Vous êtes sur la page 1sur 37

PAPER

SEMINAR MANAJEMEN KEKAYAAN NEGARA

ASET TERKAIT BARANG RAMPASAN, BARANG TEGAHAN, DAN


BARANG GRATIFIKASI

Disusun oleh:
Kelompok 3 Kelas 8A Reguler
Amzar Habibi
Arief Kuswanadji
Breznev Androvok Siagian
Danang Indra Kurniawan
Dwi Rahma Ramadani Aulia
Muhammad Arifin
Nur Aziz Fajrin
Risti Nur Vina Tsani
Sandy Nugroho Saputro

144060006157/ Absen 03
144060006087/ Absen 04
144060006161/ Absen 06
144060006090/ Absen 08
144060006130/ Absen 14
144060006107/ Absen 28
144060006181/ Absen 29
144060006185/ Absen 33
144060006151/ Absen 34

DIPLOMA IV AKUNTANSI REGULER


TAHUN AJARAN 2014/2015
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

PENDAHULUAN

Barang Rampasan Negara, Barang Tegahan, dan Barang Gratifikasi merupakan Barang Milik
Negara yang berasal dari perolehan lainnya yang sah yang pengelolaannya perlu dilakukan secara
tertib administrasi, akuntabel, dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat serta tetap menjunjung
tinggi good governance. Hal ini dikarenakan mengingat Barang Rampasan Negara, Barang Tegahan,
dan Barang Gratifikasi memiliki jumlah dan nilai yang cukup besar dan dapat berkontribusi terhadap
penerimaan negara.
Selain itu, barang milik negara yang berasal dari rampasan, tegahan, dan gratifikasi belum
diatur secara komprehensif dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, Dan Pemindahtanganan Barang Milik
Negara. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan mengeluarkan beberapa Peraturan Kementerian
Keuangan yang mengatur secara khusus terkait Barang Rampasan Negara, Barang Tegahan, dan
Barang Gratifikasi, sehingga pihak-pihak terkait dalam kegiatan pengurusan barang tersebut memiliki
dasar hukum yang kuat dalam melaksanakan tugasnya.
Untuk memberikan kewenangan pada organisasi dalam melakukan pengelolaan aset tindak
pidana diperlukan landasan hukum yang kuat. Landasan hukum tersebut bukan hanya memungkinkan
pendirian organisasi tersebut namun juga mendorong seluruh aparat penegak hukum taat pada koridor
pengelolaan aset tindak pidana yang telah ditetapkan. Beberapa hal penting harus diyakinkan termuat
dalam peraturan yang akan ditetapkan tersebut:
1.
2.
3.
4.

Amanat pemisahan fungsi;


Kewenangan/tugas lembaga dalam prosedur;
Pokok-pokok kewenangan pengelolaan dana hasil pelepasan aset tindak pidana; dan
Penegasan aturan peralihan.
Dalam makalah ini, kami akan membahas secara umum tentang Aset terkait Barang

Rampasan, Barang Tegahan, dan Barang Gratifikasi dengan menyadur berbagai sumber, dan kami
membahas kasus-kasus terkini yang terkait dengan tema pembahasan dan menghubungkannya dengan
pembahasan yang telah kami jabarkan.

BARANG RAMPASAN
1. PENGERTIAN BARANG RAMPASAN
a. Menurut Kejaksaan Agung RI
Barang rampasan itu adalah barang yang merupakan alat atau barang bukti, dan barang bukti
tersebut dapat dilelang apabila telah diputuskan oleh Pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.
b. Menurut Peraturan Menteri Keuangan
Barang Rampasan Negara adalah Barang Milik Negara yang berasal dari barang bukti yang
ditetapkan dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Pengurusan Barang Rampasan Negara adalah serangkaian kegiatan yang meliputi
pengamanan dan pemeliharaan, Penilaian, Penghapusan, Pemindahtanganan, penatausahaan,
pembinaan, pengawasan dan pengendalian atas barang rampasan Negara.
2. JENIS-JENIS BARANG RAMPASAN
Berdasarkan ketentuan yang berlaku yaitu Keputusan Jaksa Agung Nomor : KEP089/J.A/1988 tentang Penyelesaian Barang Rampasan di dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 14 yang
menyebutkan jenis-jenis barang rampasan, yaitu :
a. Barang-barang rampasan yang dikenakan larangan import dan dilarang untuk diedarkan.
Maksud kalimat di atas adalah barang-barang rampasan jenis ini pada saat penerimaannya itu
tidak memiliki dokumen-dokumen atau surat-surat yang lengkap atau merupakan barang
selundupan. Jenis-jenis barang rampasan yang termasuk di dalamnya yaitu : alat-alat elektronik,
mobil, kapal dan lain sebagainya, dan biasanya barang-barang rampasan ini digunakan untuk
kepentingan Negara atau sosial.
b. Barang-barang rampasan yang digunakan untuk kepentingan Negara atau sosial.
Maksud kalimat diatas adalah barang-barang rampasan jenis ini keberadaannya dapat
dimanfaatkan bagi kepentingan Negara maupun sosial. Jenis-jenis barang rampasan yang
termasuk di dalamnya antara lain seperti : motor, rumah (dalam kasus perdata), dan lain
sebagainya.
c. Barang-barang rampasan yang dimusnahkan.
Maksud kalimat di atas adalah barang-barang rampasan jenis ini keberadaannya dapat tidak
dimanfaatkan bagi kepentingan Negara maupun sosial. Jenis-jenis barang rampasan yang
termasuk di dalamnya antara lain : ganja, heroin, obat-obatan terlarang, morfin dan lain
sebagainya. Di dalam penyelesaian barang rampasan jenis ini Jaksa Agung Republik Indonesia
bekerjasama dengan Menteri Kesehatan.
3. PERLAKUAN UTAMA TERHADAP BARANG RAMPASAN
Jika dicermati ketentuan KUHAP, Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP-089/1A/8/1988
dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, jo Peraturan
Menteri Keuangan Nomor B03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Yang Berasal

dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi, pada prinsipnya ada empat perlakuan utama
terhadap barang-barang rampasan, yaitu :
a. Hasil pelelangan benda rampasan berupa uang dipakai sebagai barang bukti, apabila :
1) Perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum,. benda tersebut dapat dijual
lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh
tersangka atau kuasanya. Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang
dipakai sebagai barang bukti.
2) Perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual
lelang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan
oleh terdakwa atau kuasanya.
b. Terhadap benda-benda yang dirampas dan dilelang untuk Negara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, uangnya disetorkan ke kas Negara sebagai
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP);
c. Terhadap barang-barang yang dirampas dan dinilai berbahaya seperti ; Narkoba, minuman keras,
zat kimia, dan berbagai jenis senjata; Dimusnahkan; dan
d. Terhadap barang-barang rampasan Negara juga dapat dihibahkan untuk kepentingan sosial atau
khusus untuk kapal perikanan hasil rampasan untuk Negara dapat diserahkan kepada kelompok
usaha bersama nelayan dan/atau koperasi perikanan.
PEMBAGIAN WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB BARANG RAMPASAN
a. Wewenang dan tanggung jawab Menteri Keuangan
1) Menetapkan status penggunaan Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi;
2) Memberikan keputusan atas usulan Pemanfaatan, Pemindahtanganan dan Penghapusan
4.

Barang

Rampasan

Negara

yang

diajukan

oleh

Kejaksaan

sesuai

dengan

batas

kewenangannya;
3) Melaksanakan kewenangan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
4) Wewenang dan tanggung jawab tersebut secara fungsional dilaksanakan oleh Direktur
Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas dan fungsi
di bidang kekayaan negara.
b. Wewenang dan tanggung jawab Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
Direktur Jenderal atas nama Menteri melimpahkan sebagian wewenangnya kepada Kepala
Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan untuk menandatangani surat atau Keputusan Menteri
dalam rangka penetapan status penggunaan, Pemanfaatan atau Pemindahtanganan, pemusnahan atau
Penghapusan Barang Rampasan Negara.
1) Pelimpahan wewenang itu dilakukan dengan ketentuan untuk Barang Rampasan Negara
dengan indikasi nilai di atas Rp500 juta sampai dengan Rp1 miliar didelegasikan kepada
Kepala Kantor Wilayah; dan
2) Sementara Barang Rampasan Negara dengan indikasi nilai sampai dengan Rp500 juta
didelegasikan kepada Kepala Kantor Pelayanan (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang).
c. Wewenang dan tanggung jawab Kejaksaan
1) Melakukan penatausahaan terhadap barang rampasan negara;

2) Menguasakan kepada Kantor Pelayananan untuk melakukan penjualan secara lelang Barang
Rampasan Negara dalam waktu 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 1
(satu) bulan, yang hasilnya disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak
berupa penerimaan umum pada kejaksaan;
3) Melakukan pengamanan administrasi, pengamanan fisik dan pengamanan hukum terhadap
Barang Rampasan Negara yang berada dalam penguasaannya; dan
4) Mengajukan usul penetapan status penggunaan, pemanfaatan,

pemindahtanganan,

pemusnahan, dan penghapusan kepada Menteri atau kepada pejabat yang menerima
pelimpahan wewenang Menteri sesuai batas kewenangan.
d. Wewenang dan tanggung jawab Komisi Pemberantasan Korupsi
1) Melakukan penatausahaan;
2) Melakukan pengamanan administrasi, pengamanan fisik dan pengamanan hukum terhadap
Barang Rampasan Negara/Barang gratifikasi yang berada dalam penguasaannya;
3) Mengajukan usul penetapan status penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan,
pemusnahan, dan penghapusan kepada Menteri atau kepada pejabat yang menerima
pelimpahan wewenang Menteri sesuai batas kewenangan (barang rampasan negara); dan
4) Menyerahkan Barang Gratifikasi kepada Menteri Keuangan untuk dikelola.
5. PENGURUSAN BARANG RAMPASAN NEGARA
a. Penjualan barang rampasan negara dilakukan oleh Kejaksaan dan KPK dilakukan secara lelang
melalui KPKNL;
b. Penjualan
barang

rampasan

negara

tidak

memerlukan

persetujuan

Menteri

Keuangan/Presiden/DPR
c. Dalam hal tidak laku lelang, Kejaksaan dan/atau KPK mengajukan usulan pengelolaannya kepada
Menteri Keuangan untuk memperoleh persetujuan;
d. Terdapat pengecualian atas barang rampasan negara yang akan dijual yaitu barang rampasan
negara yang diperlukan untuk kepentingan negara, untuk penyelenggaraan tupoksi Pemda, dapat
membahayakan lingkungan, dilarang beredar umum, lebih ekonomis apabila tidak dijual lelang;
e. Dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan barang rampasan negara dilakukan penilaian
f.

untuk memperoleh nilai wajar; dan


Kejaksaaan dan KPK melakukan inventarisasi atas barang rampasan negara yang berada dalam
penguasaannya paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun dan menyampaikan laporan hasil
inventarisasi kepada Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan setelah selesainya inventarisasi.

