Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
1.1.2
1).
2).
3).
4).
5).
Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun
yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang
erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan (Sjamsuhidajat. R, 1997).
Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari
kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat.
Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan
1.1.3
Fisiologis
30 - 50 %
Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi / mengitari uretra
posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya
kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar
panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri atau jeruk nipis.
Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm.
Beratnya sekitar 20 gram.Prostat terdiri dari : Jaringan Kelenjar 50 - 70 %, Jaringan
Stroma (penyangga), Kapsul/Musculer
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym yang berfungsi
untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di dalam testis yang
membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar prostat akan bekerja memeras
cairan prostat keluar melalui uretra. Sel sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar
melalui uretra. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10 30 % dari ejakulasi. Kelainan pada
prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah keradangan (prostatitis). Kelainan yang
lain sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik jinak maupun ganas, tidak memegang
peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperanan pada terjadinya gangguan aliran
kencing. Kelainanyang disebut belakangan ini manifestasinya biasanya pada laki-laki usia lanjut
(Hudak and Gallo, 1994).
1.1.4
1)
2)
3)
4)
5)
1)
2)
3)
1.1.5 Klsifikasi
Benign Prostatic Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya :
1) Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 2 cm, sisa urine kurang 50
cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
2) Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat, panas badan
tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba, sisa
urine 50 100 cc dan beratnya + 20 40 gram.
3) Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine lebih 100
cc, penonjolan prostat 3 4 cm, dan beratnya 40 gram.
4) Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal seperti
gagal ginjal, hydroneprosis.
1.1.5
Pathofisiologis
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika
prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran uretra
prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal.
Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli
berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus
menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan
klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract
Symptom/LUTS.
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor
berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah. Pada fase
ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan kompensasi
menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari
muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses
miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan
meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya
hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan
ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia
Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam
beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir
sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena bulibuli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah
ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi urine. Retensi urine yang
kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal (Doengoes, Marilyn E.,2000)
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran
urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :
1) Flow rate maksimal 15 ml / dtk = non obstruktif.
1) Flow rate maksimal 10 15 ml / dtk = border line.
2) Flow rate maksimal 10 ml / dtk = obstruktif.
6) Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
1) BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.
2) USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat
juga keadaan buli buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara
transrektal, transuretral dan supra pubik.
3) IVP (Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis.
4) Pemeriksaan Panendoskop : Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli buli. (Doengoes,
Marilyn E. 2000)
1.1.7 Penatalaksanaan
Modalitas terapi BPH adalah :
1). Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 6 bulan kemudian setiap tahun
tergantung keadaan klien
2). Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa
disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi (misalnya: Hipoxis
rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.
3).
1.
2.
3.
4.
Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
1. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
2. Klien dengan residual urin 100 ml.
3. Klien dengan penyulit.
4. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
5. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat 90 - 95 % )
Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
Perianal Prostatectomy
Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
4). Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, Terapi Ultrasonik .
1.1.8
1)
2)
3)
1.2
Komplikasi
Retensi urine akut dan involusi kontraksi kandung kemih
Refluks kandung kemih, hidroureter, dan hidronefrosis
Gross hematuria dan urinary tract infection (UTI)
Tinjauan Teori TURP
1.2.1 Pengertian
Merupakan tindakan operasi reseksi transuretra prostat yang dilakukan tanpa insisi , tetapi
melali penggunaan alat endoskopi
1.2.2 Indikasi
1) Trans Uretral Reseksi Prostat 90 - 95 %
Dilakukan bila pembesaran pada lobus medial.
Keuntungan :
aman pada klien yang mengalami resiko tinggi pembedahan
erlu insisi pembedahan
italisasi dan penyembuhan pendek
Kerugian :
ostat dapat tumbuh kembali
2) Kemungkinan trauma urethra strictura urethra.
1.2.3 Teknik Pelaksanaan Trans Urethral Resection Prostatic :
1. Pasang foto-foto pada light box.
2. Setelah dilakukan anestesi regional atau general klien diletakkan dalam posisi lithotomi.
3. Dilakukan desinfeksi dengan povidone jodine di daerah penis scrotum dan sebagian dari kedua
paha, perut sebatas umbilikus.
4. Persempit lapangan operasi dengan memasang sarung kaki dan doek kecil di bawah scrotum,
doek besar berlubang sehingga penis dan perut kelihatan.
