Vous êtes sur la page 1sur 21

A.

Appendisitis
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya.
Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu.
Pada

65%

kasus,

apendiks

terletak

intraperitoneal.

Kedudukan

itu

memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada


panjangnya mesoapendiks penggantungnya.
Pangkal appendix dapat ditentukan dengan cara pengukuran garis
Monroe-Pichter. Garis diukur dari SIAS dextra ke umbilicus, lalu garis dibagi 3.
Pangkal appendix terletak 1/3 lateral dari garis tersebut dan dinamakan titik Mc
Burney. Ujung appendix juga dapat ditentukan dengan pengukuran garis Lanz.
Garis diukur dari SIAS dextra ke SIAS sinistra, lalu garis dibagi 6. Ujung appendix
terletak pada 1/6 lateral dexter garis tersebut.
Pada

kasus

selebihnya,

apendiks

terletak

retroperitoneal,

yaitu

di

belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon


asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.
Persyarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis
bermula di sekitar umbilicus.
Perdarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangren.
B. FISIOLOGI
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya menalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks
adalah IgA. Immunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap

infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi system


imun tubuh karena jumlah jaringan limfa di sini kecil sekali jika dibandingkan
dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

C. ETIOLOGI
Apendisitis akut merupakan infeksi bacteria. Berbagai hal berperan
sebagai factor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan factor yang
diajukan sebagai factor pencetus disamping hyperplasia jaringan limfe, fekalit
(tinja yang mengeras), tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.hystolitica.
Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya
beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam
apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya Penemuan kultur dari cairan
peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis sederhana. Pada tahap
apendisitis supurativa,

bakteri

aerobik

terutama

Escherichia

coli

banyak

ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus,


Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik
yang paling banyak dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendisitis
gangrenosa atau apendisitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik
terutama Bacteroides fragilis .
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.
D. PATOLOGI
Patologi apendisitis dapat mulai di mukosa dan kemudian melibatkan
seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Usaha
pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks
dengan

omentum,

usus halus atau adneksa sehingga terbentuk massa

periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di


dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami

perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa
periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara
lambat.
Setelah terjadi obstruksi lumen appendix maka tekanan di dalam lumen
akan meningkat karena sel mukosa mengeluarkan lendir. Peningkatan tekanan
ini akan menekan pembuluh darah sehingga perfusinya menurun akhirnya
mengakibatkan iskemia dan nekrosis. Invasi bakteri dan infeksi dinding appendix
segera terjadi setelah dinding tersebut mengalami ulserasi. Infiltrat-infiltrat
peradangan tampak di semua lapisan dan exudat fibrin tertimbun di dalam
lapisan serosa. Meskipun perforasi belum terjadi, organisme-organisme biasanya
dapt dibiakan dari mukosa appendix. Nekrosis dinding appendix mengakibatkan
perforasi dan pencemaran abdomen oleh tinja.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di
perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.
E. GAMBARAN KLINIS
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum local. Gejala klasik apendisitis ialah
nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah
epigastrium di sekitar umbilicus. Keluhan ini sering disertai mual dan muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke
kanan bawah ke titik Mc-Burney. Di sini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih
jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatic setempat. Kadang tidak ada
nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsngan peritoneum,
biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.
Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung
oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada
tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri

timbul saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari
dorsal.
Apendiks

yang

terletak

di

rongga

pelvis,

bila

meradang,

dapat

menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rectum sehingga


peristalsis meningkat, pengososngan rectum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan dindingnya.
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering
hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak
menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering
apendisitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90% apendisitis baru
diketahui setelah terjadi perforasi.
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak
ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang usia lanjut
yang gejalanya samar-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita baru
dapat didiagnosa setelah perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual dan
muntah. Yang perlu diperhatikan adalah pada kehamilan trimester pertama
sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks
akan terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan
bawah tetapi ke regio lumbal kanan.
Pada pemeriksaan fisik, pasien terlihat pucat, adanya nyeri tekan, nyeri
ketok, nyeri lepas, dan tahanan otot (defans muskuler). Iritasi pada psoas dan
obturator menimbulkan nyeri panggul. Peristaltik di daerah appendix menurun.
Pada rectal toucher, ada nyeri pada arah jam 10-11 merupakan petunjuk adanya
perforasi.
Berikut

