Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
ESOFAGUS
PENDAHULUAN
Penyakit Akalasia Esofagus merupakan kelainan idiopatik ringan yang
disebabkan oleh degenerasi neuron progressif dari plexus mienterikus
Auerbach. Defenisi asli akalasia
Esophagus
Sphincter
(LES).
Etiologi
akalasia
primer
tetap
: Ny. A.
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 30 tahun
TB/BB
: 155 cm/38 kg
BMI
: 15,71
Diagnosis
: Akalasia Esofagus
Pembedahan
I. Pemeriksaan Perioperatif
2
I.1. Autoanamnesa :
Keluhan Utama : kesulitan menelan
Anamnesis terpimpin:
- Dialami sejak kurang lebih 5 bulan yang lalu, terutama makanan padat
- Setiap makan, makanan tersangkut di daerah dada, dan lama baru bisa
turun
- Riwayat nyeri ulu hati (+), rasa panas di daerah dada (+)
- Riwayat penurunan berat badan (+)
- Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya (-)
- Riwayat penyakit paru/asma (-)
- Riwayat penyakit jantung/vaskular (-)
- Riwayat penyakit SSP/CVD (-)
- Riwayat penyakit darah/gangguan pembekuan darah (-)
- Riwayat penyakit hati/gastrointestinal (-)
- Riwayat penyakit ginjal/urologi (-)
- Riwayat alergi makanan/obat (-)
- Riwayat minum obat-obatan/jamu (-)
- Riwayat merokok/minum alkohol (-)
- Riwayat minum obat-obatan saat ini (-)
I.2. Pemeriksaan Fisik
Ku
: Baik
GCS : 15 (E4M6V5)
TD
: 110/70 mmHg
HR : 76
:16 kpm
VAS
: 1/10
: 36,6C
Kepala/leher : anemis (-), sianosis (-), ikterus (-), buka mulut > 3 jari,
mallampati I, TMJ > 6,5 cm, massa tumor (-), deviasi
trakea (-)
Thoraks
Extremitas
Hasil interpretasi
Hb : 11,7 gr/dL
Kesimpulan
HCT : 32,1 %
Darah rutin
WBC : 7000/L
PLT : 269.000/L
Hb : 11,7 gr/dl
CT : 9' 15
BT : 1' 25
GDS : 98 mg/Dl
SGOT : 17 u/L
SGPT : 10 u/L
Kimia darah
Ureum : 14 mg/dL
Kreatinin : 0,6 mg/dL
Na/K/Cl : 133 / 4,2 / 97
PT : 11,0 kontrol 13,2
Faal koagulasi
INR : 0,8
Tidak tampak
kelainan
radiologis
pada
foto
thoraks
Foto thoraks
Achalasia
esofagus
belum
dapat
disingkirkan
Esofagografi
Pada
kontras
pemberian
barium
sangat
melebar
dengan
ujung
distal
menyempit
dengan
permukaan
rata,
membentuk
bayangan rat tail
Gambar 2. Esofagografi
Elektrokardiografi
WNL,
Sinus
Ritme,
78x/menit
HR
I.4. Kesimpulan
Pasien termasuk kategori PS ASA klas II
I.5. Rencana Penatalaksanaan Anestesi
GETA kombinasi epidural thorakal
II.
Identifikasi Masalah
II.1. Masalah Medis
Hb 11,7
II.2. Masalah Bedah
6
-Perdarahan
-Pneumothoraks
-Kolaps paru
II.3. Masalah Anestesi
-Pengosongan lambung lambat
-Kolaps paru
-Perdarahan
-Nyeri paskabedah
III. Persiapan Preoperatif
-STATICS
-ETT double lumen
-Monitor
-Obat-obat anestesi
-ICU (ventilator)
IV. Intraoperatif
IV.1. Prosedur Pemasangan Epidural
- Pasien posisi supine dengan IV line 18 G terpasang di tangan
kiri
- Loading koloid 500 ml
- Preemptive analgesia: ketoroloc 30 mg IV
- Premedikasi dengan ranitidin 50 mg IV, metoklopramid 10 mg
IV, midazolam 2 mg IV, fentanyl 50 mcg IV
- Pasien posisi LLD (left lateral decubitus), identifikasi ruang
antara vertebra Th VI-VII
- Desinfeksi daerah insersi dan sekitarnya
- Skin wheal dengan lidokain 2 % 40 mg
- Insersi jarum Tuohy 18 G dengan pendekatan paramedian
approach, dengan teknik lost of resistence (LOR), darah (-),
LCS (-).
epidural 4 cm.
