Vous êtes sur la page 1sur 22

1

KEUNGGULAN DAYA SAING DAN TEKNIK IDENTIFIKASI


KOMODITAS UNGGULAN DALAM MENGEMBANGKAN
POTENSI EKONOMI REGIONAL
Oleh: Arief Daryanto, PhD1
I. PENDAHULUAN
Pembangunan wilayah (regional development) pada dasarnya
adalah pelaksanaan pembangunan nasional pada suatu wilayah yang
telah disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial serta ekonomi
dari wilayah tersebut, serta tetap menghormati peraturan perundangan
yang telah ditetapkan. Menurut Setyawan (2004) bias kebijakan
pembangunan yang hanya bertumpu pada kemampuan sektoral,
apabila ditinjau dari ekonomi wilayah akan menimbulkan dua masalah.
Pertama, kemungkinan terjadinya disintegrasi struktur perekonomian
dalam pengertian struktur perekonomian cenderung lebih berkembang
dan terpusat hanya pada satu wilayah. Bila hal itu berlangsung untuk
waktu yang lama atau dalam jangka panjang dapat menimbulkan
hubungan yang bersifat eksploitatif antara satu wilayah dengan
wilayah

lainnya.

sumberdaya

Kedua,

nasional

yang

dikhawatirkan

akan

disebabkan

kurang

terjadi

misalokasi

dimanfaatkannya

keunggulan komparatif wilayah (regional competitive advantage),


sehingga untuk jangka panjang akan melemahkan potensi suatu
wilayah untuk berkembang.
Selama ini pembangunan yang dilaksanakan terlalu bersifat
megeneralisasi keadaan dan permasalahan yang ada. Artinya terjadi
keseragaman arahan pembangunan sebagai konsekuensi dari kuatnya
sifat sentralistik dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
yang diimplementasikan di daerah.

Ketimpangan yang begitu besar

terjadi antara daerah Jawa dan Luar Jawa sehingga kesan Javanistic
lebih dominan dalam pembangunan Indonesia. Munculnya terminologi
1

Direktur Kerjasama dan Pengembangan Magister Manajemen Agribisnis IPB dan Kepala Bagian Ekonomi
Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian IPB.

Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia sebagai rasa


ketidakpuasan dari hasil pembangunan yang terlalu condong dan
berpihak ke kawasan barat. Kesenjangan juga terjadi antara kawasan
perkotaan dan kawasan pedesaan. Perbedaan kecepatan pertumbuhan
telah menyebabkan terjadinya kesenjangan kemajuan pembangunan
antar wilayah dalam berbagai hal.

Disparitas pembangunan antar

daerah dapat dilihat dari kesenjangan dalam (a) pendapatan per


kapita, (b) kualitas sumberdaya manusia, (c) ketersediaan sarana dan
prasarana

seperti

transportasi,

energi

dan

telekomunikasi,

(d)

pelayanan sosial seperti kesehatan, pendidikan dsb., serta (e) akses ke


perbankan. Menurut Daryanto (2004), kesenjangan pembangunan
antar daerah yang terjadi selama ini terutama disebabkan oleh (a)
distorsi

perdagangan

antar

daerah,

(b)

distorsi

pengelolaan

sumberdaya alam, dan (c) distorsi sistem perkotaan-perdesaan.


Dalam kajian regional, aspek local spesific sangat diperhatikan.
Paradigma pembangunan wilayah saat ini perlu memperhatikan local
spesific wilayah yang dapat meningkatkan potensi wilayah tersebut
dan yang tidak hanya sekedar memanfaatkan keunggulan komparatif
tetapi juga mempunyai keunggulan kompetitif yang tinggi.
Konsep pembangunan pada suatu wilayah harus tetap mengacu
pada kondisi wilayah itu sendiri (inward looking). Pemilihan prioritas
pembangunan yang mengacu pada kebutuhan masyarakat pada
hakikatnya kesejahteraan masyarakatlah yang diutamakan. Konsep
pembangunan dengan berbagai dimensi yang diterapkan pada suatu
wilayah

sering

menemukan

kenyataan

bahwa

konsep

tersebut

memerlukan modifikasi atau penyesuaian ke arah karakteristik lokal


(local spesific).
Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan
tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif semata berupa
kekayaan alam yang berlimpah, upah tenaga kerja murah, dan posisi
strategis, saat ini sulit untuk dipertahankan lagi.

Daya saing tidak

dapat diperoleh dari misalnya faktor upah rendah atau tingkat bunga
rendah, tetapi harus pula diperoleh dari kemampuan untuk melakukan

perbaikan dan inovasi secara berkesinambungan.

Porter (1990)

menyatakan bahwa faktor keunggulan komparatif telah dikalahkan oleh


kemajuan

teknologi.

