Vous êtes sur la page 1sur 14

BAB I

ILUSTRASI KASUS
Identitas Klien
Nama

:S

Jenis kelamin

: perempuan

Tempat/tanggal lahir : Blora, 22 April 1983


Umur

: 21 tahun

Agama

: Islam

Suku bangsa

: Indonesia

Pendidikan terakhir

: SD

Pekerjaan

: pembantu rumah tangga

Penghasilan

: Rp 300.000,00/bulan

Status

: tidak kawin

Saudara

: 3 bersaudara (perempuan semua), klien adalah anak bungsu

Alamat rumah

: Blora

Alamat majikan

: Petukangan utara, Jakarta Selatan

Riwayat Kejadian

Hari

: Kamis, 12 Agustus 2004

Tempat

: Petukangan Utara, Jakarta Selatan

Penganiayaan

: dibanting, didorong, tidak ada ancaman psikologis\

Perkosaan

: 3 kali intercourse (jam 1 sampai dengan jam 3), kejadian pertama

kali
Ke PKT atas kemauan sendiri, dengan pengantar S (sepupu klien)
Polisi pengantar : Y
Solusi yang diharapkan : proses hukum
Kronologis kejadian/masalah :

Pada hari Kamis, 12 Agustus 2004 jam 13.00 WIB saat Klien sedang menyetrika tepatnya
di depan kamar tidur Klien tiba-tiba Sdr. Y (pelaku/majikan Klien) datang dari belakang
dan langsung membungkam mulut Klien dari belakang dengan menggunakan tangannya.
Kemudian Klien ditarik masuk kamar tidur Klien, dan didorong ke tempat tidur. Lalu
baju dan celana koban dilepas secara paksa oleh pelaku dan pelaku juga melepas baju dan
celananya sendiri. Kemudian badan dan wajah Klien diciumi oleh pelaku. Setelah itu
pelaku menyetubuhi Klien secara paksa yang menyebabkan rasa sakit dan perih di bagian
vagina. Pelaku melakukan perbuatan tersebut dari jam 13.00 WIB sampai dengan jam
15.00 WIB
Latar Belakang
Keluarga : Ayah dan Ibu tinggal di Blora sebagai petani. Klien berasal dari keluarga
miskin, kakak-kakaknya hanya tamatan SD dan kerja sebagai pembantu rumah tangga
seperti dirinya
Lingkungan sosial : Klien tidak bergaul dengan tetangganya karena dilarang majikan.
Ekonomi : Miskin. Gajinya hanya cukup membeli kebutuhan bulanannya sambil sesekali
mengirim ke kampung.
Genogram

Klien, 21 thn

Laki-laki
Perempuan
Korban

Masalah sosial, mental, ekonomi, yang diderita klien :


2

Klien cukup terpukul oleh perkosaan yang dialaminya

Klien belum tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya, ingin menuntut lebih jauh tapi
takut terhadap pelaku, lagipula klien tidak punya uang untuk ke pengadilanklien
berniat pulang kampung sementara waktu untuk menenangkan diri sambil bertani
mengingat orang tuanya miskin dan tidak mungkin membiayai kebutuhan sehariharinya.

Saran dan Rekomendasi

Agar klien tetap optimis dan jangan putus asa, keperawaan bukan segalanya dan
bukan faktor penentu keberhasilan perempuan

Agar klien menelepon kembali ke PKT supaya dirujuk ke Sp (bila polisi tidak bisa
membantu biaya pendaftaran pengadilan)

Pro Justisia
Visum et Repertum
No2007/1/VIII/PKT/2004
Yang bertanda tangan di bawah ini dokter Gunawan atas permintaan tertulis dari Kepala
Kepolisian Sektor/metro Jakarta Selatan nomor 92/VER/VIII/2004/Res.Js Tanggal 14
Agustus 2004 dengan ini menerangkan bahwa pada tanggal 14 Agustus 2004 pukul 13.30
WIB bertempat di Pusat Krisis Terpadu untuk Perempuan dan Anak Rumah Sakit Umum
Pusat Nasional Ciptomangunkusumo, saya telah melakukan pemeriksaan atas pasien
nomor registrasi 04.023036/284-06-71, yaitu :---------------------------------------------------Nama

