Vous êtes sur la page 1sur 32

REFERAT ILMU KESEHATAN JIWA

Aspek Neurobiologi Ketergantungan Opioid

Disusun oleh :
Norhidayu Binti Mesman (11.2013.117)
Marvelius Liandry (10.2013.214)
Natalia Angreini Gunawan (11.2013.217)
Agung (11.2013.337)

Pembimbing :
dr. Carlamia H.L Sp.KJ
dr.Imelda Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT JAKARTA
PERIODE 16 FEBRUARI 2015- 21 MARET 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA JAKARTA

1|

DEFINISI
Analgetik narkotik (opioid) merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium. Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain, golongan obat ini
digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Opioum yang berasal
dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin,
kodein, tebain, papaverin. Analgetik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang
lain.
Opiat atau yang dikenal sebagai narkotik adalah bahan yang digunakan untuk
menidurkan atau melegakan rasa sakit, tetapi mempunyai potensi yang tinggi untuk
menyebabkan ketagihan. Sebagian dari opiat ,seperti candu,morfin,heroin dan kodein
diperoleh dari getah buah popi yang terdapat atau berasal dari negara-negara Timur Tengah
dan Asia.
Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan
tidak semua obat golongan opioid dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan yang
sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan.
Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya
penyalahgunaan obat.

KLASIFIKASI SENYAWA OPIOID


A. Agonis reseptor
1. Alkaloid :
MORFIN
Morfin merupakan obat prototype opiod yang menjadi perbandingan pada semua jenis obat
golongan agonis opioid. Efek dari morfin berupa analgesia, euforia, sedasi, berkurangnya
konsentrasi, nausea, perasaan berat pada ekstremitas, mulut yang kering dan priritus terutama
pada daerah sekitar hidung. Jenis nyeri tumpul yang continu lebih efektif dihilangkan dengan
morfin daripada jenis nyeri yang tajam dan intermiten. Efek analgesia dari morfin lebih
efektif bila diberikan sebelum stimulus nyeri diberikan. Sementara bila tidak ada rangsangan
nyeri,

morfin

lebih

memberikan

efek

disforia

daripada

euphoria.

2|

HIDROMORFON
Hidromorfon adalah derivat morfin dengan potensi 5 kali lebih besar jika dibandingkan
dengan morfin. Jika dibandingkan dengan morfin, hidromorfon mempunyai efek sedasi yang
lebih besar, efek euphoria yang lebih kecil serta durasi kerja yang lebih pendek.
KODEIN
Kodein merupakan obat antitusif kuat yang sering digunakan pada praktek medis sehari-hari.
Sekitar 10% kodein dimetilasi di hepar menjadi morfin. Hal ini membuat kodein efektif
sebagai analgesik oral. Jika diberikan im efek analgesia 120 mg kodein setara dengan 10 mg
morfin. Pemberian kodein secara iv tidak disarankan oleh karena kejadian hipotensi yang
dikaitkan dengan efek pelepasan histaminnya cukup besar.
OKSIKODON
Oksikodon adalah opioid derivat dari thebain yang ditemukan di Jerman tahun 1916 sebagai
salah satu opioid semi sintetik. Terapi oksikodon untuk nyeri sedang hingga berat sudah
terbukti dan oleh European Association for Palliative Care, oksikodon digunakan sebagai
second line alternative drug setelah morfin. Gejala withdrawal sering didapatkan pada
pengguna oksikodon jangka panjang yang mengalami henti obat seketika. Oleh karena itu
disarankan untuk menghentikan oksikodon bertahap.
HIDROKODON
Hidrokodon adalah opioid semisintetik derivat dari kodein dan thebain. Pertama disintesis di
Jerman tahun 1920 yang kemudian digunakan secara luas sebagai terapi nyeri sedang hingga
berat. Opioid ini selain mempunyai kekuatan analgesik juga mempunyai efek antitusif yang
cukup kuat.
DIHIDROKODEIN
Dihidrokodein adalah opioid semisintetik yang ditemukan di Jerman tahun 1908 yang
memiliki struktur kimia menyerupai kodein. Selain analgesik, obat ini juga memiliki efek
antitusif yang cukup kuat.
HEROIN.
Heroin atau juga dikenal sebagai diasetilmorfin adalah opioid sintetik sebagai hasil asetilasi
dari morfin. Penetrasi cepat ke otak adalah salah satu keistimewaan obat ini oleh karena
kelarutan lemak serta struktur kimianya yang unik. Heroin sudah tidak beredar lagi di AS
oleh karena potensi ketergantungan fisiknya yang cukup tinggi.
3|

2. Opioid sintetik :
a. Derivat fenil piperidin :
FENTANYL
Fentanyl adalah opioid sintetik yang secara struktur mirip dengan meperidin. Potensial
analgesiknya 75-125 kali lebih besar daripada morfin. Mempunyai onset dan durasi yang
lebih cepat jika dibandingkan dengan morfin hal ini dikarenakan kelarutan lemak fentanyl
yang tinggi. Fentanyl dimetabolisme dengan cara metilasi menjadi norfentanyl,
hydroksipropionil-fentanyl dan hidroksinorpropionil-fentanyl. Diekskresi melalui urin dan
dapat dideteksi 72 jam setelah pemberian iv. Namun <10% tetap tidak termetabolisme dan
diekskresikan melalui urin. Setelah pemberian bolus iv, fentanyl tersebar terutama pada organ
yang kaya vaskularisasi seperti otak, paru-paru dan jantung. Dosis fentanyl 2-20 g/kgBB
seringkali diberikan sebagai adjuvant anestesi inhalasi pada saat operasi.
Pemberian intratekal juga memberikan respon yang memuaskan terutama pada dosis 25 g.
Terdapat juga sediaan oral transmukosa fentanyl 15-20 g/kgBB untuk anak-anak 2-8 tahun
yang diberikan 45 menit sebelum induksi anestesi. Fentanyl juga diberikan transdermal
dengan sediaan 12,5-100 g yang ditujukan terutama pasien postoperatif serta pasien dengan
nyeri kanker. Jika dibandingkan dengan morfin, fentanyl kurang menyebabkan pelepasan
histamin namun lebih sering mencetuskan bradikardi. Pemberian fentanyl iv secara cepat
dapat mencetuskan otot rigid, batuk bahkan kejang. Fentanyl juga dapat meningkatkan
tekanan intrakranial hingga 6-9 mmHg oleh karena efek vasodilatasi.

SUFENTANYL
Sufentanyl merupakan analog dari fentanyl dan mempunyai kekuatan analgesi 5-10 kali lebih
besar daripada fentanyl. Dimetabolisme terutama di hepar melalui proses N-dealkilasi dan Odemetilasi. Ekskresi terutama di urine dan faeses dengan <1% dari sufentanyl tidak berubah.
Pada pemberian sufentanyl dengan dosis 0,1-0,4 g/kgBB memberikan waktu yang lebih
lama serta efek depresi pernafasan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan dosis fentanyl
1-4 g/kgBB. Jika dibandingkan dengan opioid yang lain, sufentanyl mempunyai beberapa
kelebihan terutama penurunan kebutuhan oksigen metabolisme di otak serta aliran darah otak
cenderung menurun atau hampir tidak mengalami perubahan ynag berarti.

4|

ALFENTANYL
Alfentanyl adalah analog dari fentanyl yang mempunyai potensi 1/5 sampai 1/10 dari
fentanyl. Keunikan dari alfentanyl adalah onset dan durasi yang lebih cepat jika dibandingkan
dengan fentanyl. Alfentanyl dimetabolisme melalui piperidin N-dealkilasi menjadi
noralfentanyl serta melalui amida N-dealkilasi menjadi N-fenilpropionamid. Sebagian besar
diekskresi melalui urin dengan <1% yang tidak berubah. Alfentanyl sering dipakai pada
manipulasi singkat seperti intubasi trakeal ataupun blok retrobulbar dengan dosis 10-30
g/kgBB. Jika dibandingkan dengan opioid yang lain, kejadian PONV lebih rendah pada
pemakaian alfentanyl.

REMIFENTANYL
Remifentanyl adalah agonis selektif reseptor opioid u dengan potensi analgesi menyerupai
fentanyl (15-20 kali lebih poten daripada alfentanyl). Struktur kimia remifentanyl tergolong
unik karena meskipun tergolong derivat fenilpiperidin, remifentanyl mempunyai gugus ester.
Sehingga metabolism remifentanyl juga terjadi oleh hidrolisis enzim esterase di plasma
maupun jaringan yang lain menjadi metabolit yang inaktif. Onset yang cepat, waktu pulih
yang singkat dan efek yang relative non kumulatif menjadikan remifentanyl opioid yang
sering dipakai intraop di negara-negara maju saat ini. Hasil metabolisme remifentanyl adalah
asam remifentanyl, yang juga agonis reseptor u dengan potensi 1/300-1/4600 dari asalnya.
Hasil metabolit yang lain adalah N-dealkilasi remifentanyl yang juga diekskresikan terutama
melalui urin. Dosis 0,25-1 g/kgBB memberikan efek analgesia yang memuaskan. Namun
pemberian remifentanyl intratekal tidak disarankan oleh karena adanya glisin pada vehikulum
obat ini. Glisin mempunyai efek menginhibisi neurotransmitter pada medulla spinalis.

