Vous êtes sur la page 1sur 5

Etika dan Profesionalitas

Oleh: Irvin Rembrant Holleritz Sitompul, 1106049864


Artikel

Tinjauan Etika
Kedokteran

Tinjauan Profesionalitas

Pelayanan Kesehatan
Mengecewakan
Ini
merupakan
surat
kekecewaan saya pada
sistem
kesehatan
di
negeri
ini.
karena
mungkin secara tidak
langsung membuat saya
merasa bersalah karena
meninggalnya seseorang
fakir di pinggir jalan.
Tiga minggu yang lalu,
saya diberikan informasi
oleh
seseorang
yang
sangat
saya
hormati
untuk
membantu
seorang
fakir
yang
terkulai tak berdaya di
jalan
sebelah
Hotel
Sriwijaya.
Fakir tersebut menurut
cerita, dahulu merupakan
loper
koran
yang
tertabrak mobil sehingga
tulang keringnya patah.
Hanya saja, sampai saat
saya mendapatinya gips
yang
terpasang
di
kakinya sampai saat itu
belum terlepas, mungkin
sudah berada di kakinya
semenjak enam bulan
sejak terjadinya kejadian.
Saya tidak tahu, apakah
akibat dari gips yang tak
terlepas
atau
dia
mengalami penyakit lain.
Karena pada saat itu
kondisinya
sangat

Pasien
sudah
pernah
mendapatkan
pengobatan sebelumnya,
namun karena suatu hal,
belum
mengunjungi
dokter
lagi
untuk
mengganti
gips
yang
sudah menempel 6 bulan
di
kakinya.
Ada
kemungkinan,
dokter
tidak meminta pasien
untuk kontrol lagi, atau
tidak
memikirkan
bagaimana fakir miskin
ini dapat kembali berobat
ke dokter, sementara
dirinya sendiri tinggal di
jalanan seorang diri. Hal
ini tidak sesuai dengan

Dokter
di
sini
tidak
berlaku
profesional
karena untuk merawat
korban
sehabis
kecelakaan,
tidak
semata-mata
hanya
memerlukan tatalaksana
spesifik
untuk
patah
tulangnya saja, tetapi
harus
diperhatikan
keadaan gizi, keadaan
psikososial pasien, dan
intensitas follow up. Pada
kasus ini, dokter jelas
tidak melakukan ketiga
hal tersebut. Salah saru
kemungkinan
tidak
dilakukan adalah karena
dokter
tersebut
tidak
memikirkan penanganan
yang holistik.

mengenaskan,
hanya
terkulai lemah tidak bisa
bergerak, berbaring di
sisi jalan. Menurut cerita
kondisinya
pada
saat
enam bulan lalu berbeda
sekali dengan pada saat
itu saya lihat, karena
yang saya lihat badannya
sudah selayaknya tulang
belulang yang diselimuti
oleh kulit. Menyedihkan.
Saya
bersama
istri
bermaksud
untuk
membawa fakir tersebut
menuju ke RS. Cipto
Mangunkusumo.

Saya
mengantarkan
sampai di UGD, ternyata
pada saat sampai disana,
jangankan
diagnosis,
masuk ke dalam ruangan
UGD nya pun tidak. Kami
hanya sampai beranda
UGD saja, dokter-dokter
pada RS tersebut, yang
saya
tidak
mengerti
adalah
tidak
melihat
kondisi si fakir dalam
keadaan
yang
kritis,
terkesan malah seperti
melihat fakir manja yang
pengen
diobati
(they
make fun on him, i just
dont believe it, what a
scary doctor).

kode etik pasal 8, yang


berisi Dalam melakukan
pekerjaannya
seorang
dokter
harus
memperhatikan
kepentingan masyarakat
dan
memperhatikan
semua aspek pelayanan
kesehatan
yang
menyeluruh
(promotif,
preventif,
kuratif
dan
rehabilitatif), baik
fisik
maupun
psiko-sosial,
serta berusaha menjadi
pendidik dan pengabdi
masyarakat
yang
sebenar-benarnya..

Penulis dapat dikatakan


bertindak sesuai dengan
Kode Etik Kedokteran
pasal 7D, yang isinya
Setiap
dokten
harus
senantiasa
mengingat
akan
kewajiban
melindungi
hidup
makhluk insani..
Dokter-dokter
yang
diceritakan dalam artikel
ini tidak berlaku sesuai
dengan Surat Keputusan
Pengurus Besar Ikatan
Dokter
Indonesia
No.
221/Pb/A.4/04/2002,
tentang Penerapan Kode
Etik
Kedokteran
Indonesia Pasal 7A yang
isinya Seorang dokter
harus,
dalam
setiap
praktik
medisnya,
memberikan pelayanan
medis yang kompeten
dengan
kebebasan
teknis
dan
moral
sepenuhnya,
disertai