ini

adalah

hubungan

patofisiologi

dan

manifestasi

apendisitis:
Tabel 1. Hubungan patofisiologi dan manifestasi klinia apendisitis

Kelainan Patologi

Keluhan dan Tanda

Peradangan awal

Kurang enak pada

ulu hati/di daerah pusat,

klinis

mungkin kolik
Apendisitis mukosa

Nyeri

tekan

kanan

bawah

(rangsangan

autonomic)
Radang

di

seluruh

ketebalan dinding
Apendisitis
radang

Nyeri sentral pindah ke kanan bawah, mual


dan muntah

komplit

Rangsangan peritoneum local (somatic), nyeri

peritoneum

pada gerak aktif dan pasif, defans muskuler

parietale apendiks

local

Radang

Genitalia

yang

alat/jaringan
menempel

pada

interna,

ureter,

m.psoas

mayor,

kandung kemih, rectum

apendiks
Apendisitis gangrenosa

Demam

sedang,

takikardi,

mulai

toksik,

leukositosis
Perforasi

Nyeri dan defans muskuler seluruh perut

Pembungkusan
- tidak berhasil

s.d.a + demam tinggi, dehidrasi, syok, toksik

- berhasil

massa perut kanan bawah, keadaan umum


berangsur membaik

- abses

demam

remiten,

keadaan

umum

toksik,

keluhan dan tanda setempat

F. DIAGNOSIS
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis
apendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan
diagnosis lebih sering pada perempuan disbanding lelaki. Hal ini dapat disadari
mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering timbul gangguan
yang mirip apendisitis akut. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena
ovulasi, menstruasi, radang di pelvis atau penyakit ginekologi yang lain.
Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis akut, bila
diagnosis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit
dengan pengamatan setiap 1-2 jam.

Pada anamnesis didapatkan demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar


37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa
terdapat perbedaan suhu rectal dan aksila sampai 1C.
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan :
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut
b. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan
bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah
akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing
(Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan
terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg
Sign).
c. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak
apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini
dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah
pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
d. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang
meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi
sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan
ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka
tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator
dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang.
Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.

Pemeriksaan penunjang yang biasanya dilakukan adalah :

a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah
serum yang meningkat.
b. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi
pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang
menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami
inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
G. DIAGNOSIS BANDING
Pada keadaan tertentu beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding.
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit
perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan.
Panas dan lekositosis kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut.
2. Demam dengue
Demam dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini
didapatkan hasil tes positif untuk Rumple Leede, trombositopenia dan hematokrit
yang meningkat.
3. Limfadenitis mesenterika
Limfadenitis

mesenterika

yang

biasa

didahului

oleh

enteris

atau

gastroenteritis ditandai dengan nyeri perut, terutama kanan disertai dengan


perasaan mual, nyeri tekan perut samar, terutama kanan.
4. Kelainan ovulasi

Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut


kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang
sama pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa hilang
dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari.
5. Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut
lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi
urin. Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus
diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu untuk diagnosis
banding.
6. Kehamilan di luar kandungan
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan
perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan
mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri
dan penonjolan cavum Douglas dan pada kuldosintesis didapatkan darah.
7. Kista ovarium terpuntir
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal atau colok dubur.
Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan diagnosis.
8. Endometriosis eksterna
Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat
endometriosis berada dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena
tidak ada jalan keluar.
9. Urolitiasis pielum/ureter kanan
Batu ureter atau batu ginjal kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke
perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria
sering ditemukan. Foto polos perut atau urografi intravena dapat memastikan
penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil,
nyeri kostovertebral di sebelah kanan, dan piuria.

10. Penyakit saluran cerna lainnya


Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan di perut, seperti
divertikulum Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut,
pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam
tifoid abdominalis, karsinoid dan mukokel apendiks.
H. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah :
1. Massa periapendikuler
Massa apendiks terjadi bila appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada massa
periappendikuler

yang

pendidingannya

belum

sempurna,

dapat

terjadi

penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis


purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa peripendikuler yang masih bebas
disarankan untuk segera operasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu
operasi masih mudah. Pada anak selamanya dipersiapkan untuk operasi dalam
waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikuler yang
terpancang dengan pendidingan yang sempurna, dianjurkan untuk dirawat dulu
dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa serta luasnya
peritonitis. Bila sudah tidak ada lagi demam, massa periapendikuler hilang, dan
leukosit normal, penderita boleh pulang dan appendiktomi elektif dapat
dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat
ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses appendiks.
Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri
dan teraba pembengkakan massa serta bertambahnya angka leukosit.
Riwayat klasik appendicitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang
nyeri di regio iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa
atau abses periapendikuler. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dari karsinoma
sekum, penyakit Chron, dan amuboma. Perlu juga disingkirkan kemungkinan
aktinomikosis intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan ginekologik sebelum
memastikan diagnosa massa appendiks. Kunci diagnosis biasanya terletak pada
anamnesis yang khas.
2. Perforasi