PETIDIN
Meperidin atau petidin merupakan opioid sintetik yang bekerja agonis terhadap reseptor u
dan k sebagai derivat dari fenilpiperidin. Adapun beberapa analog golongan ini antara lain
fentanil, alfentanyl, sufentanyl dan remifentanyl. Secara struktur, meperidin mempunyai
bentuk menyerupai atropin sehingga beberapa efek atropine juga dimiliki oleh atropine ini
seperti takikardi, midriasis dan antispasmodic. Morfin mempunyai potensi 1/10 morfin
dengan durasi kerja 2-4 jam. Meperidin diabsorbsi baik pada GIT tapi mempunyai efektifitas
jika dibandingkan dengan pemberian IM. Metabolisme meperidin terutama di hepar
5|

dengan merubahnya melalui proses dimetilasi 90% menjadi normeperidin dan ekskresinya
terutama melalui urin. Normeperidin mempunyai waktu paruh eliminasi 15 jam dan dapat
dideteksi di urin 3 hari setelah pemakaian. Normeperidin mempunyai potensi meperidin
sebagai analgesik dan menstimulasi sistem saraf pusat. Kejang, mioklonus, delirium dan
halusinasi yang dapat terjadi setelah pemberian meperidin adalah sebagai akibat efek
stimulasi saraf pusat oleh normeperidin. Sekitar 60% meperidin terikat pada protein, sehingga
pada pasien tua terjadi peningkatan jumlah obat bebas pada plasma dan mencetuskan
terjadinya peningkatan sensitifitas pada opioid. Konsentrasi plasma 0,7g dianggap mampu
secara efektif meghilangkan nyeri post operatif. Selain sebagai analgesia yang poten,
meperidin juga mempunyai efek anti menggigil postoperatif yang jika dibiarkan lama dapat
meningkatkan konsumsi oksigen pada tubuh. Efek anti menggigil postoperatif dari meperidin
didapatkan sebagai salah satu kerjanya pada reseptor k2. Selain itu klonidin, ondansetron, dan
butorfanol juga merupakan obat-obatan yang dipakai untuk mengatasi menggigil setelah
operasi. Pemberian meperidin dengan obat-obatan antidepresan dapat mencetuskan sindrom
serotonin yaitu suatu ketidakstabilan sistem saraf otonom yang ditandai hipertensi, takikardi,
diaphoresis, hipertermi, perubahan perilaku, agitasi dan perasaan bingung.
b. Derivat difenilheptan :
METHADON
Methadon merupakan agonis opioid sintetik yang digunakan untuk penanganan nyeri kronik
berat terutama penanganan ketergantungan opioid oleh karena efek ketergantungannya yang
rendah, penyerapan lewat oral yang bagus, onsetnya relatif cepat dan durasinya lama.
Methadone 20mg iv dapat menghasilkan analgesia hingga >24jam. Dimetabolisme terutama
di hepar menjadi metabolit inaktif yang selanjutnya akan diekskresikan melalui urin dan
empedu.
PROPOKSIFEN
Struktur propoksifen secara umum sama dengan methadone sebagai salah satu agonis opioid
yang poten. Dimana dosis oral 90-120 mg menghasilkan efek analgesia setara dengan 60 mg
kodein atau 650 mg aspirin. Propoksifen diserap dengan baik melalui GIT yang kemudian
dimetabolisme terutama di hepar. Efek samping yang utama adalah vertigo, sedasi, mual dan
muntah.

6|

c. Derivat morfinian :
LEVORFANOL
Levorfanol adalah golongan morfinian sintetik yang digunakan sebagai salah satu terapi nyeri
berat. Obat ini pertama kali ditemukan di Jerman tahun 1948. Levorfanol mempunyai afinitas
yang sama pada reseptor opiat seperti morfin tetapi mempunyai efek cross tolerance yang
lebih rendah jika dibandingkan morfin.

B. Agonis parsial reseptor


TRAMADOL
Tramadol adalah analgesik yang bekerja sentral, agonis terhadap reseptor u serta mempunyai
afinitas yang lemah pada reseptor k dan d. melalui reseptor u tramadol meningkatkan efek
inhibisi descending spinal melalui penurunan reuptake norepinefrin dan serotonin. Efek
tramadol hanya bisa diantagonis oleh nalokson sebesar 30%. Tramadol dibuat sebagai
rasemik yaitu campuran antara enansiomer dimana enansiomer yang satu berfungsi
menghambat reuptake norepinefrin sedangkan yang satu lagi bekerja menghambat reuptake
serotonin. Tramadol dimetabolisme di hepar melalui enzim P-450 menjadi Odismetiltramadol. Dosis tramadol 3mg/kgBB oral, im, maupun iv efektif untuk penanganan
nyeri sedang hingga berat. Selain itu tramadol juga dapat digunakan sebagai agent anti
menggigil postoperative. Salah satu efeksampingnya yang sering terjadi adalah mual dan
muntah.
C. Agonis-antagonis campuran
1. Alkaloid semisintetik :
NALBIFIN
Nalbufin adalah agonis-antagonis opioid yang secara kimia mirip dengan oksimorfon dan
nalokson. Nalbufin dimetabolisme terutama di hepar. Efek samping yang paling sering adalah
sedasi pada pemberian nalbufin. Tidak seperti pentazosin dan butorfanol, nalbufin tidak
menyebabkan pelepasan katekolamin sehingga hemodinamik pasien relatif stabil. Oleh
karena itu nalbufin merupakan pilihan yang tepat untuk digunakan pada pasien dengan
gangguan

jantung,

seperti

pada

tindakan

kateterisasi

jantung.

(4,5,6)

2. Opioid sintetik :
7|

a. Derivat benzomorfan :
PENTAZOCIN
Pentazosin merupakan agonis dan antagonis reseptor opioid yang lemah pada reseptor k dan
d dengan potensi sekitar 1/5 dari obat nalorfin. Pentazosin diserap baik melalui rute oral
maupun perenteral yang kemudian dimetabolisme di hepar melui proses oksidasi menjadi
glukoronid inaktif yang akan diekskresikan terutama melalui urin dan kemudian empedu.
Dengan dosis 10-30mg iv atau 50mg oral, setara dengan kodein 60 mg, mampu mengatasi
nyeri sedang. Efek samping yang sering dari pentazosin adalah sedasi yang kemudian diikuti
dengan diaphoresis dan pusing. Pentazosin menyebabkan pelepasan katekolamin pada tubuh
kita sehingga Pentazosin sebesar 20-30 mg im mempunyai efek analgesia, sedasi dan depresi
pernafasan yang setara dengan 10 mg morfin. Tidak seperti morfin, pentazosin tidak memiliki
efek miosis pada pupil mata.
b. Derivat morfinian :
BUTORFANOL
Butorfanol adalah agonis dan antagonis opioid yang menyerupai pentazosin. Efek agonisnya
20 kali lebih besar dan efek antagonisnya 10 hingga 30 kali lebih besar jika dibandingkan
dengan pentazosin. Butorfanol memiliki afinitas yang lemah sebagai antagonis pada reseptor
u dan afinitas yang sedang pada reseptor k untuk menghasilkan analgesia dan efek anti
menggigil. Pada prakteknya butorfanol 2-3 mg im menghasilkan efek analgesia dan depresi
pernafasan setara dengan morfin 10 mg. Butorfanol terutama dimetabolisme menjadi
metabolit inaktif hidroksibutorfanol yang diekskresi terutama di empedu dan sebagian kecil
pada urin. Efek samping yang paling sering adalah sedasi, mual dan diaphoresis. Efek
pelepasan katekolamin yang dimiliki pentazosin juga dimilikioleh butorfanol ini sehingga
akan didapat peningkatan laju nadi dan tekanan darah pada pasien.
D. Antagonis reseptor
1. NALOKSON
Nalokson adalah antagonis nonselektif pada ketiga reseptor opioid. Dengan dosis 14mg/kgBB iv dapat membalikkan efek overdosis akibat obat-obatan opioid. Durasi kerja
nalokson sekitar 30-45 menit, sehingga pemberian continuous 5 mg/kgBB iv/jam perlu
dilanjutkan untuk mendapatkan efek yang maksimal. Nalokson dimetabolisme terutama di
hepar melalui proses konjugasi dengan asam glukoronat menjadi nalokson-3-glukoronid.
8|

