Vous êtes sur la page 1sur 12

ACARA II

KADAR SIANIDA DAN ASAM FITAT KORO BENGUK


A. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh berbagai
perlakuan pada koro pedang merah terhadap kandungan asam fitat.
B. Tinjauan Pustaka
Senyawa nir gizi atau senyawa antinutrisi adalah suatu senyawa yang
mengurangi manfaat dan atau penyerapan senyawa bahan pangan dari tumbuhan
atau produk olahan dari tanaman yang dijadikan sebagai bahan pangan. Senyawa
nir gizi merupakan substansi yang dibentuk secara alami di dalam bahan pangan
oleh metabolisme suatu spesies dan oleh mekanisme tertentu, serta memiliki
pengaruh yang berlawanan penyerapan nutrisi yang optimal. Terdapat beberapa
contoh senyawa antinutrisi diantaranya yaitu HCN (asam sianida), senyawa
alkaloid, dan asam fitat (Soetan dan Eyewole, 2009).
Koro pedang merah (Canavalia gladiata) diyakini berasal dari benua Asia
dan tersebar di seluruh daerah tropis, dibudidayakan dalam skala terbatas di
seluruh Asia, Hindia Barat, Afrika dan Amerika Selatan dan telah diperkenalkan
ke bagian tropis Australia. Produktivitas rata-rata koro pedang merah sekitar 7201500 kg/ha. Tanaman koro pedang merah memiliki tinggi 45 100 cm dengan
panjang polong 20 40 cm dan lebar 3,5 5 cm. Setiap polong koro pedang
merah memiliki isi 8 16 biji dengan ukuran 2,5 3,5 cm. Waktu produksi koro
pedang merah yaitu 6 hingga 10 bulan (Ekanayake et al., 1999).
Koro pedang juga ternyata memiliki senyawa toksik seperti kholin, asam
hidrozianine, trogonelin, tripsin, dan glukosianida, serta senyawa anti gizi
khususnya asam fitat. Senyawa toksik yang dimiliki koro pedang merah antara
lain concanavalin A, canavanin, poliamine dan saponin. Canavanin pada koro
pedang sangat tinggi (88-91%) yang merupakan senyawa asam amino mirip
arginin berpotensi beracun apabila dikonsumsi. Koro pedang merah juga
mengandung asam sianida (HCN) dan asam fitat yang cukup tinggi. Asam fitat

yang terdapat dalam tubuh merupakan hasil pembentukan ikatan komplek dengan
Fe, Zn, Mg, dan Ca menjadi bentuk yang tidak larut dan bersifat anit nutrisi,
sehingga

asam

fitat

tersebut

sulit

diabsorpsi

oleh

tubuh

(Reddy and Salunkhe, 1981)


Asam fitat adalah senyawa anti nutrisi yang memiliki sifat chelating agent
yang mampu mengikat mineral, akibatnya pelepasan dan absorbsi mineral pakan
menurun. Suplementasi vitamin dan mineral dalam ransum diharapkan dapat
meningkatkan aktifitas mikroba dan degradasi asam fitat. Degradasi asam fitat
merupakan proses pemutusan ikatan gugus myoinositol dengan gugus fosfat.
Mineral yang terikat fitat akan terlepas dan dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Asam
fitat mudah mengikat mineral terutama yang bervalensi dua. Asam fitat memiliki
rumus molekul C6H18O24P6, dengan berat molekul 660,04 gr/mol. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa keberadaan asam fitat dalam makanan dapat
merugikan ketersediaan mineral esensial bagi tubuh. Kalsium merupakan mineral
esensial yang terbatas bagi tubuh bila di dalam makanan atau ransum
mengandung asam fitat ((Susanti, 2012; Hidayat dkk, 2008)
Menurut Susmiati (1998), prinsip dari penentuan kadar asam fitat adalah
berdasarkan atas pengendapan asam fitat sebagai garam Fe kemudian kadar
diukur dengan menggunakan spektrofotometri. Adapun mekanisme pengujian
asam fitat bedasarkan langkah-langkah dalam praktikum adalah diawali dengan
mensuspensikan 5 gram sampel kedalam

