Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
yang terdapat dalam tubuh merupakan hasil pembentukan ikatan komplek dengan
Fe, Zn, Mg, dan Ca menjadi bentuk yang tidak larut dan bersifat anit nutrisi,
sehingga
asam
fitat
tersebut
sulit
diabsorpsi
oleh
tubuh
Kelompok
Sampel
A0
1 dan 2
3 dan 4
5 dan 6
0,937
0,623
1,246
Kadar Asam
Fitat (mg/g)
0,0047
0,0240
-0,0143
0,515
0,0307
0,975
0,0024
1,073
-0,0036
0,997
0,0010
7 dan 8
1 dan 2
2
3 dan 4
5 dan 6
Senyawa nir gizi atau senyawa antinutrisi adalah suatu senyawa yang
mengurangi manfaat dan atau penyerapan senyawa bahan pangan dari
tumbuhan atau produk olahan dari tanaman yang dijadikan sebagai bahan
pangan (Soetan, 2009). Senyawa nir gizi merupakan substansi yang dibentuk
secara alami di dalam bahan pangan oleh metabolisme suatu spesies dan oleh
proses sentrifuse pada kecepatan 100 rpm selama 10 menit dan setelah proses
sentrifuse selesai, tabung didiamkan selama 10 menit. Setelah didiamkan 10
menit, diambil lapisan merah bening yang terbentuk dan dipindahkan ke
tabung reaksi lainnya. Setelah itu dilakukan pengujian kadar asam fitat dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 265 nm.
Pada pratikum ini digunakan beberapa reagen yaitu HNO 3, FeCl3, amil
alkohol, dan ammonium tiosianat. Vojtiskova (2012) menjelaskan pada
perhitungan asam fitat, reagen HNO3 berfungsi sebagai pengekstrak asam fitat
dalam sampel. Sedangkan, fungsi dari ammonium tiosianat adalah
membentuk warna merah muda pada larutan sampel. Perubahan warna ini
menunjukkan adanya ion feri fitat yang tidak terikat dengan asam fitat
sehingga bereaksi dengan ammonium sulfat membentuk warna merah muda.
Sedangkan untuk FeCl3 dijelaskan oleh Sahni (2000) bahwa penambahan
FeCl3 ada uji asam fitat adalah untuk mengendapkan dari senyawa asam fitat
yang telah diekstrak dari sampel. Talamond (1999) menjelaskan tentang amil
alcohol brperan dalam memberikan intensitas warna merah yang akan diuji
pada spektrofotometer.
Penggunaan pemanasan digunakan untuk memisahkan ion ferri yang
berada pada asam fitat. Selain itu penggunaan panas juga digunakan untuk
menguapkan air dalam filtrate. Pada penguapan harus ditutup dikarenakan
Tangenjaya (1979), melaporkan bahwa pemanasan pada suhu 100 C, pH 2
selama 24 jam dapat mengurangi kadar fitat sampai dengan 70%.
Berdasarkan tabel 2.1 merupakan tabel hasil kadar asam fitat koro
pedang merah mentah dan yang telah diberikan beberapa perlakuan berupa
perebusan, pengkukusan, perendaman dan perebusan, perendaman dan
pengkukusan serta fermentasi 36 jam dan 48 jam. Pada sampel pertama yaitu
koro pedang merah mentah. Pada koro pedang merah mentah memiliki kadar
asam fitat sebesar 0,0047 mg/g. Pada sampel kedua yaitu koro pedang merah
yang diberkan perlakukan perebusan memiliki kadar asam fitat sebesar 0,0240
mg/g. pada sampel ketiga yaitu tempe koro pedang yang terfermentasi selama
36 jam memiliki kadar asam fitat sebesar 0,0307 mg/g. pada sampel keemat
menggunakan koro pedang merah yang diberikan perlauan perendaman dan
perebusan memiliki kadar asam fitat 0,0024 mg/g. untuk sampel kelima yaitu
koro pedang merah yang diberikan perlakuan perendaman dan pengkukusan
memiliki kadar asam fitat sebesar 0,0036. Sedangkan untuk sampel terakhir
yaitu tempe koro pedang merah yang telah terfermentasi selama 48 jam
memiliki kadar asam fitat 0,0010 mg/g.
Pada sampel pertama yaitu koro pedang merah mentah memiliki kadar
asam fitat sebesar 0,0047%. Nilai ini tidak sesuai dengan referensi dari
Almasyhuri dkk (1990) yang menjelaskan pada jenis koro wedus mentah
memiliki nilai asam fitat sebesar 2,443 gram/ 100 gram atau setara dengan
0,002443 %. Perbedaan nilai ini dimungkinkan karena perbedaan varietas
koro yang digunakan. Pada sampel kedua yaitu koro pedang merah rebus.
