Vous êtes sur la page 1sur 12

MAKALAH PERPAJAKAN INTERNASIONAL

ANALISIS DAN PEMBAHASAN MASALAH DUGAAN PENGGELAPAN


PAJAK OLEH PERUSAHAAN BAKRIE GROUP

Disusun Oleh :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Arsita Desy D.
Wiwin Fitrianing Tyas
Ranica Meta A.
Niken Ragawira
Khanifatur Roikhah
Khairana Maryuwananda N.
Rinditya Vennie K.
Nafiatul Fitriyani

B.211.12.0068
B.211.12.0075
B.211.12.0076
B.211.12.0084
B.211.12.0088
B.211.12.0089
B.211.12.0093
B.211.12.0095

UNIVERSITAS SEMARANG
FAKULTAS EKONOMI
2015
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan
(wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak. Karena pajak adalah
iuran yang sifatnya dipaksakan, maka negara juga tidak membutuhkan kerelaan wajib
pajak. Yang dibutuhkan oleh negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak rela, yang
penting bagi negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan
kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini.
Beberapa kasus pajak di Indonesia saat ini sudah meresahkan banyak pihak, Pajak
yang seharusnya menjadi alat pembiayaan dan pengaturan negara sudah di komoditikan
berbagai kepentingan.
Pemerintah dianggap kurang tegas dan memberikan banyak peluang dalam
menghadapi kasus pajak, Terlalu banyak terjadi pelanggaran atau kolusi di berbagai lini.
Memang ada yang ketahuan dan mendapat sanksi, namun jika dibandingkan dengan yang
tidak ketahuan, jumlahnya lebih banyak yang tidak ketahuan.
Grup Bakrie merupakan kumpulan perusahaan yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie
(Ical), ada banyak perusahaan yang dimilikinya, antara lain PT Bumi Resources Tbk PT
Kaltim Prima Coal PT Arutmin Indonesia (KPC). Seharusnya sudah menjadi kewajiban bagi
mereka untuk membayar pajak.
Namun pada kenyataannya masih banyak kasus dimana mereka merugikan
masyarakat. Kasus ini menjadi menarik karena disatu sisi kegiatan mafia pajak mereka
dimaksudkan untuk kepentingan pribadi yang sebesar- besarnya. Hal ini bertentangan dengan
UUD 1945 pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan, disisi lain tindakan Grup
Bakrie ini justru belum atau bahkan tidak menunjukkan kinerja yang baik.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Bakrie Group ?

2. Mengapa beberapa perusahaan dari Bakrie Group diduga meelakukan penggelapan


pajak ?
3. Siapa saja pihak yang terlibat ?
4. Upaya hukum apa yang dikenakan karena dugaan penggelapan pajak yang dilakukan
beberapa perusahaan Bakrie Group ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. PROFIL BAKRIE GROUP