5. Kabel fiber optik di pasang pada cold light fountin standar dan slang irigasi pada resevoir/tabung
air atau pada glisin.
6. Dilatasi uretra dengan bougie roser dari 21 sampai 29 F.
7. Seath 24 F atau 27 F dengan obturator dimasukkan lewat uretra sampai masuk buli-buli.
8. Evaluasi buli-buli apakah ada tumor, batu dan vertikel buli.
9. Working elemen ditarik keluar untuk mengevaluasi prostat (panjangnya prostat yang menutupi
uretra dan leher buli).
10. Selanjutnya dilakukan reseksi prostat sambil merawat perdarahan.
11. Waktu reseksi paling lama 60 menit (bila menggunakan irigan aquades). Dan waktu bisa lebih
lama bila menggunakan irigan glisin. Hal ini untuk menghindari terjadinya Sindroma TURP.
12. Chips prostat dikeluarkan dengan menggunakan elik evakuator sampai bersih, selanjutnya
dilakukan perawatan perdarahan.
13. Kateter Tree Way disiapkan no 24 F tetapi sebelum dipasang balon kateter diisi air 30 40 cc
untuk mengetahui balon kateter bocor atau tidak.
14. Setelah selesai kateter Tree Way no 24 F terpasang, balon kateter diisi 30 sampai 40 cc kemudian
dilakukan traksi kateter pada paha klien dengan menggunakan plaster.
15. Dipasang Spoel Natrium Klorida (PZ) atau Aquades pada kateter Tree Way dengan
menggunakan slang infus (blood tranfution set) dan bag urine.
16. Posisi klien dikembalikan pada posisi semula (sebelum posisi lithotomi).
17. Chips prostat ditimbang untuk mengetahui berat prostat tersebut.
18. Alat sistoskopi dan endourologi dibereskan
19. Klien dirapihkan, dipindahkan ke ruang pemulihan anestesi.lantai III
1.2.4
Intervensi
Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
R/ Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih
Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina
R / Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi
Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
R/ Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan yang dapat mempengaruhi
fungsi ginjal
Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.
R / Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan ginjal ,kandung
kemih dari pertumbuhan bakteri
Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)
1.
3.
5.
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital stabil, nadi perifer
teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat.
Intervensi :
1. Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/.
R/ Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total karena ketidakl cukupan jumlah natrium
diabsorbsi tubulus ginjal.
2. Pantau masukan dan haluaran cairan.
R/ Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
3.
4.
Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan
darah, diaforesis, pucat,
R/ Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi
R/ Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi.
5. Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh: Hb / Ht,
jumlah sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosi
R/
Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan penggantian. Serta dapat
mengindikasikan terjadinya komplikasi misalnya penurunan faktor pembekuan darah,
4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur bedah.
Tujuan :
Pasien tampak rileks.
Kriteria hasil
Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan rentang yang yang tepat
tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
Intervensi :
1) Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya
R/ Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
2) Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
R / Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
3) Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau perasaan.
R/ Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan masalah
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurangnya informasi
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya.
Kriteria hasil
Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu, berpartisipasi dalam program
pengobatan.
Intervensi :
1. Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian.
R / Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
2. Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien
R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan perubahan nyaman nyeri sekunder terhadap
pembedahan
Tujuan : Pasien mampu mempertahankan pola tidur yang adekuat dengan Kriteria Hasil:
- Pasien dapat tidur 78 jam
- Pasien terlihat lebih segar dan lebih rileks
Intervensi
1) Berikan posisi tidur yang nyaman bagi pasien
R : Mengurangi tekanan abdomen dan meningkatkan kenyamanan saat tidur
2) Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tetang
R : Dapat meningkatkan kenyamanan tidur pasien
3) Kurangi kebisingan
R : Dapat meningkatkan kenyamanan tidur
4)
1)
2)
3)
4)
b)
4)
b. Lokal anestesi
Injeksi obat anestesi secara I C dan S C ke jaringan sekitar insisi , luka atau lesi.
c. Field Block
Injeksi secara bertahab pada sekeliling daerah yang dioperasi
( hjerniorraphy , dental prosedur ,bedah plstik )
d. Nerve Block
Injeksi obat anestesi local ke dalam atau sekitar saraf atau saraf yang mempesarafi daerah yang
dioperasi . Block saraf memutus transmisi sensasi ,motor, sympatis.
Tujuan : mencegah nyeri selama prosedur dianostik, mengurangi nyeri dan meningkatkan sirkulasi pada
penyakit vascular.