Namun

demikian,

setiap

wilayah

masih

mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada


biaya produksi yang murah saja, tetapi lebih dari itu, yaitu adanya
inovasi (innovation).
Bagi Indonesia, sumberdaya alam yang dimiliki tidak cukup untuk
menjaga

sustainability

pembangunan,

sehingga

paradigma

baru

pembangunan yang diterjemahkan sebagai pembangunan wilayah,


yang mengarah pada pembentukan keunggulan daya saing perlu digali
dan tentunya setelah itu perlu dan harus diterapkan.
II. DAYA SAING WILAYAH (REGIONAL)
2.1. Definisi
Per definisi, konsep daya saing diekspresikan oleh beberapa
orang dan lembaga dengan cara yang berbeda.

Perbedaan tersebut

tidak terlepas dari pandangan atau konteks yang mereka telaah.


Menurut Porter (1990) bahwa konsep daya saing yang dapat diterapkan
pada level nasional tak lain adalah produktifitas yang didefinisikan
sebagai nilai output yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja. Bank
Dunia menyatakan hal yang hampir sama, yaitu daya saing mengacu
kepada besaran serta laju perubahan nilai tambah per unit input yang
dicapai oleh perusahaan. Kedua definisi di atas mengakui bahwa daya
saing tidak secara sempit mencakup hanya sebatas tingkat efisiensi
suatu perusahaan (mikro perusahaan) tetapi juga mencakup aspek di
luar perusahaan seperti iklim berusaha (business environment) yang
merupakan faktor di luar kendali perusahaan (external) seperti aspek
yang bersifat firm-spesific, region-spesific, atau bahkan countryspesific.
World Economic Forum (WEF), suatu lembaga yang secara rutin
menerbitkan Global Competitiveness Report, mendefinisikan daya

saing nasional sebagai kemampuan perekonomian nasional yang


mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.
Komponennya meliputi kebijakan-kebijakan yang tepat, institusi yang
sesuai, karakterisitik ekonomi lain yang mendukung terwujudnya
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan tersebut.
Di lain pihak, Institute of Management Development (IMD), suatu
lembaga yang menerbitkan World Competitiveness Yearbook secara
rutin, mendefinisikan daya saing nasional sebagai kemampuan suatu
negara dalam menciptakan nilai tambah dalam rangka menambah
kekayaan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik
dan agresivitas, globality dan proximity serta dengan mengintegrasikan
hubungan-hubungan tersebut ke dalam suatu model ekonomi dan
sosial. Dengan kata lain daya saing nasional adalah suatu konsep yang
diharapkan dapat mengidentifikasi peranan negara dalam memberikan
iklim yang kondusif kepada perusahaan-perusahaan dalam rangka
mempertahankan daya saing domestik dan global.
Pada tingkat wilayah di dalam suatu negara (regions), konsep
daya saing daerah didefinisikan Departemen Perdagangan dan Industri
Inggris (UK-DTI), lembaga yang secara rutin menerbitkan Regional
Competitiveness Indicators in United Kingdom, sebagai kemampuan
suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja
yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik dan
internasional. Di lain pihak definisi yang dikemukakan oleh Centre for
Urban and Regional Studies (CURDS) di Inggris adalah kemampuan
sektor bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam menghasilkan
pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata
untuk

penduduknya.

menerbitkan

The

CURDS

merupakan

Competitiveness

suatu

Project:

lembaga
1998

yang

Regional

Benchmarking Report.
Dari dua konsep definisi daya saing yang telah diuraikan di depan
baik daya saing nasional dan daya saing daerah pada prinsipnya
memiliki substansi (esensi) yang sama.
pada cakupan wilayahnya saja.

Perbedaan yang ada hanya

Dalam diskusi daya saing nasional

diakui bahwa pengadopsian konsep daya saing nasional ke dalam


konsep daya saing daerah atau wilayah adalah relevan.
Substansi pengadopsian konsep daya saing nasional ke dalam
konsep

daya

pelaksanaannya

saing

daerah

perlu

memang

dilakukan

relevan,

penyesuaian.

tetapi

dalam

Misalnya

saja,

persaingan atau kompetisi ekonomi antar negara tentunya tidak akan


sama persis dengan kompetisi antar daerah dalam suatu negara.
Berdasarkan uraian konsep dan definisi di atas dapat dikatakan
bahwa

sulit menemukan keseragaman definisi yang utuh. Walau

dengan definisi yang tidak begitu seragam tersebut, para ahli


umumnya mempunyai kesamaan pendapat tentang apa saja yang
harus dilakukan dalam rangka meningkatkan daya saing.

Oleh

karenanya, definisi yang pasti dan disepakati semua pihak tidak lagi
menjadi syarat mutlak dalam rangka mengetahui faktor-faktor apa saja
yang dapat menentukan daya saing suatu negara.
Dengan demikian, pendefinisian daya saing memperhatikan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Cakupan daya saing lebih luas dan tidak sebatas produktifitas atau
efisiensi saja.
2. Pelaku ekonomi (economic agent) berada dalam suatu sistem
ekonomi yang bersinergi.
3. Sasaran peningkatan daya saing suatu perekonomian adalah
bermuara pada meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk.
4. Hakikat daya saing adalah kompetisi.