50 ml HNO 3 dan diaduk dengan

menggunakan magnetic stirrer selama 2 jam, kemudian disaring. Sebanyak 0,5 ml


filtrate sampel hasil penyaringan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian
ditambah dengan 0,9 ml larutan HNO3 0,5 N dan 1 ml larutan FeCl3. Setelah itu
dilajutkan dengan menutup tabung reaksi dan merendamnya dalam penangas air
pada suhu 1000C selama 20 menit. Setelah didinginkan, ditambahkan 5 ml amil
alkohol dan 1 ml larutan ammonium tiosianat ke dalam tabung reaksi tersebut dan
dilanjutkan dengan proses sentrifuse pada kecepatan 100 rpm selama 10 menit
dan setelah prosen sentrifuse selesai, tabung didiamkan selama 10 menit. Setelah

didiamkan 10 menit, diambila lapisan merah bening yang terbentuk dan


dipindahkan ke tabung reaksi lainnya.
C. Metodologi
1. Alat
a. Pengaduk
b. Tabung reaksi
c. Penangas air
d. Sentrifuse
e. Spektrofotometer
f. Pipet volume
g. Propipet
h. Waterbath
i. Sentrifuse
j. Gelas beaker
k. Labu takar
l. Stirrer
2. Bahan
a. Koro pedang merah yang telah direbus
b. Tempe koro pedang merah fermentasi 36 jam
c. Tempe koro pedang merah fermentasi 48 jam
d. Koro pedang merah yang telah dikukus
e. Koro pedang merah mentah
f. Koro pedang merah yang telah direndam dan direbus
g. Koro pedang merah yang telah direndam dan dikukus
h. Larutan HNO3
i. Larutan FeCl3
j. Larutan amil alcohol
k. Larutan ammonium tiosianat
3. Cara Kerja
5 gr sampel disuspensikan dalam 50 ml HNO3, diaduk selama 2 jam
a. Analisis Asam Fitat
lalu disaring

0,5 ml filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambah 0,9


ml HNO3 0,5 N dan 1 ml larutan FeCl3
Tabung reaksi ditutup dan direndam dalam penangas air 100 C
selama 20 menit

Setelah dingin ditambahkan 5 ml amil alkohol dan 1 ml ammonium


tiosianat

Diukur absorbansinya pada panjang gelombang 265 nm

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 2.1 kadar asam fitat koro pedang merah
Shift

Kelompok

Sampel

A0

1 dan 2
3 dan 4
5 dan 6

Koro pedang merah mentah


Koro pedang merah rebus
Koro pedang merah kukus
Tempe Koro pedang merah
fermentasi 36 jam
Koro pedang merah mentah
rendam dan rebus
Koro pedang merah mentah
rendam dan kukus
Tempe Koro pedang merah
fermentasi 48 jam

0,937
0,623
1,246

Kadar Asam
Fitat (mg/g)
0,0047
0,0240
-0,0143

0,515

0,0307

0,975

0,0024

1,073

-0,0036

0,997

0,0010

7 dan 8
1 dan 2
2

3 dan 4
5 dan 6

Sumber : Laporan sementara

Senyawa nir gizi atau senyawa antinutrisi adalah suatu senyawa yang
mengurangi manfaat dan atau penyerapan senyawa bahan pangan dari
tumbuhan atau produk olahan dari tanaman yang dijadikan sebagai bahan
pangan (Soetan, 2009). Senyawa nir gizi merupakan substansi yang dibentuk
secara alami di dalam bahan pangan oleh metabolisme suatu spesies dan oleh

