Vous êtes sur la page 1sur 35

PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA AKALASIA

ESOFAGUS
PENDAHULUAN
Penyakit Akalasia Esofagus merupakan kelainan idiopatik ringan yang
disebabkan oleh degenerasi neuron progressif dari plexus mienterikus
Auerbach. Defenisi asli akalasia

pertama kali dibuat oleh Tuan Thomas

Willis ketika dia menggunakan tulang untuk mendilatasi esofagus pasien


yang tidak mampu menelan oleh karena kegagalan sfingter bawah esofagus
untuk relaksasi. Merupakan gangguan motilitas primer esofagus yang paling
sering ditemukan. Patofisiologinya terjadi akibat hilangnya nervus inhibitori
selektif sehingga tidak mampu merangsang serat-serat otot halus pada
Lower

Esophagus

Sphincter

(LES).

Etiologi

akalasia

primer

tetap

kontroversial. Pemeriksaan secara histologi esofagus yang mengalami


akalasia menunjukkan

penurunan ganglion sel intramural yang mungkin

berubah secara sekunder akibat inflamasi dipicu oleh mekanisme autoimmun


atau proses degeneratif kronik dari nervus vagus perifer atau sentral. Lesi
primer juga dapat merupakan miopati berat sel-sel otot halus. Kejadian
bersifat familial dan berhubungan dengan antigen

HLA kelas dua

menunjukkan predisposisi genetik. Akalasia sekunder merupakan akibat dari


suatu kelainan penyakit (misal: Chagas). Dan pseudoakalasia biasanya
merupakan suatu keganasan (keganasan pada kardia lambung > 50% kasus)
.1,2,3,4,5

Pada negara berkembang insidens akalasia 1:100.000 penduduk.


Diantara penyakit esofagus yang lain, akalasia ditemukan 3,1%-20% kasus
dan kedua setelah gastroesofageal reflux (GER) sebagai gangguan
fungsional esofagus tersering yang membutuhkan terapi secara surgikal.

Khasnya, pasien ditemukan dengan disfagia lama dan progresif terhadap


makanan cair maupun padat. Biasanya terdapat regurgitasi makanan yang
tidak dicerna menyebabkan aspirasi dan infeksi traktus respiratorius
rekurrent. Nyeri retrosternal merupakan gejala utama dan mungkin berasal
dari GER. Paling sering akibat stagnasi makanan dan perkembangan bakteri
pada esofagus distal atau fermentasi dari sisa makanan. Penurunan berat
badan terlihat pada 68% pasien dan mungkin buruk. Pada negara yang telah
berkembang diagnosa secara manometrik diperoleh sebelum intervensi
terapeutik.1,3
Sejak diputuskannya penatalaksanaan dini akalasia pada abad ke-17, ahli
bedah telah membuat suatu kemajuan dalam mengobati penyakit ini dan
hasilnya menunjukkan peningkatan. Oleh karena etiologi akalasia tidak
diketahui, terapi ditujukan untuk menghilangkan disfagia dan mencegah
stasis yang mengakibatkan komplikasi dengan mengurangi resistensi yang
diakibatkan disfungsi LES sehingga kekuatan gravitasi cukup untuk
menghantarkan makanan ke lambung. Terapi medis, injeksi toxin botulinum
(Btox), dilatasi pneumatik dan operasi miotomi adalah modalitas yang saat ini
tersedia untuk mencapai tujuan ini.1
LAPORAN KASUS
Nama

: Ny. A.

Jenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 30 tahun

TB/BB

: 155 cm/38 kg

BMI

: 15,71

Diagnosis

: Akalasia Esofagus

Pembedahan

: Thoracotomy sinistra, esofagectomy pars thoracal

I. Pemeriksaan Perioperatif
2

I.1. Autoanamnesa :
Keluhan Utama : kesulitan menelan
Anamnesis terpimpin:
- Dialami sejak kurang lebih 5 bulan yang lalu, terutama makanan padat
- Setiap makan, makanan tersangkut di daerah dada, dan lama baru bisa
turun
- Riwayat nyeri ulu hati (+), rasa panas di daerah dada (+)
- Riwayat penurunan berat badan (+)
- Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya (-)
- Riwayat penyakit paru/asma (-)
- Riwayat penyakit jantung/vaskular (-)
- Riwayat penyakit SSP/CVD (-)
- Riwayat penyakit darah/gangguan pembekuan darah (-)
- Riwayat penyakit hati/gastrointestinal (-)
- Riwayat penyakit ginjal/urologi (-)
- Riwayat alergi makanan/obat (-)
- Riwayat minum obat-obatan/jamu (-)
- Riwayat merokok/minum alkohol (-)
- Riwayat minum obat-obatan saat ini (-)
I.2. Pemeriksaan Fisik
Ku

: Baik

GCS : 15 (E4M6V5)

TD

: 110/70 mmHg

HR : 76

:16 kpm

VAS

: 1/10

: 36,6C

Kepala/leher : anemis (-), sianosis (-), ikterus (-), buka mulut > 3 jari,
mallampati I, TMJ > 6,5 cm, massa tumor (-), deviasi
trakea (-)
Thoraks

: tampak simetris kiri = kanan, bunyi pernapasan


vesikuler, kiri = kanan, bunyi tambahan :Rh-/-, Wh-/3

Bunyi jantung I/II murni, reguler


Abdomen

: datar, ikut gerak napas kesan normal, hepar/lien tidak


teraba, peristaltik (+) kesan N

Extremitas

: Udem (-), fraktur (-)

I.3. Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan

Hasil interpretasi
Hb : 11,7 gr/dL

Kesimpulan

HCT : 32,1 %
Darah rutin

WBC : 7000/L
PLT : 269.000/L

Hb : 11,7 gr/dl

CT : 9' 15
BT : 1' 25
GDS : 98 mg/Dl
SGOT : 17 u/L
SGPT : 10 u/L
Kimia darah

Albumin : 4,9 gr/dL

Dalam batas normal

Ureum : 14 mg/dL
Kreatinin : 0,6 mg/dL
Na/K/Cl : 133 / 4,2 / 97
PT : 11,0 kontrol 13,2
Faal koagulasi

INR : 0,8

Dalam batas normal

aPTT : 30,5 kontrol 32

Tidak tampak
kelainan
radiologis
pada

foto

thoraks

Foto thoraks

Achalasia
esofagus
belum

dapat

disingkirkan

Gambar 1. Foto thoraks PA

Esofagografi

Pada
kontras

pemberian
barium

tampak filling kontras


pada esofagus yang
tampak

sangat

melebar

dengan

ujung

distal

menyempit

dengan

permukaan

rata,

membentuk
bayangan rat tail

Gambar 2. Esofagografi

Elektrokardiografi

WNL,

Sinus

Ritme,

78x/menit

HR

Dalam batas normal

I.4. Kesimpulan
Pasien termasuk kategori PS ASA klas II
I.5. Rencana Penatalaksanaan Anestesi
GETA kombinasi epidural thorakal
II.