Oleh karena itu daya saing

tidak akan pernah ada pada suatu perkonomian yang tertutup.


2.2.

Faktor yang Mempengaruhi Keunggulan Daya Saing

Wilayah
Faktor penentu keunggulan daya saing wilayah pada tulisan ini
mengacu

pada

konsep

yang

dikemukakan

oleh

Porter

(1990).

Keunggulan daya saing suatu wilayah ditentukan oleh empat faktor


pokok dan dua faktor penunjang.

Empat faktor produksi yang dimaksud adalah kondisi faktor


produksi

(factor

condition),

kondisi

permintaan

pasar

(demand

condition), industri-industri terkait dan industri pendukung (related and


supporting

industries)

serta

strategi

perusahaan,

persaingan (firm strategy, structure and rivalry).

struktur

dan

Sedangkan faktor

penunjangnya adalah peluang (chance) dan peranan pemerintah (role


of government). Secara ringkas komponen tersebut akan diilustrasikan
di bawah ini dan secara skematis dapat hubungan tersebut dapat
dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Faktor-Faktor Penentu Keunggulan Daya Saing Wilayah


(Diadopsi
dari Porter, 1990)

Hirarki faktor produksi perlu dibuat untuk mengetahui peranan


faktor

Gambar 1.

Faktor-faktor Penentu Keunggulan Daya Saing

Wilayah
(Diadopsi dari Porter, 1990)
1. Kondisi Faktor Produksi

Faktor produksi yang diperlukan dalam menciptakan keunggulan daya


saing antara lain sebagai berikut:
a. Sumberdaya manusia, indikatornya kuantitas, kualitas, gaji,
standar jam kerja dan etika kerja.
b. Sumberdaya alam yang berupa ketersediaan lahan, indikatornya
kuantitas, kualitas, aksesibilitas, harga tanah, air, mineral, serta
iklim dan lokasi.
c. Sumberdaya pengetahuan, indikatornya jumlah ilmuwan dan
teknokrat.
d. Sumberdaya modal, indikatornya jumlah dan besarnya investasi
yang disediakan untuk mendukung produk-produk unggulan
suatu wilayah.
e. Infrastruktur wilayah, indikatornya jenis, kualitas dan biaya
penggunaannya,

termasuk

sistem

jaringan

transportasi,

telekomunikasi dan energi.


Hirarki faktor produksi perlu dibuat untuk mengetahui peranan
factor produksi di dalam menciptakan keunggulan daya saing wilayah.
Hirarki tersebut dapat dikelompokkan ke dalam basic factors dan
advanced factors.

Penciptaan faktor produksi atau factor creation

merupakan hasil yang diciptakan melalui investasi, dengan mekanisme


penciptaannya baik melalui lembaga pendidikan maupun program
pendidikan dan pelatihan. Untuk menciptakan keunggulan daya saing
wilayah, maka jauh lebih baik dan lebih utama melalui mekanisme
penciptaan faktor-faktor produksi dibandingkan dengan faktor-faktor
yang diwariskan (basic factor).
Suatu wilayah yang sukses dalam industrinya adalah wilayah
yang mampu menciptakan dan mengembangkan factor creation yang
dibutuhkan. Wilayah itu akan memiliki keunggulan daya saing dapat
menciptakan faktor-faktor produksi yang terspesialisasi (specialized
factors).

Tidak ada satu wilayah yang dapat menciptakan dan

mengembangkan semua tipe dan jenis faktor produksi. Penentuan tipe


dari faktor produksi yang akan diciptakan dan dikembangkan dan

seberapa

besar

efektifitasnya

sangat

tergantung

pada

kondisi

permintaan lokal, keberadaan industri pendukung dan industri terkait,


tujuan perusahaan dan karakteristik persaingan domestik.
2. Kondisi Permintaan Pasar
Karakteristik kondisi permintaan pasar adalah hal yang penting dalam
menciptakan keunggulan daya saing wilayah, sebagai berikut:
a. Komposisi

permintaan

pasar

domestik.

Pada

umumnya

perusahaan di suatu wilayah permintaan terhadap produk yang


dihasilkannya biasanya tersegmentasi.

Makin besar segmentasi

pasar suatu wilayah maka akan lebih mudah wilayah tersebut


memperoleh

keunggulan

daya

saing

jika

perusahaan-

perusahaannya mampu memenuhi permintaan pembeli domestik.


Perusahaan-perusahaan di suatu wilayah akan meraih keunggulan
jika dapat mengantisipasi permintaan pasar di wilayahnya sendiri.
b. Ukuran dan pola pertumbuhan permintaan pasar domestik yang
meliputi ukuran permintaan pasar domestik, jumlah pembeli
bebas, laju pertumbuhan permintaan pasar domestik, permintaan
awal pasar domestik dan titik jenuh awal.
c. Internasionalisasi

permintaan

pasar

domestik.