: S--------------------------------------------------------------------------------------

Kelamin

: perempuan---------------------------------------------------------------------------

Usia

: Blora, 22 April 1983---------------------------------------------------------------

Pekerjaan

: Pembantu rumah tangga-----------------------------------------------------------

Agama

: Islam---------------------------------------------------------------------------------

Alamat

: Petukangan Utara, Jakarta Selatan-----------------------------------------------

Hasil Pemeriksaan
a. Pasien datang dalam keadaan sadar, dengan keadaan umum baik.------------------------b. Penampilan umum/ sikap tenang/kooperatif, pakaian rapi.---------------------------------c. Pasien mengaku diperkosa oleh pelaku sebanyak tiga kali dalam waktu dua jam di
dalam kamar tidur pasien pada tanggal 12 Agustus 2004 sekitar jam 13.00 WIB.------d. Riwayat haid normal/teratur, riwayat perkembangan seksual normal.--------------------Pada pemeriksaan genitalia :------------------------------------------------------------------------a. Bagian luar : pada bibir kecil bagian kiri pada arah jam tiga berupa luka robek baru
(robekan dangkal) berbentuk V yang masing-masing kakinya sepanjang tiga
milimeter dan dua milimeter.-------------------------------------------------------------------b. Selaput dara : selaput dara termasuk tipe fimbriatus atau berkelopak-kelopak, utuh.--c. Bagian dalam : tidak diperiksa.----------------------------------------------------------------Pemeriksaan laboratorium :-------------------------------------------------------------------------Fosfatase Asam negatif (-), Berberio negatif (-), Sperma negatif (-).--------------------------4

Kesimpulan
Pasien adalah seorang perempuan yang mengaku berusia dua puluh satu tahun. Pada
pemeriksaan alat kelamin ditemukan luka robek baru (robekan dangkal) pada bibir kecil
sebelah kiri akibat kekerasan tumpul, selanjutnya selaput dara utuh. Pada pemeriksaan
fisik tidak ditemukan luka-luka pada bagian tubuh lainnya.------------------------------------Demikian visum et repertum ini dibuat dengan sesungguhnya atas sumpah/janji yang
telah saya ucapkan pada waktu memangku jabatan serta sesuai dengan Undang-Undang
No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana--------------------------------------------------Jakarta 14 Agustus 2004
Mengetahui
Dokter spesialis forensik

Dr. Budi Sampurna, SpF, SH, DSM

Dokter Pemeriksa

dr. Gunawan

BAB II
PEMBAHASAN
Pembahasan Umum
Istilah perkosaan dalam hukum tidak ada secara eksplisit. Dalam hukum positif
Indonesia istilah perkosaan dikaitkan dengan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu
arti perkosaan artinya ialah tindakan pemaksaan. Perkosan (rape), (rapere-Latin), berarti
mengambil sesuatu dengan kekerasan (to take by force) atau mencuri, merampas atau
mengambil (to carry away). Konotasi tepatnya adalah perkosaan untuk bersetubuh.
Perkosaan adalah bagian dari kekerasan-terhadap perempuan yang terdiri atas
kekerasan fisik, psikis dan seksual. Perkosaan adalah penggunaan ancaman, kekuatan
fisik atau intimidasi dalam rangka memperoleh relasi seksual dengan orang lain yang
bertentangan dengan kehendak orang tersebut. Laki-laki pelaku berniat bukan hanya
sekedar melampiaskan hasrat seksualnya saja, namun berkeinginan untuk menista dan
merendahkan perempuan-korban dengan cara memakai seks sebagai senjata untuk
menyatakan kekerasan, kekuatan dan agresinya.
Batasan hukum perkosaan saat ini adalah bersumber dari Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) Bab XIV tentang Kejahatan terhadap kesusilaan, pasal 285 yang
berbunyi :
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan,
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Dengan demikian perkosaan adalah tindakan laki-laki menyetubuhi seorang
perempuan yang bukan istrinya dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan
sehingga delik perkosaan adalah limitatif berunsur :
1.

