Vous êtes sur la page 1sur 18

Referat

Tonsilitis Kronis

Disusun Oleh:
Jasreena Kaur Sandal
11-2013-165
Pembimbing:
dr.Nurlina Sp THT-KL

Kepaniteraan Klinik Telinga, Hidung, dan Tenggorokan RSUD Ciawi Bogor


Periode 18 Mei 2015 21 Juni 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta

PENDAHULUAN
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga
mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila
pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlachs tonsil). Peradangan
pada tonsila palatine biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi
melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama
pada anak.
Tonsilitis kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari daerah oral
dan ditemukan terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena peradangan kronis pada
tonsil. Data dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran
infeksi berulang dan obstruksi saluran napas bagian atas karena peningkatan volume tonsil.
Kondisi ini mungkin memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti
demam berulang, odynophagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan
submandibula.
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari
rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan
pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.

TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila faringeal (adenoid), tonsil
palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan.
Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak,
adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa
pubertas. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak didalam fossa tonsil. Pada
kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong pharynx
yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.1

Gambar 1. Cincin Waldeyer


Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga mulut. Di
depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus
faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka
ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel
skuamosa yang juga meliputi kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit,
epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia
pharynx yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot pharynx,
sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada
massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista duktus tiroglosus.1
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak pada
dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan
permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannnya tampak berlubanglubang kecil yang berjalan ke dalam cryptae tonsillares yang berjumlah 6-20 kripte. Pada bagian
atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral
tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut capsula tonsilla palatina, terletak
berdekatan dengan tonsilla lingualis.1,2
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah:
1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. konstrictor faryngis superior oleh jaringan
areolar longgar. A. karotis interna terletan 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsil.

Gambar 2. Struktur pada Orofaring.

1.1 Vaskularisasi
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri
maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden;
2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan
cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior
diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara
kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri
faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil,
vena lidah dan pleksus faringea.2
1.2 Inervasi Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.
1.3 Imunologi
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B
membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40%
dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal.

Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin
berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4
area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat
germinal pada folikel ilmfoid.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu pertama
menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan kedua sebagai organ utama
produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.1,3

2. Tonsilitis Kronik
2.1. Definisi
Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih dari 3 bulan, setelah
serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Terjadinya perubahan histologi
pada tonsil. Dan terdapatnya jaringan fibrotik yang menyelimuti mikroabses dan dikelilingi oleh
zona sel-sel radang.
Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang
tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan
hiperemi rigan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.3,4
2.2. Epidemiologi
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada anak-anak
muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies Streptococcus
biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih sering terjadi pada
anak-anak muda. Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan
penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam
suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada
usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45 tahun keatas. Menurut
penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah

kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % . Sedangkan Kisve pada penelitiannya
memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia
5-14 tahun.

Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT pada 7 provinsi (Indonesia) pada

tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis
akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan baru dengan
tonsillitis kronik mulai Juni 2008Mei 2009 sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan
jumlah kunjungan baru pada periode yang sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari seluruh
jumlah kunjungan baru.11

2.3 Etiologi
Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penelitian dari Commission on Acute
Respiration Disease yang bekerja sama dengan Surgeon General of the Army, dimana dari 169
kasus didapatkan 25 % disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus yang pada masa
penyembuhan tampak adanya kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita.
Kemudian 25 % disebabkan oleh Streptokokus lain yang tidak menunjukkan kenaikan titer
Sreptokokus antibodi dalam serum penderita dan sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus,
Hemofilus influensa.4
Ada pula yang menyebutkan etiologi terjadinya tonsilitis antara lain Streptokokus
hemolitikus Grup A, Hemofilus influenza, Streptokokus pneumonia, Stafilokokus (dengan
dehidrasi, antibiotika), dan Tuberkulosis (pada immunocompromise). Beberapa faktor
predisposisi timbulnya kejadian tonsilitis kronis, yaitu rangsangan kronis (rokok, makanan),
higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah),
alergi (iritasi kronis dari alergen), keadaan umum (gizi jelek, kelelahan fisik), pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat.
Adapun faktor predisposisi dari tonsillitis kronis antara lain rangsangan kronis seperti
rokok dan makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu

yang berubah-ubah), alergi (iritasi kronis dari alergen), keadaan umum (gizi jelek, kelelahan
fisik), dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.2,5

2.4 Patofisiologi
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu
waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil.
Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal
infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat
keadaan umum tubuh menurun. Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superkistal bereaksi
dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Karena proses
radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid diganti oleh
jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submadibularis.3,5

2.5 Faktor Predisposisi


Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik maupun
lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis Kronis. Pada
penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan secara
relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor
genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis.
Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:
1
2
3
4
5

Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan


Higiene mulut yang buruk
Pengaruh cuaca
Kelelahan fisik
Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat

2.6 Manifestasi Klinis

Pasien dengan tonsilitis kronis sering kali mengeluhkan adanya penghalang di tenggorokan,
terasa kering dan pernapasan berbau, rasa sakit terus menerus pada kerongkongan dan sakit
waktu menelan.
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil yang mungkin tampak :
1

Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar,
kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju.

Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti


terpendam di dalam tonsillar bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar dan
ditutupi eksudat yang purulen.

Gambar 3. Tonsilitis Kronis


Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
a. T0 (tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat).
b. T1 (<25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau

batas

medial

tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar anterior- uvula).


c. T2 (25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial
tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar anterior-uvula).
d. T3 (50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial
tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar anterior-uvula).

e. T4 (>75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial tonsil
melewati jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih).4,5,6

Gambar 4. Rasio Perbandingan Tonsil Dengan Orofaring


3

Diagnosis
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis secara

tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara menyeluruh untuk menyingkirkan
kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang dapat membingungkan diagnosis. Anamnesa
ini merupakan hal yang sangat penting, karena hampir 50 % diagnosa dapat ditegakkan dari
anamnesa saja.
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis berulang berupa
nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal ditenggorok, ada rasa
kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan, dan obstruksi pada saluran cerna
dan saluran napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala
konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat ditemukan
adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.

Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta

mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada
beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju/dempul amat banyak terlihat pada
kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat
lekukan dan seringkali dianggap sebagai kuburan dimana tepinya hiperemis dan sejumlah kecil
sekret purulen yang tipis terlihat pada kripta.
5

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis Kronis:


a

Mikrobiologi

Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman


patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme
patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang
inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Kuman
terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus aureus.
b

Histopatologi

Diagnosa tonsilitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan


tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugras
abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan
histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosa tonsilitis kronis.4
6 Diagnosa Banding
Diagnosa banding dari tonsilitis kronis adalah :

Penyakit-penyakit yang disertai dengan pembentukan pseudomembran yang menutupi


tonsil (tonsilitis membranosa)
a. Tonsilitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang terinfeksi

oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer
antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas.
Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan besar, umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin. Gejala
umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,
badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil
membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk
pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.
Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot pernapasan serta pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.
b. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulseromembranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema. Gejala pada penyakit ini
berupa demam sampai 30C, nyeri kepala, badan lemah, rasa nyeri dimulut, hipersalivasi, gigi
dan gusi mudah berdarah. Pada pemeriksaan tampak mukosa dan faring hiperemis, membran
putih keabuan diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau
(foetor ex ore) dan kelenjar submandibular membesar.
c. Mononukleosis infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral.Membran semu yang menutup ulkus
mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan
regio inguinal.Gambaran darah khas, yaitu terdapat leukosit mononukleosis dalam jumlah besar.
Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah
merah domba (Reaksi Paul Bunnel).
d.

Faringitis

Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi,
trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena
bakteri ini melepskan toksin ektraseluler yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan
katup jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya
kompleks antigen antibody. Gejala klinis secara umum pada faringitis berupa demam, nyeri
tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring
dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul
bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan nyeri
pada penekanan.
e. Faringitis Leutika
Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada
penyakit ini tampak adanya bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil, dan dinding
posterior faring. Bila infeksi terus berlangsung maka akan timbul ulkus pada daerah faring yang
tidak nyeri. Selain itu juga ditemukan adanya pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri
tekan.
f. Faringitis Tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik pada faringitis
tuberculosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena anoresia dan odinofagia. Pasien
mengeluh nyeri hebat ditenggorok, nyeri ditelinga atau otalgia serta pembesaran kelanjar limfa
servikal.5,6,7

Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar

atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi
yang kerap ditemui adalah sebagai berikut :
1. Komplikasi sekitar tonsila
a. Peritonsilitis. Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus
dan abses.
b. Abses Peritonsilar (Quinsy). Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil.
Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi,
menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.

c. Abses Parafaringeal. Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah
bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal,
adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.
d. Abses Retrofaring Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya
terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi
kelenjar limfe.
e. Kista Tonsil. Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan
fibrosa dan ini menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa
cekungan, biasanya kecil dan multipel.
f. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil). Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat
dalam jaringan tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur.
Komplikasi Organ jauh
a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik
b. Glomerulonefritis
c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
d. Psoriasiseritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
e. Artritis dan fibrositis.3,8

2.

Penatalaksanaan

Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat isap, pemberian
antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral. 1 Pemberian antibiotika
pada penderita Tonsilitis Kronis eksaserbasi akut Cephaleksin ditambah metronidazole,
klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam
klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis).
Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil (tonsilektomi).
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan tonsil. Tindakan ini
dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal
untuk meringankan gejala-gejala.

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.


Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring
yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan
prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi
diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama
adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi
sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada
keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan.
Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan
tonsilektomi.
Indikasi Absolut
a

Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat,


gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner

Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase

Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi

Indikasi Relatif
a

Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat

Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis

Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik -laktamase resisten

Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy), tonsilektomi dapat
dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.

Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan apakah


mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai kandidat. Dugaan
keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi.
Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut,
kebanyakan karena infeksi kronik. Akan tetapi semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama,
gejala dapat sangat sederhana seperti halitosis, debris kriptus dari tonsil (cryptic
tonsillitis) dan pada keadaan yang lebih berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga
dan nyeri atau rasa tidak enak di tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin
dapat berdasarkan terdapat dan beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien
seperti ini harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena gejala
tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak mengancam nyawa.6,8

Kontraindikasi relatif
a

Palatoschizis,

Radang akut, termasuk tonsilitis,

Poliomielitis epidemika,

Umur kurang dari 3 tahun. Tetapi umur disini masih menjadi perdebatan
mengenai kontraindikasi.

Kontraindikasi absolut
a

Diskariasis darah, leukemia, purpura, anemia aplastik, hemofilia,

Penyakit sistemis yang tidak terkontrol seperti diabetes melitus, penyakit


jantung, dan sebagainya.6

Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan

suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih nyaman.
Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai
arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan
dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita

mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga
dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius
seperti demam rematik atau pneumonia.8

DAFTAR PUSTAKA
1

Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: ECG,
1997. p263-340

Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu Kesehatan

Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4


Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy. In: The

Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58


Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In: Otolaryngology-Head and Neck

Surgery. p158-165
Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck

Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508


Jackson C, Jackson CL. Disease of the Nose, Throat and Ear, 2 Nd ed.. Philadelphia: WB

Saunders Co; 1959: 239-57.


Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala dan leher. Edisi ke 6. Jakarta; Balai Penerbitan
FKUI;2011.h.217-8.

Vous aimerez peut-être aussi