Dengan perebusan ini nilai kadar asam fitatnya adalah 0,0240% berdasarkan
Setyono (1987) dalam Ishartani (2014) menjelaskan proses perebusan dapat
menghambat enzim fitase sehingga menjadi inaktif sehingga asam fitat yang
dapat terhidrolisis kecil dan kandungan asam fitatnya tinggi. Sehingga,
dibandingkan dengan nilai koro pedang merah mentah nilai ini jauh lebih
tinggi sehingga sesuai dengan referensi.
Pada sampel ketiga yaitu dengan fermentasi 36 jam didapatkan nilai
kadar asam fitat sebesar 0,0307 % hasil ini tidak sesuai referensi Almasyhuri
dkk (1990) pada sampel koro wedus diberikan perlakuan fermentasi selama
36 jam pada suhu kamar menghasilkan asam fitat sebanyak 0,817 gram/100
gram yang setara dengan 0,00817% atau dengan penurunan asam fitat sebesar
43,3 %. Nilai kadar asam fitat pada fermentasi ini lebih besar dari kadar asam
fitat pada koro pedang merah mentah. Fermentasi pada tempe dapat
menurunkan nilai asam fitat. Penurunan ini disebabkan oleh kapang tempe
yaitu Rhizopos oligosporus dapat menghasilkan enzim fitase yang merupakan
salah satu enzim yang mampu menghidrolisis asam fitat menjadi inositol dan
orthofosfat (Sudarmadji 1997, dalam Deliani 2008). Fermentasi yang paling
baik dalam menurunkan kadar asam fitat adalah selama 30 jam dengan suhu
30 C. pada kondisi ini dapat menurunkan asam fitat 0,27%.
Pada sampel empat dan lima melalui proses perendaman. Setyono
(1987) dalam Ishartani (2014) menjelaskan perlakuan perendaman dapat
meningkatkan enzim fitase enzim fitase ini akan menghidrolisis adam fitat
menjadi inositol dan orthofosfat sehingga kandungan asam fitat dalam bahan
menurun selama proses perendaman. Dilanjutkan oleh Kasmidjo (1990)
bahwa perendaman dengan menggunakan pergantian air rendaman berkalikali data menghilangkan senyawa toksik tersebut. Sehingga pada sampel
keempat dan kelima hasilnya sesuai dengan referensi teori karena kadar asam
fitat yang dimilik keduanya lebih rendah dibandingkan dengan kadar asam
fitat pada koro pedang merah mentah. Gilang et al (2013) menjelaskan dalam
Ishartani (2014) bahwa penggunaan perlakuan perebusan dan perendalam
dapat menurunkan senyawa toksik. Pramita (2008) dalam Ishartani (2014)
menjelaskan lebih lanjut penggunaan perlakuan perendaman yang kemudian
diberlakukan pengukusan, perebusan dan autoklaf dapa koro pedang putih
berpengaruh terhadap penurunan kadar asam fitat. Selain itu Penggunaan
panas bertujuan untuk menaikkan permeabilitas biji serta merusak struktur
jaringan bahan sehingga asam fitat yang terlarut dapat lebih banyak (Bhatty
1990, dalam Ishartani 2014). Setelah melalui perlakuan perebusan dan
perendaman Almasyhuri dkk (1990) menjelaskan asam fitat yang dimiliki
oleh koro wedus menjadi 1,441 gram/ 100 gram yang setara dengan
0,001441% atau memiliki penurunan sebesar 41%. Nilai ini berbeda dengan
hasil pratikum yaitu 0,0024%. Perbedaan nilai ini dimungkinkan karena
perbedaan varietas yang digunakan.
Sedangkan untuk sampel keenam yaitu dengan fermentasi 48 jam
didapatkan nilai kadar asam fitat sebear 0,0010%. Nilai ini juga tidak sesuai
dengan referensi Almasyhuri dkk (1990) pada fermentasi koro wedus dengan
lama waktu 48 jam pada suhu kamar menghasilkan penurunan asam fitat
sebesar 65,1% atau sebanding dengan 0,502 gram/ 100 gram yang setara
dengan 0,00502%. Kadar asam fitat pada sampel ini lebih rendah
dibandingkan dengan kadar asam fitat pada koro pedang merah mentah
sehingga fermentasi selama 48 jam ini efektif untuk penurunan kadar asam
fitat pada koro pedang merah. Pangestuti dkk (1996) dalam Wylis (2011)
menjelaskan penurunan kadar asam fitat ini dimungkinkan karena aktivitas
mikroba yang terdapat pada ragi tempe. Pada awal fermentasi mikroba
tersebut menghasilkan enzim fitase dalam jumlah banyak sehingga mampu
menghidrolisis asam fitat secara bertahap menjadi senyawa turunannya yang
dapat larut dalam air.
