Vous êtes sur la page 1sur 20

ACARA III

UJI KERUSAKAN MINYAK

A. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum acara uji kerusakan minyak adalah:
1.

Mengetahui macam-macam dan penyebab kerusakan minyak/lemak

2.

Menentukan angka peroksida

3.

Menentukan asam lemak bebas (% FFA)

4.

Menentukan bilangan TBA (Thio Barbituric Acid)

B. Tinjauan Pustaka
Antioksidan dalam lemak dan minyak akan mengurangi kecepatan
proses oksidasi. Antioksidan terdapat secara alamiah dalam lemak nabati dan
kadang-kadang sengaja ditambahkan. Ada dua macam antioksidan, yaitu
antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer adalah suatu
zat yang dapat menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal yang
melepaskan hidrogen. Antioksidan alami antara lain tokoferol, lesitin,
fosfatida, sesamol, gosipol dan asam askorbat. Yang paling banyak ditemukan
dalam minyak nabati adalah tokoferol yang mempunyai keaktifan vitamin E
dan memiliki banyak ikatan rangkap yang mudah dioksidasi sehingga akan
melindungi lemak dari oksidasi. Antioksidan sekunder adalah suatu zat yang
dapat mencegah kerja prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai
sinergik (Winarno, 2004).
Kerusakan karena timbulnya aroma tengik disebabkan oleh oksidasi
lemak menghasilkan senyawa aldehid dan peroksida. Proses oksidasi tersebut
menimbulkan bau serta rasa yang dapat menurunkan mutu dari makanan.
Oksidasi yang terjadi dapat diperlambat dengan memberikan penghambat
pada produk untuk meminimalisir kontak dengan udara. Kerusakan
lemak/minyak yang terjadi pada bahan ditandai dengan timbulnya bau tengik,
tingkat kerusakan minyak dapat dinyatakan sebagai angka TBA. Menurut SNI
01-2352-1991, produk dengan kandungan lemak tinggi seperti ikan dikatakan

baik apabila memiliki nilai TBA kurang dari 3 mg malonaldehid/kg sampel


(Triwarsita, 2013).
Kemiri merupakan tanaman yang banyak tumbuh di Sumatera Utara
maupun di daerah lainnya di Indonesia. Dari buahnya dapat diperoleh minyak
kemiri yang kaya akan kandungan asam lemak tak jenuh yaitu C18:1, C18:2
dan C18:3 sebagai trigliserida. Hasil pengujian bilangan peroksida, bilangan
asam dan asam Lemak Bebas (%) hasil ekstraksi minyak kemiri masingmasing adalah 1,245; 6,3-8,0 dan 1,273. Selanjutnya hasil analisis
kromatografi gas terhadap MEAL (metil ester asam lemak) minyak kemiri
memberikan kromatogram dengan komposisi asam lemak yang terdiri dari
C8:0 = 0,34%, C10:0 =0,30%, C12;0 = 2,46 %, C14:0 = 1,04%, C16:0=
6,98%, C18:0=2,85%, C18:1 =22,73%, C18:2 = 38,83% dan C18:3 =24,23%
(Ginting, 2008).
Angka asam dinyatakan sebagai jumlah milligram KOH yang
diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam 1 gram
minyak atau lemak. Angka asam yang besar menunjukkan asam lemak bebas
yang besar yang berasal dari hidrolisa minyak ataupun karena proses
pengolahan yang kurang baik. Makin tinggi angka asam makin rendah
kualitasnya, sebaliknya jika angka asamnya rendah maka kualitas minyak
tersebut bagus dan layak untuk dikonsumsi. Parameter yang penting untuk
mengetahui kualitas minyak adalah dari angka asam. Penentuan angka asam
dilakukan penambahan alkohol penambahan alkohol ini bertujuan untuk
melarutkan asam lemak. Standar angka asam minyak goreng menurut SNI
adalah max 2 mg KOH/g. Bilangan peroksida merupakan nilai terpenting
untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak. Asam lemak tidak jenuh
dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk
peroksida. Adanya peroksida menunjukkan telah terjadinya proses oksidasi
pada minyak tersebut. Semakin tinggi kadar peroksida di dalam minyak,
semakin luas proses oksidasi yang terjadi, artinya kerusakan minyak semakin
berlanjut dan minyak akan semakin berbau tengik. Standar bilangan peroksida
minyak goreng menurut SNI adalah max 2 mg eq/gram (Wijayanti, 2012).