Keterlambatan

penanganan

merupakan

alasan

penting

terjadinya

perforasi. Perforasi appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang


ditandai dengan demam tinggi, nyeri semakin hebat meliputi seluruh perut dan
perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh
perut, peristaltic usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik.
3. Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat
penyebaran infeksi dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas
pada permukaasn peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata.
Dengan begitu, aktivitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria dan mungkin
syok. Gejalanya adalah demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, abdomen
tegang, kaku, nyeri tekan dan bunyi usus menghilang.
I. TATA LAKSANA
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan terbaik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa
komplikasi
gangrenosa

biasanya
atau

tidak

diberikan

apendisitis

antibiotik,

perforata.

kecuali

Penundaan

pada

tindak

apendisitis

bedah

sambil

memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.


Apendektomi bisa dilakukan dengan cara terbuka atau dengan cara
laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi mcBurney paling banyak dipilih oleh
ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan
observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila
dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan
laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan
dilakukan operasi atau tidak.
Apabila

apendisitis

baru

diketahui

setelah

terbentuk

massa

periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah


pemberian

terapi

antibiotik

kombinasi

terhadap

penderita.

Antibiotik

ini

merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah
gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan.

Jika gejala berlanjut yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan
melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendektomi.
Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan
klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan adanya radang atau
abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk
membatalkan

tindakan

bedah.

Setelah

tindakan

bedah

dilakukan,

harus

diberikan antibiotika selama 7 hari untuk mencegah terjadinya sepsis pascaoperasi.


Pada apendektomi yang melibatkan pembukaan usus bagian bawah,
diperlukan pemberian antibiotika profilaksis pre-operasi untuk mencegah infeksi
luka operasi yang merupakan komplikasi utama dari apendektomi. Kemudiaan,
bila

saat

operasi

ditemukan

perforasi

maka

pemberian

antibiotik

akan

diperpanjang sebagai terapi. Mengingat eratnya kaitan penggunaan antibiotika


dengan bedah apendiks maka dilakukan penelitian tentang penggunaan
antibiotika.

Apendisitis
a. Definisi
Apendiks (umbai cacing) merupakan perluasan sekum yang rata-rata
panjangnya adalah 10 cm. Ujung apendiks dapat terletak di berbagai lokasi,
terutama di belakang sekum. Arteri apendisialis mengalirkan darah ke
apendiks dan merupakan cabang dari arteri ileokolika (Gruendemann, 2006).
Apendisitis akut adalah peradangan pada apendiks vermiformis (Grace,
2007). Apendisitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan
penyebab 4 abdomen akut yang paling sering (Mansjoer, 2000). Apendisitis
merupakan penyakit prototip yang berlanjut melalui peradangan, obstruksi
dan iskemia di dalam jangka waktu bervariasi (Sabiston, 1995). Peradangan
akut apendiks memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi
yang umumnya berbahaya. Namun, pengangkatan apendiks tidak
menimbulkan defek fungsi sistem imun yang jelas (Sjamsuhidayat, 2005).
b. Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai
factor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang
diajukan sebagai faktor pencetus disamping hyperplasia jaringan limfa,
fekarit atau batu tinja, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang dapat menimbulkan apendiks
karena parasit seperti E.histolytica (Syamsyuhidayat, 1997). Penyebab
apendisitis Menurut Syamsyuhidayat, 2004: fekalit/massa fekal padat karena
konsumsi diet rendah serat, Tumor apendiks Cacing ascaris, Erosi mukosa
apendiks karena parasit E. Histolytica, dan hiperplasia jaringan limfe. Menurut
Mansjoer, 2000 penyebab apendisitis adalah: hiperflasia folikel limfoid, fekalit,
benda asing, struktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, dan
neoplasma. Sedangkan pendapat lain yang dilontarkan oleh Markum, 1996,
apendisitis dapat disebabkan: fekolit, parasit, hiperplasia limfoid, stenosis
fibrosis akibat radang sebelumnya dan Tumor karsinoid.
c. Patogenesis
Secara fisiologis, apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu
normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada
patogenesis apendisitis. Immunoglobulin secretor yang dihasilkan oleh GALT
(Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk apendiks, ialah IgA. Imunnoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh
tubuh (Sjamsuhidayat, 2005).