Identifikasi Masalah
II.1. Masalah Medis
Hb 11,7
II.2. Masalah Bedah
6

-Perdarahan
-Pneumothoraks
-Kolaps paru
II.3. Masalah Anestesi
-Pengosongan lambung lambat
-Kolaps paru
-Perdarahan
-Nyeri paskabedah
III. Persiapan Preoperatif
-STATICS
-ETT double lumen
-Monitor
-Obat-obat anestesi
-ICU (ventilator)
IV. Intraoperatif
IV.1. Prosedur Pemasangan Epidural
- Pasien posisi supine dengan IV line 18 G terpasang di tangan
kiri
- Loading koloid 500 ml
- Preemptive analgesia: ketoroloc 30 mg IV
- Premedikasi dengan ranitidin 50 mg IV, metoklopramid 10 mg
IV, midazolam 2 mg IV, fentanyl 50 mcg IV
- Pasien posisi LLD (left lateral decubitus), identifikasi ruang
antara vertebra Th VI-VII
- Desinfeksi daerah insersi dan sekitarnya
- Skin wheal dengan lidokain 2 % 40 mg
- Insersi jarum Tuohy 18 G dengan pendekatan paramedian
approach, dengan teknik lost of resistence (LOR), darah (-),
LCS (-).

Jarum Tuohy epidural di kulit 4 cm, di ruang


7

epidural 4 cm.

Dilakukan insersi kateter epidural pada

marker 8 cm di kulit, kateter dalam ruang epidural 4 cm.


Tekanan negatif (+). Fiksasi kateter epidural.
- Test dose dengan lidokain 2% 60 mg + epinefrin 1: 200.000,
hasil tidak didapatkan takikardi dan hipertensi, serta blok
subarachnoid.

Gambar 3. Pemasangan epidural torakal

IV.2. Prosedur GETA dengan Rapid Sequence Induction


8

- Pasien posisi antitrendelenburg


- Dilakukan pemasangan nasogastric tube (NGT) lalu dialirkan
- Premedikasi dengan fentanyl 50 mcg IV
- Induksi dengan propofol 80 mg IV, sellick manuver, O2 dengan
facemask 8 lpm, tanpa dilakukan ventilasi positif, pelumpuh otot
rocuronium 20 mg IV
- Intubasi dengan ETT

left double lumen 37, kembangkan cuff

trakea dan cuff bronkial.

Klem cabang bronkial maka bunyi

pernapasan (BP) sebelah kiri (-), klem cabang trakeal maka BP


sebelah kanan (-) selanjutnya cuff bronkial dikempiskan. Fiksasi
ETT pada sudut bibir kanan.
- Maintanance anestesi:

O2 4 lpm

Isofluran 0,3-0,5 vol %

Fentanyl 20 mcg tiap 30 menit

Pelumpuh otot rocuronium 10 mg tiap 30 menit

Initial dose epidural marcain 0,25% + fentanyl 2 mcg/cc


sebanyak 9,6 ml via kateter epidural

- Pernapasan

spontan,

adekuat,

hemodinamik

stabil,

pasien

diekstubasi saat sadar baik.

Gambar 4. Pasien terpasang double lumen tube left sided dan diklem pada
sisi kiri untuk mengempiskan paru sebelah kiri.

Intraoperasi dilakukan (posisi pasien LLD):


Insisi intercostal (ICS) VI, perdalam sampai membuka
hemitoraks S/
Paru kiri dikempiskan, bebaskan pengikat paru kiri
Buka pleura parietal, identifikasi esofagus yang berisi
maag slang
Dilakukan miomectomy heller
Pasang selang WSD (water sailed drainage), paru
dikembangkan
Hemodinamik intraoperatif stabil.

10

V. Perawatan Postoperatif
Hari
0

Subyektif,Obyektif,
Assesment
S : Pasca bedah

Planning
-

Keterangan

Posisi head up 30

11/1/

O: Sistem respirasi : Nafas

awasi

2011

spontan,

balance cairan
O2 via NRM 8-10 lpm
IVFD : Rl 14 tpm
Cefotaxime 1 gr /12

Vesikuler

+/+,

rhonki -/-, wheezing -/-,


SpO2 99-100%
Sistem kardiovaskuler :

tanda

vital,

jam/i.v
11

TD : 110-130/60-80 mmHg

Omeprazole

mg/24 jam/i.v
Kontrol

HR : 60-80 x/menit
Suhu : 36,5 C
CNS

isokor

GCS
3/3

15,

mm,

nyeri

paskabedah : Markain

pupil

0,125 % + fentanyl 2

refleks

cahaya +/+,

40

UT :Urin 50 cc/jam

mcg/ml (3 ml/jam sp)


Periksa DR, GDS,
elektrolit

GIT : Bising usus (+) kesan


normal
Ekstremitas : Edema (-),
fraktur (-)
A :

Penyakit Achalasia

Esofagus
1

postoperasi

Myotomy Heller
S : Pasca bedah

Posisi head up 300, Hb : 11,7

12/1/

O: Sistem respirasi : Nafas

awasi

2011

spontan,

balance cairan
02 via nasal cannule 3

Vesikuler

+/+,

rhonki -/-, wheezing -/-,


SpO2 99-100%
Sistem kardiovaskuler :

Suhu : 36,7 C
CNS: GCS : 15, pupil
isokor, 3/3 mm, refleks
cahaya +/+
UT : Urin 60 cc/jam

vital,

Hct : 34,5
WBC

lpm
11.500
IVFD: Rl 14 tpm
Cefotaxime 1 gr /12
Plt : 333.000
jam/i.v (hari ke-2)
Omeprazole 40 mg/ GDS : 96

24 jam/ i.v
Kontrol

TD : 110/70 mmHg
HR :60-70 x/menit

tanda

nyeri Na : 142

paskabedah: markain
0,125 % + fentanyl 2
mcg/ml (2 ml/jam sp)