Ketengikan terjadi karena adanya kandungan lemak yang tinggi pada


produk, sehingga terjadi kerusakan yang diantaranya dapat disebabkan oleh
absorbsi bau oleh lemak, aksi oleh enzim dalam jaringan bahan yang
mengandung lemak, aksi mikroba dan oksidasi oleh oksigen udara atau
kombinasi dari dua atau lebih dari penyebab kerusakan tersebut. Atau
mungkin disebabkan oleh kandungan vitamin E yang terdapat dalam bahan
yang merupakan antioksidan ternyata belum mampu secara aktif menghambat
terbentuknya radikal bebas yang menyebabkan timbulnya bau tengik.
Peningkatan angka TBA juga dimungkinkan disebabkan oleh sudah rusaknya
vitamin E dalam bahan, dimana selama penyimpanan vitamin E yang
ditambahkan mengalami oksidasi sehingga aktivitas untuk menghambat
proses oksidasi menjadi berkurang. Vitamin E tahan oleh suhu tinggi dan
asam, tapi karena bersifat antioksidan maka vitamin E mudah teroksidasi
terutama bila ada lemak tengik. Perhitungan angka TBA sesuai rumus: Angka
TBA = (3 x A528 x 7,8)/(Berat sampel (g)) (Kusrahayu, 2009).
Berdasarkan kromatogram sampel lemak sapi dan lemak ayam
diperoleh kandungan asam lemak jenuh dan tidak jenuh dengan komposisi
yang relatif berbeda untuk kedua sampel. Dapat terlihat bahwa kandungan
asam lemak rantai pendek C8 C12 tidak terdeteksi pada kedua sampel.
Berbeda dengan asam lemak jenuh rantai panjang (C16:0, C18:0 dan C20:0),
pada lemak sapi kandungannya jauh lebih besar dibanding lemak ayam. Yang
paling menonjol adalah kandungan asam linoleat (C18:2) untuk sampel lemak
sapi jauh lebih rendah dibandingkan lemak ayam, bahkan untuk asam
arakidonat (C20:4) pada sampel lemak sapi tidak terdeteksi. Perbedaan
komposisi asam lemak jenuh (SFA), asam lemak jenuh tunggal (MUFA) dan
asam lemak jenuh ganda (PUFA) menunjukkan bahwa kandungan asam lemak
jenuh untuk lemak sapi jauh lebih besar (68%) dibandingkan lemak ayam
(33%). Sedangkan komposisi MUFA lemak ayam relatif lebih besar dibanding
lemak sapi (Hermanto, 2009).
Deep frying adalah penyebab utama dehidrasi, yang berarti bahwa air
dan substansi berair terambil dari produk selama penggorengan dan

dipindahkan ke minyak yang dimasak. Pada saat yang sama, produk yang
digoreng menyerap lemak sekitarnya. Jika produk yang akan digoreng
ditempatkan dalam lemak panas, air di permukaan menguap dan air bergerak
dari bagian dalam produk yang digoreng menuju lapisan luar, untuk
mengurangi hilangnya air di permukaan. Sebagian air yang dikeluarkan tidak
mudah bergerak dari permukaan hidrofilik makanan ke hidrofobik minyak,
lapisan tipis bentuk uap antara lemak dan produk yang digoreng. Kualitas
produk yang dimasak tergantung pada kondisi berikut, proses (temperatur,
waktu penggorengan, jenis penggoreng), minyak goreng (sifat dari minyakkimia dan fisik dan aditif, kontaminan) dan makanan (sifat makanan-kimia
dan fisik, persiapan, bahan pertukaran dengan minyak). Menggoreng biasanya
dilakukan pada suhu tinggi (antara 160 C dan 180 C) dan dengan adanya
udara dan kelembaban, minyak ini menggoreng dan minyak akan mengalami
kerusakan fisik dan kimia yang akan mempengaruhi kinerja mereka
menggoreng dan stabilitas penyimpanan produk goreng (Abiona, 2011).
Perubahan oksidatif tergantung pada tingkat kejenuhan minyak.
Degradasi oksidatif lemak dan minyak selama pemanasan tergantung pada
kandungan asam polyenoic dan antioksidan alami. Sedangkan dilihat dari
komposisi asam lemak tak jenuh, lemak babi itu sangat jenuh, mengandung
asam oleat sebagai asam lemak tak jenuh yang besar, dan hanya 6% asam
linoleat, asam-satunya polyenoic. Minyak nabati mengandung asam lonoleat
yang lebih tinggi (dan sejumlah kecil asam linolenat dalam studi minyak
lobak) dibanding lemak babi, yang meningkat sensitivitas mereka terhadap
degradasi oksidatif (Dostlov, 2009).
Menggoreng adalah proses yang menyebabkan banyak bahan kimia
reaksi dalam medium menggoreng menghasilkan sejumlah besar bahan kimia
senyawa. Selama penggorengan dan pemanasan, oksidasi, polimerisasi,
isomerisasi (baik penggorengan dan pemanasan) dan hidrolisis (hanya selama
penggorengan) terjadi pada minyak akan mengakibatkan munculnya berbagai
produk sampingan. Diantara produk ini, produk berbobot molekul lebih tinggi
lebih banyak dibandingkan dengan trigliserida yang dihasilkan berasal dari