d. Manifestasi klinis
Gejala klinis yang di temukan pada apendisitis adalah: Manifestasi klinis
menurut Mansjoer, 2000 : Keluhan apendiks biasanya bermula dari nyeri di
daerah umbilicus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah.
Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan
menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan
anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga
terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, dan muntah.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang
menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan semakin
progresif, dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu
titik dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat
membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga
muncul. Bila tanda Rovsing, psoas, dan obturatorpositif, akan semakin
meyakinkan diagnosa klinis. Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas,
yang terdiri dari Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian
bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di
sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual
hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter
menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan
ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-38,8
Celsius. Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua
bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat
dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah,
nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa
menyebabkan syok. 2. Bedah Apendisitis a. Klasifikasi pembedahan Operasi
apendisitis masuk dalam klasifikasi urgensi dengan jenis Darurat yaitu,
pembedahan harus dilakukan segera untuk menyelamatkan jiwa atau
mempertahankan fungsi organ, Operasi apendisitis dalam kategori tujuan
Ablatif 6 yaitu pengangkatan bagian tubuh yang mengalami masalah atau
penyakit (Muttaqin, 2009). b. Diagnosis Apendisitis akut merupakan akibat
dari infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya.
Disamping hyperplasia jaringan limfa, sumbatan lumen apendiks merupakan
faktor yang diajukan sebagai pencetusnya, fekalit, tumor apendiks dan cacing
askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti
Enterobacter histolytica (Muttaqin, 2009). Apendisitis Merupakan kedaruratan
bedah paling sering di negara-negara barat. Jarang terjadi di usia di bawah 2
tahun, banyak pada dekade kedua dan ketiga, tetapi dapat terjadi pada
semua usia (Grace, 2007)

Antibiotik profilaksis
a. Definisi
antibiotik profilaksis Antibiotik berasal dari kata anti : lawan, bios: hidup yang
berarti zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi atau bakteri yang berkhasiat
mematikan atau membunuh kuman dan toksisitas bagi manusia relativ kecil
(Tjay, 2007). Antibiotik profilaksis adalah antibiotika yang diberikan pada
penderita yang belum terkena infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang
besar untuk mendapatkannya atau bila terkena infeksi dapat menimbulkan
dampak buruk pada penderita (Departemen/SMF Ilmu Bedah, 2009).
Antibiotik merupakan obat yang sangat penting dan dipakai untuk
memberantas berbagai penyakit infeksi. Pemakaian antibiotik ini harus
dibawah pengawasan dokter, karena obat ini dapat menimbulkan efek yang
tidak dikehendaki dan dapat mendatangkan kerugian yang cukup besar bila
pemakaiannya tidak dikontrol dengan baik (Widjajanti, 2002).
b. Penggunaan antibiotik secara rasional
Penggunaan obat yang rasional merupakan pemilihan dan penggunaan obat
yang efektivitasnya terjamin serta aman, dengan mempertimbangkan
masalah harga, yaitu yang paling menguntungkan dan sedapat mungkin
terjangkau untuk menjamin efektivitas dan keamanan, pemberian obat harus
dilakukan secara 7 rasional, yang berarti perlu dilakukan diagnosis yang
akurat, memilih obat yang tepat, serta meresepkan obat tersebut dengan
dosis, cara, interval serta lama pemakaian yang tepat (Sastramiharja dan
Herry, 1997).
Penggunaan antibiotik secara rasional mencakup (4T1W), yaitu:
1) Tepat indikasi : Pemilihan obat didasarkan pada indikasi adanya suatu
gejala, indikasi pemakaian obat secara khusus adalah indikasi medisnya
sesuai dengan obat (farmakoterapi) yang diperlukan dan diketahui manfaat
terapetiknya.