6. DASAR HUKUM TERKAIT BARANG RAMPASAN


a. Penjelasan mengenai Barang Rampasan
1) Kejaksaan Agung RI, Himpunan Peraturan tentang Pembinaan;
2) Keputusan Jaksa Agung Nomor : KEP- 089/J.A/1988; dan
3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi
b. Pengelolaan Barang Rampasan
1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
2) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
3) PP Nomor 38 tahun 2008 tentang Perubahan atas PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;
4) PMK Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan,
Penghapusan, dan Pemindahtanganan BMN; dan
5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.
c. Penyelesaian Barang Rampasan
1) Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor : SE-001/C/CU.3/03/2011 Tentang Perubahan Kedua
Atas Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor : SE-03/B/B.5/8/1988 Tentang Penyelesaian
Barang Rampasan;
2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor ; 93/PMK.06/2010 tertanggal 23 April 2010 tentang
Petunjuk

Pelaksanaan

Lelang,

pengganti

Peraturan

Menteri

Keuangan

Nomor

40/PMK.07/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang;


3) Surat Edaran Departemen Keuangan Republik Indonesia Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara Nomor: SE-23/PN/2000 tertanggal 22 Nopember 2000 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang Hak Tanggungan; dan

4) Keputusan Presiden RI Nomor 14 Tahun 2000 Tentang Pemanfaatan Kapal Perikanan yang
Dinyatakan Dirampas Untuk Negara.
7. KASUS TERKAIT BARANG RAMPASAN: PENENGGELAMAN KAPAL PENANGKAP
IKAN MILIK ASING YANG BEROPERASI SECARA ILEGAL DI WILAYAH LAUT
INDONESIA
Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dimulai dengan beberapa gebrakan yang bertujuan
untuk menguatkan kedudukan Indonesia di mata dunia. Salah satunya adalah instruksi Presiden untuk
memperketat patroli laut untuk menangkap dan menghalau kapal penangkap ikan milik asing yang
beroperasi di laut Indonesia secara ilegal. instruksi tersebut bertujuan untuk menunjukkan ketegasan
dan kewibawaan pemerintah Indonesia dalam melindungi wilayah dan hasil alam yang dimilikinya,
serta melindungi kedaulatannya, menimbulkan efek jera, mengamankan laut dari penjarahan pihak
asing, sekaligus juga merupakan tindakan nyata dari upaya untuk menerjemahkan visi poros maritim
yang tengah digencarkan pemerintah dalam satu tahun terakhir, terutama yang berkaitan dengan
kedaulatan penuh di laut.1
Sebelum adanya instruksi Presiden ini, pada umumnya kapal ikan asing yang dirampas
diserahkan kepada pengadilan untuk kemudian diputuskan untuk dihibahkan kepada kelompokkelompok nelayan kecil dan nelayan transmigran sesuai Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2000,
atau dilelang untuk disetorkan hasilnya kepada kas negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan
Pajak, selain memang ada juga kapal ilegal yang ditenggelamkan.
Penenggelaman kapal ilegal ini juga mempunyai dasar hukum yaitu Undang-undang Nomor
45 Tahun 2009 sebagai perubahan dari UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dalam Pasal 69
ayat (4) yang berbunyi Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik
dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau
penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Berdasarkan ketentuan Pasal 104 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 2004, benda dan/atau alat yang
dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk
negara, dan hampir pasti ditemui Jaksa Penuntut Umum akan menuntut agar kapal yang digunakan
sebagai alat dirampas untuk negara terlebih apabila kapal tersebut adalah kapal nelayan asing. Ketika
tuntutan Jaksa Penuntutan Umum tersebut dikabulkan oleh hakim, maka benda yang dirampas
tersebut sudah sah menjadi hal milik negara untuk selanjutnya yang menjadi permasalahan kemudian
adalah pemanfaatan kapal-kapal dimaksud.
Menyikapi permasalahan tersebut Pemerintah dalam hal ini telah mengeluarkan Surat
Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2000 tentang Pemanfaatan Kapal Perikanan yang Dinyatakan
1 Penenggelaman Kapal Sebagai Usaha Memberantas Praktik Illegal Fishing oleh
Zaqiu Rahman dalam jurnal Rechts Vinding, Januari 2015.

Dirampas untuk Negara. Dalam poin pertama Keppres tersebut disebutkan kapal perikanan beserta
kelengkapannya yang dinyatakan dirampas untuk negara, dimanfaatkan untuk meningkatkan
kemampuan nelayan kecil dan nelayan transmigran dalam usaha penangkapan ikan.
Namun demikian pemanfaatan kapal tersebut bukannya tanpa persoalan karena dalam
prakteknya terdapat beberapa kendala yaitu, pertama pada umumnya kapal nelayan asing yang
dirampas banyak di antaranya menggunakan teknologi penangkapan ikan yang tidak bisa digunakan
oleh nelayan tradisional sehingga kapal yang diserahkan tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal.
Kendala kedua dalam upaya pemanfaatan barang bukti kapal ini adalah bahwa menurut
informasi kapal yang telah ditangkap karena melakukan tindak pidana perikanan tidak bisa diterbitkan
izin usahanya lagi, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ada kekhawatiran jika pihak
korporasi asal kapal tersebut akan melakukan upaya memperoleh kembali kapal tersebut dengan cara
membeli untuk kemudian digunakan lagi melakukan usaha penangkapan ikan. Alasan lain mengapa
kapal yang ditangkap tidak bisa lagi diberikan izin melakukan usaha penangkapan ikan karena
berdasarkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) menyatakan bahwa pengelolaan
perikanan yang lestari dan bertanggung jawab perlu dilaksanakan dengan pemberian tanda terhadap
kapal ikan, alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan. Pemberian tanda dimaksudkan untuk
mempermudah pemantauan, pengawasan, dan evaluasi terhadap setiap pelaku penangkapan ikan. Dan
bagi kapal ikan yang ditangkap karena melakukan IUU Fishing tidak akan diberi tanda lagi, oleh
karena itu secara universal kapal dimaksud dianggap kapal yang tidak memiliki tanda khusus/kapal
ilegal.
Kendala ketiga terletak pada lamanya waktu penanganan barang bukti pelanggaran hukum
oleh Kejaksaan dan Pengadilan, sehingga sebelum kapal sempat dialihkan kepada nelayan, kapal
tersebut sudah rusak karena terlalu lama disimpan di dermaga. Kapal-kapal tersebut akan
membutuhkan biaya perbaikan yang tidak sedikit agar bisa dioperasikan kembali oleh nelayan. Pada
beberapa kasus, bahkan kapal-kapal ilegal tersebut sudah terlalu rusak untuk bisa dimanfaatkan oleh
nelayan sehingga menjadi aset yang sia-sia.
Jika ditilik dari beberapa alasan di atas, sebenarnya bisa saja kapal ilegal yang dirampas
dimanfaatkan kembali untuk mengambil sumber daya perikanan kita, namun karena Pemerintah sudah
merasa geram akan maraknya praktek pencurian ikan Indonesia yang tidak ada habisnya, juga sebagai
suatu cara untuk menunjukkan semangat kerja pemerintahan baru, maka sebagai shock therapy atas
kegiatan pencurian ikan oleh kapal asing tersebut, maka kapal asing yang dirampas diputuskan untuk
ditenggelamkan sebagai contoh kepada kapal-kapal lain yang berniat untuk mencuri ikan Indonesia.
Pihak-pihak terkait dalam eksekusi penenggelaman kapal ilegal ini adalah:
1. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI sebagai pihak yang mendapatkan kuasa atas aset
perikanan Indonesia, dengan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan sebagai satuan penyidik kasus tindak pidana perikanan,

2. TNI AL sebagai aparat hukum yang bekerja sama dengan pihak lainnya untuk melakukan
hukuman kepada kapal ilegal,
3. Kejaksaan Tinggi sebagai penuntut umum atas kasus kapal ilegal, dan sebagai pihak yang
dikuasakan untuk mengelola kapal ilegal setelah diputuskan statusnya oleh Pengadilan Perikanan.
4. Pengadilan Perikanan yang berkedudukan di bawah Pengadilan Umum sebagai pemutus perkara
tindak pidana perikanan pada wilayah terkait.
Proses hukum atas tindak pidana yang dilakukan oleh kapal ilegal ini dimulai dari dugaan
adanya tindak penangkapan ikan secara ilegal oleh KKP. KKP kemudian bekerja sama dengan pihak
TNI AL untuk berpatroli di wilayah-wilayah laut strategis yang sering dijadikan area penangkapan
ikan ilegal oleh kapal-kapal tersebut. Patroli ini sering membuahkan hasil dengan ditangkapnya kapalkapal asing atau kapal berbendera Indonesia namun awak kapalnya sebagian besar adalah WNA, atau
kapal yang beroperasi tanpa Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut
Ikan (SIKPI). Oleh TNI AL kapal-kapal ilegal ini kemudian dirampas dan diamankan untuk proses
hukum selanjutnya. Kasus kapal ilegal ini kemudian diajukan kasusnya oleh Jaksa Penuntut Umum
untuk diadili pada Pengadilan Perikanan yang berkedudukan di bawah Pengadilan Umum dengan
wilayah peradilan masing-masing. Hakim, sesuai instruksi Presiden, memutuskan kapal ilegal untuk
dimusnahkan. Hakim bisa juga memutus pemanfaatan kapal sebagai aset rampasan jika kebijakan
pemusnahan kapal ilegal sudah tidak lagi diberlakukan. Pemanfaatan kapal sebagai aset rampasan
selain dimusnahkan ini bisa dilakukan dengan dihibahkan kepada pihak yang dianggap memerlukan
melalui hibah, dimanfaatkan oleh instansi terkait untuk membantu proses kerja, atau dilelang untuk
negara.
Kesimpulan Pendapat Kelompok mengenai Studi Kasus
Penenggelaman kapal asing yang memasuki wilayah Indonesia tanpa izin sebagai salah satu
pilihan dalam tindak lanjut pengelolaan barang rampasan sudah tepat. Melihat pilihan lain dalam
pengelolaan aset rampasan berupa hibah dan lelang memiliki kendala. Pada hibah terdapat kendala
pada pemanfaatannya oleh nelayan lokal berupa teknologi yang terlalu tinggi bagi nelayan tradisional,
izin penangkapan ikan yang tidak bisa diberikan pada kapal tersebut, serta kondisi kapal yang sudah
tidak bisa dioperasikan setelah melewati penanganan barang bukti yang cukup lama oleh pihak
kejaksaan.
Sedangkan jika diproses melalui Lelang, muncul kekhawatiran akan kemungkinan dibeli
kembali oleh korporasi pemilik kapal dari negara asalnya. Seperti kasus yang terjadi di Aceh dimana
terdapat empat kapal asing yang berhasil dilelang namun setelahnya tiga diantara empat kapal tersebut
sudah tidak berada lagi di perairan Indonesia.
Menurut perraturan menteri keuangan nomor PMK Nomor 03/PMK.06/2011 tentang
Pengelolaan Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi pengurusan barang rampasan negara
diatur dalam pasal 15 sampai dengan pasal 21. Pengurusan barang rampasan negara dilaksanakan
dengan empat cara yaitu:

1. Penjualan
2. Pemanfaataan
3. Dihibahkan
4. Dimusnahkan
Syarat untuk dapat dimusnahkan adalah Barang Rampasan Negara berupa selain tanah
dan/atau bangunan yang:
1. Dapat membahayakan lingkungan atau tata niaga sesuai ketentuan peraturan perundangundangan;
2. Secara ekonomis memiliki nilai lebih rendah dari biaya yang harus dikeluarkan apabila ditempuh
proses lelang;
3. Dilarang untuk beredar secara umum sesuai ketentuan perundang-undangan;atau
4. Berdasarkan pertimbangan Kejaksaan dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi setelah mendapat
persetujuan Menteri.
Sedangkan untuk Barang Rampasan Negara berupa selain tanah dan/atau bangunan yang:
1. telah berada dalam kondisi busuk atau lapuk; atau
2. berpotensi cepat busuk atau cepat lapuk,
dapat langsung dilakukan pemusnahan oleh Kejaksaan dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi yang
hasilnya dilaporkan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan
pemusnahan.
Tindakan penenggelaman kapal ilegal ini terbukti efektif. Sejak dilaksanakannya instruksi
presiden tersebut dan disebarluaskannya tindakan penenggelaman kapal ilegal oleh Pemerintah di
berbagai media massa dalam dan luar negeri, jumlah kapal ilegal yang beroperasi di wilayah kelautan
Indonesia dapat ditekan. Hal ini merupakan efek yang ingin dicapai oleh Pemerintah dalam rangka 1)
menegaskan kekuatan hukum Indonesia, 2) menyejahterakan nelayan Indonesia, dan 3) menjaga
sumber daya perikanan Indonesia. Penenggelaman kapal-kapal ilegal yang semula dikhawatirkan akan
mempengaruhi hubungan kenegaraan dengan negara-negara asal kapal ilegal tersebut juga tidak
terjadi.
Nelayan asli Indonesia merasa diuntungkan dengan tindakan Pemerintah ini, karena sekarang
bisa lebih leluasa mengambil ikan di laut Indonesia. Berbagai media mengabarkan reaksi positif
nelayan dengan adanya kebijakan ini, yang rata-rata menyatakan bahwa kebijakan ini membawa
perbaikan bagi mereka dalam hal hasil tangkapan ikan meningkat, kualitas ikan tangkapan makin
baik, atau tidak khawatir lagi untuk melaut karena tidak ada lagi saingan kapal asing.
Namun konsekuensi dari penegakan hukum perikanan ini adalah, sekarang semua kapal
nelayan yang mengambil ikan di lautan kita harus mempunyai SIPI yang selama ini juga diabaikan
oleh nelayan. Demi tertibnya penangkapan ikan di Indonesia, maka konsekuensi ini harus diambil
oleh nelayan.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa tidak selamanya aset rampasan itu akan lebih membawa
dampak positif pada negara dan masyarakat secara umum apabila aset tersebut kemudian
dimanfaatkan kembali. Ada kalanya pemusnahan aset memberikan hasil yang lebih berarti walaupun

tidak langsung bisa diukur dengan nilai uang. Dalam hal penenggelaman kapal ilegal ini, masyarakat
menikmati dampak jangka panjang dalam memanfaatkan sumber daya alam Indonesia berupa
kekayaan laut dengan lebih baik.
Setelah kita mampu mengatasi kendala-kendala pemanfaatan kapal rampasan sebagaimana
disebutkan di atas, mungkin pada saat itulah jika ada kapal ilegal yang ditangkap lagi, asetnya bisa
diberikan kepada nelayan untuk dimanfaatkan, atau untuk pemanfaatan lain.

BARANG TEGAHAN
Bagian I: Pendahuluan
Arti kata tegahan menurut KBBI adalah larangan atau cegahan. Barang tegahan adalah
barang yang dilarang/dicegah/diberhentikan untuk keluar atau masuk di wilayah pabean. Penegahan
merupakan proses awal penindakan barang yang dilaksanakan oleh unit penindakan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai sebelum ditentukan perlakuan barang tersebut bagi negara.
Secara garis besar, proses penegahan dapat terjadi diantaranya karena:
1. Adanya NHI (nota hasil intelijen) yang dikeluarkan unit penyidikan DJBC, berupa dokumen yang
menunjukkan indikasi adanya pelanggaran di bidang kepabeanan dan cukai.
2. Tidak memenuhi ijin LARTAS. LARTAS atau barang larangan dan pembatasan merupakan
barang yang dilarang atau dibatasi impor atau ekspornya. Peraturan tentang LARTAS diterbitkan
oleh Instansi Teknis Terkait yakni departemen atau lembaga pemerintah non departemen tingkat
pusat, yang menetapkan peraturan LARTAS atas impor atau ekspor dan menyampaikan peraturan
tersebut kepada Menteri Keuangan.
3. Dari hasil pemeriksaan barang di tempat.
4. Adanya Pelanggaran Kepabeanan terkait NPP (Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Narkotika).
5. Barang yang harusnya masuk ke dalam kawasan berikat, namun masuk ke tempat lain.
Kategori Barang Larangan dan Pembatasan (LARTAS)
ALAT DAN PERANGKAT

KOMODITAS LARTAS IMPOR


GOMBAL
OBAT

TELEKOMUNIKASI
ALAT KESEHATAN
BAHAN BERBAHAYA (B2)
BAHAN BERBAHAYA DAN

GULA
HEWAN
HORTIKULTURA

OBAT HEWAN
OBAT IKAN
OBAT TRADISIONAL

BERACUN (B3)
BAHAN OBAT
BAHAN OBAT

IKAN
INTAN KASAR

PANGAN
PCMX

TRADISIONAL
BAHAN PANGAN
BAHAN PELEDAK
BAHAN RADIOAKTIF
BAHAN SUPLEMEN

JAGUNG
KACA LEMBARAN
KEDELAI
KERAMIK

PELUMAS
PERKAKAS TANGAN
PESTISIDA
PKRT (PERBEKALAN

KESEHATAN

KESEHATAN RUMAH

BAHAN TAMBAHAN

KOMODITI CITES

TANGGA)
PLASTIK

PANGAN
BAN BERTEKANAN

KOMODITI WAJIB LABEL

PREKURSOR

BARANG MODAL BUKAN

BERBAHASA INDONESIA
KOMODITI WAJIB SNI

PREPARAT BAU-BAUAN

BARU

MENGANDUNG ALKOHOL

BAHAN BAKU KOSMETIK


BAHAN BAKU OBAT
BBM
BERAS
BESI BAJA
BHN BAKU OT

KOSMETIK
LIMBAH B3
LIMBAH NON-B3
LIMBAH PLASTIK
MAINAN ANAK-ANAK
MESIN MULTIFUNGSI

PRODUK BABI
PSIKOTROPIKA
SAKARIN
SENJATA API
SEPATU DAN ALAS KAKI
SUPLEMEN MAKANAN

BPO (BAHAN PERUSAK

BERWARNA
MESIN YANG

TEKSTIL DAN PRODUK

OZON)
CAKRAM OPTIK

MENGGUNAKAN BPO
MMEA (MINUMAN

TEKSTIL
TUMBUHAN

MENGANDUNG ETIL
CENGKEH
ELEKTRONIK
ETILENA
GARAM

BAHAN GALIAN GOL C


BATU MULIA
BERAS
CAGAR BUDAYA
CITES
INTAN KASAR
INTI KELAPA SAWIT
KARET

ALKOHOL)
NARKOTIKA
NITRO CELLULOSE
NPIK

UANG TUNAI
UDANG
VAKSIN

KOMODITI LARTAS EKSPOR


KAYU
KOMODITI WAJIB L/C
KOPI
LOGAM MULIA
MIGAS
PP TERTENTU

PRODUK PETERNAKAN
PUPUK
ROTAN
SISA/SKRAP
TAMBANG BATUAN
TAMBANG MINERAL BUKAN

PREKURSOR NON FARMASI


PRODUK PERIKANAN

LOGAM
TAMBANG MINERAL LOGAM
TIMAH

Menurut Paragraf 5 Pasal 59, P-53/BC/2010 tentang tata laksana pengawasan :


1) Penegahan dilaksanakan terhadap sarana pengangkut dan/atau barang yang diduga terkait dengan
pelanggaran.
2) Penegahan terhadap sarana pengangkut laut/udara, dilaksanakan dengan mencegah keberangkatan
atau mencegah untuk melanjutkan perjalanan sarana pengangkut yang memuat barang impor atau
ekspor yang :
a terdapat perbedaan jumlah dan/atau jenis kemasan/barang dengan manifest;
b terdapat manifest lebih dari satu yang memuat data berbeda, atau tidak dapat menunjukkan
c

manifest; atau
terdapat barang yang dicantumkan dalam manifest tetapi terdapat dugaan melanggar

ketentuan larangan dan pembatasan di bidang impor, ekspor, barang tertentu atau cukai.
3) Penegahan terhadap sarana pengangkut darat, dilaksanakan dengan mencegah keberangkatan atau
mencegah untuk melanjutkan perjalanan sarana pengangkut yang memuat barang impor, ekspor,
barang tertentu atau barang kena cukai, yang sebagian atau seluruhnya tidak memenuhi kewajiban
kepabeanan dan/atau cukai.