Contoh : lidocain ( xilocain )
Bupivacain ( makain )
Ephineprin potensiasi
1)
2)
3)
4)
(2) Komplikasi :
Over dosis
Teknik pemberian yang salah
Sensitifitas klien terhadap anestesi
Tanda :
Stimulasi CNS diikuti depresi CNS dan cardio:
Gelisah, pembicaraan incoherent, sakit kepala, mata kabur, rasa metalik, mual, muntah,
tremor,konfulsi dan peningkatan nadi respirasi, tekanan darah
Komplikasi local : Edema, peradangan, abses, necrosis,ganggren.
1.3.5 Asuhan Keperawatan
3) Regiditas cavum thoraks dan menurunnya ekspansi paru : efisiensi ekskresi paru terhadap
anestesi menurun.
c. Renal system
Abnormal renal fungsi menurunkan rata ekskresi obat dan anestesi
Skopolamin, morphin dapat menyebabkan konfusi disorientasi
d. Neuorologi system
Bagaimana kemampuan ambulasi ?
e. Muskulussceletal
Defomitas dapat mempengaruhi posisi intra dan post-operasi
Artritis menerima posisi nyeri post-operasi oleh karena immobilisasi
f. Status Nutrisi
g. Psikososial asesment
Tujuan :
1) Menentukan kemampuan coping
2) Informasi
3) Support
h. Laboratorium
2) Diagnosa Keperawatan
(1) Pengetahuan kurang sehubungan dengan pengalaman pre-op
(2) Kecemasan sehubungan dengan pengalaman pre-op
3) Perencanaan
(1) Pengetahuan kurang ( knowledge defisite )
Tujuan : Klien mengatakan dan mematuhi prosedur pre-op
Mendemostrasikan teknik untuk mencegah komplikasi post-op
Intervensi
a. Fokus
: Edukasi pre-operasi
b. Informasi
:
a) Informed consent :
1) Alasan pembedahan
2)
1)
2)
3)
4)
5) Surgical technologist atau Nurse scrub; bertanggung jawab menyiapkan dan mengendalikan
peralatan steril dan instrumen, kepada ahli bedah/asisten. Pengetahuan anatomi fisiologi dan
prosedur pembedahan memudahkan antisipasi instrumen apa yang dibutuhkan.
B. Penyiapan kamar dan team pembedahan.
Keamanan klien diatur dengan adanya ikat klien dan pengunci meja operasi. Dua factor penting
yang berhubungan dengan keamanan kamar pembedahan : lay out kamar operasi dan pencegahan
infeksi.
1) Lay Out pembedahan.
Ruang harus terletak diluar gedung RS dan bersebelahan dengan RR dan pelayanan pendukung (
bank darah, bagian pathologi dan radiology, dan bagian logistik).
Alur lalu lintas yang menyebabkan kontaminasi dan ada pemisahan antara hal yang bersih dan
terkontaminasi design (protektif, bersih, steril,dan kotor).
Besar ruangan tergantung pada ukuran dan kemampuan rumah sakit.
Umumnya :
5) Kamar terima
6) Ruang untuk poeralatan bersih dan kotor.
7) Ruang linen bersih.
8) Ruang ganti
9) Ruang umummuntuk pembersihan dan sterilisasi alat.
10) Scrub area.
Ruang operasi terdiri dari :
11) Stretcher atau meja operasi.
12) Lampu operasi.
13) Anesthesia station
14) .Meja dan standar instrumen.
15) Peralatan suction.
16) System komunikasi.
2). Kebersihan dan Kesehatan Team Pembedahan.
Sumber utama kontaminasi bakteri yaitu team pembedahan yang hygiene menurun dan
kesehatan menurun ( kulit, rambut, saluran pernafasan).
Pencegahan kontaminasi :
17) Cuci tangan.
18) Handscoen.
19) Mandi.
20) Tidak memakai perhiasan.
3). Pakaian bedah.
Terdiri : Kap, Masker, gaun, Tutup sepatu, baju OK.
Tujuan: Menurunkan kontaminasi.
4). Surgical Scrub.
Cuci tangan pembedahan dilakukan oleh :
1) Ahli Bedah
2) Semua asisten
3) Scrub nurse.
4) Saat sebelum menggunakan sarung tangan dan gaun steril.
Alat-alat:
1) Sikat cucin tangan reuable / disposible.