2) Tepat pasien : Mencakup pertimbangan apakah ada kontraindikasi atau


kondisi-kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian dosis secara individual.
Pemilihan obat disesuaikan dengan kondisi patologis dan fisiologis pasien.
3) Tepat obat : Obat yang dipilih harus efektif, aman, dan rasional
4) Tepat dosis : Harus tepat rute pemberian, waktu, dan lama pemberian obat
5) Waspada terhadap efek samping obat (Wirjoatmodjo, 1995).
c. Mekanisme resistensi terhadap antibiotik
Beberapa mekanisme resistensi mikroorganisme terhadap obat-obat
antibiotik. Mekanisme tersebut antara lain : 1) Mikroorganisme menghasilkan
enzim dan merusak obat yang aktif minsalnya laktamase termasuk proses
adenilasi, fosforilasi, atau enzim asetilasi yang dapat merusak obat antibiotik.
2) Mikroorganisme merubah permeabilitasnya terhadap obat. Perubahan
membran bagian luar yang menghalangi transpor aktiv obat kedalam sel
mikroorganisme 3) Mikroorganisme mengubah struktur target obat.
Perubahan terjadi pada reseptor tempat aksi obat sehingga obat tidak
berpengaruh terhadap mikroorganisme. 4) Mikroorganisme mengembangkan
jalur metabolisme baru yang menghindari jalur yang biasa dihambat oleh
obat 5) Mikroorganisme mengembangkan enzim baru yang masih dapat
melakukan fungsi metaboliknya tapi sedikit dipengaruhi oleh obat (Brooks,
2001).
d. Mekanisme aksi antibiotik
Berdasarkan mekanisme aksinya, antibiotik terbagi menjadi : 1) Antibiotik
yang menghambat sintesis dinding sel atau menginaktivasi enzim yang
merusak dinding sel (Penicilin, Sefalosporin, Basitrasin, Vankomisin) 2)
Antibiotik yang bekerja langsung pada membran sel mikroba (Polimiksin,
Nistamin, Amfoterisin, dan Kolistemetat) 3) Antibiotik yang mempengaruhi
fungsi ribosom bakteri sehingga terjadi penghambatan sintesis protein yang
reversibel (Eritromisin, Kloramfenikol, Klindamisin, Tetrasiklin) 4) Antibiotik
yang mempengaruhi metabolisme asam deoksiribonukleat (Aktinomisin D,
Rifampisin,
Novobiosin,
Deoksiribonukleat,
Nitramisin,
Bleomisin)
(Sastramihardja, 1997).
e. Tujuan penggunaan antibiotik profilaksis bedah
Penggunaan antibiotik profilaksis bedah dengan tujuan : Mencegah terjadinya
infeksi luka operasi 1) Mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas paska
bedah 2) Mengurangi lama perawatan dan menurunkan biaya perawatan 3)
Tidak menimbulkan efek ikutan Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
diperlukan antibiotik profilaksis yang bersifat : 1) Aktif terhadap kuman
patogen yang terbanyak mengkontaminasi luka 2) Diberikan dengan dosis
yang adekuat dan waktu yang tepat sehingga pada saat insisi telah mencapai
kadar cukup tinggi di jaringan yang bersangkutan 3) Aman 4) Penggunaan
dalam waktu yang singkat untuk mengurangi efek ikutan, mencegah

timbulnya resistensi dan menekan biaya yang tidak perlu (Departemen/SMF


Ilmu Bedah, 2009).
f.

Seleksi dan administrasi antibiotik

Antibiotik profilaksis yang tepat harus memenuhi : 1) Efektif terhadap


mikroorganisme diantisipasi untuk menyebabkan infeksi 2) Mencapai tingkat
yang memadai jaringan lokal 3) Menimbulkan efek samping yang minimal 4)
Relatif murah 9 Konteks mikroba dari luka dan lingkungan rumah sakit dapat
mempengaruhi pilihan antibiotik, namun cakupan terutama harus
menargetkan organisme diketahui menyebabkan infeksi paska operasi. Dalam
kasus bedah apendisitis, disebutkan Sefotetan (Sefotan) atau Sefoxitin
(Mefoxin) adalah salah satu agen yang cocok, Waktu administrasi sangat
penting. Obat ini harus diberikan idealnya dalam waktu 30 menit dan tentu
saja dalam waktu dua jam dari waktu sayatan, Dosis pertama harus selalu
diberikan sebelum sayatan kulit dilakukan. Untuk prosedur lebih lama,
readministration obat diindikasikan dengan interval satu atau dua kali waktu
paruh obat (menggunakan dosis yang sama) ( Ronald et al, 1998).
Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis bedah antara lain :
a. Penggunaan antibiotik untuk profilaksis selalu harus dibedakan dari
penggunaan untuk terapi b. Pemberian profilaksis antibiotik hanya
diindikasikan untuk tindakan bedah tertentu yang sering disertai infeksi paska
bedah, atau yang membawa akibat berat bila terjadi infeksi paska bedah
c. Antibiotik yang dipakai harus sesuai dengan jenis kuman yang potensial
menimbulkan infeksi paska bedah
d. Cara pemberian biasanya IV atau IM
e. Pemberian dilakukan pada saat induksi anestesi, tidak dibenarkan
pemberian yang lebih dini dan biasanya hanya diberikan 1-2 dosis. Pemberian
profilaksis lebih dari 24 jam tidak dibenarkan. Antibiotik profilaksis bedah
hanya digunakan untuk kasus dengan rasio infeksi paska bedah yang tinggi
yaitu yang tergolong bersih terkontaminasi dan terkontaminasi, bedah
apendisitis masuk dalam kategori besih terkontaminasi, sehingga dibutuhkan
antibiotik profilaksis (Departemen/SMF Ilmu Bedah, 2009).