Bakrie

Group adalah

perusahaan

perdagangan Indonesia yang

didirikan

pada 1942 dan menjadi sebuah grup perusahaan yang bergerak di banyak bidang. Sekarang
ini, perusahaan ini bergerak di bidang telekomunikasi, media, produksi pipa, bahan
bangunan, komponen otomotif, dan investasi dalam pertambangan batu bara. Perusahaan ini
mempekerjakan sekitar 11.000 orang.
B. DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK OLEH PERUSAHAAN BAKRIE GROUP
Ada ungkapan big is beautiful. Tapi sepertinya ungkapan itu tidak seluruhnya benar.
Hal ini seperti yang dialami PT Bumi Resources Tbk. Salah satu produsen tambang batu bara
terbesar di Indonesia ini sedang pusing lantaran dituding menggelapkan pajak sebesar Rp2,1
triliun. LSM Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai, jumlah itu membengkak menjadi
Rp11,426 triliun setelah perusahaan diduga kurang membayar royalti pada periode 20032008.
Seperti diketahui, dugaan penggelapan pajak PT Bumi Resources Tbk, termasuk anak
usahanya PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebesar Rp2,1 triliun
pada tahun 2007 itu tengah diproses oleh Polda Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Bedanya, untuk dugaan penggelapan pajak KPC tengah disidik Polda Kaltim. Lalu Polda
Kalsel menyelidiki dugaan penggelapan pajak Arutmin.
Koordinator Monitoring dan Analisa Anggaran ICW, Firdaus Ilyas mengatakan
pembengkakan utang perusahaan tambang milik Aburizal Bakrie itu didapat setelah ICW
menelaah data-data primer seperti laporan keuangan perusahaan, prospektus, laporan pada
pemegang saham, data produksi serta penjualan batu bara perseroan. Data itu juga kami
dapat dari hasil audit BPK. Lalu, setelah sejumlah dokumen tersebut diteliti, ditemukan dua
kenakalan yang dilakukan perseroan. Pertama, ditemukan kekurangan setoran Dana Hasil
Penjualan Batubara (DHPB) pada 2003-2008, mencapai AS$143,189 juta. Tetapi, angka itu
belum disesuaikan dengan laporan keuangan persero 2008 yaitu AS$608,178 juta.
Kedua, emiten berkode saham BUMI itu kurang membayar royalti periode 2003-2008
yang jumlahnya mencapai AS$477,299 juta. Alhasil, total kewajiban Bumi pada negara
mencapai AS$1,228 miliar. Apabila menggunakan kurs Rp9.300, maka kewajiban BUMI
mencapai Rp11,426 triliun. Atas dasar itu, ICW mendesak Departemen Keuangan memanggil
dan memeriksa kantor akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan BUMI. Selain itu,

Departemen Keuangan juga harus memanggil Direktur Jenderal Mineral Batu Bara dan
Panas Bumi Departemen ESDM. Soalnya, dari Direktur Jenderal ini, bisa diketahui berbagai
hal yang mempengaruhi penerimaan BUMI seperti harga batu bara.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sendiri tidak tinggal diam. Institusi yang bernaung
di bawah Departemen Keuangan ini terus melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
tunggakan pajak tiga perusahaan Grup Bakrie tersebut. Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo
menegaskan, jika ingin penyidikan dihentikan maka Grup Bakrie harus membayar kewajiban
lima kali lipat dari total tunggakan. Jadi, harus bayar denda 400 persen. Kalau ditambah
pokok tunggakan, jadi 500 persen. Selain harus melunasi kewajibannya, ada prosedur lain
yang harus ditempuh Grup Bakrie jika ingin penyidikan kasus ini dihentikan. Mereka harus
mengajukan permohonan ke Menkeu, kemudian dari Menkeu ke Kejagung untuk minta
penghentian penyidikan. Langkah ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
No. 130/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang
Perpajakan Untuk Kepentingan Penerimaan Negara.
PMK yang berlaku sejak 18 Agustus 2009 itu menyatakan, proses penyidikan kasus
tindak pidana bidang perpajakan dapat dihentikan melalui izin dari Menkeu, setelah wajib
pajak (WP) melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayarkan atau yang seharusnya tidak
dikembalikan serta setelah membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali
dari pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan.
Kejaksaan Agung (Kejagung) dapat menghentikan penyidikan kasus pidana bidang
perpajakan maksimal selama enam bulan sejak tanggal surat permintaan yang dibuat
Menkeu. Sebelumnya, Dirjen Pajak diminta Menkeu meneliti dan memberi pendapat sebagai
bahan pertimbangan. Surat yang diajukan WP kepada Menkeu harus dilengkapi pernyataan
berisi pengakuan bersalah dan kesanggupan pelunasan pembayaran pajak dan sanksi.
Ditjen Pajak yang mengetahui kasus ini mengatakan kemungkinan penambahan nilai
kerugian negara terjadi karena dalam proses penyidikan yang dilaksanakan, penyidik
menemukan komponen biaya pada PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang tidak sesuai
dengan seharusnya, sehingga menyebabkan besaran pajak yang dibayarkan menjadi kecil. Itu
salah satunya dari biaya bunga pinjaman. Kami sedang menelusuri, nilainya bisa mencapai
ratusan miliar rupiah.

Komponen biaya merupakan salah satu komponen yang bisa

dikurangkan dari penghasilan bruto dalam rangka penentuan penghasilan kena pajak (PKP).