2) Ukur cairan baik dari NG tube, out put urine, drainage luka.
3) Kaji intake / out put.
4) Monitor cairan intravena dan tekanan darah.
(3) Sistem Persyarafan
1) Kaji fungsi serebral dan tingkat kersadaran pada semua klien dengan anesthesia umum.
2) Klien dengan bedah kepala leher : kaji respon pupil, kekuatan otot, koordinasi. Anesthesia
umum kaji adanya depresi fungsi motor.
(4) Sistem perkemihan.
1) Kontrol volunteer fungsi perkemihan kembali setelah 6 8 jam post anesthesia inhalasi, IV,
spinal.
2) Anesthesia , infus IV, manipulasi operasi kaji adanya retensio urine.
o Pencegahan : Inspeksi, Palpasi, Perkusi pada abdomen bawah (distensi buli-buli).
3) Dower catheter : kaji warna, jumlah urine, out put urine < 30 ml / jam menunjukkan komplikasi
ginjal.
4) Bila pada fase awal stabil, monitor/interval bisa 3 jam sekali
Bila tensi turun, nadi meningkat (kecil), produksi urine merah pekat harus waspada terjadinya
perdarahan segera cek Hb dan lapor dokter. Tensi meningkat dan nadi menurun (bradikardi),
kadar natrium menurun, gelisah atau delirium harus waspada terjadinya syndroma TURP
segera lapor dokter.
5) Bila produksi urine tidak keluar (menurun) dicari penyebabnya apakah kateter buntu oleh
bekuan darah terjadi retensi urine dalam buli-buli lapor dokter, spoling dengan PZ tetesan
tergantung dari warna urine yang keluar dari Urobag. Bila urine sudah jernih tetesan spoling
hanya maintennens/dilepas dan bila produksi urine masih merah spoling diteruskan sampai urine
jernih
(5) Sistem Gastrointestinal.
1. Mual muntah, pada 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapat menyebabkan stress
dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher serta TIO
meningkat.
2. Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus.
3. Kaji paralitic ileus : tidak terdengar suara usus, distensi abdomen, tidak flatus.
4. Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan
drainase lambung.
1) Meningkatkan istirahat.
2) Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
3) Memonitor perdarahan.
4) Mencegah obstruksi usus.
5) Irigasi atau pemberian obat.
Jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 8 jam.
(6) Sistem Integumen.
1. Luka bedah sembuh sekitar 2 minggu. Jika tidak ada infeksi, trauma, malnutrisi, obat-obat
steroid.
2. Penyembuhan sempurna sekitar 6 bulan satu tahun.
3. Ketidak efektifan penyembuhan luka dapat disebabkan :
1) Infeksi luka.
2) Diostensi dari udema / palitik ileus.
1)
2)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
1)
2)
3)
4)
Kaji tanda fisik dan emosi; peningkatan nadi dan tekanan darah, hypertensi, diaphorosis, gelisah,
menangis.
Kualitas nyeri sebelum dan setelah pemberian analgetika.
Pemeriksaan Laboratorium.
Dilakukan untuk memonitor komplikasi.
Pemeriksaan didasarkan pada prosedur pembedahan, riwayat kesehatan dan manifestasi post
operative. Test yang lazim adalah elektrolit, Glukosa, dan darah lengkap.
2) Diagnosis Keperawatan.
Gangguan pertukaran gas, s.d efek sisa anesthesia, imobilisasi, nyeri.
Gangguan integritas kulit s.d luka pemebedahan, drain dan drainage.
Nyeri s.d incisi pembedahan dan posisi selama pembedahan.
Potensial terjadi perlukaan s.d effect anesthesia, sedasi, analgesi.
Kekurangan volume cairan s.d kehilangan cairan intradan pot operasi.
Ketidak efectifan kebersihan jalan nafas s.d peningkatan sekresi.
Perubahan eliminasi urine ( penurunan) s.d obat anesthesia dan immobilisasi.
3) Perencanaan
(1) Gangguan pertukaran gas
Tujuan :
Klien akan mempertahankan ekspansi paru dan fungsi pernapasan yang adekuat.
Intervensi :
Posistioning klien untuk mencegah aspirasi
Insersi mayo untuk mencegah obstruksi, melakukan suction.
Pemberian aksigen
Endotracheal tube/mayo dilepasuntuk menghindari refleks gag kembali.
