Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Penyakit Infeksi adalah penyakit yang paling banyak ditemukan pada anakanak dan paling sering menjadi satu-satunya alasan untuk datang ke doktek untuk
menjalani perawatan inap maupun rawat jalan.Infeksi pada saluran napas merupakan
penyakit yang umum terjadi pada masyarakat, yang merupakan salah satu penyebab
kematian tertinggi pada anak umur di bawah 5 tahun (22, 30%). Infeksi saluran
pernafasan akut menempati urutan pertama 10 penyakit rawat jalan di rumah sakit
tahun 2010 dan menempati urutan 9 dari 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit
tahun 2010. Hal ini diduga karena penyakit ini termasuk penyakit yang akut dan
kualitas penatalaksanaannya belum memadai ( Kemenkes RI, 2012 ).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut
berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme `dan menyerang
salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas)
hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga
telinga tengah dan pleura (Depkes RI, 2005 ).
Di Indonesia kasus Infeksi saluran Pernafasan Akut (ISPA) selalu menempati
urutan pertama penyebab 32,1% kematian bayi pada tahun 2009, serta penyebab
18,2% kematian pada balita pada tahun 2010 dan 38,8% tahun 2011. Selain itu ISPA
juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Berdasarkan
data dari P2 program ISPA tahun 2009 cakupan penderita ISPA melampaui target
13,4%, hasil yang di peroleh 18.749 kasus sementara target yang ditetapkan hanya
16.534 kasus. Survey moralitas yang dilakukan di subdit ISPA tahun 2010
menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di
Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita ( Kemenkes RI,
2012).
Di Wilayah Kerja Puskesmas Kertak Hanyar Kabupaten Banjar, terdapat 217
orang pada bulan Desember 2014menderita ISPA 30,4 % dari penderita tersebut
adalah balita. Dari data tersebut di temukan bahwa jumlah penderita penyakit ispa
pada balita masih banyak dan perlu penanganan yang serius untuk mencegah jumlah
penderita agar tidak meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
pengetahuan ibu balita tentang penyakit ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja puskesmas Kertak Hanyar Kabupaten Banjar.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas adalah: Apakah ada
hubungan tingkat pengetahuan ibu balita tentang penyakit ISPA dengan kejadian
ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Kertak Hanyar Kabupaten Banjar?
1.3 TujuanPenelitian
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu balita tentang penyakit ISPA
dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Kertak Hanyar
Kabupaten Banjar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditetapkan karena dahak biasanya
sukar untuk diperoleh.Sedangkan prosedur pemeriksaan immunologi belum
memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai
penyebab pneumonia.Penetapan etiologi pneumonia yang dapat diandalkan adalah
biakan dari aspirat paru dan darah.Tetapi pungsi paru merupakan prosedur yang
berisiko
dan
bertentangan
dengan
etika
jika
hanya
dimaksudkan
untuk
penelitian.Oleh karena itu di Indonesia masih menggunakan hasil penelitian dari luar
negeri.
Faktor umur dapat mengarahkan kemungkinan penyebab ISPA atau
etiologinya :
a. Grup B Streptococcus dan gram negatif bakteri enterik merupakan penyebab
yang paling umum pada neonatal (bayi berumur 1-28 hari) dan merupakan
transmisi vertikal dari ibu sewaktu persalinan.
b. Pneumonia pada bayi berumur 3 minggu sampai 3 bulan yang paling sering
adalah bakteri, biasanya bakteri Streptococcus Pneumoniae.
c. Balita usia 4 bulan sampai 5 tahun, virus merupakan penyebab tersering dari
pneumonia, yaitu respiratory syncytial virus.
d. Pada usia 5 tahun sampai dewasa pada umumnya penyebab dari pneumonia
adalah bakteri.
Pada penelitian lainStreptococcus pneumoniae merupakan patogen paling
banyak sebagai penyebab pneumonia pada semua pihak kelompok umur.
Menurut WHO, penelitian di berbagai negara juga menunjukkan bahwa di
negara berkembang Streptococcus pneumoniae dan Haemofilus influenzae merupakan
bakteri yang selalu ditemukan pada 2/3 (dua pertiga) dari hasil isolasi yaitu 73,9%
5
aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Bakteri merupakan
penyebab utama dari pneumonia pada balita.Diperkirakan besarnya presentase bakteri
sebagaipenyebabnya adalah sebesar 50%.Sedangkan di negara maju, saat ini
pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.
2.3 Faktor Resiko ISPA
Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor
lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.
a. Faktor individu anak
1. Umur anak
Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernafasan
oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun
terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6-12 bulan dan pada balita
usia 1-4 tahun (Rahajoe, 2008).