Pemberian nalokson iv yang cepat dapat menimbulkan kejadian mual dan muntah.oleh karena
itu pemberian bolus harus pelan yaitu 2-3 menit. Efek stimulasi kardiovaskuler juga sering
ditemukan pada pemberian nalokson ini sebagai akibat dari meningkatnya aktifitas sistem
saraf simpatis dan rangsangan nyeri yang kembali terasa. Peningkatan aktifitas sistem saraf
simpatis ini dimanifestasikan dengan takikardi, hipertensi, edema paru serta disritmia
jantung.
2. NALTREKSON
Naltrekson bekerja hampir sama dengan nalokson dan sering diberikan secara oral. Efeknya
dapat bertahan lama hingga lebih dari 24 jam.
3. NALMEFEN
Nalmefen adalah antagonis reseptor opioid 6-methilen analog dan equipoten dengan
naltrekson. Dosis yang direkomendasikan 15-25mg iv yang diberikan titrasi tiap 2-5 menit
hingga efek sesuai dengan yang diinginkan denga dosis total tidak boleh melebihi 1
mg/kgBB. Kelebihan nalmefen jika dibandingkan dengan naltrekson adalah durasi kerjanya
yang lebih lama. Nalmefen dimetabolisme di hepar melalui proses konjugasi dan
diekskresikan terutama di urin.
4. Opioid Endogen
Selain opioid yang berasal dari luar (eksogen) yang telah diterangkan diatas sebelumnya, di
tubuh kita juga mengasilkan senyawa opioid yang secara alami terbentuk yang biasa disebut
opioid endogen. Ada beberapa struktur opioid endogen yang telah ditemukan yaitu :
Golongan Enkefalin adalah salah satu jenis opioid endogen yang merupakan derivat dari
prekursornya yaitu proenkefalin. Setiap molekul proenkefalin mengandung empat rantai metenkefalin, satu rantai leu-enkefalin dan beberapa peptide yang menyerupai enkefalin namun
dengan molekul yang lebih besar. Golongan enkefalin ini secara umum bekerja seletif pada
reseptor . Senyawa ini ditemukan di medulla kelenjar adrenal dan di ujung saraf yang
mengandung katekolamin. Golongan enkefalin bekerja di reseptor opioid presinaps pada
neuron nosiseptif yang mengandung neurotransmitter seperti substansi P. Secara alami
golongan enkefalin dihidrolisa oleh dengan cepat oleh enzim peptidase di plasma darah kita.
Prodinorfin yang juga biasa disebut sebagai proenkefalin B mengandung senyawa dinorfin A
dan dinorfin B. Keluarga dinorfin terutama berikatan dengan reseptor dan distribusi
9|

lokasinya hamper sama dengan enkefalin. Dinorfin yang meningkat ini juga dapat
mencetuskan hiperalgesia yang lama. Hal ini dsisebabkan oleh karena dinorfin A juga dapat
mengaktivasi NMDA reseptor kompleks.
Proopiomelanocortin (POMC) merupakan salah satu prekursor yang banyak ditemukan di
hipotalamus dan kelenjar pituitari, dimana dalam satu molekulnya terdapat peptida opioid dan
non opioid. Struktur N-terminal POMC menyerupai met-enkefalin namun POMC tidak
berubah menjadi met-enkefalin. 31 asam amino pada rantai terakhir dari POMC akan berubah
menjadi -endorfin yang merupakan opioid endogen yang sangat penting yang berikatan
dengan reseptor . POMC juga berubah menjadi beberapa hormon non opioid seperti
adrenokortikotropik hormon (ACTH), melanosit-stimulating hormon (MSH) dan lipotropin.
Proorphanin akan berubah menjadi orphanin FQ (yang disebut juga sebagai nosiseptin),
sebuah peptide yang mengandung 17 jenis asam amino. Meskipun proorphanin mempunyai
struktur yang homolog dengan ketiga jenis yang lainnya namun orphanin tidak berikatan
dengan reseptor , , atau . Orphanin berikatan dengan reseptor coupling protein-G (NOP).
Dan menyebabkan respon seluler yang menyerupai opioid yang lain, termasuk hambatan
pada adenil siklase, terbukanya gerbang Kalium serta blokade gerbang Kalsium tipe-N.
Orfanin FQ ditemukan di tempat yang tidak biasa seperti di hippocampus dan korteks
sensoris. Orphanin FQ mempunyai efek antianalgesik ketika memproduksi analgesia spinal.
Golongan Endomorfin merupakan opioid agonis yang mempunyai afinitas tinggi dan
selektifitas yang tinggi pada reseptor . Molekul prekursor dari endomorfin masih belum
dapat ditemukan. Terdapat 2 macam endomorfin dibedakan menurut struktur kiminya,
endomorfin 1 dan endomorfin 2. Pada studi in vivo diketahui bahwa endomorfin 1 bekerja
melalui stimulasi reseptor 2 sementara endomorfin 2 titik tangkap kerjanya melalui reseptor
dan . Keduanya baik endomorfin 1 maupun endomorfin 2 bekerja menurunkan potensial
aksi pada medulla daerah rostral ventrolateral, daerah yang menjadi pusat pengatur tekanan
darah. Sementara di perifer endomorfin menurunkan noreprinefrin yang dilepaskan neuron
simpatis vaskuler.

10 |

FARMAKOLOGI OPIOID
Struktur kimia opioid
Struktur dari klas opioid alkaloid fenantren cukup rumit dan terdiri atas lima atau
bahkan enam cincin yang bergabung. Morfin sebagai salah satu anggota dari fenantren, terdiri
atas 5 cincin, 3 cincin terbentuk dalam satu bidang datar sementara 2 cincin yang lainnya
tersusun perpendicular yang membentuk huruf T. Terdapat 2 group hidroksil (satu fenolik
dan satu alkoholik), sebuah karbon atom kuarterner pada posisi 13 dan cincin piperidin
dengan grup metil pada gugus nitrogen. Struktur morfin mempunyai stereoisomer levo dan
dekstro dimana hanya stereoisomer levo yang mempunyai efek analgesik. Anggota fenantren
yang lain adalah kodein, derivat dari morfin, serta thebain, prekursor dari oksikodon dan
nalokson. Jika dikurangi secara bertahap jumlah cincin fenantren maka akan didapatkan
golongan morfinian dengan empat cincin, golongan benzomorfan dengan tiga cincin,
golongan fenilpiperidin dengan dua cincin dan yang terakhir peptida opioid endogen dengan
struktur separuh tiramin dengan cincin terhidroksilasi tunggal. Kemampuan mengikat
reseptor apakah pada sisi romatik atau sisi anion menentukan apakah suatu opioid merupakan
suatu agonis atau antagonis.

GAmbar 1. Struktur kimia beberapa contoh opioid

11 |

MEKANISME AKSI OPIOID


Opioid bertindak sebagai suatu agonis pada sterotipik reseptor opioid di neuron
presinaptik dan postsinaptik sistem saraf pusat/SSP (terutama di batang otak dan sumsum
tulang belakang/spinal cord) serta di luar SSP pada jaringan periferal. Kondisi hiperalgesik
inflamasi kemungkinan besar berkaitan erat dengan aksi opioid antinociceptive. Mekanisme
aksi periferal ini kemungkinan besar diaktivasi pada neuron aferen primer. Normalnya,
reseptor opioid yang samaakan diaktivasi oleh tiga buah ligan reseptor peptida endogen yang
dikenal sebagai enkephalins, endorphins, dan dynorphins. Ketiga ligan endogen ini memiliki
aksi yang menyerupai opioid dengan cara berikatan dengan reseptor opioid sehingga dapat
menimbulkan aktivasi sistem modulasi nyeri (antinociceptive).
Adanya opioid dalam bentuk terionisasi sangat penting dalam proses pengikatan
dengan reseptor anionik. Hanya opioid bentuk levorotary yang dapat menunjukkan aktivitas
opioid. Oleh karena itu, secara alami, morphine juga berbentuk isomer levorotary. Tingkat
afinitas kebanyakan agonis opioid berhubungan erat dengan potensi analgesiknya.
Efek utama aktivasi reseptor opioid adalah menurunkan neurotransmisi. Penurunan
neurotrasnmisi ini dapat terjadi karena adanya penghambatan pelepasan neurotransmiter
presinaptik (acetylcholine, dopamine, norepinephrine, substance P), dan terkadang juga
terjadi penghambatan bangkitan aktivitas di post-synaptic. Peristiwa biokimiawi yang
diinisiasi oleh terikatnya reseptor opioid oleh agonis opioid ditandai oleh peningkatan
konduktansi kalium (yang menyebabkan hiperpolarisasi), inaktivasi saluran kalsium, atau
kombinasi kedua hal tersebut. Proses tersebut akan menyebabkan penurunan tiba-tiba pada
pelepasan neurotransmiter. Inhibisi adenyl cyclase yang dimediasi oleh reseptor opioid tidak
berperan dalam efek cepat opioid, namun kemungkinan besar mekanisme ini berperan dalam
efek lambat melalui penurunan respon gen neuropeptidea cyclic adenosine monophosphate
(cAMP) dan penurunan konsentrasi neuropeptida messenger (pembawa pesan) RNA/m-RNA.
Reseptor opioid terletak pada ujung perifer neuron aferen primer dan aktivasi pada reseptor
ini akan menyebabkan penurunan neurotransmisi atau penghambatan proses pelepasan
neurotransmisi eksitasi, seperti substance P. Dengan pertimbangan ini, maka morphine yang
diinjeksi secara intraartikuler (3 mg) dapat memberikan efek analgesia yang lebih lama
meskipun prosedur artoskopi lutut sudah selesai dilakukan. Depresi transmisi kolinergik pada
SSP yang diakibatkan oleh inhibisi pelepasan acetyl-choline dari ujung saraf memainkan
peranan penting dalam menimbulkan efek analgesia dan beberapa efek samping dari obat12 |

obatan agonis opioid. Opioid tidak mempengaruhi tingkat respon pada ujung saraf aferen
terhadap stimulasi noxious. Opioid juga tidak mengganggu konduksi impuls saraf di
sepanjang saraf perifer.