Namun, berdasarkan ketentuan perpajakan, tidak semua komponen biaya bisa dikurangkan
dari penghasilan bruto.
Saat meminta penjelasan lebih lanjut mengenai komponen biaya apa saja yang
dimaksud, dia enggan menjelaskannya. Pelaksana tugas (Plt) Direktur Intelijen dan
Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Pontas Pane ketika dikonfirmasi enggan berkomentar
banyak soal perkembangan penyidikan ketiga kasus tersebut. Namun, menurut dia, Ditjen
Pajak terus melaksanakan proses penyidikan meski terjadi resistensi dari pihak saksi maupun
tersangka.
Direktorat Jenderal Pajak saat ini mengusut kasus dugaan pidana pajak oleh tiga
perusahaan Grup Bakrie, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC), Bumi, dan PT Arutmin
Indonesia. Ketiganya diduga menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tahunan tahun pajak
2007 secara tidak benar. Untuk KPC dan Bumi, Ditjen Pajak telah melakukan penyidikan
sementara untuk Arutmin masih dalam proses pemeriksaan bukti permulaan. Terkait
pelaksanaan penyidikan tersebut, mengungkapkan tim penyidik Ditjen Pajak mengalami
kesulitan memanggil saksi. Tidak tahu kenapa, tapi memang informasi yang kami dapat
menyebutkan di dalam mereka (Grup Bakrie) sudah ada tekanan. Menurut dia, pemanggilan
terhadap tersangka juga mengalami hambatan karena yang bersangkutan tidak pernah
memenuhi panggilan pemeriksaan yang dilayangkan penyidik pajak dengan alasan sedang
sakit. Kami sudah panggil sekali, nanti tak lama lagi akan kami panggil kedua kali. Kalau
juga tak dipenuhi akan kami panggil paksa dibantu Kepolisian, tegasnya.
Dengan adanya masalah ini, kita bisa melihat bahwa sebagai perusahaan yang
telah Go Publik masih adanya indikasi bahwa perusahaan-perusahaan tersebut masih belum
menerapkan prinsip-prinsip good corporat governance, walaupun masih sebatas dugaan tetapi
asumsi-asumsi negative telah mengarah kesana. Untuk bisa memastikannya lebih jauh maka
harus dilakukan penyidikan lebih lanjut, tetapi untuk dampak sementara akibat adanya
dugaan ini, investor sudah mulai ragu untuk menanamkan modalnya pada perusahaanperusahaan tersebut.
Didalam konsep good governance setiap informasi yang hendakkan disampaikan
harus terbuka dan akurat, jauh dari manipulasi dan hal-hal yang menyesatkan, sebab dengan
diterapkannya Prinsip corporate governancediharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan

keuangan, yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan pemakai laporan keuangan,


termasuk investor.
C. UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK
Pajak adalah salah satu tiang yang sangat penting bagi perekonomian di sebuah
Negara. Tanpa pajak, Negara tidak mampu membiayai pembangunan. Tanpa pajak pula,
pemerintah mustahil bisa menggaji para pegawai dan mensejahterakan rakyatnya. Karena itu,
pemerintah harus sangat serius dalam menindak para pengemplang pajak. Tapi, apa buktinya,
premis itu jauh lebih gampang diucapkan dari pada dilakukan. Faktanya pemerintah kerap
gagal menghadapi para pengemplang dan penggelap pajak.
Munculnya kembali kasus dugaan penggelapan pajak yang dilakukan oleh kelompok
usaha Bakrie, menambah bukti yang kuat betapa sulitnya bertindak tegas terhadap wajib
pajak (WP) ukuran besar. Yang cenderung terjadi adalah pemerintah lebih banyak bersikap
longgar terhadap mereka. Tersebutlah 3 perusahaan group Bakrie yang dilaporkan telah lalai
membayar pajak sebesar Rp 2,1 Triliun. Perusahaan itu adalah PT.Bumi Resource, PT Kaltim
Prima Coal (KPC), dan PT Arutmin Indonesia. PT Bumi menunggak pajak sebesar Rp 376
Milyar, KPC sebesar 1,5 Triliun, dan PT Arutmin senilai 300 Milyar.
Kasus tentang itu sebenarnya telah muncul tahun lalu terkait dengan Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) 2007. Namun, pemerintah tidak tegas menyelesaikan kasus
itu, sehingga kini muncul kembali dengan persoalan yang lebih kompleks karena urusan
pajak itu di kait-kaitkan dengan kasus Bank Century, yang ditenggarai mempengaruhi sikap
golkar yang kini dipimpin Aburizal Bakrie. Sudah tepat langkah Ditjen Pajak untuk
memidanakan group Bakrie dalam kasus dugaan pengemplangan pajak itu. Tunggakan pajak
sebesar 2,1 Triliun itu adalah jumlah yang sangat bernilai bagi rakyat.(Media Indonesia)
Anak perusahaan group Bakrie itu terancam membayar denda tunggakan pajak sebesar 4 kali
lipat dari nilai pokok tunggakan / diwajibkan membayar sebesar 10,5 Triliun.
Pengemplang pajak biasanya disebut juga dengan korupsi, kejahatan pajak,
mengemplang hutang yang ditanggung oleh rakyat. Terkait dengan masih tingginya
tunggakan pajak yang dilakukan sejumlah wajib pajak di Indonesia dan penyalahgunaannya
maka hal tersebut seharusnya segera dituntaskan karena dinilai merugikan perekonomian