Asam fitat mengandung sekitar 70% fosfor sehingga asam fitat dapat
menjadi sumber fosfor. Namun, fosfor pada asam fitat sulit dicerna sehingga
tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Selain itu, asam fitat akan membentuk
ikatan dengan mineral bervalensi dua seperti Ca, Me dan Fe maupun protein
menjadi senyawa yang sukar larut. Hal ini akan menyebabkan mineral dan
protein tidak dapat diserap oleh tubuh karena menurunnya nilai cerna senyawa
tersebut (Goerge, M.L 1997, dalam Deliani 2008). Sifat asam fitat ini disebut
dengan rakhitogenik yaitu sifatnya yang membentuk garam tidak larut yang
mengakibatkan mineral-mineral tersebut tidak dapat diserap oleh dinding usus
Selain mengikat ion logam, asam fitat juga dapat berikatan dengan protein
membentuk senyawa yang tidak larut. Apabila keadaan kekurangan mineral
dan protein tersebut berlangsung lama, dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, misalnya anemia zat besi, pertumbuhan yang tidak normal ataupun
penyakit rakhitis (Harrison dan Mellanby 1993, dalam Delliani 2008).
Faktor yang mempengaruhi kandungan asam fitat adalah pada proses
penanaman seperti kandungan unsur dalam tanah. Kandungan unsur dalam
tanah berkontribusi pada pembentukan kandungan senyawa toksik pada koro.
DAFTAR PUSTAKA
Almasyhuri, Yunianti Heru, Sabita Dwi Slamet, 1990. Kandungan Asam Fitat dan
Tanin dalam Kacang-kacangan yang dibuat Tempe. Puslitbang Gizi. Bogor.
Deliani, 2008. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Protein, Lemak,
Komposisi Asam Lemak dan Asam Fitat Pada Pembuatan Tempe. Tesis.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Ekanayake, S., E. R. Jansz., Baboo M. Nair., and A. M. Abeysekera. 1999. A Review
on an underutilized legume Canavalia gladiata. Journal Vidyodaya 1. of Sci.
Vol, 8. pp 1-25.
Ishartani Dwi, Rachmawanti Dian, Faizal Taufiq, 2014. Pengaruh Variasi Perlakuan
Pendahuluan Terhadap Karakteristik Gizi, Senyawa Anti Gizi, Dan Aktivitas
Antioksidan Pada Koro Pedang Merah (Canavalia Gladiata L.) Berkulit.
Jurnal Teknosains Pangan. Universitas Sebelas Maret Surakarta. ISSN:
2302-0733. Vol 3 No. 3
Ishartani, Dwi., Dian Rachmawanti, dan Taufiq Faizal. 2014. Pengaruh Variasi
Perlakuan Pendahuluan Terhadap Karakteristik Gizi, Senyawa Anti Gizi,
dan Aktivitas Antioksidan pada Koro Pedang Merah (Canavalia gladiata l.)
Berkulit. Jurnal Teknosains Pangan Vol. 3, No. 3 (3).
Reddy, N. R. and D. K. Salunkhe. 1981. Interaction Between Phytate, Protein, and
Mineral in Whey Fraction of Black Gram. Journal Food and Science. (46)
(2). Page 564-567.
Soetan, K. O., dan O. E. Eyewole. 2009. The Need for Adequate Processing to
Reduce the Antinutritional Factors in Plants Used as Human Foods and
Animal Feeds: A Review. African Journal of Food Science Vol. 3, No. 9
(223-224).
Susanti E. R. 2012. Degradasi Asam Fitat pada Kambing Peranakan Etawah Laktasi
yang Mendapat Ransum Bersuplemen Kedelai Sangrai, Vitamin dan
Mineral. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Tangendjaja, B. 1979. Studies on the dephosphorilation of phytic acid in rice bran.
University of New South Wales, Sydney.
Usmiati, Trini. 1988. Menentukan Kandungan Asam Fitat pada Jambu Mete
(Anacardium occidentale L.). Laporan Penelitian Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Gadjah Mada.
Wylis Ratna Arief, Irawati, Yusmasari. 2011. Penurunan Kadar Asam Fitat Tepung
Jagung Selama Proses Fermentasi Menggunakan Ragi Tape. Seminar
Nasional Serelia. Balai pengkajian Teknologi Pertanian.