PATOFISIOLOGI KETERGANTUNGAN OPIOID


Toleransi farmakodinamika dan ketergantungan yang terjadi akibat penggunaan
opioid secara berulang-ulang merupakan salah satu karakteristik dan kelemahan utama yang
dimiliki oleh semua jenis opioid. Toleransi silang antara opioid juga dapat terjadi.
Toleransi merupakan suatu kondisi di mana terjadi penambahan dosis agonis opioid
guna mencapai efek analgesik yang sebelumnya dapat dicapai dengan dosis yang lebih
rendah. Toleransi seperti ini biasanya butuh waktu sekitar 2 sampai 3 minggu.
Hipotesis pertama mengenai toleransi farmakodinamika berhubungan dengan
perubahan neuroadaptif akibat penggunaan opioid dalam jangka panjang. Semua reseptor
opioid menjadi terdesensitasi akibat penurunan transkripsi dan jumlah reseptor.
Hipotesis kedua mengenai toleransi berkaitan dengan peningkatan regulasi sistem
cyclic adenosine monophosphate (c-AMP). Paparan opioid dalam jangka panjang
berkaitandengan penurunan jaras c-AMP secara bertahap. Pemanjangan masa paparan dapat
mengaktivasi reseptor NMDA melalui mekanisme second messenger serta menurunkan
transporter glutamate spinal. Hal ini menyebabkan toleransi opioid dan sensitivitas nyeri yang
abnormal,
Efek Samping Heroin
Efek yang timbul akibat penggunaan heroin Menurut national Institute Drug Abuse
(NIDA), dibagi menjadi efek segera (short term) dan efek jangka panjang (long term)
Tabel 1 . Ringkasan Efek Samping Heroin

13 |

Pengaruh heroin terhadap wanita hamil:


o Menimbulkan komplikasi serius, abortus spontan, lahir prematur
o Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik memiliki resiko tinggi untuk terjadinya SIDS
(Sudden Infant Death Syndrome)
o Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik dapat mengalami gejala with drawl dalam 24-36
jam setelah lahir. Gejalanya bayi tambah gelisah, agitasi, sering menguap, bersin dan
menangis, gemetar, muntah, diare dan pada beberapa kasus terjadi kejang umum
Komplikasi neurologis yang dapat terjadi akibat penggunaan heroin:
o Edema serebri o Myelitis o Postanoxia encephalopathy o Crush injury o Gangguan
koordinasi, kesulitan untuk berbicara
Efek Samping morfin

Sistem Kardiovaskuler

Pemberian morphine, meskipun dalam dosis besar (1 mg/kg IV), pada pasien supine
dan normovolemik tidak akan menyebabkan depresi miokardial secara langsung atau
hipotensi. Namun jika pasien tersebut diubah posisinya menjadi posisi berdiri, maka hal
tersebut dapat menyebabkan hipotensi ortostatik dan syncope. Hal tersebut kemungkinan
besar terjadi karena gangguan respon kompensasi dari sistem saraf simpatetik. Efek lain dari
gangguan respon simpatetik ini dapat menyebabkan gangguan aliran balik vena sehingga
menurunkan curah jantung dan tekanan darah.
Morphine juga dapat menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik yang
disebabkan oleh bradikardia atau pelepasan histamine. Pemberian opioid (morphine) sebagai
medikasi preoperatif atau sebelum induksi anestesia (fentanyl) cenderung dapat
menyebabkan penurunan denyut jantung, terutama ketika terpapar dengan anestetik volatil.
Premedikasi dengan menggunakan antihistamin H1 dan H2 tidak dapat mempengaruhi
pelepasan histamine yang diakibatkan oleh morphine, namun tindakan ini dapat mencegah
terjadinya perubahan tekanan darah sistemik dan resistensi pembuluh darah sistemik.
Morphine tidak akan mensensitasi jantung terhadap katekolamin ataupun
menyebabkan disaritmia jantung selama tidak ada hiperkarbia atau hipoksemia arterial yang
bisa terjadi apabila ada depresi ventilasi akibat opioid. Takikardia dan hipotensi yang terjadi
14 |

selama prosedur operasi bukan disebabkan oleh morphine, namun sebagai akibat dari respon
tubuh terhadap stimulasi nyeri yang tidak berhasil disupresi oleh morphine. Respon
kardiovaskuler dipengaruhi oleh sistem saraf simpatetik dan mekanisme renin-angiotensin.
Kombinasi beberapa obat opioid dengan anestetik inhalan dapat menyebabkan hipontensi.

Ventilasi
Semua opioid dapat menimbulkan efek depresi ventilasi yang dipengaruhi oleh
jumlah dosis dan jenis kelamin. Depresi ventilasi yang diinduksi oleh opioid memiliki ciri
berupa penurunan respon pusat ventilasi terhadap karbon dioksida, yangi ditandai oleh
peningkatan PaCO2 dan pergersaran kurvatura respon karbon dioksida ke arah kanan. Agonis
opiod juga dapat mempengaruhi pusat pernapasan medullry yang berperan dalam regulasi
ritme pernapasan.
Efek depresi pernapasan dapat terjadi dengan sangat cepat dan bertahan hingga
beberapa jam. Opiod dosis tinggi dapat menyebabkan apnea. Kematian akibat overdosis
opiod paling sering disebabkan oleh depresi ventilasi.
Opioid dapat menyebabkan depresi aktvitas ciliary di jalan napas. Peningkatan
resistensi jalan napas setelah pemberian opioid mungkin disebabkan oleh efek langsung pada
otot polos bronkial dan pelepasan histamine.

Supresi Batuk
Opioid dapat menekan batuk dengan cara mempengaruhi pusat napas medullary yang
letaknya berbeda dengan pusat ventilasi. Supresi batuk secara maksimal dapat dihasilkan oleh
codeine. Supressi batuk juga dapat dihasilkan oleh isomer opioid dextrorotary
(dextromehrophan) yang tidak menghasilkan efek analgesia.

Sistem Saraf

Apabila opioid tidak menghasilkan hipoventilasi, maka obat ini dapat menyebabkan
penurunan aliran darah serebral dan tekanan intrakranial (ICP). Opioid harus hati-hati
digunakan pada pasien yang mengalami cedera kepala karena (a) pengaruh opioid berkaitan
dengan kesadaran, (b) dapat menyebabkan miosis, (c) dapat menyebabkan depresi ventilasi
yang berhubungan dengan peningkatan ICP jika PaCO2 meningkat. Cedera kepala juga dapat
mengganggu integritas sawar darah otak sehingga dapat meningkatkan sensitivitas terhadap
opioid.

Sedasi
Titrasi morphine pascaoperasi dapat menginduksi sedasi yang mendahului onset
analgesia. Rekomendasi yang biasa digunakan dalam titrasi morphine adalah membuat
interval di antara tiap injeksi bolus (sekitar 5 hingga 7 menit) agar kita dapat menilai efek
klinis dari opioid.

15 |

Traktus Biliaris

Opioid dapat menyebabkan spasme otot polos bilier yang mengakibatkan peningkatan
tekanan intrabilier sehingga bisa menimbulkan distres epigastrik atau kolik bilier. Nyeri
seperti ini dapat dikacaukan oleh angina pectoris. Naloxone dapat menghilangkan nyeri kolik
seperti ini. Meskipun begitu, nyeri kolik tidak selalu terjadi pada semua pasien, insidensinya
adalah sekitar 3% dari semua pasien yang mendapat suplemen fentanyl.
Kontraksi otot polos duktus pankreatikus kemungkinan besar berperan dalam
peningkatan kadar amilase dan lipase yang ditemukan setelah pemberian morphine. Hal ini
sering salah didiagnosis sebagai pankreatitis akut.

Traktus Gastrointestinal
Beberapa opioid seperti morphine, meperidine, dan fentanyl, dapat menimbulkan efek
spasme otot polos gastrointestinal, yang mengakibatkan beberapa efek samping seperti
konstipasi, kolik bilier, dan keterlambatan pengosongan lambung.
Morphine dapat menghambat kontraksi propulsi peristaltik pada usus halus dan usus
besar serta memperkuat tonus spinchter pyloric, katup ileocecal, dan spinchter anus. Oleh
karena itu akibat efeknya tersebut, maka pada masa lalu morphine sering digunakan sebagai
obat diare.
Efek morphine pada traktus gastrointestinal dapat dibalikkan dengan menggunakan
antagonis opioid.
Mual dan muntah yang diinduksi oleh opioid dapat terjadi karena adanya stimulasi
langsung pada zona pemicu kemoreseptor (chemoreceptor trigger zone) di dasar ventrikel
keempat. Hal ini menunjukkan bahwa agonis opioid dapat menjadi agonis dopamin parsial
pada reseptor dopamine di zona pemicu kemoreseptor. Morphine juga dapat menyebabkan
mual dan muntah dengan cara meningkatkan sekresi gastrointestinal dan menghambat
pengosongan isi lambung.