reaksi polimerisasi dan oksidasi. Dalam mempresentasikan hasil kerja dan


demi kesederhanaan semua senyawa ini akan disebut polimer. Polimer
dikaitkan

sebelumnya

untuk

peningkatan

kepadatan

minyak

(Kalogianni, 2011).
Semakin lama dan semakin besar kontak antara minyak dengan
oksigen, maka akan terjadi peningkatan peroksida minyak. Perubahan asam
lemak bebas selama proses disebabkan adanya peristiwa hidrolisis baik
enzimatis maupun non enzimatis terhadap lemak yang dikandung. Proses
hidrolisis lemak atau minyak yang dapat menghasilkan asam-asam lemak
bebas disebabkan oleh adanya air dalam jaringan pangan yang mengandung
lemak atau minyak. Standar angka asam lemak bebas maksimal yang
diperkenankan oleh Codex Stan 19-1981 (rev. 2-1999) adalah sebesar 0.5%
sedangkan

berdasarkan

SNI

3741-1995,

asam

lemak

bebas

yang

diperbolehkan dalam minyak goreng maksimum 0,3%. (Mulyadi, 2011).


Sifat fisika lemak antara lain: tidak larut dalam air, tetapi larut dalam
satu atau lebih dari satu pelarut organik misalnya, eter, aseton, kloroform,
benzena yang sering disebut pelarut lemak; ada hubungan dengan asamasam lemak atau esternya; mempunyai kemungkinan digunakan oleh makhluk
hidup. Lemak dan gliserida asam lemak pendek dapat larut dalam air,
sedangkan gliserida asam lemak panjang tidak larut. Semua gliserida larut
dalam ester, kloroform atau benzene. Alkohol panas adalah pelarut lemak yang
baik. Ester asam lemak dengan monohidroksi alkohol yang mempunyai rantai
karbon panjang, antara 14 sampai 34 atom karbon. Lilin tidak larut dalam air,
tetapi larut dalam pelarut lemak. Lilin tidak mudah terhidrolisis seperti lemak
dan tidak dapat diuraikan oleh enzim yang menguraikan lemak (Poedjiadi,
2009).
Oksidasi lemak terdiri dari tiga tahap utama, yaitu inisiasi, propagasi
dan terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal asam lemak,
yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan reaktif
akibat hilangnya satu atom hidrogen. Tahap propagasi, radikal asam lemak
akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi. Radikal peroksi

lebih lanjut akan menyerang asam lemak menghasilkan hidroperoksida dan


radikal asam lemak baru.
Inisiasi

: RH R* + H*

Propagasi : R* + O2 ROO*
: ROO* + RH ROOH + R*
Terminasi : ROO* + ROO*
: R* + ROO*
: R* + R* (Effendi, 2009)
C. Metodologi
1. Alat
a. Timbangan analitik
b. Erlenmeyer 250 ml
c. Pipet ukur
d. Buret
e. Statif
f. Pipet tetes
g. Gelas ukur
h. Hot plate
2. Bahan
a. Minyak kelapa
b. Minyak kacang tanah
c. Minyak sapi
d. Minyak ayam
e. Asam asetat-cloroform (3:2)
f. KI jenuh
g. Aquadest
h. Na2S2O3 0,1 N
i. Larutan pati 1%
j. Alkohol netral
k. Indikator phenolphtalein

l. NaOH 0,1 N
3. Cara kerja
a. Penentuan angka peroksida

gr sampel dalam erlenmeyer tertutup, ditambah 30 ml asam asetat-kloroform (3:2), digoyangkan sampai semua bahan larut, d

Didiamkan 1 menit sambil digoyang, ditambah 30 ml aquadest

Ditambah 0,5 ml larutan amilum 1% kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 sampai warna biru hilang

Dicatat volume titran yang digunakan dan dihitung angka peroksidanya

b. Penentuan asam lemak bebas (FFA)


Ditimbang 20 gr sampel, ditambah 50 ml alkohol netral panas, dan ditambah 3 tetes indikator pp

Dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai terbentuk warna merah jambu dan tidak hilang selama 30 detik

Dicatat volume NaOH yang digunakan, dan dihitung asam lemak bebas yang dinyatakan sebagai % FFA atau sebagai a

c. Penentuan bilangan TBA

Ditimbang bahan sebanyak 10 gram, dimasukkan ke waring blender, ditambahkan 50 ml aquades, dan dihancurkan selam

Dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47,5 ml aquades

Ditambahkan + 2,5 ml HCl 4 M

Ditambahkan batu didih dan pencegah buih secukupnya dan labu destilasi dipasang pada alat destilasi

Destilasi dijalankan dengan pemanasan tinggi sehingga diperoleh 50 destilat selama 10 menit

Destilat yang diperoleh diaduk merata, dipipet 5 ml ke dalam tabung reaksi tertutup

Ditambahkan 5 ml pereaksi TBA, ditutup, dicampur merata, kemudian dipanaskan selama 30 menit dalam air men

Blanko dibuat dengan menggunakan 5 ml aquades daan 5 ml pereaksi, dilakukan seperti penetapan sampel

i didinginkan dengan air pendingin selama + 10 menit, diukur adsorbansinya (D) pada panjang gelombang 528 nm dengan la

Dihitung bilangan TBAnya, dinyatakan dalam mg malonaldehid per kg sampel. Bilangan TBA = 7,8 D

D. Hasil dan Pembahasan


1.