4) Penegahan terhadap barang, dilakukan dengan menunda pengeluaran, pemuatan, pembongkaran


dan pengangkutan barang impor, ekspor, barang tertentu atau barang kena cukai, yang sebagian
atau seluruhnya tidak memenuhi kewajiban kepabeanan dan/atau cukai.
Penegahan dilaksanakan terhadap sarana pengangkut dan/atau barang yang diduga terkait
dengan pelanggaran. Penegahan sarana pengangkut laut, udara dan darat dilakukan dengan mencegah
keberangkatan atau mencegah untuk melanjutkan perjalanan sarana pengangkut yang memuat barang
yang diduga melakukan pelanggaran kepabeanan terkait NPP (Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
Narkotika). Penegahan barang yang diduga melakukan pelanggaran NPP, dilakukan dengan menunda
pengeluaran, pemuatan,pembongkaran dan pengangkutan barang impor atau ekspor. Dan pelaksanaan
penegahan harus berdasarkan surat perintah.
Menurut KMK-30/1997 Tentang tata laksana penindakan, bab 2 (pemeriksaaan dan
penegahan barang impor dan ekspor)
Pasal 9
1

Berdasarkan petunjuk yang cukup Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan penegahan
terhadap barang impor yang belum memenuhi kewajiban pabeannya yang keluar dari kawasan
pabean

dengan

memerintahkan

kepada

pemilik

atau

kuasanya

untuk

tidak

mengangkut,memindahkan, dan membuka kemasan atau peti kemas barang impor tersebut.
Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan penegahan membuat Laporan Kejadian dan
menyerahkan barang kepada Penyidik Pegawai Negeri SipilBea dan Cukai dengan Berita Acara

Serah Terima untuk penyelidikanlebih lanjut.


Dalam hal penegahan dilakukan di tempat importir atau pemilik barang, sepanjang dapat dijamin

hak-hak negara barang yang ditegah dapat ditimbun di tempat yang bersangkutan.
Dalam hal hasil penyelidikan tidak ditemukan adanya pelanggaran Pejabat Penyidik Pegawai

Negeri Sipil Bea dan Cukai menghentikan penegahan.


Dalam hal hasil penyelidikan ditemukan adanya pelanggaran Pejabat Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Bea dan Cukai melakukan penyidikan.

Pasal 10
1

Berdasarkan petunjuk yang cukup Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan penegahan
terhadap barang ekspor yang belum memenuhikewajiban pabeannya dengan memerintahkan
kepada pemilik/atau kuasanya untuk menunda pengangkutan, tidak memindahkan, tidakmembuka

kemasan atau peti kemas barang ekspor tersebut.


Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan penegahan membuat Laporan Kejadian dan menyerahkan
barang kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bea dan Cukai dengan Berita Acara Serah Terima
untuk penyelesaian lebih lanjut.

Bagian II: Penyelesaian Terhadap Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai, Barang yang
Dikuasai Negara, dan Barang yang Menjadi Milik NegaraBerdasarkan PMK No.
62/PMK.04/2011
A. Pengertian Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai, Barang yang Dikuasai Negara, dan
Barang yang Menjadi Milik Negara
Yang dimaksud dengan Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai (BTD) adalah:
1. barang yang tidak dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Sementara (TPS) yang berada di dalam
area pelabuhan dalam jangka waktu 30 hari sejak penimbunannya;
2. barang yang tidak dikeluarkan dari TPS yang berada di luar area pelabuhan dalam jangka waktu
60 hari sejak penimbunannya;
3. barang yang tidak dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Berikat (TPB) yang telah dicabut izinnya
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pencabutan izin; dan
4. barang yang dikirim melalui Pos:
a) yang ditolak oleh si alamat atau orang yang dituju dan tidak dapat dikirim kembali kepada
pengirim di luar Daerah Pabean;
b) dengan tujuan luar Daerah Pabean yang diterima kembali karena ditolak atau tidak dapat
disampaikan kepada alamat yang dituju dan tidak diselesaikan oleh pengirim dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya pemberitahuan dari Kantor Pos.
Yang dimaksud dengan Barang yang Dikuasai Negara (BDN) adalah:
1. barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor yang tidak diberitahukan atau
diberitahukan secara tidak benar dalam Pemberitahuan Pabean;
2. barang dan/atau sarana pengangkut yang ditegah oleh Pejabat Bea dan Cukai; atau
3. barang dan/atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di Kawasan Pabean oleh pemilik yang tidak
dikenal.
Yang dimaksud dengan Barang yang Menjadi Milik Negara (BMN) adalah:
1. BTD yang merupakan barang yang dilarang untuk diekspor atau diimpor, kecuali terhadap barang
dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan;
2. BTD yang merupakan barang yang dibatasi untuk diekspor atau diimpor, yang tidak diselesaikan
oleh pemiliknya dalam jangka waktu 60hari terhitung sejak disimpan di Tempat Penimbunan
Pabean atau tempat lain yang berfungsi sebagai Tempat Penimbunan Pabean;
3. barang dan/atau sarana pengangkut yang ditegah oleh Pejabat Bea dan Cukai yang berasal dari
tindak pidana yang pelakunya tidak dikenal;
4. barang dan/atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di Kawasan Pabean oleh pemilik yang tidak
dikenal yang tidak diselesaikan dalam jangka waktu 30 hari sejak disimpan di TPB atau tempat
lain yang berfungsi sebagai TPB;
5. BDN yang merupakan barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor; dan
6. barang dan/atau sarana pengangkut yang berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, dinyatakan dirampas untuk negara.
B. Penetapan Terhadap Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai

Penetapan BTD dilakukan oleh Kepala Kantor Pabean atau pejabat yang ditunjuk dengan
mencantumkan dalam daftar mengenai BTD. Kemudian barang yang telah ditetapkan sebagai BTD
tersebut dibukukan dalam Buku Catatan Pabean mengenai BTD. Setelah itu, BTD yang telah
dibukukan disimpan di Tempat Penimbunan Pabean (TPP)/tempat lain dan dipungut sewa
gudang.Pejabat Bea dan Cukai memberitahukan secara tertulis kepada pemilik barang untuk segera
menyelesaikan kewajiban pabean yang terkait dengan BTD, dalam jangka waktu 60 hari sejak
disimpan di TPP.
C. Perlakuan terhadap BTD
Perlakuan terhadap BTD berdasarkan sifatnya sebagai berikut:
1. busuk, segera dimusnahkan;
2. karena sifatnya:
a) tidak tahan lama, antara lain barang yang cepat busuk, misalnya buah segar dan sayur segar;
b) merusak, antara lain asam sulfat dan belerang;
c) berbahaya; atau
d) pengurusannya memerlukan biaya tinggi, segera dilelang dengan memberitahukan secara
tertulis kepada pemiliknya, sepanjang bukan merupakan barang yang dilarang dan/atau
dibatasi untuk diimpor atau diekspor.
BTD yang merupakan barang yang dilarang untuk diimpor atau diekspor, dinyatakan sebagai
BMN, kecuali terhadap barang tersebut penyelesaiannya ditetapkan lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan.BTD yang merupakan barang yang dibatasi untuk diimpor atau diekspor,
diberikan kesempatan untuk diselesaikan oleh pemiliknya dalam jangka waktu 60 hari sejak disimpan
di TPP atau tempat lain yang berfungsi sebagai TPP.BTD yang tidak diselesaikan kewajiban
pabeannya setelah jangka waktu 60 hari sejak disimpan di TPP atau tempat lain yang berfungsi
sebagai TPP ditetapkan untuk dilelang oleh Kepala Kantor Pabean.
BTD yang telah ditetapkan untuk dilelang tersebutkemudian diadministrasikan dalam rencana
pelelangan barang.Pelelangan dilakukan melalui lelang umum dengan memperhatikan rencana
pelelangan barang. Namun, dalam jangka waktu paling lama2 hari kerja sebelum dilakukan
pelelangan pertama, BTD dapat:
1.
2.
3.
4.
5.

diimpor untuk dipakai setelah bea masuk dan biaya lainnya yang terutang dilunasi;
diekspor kembali setelah biaya yang terutang dilunasi;
dibatalkan ekspornya setelah biaya yang terutang dilunasi;
diekspor setelah biaya yang terutang dilunasi; atau
dikeluarkan dengan tujuan TPB setelah biaya yang terutang dilunasi.

D. Penetapan Barang yang Dikuasai Negara


Penetapan BDN dilakukan oleh Kepala Kantor Pabean atau pejabat yang ditunjuk dengan
menerbitkan keputusan mengenai penetapan BDN.Barang yang telah ditetapkan sebagai BDN
dibukukan dalam Buku Catatan Pabean mengenai BDN.BDN yang telah dibukukan disimpan di
TPP/tempat lain dan dipungut sewa gudang.

BDN berupa:
a. barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor yang tidak diberitahukan atau
diberitahukan secara tidak benar dalam Pemberitahuan Pabean; atau
b. barang dan/atau sarana pengangkut yang ditegah oleh Pejabat Bea dan Cukai, yang telah
mendapatkan penetapan, diberitahukan secara tertulis oleh Pejabat Bea dan Cukai kepada pemilik
barang tersebut dengan disertai alasannya.
BDN berupa barang dan/atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di Kawasan Pabean oleh
pemilik yang tidak dikenal, diumumkan melalui papan pengumuman atau media massa, dalam jangka
waktu paling lama 30 hari oleh Pejabat Bea dan Cukai sejak disimpan di TPP atau tempat lain yang
berfungsi sebagai TPP. Apabila BDN tersebut tidak diselesaikan dalam jangka waktu 30 hari, maka
ditetapkan sebagai BMN.
E. Perlakuan Terhadap BDN
Perlakuan terhadap BDN berdasarkan sifatnya sebagai berikut:
1. busuk, segera dimusnahkan;
2. karena sifatnya:
a. tidak tahan lama, antara lain barang yang cepat menyusut, cepat busuk, misalnya buah segar
dan sayur segar;
b.merusak, antara lain asam sulfat dan belerang;
c. berbahaya, antara lain barang yang mudah meledak; atau
d.pengurusannya memerlukan biaya tinggi, antara lain barang yang membutuhkan penanganan
atau perawatan khusus,segera dilelang dengan memberitahukan secara tertulis kepada
pemiliknya, sepanjang bukan merupakan barang yang dilarang atau dibatasi.
BDN yang merupakan barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak diberitahukan atau
diberitahukan secara tidak benar, ditetapkan menjadi BMN, kecuali BDN tersebut busuk.
BDN berupa barang dan/atau sarana pengangkut yang ditegah oleh Pejabat Bea dan Cukai
yang bukan merupakan pelanggaran ketentuan Undang-Undang Kepabeanan, dapat diserahkan
kembali kepada pemiliknya dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak penyimpanan di
TPP/tempat lain, dalam hal:
1. telah dilunasi bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor yang terutang; dan
2. telah menyerahkan dokumen atau keterangan yang diperlukan sehubungan dengan larangan atau
pembatasan impor.
BDN berupa barang dan/atau sarana pengangkut yang ditegah oleh Pejabat Bea dan Cukai
yang merupakan pelanggaran ketentuan Undang-Undang Kepabeanan, dapat diserahkan kembali
kepada pemiliknya dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak penyimpanan di TPP/tempat lain
apabila:
1. telah dilunasi bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor yang terutang;