Negara. Diharapkan pemerintah segera menangani setiap pelanggaran pajak dan diberi sanksi
pidana pajak yang tegas.
Hukum merupakan cermin yang memantulkan kepentingan masyaraat. Karena
kepentingan masyarakat selalu berubah, maka secara operasional hukum juga dituntut untuk
selalu mengubah dirinya. Dewasa ini, dunia hukum di Indonesia sedang dalam masa
disintegrated. Disatu satu pihak, tatanan hukum lama yang berasal dari hukum kolonial dan
hukum adat, bahkan hukum yang telah dibentuk setelah kemerdekaan banyak yang telah
usang. Dan dilain pihak, tatanan alternatif dari hukum baru belum juga terbentuk.
Bahkan platform yang jelas belumpun diketahui, ditambah dengan sector pengetahuan
ekonomi yang semangatnya digenjot menggebu-gebu, tercipalah distorsi kedalam sektor
bisnis dan ekonomi itu sendiri.
Konsekuensi logisnya, tidak terlalu mengherankan jika dewasa ini sangat merajalela
terjadinya praktek bisnis yang tidak fair. Seperti persaingan curang, monopoli, ologopoli,
kartel, pemberian fasilitas dan akumulasi sumber daya ekonomi di tangan satu atau dua
konglomerat, bisnis dan perizinan yang dilandasi pada koneksi, suap menyuap dan lobi yang
kental, birokrasi dan prosedur yang berbelit-belit dan termasuk juga adanya dugaan skandal
penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dibawah naungan Bakri
Group. Hal ini menandakan hukum bisnis tidak berperan, baik karena kevakuman,
kebobrokan atau ketidak jelasan aturan main, atau karena Law Enforcement nya yang kurang
sigap kalaupun tidak dibilang lumpuh total.
Bila terdapat pelanggaran, konsekuensinya akan berhadapan dengan sanksi hukum
sesuai dengan jenis dan kualitas pelanggaran. Upaya untuk melakukan penegakan hukum
harus berlangsung secara konsisten dengan tetap memperhatikan kepentingan perkembangan
Pasar Modal. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) berdasarkan UU Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal memiliki kewenangan yang sangat besar untuk melakukan
pembinaan, pengaturan dan pengawasan kepada industri pasar modal diharapkan mampu
menjalankan fungsinya sesuai dengan yang diamanatkan UU tersebut.
Disamping itu, untuk menjalankan pengawasan secara represif, Bapepam diberi
kewenangan melakukan pemeriksaan, penyelidikan dan penyidikan seperti diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang tata cara pemeriksaan di Pasar Modal.