Antibiotik profilaksis
Pemberian antibiotik profilkasis harus disertai dengan pertimbangan yang
benar.dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah indikasi.Saat pemberian dan
lamanya pemberian serta pilihan antibiotiknya.Oleh karena bertujuan untuk
mencegah infeksi pascabedah maka antiiotik profilaksis hanya diberikan dalam
jangka waktu pendek,yaitu untuk melindungi penderita selama dilakukan
tindakan bedah dan masa segera setelah pebedahan,yaitu pada masa daya
pertahanan masih tertekan.
Berbagai antibiotik membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk mencapai
kadar dalam darah yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan kuman.
Kadar ini biasanya 3-4 kali kadar hambat minimal.oleh karena itu,antibiotik
profilaksis biasanya diberikan parenteral.untuk mencapai kadar antibiotik di
jaringan yang cukup tinggi pada waktu dilakukan pembedahan,antibiotik
profilkasis harus diberika 1-2 jam prabedah,dilanjutkan dengan 1-2 kali
pemberian pascabedah.Pemberian antibiotik yang dilanjutkan lebih lama
pascabedah ternyata tidak menurunkan lagi risiko infeksi pascabedah,kecuali
pada pembedahan tertentu.Bahkan cenderung menimbulkan resistensi kuman
yang akan menjadi masalah bila timbul infeksi nosokomial.
Antibiotik profilkasis terbukti dapat menurunkn kejadian infeksi pascabedah pada
pembedahan tercemar dan kotor,tetapi tidak berpengaruh pada pembedahan
bersih.

Bedah appendiks
Pada appendisitis tanpa perforasi,kejadian infeksi pascabedah jarang sekali
terjadi,sedang pada appendisitis perforata,ineksi sering terjadi
sehingga
pemeberian
antibiotik
propilkasis
secara
parenteral
dari
golongan
penisilin,sefalosporin atau tetrasiklin atau metronidazol intravena atau rektal
sangat diperlukan.Bila ternyata tidak ada appendisitis perforata,pemberian
antibiotik yang mulai prabedah tidak diteruskan,tetapi bila ditemukan
appendisitis ganggrenosa antibiotik diteruskan 1-2 hari. Bila terdapat
peritonitis,pemberian antibiotik harus diberikanlebih lama karena dalam hal ini
sifatnya sebagai terapi. (De Jong,Wim. Sjamsuhidajat.r.Buku Ajar Ilmu Bedah
edisi kedua hal 235-236 .EGC.2004)
Pemberian antibiotik profilaksis dengan waktu pemberian pre operasi (2 jam
sebelum operasi) dapat mencegah terjadinya infeksi luka operasi, namun
sebaiknya diberikan <1 jam sebelum insisi.
Pada sebagian kasus bedah, pemakaian suatu jenis antibiotik profilaksis telah
terbukti secara meyakinkan dapat mencegah atau mengurangi kejadian infeksi,
sehingga pemakaiannya dianjurkan secara luas dalam praktek karena betapa
bersihnya operasi dilakukan, kuman selalu dapat menemukan luka operasi.
Antibiotik profilaksis bedah didefinisikan sebagai antibiotik yang diberikan
kepada penderita sebelum adanya tanda dan gejala suatu infeksi dengan tujuan
mencegah terjadinya manifestasi klinik infeksi tersebut yang diduga akan/bisa
terjadi (Iwan, 1995).
Oleh karena itu, penelitian mengenai evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis
pada bedah apendisitis sangat diperlukan untuk mengetahui kesesuaian dan
ketepatan penggunaan antibiotik profiliksis tersebut dalam mencegah terjadinya
infeksi setelah bedah apendisitis. Ketidak tepatan pemilihan antibiotik, indikasi
dosis, cara pemberian, frekuensi dan lama pemberian menjadi penyebab tidak
akuratnya pengobatan infeksi dengan antibiotik (Nelson, 1995).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahmadina tahun 2009 di RSUP
Padang, hasil menunjukkan pasien apendisitis mencapai jumlah 297 pasien,
penggunaan antibiotik profilaksis terbukti dapat menurunkan resiko terjadinya
infeksi luka operasi dengan didukungnya oleh perawatan dan lingkungan
rawatan yang bersih. Penelitian lain berdasarkan register pusat cochraine
controlled trials (cochraine library edisi 1 tahun 2005), dari 45 kasus
apendiktomi, sekitar 9576 pasien yang dilibatkan dalam penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan antibiotik profilaksis terbukti dapat mencegah infeksi dan
abses intraabdominal luka operasi pada pasien apendiktomi (Andersen et al.,
2005).
Cephalosporin dengan aktivitas antianaerob seperti cefoxitin atau cefotetan saat
in idianjurkan sebagai agen pilihan pertama. Cefotetan bisa lebih superior untuk
operias lebih lama karena waktu paruhnya yang panjang. Terapi dosis tunggal
bisa mencukupi selama pada appendix tidak terjadi gangrene atau