Penentuan Angka Peroksida


Tabel 3.1 Penentuan Angka Peroksida
Berat
Angka
N
Sampel Na2S2O3
Peroksida
Na2S2O3
(gr)
(MeQ)
1
Setelah Penggorengan
5
1,1
0,1
22
Minyak Kelapa
Sebelum
7 Parut Basah
5
0,1
Penggorengan
2
Setelah Penggorengan
5
0,9
0,1
18
Minyak Kelapa
Sebelum
8 Parut Kering
5
0,1
Penggorengan
3
Setelah Penggorengan
5
0,3
0,1
6
Minyak Kacang
Sebelum
9 Tanah
5
2,3
0,1
46
Penggorengan
4
Setelah Penggorengan
5
0,2
0,1
4
Minyak Kemiri Sebelum
10
5
0,1
Penggorengan
5
Setelah Penggorengan
5
1
0,1
20
Lemak Ayam
Sebelum
11
5
1,5
0,1
30
Penggorengan
6
Setelah Penggorengan
5
0,2
0,1
4
Lemak Sapi
Sebelum
12
5
0,1
Penggorengan
Sumber: Laporan Sementara
Ke
l

Sampel

Pada praktikum Acara III Uji Kerusakan Minyak ini sampel


didapat dari ekstraksi minyak praktikum sebelumnya. Penentuan angka
peroksida pada praktikum ini dilakukan dengan metode titrasi. Metode
titrasi tersebut menggunakan larutan Na2S2O3. Penentuan angka peroksida
ini dilakukan dengan menambahkan 5 gram sampel minyak dengan 30 ml
asam asetat-kloroform (3:2), 0,5 ml larutan KI jenuh dan 30 ml aquades,
kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N sampai warna kuning hampir
hilang dan ditambah dengan larutan pati 1% lalu titrasi dilanjutkan sampai
warna biru hilang. Terbentuknya warna biru setelah penambahan amilum
dikarenakan struktur molekul amilum yang berbentuk spiral, sehingga
akan mengikat molekul iodin maka terbentuklah warna biru.
Tujuan pengujian bilangan peroksida adalah untuk menentukan
nilai peroksida lemak dan minyak yang biasa digunakan sebagai indikator

ketengikan

oksidatif.

Bilangan

peroksida

didefinisikan

sebagai

miliekuivalen peroksida per kilogram lemak yang ditentukan melalui


prosedur titrasi untuk mengukur jumlah peroksida atau kelompok
hidroperoksida dalam lemak dan minyak. Untuk mengetahui jumlah lemak
atau minyak, kelebihan kalium iodida ditambahkan, yang kemudian akan
bereaksi dengan peroksida dalam sampel. Iodin yang dibebaskan dititrasi
dengan natrium tiosulfat standar menggunakan indikator pati. Perhitungan
jumlah kalium iodida yang diperlukan untuk bereaksi dengan peroksida
digunakan untuk menentukan nilai peroksida (Nielsen, 2010).
Peroksida terbentuk dikarenakan adanya proses oksidasi lemak dan
minyak yang terdiri dari tiga tahap utama, yaitu inisiasi, propagasi dan
terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal asam lemak,
yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan
reaktif akibat hilangnya satu atom hidrogen. Tahap propagasi, radikal asam
lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksida.
Radikal peroksida lebih lanjut akan menyerang asam lemak menghasilkan
hidroperoksida dan radikal asam lemak baru (Effendi, 2009).
Berdasarkan data praktikum, seluruh sampel mengalami kerusakan
dengan adanya angka peroksida kecuali minyak sebelum penggorengan
dari minyak kelapa parut basah, minyak kelapa parut kering, minyak
kemiri dan lemak sapi. Sedangkan urutan angka peroksida dari yang
tertinggi hingga terendah adalah minyak kacang tanah sebelum
penggorengan, lemak ayam sebelum penggorengan, minyak kelapa parut
basah setelah penggorengan, lemak ayam setelah penggorengan, minyak
kelapa parut kering setelah penggorengan, minyak kacang tanah setelah
penggorengan, lemak sapi setelah penggorengan dan minyak kemiri
setelah penggorengan. Penyimpangan terjadi pada sampel minyak kacang
tanah dan lemak ayam sebelum penggorengan lebih tinggi angka
peroksidanya dibanding setelah penggorengan. Penyimpangan mungkin
disebabkan pada saat setelah ditetesi larutan amilum, penggojogan sampel
kurang kuat dan sampel terpapar oksigen sehingga mempercepat