Dalam rangka itulah maka sesuai dengan amanah yang digariskan dalam Undang-Undang
Pasar Modal, bahwa dalam rangka menyempurnakan pengaturan pasar modal telah
dikeluarkan serangkaian peraturan yang memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para
pelaku pasar modal.
Mengenai

tingkat

kesalahan

yang

disyaratkan

adalah

berupa

kesengajaan(mengetahui), dan kelalaian (kurang hati-hati). Ini berarti sebagaiGeneral


Law dapat dikatakan bahwa setiap pihak yang terlibat di pasar modal dapat dimintakan
pertanggung jawab hukum, apabila padanya terdapat unsur kesalahan.
Dalam hukum pidana kesalahan dapat terwujud kejahatan dan pelanggaran,
sedangkan dalam hukum perdata, jika tanggung jawab tersebut berasal dari perbuatan
melawan hukum (in casu Pasal 1365 BW) atau malpraktek, maka wujudnya dapat berupa
perbuatan dengan unsur kesengajaan (on purpose), atau kurang hati-hati (negligence). Jika
perbuatan tersebut bersumber dari suatu perjanjian (vide buku ke-III BW), maka kesalahan
tersebut akan berwujud ingkar janji (on default). Disamping itu kesalahan dapat pula dalam
bentuk kesalahan moral, sehingga mereka harus tunduk pada masing-masing kode etik
profesi, ataupun kesalahan yang ancamannya hanya berupak sanksi administrasi.
Bersalah tidaknya para pelaku di Perusahaan-perusahaan bakrie Group juga dapat
dikukur dengan kriteria dalam bidang apakah akibat dari kesalahan itu terjadi. Kalau terjadi
kekeliruan dalam bidang keuangan, maka akuntan public ikut bertanggung jawab, dan kalau
dalam bidang hukum, konsultan hukumnya dan layak diminta tanggung jawab. Tanggung
jawab profesi penunjang juga terbatas mengingat mereka pada prinsipnya hanya mempunyai
tanggung jawab berasumsi atau tanggung jawab di atas kertas. Artinya, tanggung jawab
mereka hanya beralaskan asumsi bahwa seluruh dokumen yag tersedia adalah benar.
Misalnya jika ada diantara dokumen tersebut yang tidak benar isinya atau palsu sehingga
analisis mereka menjadi tidak akurat, maka hal tersebut berada diluar tanggung jawab
mereka. Pihak yang memalsukan dokumenlah yang lebih bertanggung jawab.
Pihak penjamin emisi juga penyandang tanggung jawab yang berat, mengingat dialah
yang sangat jauh terlibat dalam proses emisi saham, dan dia pulalah yang memegang
komando dan menentukan policy. Disamping itu, Bapepam, sebagai badan pengawas juga
tidak bisa dilepaskan tanggung jawab hukumnya. Dalam ilmu hukum dikenal prinsip siapa
yang bersalah harus dihukum. Kalau Bapepam yang besalah, yaitu adanya unsur kesengajaan

atau keteledoran, maka tidak reasonable jika Bapepam dilepaskan dari tanggung jawabnya,
sungguhpun ada kewajiban menempatkan kalimat dalam prospectus yang berbunyi Bapepam
tidak memberikan pernyataan menyetuju dan seterusnya.
Pada saat ini upaya berkesinambungan dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat
agar hukum dapat mengayomi dan menjadi landasan bagi kegiatan masyarakat dan
pembangunan. Adanya kepastian hukum merupakan wahana untuk timbulnya kepercayaan
kepada pasar. Salah satu syarat agar pasar modal mampu mengembangkan perekonomian
Indonesia adalah kejahatan di pasar modal khususnya penggelapan pajak harus dapat
ditemukan dan diselesaikan melalui hukum yang berlaku baik itu kebiasaan maupun karena
telah diatur dalam aturan di pasar modal.
Walaupun media sedang gencar-gencarnya memberitakan skandal penggelapan dana
pajak yang paling besar dalam sejarah yang ada, namun perlawanan dari pihak Bakri Group
terhadap hal tersebut tetap ada, yakni upaya PT Kaltim Prima Coal (KPC) untuk
menghentikan penyidikan yang dilakukan Ditjen Pajak, harus kandas setelah PN Jakarta
Selatan menyatakan permohonan praperadilan KPC tak dapat diterima. Hakim tunggal
sidang praperadilan Prasetyo tersebut menyatakan permohonan praperadilan KPC tak masuk
obyek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP.
Dirjen Pajak dan Departemen Keuangan harus segera menyelesaikan kasus dugaan
penggelapan pajak yang terjadi dalam kurun waktu 2003-2008 oleh PT Bumi Resources Tbk.
Jika berlarut-larut justru menimbulkan kecurigaan proses penyelesaiannya telah disusupi oleh
mafia hukum. Selain itu BEI (Bursa Efek Indonesia) harus aktif melakukan penyelidikan
dugaan penggelapan pajak, karena ini menyangkut perusahaan publik, yang seharusnya
semua laporan keuangannya terbuka. Kalau benar ada penggelapan pajak, berarti ada yang
disembunyikan dari publik.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dengan adanya isu dugaan penggelapan dana pajak yang cukup besar pada sebuah
perusahaan publik, menjadi sebuah tanda bahwasanya walaupun perusahaan besar tetapi