O2 4 lpm
- Pernapasan
spontan,
adekuat,
hemodinamik
stabil,
pasien
Gambar 4. Pasien terpasang double lumen tube left sided dan diklem pada
sisi kiri untuk mengempiskan paru sebelah kiri.
10
V. Perawatan Postoperatif
Hari
0
Subyektif,Obyektif,
Assesment
S : Pasca bedah
Planning
-
Keterangan
Posisi head up 30
11/1/
awasi
2011
spontan,
balance cairan
O2 via NRM 8-10 lpm
IVFD : Rl 14 tpm
Cefotaxime 1 gr /12
Vesikuler
+/+,
tanda
vital,
jam/i.v
11
TD : 110-130/60-80 mmHg
Omeprazole
mg/24 jam/i.v
Kontrol
HR : 60-80 x/menit
Suhu : 36,5 C
CNS
isokor
GCS
3/3
15,
mm,
nyeri
paskabedah : Markain
pupil
0,125 % + fentanyl 2
refleks
cahaya +/+,
40
UT :Urin 50 cc/jam
Penyakit Achalasia
Esofagus
1
postoperasi
Myotomy Heller
S : Pasca bedah
12/1/
awasi
2011
spontan,
balance cairan
02 via nasal cannule 3
Vesikuler
+/+,
Suhu : 36,7 C
CNS: GCS : 15, pupil
isokor, 3/3 mm, refleks
cahaya +/+
UT : Urin 60 cc/jam
vital,
Hct : 34,5
WBC
lpm
11.500
IVFD: Rl 14 tpm
Cefotaxime 1 gr /12
Plt : 333.000
jam/i.v (hari ke-2)
Omeprazole 40 mg/ GDS : 96
24 jam/ i.v
Kontrol
TD : 110/70 mmHg
HR :60-70 x/menit
tanda
nyeri Na : 142
paskabedah: markain
0,125 % + fentanyl 2
mcg/ml (2 ml/jam sp)
K : 3,5
Cl : 94
Penyakit
Esofagus
Akalasia
postoperasi
Miotomy Heller
S : Keadaan umum baik
13/1/
O : Sistem respirasi :
awasi
2011
balance cairan
O2 via nasal cannule
3 lpm
IVFD: Rl 14 tpm
Cefotaxime 1 gr /12
jam/i.v
Omeprazole
24 jam/ i.v
Kontrol
SpO2 99%
Sistem kardiovaskuler :
TD : 120/80 mmHg
HR : 70-80 x/menit
Suhu : 36,7 C
CNS : GCS : 15, pupil
isokor, 3/3 mm, refleks
cahaya +/+
vital,
40 mg/
nyeri
paskabedah: markain
0,125 % + fentanyl 2
mcg/ml
UT : Urin 50 cc/jam
tanda
(1,5
ml/jam
sp)
Diet bubur via sonde
Pindah
perawatan
bedah digestif
fraktur (-)
A
Penyakit
Esofagus
Akalasia
postoperasi
Miotomy Heller
DISKUSI
Sebagian besar studi yang mengevaluasi epidemiologi akalasia adalah
retrospektive. Studi mengenai insidens dan prevalensi akalasia kebanyakan
13
berasal dari United Kingdom, tapi ada juga beberapa studi dari populasi
berbeda seperti dari Eropa Utara, Israel, New Zaeland, United States, dan
Zimbabwe. Studi ini menunjukkan bahwa insidens akalasia berkisar 1 dalam
100.000 individu dan prevalensinya 10 dalam 100.000. Tidak ada gender
yang dominan dan penyakit ini dapat terjadi pada berbagai usia, meskipun
diagnosa sebelum dekade kedua jarang dan insidens semakin meningkat
dengan umur, dengan insidens tertinggi pada dekade ketujuh dan puncak
insidens pada usia 20-40 tahun.