mekanisme tertentu, serta memiliki pengaruh yang berlawanan penyerapan


nutrisi yang optimal. Terdapat beberapa contoh senyawa antinutrisi
diantaranya yaitu HCN (asam sianida), senyawa alkaloid, dan asam fitat
(Soetan dan Eyewole, 2009).
Asam fitat adalah senyawa anti nutrisi yang memiliki sifat chelating
agent yang mampu mengikat mineral, akibatnya pelepasan dan absorbsi
mineral pakan menurun. Suplementasi vitamin dan mineral dalam ransum
diharapkan dapat meningkatkan aktifitas mikroba dan degradasi asam fitat.
Degradasi asam fitat merupakan proses pemutusan ikatan gugus myoinositol
dengan gugus fosfat. Mineral yang terikat fitat akan terlepas dan dapat
dimanfaatkan oleh tubuh (Susanti, 2012)
Asam fitat mudah mengikat mineral terutama yang bervalensi dua.
Asam fitat memiliki rumus molekul C6H18O24P6, dengan berat molekul 660,04
gr/mol. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa keberadaan asam fitat
dalam makanan dapat merugikan ketersediaan mineral esensial bagi tubuh.
Kalsium merupakan mineral esensial yang terbatas bagi tubuh bila di dalam
makanan atau ransum mengandung asam fitat (Hidayat dkk, 2008)
Menurut Susmiati (1998), prinsip dari penentuan kadar asam fitat
adalah berdasarkan atas pengendapan asam fitat sebagai garam Fe kemudian
kadar diukur dengan menggunakan spektrofotometri. Adapun mekanisme
pengujian asam fitat bedasarkan langkah-langkah dalam praktikum adalah
diawali dengan mensuspensikan 5 gram sampel kedalam 50 ml HNO 3 dan
diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer selama 2 jam, kemudian
disaring. Sebanyak 0,5 ml filtrate sampel hasil penyaringan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi, kemudian ditambah dengan 0,9 ml larutan HNO 3 0,5 N
dan 1 ml larutan FeCl3. Setelah itu dilajutkan dengan menutup tabung reaksi
dan merendamnya dalam penangas air pada suhu 100 0C selama 20 menit.
Setelah didinginkan, ditambahkan 5 ml amil alkohol dan 1 ml larutan
ammonium tiosianat ke dalam tabung reaksi tersebut dan dilanjutkan dengan

proses sentrifuse pada kecepatan 100 rpm selama 10 menit dan setelah proses
sentrifuse selesai, tabung didiamkan selama 10 menit. Setelah didiamkan 10
menit, diambil lapisan merah bening yang terbentuk dan dipindahkan ke
tabung reaksi lainnya. Setelah itu dilakukan pengujian kadar asam fitat dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 265 nm.
Pada pratikum ini digunakan beberapa reagen yaitu HNO 3, FeCl3, amil
alkohol, dan ammonium tiosianat. Vojtiskova (2012) menjelaskan pada
perhitungan asam fitat, reagen HNO3 berfungsi sebagai pengekstrak asam fitat
dalam sampel. Sedangkan, fungsi dari ammonium tiosianat adalah
membentuk warna merah muda pada larutan sampel. Perubahan warna ini
menunjukkan adanya ion feri fitat yang tidak terikat dengan asam fitat
sehingga bereaksi dengan ammonium sulfat membentuk warna merah muda.
Sedangkan untuk FeCl3 dijelaskan oleh Sahni (2000) bahwa penambahan
FeCl3 ada uji asam fitat adalah untuk mengendapkan dari senyawa asam fitat
yang telah diekstrak dari sampel. Talamond (1999) menjelaskan tentang amil
alcohol brperan dalam memberikan intensitas warna merah yang akan diuji
pada spektrofotometer.
Penggunaan pemanasan digunakan untuk memisahkan ion ferri yang
berada pada asam fitat. Selain itu penggunaan panas juga digunakan untuk
menguapkan air dalam filtrate. Pada penguapan harus ditutup dikarenakan
Tangenjaya (1979), melaporkan bahwa pemanasan pada suhu 100 C, pH 2
selama 24 jam dapat mengurangi kadar fitat sampai dengan 70%.
Berdasarkan tabel 2.1 merupakan tabel hasil kadar asam fitat koro
pedang merah mentah dan yang telah diberikan beberapa perlakuan berupa
perebusan, pengkukusan, perendaman dan perebusan, perendaman dan
pengkukusan serta fermentasi 36 jam dan 48 jam. Pada sampel pertama yaitu
koro pedang merah mentah. Pada koro pedang merah mentah memiliki kadar
asam fitat sebesar 0,0047 mg/g. Pada sampel kedua yaitu koro pedang merah
yang diberkan perlakukan perebusan memiliki kadar asam fitat sebesar 0,0240

