Vous êtes sur la page 1sur 6

ANALISIS PERJANJIAN KAWIN YANG DILAKUKAN OLEH

PASANGAN BERBEDA KEWARGANEGARAAN


(PRENUPTIAL AGREEMENT)
PAPER
Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah Hukum Keluarga dan Harta Perkawinan
Dosen Ibu Djumikasih, S.H. M.H.
Oleh:
Fanny Dewi Sukmawati
1460 1020 2111 027
Nomor Absen : 26

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2015
Analisis Perjanjian Kawin yang Dilakukan Oleh
Pasangan Berbeda Kewarganegaraan (Prenuptial Agreement)
Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 185 Kita Undang-undang
Hukum Perdata. Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan suami
isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat perkawinan
terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian kawin dilakukan sebelum atau pada saat akan
dilangsungkan perkawinan. 1
Bentuk perjanjian kawin dituangkan dalam bentuk akta notaris. Apabila perjanjaian itu
tidak dibuat dalam bentuk akta notaris, maka perjanjian itu menjadi batal demi hukum. 2
Perjanjian kawin harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan di buat sebelum perkawinan
berlangsung, serta mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Perjanjian itu dilekatkan
1 Dr. H. Salim HS., S.H., M.S., Perbandingan Hukum Perdata Comparative Civil Law, PT.
Rajagrafindo Persada, Mataram, 2014, halaman 150
2 Pasal 147 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

pada pada akta nikah dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan surat nikah, dan
perjanjian perkawinan dibuat atas persetujuan atau kehendak bersama, dibuat secara tertulis,
disahkan oleh pegawai catatan sipil, serta tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama
dan kesusilaan.3
Sedangkan momentum

terjadinya

perjanjian

kawin,

yaitu

sejak

pernikahan

dilangsungkan. Setelah perkawinan berangsung, perjanjian kawin tidak boleh diubah dengan
cara apapun.4 Walaupun perjanjian kawin dibolehkan, namun ada lima larangan-larangan
yang tidak boleh dicantumkan dalam perjanjian kawin. Kelima larangan itu meliputi :
1. Perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang bersumber pada kekuasaan si suami
sebagai suami, dan pada kekuasaan sebagai bapak, tidak pula hak-hak yang oleh undangundang diberikan kepada yang masih hidup paling lama;
2. Perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang diperuntukkan bagi si suami sebagai
kepala persatuan suami istri;
3. Para calon suami istri, tidak boleh melepaskan hak yang diberikan oleh undang-undang
kepada mereka atas warisan keturunan mereka dan tidak boleh mengatur tentang
warisan;
4. Mereka tidak boleh membuat perjanjian, bahwa yang satu mempunyai kewajiban lebih
besar dalam utang-utang dariada bagiannya dalam keuntungan-keuntungan harta
bersama, dan;
5. Mereka tidak boleh membuat perjanjian dengan kata-kata sepintas lalu, bahwa ikatan
perkawinan mereka aka diatur oleh undang-undang, kitab undang-undang luar negeri,
atau bebrapa adat kebiasaan, undang-undang, kitab undang-undang atau peraturan
daerah, yang pernah berlaku di Indonesia.
Perjanjian kawin juga diatur dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Tujuan dibuatnya perjanjian kawin, adalah keabsahan perkawinan, untuk
mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat dari perkawinan itu untuk seumur
hidup, demi kepastian hukum, alat bukti yang sah dan mencegah adanya penyelundupan
hukum. Begitu juga yang ditegaskan dalam Pasal 47 Kompilasi Hukum Islam (KHI), bahwa
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam, perjanjian kawin dapat meliputi
percampuran harta pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing, menetapkan
kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik misalnya perjanjian kredit
dengan bank atas harta pribadi dan harta bersama.
3 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Centre Publishing, Jakarta
2002, halaman 30