2,3,4
neurodegenerative.2,6
Kebanyakan pasien dengan akalasia
menunjukkan gejala-gejala
disfagia esofagus (sampai 90% pasien), makanan padat maupun cair, beda
dengan gangguan anatomi pada esofagus. Gejala-gejala lain termasuk nyeri
dada, rasa terbakar di daerah dada, regurgitasi, dan kehilangan berat badan,
semuanya terjadi pada sekitar 60% pasien. Pasien dengan akalasia dapat
juga menunjukkan gejala yang lebih menonjol seiring dengan perjalanannya.
Gejalanya dapat termasuk terlambat makan dan menolak melakukan
kegiatan sosial yang berhubungan dengan makanan. Pasien dengan akalasia
dapat juga bergejala rasa terbakar di daerah dada akibat fermentasi bakteri
produk-produk makanan dalam esofagus yang kemudian mengalami proses
14
asam. Hasilnya, gejala refluks yang tidak berespon terhadap terapi refluks,
dapat dianggap sebagai akalasia.
Evaluasi
endoskopik
pada
esofagus
dan
lambung
tertahannya
makanan
dan
air
liur.
Akan
tetapi,
normal
pada LES (tekanan pada saat istirahat > 45 mmHg) dan kurangnya relaksasi
pada LES, dengan sisa tekanan >8 mmHg.
dimengerti bahwa kurang lebih 50% pasien yang telah didagnosis akalasia
tidak ditemukan tekanan yang meningkat pada LES, meskipun untuk
mendiagnosis tidak diperlukan aperistaltik dan kurangnya relaksasi pada
LES.2,5
15
Sangat disayangkan,
toxin botulinum
secara
berhubungan
dengan
esophagomiotomi nantinya.
meningkatnya
kesulitan
prosedur
dimulai
pada
sisi
gaster
kurang
lebih
cm
distal
Terbukti
operasi, yang disebut juga megaesophagus. Hampir 50% pasien yang telah
dilakukan modifikasi miotomy Heller berkembang menjadi penyakit refluks
gastroesophageal, dengan
Esophagus. 1,2,5
MANAJEMEN PREOPERATIF
Pembedahan toraks memberikan problem fisiologis yang unik bagi
anesthesiologist
fisiologis terjadi akibat posisi pasien dengan satu sisi di bawah (posisi lateral
decubitus), torakotomi (open pneumothoraks), dan seringkali membutuhkan
one-lung ventilation(OLV). Manajemen anestesi pada pasien dengan penyakit
Akalasia Esofagus diawali dengan melakukan penilaian preoperatif.
Dari
hasil anamnesa pada pasien ini kami temukan gejala kesulitan menelan
terutama makanan padat disertai rasa nyeri dan tidak nyaman di daerah ulu
hati.
akan kembali lebih cepat postoperasi dengan epidural torakal dan anestesi
lokal dan dengan berkurangnya pemakaian opioid. Keuntungan lain adalah
ekstubasi trakea menjadi lebih cepat, dan analgesia postoperasi yang sangat
baik. Postlateral torakotomi telah diketahui sebagai salah satu prosedur
operasi yang paling nyeri. Kontrol nyeri yang tidak adekuat, biasanya, dapat
menyebabkan komplikasi paru postoperasi, seperti plugging mukus, hipoksia,
atelektasis, dan infeksi paru. Ini terjadi akibat terbatasnya pergerakan dinding
dada dan napas yang melambat terutama pada pasien gemuk, tua, riwayat
merokok, dan riwayat infeksi paru.
Adapun
pengaruh
10,11
anestesi
epidural
terhadap
faktor-faktor
pembedahan:
a. Ileus :
berhubungan
dengan
respon
parasimpatis
nyeri,
gangguan
elektrolit,
dan
yang
meningkatkan
motilitas
dan
Selama
neurohumoral
yang
multifaktorial
berhubungan
dengan
(0,7%), nyeri radikular postoperasi (0,2 %), lesi pada nervus perifer (0,2%).
Tidak ditemukan epidural hematoma atau abses. Blok epidural torakal dapat
dilakukan dengan teknik median ataupun paramedian. Epidural torakal
kebanyakan
digunakan
sebagai
analgesia
intra
dan
postoperative.