2. telah menyerahkan dokumen atau keterangan yang diperlukan sehubungan dengan larangan atau
pembatasan impor;
3. telah menyerahkan uang pengganti yang besarnya tidak melebihi harga barang; dan
4. barang tersebut secara fisik tidak diperlukan untuk bukti di pengadilan.
BDN berupa:
1. barang dan/atau sarana pengangkut yang ditegah oleh Pejabat Bea dan Cukai; atau
2. barang dan/atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di Kawasan Pabean oleh pemilik yang tidak
dikenal,yang tidak diselesaikan kewajiban pabeannya dalam jangka waktu 30 hari, ditetapkan
penyelesaiannya dengan cara dilelang oleh Kepala Kantor Pabean.
BDN yang ditetapkan penyelesaiannya dengan cara dilelang, diadministrasikan dalam
rencana pelelangan barang. Penyelesaian dengan cara dilelang, dilakukan melalui lelang umum
dengan memperhatikan rencana pelelangan barang.
F. Penetapan Barang yang Menjadi Milik Negara
Penetapan BMN dilakukan oleh Kepala Kantor Pabean dengan menerbitkan keputusan
mengenai penetapan BMN.BMN tersebut kemudian disimpan di TPP/tempat lain dan dibukukan ke
dalam Buku Catatan Pabean mengenai BMN.Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk
menyampaikan kepada Menteri daftar mengenai BMN beserta usulan penyelesaian BMN untuk
dilelang, dihibahkan, dimusnahkan, dihapuskan, dan/atau ditetapkan status peruntukannya.Slanjutnya,
Menteri atau pejabat yang ditunjuk menetapkan peruntukan BMN dengan memperhatikan usulan
penyelesaian BMN tersebut.BMN yang telah ditetapkan peruntukannya, merupakan kekayaan negara
dan dicatat dalam laporan keuangan sebagai aset negara.
Dalam rangka penetapan peruntukan terhadap BMN, dilakukan Penilaian terhadap
BMN.Penilaian terhadap BMN dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang dapat
melibatkan instansi terkait atau penilai independen.Tujuan penilaian terhadap BMN adalah untuk
mendapatkan nilai wajar berdasarkan dokumen kepabeanan/dokumen pelengkap pabean, harga pasar
atau sumber informasi harga lainnya, dengan mempertimbangkan kondisi barang pada saat Penilaian.
Bagian III: Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negarayang Berasal Dari Aset Eks
Kepabeanan dan Cukai Berdasarkan PMKNo. 240/PMK.06/2012
A. Penjelasan Barang Milik Negara
Barang yang Menjadi Milik Negara, yang selanjutnya disingkat dengan BMN, adalah:
a

Barang yang dinyatakan tidak dikuasai yang merupakan barang yang dilarang untuk diekspor atau
diimpor, kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-

undangan
Barang yang dinyatakan tidak dikuasai yang merupakan barang yang dibatasi untuk diekspor atau
diimpor, yang tidak diselesaikan oleh pemiliknya dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari

terhitung sejak disimpan di tempat penimbunan pabean atau tempat lain yang berfungsi sebagai
c

tempat penimbunan pabean


Barang dan/atau sarana pengangkut yang ditegah oleh pejabat Bea dan Cukai yang berasal dari

tindak pidana yang pelakunya tidak dikenal


Barang dan/atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di kawasan pabean oleh pemilik yang tidak
dikenal yang tidak diselesaikan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak disimpan di tempat

penimbunan pabean atau tempat lain yang berfungsi sebagai tempat penimbunan pabean
Barang yang dikuasai negara yang merupakan barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor

atau diekspor
Barang dan/atau sarana pengangkut yang berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap, dinyatakan dirampas untuk negara


Barang kena cukai dan barang lain yang berasal dari pelanggar tidak dikenal yang dikuasai negara
dan berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan apabila dalam jangka

waktu 14 (empat belas) hari sejak dikuasai negara pelanggarnya tetap tidak diketahui
Barang kena cukai yang pemiliknya tidak diketahui, dikuasai negara dan berada di bawah
pengawasan serta yang wajib diumumkan secara resmi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
untuk diselesaikan oleh yang bersangkutan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
dikuasai negara, dan apabila dalam jangka waktu dimaksud yang bersangkutan tidak
menyelesaikan kewajibannya yang telah ditetapkan oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai, maka
barang tersebut menjadi barang milik negara

B. Pengelolaan Barang Milik Negara


Direktur Jenderal Bea dan Cukai dapat melakukan pengurusan BMN sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai dengan memperhatikan
keselarasannya dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik
negara. Dalam pelaksanaan pengurusan BMN, Direktur Jenderal Bea dan Cukai dapat menunjuk
pejabat struktural di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Dalam pengurusan BMN, Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuk
memiliki wewenang dan tanggung jawab yang meliputi:
a
b

Menerbitkan keputusan mengenai penetapan BMN


Melaksanakan penyimpanan BMN secara baik di Tempat Penimbunan Pabean atau tempat lain

yang berfungsi sebagai TPP


Melaksanakan pencatatan BMN yang berasal dari kepabeanan ke dalam buku catatan pabean

d
e
f
g
h

BMN dan pencatatan BMN yang berasal dari cukai ke dalam buku BMN
Membuat perkiraan nilai BMN
Melaporkan data BMN kepada Menteri Keuangan c.q Direktur Jenderal Kekayaan Negara
Melakukan pengamanan terhadap BMN yang berada dalam penguasaannya
Mengusulkan permohonan peruntukan BMN
Melakukan penyelesaian sesuai penetapan peruntukan BMN

Apabila Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat membuat perkiraan nilai BMN karena
tidak ada dokumen pendukung, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat membentuk tim yang dapat
melibatkan penilai internal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dan pihak lain yang terkait.
Kepala Kantor Bea dan Cukai mengajukan usulan peruntukan BMN dengan ketentuan
sebagai berikut:
a

Permohonan dengan perkiraan nilai sampai dengan Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta

rupiah) diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
Permohonan dengan perkiraan nilai di atas Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
sampai dengan Rp300.000.0000,00 (tiga ratus juta rupiah) diajukan kepada Kepala Kantor

Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara


Permohonan dengan perkiraan nilai di atas Rp300.000.0000,00 (tiga ratus juta rupiah) diajukan
kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara
Usulan peruntukan BMN dilampiri dengan dokumen persyaratan sebagai berikut:

a
b

Keputusan mengenai penetapan BMN


Berita Acara Pencacahan Barang

C. Jenis permohonan peruntukan BMN


a Permohonan untuk dilakukan Penetapan Status Penggunaan
Dalam hal BMN diusulkan untuk dilakukan Penetapan Status Penggunaan, harus disertakan
pula dokumen persyaratan berupa surat kesediaan dari kementerian/lembaga yang diusulkan sebagai
Pengguna

Barang,

yang

ditandatangani

oleh

sekretaris

jenderal/sekretaris

lembaga

dari

kementerian/lembaga bersangkutan.
Usulan Penetapan Status Penggunaan dapat disetujui apabila:
1
2

Diperlukan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/lembaga


Diperlukan untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan

Permohonan untuk dilakukan Hibah


Dalam hal BMN diusulkan untuk dilakukan Hibah, harus disertakan pula dokumen

persyaratan berupa surat kesediaan dari yang akan menerima Hibah, yang ditandatangani oleh
sekretaris daerah/ketua pengurus lembaga dari pemerintah daerah/lembaga bersangkutan. Penerima
hibah dapat berupa:
1
2
3
4
5

Pemerintah daerah
Lembaga sosial
Lembaga budaya
Lembaga keagamaan
Lembaga kemanusiaan
Usulan Hibah dapat disetujui apabila:

1
2

Diperlukan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah
Diperlukan untuk kepentingan sosial, kebudayaan, keagamaan, kemanusiaan,

penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah


Tidak mengganggu Kesehatan, Keamanan, Keselamatan, Lingkungan dan Moral Bangsa (K3LM)

dan

Permohonan untuk dilakukan Pemusnahan


Usulan Pemusnahan dapat disetujui apabila:

1
2
3
4
5

Busuk
Kadaluwarsa
Dilarang diekspor atau diimpor
Tidak mempunyai nilai ekonomis
Berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dimusnahkan

Permohonan untuk dilakukan Penghapusan


Usulan Penghapusan dapat disetujui apabila:

1
2

Terjadi penyusutan
Hilang

Permohonan untuk dilakukan penjualan secara Lelang


Usulan penjualan secara Lelang dapat disetujui apabila:

1
2

Secara ekonomis lebih menguntungkan bagi negara


Tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
Dalam rangka Lelang BMN maka perlu dilakukan Penilaian guna mendapatkan nilai wajar.

Penilaian ini dilakukan oleh penilai internal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara atau penilai
eksternal. Kepala Kantor Bea dan Cukai menetapkan Nilai Limit Lelang pada Nilai Wajar yang telah
mempertimbangkan faktor biaya. Faktor biaya ditetapkan melalui perhitungan secara at cost dari Nilai
Wajar, meliputi:
a
b
c
d
e

Sewa gudang di Tempat Penimbunan Sementara (TPS) untuk paling lama 2 (dua) bulan
Sewa gudang di TPP
Biaya pencacahan dan penimbunan di TPP
Biaya pengangkutan dari TPS ke TPP
Biaya lain yang dipergunakan untuk keperluan Lelang BMN
Harga penawaran tertinggi yang diajukan oleh peserta Lelang yang telah disahkan sebagai

pemenang Lelang oleh Pejabat Lelang merupakan harga Lelang. Pemenang Lelang, selain membayar
harga Lelang juga harus membayar pula biaya-biaya yang meliputi:
1.
2.
3.
4.
5.

Sewa gudang di TPS untuk paling lama 2 (dua) bulan


Sewa gudang di TPP
Biaya pencacahan dan penimbunan di TPP
Biaya pengangkutan dari TPS ke TPP
Biaya lain yang dipergunakan untuk keperluan Lelang BMN
Penerimaan negara yang berasal dari Lelang BMN sesuai harga Lelang BMN disetor

seluruhnya ke kas Negara.