perforasi.Infeksi intra abdominal membutuhkan antibiotik pasca operasi yang


sesuai.
Pada tahun 2004 di rumah sakit di Thailand, diperoleh data 2139 pasien
mengalami apendiktomi, 26 pasien diidentifikasikan mengalami infeksi luka
operasi, karena tidak mendapatkan antibiotika profilaksis, sekitar 92% dari
keseluruhan kasus pasien menerima antibiotik profilaksis yaitu: Metronidazole
dan gentamisin dua agen antibiotik yang biasa digunakan untuk profilaksis,
terbukti cukup untuk mengurangi resiko infeksi luka operasi apendisitis,
meskipun diatur pre operatively atau intra operatively (Kasatpiba et al., 2006).
Berdasarkan data rekam medik di unit rekam medis RSUD Pekanbaru, tampak
bahwa apendisitis yang dilakukan tindak pembedahan merupakan kasus yang
cukup tinggi frekuensinya pada periode 2010 yaitu sekitar 130 pasien namun
penggunaan
antibiotik
profilaksis
masih
jarang
dilakukan,
sehingga
meningkatkan lama perawatan di rumah sakit dan meningkatnya biaya
perawatan dari data tersebut terlihat sekitar 15 pasien mengalami infeksi luka
operasi dilihat dari terdapatnya abses pada luka operasi setelah pasien tersebut
menjalani perawatan di rumah.

Agen antibiotik yang efektif dalam mengurangi tingkat infeksi luka pasca
operasi dan dalam meningkatkan hasil pada pasien dengan abses
apendiks atau septicemia. Infeksi Masyarakat Bedah merekomendasikan
memulai antibiotik profilaksis sebelum operasi, menggunakan agen
spektrum yang sesuai untuk kurang dari 24 jam untuk usus buntu
nonperforated dan kurang dari 5 hari untuk perforasi usus buntu. Rejimen
adalah keberhasilan kira-kira sama, sehingga pertimbangan harus
diberikan untuk fitur seperti alergi obat, kategori kehamilan (jika ada),
toksisitas, dan biaya.

PenisilinPenisilin adalah antibiotik bakterisida yang bekerja melawan organisme


sensitif pada konsentrasi yang memadai dan menghambat biosintesis dinding sel
mucopeptide.

Piperasilin dan tazobactam sodium (Zosyn) Agen ini adalah


kombinasi obat beta-laktamase inhibitor dengan piperasilin. Ini memiliki
aktivitas terhadap beberapa organisme gram-positif, organisme gramnegatif, dan bakteri anaerob. Ketika digunakan sebagai agen tunggal,
menghambat biosintesis dinding sel mucopeptide dan efektif selama
tahap-tahap multiplikasi aktif.

Ampisilin dan sulbaktam (Unasyn) Agen ini adalah kombinasi obat


beta-laktamase inhibitor dengan ampisilin. Hal ini digunakan sebagai agen
tunggal dan mengganggu sintesis dinding sel bakteri selama replikasi
aktif,
menyebabkan
aktivitas
bakterisida
terhadap
organisme
rentan. Ampisilin / sulbaktam juga memiliki aktivitas terhadap beberapa
organisme
gram-positif,
organisme
gram-negatif
(spesies
nonpseudomonal), dan bakteri anaerob.

Tikarsilin / klavulanat (Timentin) Tikarsilin / klavulanat menghambat


biosintesis dinding sel mucopeptide dan efektif selama tahap
pertumbuhan aktif. Ini adalah penisilin ditambah beta-laktamase inhibitor
antipseudomonal yang memberikan perlindungan terhadap sebagian
besar organisme gram-positif, sebagian besar organisme gram-negatif,
dan organisme yang paling anaerob.

CephalosporinsSefalosporin secara struktural dan farmakologis berkaitan


dengan penisilin. Mereka menghambat sintesis dinding sel bakteri, sehingga
aktivitas bakterisida.

Cefotetan (Cefotan) Cefotetan adalah sefalosporin generasi kedua yang


digunakan sebagai terapi tunggal obat untuk cakupan gram negatif
anaerob dan luas. Berikan cefotetan dengan cefoxitin untuk mencapai
efektivitas dosis tunggal. Yang setengah-hidup adalah 3,5 jam.