2. Berat badan lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan
mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat
badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena
pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah
terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernafasan
lainnya.
Penelitian menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram
dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran
pernafasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted terhadap
status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini mengingatkan bahwa
6
anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami rate
lebih tinggi terhadap penyakit saluran pernafasan, tetapi mengalami lebih
berat infeksinya (Behrman, 1999).
3. Status gizi
Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan
perkembangan anak dipengaruhi oleh: umur, keadaan fisik, kondisi
kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan
aktivitas dari si anak itu sendiri. Penilaian status gizi dapat dilakukan antara
lain berdasarkan antopometri: berat badan lahir, panjang badan, tinggi badan,
lingkar lengan atas.
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk
terjadinya ISPA.Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya
hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang
bergizi buruk sering mendapat pneumonia.Disamping itu adanya hubungan
antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta
menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi.
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan yang
kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai
nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang,
balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama
(Rahajoe, 2008).
4. Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan kapsul 200.000
IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Balita
yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit maupun yang
tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko terjadinya suatu
penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok
kontrol.
Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan
menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap
berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bagi antibodi yang ditujukan terhadap
bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, niscaya
dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit yang
bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat.Karena itu usaha misal
pemberian vitamin A dan imunisasi secara berkala terhadap anak-anak
prasekolah seharusnya tidak dilihat sebagai dua keinginan terpisah.Keduanya
haruslah dipandang dalam suatu kesatuan yang utuh, yaitu meningkatkan
daya tahan tubuh dan perlindungan terhadap anak Indonesia 18 sehingga
mereka dapat tumbuh, berkembang dan berangkat dewasa dalam keadaan
yang sebaik-baiknya.
Selain itu vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Grant
melaporkan bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan mengalami
ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak mengalami defisiensi
vitamin A (Rahajoe, 2008).
5. Status Imunisasi
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat
kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian
besar kematian ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang
dapat
mencegah
penularan
penyakit
dan
melancarkan
10
masyarakat atau keluarga.Hal ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita
semua karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga ibu balita dan
anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan
terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit.
Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini pneumonia
dan kapan mencari pertolongan dan rujukan pada sistem pelayanan kesehatan
agar penyakit anak balitanya tidak menjadi lebih berat. Berdasarkan hal
tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa peran keluarga dalam praktek
penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab bila praktek
penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang/buruk akan berpengaruh
pada perjalanan penyakit dari ringan menjadi bertambah berat.
2.4 Tanda dan Gejala ISPA
Tanda dan gejala ISPA sangat bervariasi antara lain demam, pusing, malaise
(lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia (takut
cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara napas), dyspnea (kesulitan
bernapas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen),
dan dapat berlanjut pada gagal napas apabila tidak mendapat pertolongan dan dapat
mengakibatkan kematian (Behrman, 1999).
2.5 Klasifikasi ISPA
ISPA diklasifikasikan menjadi infeksi saluran pernapasan atas dan bawah
a. Infeksi saluran pernapasan atas
1. Batuk pilek.
Batuk pilek (common cold) adalah infeksi primer nesofaring dan hidung
yang sering mengenai bayi dan anak.Penyakit ini cenderung berlangsung
11
sehingga
bisa
menghambat
keluar
masuknya
12
13
14
Tuberkulosis
merupakan
mycobakterium
penyakit
tuberkulosis
dan
infeksi yang
disebabkan oleh
mycobakterium
bovis.Penyakit
BAB III
LANDASAN TEORI
ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang
disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau
disertai radang parenkim paru (Hood Alsagaff, 2006:110).
15
Istilah ISPA diadaptasi dari bahasa inggris Acute Respiratory Infection (ARI).
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan
pengertian sebagai berikut:
a. Infeksi adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit.
b. Saluran Pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah, dan pleura. ISPA secara anatomis
mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah
(termasuk paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan.
c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
diambil untuk menunjukan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat
digolongkan dalam ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes RI,
2002).
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dari interaksi bibit penyakit dengan
tubuh pejamu.Respon inflamasi pada lokasi infeksi merupakan hasil mekanisme imun
spesifik dan nonspesifik pejamu dalam melawan invasi mikroba dengan mencegah
pertumbuhannya
atau
selanjutnya
menghancurkannya
(Mandal
B.K
dkk,
16
17
benar tentang ISPA dapat membantu mendeteksi dan mencegah penyakit ISPA lebih
awal (Warman, 2008). Dengan meningkatnya pengetahuan ibu tentang stimulasi
diharapkan akan terjadi perubahan perilaku ke arah yang mendukung kesehatan
khususnya dalam pencegahan dan penatalaksanaan ISPA sehingga angka kejadian
ISPA berkurang.