Komposisi

permintaan pasar domestik merupakan akar keunggulan suatu


wilayah, sementara ukuran dan pola pertumbuhan permintaannya
dapat

memperkuat

keunggulan

dengan

cara

mempengaruhi

perilaku investasi, waktu dan motivasi atau melalui mekanisme


internasionalisasi permintaan pasar domestik dan mendorong
pemasaran produk ke luar negeri.
3. Industri-industri pendukung dan industri terkait
Industri-industri pemasok yang mempunyai keunggulan daya saing
akan memberikan potensi keunggulan bagi industri di suatu wilayah.
Hal

itu

disebabkan

industri

pemasok

menghasilkan

input

yang

digunakan

secara

internasionalisasi.

meluas

dan

penting

bagi

inovasi

dan

Kehadiran industri yang bersaing secara global

dalam suatu wilayah pada bidang atau sektor yang berkaitan dengan
industri lain dapat memberikan keunggulan daya saing bagi industri
tersebut. Adanya industri yang saling terkait dan bersaing secara
internasional di suatu wilayah akan dapat menciptakan keunggulan
daya saing.
4. Strategi perusahaan, struktur dan persaingan
Faktor penentu ini meliputi strategi dan sruktur perusahaan domestik,
tujuan perusahaan dan individu serta persaingan domestik.
5. Peluang
Suatu sistem akan terbentuk dari resultante faktor penentu keunggulan
daya saing wilayah.

Sistem tersebut dapat terganggu oleh sesuatu

sebab baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Misalnya,


tindakan penemuan (invention), perubahan besar dalam bioteknologi
dan mikroelektronik,

terjadinya perubahan besar dalam biaya input

dan terjadinya perang serta bencana alam.


6. Peranan Pemerintah
Pada dasarnya peranan pemerintah hanya sebatas mempengaruhi
kondisi faktor produksi, kondisi permintaan pasar (melalui kebijakan
moneter dan keuangan), dan mengatur perdagangan.
pemerintah

tidak

dapat

menciptakan

keunggulan

daya

Berarti,
saing.

Pengaruh yang dapat diberikan pemerintah terhadap keempat faktor


pokok penentu keunggulan daya saing adalah sebagai berikut:
a. Kondisi faktor produksi dipengaruhi melalui kebijakan-kebijakan
publik seperti subsidi dan kebijakan pendidikan.

10

b. Kondisi permintaan pasar dipengaruhi melalui penentuan standar


produk lokal.
c. Industri-industri terkait dan pendukung di dalam suatu wilayah
dipengaruhi dengan melakukan pengontrolan terhadap media
periklanan maupun melakukan regulasi yang diperlukan.
d. Strategi perusahaan, struktur dan persaingan dipengaruhi melalui
berbagai perangkat lunak seperti regulasi pasar modal, kebijakan
pajak dan antitrust.

2.3. Tahap Perkembangan Keunggulan Daya Saing Wilayah


Perkembangan keunggulan daya saing dapat dikelompokkan ke
dalam empat tahap, yaitu factor-driven, investment-driven, innovationdriven

dan

wealth-driven.

Tiga

tahapan

yang

pertama

menggambarkan peningkatan keunggulan daya saing suatu wilayah,


sedangkan tahap yang terakhir merupakan tahap di mana wilayah
sudah mengalami penurunan keunggulan daya saingnya.
Pada tahap factor-driven, keunggulan daya saing suatu wilayah
sebagian besar bersumber dari basic factor, seperti sumberdaya alam
berlimpah dan tenaga kerja murah.

Di lain pihak, pada tahapan

investment-driven, keunggulan daya saing muncul karena dipacu oleh


investasi yang besar dari perusahaan lokal dan transnasional dalam
rangka membangun industri berteknologi tinggi, berskala besar,
modern dan efisien. Pada tahap ini belum sampai pada tahap state-ofthe-art.
Pada tahap innovation-driven, sumber keunggulan daya saing
suatu wilayah berasal dari tingkat produktifitas tenaga kerja yang
terampil dan pemanfaatan teknologi tinggi yang telah mencapai tahap
state-of-the-art.

Pada tahap ini suatu wilayah tidak hanya mampu

melakukan improvement terhadap teknologi yang sudah ada, tetapi


juga sanggup menciptakan teknologi baru.

Tahap terkahir wealth-

11

driven merupakan tahap di mana keunggulan daya saing

mulai

menurun karena tingkat kemakmuran masyarakatnya sudah tercapai.