Dorong batuk dan bernapas dalam 5 10 x setiap 2 jam. Khususnya 72 jam pertama (potensial
komplikasi :atelektasis, pneumonia).
Klien dengan penyakit paru, orang tua, perokok, panas spirometer.
Suction.
(2) Gangguan integritas kulit
Tujuan :
Luka klien akan sembuh tanpa komlikasi luka post operatif.
Penyebab luka infeksi :
Kontaminasi selama pembedahan
Infeksi preoperative
Teknik aseptic yang terputus
Status klien yang jelek.
Intervensi :
1) Terapi obat : Antibiotik profilaksis spectrum luas (24 72 jam post op)
2) Perawatan luka dengan gaas antibiotik.
3) Balutan luka : ganti sesuai order dokter. Luka yang ditutup dengan balutan dibuka 3-6 hari.
4) Drain : Evakuasi cairan dan udara
5) Mencegah luka infeksi yang dalam dan pembentukan abses pada luka bedah.
(3) Nyeri
Tujuan
Klien akan mengalami pengurangan nyeri akibat luka bedah dan posisi selama operasi.
Intervensi :
a. Terapi obat : Pemberian anlgetik narkotik dan non narkotik nyeri akut (meperidin
hydroclorida, morphine sulphate, codein sulphate, dan lain-lain.)
b. Mengkaji tipe, lokasi ditensitas nyeri sebelum pemberian obat.
c. Pada pembedahan yang luas diperlukan kontrol nyeri dapat dengan menggunakan iv pump.
d. Observasi tekanan darah, pernapasan, kesadaran, (depresi napas, hyotensi, mual, muntah yang
merupakan komplikasi narkotik).
e. Metode pangendalian nyeri yang lain :
o Positioning
o Perubahan posisi tiap 2 jam
o Masase
4) Perawatan Kateter
Kateter uretra yang dipasang pada pasca operasi prostat yaitu folley kateter 3 lubang (treeway
catheter) ukuran 24 Fr.
Ketiga lubang tersebut gunanya :
1. untuk mengisibalon, antara 30 40 ml cairan
2. untuk melakukan irigasi/spoling
3. untuk keluarnya cairan (urine dan cairan spoling).
Setelah 6 jam pertama sampai 24 jam kateter tadi biasanya ditraksi dengan merekatkan ke
salah satu paha pasien dengan tarikan berat beban antara 2 5 kg. Paha ini tidak boleh fleksi
selama traksi masih diperlukan.
Paling lambat pagi harinya traksi harus dilepas dan fiksasi kateter dipindahkan ke paha
bagian proximal/ke arah inguinal agar tidak terjadi penekanan pada uretra bagian penosskrotal.
Guna dari traksi adalah untuk mencegah perdarahan dari prostat yang diambil mengalir di dalam
buli-buli, membeku dan menyumbat pada kateter.
Bila terlambat melepas kateter traksi, dikemudian hari terjadi stenosis leher buli-buli karena
mengalami ischemia.
Tujuan pemberian spoling/irigasi :
1. Agar jalannya cairan dalam kateter tetap lancar.
2. Mencegah pembuntuan karena bekuan darah menyumbat kateter
3. Cairan yang digunakan spoling H2O / PZ
Kecepatan irigasi tergantung dari warna urine, bila urine merah spoling dipercepat dan
warna urine harus sering dilihat. Mobilisasi duduk dan berjalan urine tetap jernih, maka spoling
dapat dihentikan dan pipa spoling dilepas.
Kateter dilepas pada hari kelima. Setelah kateter dilepas maka harus diperhatikan miksi
penderita. Bisa atau tidak, bila bisa berapa jumlahnya harus diukur dan dicatat atau dilakukan
uroflowmetri.
4) Evaluasi :
Kriteria hasil yang diharapkan pada klien post op adalah :
1) Mempertahankan ekspansi paru dan fungsi yang adekuat yang ditandai suara napas jernih.
2) Mengikuti diet TKTP
3) menjelaskan dan mendemonstrasikan perawatana balutan dan drain.
4) Penyembuhan komplit tanpa komplikasi
5) Mengungkapkan nyeri hilang.
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, Marilyn E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott company,
Philadelpia.
Nursalam, Fransisca. (2006). Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta : Salemba Medika
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Jakarta : Binarupa Aksara.
Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah, Jakarta : EGC
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB Lippincott
Company, Philadelphia.