mg/g. pada sampel ketiga yaitu tempe koro pedang yang terfermentasi selama
36 jam memiliki kadar asam fitat sebesar 0,0307 mg/g. pada sampel keemat
menggunakan koro pedang merah yang diberikan perlauan perendaman dan
perebusan memiliki kadar asam fitat 0,0024 mg/g. untuk sampel kelima yaitu
koro pedang merah yang diberikan perlakuan perendaman dan pengkukusan
memiliki kadar asam fitat sebesar 0,0036. Sedangkan untuk sampel terakhir
yaitu tempe koro pedang merah yang telah terfermentasi selama 48 jam
memiliki kadar asam fitat 0,0010 mg/g.
Pada sampel pertama yaitu koro pedang merah mentah memiliki kadar
asam fitat sebesar 0,0047%. Nilai ini tidak sesuai dengan referensi dari
Almasyhuri dkk (1990) yang menjelaskan pada jenis koro wedus mentah
memiliki nilai asam fitat sebesar 2,443 gram/ 100 gram atau setara dengan
0,002443 %. Perbedaan nilai ini dimungkinkan karena perbedaan varietas
koro yang digunakan. Pada sampel kedua yaitu koro pedang merah rebus.
Dengan perebusan ini nilai kadar asam fitatnya adalah 0,0240% berdasarkan
Setyono (1987) dalam Ishartani (2014) menjelaskan proses perebusan dapat
menghambat enzim fitase sehingga menjadi inaktif sehingga asam fitat yang
dapat terhidrolisis kecil dan kandungan asam fitatnya tinggi. Sehingga,
dibandingkan dengan nilai koro pedang merah mentah nilai ini jauh lebih
tinggi sehingga sesuai dengan referensi.
Pada sampel ketiga yaitu dengan fermentasi 36 jam didapatkan nilai
kadar asam fitat sebesar 0,0307 % hasil ini tidak sesuai referensi Almasyhuri
dkk (1990) pada sampel koro wedus diberikan perlakuan fermentasi selama
36 jam pada suhu kamar menghasilkan asam fitat sebanyak 0,817 gram/100
gram yang setara dengan 0,00817% atau dengan penurunan asam fitat sebesar
43,3 %. Nilai kadar asam fitat pada fermentasi ini lebih besar dari kadar asam
fitat pada koro pedang merah mentah. Fermentasi pada tempe dapat
menurunkan nilai asam fitat. Penurunan ini disebabkan oleh kapang tempe
yaitu Rhizopos oligosporus dapat menghasilkan enzim fitase yang merupakan

salah satu enzim yang mampu menghidrolisis asam fitat menjadi inositol dan
orthofosfat (Sudarmadji 1997, dalam Deliani 2008). Fermentasi yang paling
baik dalam menurunkan kadar asam fitat adalah selama 30 jam dengan suhu
30 C. pada kondisi ini dapat menurunkan asam fitat 0,27%.
Pada sampel empat dan lima melalui proses perendaman. Setyono
(1987) dalam Ishartani (2014) menjelaskan perlakuan perendaman dapat
meningkatkan enzim fitase enzim fitase ini akan menghidrolisis adam fitat
menjadi inositol dan orthofosfat sehingga kandungan asam fitat dalam bahan
menurun selama proses perendaman. Dilanjutkan oleh Kasmidjo (1990)
bahwa perendaman dengan menggunakan pergantian air rendaman berkalikali data menghilangkan senyawa toksik tersebut. Sehingga pada sampel
keempat dan kelima hasilnya sesuai dengan referensi teori karena kadar asam
fitat yang dimilik keduanya lebih rendah dibandingkan dengan kadar asam
fitat pada koro pedang merah mentah. Gilang et al (2013) menjelaskan dalam
Ishartani (2014) bahwa penggunaan perlakuan perebusan dan perendalam
dapat menurunkan senyawa toksik. Pramita (2008) dalam Ishartani (2014)
menjelaskan lebih lanjut penggunaan perlakuan perendaman yang kemudian
diberlakukan pengukusan, perebusan dan autoklaf dapa koro pedang putih
berpengaruh terhadap penurunan kadar asam fitat. Selain itu Penggunaan
panas bertujuan untuk menaikkan permeabilitas biji serta merusak struktur
jaringan bahan sehingga asam fitat yang terlarut dapat lebih banyak (Bhatty
1990, dalam Ishartani 2014). Setelah melalui perlakuan perebusan dan
perendaman Almasyhuri dkk (1990) menjelaskan asam fitat yang dimiliki
oleh koro wedus menjadi 1,441 gram/ 100 gram yang setara dengan
0,001441% atau memiliki penurunan sebesar 41%. Nilai ini berbeda dengan
hasil pratikum yaitu 0,0024%. Perbedaan nilai ini dimungkinkan karena
perbedaan varietas yang digunakan.
Sedangkan untuk sampel keenam yaitu dengan fermentasi 48 jam
didapatkan nilai kadar asam fitat sebear 0,0010%. Nilai ini juga tidak sesuai