Traktus Urinarius

Morphine dapat meningkatkan tonus dan aktivitas peristaltik ureter. Berbeda dengan
efek pada otot polos traktus biliaris, efek opioid pada traktus urinarius dapat dibalikkan
efeknya dengan menggunakan antikolinergik seperti atropine.

Perubahan Kutaneus

Morphine dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah kutaneus. Hal tersebut


mengakibatkan wajah, leher, dan dada bagian atas berwarna kemerahan. Perubahan tersebut
terjadi karena adanya pelepasan histamine.
16 |

Pelepasan histamine yang terlokalisasi, terutama pada vena yang menjadi tempat
injeksi morphine, bukanlah suatu reaksi alergi. Sering kali, pelepasan histamine secara lokal,
hipotensi ortostatik, mual dan muntah salah diinterpretasi sebagai suatu reaksi radang.

Plasenta
Plasenta tidak dapat menjadi sawar yang ideal terhadap opioid. Oleh karena itu
depresi neonatus dapat terjadi karena pemberian opioid pada ibu selama proses persalinan.
Penggunaan opioid secara kronik dapat menyebabkan timbulnya gejala ketergantungan pada
neonatus. Pemberian naloxone pada neonatus dapat mempresipitasi sindrom putus obat yang
dapat mengancam jiwa neonatus.

Interaksi Obat
Efek depresi ventilasi dari beberapa opioid dapat diperbesar oleh amphetamine,
phenothiazine, monoamine oxidase inhibitor, dan antidepresan trisiklik. Obat-obatan
simpatomimetik dapat memperbesar efek analgesia dari opioid. Sedangkan obat-obatan
sistem kolinergik dapat menghambat efek analgesia dari opioid.
HEROIN
Heroin atau putw didapatkan dari pengeringan ampas bunga opium yang mempunyai
kandungan morfin dan kodein yang merupakan penghilang rasa nyeri yang efektif dan
banyak digunakan untuk pengobatan dalam obat batuk dan obat diare. Heroin (diasetilmorfin)
termasuk golongan opioid agonis dan merupakan derivat morfin yang terbuat dari morfin
yang mengalami asetilasi pada gugus hidroksil pada ikatan C3 dan C6. Nama lain dari heroin:
smack, junk, china ehirte, chiva, black tar, speed balling, dope, brown, dog,negra, nod, white
hores, stuff.
Farmakokinetik heroin
Heroin diabsorpi dengan baik disubkutaneus, intramuskular dan permukaan mukosa hidung
atau mulut. Distribusi Heroin dengan cepat masuk kedalam darah dan menuju ke dalam
jaringan. Konsentrasi heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal dan limpa, sedangkan di dalam
otot skelet konsentrasinya rendah. Konsentrasi di dalam otak relatif rendah dibandingkan
organ lainnya akibat sawar darah otak. Heroin menembus sawar darah otak lebih mudah dan
cepat dibandingkan dengan morfin atau golongan opioid lainnya Metabolisme Heroin
didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan akhirnya menjadi
morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam glukuronik menajdi morfin 6glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat dibandingkan morfin sendiri. Akumulasi obat
17 |

terjadi pada pasien gagal ginjal. Ekskresi Heroin /morfin terutama diekstresi melalui urine
(ginjal). 90% diekskresikan dalam 24 jam pertama, meskipun masih dapat ditemukan dalam
urine 48 jam heroin didalam tubuh diubah menjadi morfin dan diekskresikan sebagai morfin.

FARMAKODINAMIKA OPIOID AGONIS


Mekanisme kerja opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan
reseptor spesifik yang berlokasi di otak dan medula spinalis, sehingga mempengaruhi
transmisi dan modulasi nyeri. Terdapat 3 jenis reseptor yang spesifik, yaitu reseptor (mu),
(delta) dan (kappa). Di dalam otak terdapat tiga jenis endogeneus peptide yang aktivitasnya
seperti opiat, yitu enkephalin yang berikatan dengan reseptor , endorfin dengan reseptor
dandynorpin dengan resptor . Reseptor merupakan reseptor untuk morfin (heroin). Ketiga
jenis reseptor ini berhubungan dengan protein G dan berpasangan dengan adenilsiklase
menyebabkan penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas pelepasan neurotransmitter
terhambat.
EFEK OPIOID
Efek inhibisi opiat dalam pelepasan neurotransmitter
Pelepasan noradrenalin Opiat menghambat pelepasan noradrenalin dengan mengaktivasi
reseptor yang berlokasi didaerah noradrenalin. Efek morfin tidak terbatas dikorteks,tetapi
juga di hipokampus,amigdala, serebelum, daerah peraquadiktal dan locus cereleus.
Pelepasan asetikolin Inhibisi pelepasan asetikolin terjadi didaerah striatum oleh reseptor
deltha, didaerah amigdala dan hipokampus oleh reseptor . Pelepasan dopamin Pelepasan
dopamin diinhibisi oleh aktifitas reseptor kappa Tempat Kerja Ada dua tempat kerja obat
opiat yang utama, yaitu susunan saraf pusat dan visceral. Di dalam susunan saraf pusat opiat
berefek di beberapa daerah termasuk korteks, hipokampus, thalamus, hipothalamus,
nigrostriatal, sistem mesolimbik, locus coreleus, daerah periakuaduktal, medula oblongata
dan medula spinalis. Di dalam sistem saraf visceral, opiat bekerja pada pleksus myenterikus
dan pleksus submukous yang menyebabkan efek konstipasi.

18 |

Efek ke sistem susunan saraf pusat


1. Analgesia Khasiat analgetik didasarkan atas 3 faktor:
a. meningkatkan ambang rangsang nyeri
b. mempengaruhi emosi, dalam arti bahwa morfin dapat mengubah reaksi yang timbul
menyertai rasa nyeri pada waktu penderita merasakan rasa nyeri. Setelah pemberian
obat penderita masih tetap merasakan (menyadari) adanya nyeri, tetapi reaksi
khawatir takut tidaklagi timbul. Efek obat ini relatif lebih besar mempengaruhi
komponen efektif (emosional) dibandingkan sensorik
c. Memudahkan timbulnya tidur
2. Euforia
Pemberian morfin pada penderita yang mengalami nyeri, akan menimbulkan perasaan eforia
dimana penderita akan mengalami perasaan nyaman terbebas dari rasa cemas. Sebaliknya
pada dosis yang sama besar bila diberikan kepada orang normal yang tidak mengalami nyeri,
sering menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir disertai mual, muntah, apati, aktivitas
fisik berkurang dan ekstrimitas terasa berat.
3. Sedasi
Pemberian morfin dapat menimbulkan efek mengantuk dan lethargi. Kombinasi morfin
dengan obat yang berefek depresi sentral seperti hipnotik sedatif akan menyebabkan tidur
yang sangat dalam
4. Pernafasan Pemberian morfin dapat menimbulkan depresi pernafasan, yang disebabkan
oleh inhibisi langsung pada pusat respirasi di batang otak. Depresi pernafasan biasanya
terjadi dalam 7 menit setelah ijeksi intravena atau 30 menit setelah injeksi subkutan atau
intramuskular. Respirasi kembali ke normal dalam 2-3 jam
5. Pupil
Pemberian morfin secara sistemik dapat menimbulkan miosis. Miosis terjadi akibat stimulasi
pada nukleus Edinger Westphal N. III 6. Mual dan muntah Disebabkan oleh stimulasi
langsung pada emetic chemoreceptor trigger zone di batang otak.

19 |

Efek ke susunan saraf perifer


1. Saluran cerna
Pada lambung akan menghambat sekresi asam lambung, mortilitas lambung berkurang, tetapi
tonus bagian antrum meninggi. Pada usus beasr akan mengurangi gerakan peristaltik,
sehingga dapat menimbulkan konstipasi
2. Sistem kardiovaskular
Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan darah, frekuensi maupun irama
jantung. Perubahan yang tampak hanya bersifat sekunder terhadap berkurangnya aktivitas
badan dan keadaan tidur, Hipotensi disebabkan dilatasi arteri perifer dan vena akibat
mekanisme depresi sentral oleh mekanisme stabilitasi vasomotor dan pelepasan histamin
3. Kulit
Mengakibatkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa
panas. Seringkali terjadi pembentukan keringat, kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya
peredaran darah di kulit akibat efek sentral danpelepasan histamin
4. Traktus urinarius
Tonus ureter dan vesika urinaria meningkat, tonus otot sphinkter meningkat,sehingga dapat
menimbulkan retensi urine.

