembali normal setelah obat dihentikan.10
Interaksi obat
Kerja flusitosin dapat dihambat secara kompetitif oleh sitarabin (sitosin arabinosid)
sehingga pemberian flusitosin bersama sitarabin merupakan kontraindikasi, karena efek
myelosupresif dan hepatotoksik flusitosin dapat bertambah jika diberikan bersama dengan
imunosupresif atau sitotoksik. Pemberian zidofudin bersama flusitosin harus hati-hati oleh
karena dapat menimbulkan efek myelosupresif. Kombinasi amfoterisin B dan flusitosin
mempunyai efek sinergis terhadap Candida sp dan Cryptococcus neoformans namun efek
nefrotoksik Amfoterisin B dapat berkurang ketika flusitosin dieksresi.10
2.Griseofulvin
Griseofulvin merupakan antibiotik antijamur yang berasal dari spesies Penicillium
mold. Pertama kali diteliti digunakan sebagai antijamur pada tumbuhan dan kemudian
diperkenalkan untuk pengobatan infeksi dermatofita pada hewan. Griseofulvin digunakan
sejak tahun 1958 untuk pengobatan infeksi dermatofita pada manusia. Griseofulvin
merupakan obat anti jamur yang pertama diberikan secara oral untuk pengobatan
dermatofitosis.5,8,9,10
Mekanisme kerja
Griseofulvin merupakan obat antijamur yang bersifat fungistatik, berikatan dengan
protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur sehingga tetap dalam fase metafase. 5
Aktifitas spektrum
Griseofulvin
25
10
Lama pengobatan untuk tinea korporis dan kruris selama 2-4 minggu, untuk tinea
kapitis paling sedikit selama 4-6 minggu, untuk tinea pedis selama 4-8 minggu dan untuk
tinea unguium selama 3-6 bulan.5,10
Efek samping
26
Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual, muntah, dan
nyeri abdomen. Timbulnya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat terjadi pada sebagian
pasien.5
Interaksi obat
Absorpsi griseofulvin menurun jika diberikan bersama dengan fenobarbital, namun
efek ini dapat diatasi dengan cara mengkonsumsi griseofilvin bersama makanan. Griseofulvin
juga dapat menurunkan efektifitas warfarin. Kegagalan kontrasepsi juga ditemukan pada
pasien yang mengkonsumsi griseofulvin bersasma dengan penggunaan kontrasepsi oral.10
27
Mekanisme kerja
Relatif berspektrum luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara menghambat
pembentukan 14 -sterol demethylase, suatu enzim
Hal ini
kutaneus dan genital. Untuk pengobatan oral kandidiasis, diberikan oral troches (10 mg) 5
kali sehari selama 2 minggu atau lebih. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan
dosis 500 mg pada hari ke-1, 200 mg hari ke-2, atau 100 mg hari ke-6 yang dimasukkan ke
dalam vagina. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan krim klotrimazol 1%
dosis dan lamanya pengobatan tergantung kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4
minggu dan dioleskan 2 kali sehari.
2. Ekonazol
28
3. Mikonazol
29
Sertakonazol
Sertakonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan candida sp,
digunakan sertakonazol krim 2%, dioleskan 1-2 kali sehari selama 4 minggu.21
GOLONGAN ALILAMIN/BENZILAMIN
Mekanisme kerja adalah dengan cara menekan biosintesis ergosterol pada tahap awal
proses metabolisme dan enzim
30
1.
Naftifin
Naftifin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan Candida sp., Untuk
pengobatan digunakan krim naftifin hidroklorida krim 1% dioleskan 1 kali sehari selama 1
minggu.5
2.
Terbinafin
Butenafin
Butenafin merupakan golongan benzilamin aktifitas
golongan alilamin. Butenafin bersifat fungisidal terhadap dermatofita dan dapat digunakan
untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris dan tinea pedis, dioleskan 1 kali sehari selama 4
minggu.4
GOLONGAN POLIEN
Nistatin
Pengobatan kandidiasis kutis dapat digunakan nistatin topikal pada kulit atau
membrane mukosa (rongga mulut, vagina). Nistatin biasanya tidak bersifat toksik tetapi
kadang-kadabng dapat timbul mual, muntah dan diare jika diberikan dengan dosis tinggi.
Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan 1 atau 2 vaginal suppossitoria
(100.000 setiap unitnya) yang diberikan selama kurang lebih 14 hari.
GOLONGAN ANTIJAMUR TOPIKAL LAIN
31
1.
Asam Undesilenat
Asam undesilenat bersifat fungistatik, dapat juga bersifat fungisidal apabila terpapar
lama dengan konsentrasi yang tinggi pada agen jamur. Tersedia dalam bentuk salep, krim,
bedak spray powder, sabun, dan cairan. Salap asam undesilenat mengandung 5% asam
undesilenat dan 20% zinc undesilenat. Zinc bersifat astringent yang menekan inflamasi.
Preparat ini digunakan untuk mengatasi dermatomikosis, khususnya tinea pedis. Efektifitas
masih lebih rendah dari imidazol, haloprogin atau tolnaftat. Preparat ini juga dapat digunakan
pada ruam popok, dan tinea kruris.10,20,22
2.