Dalam upaya meningkatkan keunggulan daya saing maka suatu
wilayah harus melakukan hal-hal berikut:
1. Mengupayakan meningkatnya penciptaan faktor-faktor produksi
2. Meningkatkan motivasi bekerja, keuntungan serta skala usaha
3. Meningkatkan persaingan domestik
4. Meningkatkan kualitas permintaan
5. Meningkatkan kemampuan menciptakan peluang-peluang usaha
baru.

III. IDENTIFIKASI KOMODITAS UNGGULAN


3.1. Pengertian dan Konsep
Konsep pengembangan wilayah secara garis besar terbagi atas
empat, sebagai berikut (Komet, 2000).
1. Pengembangan wilayah berbasis sumberdaya
Sumberdaya merupakan semua potensi yang dimiliki oleh alam dan
manusia. Bentuk sumberdaya tersebut yaitu tanah, bahan mentah,
modal, tenaga kerja, keahlian, keindahan alam maupun aspek sosial
budaya.
2. Pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan
Penekanan konsep ini pada motor penggerak pembangunan wilayah
pada komoditas yang dinilai dapat menjadi unggulan atau andalan,
baik di tingkat domestik dan internasional.
3. Pengembangan wilayah berbasis efisiensi
Penekanan pada konsep ini adalah pengembangan wilayah melalui
pembangunan bidang ekonomi yang mempunyai porsi lebih besar
dibandingkan

bidang-bidang

lainnya.

Pembangunan

ekonomi

12

tersebut dijalankan dalam kerangka pasar bebas atau pasar


persaingan sempurna (free market mechanism).
4. Pengembangan wilayah menurut pelaku pembangunan
Strategi pengembangan wilayah ini mengutamakan peranan setiap
pelaku pembangunan ekonomi (rumah tangga, lembaga sosial,
lembaga keuangan dan bukan keuangan, pemerintah maupun
koperasi).
3.2. Konsep Kompetensi Inti (Core Competence)
Kompetensi inti dalam konteks pengembangan wilayah
merupakan upaya dalam mengkoordinasikan dan mengintegrasikan
sektor-sektor yang berkembang di wilayah tertentu.

Semakin baik

pengkoordinasian dan pengintegrasian tersebut maka akan semakin


tinggi upaya penciptaan kompetensi inti, yang berimplikasi pada
sulitnya wilayah lain untuk bersaing dengannya.
Keunggulan bersaing atau daya saing suatu wilayah tercipta jika
kawasan tersebut memiliki kompetensi inti (core competence) yang
dapat dibedakan dari wilayah lainnya.

Kompetensi inti dapat diraih

melalui creation of factor, yaitu upaya menciptakan berbagai faktor


produksi yang jauh lebih baik dibandingkan para pesaingnya.
Kawasan atau wilayah yang telah mencapai tahapan kompetensi
inti memiliki empat atribut, (Board, 1993) seperti dibawah ini.
1. Kemampuan untuk memberikan akses pada variasi pasar yang lebih
luas
2. Kemampuan memberikan kontribusi yang signifikan kepada persepsi
pelanggan atas manfaat yang diperoleh dari barang dan jasa yang
ditawarkan.
3. Kemampuan menghasilkan barang dan jasa unggulan yang sangat
sulit ditiru akan menciptakan hambatan masuk (entry barriers) bagi
kawasan lain untuk memberikan layanan serupa.
4. Kemampuan melakukan koordinasi yang kompleks dari beragam
teknologi dan keahlian terapan.

13

Kata kunci pada kompetensi inti adalah market intelligence. Suatu


wilayah akan dapat bersaing secara global, jika pengambil keputusan
dan dunia usaha dapat mengkaji bagaimana suatu kompetensi inti dan
peluang ekonomi suatu wilayah dapat disesuaikan dengan permintaan
pasar lokal dan ekspor.

Untuk mengadakannya diperlukan dukungan

market intelligence yang mampu memandang ke depan mengenai


pasar serta mampu mengantisipasi adanya kecenderungan konsumsi
dan ekspor.

Market intelligence juga harus mampu menganalisis

perubahan pasar dan pengembangan kompetensi inti itu sendiri agar


permintaan terhadap barang dan jasa dapat dipenuhi di masa datang.
Dengan pemberian otonomi yang besar pada daerah, maka di
masa datang keberhasilan pengembangan wilayah sangat tergantung
pada kebijaksanaan pemerintah daerah terutama dalam menyikapi
perubahan-perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, setiap pemerintah
daerah harus mampu mengembangkan visi pengembangan wilayahnya
masing-masing sesuai dengan nilai, arah dan tujuan yang akan
mengarahkan masa depan wilayah yang bersangkutan. Porter (1990)
menyatakan bahwa penguatan spesialisasi unit-unit kecil wilayah
otonom dapat dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan yakni inovasi dan
pembaharuan. Strategi pengembangan yang didasarkan pada tenaga
kerja yang murah serta besaran skala ekonomi tertentu (economic of
scale) merupakan paradigma yang sudah usang (kuno).
Penguatan kapasitas pada tingkat lokal dapat dicapai dengan
memaksimisasikan keunggulan lokal dan masyarakat yang tinggal di
wilayah

lokal

mengkaitkan

tersebut

merupakan

komponen-komponen

para

kunci

pelaku

pembentuk

kunci
daya

dalam
saing

wilayah. Dalam rangka penguatan kapasitas lokal, berbagai agen-agen


pembangunan baik di Eropa dan USA pada saat ini sibuk memfasilitasi
pengembangan kluster industri (industry cluster), di mana setiap
kluster menspesialisaikan pengembangan keunggulan yang melekat
pada komunitas lokalnya.