K : 3,5
Cl : 94

GIT : Bising usus (+) kesan


normal
12

Ekstremitas : Edema (-),


fraktur (-)
A

Penyakit

Esofagus

Akalasia

postoperasi

Miotomy Heller
S : Keadaan umum baik

Posisi head up 300,

13/1/

O : Sistem respirasi :

awasi

2011

Nafas spontan, Vesikuler,


-

balance cairan
O2 via nasal cannule

3 lpm
IVFD: Rl 14 tpm
Cefotaxime 1 gr /12

jam/i.v
Omeprazole

24 jam/ i.v
Kontrol

rhonki-/-, wheezing -/-

SpO2 99%
Sistem kardiovaskuler :
TD : 120/80 mmHg
HR : 70-80 x/menit
Suhu : 36,7 C
CNS : GCS : 15, pupil
isokor, 3/3 mm, refleks
cahaya +/+

GIT : Bising usus (+) kesan normal


Ekstremitas : Edema (-),

vital,

40 mg/
nyeri

paskabedah: markain
0,125 % + fentanyl 2
mcg/ml

UT : Urin 50 cc/jam

tanda

(1,5

ml/jam

sp)
Diet bubur via sonde
Pindah
perawatan
bedah digestif

fraktur (-)
A

Penyakit

Esofagus

Akalasia

postoperasi

Miotomy Heller
DISKUSI
Sebagian besar studi yang mengevaluasi epidemiologi akalasia adalah
retrospektive. Studi mengenai insidens dan prevalensi akalasia kebanyakan
13

berasal dari United Kingdom, tapi ada juga beberapa studi dari populasi
berbeda seperti dari Eropa Utara, Israel, New Zaeland, United States, dan
Zimbabwe. Studi ini menunjukkan bahwa insidens akalasia berkisar 1 dalam
100.000 individu dan prevalensinya 10 dalam 100.000. Tidak ada gender
yang dominan dan penyakit ini dapat terjadi pada berbagai usia, meskipun
diagnosa sebelum dekade kedua jarang dan insidens semakin meningkat
dengan umur, dengan insidens tertinggi pada dekade ketujuh dan puncak
insidens pada usia 20-40 tahun.

2,3,4

Normalnya, makanan yang masuk ke esofagus menuju ke lambung


melalui koordinasi gerakan peristaltik dan relaksasi LES yang tergantung dari
rangsangan eksitatori maupun inhibitori plexus neural enterik dan inervasi
ekstrinsik nervus vagus. Akalasia adalah akibat dari terganggunya fungsi
normal ini. Melalui analisis histologik spesimen miotomi dan esofagektomi
pasien dengan akalasia primer, telah ditunjukkan bahwa disfungsi berasal
dari degenerasi sel-sel ganglion pada plexus mienterikus esofagus dan LES.
Teknik immunohistokimia membuktikan bahwa hilangnya sel-sel ganglion
seringkali dihubungkan dengan infiltrasi inflamasi limfosit sehingga makin
membuktikan bahwa etiologinya adalah

autoimmun, viral immune, atau

neurodegenerative.2,6
Kebanyakan pasien dengan akalasia

menunjukkan gejala-gejala

disfagia esofagus (sampai 90% pasien), makanan padat maupun cair, beda
dengan gangguan anatomi pada esofagus. Gejala-gejala lain termasuk nyeri
dada, rasa terbakar di daerah dada, regurgitasi, dan kehilangan berat badan,
semuanya terjadi pada sekitar 60% pasien. Pasien dengan akalasia dapat
juga menunjukkan gejala yang lebih menonjol seiring dengan perjalanannya.
Gejalanya dapat termasuk terlambat makan dan menolak melakukan
kegiatan sosial yang berhubungan dengan makanan. Pasien dengan akalasia
dapat juga bergejala rasa terbakar di daerah dada akibat fermentasi bakteri
produk-produk makanan dalam esofagus yang kemudian mengalami proses
14

asam. Hasilnya, gejala refluks yang tidak berespon terhadap terapi refluks,
dapat dianggap sebagai akalasia.

Diagnosa penyakit Akalasia umumnya membutuhkan setidaknya dua,


dan bahkan 3, modalitas untuk diagnosis. Barium esophagogram seringkali
sebagai pemeriksaan pertama pasien dengan disfagia. Pada pasien Akalasia
dengan gejala-gejala yang berat, khas didapatkan esofagus yang berdilatasi,
peristaltik tidak ada, dan menyempitnya bagian distal esofagus menyerupai
bentuk paruh burung tetapi gambaran radiologi akalasia dapat bervariasi.
Derajat dan beratnya gambaran yang ditemukan pada esophagram seringkali
tidak berkorelasi dengan derajat gejala yang dialami penderita akalasia, tapi
sedikitnya satu dari gambaran ini ditemukan secara nyata pada semua kasus
akalasia.

Evaluasi

endoskopik

pada

esofagus

dan

lambung

direkomendasikan pada setiap pasien dengan akalasia untuk memastikan


bahwa tidak ada proses malignansi sebagai penyebab penyakit atau
karsinoma sel skuamous esofagus yang menyebabkan komplikasi akalasia.
Pada endoskopi, esofagus yang berdilatasi dengan LES yang sempit, dengan
tekanan yang lembut akan terbuka menyerupai sensasi pops, sebagai
akibat

tertahannya

makanan

dan

air

liur.

Akan

tetapi,

normal

esofagogastroduodenoskopi seharusnya tidak membuat klinisi menyingkirkan


diagnosis akalasia, oleh karena hingga 40% pasien dengan akalasia akan
memiliki endoskopi normal. Manometri esofagus diakui sebagai gold standar
untuk mendiagnosis akalasia. Secara manometrik, akalasia klasik ditentukan
dengan tidak adanya peristaltik

pada esofagus, tekanan yang meningkat

pada LES (tekanan pada saat istirahat > 45 mmHg) dan kurangnya relaksasi
pada LES, dengan sisa tekanan >8 mmHg.

Akan tetapi, kurang dapat

dimengerti bahwa kurang lebih 50% pasien yang telah didagnosis akalasia
tidak ditemukan tekanan yang meningkat pada LES, meskipun untuk
mendiagnosis tidak diperlukan aperistaltik dan kurangnya relaksasi pada
LES.2,5
15

Penatalaksanaan penyakit Akalasia difokuskan terhadap relaksasi atau


gangguan mekanik pada LES. Sejumlah obat-obatan telah digunakan untuk
terapi akalasia termasuk nitrat, calcium channel blockers, dan donor nitric
oxida (sildenalfil) yang memudahkan relaksasi pada LES dan meningkatkan
peristaltik esofagus.