Salep Whitefield
Pada tahun 1970, Arthur Whitefield membuat preparat salep yang mengandung 12%
asam benzoate dan 6% asam salisilat. Kombinasi ini dikenal dengan salep Whitefield. Asam
benzoat bekerja sebagai fungistatik, dan asam salisilat sebagai keratolitik sehingga
menyebabkan deskuamasi keratin yang mengandung jamur. Preparat nini sering menyebabkan
iritasi khususnya jika dipakai pada permukaan kulit yang luas. Selain itu absorpsi secara
sistemik dapat terjadi, dan menyebabkan toksisitas asam salisilat, khususnya pada pasien yang
mengalami gagal ginjal. Digunakan untuk mengatasi tinea pedis, dan tinea kruris. 10,22
3. Amorolfin
Amorolfin merupakan phenylpropylpiperidine. Bekerja dengan cara menghambat
biosintesis ergosterol jamur. Aktifitas spektrumnya luas, dapat digunakan untuk pengobatan
tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan onikomikosis. Untuk infeksi jamur pada kulit
amorolfin dioleskan satu kali sehari selama 2-3 minggu sedangkan untuk tinea pedis selama 6
bulan. Amorolfin 5% nail lacquaer diberikan sebagai monoterapi pada onikomikosis ringan
tanpa adanya keterlibatan matriks. Diberikan satu atau dua kali seminggu selama 6-12 bulan.
Pemakaian amorolfin 5% pada pengobatan jamur memiliki angka kesembuhan 60-76%
dengan pemakaian satu atau dua kali seminggu. Kuku tangan dioleskan satu atau dua kali
setiap minggu selama 6 bulan sedangkan kuku kaki harus digunakan selama 9-12 bulan.3,7,20
4.
Siklopiroks olamin
pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis, onikomikosis, kandidiasis kutaneus dan
pitiriasis versikolor.21
Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit harus dioleskan 2 kali sehari selama 2-4
minggu sedangkan untuk pengobatan onikomikosis digunakan siklopiroks nail lacquer 8%.
Setelah dioleskan pada permukaan kuku yang sakit, larutan tersebut akan mengering dalam
waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari pembawa berdifusi menembus
lapisan lempeng kuku hingga ke dasar kuku (nail bed) dalam beberapa jam sudah mencapai
kedalaman 0,4 mm dan secara penuh akan dicapai setelah 24-48 jam pemakaian. Kadar obat
akan mencapai kadar fungisida dalam waktu 7 hari sebesar 0,89 0,25 mikrogram tiap
milligram material kuku. Kadar obat akan meningkat terus hingga 30-45 hari setelah
pemakaian dan selanjutnya konsentrasi akan menetap yakni sebesar 50 kali konsentrasi obat
minimal yang berefek fungisidal.
10,21
Haloprogin
Gambar
Haloprogin
19. Struktur
merupakan
haloprogin
halogenated
tinea kruris, tinea pedis dan pitiriasis versikolor, dengan konsentrasi 1% dioleskan 2 kali
sehari selama 2-4 minggu.10
6.
Timol
Timol adalah antiseptik yang larut dalam alkohol efektif dalam bentuk tingtur untuk
mengobati onikolisis. Timol bekerja sebagai antiseptik membunuh organisme pada saat
alkohol menguap. Tidak tersedia preparat komersil; ahli farmakologi mencampur 2-4% timol
ke dalam larutan dasar seperti etanol 95% dan mengendap di dasar botol. Pemakaiannya jari
ditegakkan vertikal lalu diteteskan solusio sampai menyentuh hiponikium, gaya gravitasi dan
33
tekanan permukaan secara cepat mendistribusikan timol ke bagian terdalam dari ruang
subungual. Penggunaan timol beresiko iritasi, dan memiliki bau yang tidak menyenangkan. 20
7.
Castellanis paint
Castellanis paint (carbol fuchsin paint) memiliki aktifitas antijamur dan antibacterial.