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

2.

memaksa perempuan

3.

perempuan bukan istri pelaku pemerkosaan

4.

tindakan pemaksaan untuk bersetubuh.

Unsur perkosaaan dapat disederhanakan menjadi :


6

1. Persetubuhan
2. Kegagalan mencari atau memperoleh persetujuan dari korban
Batasan

perkosaan

tersebut

bergantung

pada

batasan

bersetubuh

dan

persetubuhan. Bersetubuh secara biomedik, khususnya fisiologis adalah : masuknya alat


kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan (penetrasi penis ke dalam vagina),
baik sebagian atau seluruhnya (parsial atau total), dengan atau tanpa eyakulasi.
Sedangkan persetubuhan menurut Arrest Hooge Raad adalah : penyatuan (vereniging)
antara alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin perempuan yang dijalankan untuk
mendapatkan anak. Dengan demikian persetubuhan bukan hanya sekedar persentuhan
alat kelamin sebelah luar saja, yang secara hukum hal ini tergolong dalam tindakan
percabulan (memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya
perbuatan cabul). Batasan bersetubuh di negara commonwealth secara tradisional adalah
hanya penetrasi penis ke vagina perempuan namun dengan perkembangan hukum telah
diperluas mencakup penetrasi ringan (slight) atau parsial yang dianggap cukup untuk
membuktikan persetubuhan, yang berarti bahwa hanya penetrasi penis dalam vulva di
antara labia mayora perempuan, tanpa diikuti robekan selaput dara ataupun ejakulasi.
Limitasi batasan hukum sesuai unsur-unsur pasal 285 KUHP tersebut tidak
mencakup kasus perkosaan dalam arti luas seperti persetubuhan yang tanpa
kekerasan/ancaman kekerasan (misalnya persetubuhan suka sama suka), perempuan
korban adalah istrinya (marital rape) atau anak/saudara sekandungnya sendiri (incest) ,
persetubuhan tanpa paksaan (melalui pembujukan), penetrasi vagina korban bukan
dengan penis pelaku seperti penganiayaan seksual khususnya dengan merusak vagina
dengan benda tertentu, sodomi (anal rape), fellatio dan cunnilingus (oral rape), dan
penganiayaan atau kekerasan terhadap perempuan lainnya, atau bila korbannya adalah
laki-laki (homosexual rape). Batasan perkosaan ini amat berbeda dengan batasan
perkosaan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat yang mendefinisikannya secara
luas sebagai penetrasi seksual tanpa persetujuan dari orang dewasa atau dewasa muda
yang diperoleh melalui kekerasan fisik, ancaman melukai badan atau bila korban tidak
dapat menyatakan persetujuan akibat gangguan mental,

retardasi mental atau

keracunan.

Untuk menganalisis epistemologi perkosaan, spesies perkosaan harus dipahami


ke dalam genusnya yakni kekerasan terhadap perempuan karena hal ini akan
mempengaruhi pendefinisiannya. Kekerasan terhadap perempuan sendiri, menurut Pasal
1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan PBB (1993) didefinisikan
sebagai :
setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau
mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau
psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam
kehidupan pribadi.