terjadinya oksidasi. Selain itu angka peroksida pada sampel lemak ayam
setelah penggorengan lebih besar daripada sampel minyak kelapa parut
kering, minyak kacang tanah, minyak kemiri setelah penggorengan. Hal
tersebut dimungkinkan karena dalam pengujian, lemak ayam berwujud
semi padat sehingga diperlukan pemanasan setiap proses uji. Akibatnya
lemak ayam menjadi cepat rusak bila dibandingkan sampel lain.
Standar bilangan peroksida maksimal yang diperkenankan oleh
Codex Stan 19-1981 (rev. 2-1999) adalah sebesar 3 mek/kg minyak VCO
(Mulyadi, 2011). Sedangkan menurut standar bilangan peroksida minyak
goreng di Indonesia adalah max 2 mg eq/gram (SNI 01-3741-2002 Standar
Mutu Minyak Goreng). Maka seluruh sampel yang digunakan dalam
praktikum tidak memenuhi standar kecuali minyak sebelum penggorengan
dari minyak kelapa parut basah, minyak kelapa parut kering, minyak
kemiri dan lemak sapi. Disarankan agar tidak digunakan karena kandunga
peroksida yang sangat tinggi dapat mengganggu kesehatan konsumen.
Tingginya angka/jumlah peroksida dipengaruhi oleh kandungan
asam lemak dalam lemak atau minyak. Asam lemak tidak jenuh lebih
mudah mengalami oksidasi dibanding asam lemak jenuh sehingga
menghasilkan senyawa peroksida yang lebih tinggi. Pada sampel minyak
nabati, terdapat banyak ikatan rangkap. Semakin banyak ikatan rangkap
yang terdapat pada suatu asam lemak, maka stabilitas oksidatif asam
lemaknya semakin rendah. Asam lemak yang terdapat dalam minyak
nabati didominasi asam lemak tak jenuh yang mudah teroksidasi
menimbulkan

bau

tengik

sehingga

masa

simpannya

pendek

(Muhammad, 2011). Minyak kelapa parut didominasi asam laurat yang


merupakan asam lemak jenuh (Suarsana, 2012). Minyak kacang tanah
didominasi asam oleat yang merupakan asam lemak tidak jenuh
(Andaka, 2009). Minyak kemiri didominasi asam linoleat yang merupakan
asam lemak tidak jenuh (Ginting, 2008). Lemak ayam didominasi asam
oleat yang merupakan asam lemak tidak jenuh (Hermanto, 2007). Lemak
sapi didominasi asam oleat yang merupakan asam lemak tidak jenuh

(Witradharma, 2012). Kandungan peroksida yang telah ada dalam sampel


dapat mempercepat reaksi oksidasi sampel dan menaikkan angka
peroksida. Maka semakin banyak kandungan asam lemak tidak jenuh akan
menaikkan angka peroksida.
Hubungan antara angka peroksida dan kerusakan minyak adalah
berbanding lurus. Semakin besar bilangan peroksida maka semakin besar
pula kerusakan minyak, dan sebaliknya. Faktor yang mempengaruhi
kerusakan minyak antara lain adanya pemanasan, antioksidan dan
prooksidan, adanya kandungan logam, asal minyak, cara ekstraksi minyak.
2.

Penentuan Asam Lemak Bebas (FFA)


Tabel 3.2 Penentuan Asam Lemak Bebas (FFA)
Ke
Berat
Sampel
l
Sampel (gr)
1 Minyak Kelapa Setelah Digoreng
20
Parut
Basah
7
Sebelum Digoreng
20
2 Minyak Kelapa Setelah Digoreng
20
8 Parut Kering
Sebelum Digoreng
20
3 Minyak Kacang Setelah Digoreng
20
9 Tanah
Sebelum Digoreng
20
4
Setelah Digoreng
20
Minyak Kemiri
10
Sebelum Digoreng
20
5
Setelah Digoreng
20
Lemak Ayam
11
Sebelum Digoreng
20
6
Setelah Digoreng
20
Lemak Sapi
12
Sebelum Digoreng
20
Sumber: Laporan Sementara

NaOH
(ml)
3,2
1,8
4,4
3,5
2,5
5,5
37,25
39,05
2,5
3,7
37,25
4

%
FFA
0,32
0,13
0,44
0,35
0,35
0,78
5,18
5,45
0,35
0,52
5,18
0,40

Angka
Asam
0,896
0,504
1,232
0,980
0,701
1,543
10,482
11,129
0,701
1,038
0,336
0,796

Penentuan asam lemak bebas pada praktikum ini dengan metode


titrasi. Sampel tersebut dititrasi menggunakan larutan NaOH 0,1 N.
Sebelum di lakukan titrasi, 20 gram sampel minyak ditambah dengan 50
ml etanol dan 3 tetes indikator phenolphthalein (pp) untuk menandai
perubahan warna pada saat titrasi. Titrasi minyak dengan larutan NaOH
diakhiri setelah terbentuk warna merah jambu yang tidak hilang selama 30
detik. Penambahan etanol berfungsi mengoptimalkan pelarutan minyak,
pewarna merah dengan alkali dan phenolphthalein agar terjadi reaksi
esterifikasi supaya menjadi lilin sehingga tidak larut di lemak. Lemak dan
minyak tidak larut air tetapi larut dalam pelarut organik seperti etanol.