Sangat disayangkan,

efek samping yang tidak

diinginkan dan efektivitas obat ini masih kurang sehingga dihindari


penggunaan obat ini untuk akalasia. Injeksi

toxin botulinum

secara

endoskopik pada LES menghambat pelepasan asetilkolin dari ujung-ujung


serabut saraf sehingga terjadilah relaksasi otot. Penyuntikan toxin botulinum
pada LES merupakan strategi yang menarik, aman, mudah dilakukan, murah
dan efektif. Didapatkan beberapa bukti bahwa injeksi toxin botulinum pada
LES

berhubungan

dengan

esophagomiotomi nantinya.

meningkatnya

kesulitan

prosedur

Dengan alasan ini, beberapa klinisi hanya

menggunakan toxin botulinum terhadap pasien-pasien dengan umur ekstrim


atau pasien dengan komorbid berat sehingga tidak bisa dilakukan tindakan
pneumatic ballon dilatation atau esophagomiotomi oleh karena resiko tinggi.
Esophagomiotomi atau miotomy heller membagi LES dari serosa sampai
mukosa, sehingga secara komplit merusak lapisan-lapisan otot. Insisi
longitudinal

dimulai

pada

sisi

gaster

kurang

lebih

cm

distal

gastroesophageal junction dan diperluas ke proximal 7 cm di atas junction.


Sejak 20 tahun yang lalu, prosedur ini telah terbukti aman dan sukses
dilakukan secara laparoskopik. Studi jangka panjang menunjukkan bahwa
pembedahan miotomi dapat menghilangkan gejala-gejala simptomatik pada
80 sampai 85 persen pasien yang diikuti selama 10 tahun.

Terbukti

menyebabkan komplikasi menjadi lebih sedikit dan lama tinggal di rumah


sakit menjadi lebih singkat. Miotomy Heller tidak efektif dalam setiap kasus,
dan pada beberapa pasien dilakukan operasi ulang atau esophagectomi.
Petunjuk terbaik pasien yang membutuhkan intervensi ekstra setelah
miotomy Heller adalah diameter esofagus yang berdilatasi > 6 cm sebelum
16

operasi, yang disebut juga megaesophagus. Hampir 50% pasien yang telah
dilakukan modifikasi miotomy Heller berkembang menjadi penyakit refluks
gastroesophageal, dengan

erosive esophagitis, striktur, dan Barrets

Esophagus. 1,2,5
MANAJEMEN PREOPERATIF
Pembedahan toraks memberikan problem fisiologis yang unik bagi
anesthesiologist

sehingga membutuhkan perhatian khusus. Perubahan

fisiologis terjadi akibat posisi pasien dengan satu sisi di bawah (posisi lateral
decubitus), torakotomi (open pneumothoraks), dan seringkali membutuhkan
one-lung ventilation(OLV). Manajemen anestesi pada pasien dengan penyakit
Akalasia Esofagus diawali dengan melakukan penilaian preoperatif.

Dari

hasil anamnesa pada pasien ini kami temukan gejala kesulitan menelan
terutama makanan padat disertai rasa nyeri dan tidak nyaman di daerah ulu
hati.

Kumpulan gejala pada pasien ini sering kita sebut sebagai

gastroesofageal reflux disease (GERD). Di mana perlunya perhatian khusus


pada manajemen perioperatifnya. Pasien ini memiliki kelemahan LES dan
memiliki resiko terjadinya regurgitasi ke arah pharinks dan dapat juga ke
dalam trakea dan paru-paru, terutama ketika pasien tidur terlentang dan
refleks proteksi jalan napasnya dipengaruhi oleh obat-obatan sedatif, opiod,
atau anestesi umum. Di mana biasanya clear liquid membutuhkan puasa
selama dua jam dan makanan padat selama enam jam, beberapa dari pasien
ini bisa saja terjadi perlambatan pengosongan lambung akibat dari
penyakitnya sehingga memerlukan puasa yang lebih lama. 7,8,9
Kondisi paru pada pasien ini harus dinilai dengan hati-hati, melalui
pemeriksaan fisis toraks, foto toraks, dan analisa gas darah (AGD). Dari
pemeriksaan fisis dan rontgen toraks tidak ditemukan kelainan. AGD tidak
kami lakukan karena keterbatasan fasilitas di rumah sakit itu, dengan
pertimbangan klinis dan foto toraks normal.

Pasien tidak menunjukkan


17

adanya gangguan oksigenasi dan ventilasi.


mempengaruhi sistem respirasi.

Obat-obat anestesi sangat

Gas inhalasi, opioid, dan benzodiazepin

adalah obat-obat yang dapat mendepresi napas dan dapat mempengaruhi


selama paskabedah. Induksi anestesi dapat mengurangi functional residual
capacity (FRC) hingga 20%.

Operasi torakotomi sangat mempengaruhi

pergerakan dari diafragma yang dapat mengurangi vital capacity (VC),


ditambah lagi operasi di daerah ini memiliki tingkat nyeri yang berat.
Berkurangnya volume paru, pernapasan yang dangkal, dan ketidakmampuan
untuk batuk dapat menyebabkan retensi sputum dan berpotensi untuk infeksi
serta dapat memperburuk fungsi paru paskabedah bila nyeri tidak tertangani
dengan baik. Pada pasien ini kami rencanakan untuk memasang kateter
epidural sehingga dapat digunakan sebagai kontrol nyeri intraoperatif dan
paskabedah.9,10
Pemeriksaan laboratorium dasar yang sebaiknya dilakukan preoperatif
meliputi hitung darah lengkap dan fungsi pembekuan. Sebagai tambahan,
pemeriksaan elektrolit, kimia darah, dan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin)
serta EKG sebaiknya dilakukan.
MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Pada pasien ini kami rencanakan teknik anestesi GETA dengan Rapid
Sequence Induction menggunakan ETT double lumen dikombinasikan
dengan anestesi epidural torakal.

Thoracal epidural anaesthesia (TEA)

dengan anestesi lokal selama OLV mulai sering dikombinasikan dengan GA


(general anesthesia) pada pembedahan thoraks. Kombinasi TEA dengan GA
akan memaksimalkan kelebihan masing-masing jenis anestesi. Selanjutnya
anestesi epidural dan postoperative analgesia epidural dapat memberikan
prognosis yang lebih baik pada pasien resiko tinggi. Teknik kombinasi ini
menyebabkan fungsi-fungsi kembali lebih cepat dengan lebih menggunakan
anestesi regional, dan mengurangi pemakaian anestesi umum. Fungsi usus
18

akan kembali lebih cepat postoperasi dengan epidural torakal dan anestesi
lokal dan dengan berkurangnya pemakaian opioid. Keuntungan lain adalah
ekstubasi trakea menjadi lebih cepat, dan analgesia postoperasi yang sangat
baik. Postlateral torakotomi telah diketahui sebagai salah satu prosedur
operasi yang paling nyeri. Kontrol nyeri yang tidak adekuat, biasanya, dapat
menyebabkan komplikasi paru postoperasi, seperti plugging mukus, hipoksia,
atelektasis, dan infeksi paru. Ini terjadi akibat terbatasnya pergerakan dinding
dada dan napas yang melambat terutama pada pasien gemuk, tua, riwayat
merokok, dan riwayat infeksi paru.
Adapun

pengaruh

10,11

anestesi

epidural

terhadap

faktor-faktor

pembedahan:
a. Ileus :

perkembangan ileus paskabedah sangat multifaktorial dan

berhubungan

dengan

respon

penggunaan opioid sistemik.