Batasan dalam deklarasi tersebut juga amat luas sebagaimana cakupan rumusan
hukum internasional yang mengikat secara moral masyarakat dunia dan negara-negara
anggota PBB tersebut yang meliputi bentuk, proses dan akibat-akibat yang diderita
perempuan, terlepas dari siapapun pelakunya serta kategorisasi perempuan-korbankekerasan yang mencakup mereka yang dalam rumah tangga seperti istri, anak-anak
perempuan serta sebagai warganegara berapapun usianya. Secara empirik universal, pada
budaya masyarakat dunia dan semua negara PBB ditemukan kekerasan terhadap
perempuan.
Menurut

pandangan

humanisme

dan

feminisme

sebagaimana

bab-bab

sebelumnya, perkosaan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM atau hak
fundamental manusia perempuan khususnya hak atas kehidupan, hak atas kebebasan (hak
untuk bebas menentukan pilihan sendiri) dan hak atas kepemilikan pribadi (hak bebas
menentukan dan menguasai milik pribadi, termasuk tubuhnya sendiri). Berdasarkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) yang diperkuat
lagi melalui rumusan Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan PBB
(1993), perkosaan juga melanggar HAP, suatu hak yang merupakan bagian integral dan
tak terpisahkan dari HAM, khususnya yang berunsur hak atas persamaan (equality), hak
otonomi dan hak integritas tubuh. Hak persamaan terkait dengan motif kekerasan
terhadap perempuan karena korban semata-mata perempuan (kekerasan jender), hak
8

otonomi terkait dengan dalam relasi sosial korban dengan laki-laki, dan hak integritas
tubuh dikaitkan dengan adalah ras tertentu (rasisme) atau etnis tertentu. Perkosaan
melanggar pula HRP yang meliputi hak atas perencanaan, atas informasi dan cara
memiliki anak (berkeluarga), hak atas standar tertinggi kesehatan seksual dan reproduksi
serta hak reproduksi lainnya tanpa diskriminasi, paksaan dan kekerasan. Perkosaan
menyebabkan perempuan korban mengalami perlukaan fisik, seksual dan guncangan
kejiwaan serta kepribadian jangka panjang yang menyebabkan kehilangan identitas
person serta eksistensi dirinya. Korban kehilangan pula hak reproduksi terpentingnya
yang berarti hilang pula hak atas kehidupan generasi sesudahnya karena tubuh
perempuan terperkosa seringkali rusak sistem reproduksinya dan persepsi seksualitasnya,
khususnya yang berkaitan dengan ketubuhannya.
Perkosaan merupakan bagian khusus tindakan kekerasan paling brutal terhadap
manusia perempuan yang konsisten terdapat pada semua jenis kekerasan terhadap
perempuan, dalam konteks korban sebagai individu, baik dalam keluarga masyarakat,
maupun negara

Sebagai mahluk yang relatif lebih lemah dari segi bio-psikososial

dibandingkan laki-laki, perempuan senantiasa memiliki risiko dan kerentanan untuk


mengalami kekerasan. Sebagaimana telah diutarakan dalam bab-bab sebelumnya,
perempuan dalam kurun hidupnya dapat mengalami kekerasan secara fisik, seksual,
psikologis maupun gabungan dari ketiganya. Selain mengalami gangguan atau
penderitaan gabungan tersebut sebagaimana kekerasan berbasis-jender, dampak masingmasing atau gabungannya termasuk ancaman, pemaksaan dan perampasan sepihak
kemerdekaan perempuan-korban terjadi di ruang publik maupun privat. Kekerasan
tersebut dapat langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi fungsi reproduksinya,
bahkan juga nyawanya.
Secara hukum, kekerasan-terhadap-perempuan sebagaimana kekerasan pada
umumnya (ditujukan terhadap orang lain) telah diakomodasi dalam rumusan hukum
pidana sebagaimana tertuang dalam kisaran pasal-pasal yang berlaku umum, baik
terhadap laki-laki maupun perempuan seperti pasal-pasal penganiayaan (351 356
KUHP), kejahatan kesusilaan termasuk perkosaan dan percabulan (285 301 KUHP),
pembunuhan (338 340 KUHP), penghilangan kemerdekaan termasuk penculikan (324
337), penistaan termasuk penghinaan di muka umum (310 321) yang diperjelas