TERAPI SUBSTITUSI
METADON
Terapi substitusi yang sering kita kenal dengan nama Program Terapi Rumatan
Metadon (PTRM) ini adalah terapi yang bertujuan mengganti penggunaan zat seperti heroin
atau morfin dengan metadon.
Metadon adalah suatu zat yang secara kimiawi termasuk dalam golongan opioid sama
halnya dengan heroin ataupun morfin. Metadon berfungsi menekan susunan saraf pusat dan
mempunyai efek penghilang rasa sakit yang kuat. Walaupun segolongan dan bekerja dengan
cara yang sama tetapi metadon memiliki beberapa perbedaan dengan morfin atau heroin
20 |

dimana metadon mudah dicerna secara oral (diminum) berbeda dengan golongan opioid lain
yang tidak memiliki sifat itu sehingga harus digunakan dengan cara disuntikkan untuk
mendapatkan efek yang diinginkan. Sehingga dengan penggunaan metadon sebagai terapi
pengganti jenis opioid suntik yang lain maka akan mengurangi penggunaan narkotika suntik
dan pada akhirnya akan dapat menurunkan angka kejadian HIV/AIDS.
Berbeda dengan heroin atau morfin klien yang beralih ke metadon dapat menjalani
kehidupan sehari-hari dengan lebih stabil. Selain karena penggunaanya yang cukup diminum
sekali sehari juga karena efek yang diharapkan dari penggunaan metadon bukanlah efek fly
seperti pada penggunaan heroin atau morfin. hal inilah yang menyebabkan klien metadon
dapat lebih aktif dalam kehidupan sehari-hari sehingga memiliki kualitas hidup yang lebih
baik. Hal lain tentang terapi metadon adalah biaya terapi yang relatif murah bila
dibandingkan dengan penggunaan narkotika suntik.
Terdapat beberapa tahapan dalam terapi rumatan metadon. Tahap awal adalah tahap
penentuan apakah seseorang klien bisa atau tidak masuk dalam PTRM. Terdapat beberapa
kriteria inklusi dan ekslusi diantaranya adalah:
Kriteria inklusi

Harus memenuhi kriteria ICD-X untuk ketergantungan opioid

Usia 18 tahun atau lebih, jika belum 18 tahun harus mendapat second opinion dari
profesional medis lain

Mengalami ketergantungan opioid dalam jangka waktu 12 bulan terakhir

Sudah pernah mencoba berhenti menggunakan opioid minimal satu kali

Kriteria eksklusi

Klien dengan penyakit fisik yang berat

Psikosis yang jelas

Retardasi mental

Tahap selanjutnya adalah pemberian konseling terutama konseling tentang adiksi dan
membuat rencana perawatan. Tahap terapi rumatan metadon sendiri terbagi dalam 4 tahap
21 |

yaitu tahap pemberian dosis awal, fase stabilisasi, fase rumatan dan fase reduksi. Pada fase
pemberian dosis awal dimulai dengan dosis yang sangat rendah yaitu 15-30 mg perhari untuk
kemudian pada fase stabilisasi dosis dinaikkan bertahap 5-10 mg setiap 3-5 hari. Pasien
dikatakan mencapai dosis rumatan atau pemeliharan apabila dengan dosis hariannya
pasien/klien telah merasa stabil baik secara emosional, pekerjaan dan kehidupan sosial. Ratarata dosis rumatan bervariasi antara 60-120 mg per harinya tetapi sangat bervariasi pada
masing-masing individu. Fase rumatan tersebut dapat berlangsung selama bertahun-tahun
hingga klien merasa benar-benar stabil.
Fase penghentian metadon atau fase reduksi juga dilakukan secara bertahap. Tahap
penghentian dapat dimulai apabila klien telah dalam keadaan stabil, minimal 6 bulan dalam
keadaan bebas heroin, dan pasien dalam keadaan stabil untuk bekerja dan dalam lingkungan
rumah. Penurunan dosis maksimal sebanyak 10 % dan penurunan dosis yang
direkomendasikan adalah setiap 2 minggu.
Dalam menjalani terapi klien akan secara berkala dipantau kesehatannya dan diberikan
konseling secara berkala pula. Dalam terapi rumatan metadon terkadang timbul beberapa efek
samping seperti konstipasi (sembelit), mengantuk, berkeringat, mual, muntah, gangguan
fungsi seksual, gatal dan juga jerawat. Metadon diberikan kepada klien dalam bentuk cair dan
dalam pemberiannya dicampur dengan sirup hingga mencapai 100 cc untuk mengurangi rasa
pahit. Setelah mengkonsumsi metadon klien akan diberikan permen untuk dikunyah
tujuannya adalah untuk meningkatkan jumlah air liur dan sehingga mengurangi efek samping
kerusakan pada gigi.
Terapi substitusi metadon dapat diberikan dalam rangka detoksifikasi atau dalam rangka
terapi rumatan. Detoksifikasi metadon bertujuan untuk mengurangi gejala-gejala putus zat
selama proses menuju abstinens opioid, termasuk metadon, dan biasanya diberikan dalam
jangka waktu yang terbatas. Jadi, detoksifikasi metadon dapat diberikan pada pasien-pasien
yang ingin berobat jangka-pendek, merupakan prosedur prapengobatan sebelum pengobatan
selanjut-nya, atau merupakan tahap terminasi dari terapi rumatan metadon.
Terapi rumatan metadon sendiri bertujuan untuk mengurangi pemakaian opioid ilegal dan
yang tidak terkendali. Tidak terjadi perubahan bioavailabilitas metadon oral yang berarti
antara orang yang baru mengonsumsi metadon dan orang yang sudah mengonsumsinya
secara kronik. Bioavailabilitas metadon oral tidak memperlihatkan perubahan yang berarti
pada orang yang distabilisasi dengan metadon, atau yang sudah menggunakannya secara
22 |

kronis. Metadon dipecah di hati melalui sistem enzim sitokrom P450. Sekitar 10% metadon
yang dikonsumsi secara oral akan diekskresi utuh. Sisanya akan dimetabolisme dan metabolit
inaktifnya disekresi melalui urin dan tinja.
Metadon juga dapat disekresikan melalui keringat dan liur. Awitan efek metadon terjadi
sekitar 30 menit setelah obat diminum. Konsentrasi puncak dicapai setelah 3-4 jam setelah
metadon diminum. Rata-rata waktu paruh metadon adalah 24 jam. Metadon mencapai kadar
tetap dalam tubuh setelah penggunaan 3-10 hari.
Setelah stabilisasi dicapai, variasi konsentrasi metadon dalam darah tidak terlalu besar.
Metadon banyak diikat oleh protein plasma dalam jaringan seluruh tubuh. Metadon dapat
diketemukan dalam darah, otak, dan jaringan lain, seperti ginjal, limpa, hati, serta paru-paru.
Konsentrasi dalam organ lebih tinggi daripada dalam darah. Ikatan tersebut menyebabkan
terjadinya akumulasi metadon dalam badan cukup lama bila seseorang berhenti menggunakan
metadon.
Antara opioid yang satu dan opioid yang lain dapat terjadi toleransi-silang dan
dependensi-silang. Hal ini menyebabkan satu jenis opioid dapat dipakai untuk mencegah
putus zat dan mendetoksifikasi secara bertahap orang-orang yang ketergantungan opioid yang
lain. Jadi, karena metadon merupakan senyawa opioid yang mempunyai toleransi-silang dan
dependensi-silang dengan opioid yang lain, metadon dapat dipakai untuk mencegah putus zat
dan mendetoksifikasi orangorang yang ketergantungan opioid lain, misalnya heroin atau
morfin.
Metadon dipakai untuk terapi karena tersedia dalam bentuk oral, sehingga dapat
menghentikan kebiasaan menyuntik, lama kerja relatif panjang (long acting) yang
memungkinkan pemberian sekali sehari (lebih terkendali) dan mempunyai potensi
menimbulkan sindrom putus zat yang lebih ringan serta aman dipakai dengan perhatian
terhadap dosis yang sesuai tidak menyebabkan kerusakan organ.

BUPHRENORFIN
Buprenorfin adalah opioida semisintetik yang berasal dari morfin, alkaloid thebain, yang
merupakan antagonis agonis campuran atau parsial agonis dengan efek farmakologis sesuai

23 |

dengan kerja reseptornya, dalam bentuk sediaan tablet atau injeksi. Merupakan suatu agonis
parsial reseptor , merupakan derivat fenantren yang poten dan sangat lipofilik.
Farmakodinamik
Buprenorfin menimbulkan analgesia dan efek lain pada SSP seperti morfin.
Masa kerjanya meskipun bervariasi umumnya lebih panjang daripada morfin ,
karena lambat dilepaskan dari reseptor . Masa paruh disosiasi buprenorfin dari
reseptor 166 menit sedangkan fentanil 7 menit.
Tergantung pada dosis, buprenorfin dapat menimbulkan gejala abstinensi pada
pasien yang sedang menggunakan agonis reseptor untuk beberapa minggu.
Buprenorfin dapat mengantagonis depresi pernafasan yang ditimbulkan oleh dosis
anestetik fentanil sama baiknya dengan nalokson.
Depresi pernafasan dan efek lain yang ditimbulkan buprenorfin dapat dicegah
oleh penggunaan nalokson sebelumnya , akan tetapi nalokson dosis tinggi pun sulit
untuk mengatasi efek yang sudah ditimbulkan oleh buprenorfin.
Farmakokinetik
Buprenorfin diabsorbsi relatif baik . Buprenorfin 0,4-0,8 mg sublingual
menimbulkan analgesia yang baik pada pasien pasca bedah. Kadar puncak dalam
darah dicapai dalam 5 menit setelah suntikan IM dan dalam 1-2 jam setelah
penggunaan secara oral atau sublingual.
Masa paruh dalam plasma sekitar 3 jam, tetapi tidak / kecil hubungannya
dengan kecepatan hilangnya efek buprenorfin.