innervasi

parasimpatis

nyeri,

gangguan

elektrolit,

dan

Keseimbangan yang terjadi antara

yang

meningkatkan

motilitas

penghambatan simpatis yang berfungsi sebagai pengatur.

dan

Selama

epidural anestesi, stimulasi simpatis dapat diblok pada level


torakolumbal, sementara tonus parasimpatis yang didominasi oleh
nervus vagus tidak terpengaruh sehingga motilitas usus meningkat
dan dapat mengurangi komplikasi ileus paskabedah. Sebuah tinjauan
dari Cochrane menyimpulkan bahwa penggunaan epidural mampu
mengurangi ileus paskabedah dalam 36 jam. Penelitian lebih lanjut
telah menunjukkan bahwa epidural torakal lebih superior dibanding
lumbal dalam mengurangi kejadian ileus.
b. Kebocoran anastomose : ada beberapa pendapat yang menyarankan
bahwa anestesi epidural dapat berfungsi sebagai pelindung terhadap
kerusakan anastomose atau kebocoran. Blok simpatis meningkatkan
aliran darah splanknik yang mampu meningkatkan penyembuhan pada
daerah anastomose.
19

c. Penyembuhan luka : oksigenasi yang tidak begitu baik pada luka


dapat mencetuskan adanya infeksi pada luka. Anestesi epidural dapat
menyebabkan vasodilatasi dan blok respon simpatis.
d. Stress respon : stress respon terhadap pembedahan merupakan
respon

neurohumoral

yang

multifaktorial

berhubungan

dengan

morbiditas seperti Systemic Inflammatory Response Syndrome


(SIRS). Stress respon tersebut dapat ditekan oleh epidural. 11,12

Gambar 6. Kombinasi anestesi umum dengan anestesi epidural dapat


mengurangi konsumsi gas selama operasi

Epidural torakal secara teknik lebih sulit dibandingkan lumbal oleh


karena sudutnya lebih tajam dan processus spinosus vertebra pada level ini
saling overlap. Potensi terjadinya trauma medulla spinalis juga lebih besar
akibat ketidakhati-hatian terjadi punksi dura, meskipun dengan teknik yang
bagus, resikonya lebih besar daripada pada level lumbal. Akan tetapi
komplikasi blok epidural torakal, relatif jarang. Dari 4185 pasien, yang telah
mendapatkan blok epidural torakal, insidens komplikasi keseluruhan adalah
3.1%.

Ini termasuk kegagalan menempatkan kateter (1,1%), pungsi dura


20

(0,7%), nyeri radikular postoperasi (0,2 %), lesi pada nervus perifer (0,2%).
Tidak ditemukan epidural hematoma atau abses. Blok epidural torakal dapat
dilakukan dengan teknik median ataupun paramedian. Epidural torakal
kebanyakan

digunakan

sebagai

analgesia

intra

dan

postoperative.

Kekurangan teknik ini termasuk : waktu yang dibutuhkan untuk epidural


anesthesia, pemberian cairan intravena untuk mencegah hipotensi, dan
komplikasi epidural, yaitu epidural hematoma.

7,11

Pemberian premedikasi berupa gastric acid reducer termasuk proton


pump inhibitor dan H2 blocker, serta metoklopramide sangat penting oleh
karena predisposisi terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal pada periode
perioperative. Esofagus yang dilatasi harus dikosongkan dan dikompressi.
Oleh karena itu puasa harus lebih lama. Terbukti efektif: menempatkan
nasoesofageal tube pada esofagus yang berdilatasi kemudian dilakukan
awake suctioning. Teknik anestesi untuk mengurangi resiko aspirasi saat
induksi harus dikuasai dengan baik. Induksi harus dilakukan dengan teknik
Rapid Sequence Induction dengan penekanan pada cricoid dan posisi pasien
semiupright. 7,9,14

21

Gambar 7. Perbedaan antara insersi jarum epidural pada level lumbal dan
torakal. Prosessus spinosus pada level torakal lebih membentuk
sudut dibandingkan dengan level lumbal sehingga insersi jarum
epidural harus lebih diarahkan ke cephalad .

(Dikutip dari :

Morgan G.E., Anesthesia for thoracic surgery, Dalam Morgan G.E.


(ed), Clinical Anesthesiology, Edisi ke-3, Lange Medical Books, New
York, 2002; 585-610.)

22

Tabel 4.5.1. Tempat insersi jarum epidural yang direkomendasikan.


(Dikutip dari Morgan G.E., Anesthesia for thoracic surgery, Dalam Morgan
G.E. (ed), Clinical Anesthesiology, Edisi ke-3, Lange Medical Books, New
York, 2002;585-610.)
Tempat operasi

Dermatom yang diblok

Insersi

Bahu

C4-T2

T1-T2

Tangan

C5-T2

T1-T2

Operasi jantung

T1-T8

T3-T4

Toraks

T2-T10

T6-T7

Abdomen Supraumbilikal

T6-T10

T8-9

T9-L1

T11-12

Abdomen Infraumbilikal

Rapid Sequence Induction (RSI)


Anestesi umum berhubungan dengan hilangnya refleks proteksi jalan
napas bagian atas.

Oleh karena itu pasien yang mengalami regurgitasi

memiliki resiko aspirasi akibat regurgitasi selama prosedur anestesi umum.


Aspirasi dapat muncul kapan saja, utamanya muncul sebelum induksi,
selama induksi sebelum laringoskopi, selama ventilasi, saat laringoskopi, dan
selama ekstubasi trakeal.9
RSI adalah sebuah metode saat melakukan induksi anestesi pada
pasien yang memiliki resiko aspirasi dari isi lambung ke dalam paru-paru.
Hilangnya kesadaran diikuti dengan melakukan penekanan pada os cricoid
(cricoid pressure) dilanjutkan intubasi tanpa melakukan ventilasi posiitif
sebelumnya.

Tujuan utamanya adalah melakukan intubasi trakea dalam

waktu singkat dan aman.

Teknik ini umum digunakan saat operasi


23

emergensi.9,14
Setelah dikenalkan oleh seorang bernama Barry Sellick pada tahun
1961, cricoid pressure menjadi teknik pilihan untuk mencegah regurgitasi dan
telah menggantikan metode sebelumnya yaitu menempatkan pasien pada
posisi head up 400.