dengan kekerasan dengan perlukaan berat (89 90 KUHP; serta yang menyangkut
khusus perempuan sebagai korban yakni perkosaan (pasal 285), pengguguran kandungan
tanpa seijin perempuan (pasal 347), perdagangan perempuan (pasal 297) dan melarikan
perempuan (pasal 332).
Kekerasan terhadap perempuan juga tak dapat dipisahkan dari pengertian umum
tentang tindak kekerasan (violence) itu sendiri, khususnya yang terkait dengan hukum,
yakni :
(a) Unjust or unwarrranted exercise of force with the accompaniment of
vehemence, outrage or fury; (b) Physical force unlawfully exercised; abuse of force; that
force is employed against common right, against laws, and against public liberty; (c) The
exertion of any physical force so as to injure, damage or abuse.
Batasan kekerasan tidak ditemukan dalam KUHP. Namun dalam pengertian
hukum di Amerika Serikat diperoleh beberapa istilah terkait dengan kekerasan seperti
tort, khususnya intentional tort, battery, dan assault, serta battery & assault. Pengertian
intentional tort adalah perusakan atau pencederaan secara salah seseorang atau harta
milik seseorang yang mencakup assault dan battery. Selain kedua hal cakupan istilah
dalam intentional tort tersebut dikenal pula pengertian dalam Blacks Law Dictionary
adanya battery & assault.
Dari pelbagai batasan sebagaimana rumusan Pasal 1 dan 2 Deklarasi
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang amat luas bila dikaitkan dengan
pengertian-pengertian di atas yang juga cukup luas maka ciri-ciri dan unsur-unsur suatu
tindakan atau perbuatan dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan adalah :

1. Kekerasan tersebut berbasis jender (gender-based violence).


2. Dapat berupa perbuatan fisik (disertai perlukaan atau tidak; pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan sewenang-wenang), psikis (gejala menetap/tahap akhir
atau gejala sementara/tahap awal; ancaman tindakan tertentu), atau seksual
(dengan persetubuhan atau tanpa persetubuhan).
3. Dilakukan dapat secara aktif maupun pasif (tidak berbuat sesuatu) oleh pelaku

10

4. Dikehendaki/disengaja oleh pelaku baik individual maupun kelompok (termasuk


negara).
5. Berakibat/kemungkinan berakibat kesengsaraan/penderitaan atau merugikan
perempuan-korban, baik dalam kehidupan pribadi/dalam rumah tangga (privat)
ataupun di depan umum /luar rumah tangga (publik), berusia dewasa ataupun
belum.
6. Tindakan pelaku atau akibatnya tidak dikehendaki/disetujui korban, merugikan
korban atau rata-rata perempuan yang sama dengan korban.
Dari pengertian tersebut di atas, terdapat hal-hal yang secara metodologis disebut
obyektif dan subyektif. Obyektif karena secara indrawi dapat ditemukan fakta biomedik
pada tubuh perempuan-korban, seperti persetubuhan, perlukaan, kerusakan alat kelamin,
benda bukti asal pelaku dan lain-lainnya yang dapat diverifikasikan keberadaan
faktualnya oleh dokter pemeriksa. Subyektif karena secara indrawi sulit atau tidak bisa
ditemukan fakta biomedik pada perempuan-korban seperti gangguan perasaan, rasa sakit,
ketakutan akan ancaman, kriteria merugikan, tidak adanya persetujuan korban, dan lainlain yang hanya dapat dipahami oleh pihak pemeriksa atau pendamping korban
berdasarkan keterangan subyektif korban. Dengan demikian, bertolak dari batasan dan
atau pengertian kekerasan-terhadap-perempuan sejak awal telah terdapat perbedaan
metodologis verifikasi gejalanya yang kelak akan berpengaruh terhadap pembuktiannya
di pengadilan.
Pembahasan Khusus
Pada kasus diatas klien adalah seorang perempuan berusia 23 tahun. Berdasarkan
keterangan yang didapat dari klien, klien telah mengalami seksual intercourse sebanyak
tiga kali di rumah pelaku, dimana pelaku adalah majikan klien. Klien bekerja sebagai
pembantu rumah tangga. Dari hasil pemeriksaan didapatkan bagian luar genitalia klien
pada bibir kecil bagian kiri pada arah jam tiga berupa luka robek baru (robekan dangkal)
berbentuk V yang masing-masing kakinya sepanjang tiga milimeter dan dua milimeter.
Sedangkan selaput dara termasuk tipe fimbriatus atau berkelopak-kelopak, utuh. Dari