Tabel 2 . Ringkasan Efek Klinis dan Farmakologi Buprenorfin

24 |

Sifat
Efek opioid

Penerapan klinis
Mengurangi kecanduan opioid dan meningkatkan kepatuhan
berobat.
Kurang sedasi dibandingkan agonis penuh (opiod, Morfin atau

Mencegah gejala putus

Metadon)
Dapat digunakan

opioid
Mengurangi efek

detoksifikasi
Mengurangi dampak psikologis penggunaan opioid yang

penggunaan opioid

berkelanjutan. Dapat menyulitkan usaha untuk kepentingan

ilegal
Durasi aksi yang

opioid-analgetik (misal; Morfin)


Memungkinkan jadwal pemberian obat sekali sehari hingga tiga

panjang
Respon terhadap

kali seminggu
Dosis Buprenorfin-Nalokson yang lebih tinggi (>16 mg) tidak

ceiling effect

meningkatkan efek agonis opioid, namun


memperpanjang durasi aksi. Lebih aman pada keadaan

untuk

terapi

rumatan,

tapering

atau

overdosis, karena dosis


tunggal tinggi jarang mengakibatkan depresi pernapasan yang
Bentuk sediaan

fatal.
Lebih aman pada kejadian overdosis 1 yang tak disengaja (pada

sublingual

anak-anak) karena absorpsi oral buruk.

Memerlukan waktu

lebih lama dalam memantau pemberian obat.

Farmakoterapi
Selain sebagai analgesik , buprenorfin juga bermanfaat untuk terapi penunjang
pasien ketergantungan opioid dan pengobatan adiksi heroin. Dosis untuk
menimbulkan analgesia 0,3 mg IM atau IV tiap 6 jam atau 0,4-0,8mg sublingual.
Untuk terapi penunjang pasien ketergantungan opioid dosis 6-8mg kurang lebih
sama dengan 60mg metadon.
- Induksi : Peralihan dari heroin, peralihan dari metadon. Dosis inisial : 2
mgr/hari dapat dinaikan perhari 2-4 mgr sampai tercapai stabilisasi, maksimum
-

16 mgr/hari.
Dosis Harian : 6 12 mg/hari dalam kisaran dosis 2 16 mgr/hari.
Detoksifikasi : Pengurangan dosis gradual sampai bebas obat
Efek Samping

25 |

Buprenorfin dapat menimbulkan ketergantungan fisik dengan gejala dan tandatanda putus obat seperti morfin tetapi tidak terlalu berat.
Buprenorfin sebagai Terapi Substitusi Opioid
Tabel 4. Efek Sediaan Tunggal dan Kombinasi Buprenorfin Pada Populasi berbeda

Populasi

Sediaan kombinasi
Intravena

Sublingual
(

ketersediaan

hayati

Nalokson

Sediaan tunggal
Sublingual atau

ketersediaan-

hayati

intravena

Nalokson

Pasien

buruk )
Precipitated

tinggi )
Gejala putus obat

Precipitated

ketergantungan

withdrawal

akibat

Nalokson

withdrawal

heroin . Heroin 1

syndrome
Efek agonis

dan Buprenorfin
Mungkin
gejala

syndrome
Efek agonis

jam yang lalu ,


Heroin > 12 jam
Pengguna Heroin

putus ringan
Efek agonis

Efek

tidak
ketergantungan
Opioid naive

Rumatan sediaan

agonis

Efek agonis

dilemahkan
Efek

agonis

Efek agonis pada

Efek

agonis

( berkurang jika

awalnya

( berkurang jika

per oral )
Efek agonis

dilemahkan
Efek agonis pada

per oral )
Efek agonis

tunggal -

awalnya

Buprenorfin
Rumatan

Precipitated

dilemahkan
Gejala putus obat

Precipitated

Metadon ( dosis

withdrawal

berat

withdrawal

< 24 jam yang

syndrome

Nalokson

akibat
dan

syndrome

lalu )
Buprenorfin
Dewasa ini buprenorfin menjadi obat yang paling popular di banyak negara
-

sebagai terapi rumatan pasien-pasien ketergantungan opioid .


Buprenorfin dapat diberikan 2 atau 3 kali dalam seminggu karena masa aksinya

yang panjang.
Karena kemungkinan untuk disalah gunakan , kombinasi formula buprenorfin

dan nalokson juga telah digunakan untuk terapi ketergantungan opioid


Buprenorfin mengurangi efek agonis opioid dan mengurangi potensi menekan

sentra ppernafasan.
Gejala-gejala withdrawal mudah dikendalikan
26 |

Bila metadon diberikan secara oral, buprenorfin diberikan secara sublingual.


Bila tidak hati-hati hak privilage untuk bawa pulang sering disalahgunakan
pasien.

Tabel 5. Terapi substitusi Metadon dan Buprenorfin


Klasifikasi
Substitusi untuk heroin
Efek terhadap heroin

Metadon
Murni
+++
++

Buprenorfin
pAg
++
++++

Withdrawal symptoms
Onset of Action
Puncak efek
Duration of Action

Dosis tinggi (>60 mgr )


+++
30-60 mnt
3 6 jam
16 30 jam

Dosis rendah (>4 mgr)


++
30-60 mnt
1 4 jam
>2 -3 hari dengan

Hepatik MES +++

dosis tinggi
Hepatik MED & konyungasi,

dipengaruhi fungsi liver


Oral

impact thd liver kurang


Sublingual

Metabolisme
Cara pemberian

Pedoman klinis penatalaksanaan ketergantungan heroin dengan buprenorfin.


Memulai terapi buprenorfin , terapi buprenorfin hanya diindikasikan untuk
detoksifikasi dan terapi rumatan pasien dengan ketergantungan opioid.
I.
Kontraindikasi Insufisisensi pernafasan penggunaan buprenorfin :
- Siapa saja yang diketahui hipersensitif dan/ atau mengalami efek samping
berat dari paparan buprenorfin sebelumnya tidak dapat diobati dengan

II.

buprenorfin. atau hepatik berat


- Pasien berusia kurang dari 18 tahun
- Alkoholisme akut atau delirium tremens
Perhatian khusus harus diberikan ketika menilai kesesuaian terapi buprenorfin
bagi siapa saja dengan kondisi klinis sebagai berikut :
- Berisiko tinggi menggunakan banyak obat. Semua terapi substitusi opioid
harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada individu yang menggunakan
obat-obat lainnya, khususnya obat sedatif seperti alkohol, benzodiazepin atau
anti-depresi. Penekanan khusus harus diberikan untuk menilai tingkat
neuuroadaptasi terhadap opiod, pada keadaan yang menggunakan obat
-

sedatif lain secara terus-menerus daan risiko overdosis.


Kondisi medis penyerta.Buprenorfin adalah obat golongan opioda dan harus
berhati-hati dalam penggunaannya di situasi berikut ini :
Trauma kepala yang baru terjadi atau peningkatan tekanan intrakranial.
Fungsi pernafasan yang menurun . buprenorfin seperti opioda lain, harus
27 |

digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit saluran nafas


obstruktif kronik atau cor-pulmonale dan pada individu dengan cadangan
kapasitas pernafasan yang menurun secara substansial, mengalami depresi
pernafasan , hipoksia atau hiperkapnea. Pada pasien-pasien seperti ini,
bahkan dosis terapeutik yang biasanya aman dapat menurunkan refleks
pernafasan dan secara bersamaan meningkatkan resistansi saluran nafas
hingga ke tahap apnea.
Kondisi akut abdomen
Penyakit hati berat
Pasien dengan risiko khusus
- Kondisi psikiatrik penyerta
Terapi substitusi opioid tidak boleh dimulai pada pasien dengan psikosis
akut, depresi berat, atau kondisi psikiatrik lain yang sangat menurunkan

III.

kemampuan untuk memberi persetujuan setelah penjelasan.


- Perpindahan dari dosis rumatan metadon
Pedoman terapi rumatan , faktor-faktor untuk dipertimbangkan ketika memilih
farmakoterapi rumatan :
- Respons terhadap terapi , variasi individu dalam tingkat absorbsi,
-

metabolisme dan bersihan


Kejadian tidak diinginkan ( adverse event )
Hal-hal yang mempermudah pemberian terapi
Ringannya gejala putus zat dari terapi rumatan buprenorfin
Harapan pasien dan terapis terhadap hasil terapi
Kemampuan untuk berpindah dari terapi rumatan metadon
Dosis pertama buprenorfin harus diberikan paling sedikit 6 jam setelah
penggunaan heroin terakhir.

Tabel 5. Konversi dari Metadon dosis rendah ke Buprenorfin-Nalokson


Dosis Metadon terakhir

Dosis Buprenorfin-

Dosis Buprenorfin-

( oral, mg )

Nalokson hari ke-1 ( tablet

Nalokson hari ke 2 ( tablet

sublingual, mg )

sublingual, mg )

4
4
2

6-8
4-8
2-4

20-40
10-20
1-10
-

Stabilisasi : untuk mencapai stabilisasi dosis buprenorfin dilakukan evaluasi


pasien secara teratur untuk beberapa minggu pertama, meliputi dosis adekuat,

28 |

gejala putus zat, efek samping, penggunaan obat lannya. Peningkatan dosis
-

hanya dilakukan sesuai indikasi


Dosis rumatan buprenorfin harus dicapai dalam 1-2 minggu pertama terapi,
tergantung ada tidaknya penggunaan heroin atau NAPZA lainnya.