Oklusi dilakukan pada esofagus dengan melakukan

ekstensi pada leher dan melakukan tekanan pada kartillago krikoid untuk
menyempitkan

lumen

esofagus.

Ekstensi

dari

kepala

dan

leher

meningkatkan konveksitas anterior dari tulang servikal, meregangkan


esofagus, dan mencegah pergerakan ke arah lateral dari esofagus. Tekanan
sekitar 20 N (2 kg) dilakukan oleh asisten dengan menggunakan ibu jari dan
jari telunjuk pada kedua sisi kartilago krikoid.
setelah intubasi dan mengembangkan cuff.

Dan tetap dipertahankan

9,14,15

Gambar 8. Teknik Sellick Manouver atau cricoid pressure (Dikutip dari : Sinclair RCF,
Luxton MC. Rapid Sequence Induction. Br J Anaesth.2005; 5 (2):45-8).

Teknik modern dari RSI dimulai saat melakukan preoksigenasi


24

terhadap pasien. Tujuan dari preoksigenasi adalah untuk mengganti nitrogen


dari FRC paru-paru dengan oksigen. Hal ini dapat meningkatkan cadangan
oksigen pada periode apneu. Saat akhir 4 menit yang konstan ( atau sekitar
3 menit waktu preoksigenasi saat pasien bernapas spontan) 98 % proses
preoksigenasi telah komplit. Oleh karena itu proses yang dibutuhkan saat
preoksigenasi adalah sekitar 3 menit, yang tentu saja dipengaruhi oleh
perubahan pada kapasitas cadangan fungsional atau ventilasi alveolar dari
pasien. Salah satu teknik lain untuk mencukupkan cadangan oksigen adalah
dengan meminta kepada pasien untuk melakukan empat kali napas panjang
maksimal. Teknik tersebut dapat mencukupi cadangan oksigen dalam waktu
yang lebih singkat.16
Obat anestesi induksi yang ideal adalah yang memiliki onset yang
singkat dan masa pulih yang cepat dengan efek kardiovaskular dan sistemik
minimal.

Pada pasien ini kami menggunakan agen induksi propofol.

Propofol memiliki keuntungan dibanding dengan pentotal, yaitu fase


pemulihan yang lebih cepat dan efek muntah yang kurang. Propofol juga
dikontraindikasikan pada keadaan hipovolemi atau hemodinamik yang tidak
stabil. Dosis yang umum digunakan 1-2,5 mg/kgBB intravena. 14,15
Adapun pemilihan pelumpuh otot lebih ditekankan pada agen dengan
onset yang cepat yaitu golongan depolarisasi (suxamethonium) atau
golongan

nondepolarisasi

(rocuronium).

Secara

teori

kerugian

suxamethonium adalah dapat meningkatkan tekanan intraabdominal akibat


fasikulasi dan dapat meningkatkan resiko reflux.

Rocuronium merupakan

alternative pilihan untuk intubasi dengan durasi 25-30 detik. Tapi jika terdapat
difficult airway, suxamethonium masih merupakan pilihan. Pada pasien ini
kami menggunakan pelumpuh otot rokuronium

untuk fasilitasi intubasi.

Ketika digunakan pada dosis > 0,6 mg/kgBB dapat membantu fasilitasi
intubasi dan memiliki onset yang cepat mirip dengan suksinilkolin. Durasi
yang dimiliki oleh rokuronium lebih lama dibanding dengan suksinilkolin.
25

Intubasi tanpa pelumpuh otot memiliki keuntungan untuk menghindari


pemakaian suksinilkolin pada situasi yang membahayakan misalnya miopati,
alergi, hiperkalemi, dan luka bakar.

Intubasi biasa dilakukan dengan

pemberian opioid yang lebih besar namun belum ada satu penelitian pun
dilakukan pada pasien yang memilki resiko aspirasi yang membutuhkan
anestesi gawat darurat dan RSI.

14,15,17

Adapun indikasi intubasi endobronkial terbagi dua, yaitu absolut dan


relatif.

Absolut : fistel atau ruptur pada jalan napas, transplantasi paru,

Video-assisted thoracoscopic surgery (VATS), perdarahan paru, sekret


berlebihan, kista paru, reseksi paru, operasi aorta/spinal vertebra thoraks,
operasi esofagus. Sedangkan indikasi relatif adalah operasi pleuroktomi.

One Lung Ventilation (OLV)


One Lung Ventilation dibutuhkan untuk sebagian besar operasi
nonkardiak di daerah dada. Isolasi satu paru dilakukan dengan menggunakan
Double Lumen ETT (DLT).

7,17

Gambar 9. DLT sisi kanan (Dikutip dari : After Gothard J., Anasthesia for thoracic
surgery, 2nd edn, Oxford : Blackwell Scientific Publications;1993)

Keuntungan

utama

DLT adalah

relatif

mudah

pemakaiannya,

kemampuan untuk ventilasi satu atau kedua paru, dan mampu melakukan
26

pengisapan lendir pada kedua paru. Tetapi jika penempatan yang salah dapat
membahayakan. Karakteristik DLT : lumen bronkus yang lebih panjang yang
memasuki bronkus utama kanan/kiri dan lumen trakea yang lebih pendek
yang tetap berada di trakea bawah, balon trakea, balon bronkus. Ukuran pipa
yang akan digunakan, kedalamannya bergantung pada umur, tinggi, berat
badan, dan jenis kelamin pasien. DLT yang paling sering digunakan adalah
tipe Robert-Shaw. Tersedia dalam ukuran 35, 37, 39, dan 41F (diameter
interna 5.0, 5.5, 6.0, dan 6.5 mm, berturut-turut). Ukuran 39 sebagian besar
untuk laki-laki, sedangkan ukuran 37 untuk perempuan. Penempatan DLT
biasanya pada paru kontralateral dengan tempat pembedahannya, sebisa
mungkin menggunakan DLT left sided untuk menghindari ventilasi lobus atas
pada paru kanan. Laringoskopi dengan bilah MacIntosh memberikan
visualisasi yang lebih baik daripada menggunakan bilah lurus. DLT
dimasukkan dengan bagian distal yang berbentuk konkaf pada bagian depan
dan diputar 90 (ke arah sisi bronkus yang akan diintubasi) setelah ujungnya
memasuki laring. Terus maju sampai dirasakan tahanan, kira-kira kedalaman
insersi 29 cm dari gigi. Kembangkan balon trakea (5-10 ml udara) kemudian
cek bunyi napas bilateral. Bunyi napas unilateral menandakan pipa terlalu
jauh ke bawah. Kembangkan balon bronkus (1-2 ml udara),

jepit lumen

trakea, cek bunyi napas unilateral pada sisi kiri, lepaskan jepitan lumen
trakea, kemudian lakukan jepitan pada lumen bronkus, cek bunyi napas
unilateral pada sisi paru kanan. Selama proses ini , posisi pipa dinilai dengan
menilai pergerakan dada, dan melakukan auskultasi kedua lapangan paru,
berikan perhatian khusus pada lobus atas kiri untuk DLT left sided dan lobus
atas kanan untuk DLT right sided.