dengan referensi Almasyhuri dkk (1990) pada fermentasi koro wedus dengan
lama waktu 48 jam pada suhu kamar menghasilkan penurunan asam fitat
sebesar 65,1% atau sebanding dengan 0,502 gram/ 100 gram yang setara
dengan 0,00502%. Kadar asam fitat pada sampel ini lebih rendah
dibandingkan dengan kadar asam fitat pada koro pedang merah mentah
sehingga fermentasi selama 48 jam ini efektif untuk penurunan kadar asam
fitat pada koro pedang merah. Pangestuti dkk (1996) dalam Wylis (2011)
menjelaskan penurunan kadar asam fitat ini dimungkinkan karena aktivitas
mikroba yang terdapat pada ragi tempe. Pada awal fermentasi mikroba
tersebut menghasilkan enzim fitase dalam jumlah banyak sehingga mampu
menghidrolisis asam fitat secara bertahap menjadi senyawa turunannya yang
dapat larut dalam air.
Asam fitat mengandung sekitar 70% fosfor sehingga asam fitat dapat
menjadi sumber fosfor. Namun, fosfor pada asam fitat sulit dicerna sehingga
tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Selain itu, asam fitat akan membentuk
ikatan dengan mineral bervalensi dua seperti Ca, Me dan Fe maupun protein
menjadi senyawa yang sukar larut. Hal ini akan menyebabkan mineral dan
protein tidak dapat diserap oleh tubuh karena menurunnya nilai cerna senyawa
tersebut (Goerge, M.L 1997, dalam Deliani 2008). Sifat asam fitat ini disebut
dengan rakhitogenik yaitu sifatnya yang membentuk garam tidak larut yang
mengakibatkan mineral-mineral tersebut tidak dapat diserap oleh dinding usus
Selain mengikat ion logam, asam fitat juga dapat berikatan dengan protein
membentuk senyawa yang tidak larut. Apabila keadaan kekurangan mineral
dan protein tersebut berlangsung lama, dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, misalnya anemia zat besi, pertumbuhan yang tidak normal ataupun
penyakit rakhitis (Harrison dan Mellanby 1993, dalam Delliani 2008).
Faktor yang mempengaruhi kandungan asam fitat adalah pada proses
penanaman seperti kandungan unsur dalam tanah. Kandungan unsur dalam
tanah berkontribusi pada pembentukan kandungan senyawa toksik pada koro.