D. Penatausahaan Barang Milik Negara
Monitoring tindak lanjut persetujuan peruntukan BMN yang telah diterbitkan dilakukan
secara berkala setiap semester oleh:

1. Kantor Pelayanan, dalam hal persetujuan diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara
dan Lelang
2. Kantor Wilayah, dalam hal persetujuan diterbitkan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara
3. Kantor Pusat, dalam hal persetujuan diterbitkan oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara/Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara/Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang melakukan penatausahaan BMN yang
meliputi kegiatan pencatatan dan pelaporan.
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang melakukan pencatatan BMN berdasarkan
laporan yang disampaikan oleh Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai dan dilaporkan
setiap semester kepada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Sebelum dilakukan
pelaporan, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang melakukan rekonsiliasi data BMN dengan
Kantor Bea dan Cukai setiap semester.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara melakukan pencatatan BMN
berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, dan Kantor Pelayanan kemudian dilaporkan setiap semester
kepada Kantor Pusat. Sebelum dilakukan pelaporan, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara melakukan rekonsiliasi data BMN dengan Kantor Bea dan Cukai setiap semester.
Kantor Pusat melakukan pencatatan BMN berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dan Direktorat Penindakan dan Penyidikan. Pencatatan
BMN tersebut dilaporkan setiap semester kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara. Sebelum
dilakukan pelaporan, Kantor Pusat melakukan rekonsiliasi data BMN dengan Direktorat Penindakan
dan Penyidikan setiap semester. Laporan pencatatan BMN yang diterima Direktur Jenderal Kekayaan
Negara digunakan sebagai bahan untuk menyusun neraca pemerintah pusat.
E. Studi Kasus
Selama tahun 2015, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah melakukan beberapa kali
pemusnahan Barang Milik Negara hasil tegahan (data terdapat dalam Lampiran). Berdasarkan pasal
13 huruf d PMK 240/PMK.06/2012, usulan pemusnahan dapat disetujui apabila busuk, kadaluwarsa,
dilarang diekspor atau diimpor, tidak mempunyai nilai ekonomis, dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan harus dimusnahkan. Namun, dalam praktek di lapangan, pemusnahan ini banyak
dilakukan akibat kurang tepatnya pengelolaan BMN hasil tegahan/ eks bea dan cukai.
Dalam Undang-Undang Kepabeanan no 17 Tahun 2006 telah mengatur bahwa Tempat
Penimbunan Pabean harus berada di setiap kantor-kantor Pabean dan dikelola oleh Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai. Namun, sampai saat ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai belum memiliki Tempat
Penimbunan Pabean yang memadai, terutama di Pelabuhan Besar seperti Tanjung Priok. BMN hasil

tegahan/ eks bea dan cukai terpaksa harus disimpan pada Tempat Penimbunan Pabean yang dimiliki
dan dioperasikan oleh swasta. Disisi lain, pada PMK 62 Tahun 2011 tentang penyelesaian Barang
Yang Tidak Dikuasai, Barang Dikuasai Negara, dan Barang Milik Negara pasal 23 menyatakan bahwa
Kepala Kantor Pabean bertanggung jawab penuh atas pengelolaan, pengadministrasian, dan
penyimpanan BMN dan disimpan sesuai kondisi dan kharakterisktik BMN tersebut di TPP. Hal ini
dapat diketahui secara jelas bahwa tanggung jawab terhadap pengelolaan, pengadministrasian, dan
penyimpanan BMN eks bea dan cukai tetap berada pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam hal
ini Kantor Pabean setempat meskipun secara nyata di lapangan BMN tersebut disimpan dan dikelola
di TPP yang notabene dimiliki oleh pihak swasta. Pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai hanya
melakukan pengawasan dari luar saja, sehingga pengawasan terhadap BMN eks Bea dan Cukai
kurang dapat dilakukan secara optimal.
Adanya penyimpanan BMN eks bea dan cukai di Tempat Penimbunan Pabean yang dikelola
oleh swasta menimbulkan jenis biaya baru yaitu biaya sewa di TPP. Adapun dalam penghitungan nilai
lelang terhadap suatu BMN yang akan dilelang mengikutsertakan biaya sewa tersebut sebagaimana
dijelaskan pada pasal 19 PMK 62 Tahun 2006 menjelaskan bahwa nilai BMN yang dipakai adalah
nilai terendah berdsarkan penilaian dari penilai DJBC, independen, atau isntansi terkait ditambah
sewa gudang di TPS paling lama 2 bulan, sewa gudang di TPP, biaya pencacahan dan penimbunan di
TPP, dan biaya lain yang diperlukan untuk keperluan lelang. Sehingga apabila jarak antara waktu
barang impor dimasukkan ke TPP sampai dengan pengeluarannya memakan waktu yang lama maka
akan semakin tinggi pula presentase besaran biaya sewa di TPP yang dijadikan sebagai dasar
perhitungan nilai lelang BMN, ditambah pihak swasta pemilik TPP tidak menyediakan layanan
pemeliharaan terhadap BMN eks bea dan cukai. Hal ini tentunya tidak akan sebanding dengan nilai
ekonomis dan kondisi fisik barang yang akan semakin menurun. Sehingga ketika dilakukan
pelelangan, nilai lelang atas suatu BMN dapat saja dianggap terlalu tinggi oleh peserta lelang. Hal ini
selanjutnya akan menyebabkan pelelangan dilakukan sampai lebih dari sekali. Keputusan akhir adalah
dengan mengubah peruntukannya apakah untuk dimusnahkan, dihibahkan, atau ditentukan status
penggunaaanya.
Selanjutnya, terkait dengan BMN yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap, dimana terhadap BMN tersebut pada awalnya adalah Barang Yang Tidak
Dikuasai dan Barang Dikuasai Negara yang terindikasi mengarah kepada tindak pidana. Sehingga
terhadap barang tersebut perlu dilakukan penyidikan dan kemudian dilanjutkan untuk diproses ke
tingkat pengadilan. Dimana ketika di pengadilan harus melewati proses yang panjang dan berbelitbelit bahkan sampai memakan waktu beberapa tahun. Setelah mendapatkan kepututusan yang
berkekuatan hukum tetap dari pengadilan, masalah timbul ketika BMN tersebut akan ditentukan
peruntukannya dimana apabila dilelang sangat tidak mungkin dikarenakan kondisi fisik dari barang
tersebut belum tentu layak dan nilai ekonomis yang juga sangat renda sehingga tidak layak untuk
dilelang. Disisi lain, karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan maka tidak dapat dilakukan hibah

atau pemanfaaatan terhadap BMN tersebut. dan akhirnya pemusnahan adalah jalan terakhir untuk
ementapkan peruntukan dari BMN tersebut. dengan demikian proses penanganan BMN mulai dari
disimpan di TPP, dilakukannya penyelidikan, pemerosesan di pengadilan, dan pelelangan adalah suatu
hal yang sia-sia karena pada ujungnya negara tidak mendapatkan apa-apa dari penegahan BMN
tersebut malah harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak untuk menjalankan prose-proses
tersebut diatas.
F. Solusi Studi Kasus
Berdasarkan penjelasan permasalahan pada studi kasus, maka penulis dapat menawarkan beberapa
solusi, diantaranya:
a. Segera mendorong Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk memiliki Tempat Penimbunan
Pabean yang memadai, paling tidak di lima pelabuhan utama di Indonesia. Sehingga, komponen
biaya sewa di TPP dapat dihilangkan dan wewenang pengawasan BMN eks bea dan cukai tersebut
dapat diterapkan secara penuh.
b. Dilakukan inventarisasi terhadap BMN eks bea dan cukai secara periodik untuk memastikan
kondisi fisik barang dan perkembangan nilai ekonomis dari barang tersebut, sehingga jangan
sampai ketika barang akan ditentukan peruntukaannya, kondisi fisiknya sudah tidak
memungkinkan dan/atau nilai ekonomisnya turun atau barang tersebut sudah tidak lengkap
bagian-bagainnya/ hilang
c. Melakukan MoU dengan pihak kejaksaan dan pengadilan untuk mempercepat proses penyidikan
dan pengadilan terhadap putusan BMN eks bea dan cukai mengingat terdapat misi untuk mencari
tambahan penerimaan negara dari penanganan penyelesaiaan BMN tersebut.

BARANG GRATIFIKASI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam penyelenggaraan negara para pejabat ataupun penyelenggara negara tak jarang
menerima pemberian dari pihak ketiga terkait pekerjaan ataupun jabatan secara cuma-cuma baik
berupa barang, uang, diskon, fasilitas lain yang digolongkan ke dalam kategori gratifikasi sesuai Pasal
12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sesuai ketentuan UU 20 tahun 2001 bahwa setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap suap, kecuali penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada KPK selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut
diterima. Gratifikasi tersebut yang umumnya hadiah berupa berupa barang, ternyata jumlah cukup
signifikan dan semakin banyak jumlahnya yang diterima oleh KPK dari para penyelenggara yang
mengembalikan dan melaporkan gratifikasi negara dari tahun ke tahun seiring dengan semakin sadar
dan tumbuhnya budaya integritas dan anti korupsi. Disisi lain aturan yang mengatur tentang barang
yang berubah status menjadi BMN setelah diterima Kementerian Keuangan dari KPK tersebut belum
mempunyai aturan khusus yang mengaturnya. Sehingga pengelolaan atas BMN tersebut menjadi
kurang optimal.
Akhirnya Menteri Keuangan pada tanggal 5 Januari 2011 telah menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 03/PMK.06/2011 tentang pengelolaan barang milik negara yang berasal dari barang
rampasan negara dan barang gratifikasi. Penetapan PMK itu bertujuan untuk mewujudkan
optimalisasi pengelolaan Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi yang tertib, terarah,
optimal, transparan dan akuntabel untuk meningkatkan penerimaan negara dan/atau sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Pada ketentuan penutup, disebutkan bahwa PMK itu berlaku sejak tanggal
diundangkan yaitu tanggal 5 Januari 2011, kecuali Pasal 25 yang mulai berlaku efektif enam bulan
terhitung sejak diundangkannya PMK ini. Empat tahun berlalu dan aturan ini masih berlaku dan
dijadikan dasar atau pedoman dalam pengelolaan BMN hasil gratifikasi dan belum ada ketentuan
lebih teknis mengenai hal ini. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melihat bagaimana ketentuan
pengelolaan dalam PMK tersebut dan realisasi implmentasinya hingga saat ini melalui studi literatur
dan web research.
Tujuan
Penulisan paper ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk memahami bagaimana defini, dasar hukum, dan jenis gratifikasi.
2. Untuk memahami bagaimana ketentuan pengelolaan barang milik negara (BMN) dari hasil
gratifikasi.
3. Untuk memahami bagaimana implementasi ketentuan pengelolaan barang milik negara (BMN)
dari hasil gratifikasi?

Rumusan Masalah
Adapun masalah yang ingin dibahas selanjutnya dapat dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana defini, dasar hukum, dan jenis gratifikasi?
2. Bagaimana ketentuan pengelolaan barang milik negara (BMN) dari hasil gratifikasi?
3. Bagaimana implementasi ketentuan pengelolaan barang milik negara (BMN) dari hasil
gratifikasi??
DEFINISI DAN DASAR HUKUM GRATIFIKASI
Pengertian Gratifikasi terdapat dalam Penjelasan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu:
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri
maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik.
Kalau dicermati pada kalimat diatas, gratifikasi hanya sebatas kalimat: pemberian dalam arti luas,
padahal kalimat setelah itu sudah mencakup bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan Pasal 12B ayat
(1) juga dapat dilihat bahwa pengertian dari gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak
mengandung makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut. Oleh karena itu, apabila
dihubungkan dengan rumusan pasal 12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu
bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi-gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam
unsur pasal 12B.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) ada ketentuan
yang mengatur tentang pengecualian dari gratifikasi diatas, yaitu:
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Hal tersebut diatas mengungkapkan ketentuan bahwa tidak semua gratifikasi dianggap menjadi barang
hasil kejahatan korupsi, tergantung dari penetapan status barang yang dilakukan oleh ketua KPK
setelah barang tersebut dilaporkan.

Untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan pasal
1B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 , bahwa Setiap gratifikasi kepada pegawai
negeri atau penyelanggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai
berikut..... Jika dilihat dari pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu gratifikasi atau
pemberian hadiah berubah menjadi suatu tindak korupsi atau pidana suap khususnya pada seorang
Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut adalah saat mereka melakukan tindakan
menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut
diberikan berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya.
Sesungguhnya, praktik gratifikasi atau pemberian hadiah di kalangan masyarakat di Indonesia
(karena sudah menjadi kultur di kalangan masyarakat sejak lama) tidak dilarang tetapi perlu
diperhatikan adanya sebuah aturan tambahan bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara untuk
menerima gratifikasi yang dapat dianggap suap.

Berikut beberapa peraturan yang mengatur Gratifikasi, yaitu:


Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001,
Berbunyi, Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya
Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001,
Berbunyi, Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK

Penjelasan aturan Hukum


Pasal 12 UU No. 20/2001, Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat
4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1
miliar:
1.

pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya.

2.

pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa
seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

Sanksinya berupa, Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
TATA CARA PELAPORAN GRATIFIKASI
Berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 Pasal 12c ayat 2 dan UU No. 30
tahun 2002 Pasal 16, setiap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima gratifikasi
wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan cara sebagai berikut :
a. Penerima gratifikasi wajib melaporkan penerimaanya selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja kepada KPK, terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
b. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan
dengan gratifikasi.
c. Formulir sebagaimana huruf b, sekurang-kurangnya memuat :
1. Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi.
2. Jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara

3. Tempat dan waktu penerima gratifikasi.


4. Uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan
5. Nilai gratifikasi yang diterima
Formulir Pelapor Gratifikasi dapat diperoleh di kantor KPK, contoh bentuk formulirnya adalah seperti
gambar diabawah ini:

sumber: kpk.go.id/
Contoh-contoh pemberian hadiah atau suap yang dapat dikategorikan sebagai bentuk dari gratifikasi :
Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu
Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat
tersebut
Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara
cuma-cuma
Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang atau jasa dari rekanan
Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan
atau bawahannya.
Seluruh pemberian tersebut diatas, dapat dikategorikan sebagai gratifikasi, apalbila ada
hubungan kerja atau kedinasan antara pemberi dan dengan pejabat yang menerima, dan/atau
semata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan pejabat tersebut.
Penyelenggara Negara Yang Wajib Melaporkan Gratifikasi yaitu:
Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, Bab II pasal 2, meliputi :
Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara.
Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
Menteri
Gubernur

Hakim
Pejabat Negara Lainnya :
Duta Besar
Wakil Gubernur
Bupati / Walikota dan Wakilnya
Pejabat lainnya yang memiliki fungsi strategis :
Komisaris, Direksi, dan Pejabat Struktural pada BUMN dan BUMD
Pimpinan Bank Indonesia.
Pimpinan Perguruan Tinggi.
Pimpinan Eselon Satu dan Pejabat lainnya yang disamakan pada lingkungan Sipil dan Militer.
Jaksa
Penyidik.
Panitera Pengadilan.
Pimpinan Proyek atau Bendaharawan Proyek.
Pegawai Negeri
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan No. 20 tahun
2001 meliputi :
Pegawai pada : MA, MK
Pegawai pada L Kementrian/Departemen &LPND
Pegawai pada Kejagung
Pegawai pada Bank Indonesia
Pimpinan dan Pegawai pada Sekretariat MPR/DPR/DPD/DPRD Propinsi/Dati II
Pegawai pada Perguruan Tinggi
Pegawai pada Komisi atau Badan yang dibentuk berdasarkan UU, Keppres maupun PP
Pimpinan dan pegawai pada Sekr. Presiden, Sekr. Wk. Presiden, Sekkab dan Sekmil
Pegawai pada BUMN dan BUMD
Pegawai pada Badan Peradilan
Anggota TNI dan POLRI serta Pegawai Sipil dilingkungan TNI dan POLRI
Pimpinan dan Pegawai dilingkungan Pemda Dati I dan Dati II

PENGELOLAAN BARANG GRATIFIKASI MENURUT PMK-03/PMK.06/2011


Sesuai pasal 1 angka 9 PMK-03/PMK.06/2011 tentang pengelolaan barang milik negara yang
berasal dari barang rampasan negara dan barang gratifikasi bahwa yang dimaksud dengan Barang
Gratifikasi adalah barang yang telah ditetapkan status gratifikasinya menjadi milik negara oleh
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
PMK tersebut dibentuk dimaksudkan sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan
Barang Gratifikasi. PMK ini bertujuan

untuk mewujudkan optimalisasi pengelolaan Barang

Gratifikasi yang tertib, terarah, optimal, transparan, dan akuntabel untuk meningkatkan penerimaan
negara dan/atau sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam melakukan pengelolaan Barang Gratifikasi, Menteri Keuangan memiliki wewenang
dan tanggung jawab yang meliputi :
a. menerima, menatausahakan, dan mengelola Barang Gratifikasi yang telah diserahkan oleh KPK
kepada Menteri Keuangan;
b. menetapkan status penggunaan Barang Gratifikasi;
c. melakukan kewenangan lain sesuai ketentuan peraturan Perundang-Undangan.
Wewenang dan tanggung jawab Menteri Keuangan tersebut secara fungsional dilakukan oleh
Direktur Jenderal Kekayaan Negara. Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri
Keuangan kemudian melakukan penyimpanan, pengamanan, dan pemeliharaan atas fisik Barang
Gratifikasi yang telah diserahkan oleh KPK. Selain itu Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama
Menteri Keuangan dapat menugaskan Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan untuk
melakukan penitipan, pengamanan, dan pemeliharaan atas fisik Barang Gratifikasi yang berada dalam
wilayah kerjanya, memerintahkan Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan untuk
melakukan pemeriksanaan fisik dan/atau Penilaian Barang Gratifikasi yang berada dalam wilayah
kerjanya.

Selain Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Kekayaan Negara, KPK pun punya peran
dalam pengelolaan barang gratifikasi. Pimpinan KPK melakukan pengurusan atas Barang Gratifikasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam pengurusan Barang Gratifikasi
tersebut KPK memiliki wewenang dan tanggung jawab yaitu :
a. melakukan Penatausahaan;
b. melakukan pengamanan administrasi, pengamanan fisik dan pengamanan hukum terhadap Barang
Gratifikasi yang berda dalam pengusaaanya;
c. menyerahkan Barang Gratifikasi kepada Menteri Keuangan untuk dikelola;
d. melakukan kewenangan lain sesuai peraturan perundang-undangan.
KPK akan melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan dalam rangka
penyerahan Barang Gratifikasi. Penyerahan Barang Gratifikasi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak
tanggal ditetapkan statusnya menjadi milik Negara oleh Pimpinan KPK yang disertai dengan
kelengkapan data dan/atau dokumen meliputi:
a. keputusan pimpinan KPK mengenai penetapan status Barang Gratifikasi menjadi Barang Milik
Negara;
b. dokumen legalitas kepemilikan bila ada;
c. dokumen pendukung lainnya.
Kemudian DJKN akan melakukan pengelolaan Barang Gratifikasi berupa penetapan status
penggunaan, pemanfaatan, pemindahtangan, dan penghapusan. Bila Barang Gratifikasi akan
dilakukan pemanfaatan dan pemindahtangan maka dilakukan penilaian untuk mendapat nilai wajar.
Dalam hal penetapan limit lelang dalam rangka pemindahbukuan berupa penjualan lelang
berpedoman pada nilai wajar yang telah mempertimbangkan faktor-faktor risiko penjualan melalui
lelang sebesar paling besar 30% dari nilai wajar, meliputi bea lelang, biaya sewa tempat
penyimpanan, biaya pengangkutan, biaya bongkar muat, biaya pemeliharaan, biaya pengaman barang,
biaya pengosongan bangunan / lahan, biaya operasional lainnya.
Sebelum diserahkan ke Menteri Keuangan, KPK melakukan pendaftaran dan pencatatan atas
barang Gratifikasi menurut penggolongan dan kodefikasi BMN. Pada saat penyerahan Barang
Gratifikasi dari KPK ke Menteri Keuangan, dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima, disertai
dengan daftar barang dan pencatatan dari KPK.
DJKN wajib menyimpan fisik dan dokumen legalitas kepemilikan serta dokumen pendukung
lainnya apabila ada atas barang Gratifikasi yang telah diserahkan pengelolaanya kepada Menteri
Keuangan. Dalam hal Barang Gratifikasi yang diserahkan berupa tanah dan/atau bangunan, maka
DJKN cukup melakukan pengamanan fisik dan penyimpanan dokumen legalitas kepemlikan atas
Barang Gratifikasi tersebut.

Apabila ada Barang Gratifikasi yang belum diserahkan kepada

Menteri Keuangan, maka penyimpanan fisik dan dokumen legalitas kepemilikan serta dokumen
pendukung menjadi tanggung jawab sepenuhnya KPK.
DJKN mempunyai kewajiban melakukan inventarisasi atas Barang Gratifikasi yang telah
diserahkan pengelolaannya kepada Menteri Keuangan Keuangan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3

(tiga) tahun. DJKN juga berkewajiban menyampaikan laporan hasil inventarisasi kepada Menteri
Keuangan Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan setelah selesainya invetarisasi.