Auskultasi pertama dilakukan untuk

menilai trakea, dan selanjutnya endobronkus, menjepit bagian atas kateter,


memastikan isolasi paru telah tercapai. Ulangi pemeriksaan setelah pasien
berubah ke posisi lateral untuk thoracotomi. Dianjurkan untuk cek posisi pipa
27

endobronkus dengan FOB (fiberoptic bronchoscope). 7,19,20


A

Gambar 10. Penempatan double lumen tube left sided. Ingat bahwa tube diputar 90o
begitu tube memasuki laring, A: posisi awal, B: diputar 90o, C: posisi akhir. ( Dikutip
dari : Morgan G.E., Anesthesia for thoracic surgery, Dalam Morgan G.E. (ed),
Clinical Anesthesiology, Edisi ke-3, Lange Medical Books, New York, 2002;585-610.)

Pada pasien sadar, hanya sedikit atau tidak ada peningkatan


ketidaksesuaian ventilasi/perfusi pada posisi lateral. Keadaan ini berubah
selama pasien teranestesi.

Pada pasien yang bernapas secara spontan,

terjadi penurunan tonus otot napas inspiratori (khususnya diafragma) dan


penurunan volume kedua paru dengan penurunan FRC.

Komplians dari

nondependent paru bagian atas akan meningkat sehingga menerima ventilasi


lebih banyak.

Paralisis dan ventilasi tekanan positif secara intermittent

dilakukan selama torakotomi dan komplians nondependent paru akan


semakin meningkat kemudian.

Pada pelaksanaannya, dilakukan ventilasi

khusus hanya pada paru bagian bawah (OLV) dan membuat kolaps

pada

paru bagian atas. Ini memfasilitasi lapangan operasi, tapi menyebabkan


masalah yang lebih serius terhadap ketidaksesuaian ventilasi/perfusi. Selama
One Lung Ventilation pada pasien dengan posisi lateral dekubitus, potensi
terjadi intrapulmonary shunting dari darah arteri pulmonalis yang tidak
28

teroksigenasi dapat menyebabkan hipoxemia. Konsekuensi peningkatan


Pulmonary

Vascular

Resistance

pada

paru

yang

(nondependent) adalah redistribusi aliran darah ke paru

tidak

terventilasi

yang terventilasi

(dependent), sehingga mencegah PaO2 menurun drastis.

Peningkatan

Pulmonary Vascular Resistance pada nondependent paru terutama akibat


Hypoxic Pulmonary Vasoconstriction (HPV).

Prinsip ventilasi pada OLV

harus dilakukan dengan inflasi paru adekuat tapi juga meminimalkan tekanan
intraalveolar dan juga mencegah baliknya aliran darah paru ke paru bagian
atas.

Prakteknya,

tidak

mudah

dicapai.

Sangat

beralasan

untuk

menggunakan FiO2 50% awalnya, yang dapat ditingkatkan hingga 100% jika
perlu. Ini tidak dapat mempengaruhi shunting yang sebenarnya pada paru
bagian atas tapi dapat meningkatkan oksigenasi melalui alveoli dengan rasio
ventilasi/perfusi yang rendah pada paru bagian bawah. Pengembangan yang
berlebihan pada satu paru (volutrauma) dapat memperburuk
menyebabkan Acute Lung Injury.

dan

Pasien dengan fungsi paru normal

cenderung mengalami hipoksia selama OLV karena pada dasarnya paru


normal dibuat kolaps untuk menyediakan lapangan operasi. Ketika hipoksia
terjadi, segera periksa posisi pipa endobronkial dan perbaiki jika perlu.
Tekanan inflasi tinggi (>30-35 cmH20) membuktikan bahwa pipa tersebut
salah posisi. Tindakan yang dapat dilakukan adalah merasakan aliran atau
setidaknya melakukan reinflasi secara manual pada paru untuk merasakan
kompliansnya. Pengisapan lendir dan reinflasi pada dependent paru secara
manual mungkin dapat membantu. Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan oksigenasi adalah dengan meningkatkan Fi02,

melakukan

PEEP pada dependent paru, atau menambahkan oksigen pada paru bagian
atas melalui pemberian tekanan positif pada jalan napas secara kontinyus,
sehingga mengurangi shunting. Protokol penatalaksanaan OLV : Fi02 50100% 1(naikkan jika SpO2 < 90%), Rasio i:e (1:2), volume tidal kecil (67ml/kgbb), gunakan PEEP pada pasien hipoksia, cegah pengembangan paru
29

berlebihan (volutrauma).7,19,21,22,23
Pemeliharaan anestesi menggunakan agen volatil isofluran, epidural
analgesia, dan muscle relaxant. Hindari agen inhalasi halotan oleh karena
efek inibisi terhadap hipoxic pulmonary vasoconstriction. Anesthesiologist
lebih memilih menggunakan epidural analgesia dalam pemeliharan anestesi
selama operasi untuk mengurangi pemakaian anestesi inhalasi dan narkotik.
Sehingga resiko terhadap depresi pernapasan postoperasi menurun. Efek
selama operasi TEA dengan anestesi lokal pada HPV dan OLV selama
pembedahan toraks masih belum jelas. Pembuluh darah paru diinnervasi
oleh susunan saraf otonom, dan tonus simpatis lebih dominan daripada tonus
parasimpatis pada sirkulasi pulmonal. Secara teori, TEA menyebabkan blok
simpatis sehingga menurunkan HPV.

Akan tetapi, pada salah satu studi

eksperimental baru-baru ini, TEA tidak mempengaruhi tonus pembuluh darah


utama pada pulmo, tapi dapat meningkatkan PaO2 oleh karena memperbesar
aliran darah balik dari lobus yang mengalami hipoksia.

21

EKSTUBASI DINI
Menurut sejarah, menunda ekstubasi pada pasien reseksi esofagus itu
ada dasarnya melalui sejumlah

argumen dan observasi. Ahli bedah,

anestesi, dan icu beralasan bahwa pergeseran cairan akibat inflamasi hebat
selama operasi meningkatkan edema pada jalan napas dan resiko obstruksi
pada jalan napas.