BAB IV
RANCANGAN PENELITIAN
18
87
87. (0,1)2 + 1
= 46
Sampel diambil dengan menggunakan metode purposive sampling. Adapun
kriteria yang ditentukan untuk pengambilan sampel ini:
Kriteria inklusi:
a. Anak berusia 2-5 tahun.
b. Anak dan ibu bersedia menjadi subjek penelitian.
Kriteria eksklusi:
a. Orang tua tidak mengizinkan anaknya menjadi subjek penelitian.
b. Anak dan ibu menolak dilakukan penelitian.
4.3 Instrumen Penelitian
1. Lembar informed consent
2. Lembar kuesioner untuk wawancara
4.4 Variabel Penelitian
Variabel bebas:
19
1.
2.
20
anak dengan menggunakan kuesioner untuk mendapatkan data usia anak, serta tingkat
pendidikan dan pengetahuan ibu.
Kemudian dilakukan analisis data berdasarkan hasil yang didapat dari
wawancara yang dilakukan.
4.7 Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan:
Wawancara dilakukan pada ibunya,untuk mengetahui bagaimana tingkat
2.
21
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 HASIL
Tabel 5.1
ISPA
2,17%
76,08%
19,5%
Kejadian ISPA
TIDAK ISPA
0%
2,17%
0%
Gambar 5.1 Diagram Tingkat Pengetahuan Ibu Balita tentang Penyakit ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Kertak Hanyar Kabupaten Banjar
22
Tingkat Pengetahuan Ibu Balita tentang Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kertak Hanyar Kabupaten Banjar
80
70
60
50
ISPA
Tidak ISPA
40
30
20
10
0
Baik
Sedang
Buruk
5.2 PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan
responden
berbagai hal yang berhubungan dengan ISPA. Tingkat pengetahuan yang baik, sedang
dan buruk tentang ISPA pada sebagian besar responden menjadikan responden tidak
dapat menjaga kebersihan dan hal-hal yang merupakan faktor terjadinya ISPA
sehingga kejadian ISPA tidak dapat dicegah sejak awal.
Berdasarkan ilmu pengetahuan pada saat ini dimana tekhnologi untuk
pencegahan ISPA sudah cukup dikuasai, akan tetapi permasalahan tentang
penyakit ISPA dalam masyarakat, sampai saat ini masih merupakan masalah
yang relatif besar yang terjadi pada keluarga pra sejahtera yang mempunyai
23
24
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adahubungan yang bermakna antara
tingkatpengetahuan dengan kejadian ISPA.Tingkat pengetahuan yang baik, sedang
dan buruk tentang ISPA pada sebagian besar responden menjadikan responden tidak
dapat menjaga kebersihan dan hal-hal yang merupakan faktor terjadinya ISPA
sehingga kejadian ISPA tidak dapat dicegah sejak awal.Pengetahuanyang tinggi
belum tentu prakteknya benarAda banyak faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA
baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Sutrisna (1993), faktor risiko
25
yang menyebabkan ISPA pada balita adalah sosial ekonomi (pendapatan, perumahan,
pendidikan orang tua), status gizi, tingkat pengetahuan ibu dan faktor lingkungan
(kualitas udara). Sedangkan Depkes (2002), menyebutkan bahwa faktor penyebab
ISPA pada balita adalah Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR), status gizi buruk,
imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik.
6.2 Saran
Perlu adanyapenyuluhan tentang cara merawat yang benar padabalita penderita
ISPA akan lebihbaik jika dilakukan dengan demonstrasi denganmedia, karena
perilaku akan lebih baik jikadidasari oleh pengetahuan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Pengetahuan Ibu dengan Kejadian Diare Akut pada Balita di Kelurahan Pekan
arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri (online)(http://belibisa17.com/2008/06/26/hubungan-sosial-dan-pengetahuan).
11. Rahajoe, N. Nastiti dkk. Respirologi Anak, IDAI, Jakarta, 2008
27
12. WHO.Penanganan
ISPA pada
anak
di
rumah
sakit
kecel
negara
dirumah.Diunduh
dari
http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index.php/ilmukeperawatan/a
rticle/view/44/83 (27 April 2013).
16. WHO (2007).Pencegahan dan pengendalian infeksi saluranpernapsan akut
(ISPA)
yang
Cenderung
menjadi
pelayanankesehatan.Diunduh
epidemi
dan
pendemidi
fasilitas
darihttp://www.who.int/csr/resources/p
ublications/WHO_CDS_EPR_2007_8bahasa.pdf
17. Wardhani, E, Dkk., 2010, Hubungan faktor lingkungan, sosial ekonomi, dan
Cipta
19. Sutrisna, B. 1993. Risk factors for pneumonia in children under 5 years of age
28