DJKN wajib

menyusun laporan Barang Gratifikasi secara tahunan untuk disampaikan kepada Menteri Keuangan
yang akan digunakan sebagai bahan untuk menyusun neraca pemerintah pusat.
PERKEMBANGAN

PENGELOLAAN

BARANG

GRATIFIKASI

DI

DIREKTORAT

JENDERAL KEKAYAAN NEGARA (DJKN)


Salah satu wujud kerjasama dan sinergi antara Kementerian Keuangan dengan instansi lain
yaitu melalui pengelolaan barang hasil gratifikasi. Kerja sama ini merupakan wujud peran serta dan
sinergi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kementerian Keuangan, dalam hal ini
melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) selaku pengelola Barang Milik Negara (BMN)
dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia. Penyerahan barang gratifikasi ini oleh KPK
kepada Kementerian Keuangan, dalam hal ini melalui DJKN dilaksanakan menurut amanat Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Barang
gratifikasi yang telah diserahkan kepada DJKN tersebut akan dilakukan pengelolaannya sesuai
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang
Berasal dari Barang Rampasan dan Barang Gratifikasi. Dalam PMK Nomor 03 Tahun 2011
disebutkan bahwa barang gratifikasi adalah barang yang telah ditetapkan satus gratifikasinya menjadi
milik negara oleh pimpinan KPK.
A. Penyerahan Barang Gratifikasi oleh KPK
Selama tahun 2014, tercatat telah terjadi tiga penyerahan barang gratifikasi yang diserahkan
oleh KPK kepada DJKN. Penyerahan pertama pada 17 Maret 2014 bertempat di Kantor Pusat DJKN,
Jakarta, DJKN menerima 50 barang Gratifikasi dari KPK. Barang gratifikasi yang diserahkan antara
lain, smartphone Samsung Galaxy S4, Huawei, keris pusaka, Ipod Shuffle, sepeda gunung merek
Polygon, kain batik, jam tangan merk Swiss Army, Calvin Klein, Guess, sabuk merk Gucci,
Ferragamo, dompet, voucher belanja, parfum, dasi, gelas hias, ballpoint merk Montblanc, Parker, dan
souvenir. Barang gartifikasi tersebut merupakan laporan gratifikasi dari pegawai internal KPK,
pejabat Badan usaha Milik Negara serta penyelenggara negara yang lain.
Pada 11 Juli 2014, DJKN melalui Direktorat Pengelolaan Kekayaan Negara dan Sistem
Informasi (PKNSI) kembali menerima penyerahan barang gratifikasi dari KPK. Kali ini, KPK
menyerahkan sebanyak 253 barang gratifikasi dengan berbagai jenis dan merk. Dari 253 barang
tersebut, 193 di antaranya merupakan Ipod shuffle souvenir pernikahan salah satu anak pejabat di
lembaga tinggi negara. Sementara, 60 barang lainnya antara lain terdiri atas smartphone berbagai
merk dan tipe, tablet, logam mulia, ballpoint, jam tangan, kemeja batik, kain batik, parfum, stick dan
bola golf, jaket kulit, kain tapis, tas, topi, gelang, dan kaca mata. Selain itu, ada pula lemari es, rice
cooker, sepatu, kain tenun Bali, kain tenun Alor, kemeja dan celana, tas tangan, bahan setelan bordir,
bahan sulam, kain dan selendang songket, tas ransel troli, jaket, serta radio unik. Menurut keterangan

resmi DJKN, barang-barang tersebut merupakan laporan gratifikasi dari para pejabat negara di
lingkungan Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, pejabat kementerian, kepala
daerah, pejabat Badan Usaha Milik Negara, serta penyelenggara negara lainnya.
Pada tanggal 26 September 2014, bertempat di Kantor Pusat DJKN, Jakarta, DJKN kembali
menerima 160 Ipod Shuffle hasil pengembalian cindera mata pernikahan anak salah satu pejabat
lembaga tinggi negara yang diserahkan oleh KPK. Penyerahan barang gratifikasi kali ini, merupakan
penyerahan oleh KPK yang ketiga di tahun 2014. Sebelumnya, KPK juga telah menyerahkan barang
gratifikasi di bulan Maret dan Juli 2014. Selain Ipod tersebut, KPK juga menyerahkan 14 item barang
gratifikasi lain, yaitu smartphone merk Iphone, ballpoint dan pensil merk Inoxcrome, dompet dan
sabuk merk Braun Buffel, jam tangan merk Tissot, jam tangan merk Police, jam tangan merk Etienne
Aigner, guci keramik, madu Propolis, album eksklusif Noah, peralatan kesehatan, dan kain batik.
Nilai keseluruhan barang yang diserahkan KPK tersebut mencapai Rp175 juta.
B. Pengelolaan Barang Gratifikasi oleh DJKN
Setelah menerima penyerahan barang gratifikasi dari KPK, DJKN selanjutnya akan
melakukan pengelolaan sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) yang berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang
Gratifikasi. Barang-barang gratifikasi tersebut yang telah ditetapkan menjadi BMN, selanjutnya akan
dilelang dan hasilnya akan masuk ke kas negara. Seluruh hasil lelang, baik pokok lelang maupun bea
lelang akan disetorkan ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Tercatat DJKN telah melakukan dua kali pelelangan barang gratifikasi pada tahun 2014.
Pertama melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta V pada 15 Mei
2014 telah berhasil menyelenggarakan lelang atas barang gratifikasi KPK. Lelang dilakukan terhadap
34 lot barang gratifikasi yang terdiri dari baju batik, jam tangan mewah, telepon genggam, power
bank, Ipad mini, voucher belanja, parcel, mukena, keramik, parfum, kain sutera, kain songket, kain
sasirangan, kain batik, ballpoint mewah, stick golf, tas, dan liontin emas seberat 5 gram.
Lelang yang diselenggarakan oleh DJKN tersebut terbilang sukses, karena berhasil menarik
perhatian masyarakat dan mendapatkan harga jual yang cukup memuaskan. Salah satu contoh
keberhasilan lelang tersebut adalah terjualnya salah satu barang lelang sebesar 910,3 persen dari nilai
limit yang telah ditetapkan. Selain itu, dalam kurun waktu kurang dari 2 jam, 26 lot barang laku
terjual dengan harga Rp30.475.000 dari total limit sebesar Rp16.511.100, dan hanya menyisakan 8 lot
barang gratifikasi yang tidak berhasil terjual. Delapan lot barang yang tidak terjual tersebut terdiri atas
1 buah parcel, 2 set keramik, 1 buah Chinese Ceramic Mini Tea Set, 2 buah ballpoint, 3 lembar
voucher belanja dan 1 set stick golf.
Lelang barang gratifikasi yang kedua pada tahun 2014 diadakan oleh Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Yogyakarta pada tanggal 9-11 Desember 2014, di Graha
Sabha Pramana UGM, Yogyakarta. Lelang ini juga dilakukan dalam rangka mendukung gerakan anti
korupsi serta berpartisipasi dalam rangkaian dari Festival Anti Korupsi 2014. Lelang ini terdiri dan 2

jenis lelang. Pertama, lelang melalui email yang diselenggarakan pada 10 Desember 2014 dengan
melelang 20 item barang di antaranya, 8 buah Ipod Shuffle 1 GB, Samsung Galaxy S4, Stick Golf,
Ballpoint Mont Blanc, Sabuk merk Salvatore, Jam Tangan merk SWISS Army, Sepeda merk Poligon
tipe Premier 3.0, Tablet Lenovo A3000, Parfum Merk Bvlgari Man Extreme 60 ml, Tas Merk Webe,
Ballpoint merk Mont Blanc Boheme, dan Tas Ransel Troli Merk Polo Home.
Kedua, lelang secara langsung yang diselenggarakan pada 10 Desember 2014 (3 item terdiri
dari 1 buah jam tangan merk Police Raptor dan 2 Ipod Shuffle 2 GB) dan 11 Desember 2014
sebanyak 217 unit/item antara lain berupa, Ipod Shuffle 2 GB, Samsung Galaxy Note 3, Smartphone
Iphone 5, Logam Mulia 10 gram, Sepeda merk Poligon, Baju Batik, Pena, Jam Tangan, Sabuk,
Dompet, Dasi, Kain Batik, Parfum, Ballpoint Parker, Keris, Card Holder, Voucher Belanja Hero,
Handphone, Kacamata, Flazz Card BCA, Miniatur Tractor merk CAT, Stick Golf, Jaket Kulit, Topi,
Tas Golf, Kain Tenun Bali, Sepatu, Tas Ransel Troll, Radio, Buku/Album Noah, Madu Propolis,
Blood Pressure Monitor, Autocheck Multi Monitoring System.
Ada beberapa persyatan yang harus dipatuhi peserta lelang, seperti diwajibkan menyetor uang
jaminan lelang sesuai daftar di atas untuk masing-masing objek lelang yang diminati yang disetor
tunai kepada Pejabat Lelang/Panitia Lelang. Selain itu, peserta lelang / kuasanya harus hadir pada saat
pelaksanaan lelang, dimana penawaran lelang dilakukan secara lisan.
Setelah itu, pemenang lelang harus melunasi harga pembelian dan bea lelang sebesar 2 %
paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak pelaksanaan lelang. Apabila pemenang lelang wanprestasi atau
tidak melunasi kewajiban pembayaran sesuai ketentuan di atas, maka uang jaminan akan disetorkan
ke Kas Negara dan pemenang lelang dikenakan sanksi tidak diperbolehkan mengikuti lelang selama 6
(enam) bulan di seluruh wilayah Indonesia. Setelah itu, peserta lelang yang dinyatakan sebagai
pemenang atau kuasanya dapat mengambil objek lelang secara langsung ke Penjual pada saat
pelaksanaan lelang, atau ke KPKNL Yogyakarta.
Direktur Hukum dan Humas Ditjen Kekayaan Negara, Tavianto Noegroho, mengatakan
semua hasil lelang akan diserahkan ke kas negara dan menjadi penerimaan negara untuk anggaran
2014. Total hasil lelang di hari ketiga festival berjumlah Rp78.104.460.

Referensi:
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006. Kepabeanan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009. Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-53/BC/2010.Tata Laksana Pengawasan.
Keputusan Meneteri Keuangan Republik Indonesia Nomor KMK-30/1997.Tata Laksana
Penindakan.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2000. Pemanfaatan Kapal Perikanan
Yang Dinyatakan Dirampas Untuk Negara.
Lembaga Penyitaan dan Pengelolaan Barang Hasil Kejahatan. Tim Pengkajian Hukum
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Jakarta 2013.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011. Pengelolaan Barang
Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 240/PMK.06/2012. Tata Cara
Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal Dari Aset Eks Kepabeanan dan Cukai.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 62/PMK.04/2013. Penyelesaian
Terhadap Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai,Barang yang Dikuasai Negara, dan Barang
yang Menjadi Milik Negara.
Siaran Pers Direktorat Hukum dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara
Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor : SE-001/C/CU.3/03/2011. Perubahan Kedua Atas Surat
Edaran Jaksa Agung RI Nomor : SE-03/B/B.5/8/1988 Tentang Penyelesaian Barang Rampasan.

Akses Internet.
http://bctemas.beacukai.go.id/faq/tentang-lartas-kategori-dan-perijinannya/
http://www.antaranews.com/berita/430854/kapal-sitaan-sulit-dimanfaatkan-nelayan
http://kabar24.bisnis.com/read/20141211/78/381678/jabar-minta-kapal-rampasan-diberikan-kenelayan
http://artikelhukumkemaritiman.blogspot.com/
http://www.kemenkeu.go.id

Vous aimerez peut-être aussi