Nyeri setelah operasi akibat torakotomi dan (atau)

laparotomi akan membahayakan mekanika paru. Refluks empedu post


operasi akan meningkatkan resiko terjadinya aspirasi pneumonia.

Oleh

karena itu alasan kapan, profilaksis intubasi trakea postoperasi, dan ventilasi
mekanis akan meningkatkan hasil. Akan tetapi sedikit data yang ada untuk
mendukung alasan yang kompleks ini.

Teknik operasi yang makin

berkembang, menurunnya lama operasi, berkurangnya perdarahan dan


hubungannya

dengan

resusitasi

cairan,

dan

berkembangnya
30

penatalaksanaan nyeri perioperatif dengan thoracal epidural analgesia (TEA),


selanjutnya melemahkan alasan ini.
paradigma,

Oleh karena itu, terjadi pergeseran

dan beberapa institusi menyetujui extubasi dini merupakan

perubahan penting penanganan perioperatif reseksi esofagus. 18,19,21,22,23


Di

samping

resiko

aspirasi,

kehilangan

banyak

darah,

atau

hemodinamik yang tidak stabil seharusnya diextubasi dini di ruang operasi.


Resiko aspirasi yang biasanya terjadi segera setelah periode postoperasi
nampaknya tidak secara signifikan meningkatkan resiko aspirasi selama
penyembuhan postoperasi dengan pipa nasogastrik. Oleh karena itu, sulit
untuk menentukan profilaksis intubasi untuk mencegah aspirasi oleh karena
resiko aspirasi umumnya lazim terjadi sepanjang periode postoperasi dan
tidak terpisahkan selama 12-24 jam pertama postoperasi. Resiko rendah
ARDS cenderung akibat anestesi dan teknik operasi dan tindakan
pencegahan yang agressif oleh perawat dibandingkan dengan tindakan
dekompressi dengan pipa nasogastrik jangka panjang atau selektif profilaksis
intubasi dan ventilasi mekanik. Pengakhiran anestesi : sebelum ekstubasi
pipa endobronkial, pasien kembali diposisikan supine.

Kemudian lakukan

reinflasi paru secara manual, dengan tekanan rendah, dan dilakukan


pemasangan WSD. Kemudian dilakukan ekstubasi pipa endobronkial, jika
usaha bernapas sudah adekuat.

Pasien dengan cadangan paru terbatas

harus tetap terintubasi sampai memenuhi kriteria ekstubasi, jika digunakan


DLT selama OLV, harus diganti dengan ETT single-tube yang biasa pada
akhir operasi. Pasien diobservasi secara hati-hati di PACU dan sebagian
besar kasus, diobservasi semalaman atau lebih di ICU atau HCU. 18,24
MANAJEMEN POSTOPERATIF

Komplikasi postoperasi : Postoperasi biasa terjadi hipoksemia


dan asidosis respiratorik. Perdarahan postoperasi merupakan

31

komplikasi yang terjadi sekitar 3% pada torakotomi dan


mungkin berhubungan dengan mortalitas sekitar 20%.

Tanda-

tanda perdarahan termasuk meningkatnya drainage WSD (>200


ml/jam), hipotensi, takikardi, dan hematokrit turun. Penanganan
postoperasi yang rutin dilakukan adalah posisi semitegak
(>30), pemberian oksigen (40-50%), spirometri, monitoring
hemodinamik

dan

EKG,

foto

dada

postoperasi,

dan

menghilangkan nyeri secara agressif.7

Penanganan nyeri postoperatif : Teknik anestesi regional,


termasuk anestesi epidural, blok nervus interkostalis, dan blok
paravertebra menurunkan nyeri tanpa menyebabkan depresi
napas yang seringkali disebabkan oleh narkotik. Manajemen
standar nyeri posttoraKotomi adalah epidural kontinyus atau
single-shot, PCA, atau kombinasi.

Epidural telah digunakan

secara luas dan sebagai gold standar untuk mengontrol nyeri


operasi posttorakotomi.

Epidural opioid dengan atau tanpa

anestesi lokal memberikan analgesia yang memuaskan. 11,19


RINGKASAN
Diagnosa pada pasien ini adalah akalasia esofagus. Gejala klinis pada
pasien ini adalah kesulitan menelan terutama makanan padat, nyeri ulu hati,
dan rasa terbakar pada daerah ulu hati (epigastrium). Kumpulan gejala pada
pasien ini sering kita sebut sebagai GERD.

Dimana perlunya perhatian

khusus pada manajemen perioperatifnya.


Pasien akan menjalani prosedur operasi berupa esofagektomi sinistra
pars torakal yang dilakukan melalui torakotomi sinistra, dan dari sudut
pandang anestesi

tentu

memerlukan perhatian

khusus.

Persiapan

preoperatif pasien diperlukan beberapa pemeriksaan tambahan selain yang

32

rutin kita lakukan seperti TFP dan AGD.


Pada pasien ini kami melakukan teknik anestesi kombinasi anestesi
umum dengan RSI dan anestesi epidural torakal.
RSI adalah sebuah metode saat melakukan induksi anestesi pada pasien
yang memiliki resiko aspirasi dari isi lambung ke dalam paru-paru. Hilangnya
kesadaran diikuti dengan melakukan penekanan pada os krikoid (cricoid
pressure) dilanjutkan intubasi tanpa melakukan ventilasi positif sebelumnya.
Tujuan utamanya adalah melakukan intubasi trakea dalam waktu yang
singkat dan aman. Teknik ini umum digunakan saat operasi emergency.
Pada pasien ini dilakukan torakotomi dengan menggunakan teknik One
Lung Ventilation, dengan tujuan mempermudah akses lapangan operasi.
Teknik OLV biasanya difasilitasi dengan ETT double lumen.

Pasien ini

menggunakan ETT double lumen left sided dengan ukuran 37.

Teknik

ventilasi yang kami gunakan adalah dengan teknik low tidal volume dengan
frekuensi napas ditingkatkan.
Obat-obat anestesi sangat mempengaruhi sistem respirasi, gas inhalasi,
opioid, dan benzodiazepin adalah obat-obat yang dapat mendepresi napas
dan dapat mempengaruhi selama postoperatif.
mengurangi FRC hingga 20%.

Induksi anestesi dapat

Postlateral torakotomi diketahui memiliki

tingkat nyeri yang berat, sehingga dapat mempengaruhi mekanika paru.


Pilihan anestesi epidural merupakan salah satu teknik untuk ,mengatasi
masalah nyeri postoperatif.

33

34

35

Vous aimerez peut-être aussi