14

Profesor Michael Porter dari Harvard University merupakan pemikir


terdepan yang mengembangkan konsep kluster industri.

Porter

mempunyai argumen bahwa keberhasilan ekonomi lokal dan regional


sangat

tergantung

perusahaan

yang

kepada
memiliki

investasi

yang

keunggulan

inovatif,

perusahaan-

internasional

dan

juga

dukungan kualitas infrastruktur sosial dan ekonomi. Istilah industry


cluster kerap digunakan secara bergantian dengan industry precinct.
Istilah yang terakhir berasal dari Eropa, sedangkan istilah yang
pertama dikembangkan oleh Porter dari pengalaman Amerika Serikat.
Konsep kluster industri menyangkut dimensi spasial yang lebih luas dan
bukan hanya pengembangan properti semata.
Definisi kluster industri yang paling sederhana dikemukakan oleh
Dorienger

dan

Terkla

(1995)

sebagai

berikut

geographical

concentrations of industries that gain performance advantages through


co-location.

Definisi ini serupa dengan ekonomi aglomerasi, namun

pada kenyataannya dalam kluster industri yang diamati adalah


aglomerasi ekonomi di dalam kluster industri. Profesor Michael Porter
mempopulerkan

konsep

kluster

industri

Competitive Advantage of Nations (1990).

dalam

bukunya

The

Porter mengembangkan

Diamond of Advantage seperti yang dikemukakan terdahulu untuk


menentukan apakah perusahaan dan industri dalam suatu wilayah
mempunyai keunggulan kompetitif.

Salah satu faktor kunci penentu

keberhasilan kluster industri adalah keberhasilan suatu wilayah dalam


mengidentifikasikan

keberadaan

kluster

industri

yang

akan

dikembangkan.

3.3.

Teknik

Identifikasi

Potensi

Wilayah

dan

Komoditas

Unggulan
Berbeda dengan pendekatan konvensional perencanaan fisik
wilayah yang selama ini yang menekankan kepadatan penduduk,
jumlah penduduk dan struktur kota-kota, pendekatan baru yang akhirakhir ini popular digunakan mengutamakan konsentrasi wilayah

15

produksi dan komoditas unggulan. Penekanan tulisan ini adalah


bagaimana mengembangkan suatu wilayah dengan basis komoditas
unggulan. Beberapa kriteria mengenai komoditas unggulan antara lain
(Alkadri et al., 2001):
1. Harus

mampu

pembangunan

menjadi

penggerak

perekonomian.

utama

Dengan

kata

(prime
lain,

mover)

komoditas

unggulan tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan


pada

peningkatan

produksi,

pendapatan

dan

pengeluaran.

Misalnya, cengkeh di Sulawesi Utara, Kakao di Sulawesi Tenggara


dan minyak bumi dan gas di Nangroe Aceh Darussalam dan
pariwisata di Bali.
2. Mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and
backward linkages) yang kuat, baik sesama komoditas unggulan
maupun komoidtas lainnya.
3. Mampu

bersaing

dengan

produk

sejenis

dari

wilayah

lain

(competitiveness) di pasar nasional dan pasar internasional, baik


dalam harga produk, biaya produksi dan kualitas pelayanan.
4. Memiliki keterkaitan dengan wilayah lain (regional linkages), baik
dalam hal pasar (konsumen) maupun pemasokan bahan baku.
5. Memiliki status teknologi (state-of-the-art) yang terus meningkat,
terutama melalui inovasi teknologi.
6. Mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai
dengan skala produksinya.
7. Dapat bertahan dalam jangka panjang tertentu, mulai dari fase
kelahiran (increasing), pertumbuhan (growth) hingga fase kejenuhan
(maturity) atau penurunan (decreasing).

Jika komoditas unggulan

yang satu memasuki tahap kejenuhan atau penurunan maka


komoditas unggulan lainnya harus mampu menggantikannya.
8. Tidak rentan terhadap gejolak eksernal dan internal.
9. Pengembangannya harus mendapatkan berbagai bentuk dukungan,
misalnya keamanan, sosial, budaya, informasi dan peluang pasar,
kelambagaan, fasilitas insentif/disinsentif dan lain-lain.