7,11
21
Gambar 7. Perbedaan antara insersi jarum epidural pada level lumbal dan
torakal. Prosessus spinosus pada level torakal lebih membentuk
sudut dibandingkan dengan level lumbal sehingga insersi jarum
epidural harus lebih diarahkan ke cephalad .
(Dikutip dari :
22
Insersi
Bahu
C4-T2
T1-T2
Tangan
C5-T2
T1-T2
Operasi jantung
T1-T8
T3-T4
Toraks
T2-T10
T6-T7
Abdomen Supraumbilikal
T6-T10
T8-9
T9-L1
T11-12
Abdomen Infraumbilikal
emergensi.9,14
Setelah dikenalkan oleh seorang bernama Barry Sellick pada tahun
1961, cricoid pressure menjadi teknik pilihan untuk mencegah regurgitasi dan
telah menggantikan metode sebelumnya yaitu menempatkan pasien pada
posisi head up 400.
ekstensi pada leher dan melakukan tekanan pada kartillago krikoid untuk
menyempitkan
lumen
esofagus.
Ekstensi
dari
kepala
dan
leher
9,14,15
Gambar 8. Teknik Sellick Manouver atau cricoid pressure (Dikutip dari : Sinclair RCF,
Luxton MC. Rapid Sequence Induction. Br J Anaesth.2005; 5 (2):45-8).
nondepolarisasi
(rocuronium).
Secara
teori
kerugian
Rocuronium merupakan
alternative pilihan untuk intubasi dengan durasi 25-30 detik. Tapi jika terdapat
difficult airway, suxamethonium masih merupakan pilihan. Pada pasien ini
kami menggunakan pelumpuh otot rokuronium
Ketika digunakan pada dosis > 0,6 mg/kgBB dapat membantu fasilitasi
intubasi dan memiliki onset yang cepat mirip dengan suksinilkolin. Durasi
yang dimiliki oleh rokuronium lebih lama dibanding dengan suksinilkolin.
25
pemberian opioid yang lebih besar namun belum ada satu penelitian pun
dilakukan pada pasien yang memilki resiko aspirasi yang membutuhkan
anestesi gawat darurat dan RSI.
14,15,17
7,17
Gambar 9. DLT sisi kanan (Dikutip dari : After Gothard J., Anasthesia for thoracic
surgery, 2nd edn, Oxford : Blackwell Scientific Publications;1993)
Keuntungan
utama
DLT adalah
relatif
mudah
pemakaiannya,
kemampuan untuk ventilasi satu atau kedua paru, dan mampu melakukan
26
pengisapan lendir pada kedua paru. Tetapi jika penempatan yang salah dapat
membahayakan. Karakteristik DLT : lumen bronkus yang lebih panjang yang
memasuki bronkus utama kanan/kiri dan lumen trakea yang lebih pendek
yang tetap berada di trakea bawah, balon trakea, balon bronkus. Ukuran pipa
yang akan digunakan, kedalamannya bergantung pada umur, tinggi, berat
badan, dan jenis kelamin pasien. DLT yang paling sering digunakan adalah
tipe Robert-Shaw. Tersedia dalam ukuran 35, 37, 39, dan 41F (diameter
interna 5.0, 5.5, 6.0, dan 6.5 mm, berturut-turut). Ukuran 39 sebagian besar
untuk laki-laki, sedangkan ukuran 37 untuk perempuan. Penempatan DLT
biasanya pada paru kontralateral dengan tempat pembedahannya, sebisa
mungkin menggunakan DLT left sided untuk menghindari ventilasi lobus atas
pada paru kanan. Laringoskopi dengan bilah MacIntosh memberikan
visualisasi yang lebih baik daripada menggunakan bilah lurus. DLT
dimasukkan dengan bagian distal yang berbentuk konkaf pada bagian depan
dan diputar 90 (ke arah sisi bronkus yang akan diintubasi) setelah ujungnya
memasuki laring. Terus maju sampai dirasakan tahanan, kira-kira kedalaman
insersi 29 cm dari gigi. Kembangkan balon trakea (5-10 ml udara) kemudian
cek bunyi napas bilateral. Bunyi napas unilateral menandakan pipa terlalu
jauh ke bawah. Kembangkan balon bronkus (1-2 ml udara),
jepit lumen
trakea, cek bunyi napas unilateral pada sisi kiri, lepaskan jepitan lumen
trakea, kemudian lakukan jepitan pada lumen bronkus, cek bunyi napas
unilateral pada sisi paru kanan. Selama proses ini , posisi pipa dinilai dengan
menilai pergerakan dada, dan melakukan auskultasi kedua lapangan paru,
berikan perhatian khusus pada lobus atas kiri untuk DLT left sided dan lobus
atas kanan untuk DLT right sided.