masih lemah dalam menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance terutama dalam
hal menyampaikan berita yang akurat serta prinsip responsibility berupa kurang dipatuhinya
peraturan serta ketentuan yang berlaku. Hal ini juga merupakan bukti bahwa kurangnya
pengawasan dari pihak-pihak yang terkait di pasar modal sehingga menyebabkan kerugian
negara yang cukup besar. Walaupun hanya sebatas dugaan, ini sudah menjadi bukti awal
bahwa dalam menjalankan bisnis itikad baik dalam menjalankan bisnis tidak ada.
Upaya penegakan hukum yang adil dan beribawa mutlak diperlukan dalam
menyelesaikan kasus dugaan penggelapan pajak ini, karena nantinya public akan mengetahui
bagaimana kisah yang sebenarnya dari kasus ini dan public juga mengetahui bagaimana
proses penegakan hukum dibidang pasar modal itu sendiri. Penyelesaian kasus ini harus
dijauhkan dari ketegangan politik yang ada.Pasar modal merupakan salah satu sumber
pendanaan yang sangat penting dalam era globalisasi ini, dan oleh karena itu harus dipupuk
terus. Pasar modal harus menarik bagi emiten maupun investor. Oleh karena itu, pemerintah,
pengawas pasar modal, bursa, dan para pialang mempunyai tugas masing-masing yang
berkaitan guna menciptakan pasar modal yang sehat, bersih, dan memiliki daya saing yang
tinggi. Pasar modal yang demikian akan menjadi sumber pencarian dana yang menarik bagi
perusahaan. Pada saat yang bersamaan menyediakan alternatif investasi yang menjanjikan
bagi para investor.
Dalam kasus dugaan penggelapan pajak oleh perusahaan Bakrie Group,perusahaan
mengemukakan bahwa dalam menghadapi masa sulit diperlukan efisiensi. Berkaitan dengan
hal tersebut, efisiensi yang paling cepat untuk dapat dilakukan adalah dengan mengurangi
pengeluaran, seperti memanipulasi laporan pajak, mengurangi tenaga kerja, dan lain-lain.
Alasan efisiensi tersebut tak lain adalah konsekuensi dari globalisasi yang memadatkan jarak
dan waktu memang menuntut kompetisi ekonomi global menjadi kian sengit dengan tenggat
waktu yang amat cepat. Dengan demikian, sebuah transaksi bisnis tak lagi memakan waktu
yang lama seperti dahulu kala. Kini, untuk melakukan transaksi bisnis antar benua bahkan
cukup memakan waktu dalam hitungan detik saja. Hal tersebut tentu menuntut perusahaan
pada situasi yang amat kompetitif yang menimbulkan konsekuensi ketat bahwa kegagalan
berefisiensi akan membuat perusahaan ketinggalan dan kehilangan kesempatan.
Jadi, dalam kasus diatas, efisiensi menjadi kata kunci bagi perusahaan untuk
mengejar keuntungan yang berpacu dalam persaingan global tersebut. Namun menurut

Robert Cooter, sesungguhnya efisiensi bukan sekadar dipacu oleh persaingan global terlebih
memang sejak awalnya sudah menjadi sifat pengusaha untuk melakukan efisiensi dan
maksimalisasi hasil usaha.

Vous aimerez peut-être aussi