16

10. Pengembangannya berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan


lingkungan.
Terdapat

beberapa

mengidentifikasi

atau

cara

atau

mengetahui

teknik

suatu

kuantifikasi

sektor

atau

untuk

komoditas

dikatakan sebagai sektor atau komoditas unggulan. Pada tulisan ini


akan dikemukakan dua cara saja. Cara pertama dengan menghitung
besarnya

indeks

forward

dan

backward

dikatakan pada point kedua di atas.


Tabel Input-Output.

linkage,

sebagaimana

Teknik ini dikenal pada analisis

Keterkaitan ke depan menyatakan akibat dari

suatu sektor atau komoditas tertentu terhadap sektor-sektor yang


menyediakan output bagi sektor tersebut baik secara langsung dan
tidak langsung per unit kenaikan permintaan total,

sedangkan

keterkaitan ke belakang menyatakan akibat dari suatu sektor tertentu


terhadap sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor
tersebut per unit kenaikan permintaan total.
Suatu komoditas atau sektor akan menjadi komoditas unggulan
bila nilai forward linkage dan backward linkage lebih besar dari satu,
dan backward spread effect dan forward spread effect lebih kecil dari
satu.

Kriteria tersebut dikenal dengan nama Rasmussens dual

criterion (Daryanto and Morison, 1992). Dapat dikatakan bahwa teknik


ini untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan sektor atau komoditas
unggulan yang akan dikembangkan terhadap pembangunan sektor
atau komoditas lainnya baik ke depan maupun ke belakang.
Cara identifikasi kedua seperti yang akan dijelaskan di bawah ini
merupakan prosedur yang lebih mudah dan sederhana serta sifatnya
practical.

Penentuan komoditas unggulan didasarkan pada kriteria

tertentu, kemudian kriteria tersebut diberi skor (scoring) agar dapat


disusun prioritas pengembangannya.

Mengingat ketersediaan data

pada skala wilayah yang dirinci menurut sektor, cara scoring tersebut
terbukti sangat bermanfaat.

Walaupun mudah dan praktis tetapi

prosedur seperti ini tentunya memiliki tingkat subyektifitas yang tinggi


dibandingkan teknik backward and forward linkage.

Disamping itu,

17

teknik scoring

hanya menyajikan informasi yang terbatas mengenai

daya saing dan kinerja wilayah.


Kasus teknik scoring seperti di atas diterapkan pada Studi
Penyusunan Rencana Pengembangan Kawasan Andalan kepulauan
Kabupaten Sangihe Talaud, Propinsi Sulawesi Utara pada tahun 2000.
Oleh karenanya ilustrasi untuk menentukan komoditas unggulan yang
relatif lebih mudah tersebut akan menggunakan kasus tersebut.
Kriteria yang digunakan dan bobot penilaiannya (score) dalam
penentuan komoditas unggulan di Sangihe Talaud adalah (Kepel et al.,
2000):
1. Ketersediaan sumberdaya alam
Score: (1) kecil, (2) sedang, (3) besar
2. Ketersediaan sumberdaya buatan
Score: (1) kecil, (2) sedang, (3) baik
3. Ketersediaan sumberdaya manusia
Score: (1) kecil, (2) sedang, (3) besar
4. Kontribusi terhadap perkonomian kawasan,
Score: (1) kecil, (2) sedang, (3) besar
5. Kemungkinan dikembangkan dalam skala ekonomi/industri,
Score: (1) kecil, (2) sedang, (3) besar
6. Penyerapan tenaga kerja,
Score: (1) kecil, (2) sedang, (3) besar
7. Dampak pengembangan spasial
Score: (1) kecil, (2) sedang, (3) besar
8. Potensi pasar lokal,
Score: (1) kecil, (2) sedang, (3) besar
9. Potensi pasar ekspor,
Score: (1) kecil, (2) sedang, (3) besar
10. Hambatan biaya, teknologi dan kelembagaan,
Score: (1) besar, (2) sedang, (3) kecil
Berdasarkan kriteria tersebut, maka dapat dilakukan penilaian
secara komparatif seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Dari tabel

18

tersebut tampak bahwa komoditas kelapa menempati urutan pertama


sebagai komoditas unggulan, karena mempunyai skor total yang
tertinggi (28).

Komoditas lain yang potensial menjadi komoditas

unggulan adalah pala (26), ikan (26), cengkeh (24) dan wisata bahari
(21). Implikasinya adalah kegiatan ekonomi dan investasi selayaknya
diarahkan kepada sektor atas komoditas unggulan tersebut.
[Sisipkan Tabel 1 di sini]
3.4. Kriteria Produk Unggulan Local-Spesific
Pada uraian berikut menyajikan beberapa kriteria produk atau
komoditas

unggulan

yang

sifatnya

local-spesific,

yang

telah

dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Riau, Jawa Barat dan


DKI Jakarta.
Kriteria Produk Unggulan: Propinsi Riau

Dukungan

SDA

terhadap

pengembangan

industri

yang

menghasilkan produk unggulan tersebut cukup tersedia di daerah


yang bersangkutan.