Cefoxitin (Mefoxin) Obat ini juga merupakan sefalosporin generasi


kedua yang diindikasikan sebagai agen tunggal untuk pengelolaan infeksi
yang disebabkan oleh rentan gram positif cocci dan batang gramnegatif. Ia memiliki paruh 0,8 jam.

Cefepime Cefepime adalah sefalosporin generasi keempat. Ini memiliki


cakupan gram negatif sebanding dengan ceftazidime tetapi memiliki
cakupan gram positif yang lebih baik. Cefepime adalah ion zwitter yang
cepat menembus sel-sel gram negatif.

Aminoglikosida Aminoglikosida memiliki aktivitas bakterisida tergantung


konsentrasi.Agen-agen ini bekerja dengan mengikat ribosom 30S, menghambat
sintesis protein bakteri.

Gentamisin (Gentacidin, Garamycin) Gentamisin adalah antibiotik


aminoglikosida digunakan untuk cakupan gram-negatif, serta dalam
kombinasi dengan agen terhadap organisme gram-positif dan satu lagi
terhadap
anaerob.Gentamisin
bukanlah
obat
pilihan,
tetapi
mempertimbangkan menggunakan obat ini jika penisilin atau obat yang
kurang beracun lainnya kontraindikasi, ketika terindikasi secara klinis, dan
infeksi campuran yang disebabkan oleh stafilokokus rentan dan organisme
gram-negatif. Agen
ini
dapat
diberikan
secara intravena atau
intramuskular dan memiliki banyak rejimen; dosis harus disesuaikan untuk
kreatinin dan perubahan volume distribusi.

CarbapenemsCarbapenems secara struktural terkait dengan penisilin dan


memiliki spektrum luas aktivitas bakterisida. The carbapenems mengerahkan
efek mereka dengan menghambat sintesis dinding sel, yang menyebabkan
kematian sel. Mereka aktif melawan organisme gram-positif, dan anaerob gramnegatif.

Meropenem (Merrem) Meropenem adalah spektrum luas carbapenem


antibiotik bakterisida yang menghambat sintesis dinding sel. Hal ini

digunakan sebagai agen tunggal dan efektif terhadap sebagian besar


bakteri gram positif dan gram negatif.

Ertapenem Ertapenem memiliki aktivitas bakterisida yang dihasilkan dari


penghambatan sintesis dinding sel dan dimediasi melalui ertapenem
mengikat protein penisilin-mengikat. Hal ini stabil terhadap hidrolisis oleh
berbagai beta-laktamase, termasuk penisilinase, cephalosporinase, dan
extended-spectrum beta-laktamase.

Fluoroquinolones Obat ini dapat digunakan untuk meredakan sakit perut


dibedakan akut pada pasien yang datang ke UGD.

Ciprofloxacin (Cipro) Ciprofloxacin merupakan fluorokuinolon yang


menghambat sintesis DNA bakteri dan, akibatnya, pertumbuhan, dengan
menghambat girase DNA dan topoisomerase, yang diperlukan untuk
replikasi, transkripsi, dan translasi bahan genetik. Kuinolon memiliki
aktivitas yang luas terhadap organisme aerobik gram positif dan gram
negatif.

Levofloxacin (Levaquin) Levofloxacin digunakan untuk infeksi yang


disebabkan
oleh
berbagai
organisme
gram
negatif,
infeksi
antipseudomonal karena organisme gram-negatif resisten multidrug

Moksifloksasin (Avelox) Moksifloksasin adalah fluorokuinolon yang


menghambat subunit A dari girase DNA, menghambat replikasi DNA
bakteri dan transkripsi.

Agen anti infeksiAntiefeksi seperti metronidazole dan tigecycline efektif


terhadap berbagai jenis bakteri yang telah menjadi resisten terhadap antibiotik
lain.

Metronidazole (Flagyl) Metronidazole memiliki cakupan gram-negatif


dan anaerob luas dan digunakan dalam kombinasi dengan aminoglikosida
(misalnya, gentamisin).Agen ini tampaknya diserap ke dalam selsel; senyawa dimetabolisme antara mengikat DNA dan menghambat
sintesis protein, menyebabkan kematian sel.

Tigecycline (Tygacil) Tigecycline adalah antibiotik glycylcycline yang


secara struktural mirip dengan antibiotik tetrasiklin. Ini menghambat
translasi protein bakteri dengan mengikat subunit ribosom 30S, dan blok
masuknya molekul tRNA amino-asil ke ribosom situs A.

Vous aimerez peut-être aussi