Dokter-dokter di rumah
sakit
tersebut
tidak
bersikap
profesional
karena tidak melakukan
yang
seharusnya
dilakukan oleh semua
dokter di Triase IGD, yaitu
memeriksa
keadaan
umum
melalui
survei
primer dan sekunder.
Dokter-dokter
tersebut
malah
menghakimi
pasien dan mengolokolok pasien.

rasa
kasih
sayang
(compassion)
dan
penghormatan
atas
martabat
manusia.
Dokter-dokter ini juga
melanggar Pasal 13 yang
isinya Setiap
dokter
wajib
melakukan
pertolongan
darurat
sebagai
suatu
tugas
perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada
orang lain bersedia dan
mampu
memberikannya.
Hal ini juga melanggar isi
sumpah
kepaniteraan
yang
berbunyi
saya
akan
menghayati
penderitaan yang dialami
orang sakit, sehingga
saya dapat memberikan
pertolongan
sebagaimana mestinya.

Padahal
kondisinya
menurut saya sangat
mengenaskan tidak ada
daging yang meliputinya,
air
liur
yang
sudah
sangat
kental,
sulit
berbicara,
kulit
yang
dicubit tidak balik lagi
dan tidak bisa bergerak
jika tidak dibantu.

Jika, keadaannya pasien


sesuai dengan gambaran
penulis,
perlu
dipertanyakan
kemampuan
dokter
dalam
menganalisis
keadaan umum pasien
dan
tanda-tanda
kegawatan
dan
kedaruratan pada pasien.
Pasien
kemungkinan
sudah
berada
dalam
kondisi dehidrasi berat,
dilihat dari turgor kulit
yang
rendah,
dan
mungkin sudah sampai
shock,
karena
sudah
mengalami
perubahan
kesadaran, karena sudah
tidak
bicara.
Ini
bertentangan
dengan
Kode Etik pasal 2, yang

isinya Seorang dokter


harus
senantiasa
berupaya melaksanakan
profesinya sesuai dengan
standar
profesi
yang
tertinggi.

Padahal
saya
sudah
bilang, bahwa semua
biaya yang timbul dalam
pemulihan
fakir
ini
menjadi tanggung jawab
saya. Akan tetapi pihak
rumah sakit tidak juga
menerima fakir tersebut,
saya tetap bersikukuh
untuk memasukan fakir
ini, tapi tetap saja tidak
bisa
dengan
alasan
mereka
bekerja
atas
dasar SOP dari rumah
sakit. (SOP my ass..
there's
no
humanity
anymore.. only SOP).
Akhirnya
saya
kembalikan fakir tersebut
ke tempatnya semula,
karena saya tidak tahu
harus menempatkannya
dimana lagi.
Keesokan harinya saya
berinisiatif
untuk
mencoba
RS.
yang
berbeda. Akan tetapi saat

Dokter
tidak
memberitahukan, karena
mungkin
juga
tidak
mengetahui ada fasilitas
Rumah Sehat, sebuah
rumah sakit yang khusus
menampung orang tidak
mampu. Ini bertentangan
dengan pasal 2 dan pasal
8, karena dokter tidak
mengetahui
fasilitas
pemerintah
yang
berhubungan
dengan
kesehatan masyarakat.

Dalam janji kepaniteraan


yang diucapkan setiap
dokter pada waktu masa
studinya, terdapat poin
menghayati penderitaan
yang dialami orang sakit,
sehingga
saya
dapat
memberikan pertolongan
sebagaimana mestinya.
Hal ini berarti seorang
calon
dokter
harus
mampu menahan diri,
mengabaikan
keadaankeadaan
seperti
bau
pada pasien dan rasa jijik
yang ada pada dirinya
agar
pasien
dapat
dilayani.

itu, fakir tidak kami bawa


karena, jujur saja saya
tidak tahan akan baunya
pada saat dia naik mobil
saya karena mungkin dia
buang air tidak pada
tempatnya.

Akan
tetapi
tanggapannya
hampir
serupa di beberapa RS
pemerintah yang kami
coba. Karena kesibukan
saya
dan
pandangan
saya
yang
mencoba
untuk
mengikuti
pandangan dokter pada
saat itu yang melihat
bahwa kondisinya yang
belum
begitu
menghawatirkan
saya
menunda niat saya untuk
menolong fakir tersebut.
Ternyata, saya mendapat
kabar bahwa seminggu
setelahnya fakir tersebut
meninggal di jalan. Sedih
sebetulnya,
dan
juga
merasa bersalah.
Apakah
ini
murni
kesalahan
saya,
atau
sistem
kesehatan
di
negeri ini yang sudah
tidak
menghargai
kesehatan dan nyawa
manusia lagi?
Semoga
ini,
dapat
menjadi sudut pandang
membenahi
sistem
kesehatan di negeri ini.

Vous aimerez peut-être aussi