4 Pasal 149 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Disamping diatur di dalam ketentuan di atas, perjanjian kawin juga diatur dalam Pasal 45
sampai dengan 51 Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Hal-hal yang ditur dalam ketentuan tersebut
adalah seperti berikut ini :
1. Perjanjian kawin dapat dilakukan pada waktu atau sbelum perkawinan dilangsungkan.
2. Bentuk perjanjian kawin adalah dalam bentuk talik talak dan perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan hukum Isalm. Biasanya bentuk perjanjian lain ini adalah tertulis dan
disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
3. Isi perjanjian kawin, meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta
perkawinan. Percampuran harta pribadi, yang meliputi semua harta, baik yang di bawah
masing-masing pihak dalam perkawinan, maupun yang diperoleh masing-masing selama
perkawinan. Pemisahan harta pencaharian tidak boleh menghilangkan kewajiban suami
untuk memeuhi kebutuhan rumah tangga.
4. Kewenangan masing-masing pihak untuk melakukan pembebanan atas Hipotik atau Hak
Tanggungan atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Akan tetapi melakukan perjanjian kawin haruslah juga mempertimbangkan beberapa sisi
(aspek) yang antara lainya sebagai berikut. Keterbukaan didalam mengungkapkan semua
detil kondisi keuangan masing-masing pasangan baik sebelum maupun sesudah pernikahan,
dengan merujuk juga kepada berapa banyak jumlah harta bawaaan masing-masing pihak
(pasangan)

sebelum

menikah

dan

juga

menghitung

bagaimana

dengan

potensi

pertambahannya sejalan dengan meningkatnya penghasilan atau karena hal lain misalnya
menerima warisan dari orangtua masing-masing pasangan.
Selanjutnya masing-masing pasangan secara fair harus mengatakan berapa jumlah
hutang bawaan masing-masing pihak sebelum menikah, dan bagaimana potensi hutang
tersebut setelah menikah dan siapa nantinya yang bertanggung jawab terhadap pelunasan
hutangnya, karena perlulah digarisbawahi dalam hal ini bahwa hal tersebut wajib diketahui
oleh masing-masing pasangan agar masing-masing pasangan yang akan menikah mengetahui
secara persis apa yang akan diterima dan apa yang akan di korbankan jika perkawinan
berakhir, sehingga tidak ada pihak yang nantinya merasa dirugikan dari dan akibat timbulnya
perceraian tersebut.
Kerelaan dan dengan secara sadar bahwa perjanjian pranikah harus disetujui dan
ditandatangani oleh masing-masing pasangan (kedua belah pihak) yang pada prinsipnya,
secara sukarela dan tanpa paksaan dari pihak manapun untuk menandatangan surat perjanjian
tersebut tanpa mendapatkan tekanan dalam bentuk apapapun, karena nantinya jika salah satu
pihak merasa dipaksa, karena mendapatkan suatu ancaman atau berada dalam tekanan
sehingga terpaksa menandatanganinya, maka secara hukum perjanjian pranikah dinyatakan
batal dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Secara awam dan garis besar, perjanjian kawin dapat digolongkan menjadi 2 macam,
yakni Perjanjian Pemisahan Harta Murni dan Perjanjian Harta Bawaan. Untuk Perjanjian
Harta Murni, dalam artian benar-benar memisahkan seluruh jenis harta kedua belah pihak
selama perkawinan berlangsung, termasuk penghasilan yang didapat, utang dan segala
macam harta, baik yang didapat sebelum pernikahan maupun yang didapat setelah
pernikahan. Kemudian mengenai pengeluaran-pengeluaran rutin keluarga (uang belanja
keluarga, pendidikan anak, asuransi, dan lain-lain) selama dalam tali pernikahan biasanya
ditanggung secara keseluruhan oleh suami. Namun tidak mutlak, tergantung kesepakatan
kedua pihak.
Kemudian, Perjanjian Harta Bawaan dalam perjanjian ini yang menjadi objek perjanjian
hanyalah harta benda bawaan milik para pihak sebelum terikat tali perkawinan. Sedangkan
harta yang nantinya didapat setelah terjadinya pernikahan menjadi harga bersama (harta
gono-gini) dan pengeluaran rutin keluarga dibicarakan bersama.
Isi yang diatur di dalam Perjanjian Kawin tergantung pada pihak-pihak calon suamicalon isteri, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, agama dan kepatutan atau
kesusilaan. Bentuk dan isi Perjanjian Kawin, sebagaimana halnya dengan perjanjian pada
umumnya, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya
sesuai dengan azas hukum kebebasan berkontrak asalkan tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan atau tidak melanggar ketertiban umum.
Dasar hukum dari keadaan tersebut di atas, dapat dilihat dari bunyi Pasal 1320 juncto
Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata berbunyi sebagai berikut. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat,
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu
hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan sebagai berikut. Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Dalam pembahasan ini telah dilampirkan contoh perjanjian kawin yang dilakukan oleh
laki-laki berkewarganegaraan asing dan perempuan warga negara Indonesia dibuat dihadapan
notaris. Penulis mengkaji terdapat perbedaan antara perjanjian kawin yang mereka buat
sebagai berikut.
Salah satu perbedaannya yaitu substansi Pasal 2 mengenai bukti pemilikan berbunyi, ayat
(1) masing-masing suami isteri tetap memiliki apa yang dimiliki oleh mereka masing-masing
pada waktu perkawinan yang diperolehnya karena warisan, hibah wasiat, pemberian hibah