Digunakan sebagai terapi tinea pedis, dermatitis seboroik, tinea imbrikata.Efek sampingnya
adalah iritasi dan reaksi toksik terhadap fenol. 22
8. Alumunium Chloride
Alumunium Chloride 30% memiliki efikasi mirip dengan Castellanis paint pada terapi
tinea pedis.22
9. Gentian Violet
Gentian violet adalah triphenylmethane (rosaniline) dye. Produk yang dipasarkan
mengandung 4% tetramethyl dan pentamethyl congeners campuran ini membentuk kristal
violet. Solusio gentian violet dengan konsentrasi 0,5-2% digunakan pada infeksi jamur
mukosa. Gentian violet memiliki efek antijamur dan antibaterial.22
10. Potassium Permanganat
Potassium permanganat tidak memiliki aktifitas antijamur. Pada pengenceran 1:5000
sering digunakan untuk meredakan inflamasi akibat kandidiasi intertriginosa.22
11. Selenium Sulphide
Losio 2,5% selenium sulphide
seboroik. Pengguinaan losio selama 10 menit satu kali sehari selama pemakaian 7 hari, tidak
terjadi absorpsi perkutaneus yang signifikan. Selenium sulphide 2,5% dalam bentuk sampo
dapat menyebabkan iritasi pada kulit kepala atau perubahan warna rambut. Losio selenium
sulphide juga digunakan sebagai sampo pada tinea kapitis yang telah diberikan terapi oral
griseofulvin.22
12. Zinc Pyrithione
Zinc pyrithione adalah antijamur dan antibakteri yang digunakan mengatasi pitiriasis
sika. Sampo zinc pyrithione 1% efektif pada terapi pitiriasis versikolor yang dioleskan setiap
hari selama 2 minggu.22
13. Sodium Thiosulfate dan Salicylic Acid
Solusio 25% sodium thiosulfate dikombinasi dengan 1% salicylic acid tersedia
preparat komersial dan digunakan pada tinea versikolor.22
34
KESIMPULAN
Obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya terbagi atas obat antijamur sistemik
dan topikal. Berdasarkan tempat kerjanya terbagi menjadi empat golongan utama yaitu polien,
azol, alilamin, dan ekinokandin.
Golongan azol terbagi dua berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol yaitu
kelompok imidazol dan triazol. Triazol dimetabolisme lebih lambat dan efek samping yang
sedikit dibandingkan imidazol, karena itulah para peneliti berusaha mengembangkan
golongan triazol daripada imidazol.
Formulasi Amfoterisin B dengan dasar lipid relatif kurang nefrotoksik dibanding
AMB deoksikolat. Penggunaan AMB dasar lipid dapat diberikan dengan dosis lebih besar
dan risiko gagal ginjal lebih rendah.
Penelitian terbaru terhadap obat antijamur saat ini memfokuskan pada target baru
seperti ekinokandin. Golongan ini memberikan alternatif lain dalam terapi pengobatan
aspergilosis dan kandidiasis.
Dari seluruh pilihan di atas para dokter
terhadap farmakokinetik dan potensi interaksi antar obat terhadap obat antijamur sehingga
kita dapat memilih obat antijamur yang terbaik untuk pasien.
DAFTAR PUSTAKA
35
1.
2.
Hay RJ. Deep Fungal Infections. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS,
Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General Medicine. 7 th ed. New
York: Mc Graw-Hill.2008.p 1831-1844
3.
4.
High WA, Fitzpatrick JE. Topical Antifungal Agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General Medicine.
7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 2116-2121
5.
Bellantoni MS, Konnikov N. Oral antifungal agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General
Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 2211-2217
6.
7.
8.
Gupta AK. Systemic antifungal agents. In: Wolverton ES, editor. Comprehensive
dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B. Saunders Company;2002. Pp7599.
9.
Gubbins PO, Anaissie EJ. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ, McGinn MR, Pfaller.
Clinical Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier. 2009. p161-196
10. Bennet JE. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL.
Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis Of Therapeutics. 11 th Ed. New York: Mc GrawHill. 2006
11. ZhaoX, Calderone RA. Antifungals currently used in the treatment of invasive fungal
disease. In: Calderone RA, Cihlar RL. Eds. Fungal pathogenesis principles and clinical
applications. USA; Mycology Vol 14. 2002; p 559-574
12. Onyewu C, Heitman J. Unique Aplications of Novel Antifungal Drug Combinations. AntiInfective Agents in Medicinal Chemistry 2007; 6: 3-15
13. Lesher J. Woody CMC. Antimicrobial drugs. In:Bolognia JL Jorrizo JL, Rapini RP, et al.
Eds. Dermatology 2th Ed, Mosby Elsevier, 2008.
14. Rubin AI, Bagheri B, Scher RK. Six Novel Antimycotics. Am J Clin Dermatol 2002; 3(2): 71-81
15. Wu JJ, Pang KR, Huang DB, Trying SK. Therapy of Systemic Fungal Infections. Dermatologic
Therapy 2004; 17: 532538
16. Marr KA. Empirical Antifungal Therapy New Options, New Tradeoffs. N Engl J Med
2002; 346(4): 278-280
36
17. Torres HA, Hachem RY, Chemaly RF, Kontoviannis DP, Raad II. Posaconazole: A BroadSpectrum Triazole Antifungal. Lancet Infect Dis 2005; 5: 77585
18. Ray A, Anand S. Recent trends in antifungal therapy:focus on systemic mycoses. Indian J
Chest Dis Allied Sci 2000;42:357-366
19. Phillips RM, Rosen T. Topical antifungal agents. In: Wolverton ES, editor.
Comprehensive dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B. Saunders
Company;2002. 547-568.
20. Kyle AA, Dahl MV. Topical therapy for fungal infections. Am J Clin Dermatol
2004:5(6):443-461.
21. Huang DB. Therapy Of Common Superficial Fungal Infection. Dermatologic Therapy
2004; 17: 517-522
22. Gupta et al. An overview of topical antifungal therapy in dermatomycosis. A North
American Perspective. Drugs 1998 May;55(5):645-674.
37