Etanol bersifat polar akan lebih mudah melarutkan asam lemak bebas yang
bersifat non polar dan larut dalam minyak dapat larut pada fase yang sama
dengan NaOH. Larutan NaOH ini bersifat polar, sehingga pada saat titrasi
asam lemak bebas dengan NaOH dapat berinteraksi, karena etanol ini
gugus OH sifatnya hidrofil (suka air) dan rantai karbon CH 3CH2 bersifat
hidrofob.
Angka asam dinyatakan sebagai jumlah milligram KOH yang
diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam 1
gram minyak atau lemak. Angka asam menjadi parameter penting dalam
penentuan kualitas minyak dan lemak dengan menunjukkan kadar asam
lemak bebas. Asam lemak bebas dapat berasal dari reaksi hidrolisa, reaksi
kimia, pemanasan, proses fisika atau reaksi enzimatis ataupun karena
proses pengolahan minyak dan lemak yang kurang baik. Maka semakin
tinggi angka asam menunjukkan semakin tingginya minyak atau lemak
yang terhidrolisis atau mengalami kerusakan.
Hubungan antara angka asam dan kadar asam lemak bebas (FFA)
berbanding lurus. Nilai FFA menunjukkan korelasi antara angka asam
dibandingkan dengan faktor konversi yang sesuai dengan asam lemak
dominan pada minyak atau lemk. Standar angka asam minyak goreng
menurut SNI adalah max 2 mg KOH/g.
Sampel minyak yang berbeda berpengaruh terhadap angka asam.
Sebelum menentukan besarnya angka asam setiap sampel minyak,
dihitung % FFA masing-masing sampel terlebih dulu. Setelah itu, angka
asam minyak dihitung cara mengalikan % FFA dengan faktor konversi.
Faktor konversi untuk minyak berbeda-beda tergantung asam lemak
penyusunnya yang dominan. Faktor konversi untuk asam oleat adalah
1,99; faktor konversi untuk asam laurat adalah 2,80; dan faktor konversi
untuk asam linoleat adalah 2,01. Minyak kelapa parut didominasi asam
laurat. Minyak kacang tanah, lemak ayam dan lemak sapi didominasi asam
oleat. Minyak kemiri didominasi asam linoleat. Sama seperti di atas,
minyak atau lemak yang mengandung asam lemak tidak jenuh lebih

mudah mengalami kerusakan dibanding asam lemak jenuh menghasilkan


asam lemak bebas yang lebih besar.
Berdasarkan data praktikum, urutan asam lemak bebas (%FFA)
dari tertinggi hingga terendah adalah minyak kemiri sebelum digoreng,
minyak kemiri setelah digoreng, lemak sapi setelah digoreng, minyak
kacang tanah sebelum digoreng, lemak ayam sebelum digoreng, minyak
kelapa parut kering setelah digoreng, lemak sapi sebelum digoreng,
minyak kelapa parut kering sebelum digoreng, minyak kacang tanah
setelah digoreng, lemak ayam setelah digoreng, minyak kelapa parut basah
setelah digoreng dan minyak kelapa parut basah sebelum digoreng.
Keberadaan asam lemak bebas dalam lemak/minyak biasanya dijadikan
indikator awal terjadinya kerusakan lemak/minyak karena proses
hidrolisis. Berdasarkan SNI 3741-1995 standar mutu minyak goreng
dengan persyaratan asam lemak bebas sebesar maksimal 0,3%. Maka
minyak atau lemak yang tidak memenuhi standar adalah semua sampel
minyak atau lemak kecuali minyak kelapa parut basah sebelum digoreng.
Sedangkan urutan angka asam dari tertinggi hingga terendah
adalah minyak kemiri sebelum digoreng, minyak kemiri setelah digoreng,
minyak kacang tanah sebelum digoreng, minyak kelapa parut kering
setelah digoreng, lemak ayam sebelum digoreng, minyak kelapa parut
kering sebelum digoreng, minyak kelapa parut basah setelah digoreng,
lemak sapi sebelum digoreng, minyak kacang tanah setelah digoreng,
lemak ayam setelah digoreng, minyak kelapa parut basah sebelum
digoreng dan lemak sapi setelah digoreng. Menurut SNI 3741-2002,
bilangan asam pada mutu I maksimal 0,6 mg KOH/g dan mutu II
maksimal 2 mg KOH/g. Maka minyak atau lemak yang tidak memenuhi
standar mutu I adalah minyak kelapa parut basah sebelum digoreng dan
lemak sapi setelah digoreng. Sedangkan yang memenuhi standar mutu II
adalah minyak kacang tanah sebelum dan setelah digoreng, minyak kelapa
parut kering sebelum dan setelah digoreng, lemak ayam sebelum dan
setelah digoreng, minyak kelapa parut basah setelah digoreng dan lemak

sapi sebelum digoreng. Sedangkan sampel yang tidak memenuhi standar


adalah minyak kemiri sebelum dan setelah digoreng.
Ada banyak penyimpangan yang terjadi selama praktikum seperti
%FFA yang lebih besar antara sampel sebelum penggorengan dibanding
setelah penggorengan pada sampel kacang tanah, kemiri dan lemak ayam
atau lebih besar lemak sapi yang lebih tinggi dibanding sampel nabati. Hal
ini mungkin disebabkan pada saat titrasi, larutan belum mencapai
perubahan warna yang semestinya sehingga mempengaruhi perhitungan
angka asam serta sampel yang sama berasal dari sumber yang berbeda.
Faktor yang mempengaruhi besar angka asam adalah besar kerusakan pada
minyak, besar normalitas dan volume NaOH yang digunakan saat titrasi
dan berat molekul asam lemak.
3.