atau cara lain-lain pada waktu perkawinan, termasuk juga karena penukaran atau pembelian
dengan harta kekayaan masing-masing, hutang-hutang yang ada pada hari perkawinan dari
atau kepada masing-masing suami isteri atau yang dibuat oleh mereka masing-masing selama
perkawinan tetap menjadi hutang masing-masing. Ayat (2) masing-masing pihak sepakat
dapat membeli aset (properti, saham, dan lain-lain) atas nama masing-masing maupun kedua
belah pihak selama dimungkinkan. Ayat (3) kepemilikan aset salah satu pihak tidak dapat
dilepaskan tanpa persetujuan dari pihak lainnya, apabila property tersebut dibeli dengan
menggunakan nama bersama. Ayat (4) pembelian aset (properti) di Indonesia otomatis akan
menjadi atas nama isteri karena menurut hukum yang berlaku di Indonesia kepemilikan atas
Warga Negara Asing (WNA) dibatasi hanya untuk jangka waktu 1 (satu) tahun untuk status
kepemilikan dengan status Hak Milik, dan segera harus dialihkan. Ayat (5) masing-masing
pihak sepakat dapat membuka rekening atas nama sendiri ataupun membuka rekening atas
nama bersama.
Menilik substansi Pasal 2 ayat (4) mengenai kepemilikan aset, berarti dibuatnya
perjanjian kawin haruslah sesuai dengan hukum yang berlaku dimana perjanjian kawin
dibuat. Substansi tersebut juga berbeda apabila perjanjian kawin dilakukan oleh sesama WNI
yang mana Pasal 2 ayat (3) dan (4) berbunyi, (3) pembelian aset (properti) dalam perkawinan
oleh Suami/Isteri secara pribadi, maka kepemilikan aset (properti) itu pun, dalam dokumen
kepemilikannya (Sertipikat/Akta Jual Beli/dokumen Peralihan Hak lainnya) akan tertulis atas
nama Suami/Isteri tersebut, dan menjadi milik pribadi Suami/Isteri yang melakukan
pembelian. (4) Namun apabila di kemudian hari para penghadap melakukan pembelian aset
(properti) dalam perkawinan tersebut secara bersamasama/dengan harta bersama, maka
dalam dokumen kepemilikannya (Sertipikat/Akta Jual Beli/dokumen Peralihan Hak lainnya)
harus tertulis atas nama Suami dan Isteri (keduanya).
Perjanjian kawin juga biasa dilakukan di berbagai negara, seperti contohnya Inggris. Ada
dua terminologi (istilah) yang digunakan di dalam hukum perkawinan Inggris untuk
menyebut perjanjian kawin, yaitu marriage agreement dan cohabitation agreement.5 Kedua
hal itu, selalu dikaitkan hukum kontrak. Marriage Agreement merupakan perjanjian yang
dibuat antara orang-orang yang sudah kawin atau orang-orang yang berencana untuk kawin.
Momentum mulai berlakunya perjanjian kawin adalah tehitung mulai tanggal
dilangsungkan perkawinan. Sejak saat itu perjanjian kawin itu mengikat para pihak dan pihak
ketiga.
5 Dr. H. Salim HS., S.H., M.S., Perbandingan Hukum Perdata Comparative Civil Law, PT.
Rajagrafindo Persada, Mataram, 2014, halaman 131

Intinya perjanjian kawin adalah perjanjian mengenai harta benda suami-isteri selama
perkawinan mereka. Selanjutnya dalam Pasal 147 juncto Pasal 149 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dikatakan intinya bahwa perjanjian kawin itu harus dibuat dengan akta
Notaris sebelum dilangsungkannya perkawinan, perjanjian mana mulai berlaku semenjak saat
perkawinan dilangsungkan dan tidak boleh ditarik kembali atau diubah dengan cara
bagaimanapun selama berlangsungnya perkawinan.

Vous aimerez peut-être aussi