Almasyhuri dkk (1990) menjelaskan semakin lama proses penanaman pada


koro maka semakin tinggi pula kandungan asam fitat yang dimiliki. Pada
proses pemanenan, semakin pemanenan dilakukan melewati batas panenl
maka kandungan asam fitat semakin tinggi pula. Selain itu penanganan
setelah panen seperti perendaman dapat mengurangi kandungan asam fitat
sebelum pengkonsumsian.
E. KESIMPULAN
Dari praktikum kadar sianida dan asam fitat koro benguk diatas dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Asam fitat dan senyawa fitat dapat mengikat mineral seperti kalsium,
magnesium, seng dan tembaga sehingga berpotensi mengganggu
penyerapan mineral. Selain mengikat mineral, fitat juga bisa berikatan
dengan protein sehingga menurunkan nilai cerna protein bahan.
2. Kadar asam fitat yang paling tinggi terdapat pada sampel tempe koro
pedanang merah dengan lama fermentasi 36 jam yaitu sebanyak 0,0307
mg/g. Sedangkan kadar asam fitat yang paling rendah terdapat pada sampel
koro pedang merah kukus yaitu sebanyak -0,0143.
3. Semakin besar absorbansinya maka semakin kecil kandungan asam
fitatnya.
4. Hal ini disebabkan asam fitat bersifat larut air sehingga perendaman juga
dapat mereduksi kadar fitat. Kombinasi perendaman dengan pemanasan
dan/atau blansir (keduanya dilakukan sebelum perendaman) akan
mereduksi asam fitat dengan lebih efektif.
5. Faktor yang mempengaruhi kandungan asam fitat adalah proses
penanaman yaitu kandungan unsur hara dalam tanah. Semakin lama
penanaman dan mundurnya waktu panen dapat memberikan kandungan
asam fitat lebih banyak pada koro.

DAFTAR PUSTAKA
Almasyhuri, Yunianti Heru, Sabita Dwi Slamet, 1990. Kandungan Asam Fitat dan
Tanin dalam Kacang-kacangan yang dibuat Tempe. Puslitbang Gizi. Bogor.
Deliani, 2008. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Protein, Lemak,
Komposisi Asam Lemak dan Asam Fitat Pada Pembuatan Tempe. Tesis.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Ekanayake, S., E. R. Jansz., Baboo M. Nair., and A. M. Abeysekera. 1999. A Review
on an underutilized legume Canavalia gladiata. Journal Vidyodaya 1. of Sci.
Vol, 8. pp 1-25.
Ishartani Dwi, Rachmawanti Dian, Faizal Taufiq, 2014. Pengaruh Variasi Perlakuan
Pendahuluan Terhadap Karakteristik Gizi, Senyawa Anti Gizi, Dan Aktivitas
Antioksidan Pada Koro Pedang Merah (Canavalia Gladiata L.) Berkulit.
Jurnal Teknosains Pangan. Universitas Sebelas Maret Surakarta. ISSN:
2302-0733. Vol 3 No. 3
Ishartani, Dwi., Dian Rachmawanti, dan Taufiq Faizal. 2014. Pengaruh Variasi
Perlakuan Pendahuluan Terhadap Karakteristik Gizi, Senyawa Anti Gizi,
dan Aktivitas Antioksidan pada Koro Pedang Merah (Canavalia gladiata l.)
Berkulit. Jurnal Teknosains Pangan Vol. 3, No. 3 (3).
Reddy, N. R. and D. K. Salunkhe. 1981. Interaction Between Phytate, Protein, and
Mineral in Whey Fraction of Black Gram. Journal Food and Science. (46)
(2). Page 564-567.
Soetan, K. O., dan O. E. Eyewole. 2009. The Need for Adequate Processing to
Reduce the Antinutritional Factors in Plants Used as Human Foods and
Animal Feeds: A Review. African Journal of Food Science Vol. 3, No. 9
(223-224).
Susanti E. R. 2012. Degradasi Asam Fitat pada Kambing Peranakan Etawah Laktasi
yang Mendapat Ransum Bersuplemen Kedelai Sangrai, Vitamin dan
Mineral. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Tangendjaja, B. 1979. Studies on the dephosphorilation of phytic acid in rice bran.
University of New South Wales, Sydney.
Usmiati, Trini. 1988. Menentukan Kandungan Asam Fitat pada Jambu Mete
(Anacardium occidentale L.). Laporan Penelitian Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Gadjah Mada.

Wylis Ratna Arief, Irawati, Yusmasari. 2011. Penurunan Kadar Asam Fitat Tepung
Jagung Selama Proses Fermentasi Menggunakan Ragi Tape. Seminar
Nasional Serelia. Balai pengkajian Teknologi Pertanian.

Vous aimerez peut-être aussi