Penentuan Bilangan TBA


Tabel 3.3 Penentuan Bilangan TBA
Ke
l

Sampel

1 Minyak Kelapa Sebelum Digoreng


7 Parut Basah
Setelah Digoreng
2 Minyak Kelapa Sebelum Digoreng
8 Parut Kering Setelah Digoreng
3 Minyak
Sebelum Digoreng
9 Kacang Tanah Setelah Digoreng
4
Sebelum Digoreng
Minyak Kemiri
10
Setelah Digoreng
5
Sebelum Digoreng
Minyak Ayam
11
Setelah Digoreng
6
Sebelum Digoreng
Minyak Sapi
12
Setelah Digoreng
Sumber: Laporan Sementara

Absorbansi
1
0,1583
0,0521
0,3207
0,0168
0,3178
0,1128
0,7804
0,1128
0,3945
0,2423
0,1708
0,0798

2
0,1594
0,0536
0,3209
0,0178
0,3178
0,1130
0,7817
0,1130
0,3945
0,2423
0,1708
0,0798

3
0,1595
0,0537
0,3208
0,0197
0,3178
0,1132
0,782
0,1132
0,3945
0,2423
0,1708
0,0798

Rata-rata
TBA
Absorbansi
0,1583
0,0531
0,3208
0,0181
0,3178
0,1130
0,7814
0,1130
0,3945
0,2423
0,1708
0,0798

Uji Thio Barbituric Acid (TBA) dipakai untuk menentukan adanya


ketengikan. Lemak yang tengik akan bereaksi dengan Thio Barbituric
Acid menghasilkan warna merah. Intensitas warna menunjukkan derajat
ketengikan (Winarno, 2004). Semakin tinggi bilangan TBA maka tingkat
oksidasi lemak/minyak semakin tinggi, maka kerusakan minyak pun
semakain besar. Pada reaksi oksidasi lemak, komponen hasil dekomposisi

0,370
0,124
0,751
0,042
0,744
0,264
1,828
0,264
0,876
0,577
0,4
0,187

lemak yang terbentuk adalah malonaldehid, yang merupakan senyawa


turunan aldehid. Adanya malonaldehid pada sampel minyak menunjukkan
bahwa sampel telah mengalami oksidasi lanjut. Senyawa malonaldehid
yang terbentuk akan bereaksi dengan pereaksi TBA dan menghasilkan
pigmen warna merah. Intensitas warna merah ini kemudian diukur secara
spektroskopis pada panjang gelombang 528 nm. Hasil pengukuran yang
didapat dinyatakan sebagai bilangan TBA yang nilainya setara dengan
jumlah malonaldehid pada sampel.
Berdasarkan data praktikum, urutan sampel yang memiliki
bilangan TBA dari tertinggi hingga terendah adalah minyak kemiri setelah
digoreng, lemak ayam setelah digoreng, minyak kelapa parut kering
setelah digoreng, minyak kacang tanah setelah digoreng, lemak ayam
sebelum digoreng, lemak sapi setelah digoreng, minyak kelapa parut basah
setelah digoreng, minyak kacang tanah sebelum digoreng, minyak kemiri
sebelum digoreng, lemak sapi sebelum digoreng, minyak kelapa parut
basah sebelum digoreng dan minyak kelapa parut kering sebelum
digoreng.

Pada semua

sampel menunjukkan

nilai TBA setelah

penggorengan lebih tinggi daripada sebelum penggorengan. Hal tersebut


sudah sesuai dengan teori karena minyak setelah diberi perlakuan
penggorengan akan mengalami kerusakan yang lebih besar.
Perhitungan angka TBA sesuai rumus:
Angka TBA = (3 x A528 x 7,8)/(Berat sampel (g)).
Menurut SNI 01-2352-1991, produk dengan kandungan lemak tinggi
dikatakan baik apabila memiliki nilai TBA kurang dari 3 mg
malonaldehid/kg sampel. Minyak kelapa parut didominasi asam laurat.
Minyak kacang tanah, lemak ayam dan lemak sapi didominasi asam oleat.
Minyak kemiri didominasi asam linoleat. Sama seperti di atas, minyak
atau lemak yang mengandung asam lemak tidak jenuh lebih mudah
mengalami kerusakan dibanding asam lemak jenuh menghasilkan senyawa
malonaldehid yang lebih besar.

E. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum Acara III. Uji Kerusakan Minyak yang telah
dilakukan, dapat diambil kesimpulan:
1. Kerusakan minyak dapat diketahui dengan menghitung angka peroksida,
angka asam dan bilangan TBA.
2. Standar bilangan peroksida menurut Codex Stan adalah maksimal 3
mek/kg, sedangkan menurut SNI adalah maksimal 2 mg eq/gram
3. Hubungan antara angka peroksida terhadap kerusakan minyak adalah
berbanding lurus.
4. Standar %FFA menurut SNI adalah maksimal 0,3%, sedangkan standar
angka asam mutu I maksimal 0,6 mg KOH/g dan mutu II maksimal 2 mg
KOH/g.
5. Hubungan antara angka asam dan kadar asam lemak bebas (%FFA)
terhadap kerusakan berbanding lurus.
6. Standar bilangan TBA menurut SNI adalah kurang dari 3 mg
malonaldehid/kg sampel.
7. Hubungan antara bilangan TBA terhadap kerusakan berbanding lurus.

DAFTAR PUSTAKA

Abiona, O.O. 2011. Comparative Study on Effect of Frying Process on The Fatty
Acid Profile of Vegetable Oil and Palm Oil. E-International Scientific
Research Journal, ISSN: 2094-1749 Volume: 3 Issue: 3, 2011.
Andaka, G. 2009. Optimasi Proses Ekstraksi Minyak Kacang Tanah dengan
Pelarut N-Heksana. Jurnal Teknologi, Volume 2 Nomor 1 , Juni 2009,
80-88.
Dostlov, J. 2009. Oxidative Changes of Vegetable Oils during Microwave
Heating. Czech Journal Food Science, Vol. 23, No. 6: 230239.
Effendi, M. S. 2009. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Alfabeta.
Bandung.
Ginting, M. 2008. Sintesis dan Karakterisasi Senyawa Polihidroksi yang
Diperoleh Melalui Epoksidasi Minyak Kemiri. Jurnal Penelitian MIPA,
Volume 2, Nomor 1 Juni 2008.
Hermanto, S. 2009. Profil dan Karakteristik Lemak Hewani (Ayam, Sapi dan
Babi) Hasil Analisa FTIR dan GCMS. Jurnal Teknologi Pangan, Vol. 21,
No. 8, 2009.
Kalogianni, E.P. 2011. Effect of Repeated Frying on The Viscosity, Density and
Dynamic Interfacial Tension of Palm and Olive Oil. Journal of Food
Engineering 105 (2011) 169179.
Kusrahayu. 2009. Pengaruh Lama Penyimpanan Krim Susu yang Ditambah
Ekstrak Kecambah Kacang Hijau terhadap Angka Thiobarbituric Acid
(TBA), Kadar Lemak dan Kadar Protein. Seminar Nasional Kebangkitan
Peternakan Semarang, 20 Mei 2009.
Mulyadi, A. F. 2011. Perancangan Unit Pengolahan Virgin Coconut Oil (VCO)
Skala Industri Kecil: Kajian Lokasi Tanam dan Lama Waktu Tunda
Kelapa Sebelum Proses. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 12 No. 3
[Desember 2011] 193-200.
Nielsen,

S. S. 2010. Food Analysis


Science+Business Media. New York.

Laboratory

Manual.

Springer

Suarsana, M. 2012. Pemanfaatan Biji Labu dalam Pembuatan Minyak Kelapa


secara Fermentatif. WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11,
No.3 April 2012.
Triwarsita, W. S. A. 2013. Pengaruh Penggunaan Edible Coating Pati Sukun
(Artocarpus Altilis) dengan Variasi Konsentrasi Gliserol sebagai
Plasticizer terhadap Kualitas Jenang Dodol Selama Penyimpanan.
Jurnal Teknosains Pangan Vol 2 No 1 Januari 2013.

Wijayanti, H. 2012. Pemanfaatan Arang Aktif dari Serbuk Gergaji Kayu Ulin
untuk Meningkatkan Kualitas Minyak Goreng Bekas. Konversi, Volume 1
No.1, Oktober 2012.
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Witradharma, T. W. 2012. Pengaruh Konsumsi Berbagai Jenis Asam Lemak
terhadap Indikator Kejadian Aterogenesis pada Tikus Jantan Strain
Wistar. Jurnal Teknologi Pangan Vol. 7, No. 12 Mei 2012.

LAMPIRAN
Perhitungan:
1.

Penentuan Angka Peroksida = -

2.

Penentuan Asam Lemak Bebas (FFA)


faktor =

berat mol KOH


berat molekul asamlemak /10
56,01
X /10

2,80 =

56,01 x 10
2,8

X = 200,36
FFA=

ml NaOH x N NaOH x BM Asam Lemak


x 100
berat sampel ( g r ) x 1000

%FFA=

3,5 ml x 0,1 N x 200,036


100
20 x 1000

= 0,35%
Angka Asam = faktor x %FFA
= 2,08 x 0,35%
= 0,98
3.

Penentuan Bilangan TBA


Bilangan TBA =
=

7,8 x D x 3
berat sampel
7,8 x 0,0181 x 3
10

= 0,042

Vous aimerez peut-être aussi