Mempunyai dampak besar terhadap pengembangan ekonomi dan


industri daerah.

SDM harus mendukung terhadap kebutuhan pengembangan industri


yang bersangkutan, baik ke hulu maupun hilirnya.

19

Kriteria Produk Unggulan: Jawa Barat

Mempunyai kontribusi yang tinggi atau sangat berperan terhadap


industri yang menghasilkan produk unggulan lain.

Mempunyai kontribusi yang besar untuk meningkatkan hasil guna


dan daya guna bagi pengembangan produk unggulan lain.

Mempunyai kontribusi yang tinggi untuk meningkatkan kemampuan


mendiversifikasi produk bagi produk unggulan lain.

Memberi kontribusi yang besar terhadap akumulasi penguasaan


teknologi dan kemampuan perekayasaan sektor industri maupun
sektor ekonomi lainnya.

Memperkuat struktur industri.

Kriteria Produk Unggulan: DKI Jakarta

Memiliki nilai ekspor yang cukup tinggi.

Local content lebih besar dari impor.

Penyerapan tenaga kerja cukup besar.

Mempunyai kontribusi yang tinggi untuk meningkatkan kemampuan


mendiferensiasi produk bagi produk unggulan lain.

Mempunyai kontribusi yang besar terhadap akumulasi penguasaan


teknologi dan kemampuan perekayasaan.

Mempunyai peluang berkembang di kemudian hari.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


Selama ini studi-studi yang membahas tentang globalisasi,
program penyesuaian struktural (structural adjustment program) dan
daya

saing

perekonomian

dilakukan (Porter, 1990).

negara-negara

di

dunia

telah

sering

Namun demikian, daya saing yang bersifat

internasional untuk perekonomian wilayah sangat sedikit dilakukan.


Padahal,

wilayah-wilayah,

bukan

penghela pembangunan ekonomi.

lagi

negara,

yang

merupakan

Oleh karena itu, memahami daya

20

saing saing wilayah menjadi sangat penting bagi setiap wilayah dalam
penyusunan

rencana

strategisnya,

terutama

untuk

memacu

pembangunan ekonomi dan memperluas pasar pada perekonomian


global.
Teknik identifikasi komoditas unggulan dan konsep kluster
industri yang didiskusikan dalam makalah ini sangat bermanfaat bagi
kajian tentang daya saing dan kinerja suatu wilayah.
masalah

besar

yang

dihadapi

dalam

Salah satu

penyusunan

strategi

pengembangan wilayah adalah terbatasnya data perekonomian pada


tingkat wilayah dan lokal. Dengan demikian teknik scoring dan konsep
kulster industri yang disarankan dalam makalah ini dapat digunakan
untuk mengevaluasi mengenai daya saing dan kinerja wilayah.
Hasil kajian yang diperoleh dari analisis kualitatif tersebut dapat
digunakan

sebagai

bahan

masukan

bagi

penyusunan

strategis

pengembangan wilayah. Implikasi penting hasil kajian seperti ini bagi


kebijakan pengembangan wilayah adalah bagaimana mengembangkan
sektor-sektor yang memiliki daya saing dan keterkaitan yang kuat,
dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempunyai peran kunci
dalam mempengaruhi daya saing sektor-sektor dalam perekonomian
suatu wilayah.

21

DAFTAR PUSTAKA
Alkadri, et al. 2001. Manajemen Teknologi untuk Pengembangan
Wilayah.
Edisi Revisi.
Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi. Jakarta.
Board, B.H. 1993. The Art of Strategic Planning for Information
Technology: Crafting Strategy for the 90s. John Wiley & Sons, Inc.
New York.
Daryanto, A. and J.B. Morison. 1992. Structural interdependence in the
Indonesian economy, with emphasis on the agricultural sector,
1971-1985:
an input-output analysis, Mimbar Sosek 6: 74-99.
Daryanto, A. 2004. Disparitas Pembangunan dan Pentingnya
Keterkaitan
Perkotaan-Perdesaan di Indonesia, Sinergi Desa-Kota 1: 10-15.
Doeringer, P.B., and D.G. Terkla. 1995. Business strategy and crossindustry
clusters. Economic Development Quarterly 9: 225-37.
Kepel, et al. 2000. Penyusunan Rencana Pengembangan Kawasan
Andalan Kepulauan Kabupaten Sangihe Talaud. Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi. Jakarta.
Komet, M. 2000. Perencanaan Terpadu Pembangunan Ekonomi Daerah
Otonom, Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free
Press. New York.
Setiawan, B. 2004. Kebijakan dan Strategi Pembangunan PerkotaanPerdesaan di Indonesia: Beberapa Kritik dan Saran Ke Depan,
Sinergi Desa-Kota 1: 23-30.

22

Vous aimerez peut-être aussi