11

pemeriksaan laboratorium yang dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut : Fosfatase


Asam negatif (-), Berberio negatif (-), Sperma negatif (-).
Dari anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium didapatkan data-data
yang dapat diinterpretasikan dalam membantu proses peradilan nanti.
Berdasarkan KUHP pasal 285 yang berbunyi : barangsiapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan,
diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun. Maka tugas dokter dalam hal tindak kejahatan susila adalah pembuktian adanya
tanda-tanda persetubuhan dan tanda-tanda kekerasan yang ada pada korban. Seorang
dokter tidak dapat menentukan apakah terdapat unsur-unsur paksaan pada tindak pidana
ini. Dari anamnesis ditemukan bahwa klien telah mengalami seksual intercourse
sebanyak tiga kali yang dilakukan pelaku dengan cara memaksa klien. Yang perlu
diperhatikan dalam anamnesis adalah pada anamnesis yang diperoleh korban tidak dapat
selalu dipercaya. Anamnesis merupakan suatu yang tidak dapat dilihat atau ditemukan
oleh dokter sehingga bukan merupakan pemeriksaan yang obyektif, sehingga seharusnya
tidak dimasukkan dalam Visum et Repertum. Anamnesis dibuat terpisah dan dilampirkan
dengan judul keterangan yang diperoleh dari korban. Dari anamnesis umum didapatkan
usia klien adalah 23 tahun, status belum menikah, siklus haid tidak diketahui, penyakit
lain dan status keluarganya.
Dari waktu kejadian, klien melapor setelah berselang waktu dua hari, hal ini
menunjukkan bahwa persetubuhan yang terjadi pada dasarnya tidak disetujui oleh wanita
yang bersangkutan. Saat pelaporan yang terlambat ini dapat pula disebabkan karena
korban diancam untuk tidak melapor. Selain itu status klien sebagai pembantu rumah
tangga dapat dimaklumi jika klien takut melapor.
Dari pemeriksaan secara klinis ditemukan adanya luka robek baru pada bagian luar
genitalia klien. Sedangkan selaput dara sendiri masih ututh. Hal ini disebabkan karena
tipe selaput dara klien fimbriatus. Tidak diketemukan lagi spermatozoa dan cairan mani
pada bagian genitalia klien. Hal ini disebabkan klien sudah mencuci dan mandi, sehingga
tidak lagi ditemukan. Kemungkinan lain pelaku tidak sampai ejakulasi atau ejakulasi
diluar (coitus interuptus). Pada klien tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan.

12

Jadi dapat disimpulkan bahwa pada klien telah terjadi kekerasan tumpul yang
menyebabkan luka pada bagian luar genitalia klien. Tanda-tanda persetubuhan lain seperti
ditemukannya spermatozoa dan cairan mani tidak ditemukan. Tanda-tanda kekerasan
fisik kepada klien juga tidak ditemukan.

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono et al. (kontributor. Ilmu Kedokteran
Forensik. Bagian Kedokteran Forensik FKUI Jakarta. 1997
2. Peraturan Perundang-undangan Bidang Kedokteran. Cetakan Kedua. Bagian
Ilmu Kedokteran Forensik FKUI. Jakarta. 1994
3. Sampurna B, Samsu Z. Peranan Ilmu Forensik Dalam Penegakan HukumSebuah Pengantar. Edisi kedua.Jakarta 2003

14

Vous aimerez peut-être aussi