Berikut ini jadual evaluasi minimal yang direkomendasikan :


Hari pertama setelah pemberian awal Buprenorfin

untuk

mengidentifikasi awitan precipitated withdrawal syndrome dan kecukupan

dosis awal secara umum.


Setiap 2-4 hari hingga stabil.
Setiap minggu selama 4-6 minggu berikutnya
Setiap dua minggu selama 6-8 minggu berikutnya.
Setelah dilakukan evaluasi setiap bulan , meskipun dokter dapat
memperpanjang masa evaluasi hingga 3 bulan bagi pasien yang sangat

stabil.
Dosis rumatan : efektif menghasilkan penggurangan penggunaan heroin dan
meningkatkan retensi dalam terapi yang dicapai dengan dosis tinggi
buprenorfin dalam kisaran 12-24mg per hari. Dosis harian buprenorfin

maksimum yang direkomendasikan adalah 32mg.


Kenyamanan pemberian obat dengan frekuensi yang dikurangi harus
dipertimbangkan bagi pasien yang memenuhi kondisi sebagai berikut :
Sekurang-kurangnya dua minggu dengan dosis buprenorfin yang sama
Bukan tergolong high risk drug use ( yang dimaksud dengan high risk
drug use adalah sering menyalahgunakan alkohol, benzodiazepin, heroin
atau opioid lain, sering berobat untuk detoksifikasi atau riwayat overdosis

baru )
Ada jaminan dari keluarga uuntuk menjaga kepatuhan pada rejimen

berobat.
Take home dosage : tidak diperbolehkan memberikan obat dengan cara take-

home dalam terapi satu bulan pertama


Pada bulan kedua , dokter bersertifikat diperbolehkan untuk memberikan
obat take-home dalam keadaan khusus hingga dua kali seminggu,

memungkinkan hingga 72 jam penggunaan obat tanpa pemantauan


Pada bulan ketiga dan seterusnya dapat diberikan dosis take-home
buprenorfin maksimal untuk satu minggu. Jika tidak terdapat pelayanan
buprenorfin, pasien diperkenankan untuk membawa dosis buprenorfin sesuai
dengan kebutuhannya sebanyak maksimal kebutuhan 1 bulan

29 |

Intervensi psikososial : Terapi buprenorfin bukan merupakan terapi tunggal


untuk

ketergantungan

psikososial.Pendekatan

heroin.
konseling,

Tetap
seperti

diperlukan
motivational

intervensi
interviewing,

pencegahan relaps dan pelatihan ketrampilan sosial, terapi perilaku kognitif


(CBT), banyak digunakan dan cukup efektif. Keterlibatan keluarga (Family
Support Group/FSG) sangat membantu kepatuhan pasien untuk mengikuti
-

program terapi.
Missed Dose Pada pasien dengan rejimen berselang sehari atau tiga
kaliseminggu kadang-kadang terjadi satu kali pemberian obat terlewat. Jika
pasien tersebut datang ke terapis pada hari berikutnya (bukan hari pemberian
obat), maka diberikan buprenorfin dengan dosis yang lebih rendah untuk

membantu kesulitan pasien hingga jadwal pemberian obat berikutnya.


Pasien yang berulang kali tidak mematuhi jadwal pemberian obat harus
memulai kembali prosedur terapi dari awal termasuk informed consent yang

baru.
Terapi

withdrawal

heroin

Sebagaimana

penggunaan

obat-obatan

(farmakoterapi) pelaksanaan pelayanan putus zat berkaitan dengan : asesmen,


penyesuaian terapi dengan kebutuhan pasien, rencana tindakan detoksifikasi,
-

dan dukungan psikososial.


Pasien membutuhkan informasi sehubungan dengan : dasar dan durasi gejalagejala putus zat, strategi untuk berhasil dengan gejala dan kecanduan, strategi

untuk menghilangkan situasi dengan risiko tinggi, dan peran terapi.


Pemberian obat dengan cara take-home dosage tidak direkomendasikan

selama periode terapi detoksifikasi.


Durasi terapi dengan buprenorfin

penatalaksanaan putus heroin adalah 4 8 hari.


Kejadian tidak diinginkan (adverse Events) terapi buprenorfin.Efek samping

yang

direkomendasikan

untuk

buprenorfin secara kualitatif mirip dengan opioida lain yang digunakan


-

dalam terapi rumatan, tetapi dengan gejala yang lebih ringan.


Dimana terjadi penyimpangan penggunaan buprenorfin, pasien harus
diperingati bahwa mereka mungkin harus transfer dari terapi buprenorfin ke

terapi metadon, yang lebih mudah untuk diawasi.


Penulisan resep, pemberian dan pendistribusian buprenorfin.Penulisan resep
untuk buprenorfin harus dalam formulir resep standar. Resep yang sah harus
menjelaskan hal yang berikut ini: Nama dan alamat dari dokter yang
meresepkan yang telah mendapatkan ijin untuk meresepkan. Nama dan
30 |

umur pasien Tanggal peresepan Sediaan obat yang akan diresepkan (tablet
sublingual buprenorfin) Dosis buprenorfin yang diberikan dalam mg
(katakata dan angka) Jadwal pemberian obat yang berbeda harus dituliskan
secara terpisah (sebagai contoh : dosis 24-jam, dosis 2-hari atau 3-hari),
sebutkan secara rinci nama hari di-mana pasien akan diberikan obat. Tanggal
memulai resep dan berakhirnya resep. Resep tidak boleh diulang (ne
-

iterater)
Penulisan resep buprenorfin hanya boleh dilakukan oleh dokter yang telah
memiliki sertifikat yang diakreditasi oleh Perhimpunan Dokter Seminat
Kedokteran Adiksi Indonesia (The Indonesian Society of Addiction
Medicine/INDOSAM) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa
Indonesia (PDSKJI).

Tabel 7. Pedoman pemberian dan penyesuaian dosis Buprenorfin-Nalokson


Menurunkan dosis

Mempertahankan dosis

Meningkatkan dosis

Buprenorfin-Nalokson
Gejala
intoksikasi

Buprenorfin-Nalokson
Tidak ada gejala putus atau

Burenorfin-Nalokson
Peningkatan gejala putus

Buprenorfin-Nalokson

intoksikasi

Buprenorfin-Nalokson

Nalokson

contohnya

khususnya

pada

sedasi

Buprenorfin-

setelah 24 jam, sebelum

efek

jadwal

puncak 1-4 jam setelah

pemberian

obat

berikutnya

pemberian Buprenorfin
Nalokson )
Tidak ada gejala intoksikasi
Buprenorfin-Nalokson
khususnya pada waktu efek
puncak
Craving

yang

ringan

1-4

jam

pemberian obat )
Craving berat

setelah
terhadap

terhadap opioid atau napza

opioid dalam 24 jam atau

lain

memakai

opioid

untuk

mengalihkan gejala putus


Efek samping yang berat

Tidak ada efek samping

Buprenorfin- Nalokson
Tidak ada efek samping atau

atau tidak dapat ditoleransi

atau

ringa dan dapat ditoleransi

ringan

dan

dapat

31 |

ditoleransi

Daftar Pustaka
1. Gunawan SG, Setiabudi R, Nafrialdi, E. Farmakologi dan terapi. Ed 5. Jakarta: Balai
penerbit FKUI; 2008.
2. Suwarso. Manajemen Laboratoris Penyalahgunaan Obat dan Komplikasinya. 2002,
Cermin Dunia Kedokteran No. 135.
3. Brunton LL., Lazo JS., Parker KL. The pharmacological basic of therapeutics. 11th ed.
United States of America: McGraw-Hill; 2008.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Penetapan Rumah Sakit dan Satelit Uji
Coba Pelayanan Terapi Rumatan Metadon serta Pedoman Program Terapi Rumatan
Metadon, Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2006.
5. Ebert M, Loosen P, Nurcomber B. Current Diagnosis and Treatment in Psychiatry.
Philadelphia : McGraw Hill, 2005.
6. Leavitt SB. Methadone dosing and safety in the treatment of opioid addiction. 2002.
Addiction Treatment Forum.
7. Husin, Al Bachri. 2002. Penatalaksanaan Terapi Medik Ketergantungan Opioida.
Jakarta, Indonesia.
8. Nicholas L.Clinical guidelines for the use of buprenorphine in the treatment of opioid
addiction.US Department of Health and Human Services.Centre for substance abuse
treatment.Rockville.2004.
9. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology. 10th ed. United States of America:
Lange medical publications; 2007.
10. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Jakarta : FKUI ; 2013.
11. Pedoman klinis penatalaksanaan ketergantungan opioid dengan buprenorfin-nalokson.
Perhimpunan dokter seminar kedokteran adiksi Indonesia, Perhimpunan dokter SpKJ
Indonesia. Editor : Bachri AH, Dewiyana A; 2013.

32 |

Vous aimerez peut-être aussi