Gambar 10. Penempatan double lumen tube left sided. Ingat bahwa tube diputar 90o
begitu tube memasuki laring, A: posisi awal, B: diputar 90o, C: posisi akhir. ( Dikutip
dari : Morgan G.E., Anesthesia for thoracic surgery, Dalam Morgan G.E. (ed),
Clinical Anesthesiology, Edisi ke-3, Lange Medical Books, New York, 2002;585-610.)
Komplians dari
khusus hanya pada paru bagian bawah (OLV) dan membuat kolaps
pada
Vascular
Resistance
pada
paru
yang
tidak
terventilasi
yang terventilasi
Peningkatan
harus dilakukan dengan inflasi paru adekuat tapi juga meminimalkan tekanan
intraalveolar dan juga mencegah baliknya aliran darah paru ke paru bagian
atas.
Prakteknya,
tidak
mudah
dicapai.
Sangat
beralasan
untuk
menggunakan FiO2 50% awalnya, yang dapat ditingkatkan hingga 100% jika
perlu. Ini tidak dapat mempengaruhi shunting yang sebenarnya pada paru
bagian atas tapi dapat meningkatkan oksigenasi melalui alveoli dengan rasio
ventilasi/perfusi yang rendah pada paru bagian bawah. Pengembangan yang
berlebihan pada satu paru (volutrauma) dapat memperburuk
menyebabkan Acute Lung Injury.
dan
melakukan
PEEP pada dependent paru, atau menambahkan oksigen pada paru bagian
atas melalui pemberian tekanan positif pada jalan napas secara kontinyus,
sehingga mengurangi shunting. Protokol penatalaksanaan OLV : Fi02 50100% 1(naikkan jika SpO2 < 90%), Rasio i:e (1:2), volume tidal kecil (67ml/kgbb), gunakan PEEP pada pasien hipoksia, cegah pengembangan paru
29
berlebihan (volutrauma).7,19,21,22,23
Pemeliharaan anestesi menggunakan agen volatil isofluran, epidural
analgesia, dan muscle relaxant. Hindari agen inhalasi halotan oleh karena
efek inibisi terhadap hipoxic pulmonary vasoconstriction. Anesthesiologist
lebih memilih menggunakan epidural analgesia dalam pemeliharan anestesi
selama operasi untuk mengurangi pemakaian anestesi inhalasi dan narkotik.
Sehingga resiko terhadap depresi pernapasan postoperasi menurun. Efek
selama operasi TEA dengan anestesi lokal pada HPV dan OLV selama
pembedahan toraks masih belum jelas. Pembuluh darah paru diinnervasi
oleh susunan saraf otonom, dan tonus simpatis lebih dominan daripada tonus
parasimpatis pada sirkulasi pulmonal. Secara teori, TEA menyebabkan blok
simpatis sehingga menurunkan HPV.
21
EKSTUBASI DINI
Menurut sejarah, menunda ekstubasi pada pasien reseksi esofagus itu
ada dasarnya melalui sejumlah
anestesi, dan icu beralasan bahwa pergeseran cairan akibat inflamasi hebat
selama operasi meningkatkan edema pada jalan napas dan resiko obstruksi
pada jalan napas.
Oleh
karena itu alasan kapan, profilaksis intubasi trakea postoperasi, dan ventilasi
mekanis akan meningkatkan hasil. Akan tetapi sedikit data yang ada untuk
mendukung alasan yang kompleks ini.
dengan
resusitasi
cairan,
dan
berkembangnya
30
samping
resiko
aspirasi,
kehilangan
banyak
darah,
atau
Kemudian lakukan
31
Tanda-
dan
EKG,
foto
dada
postoperasi,
dan
tentu
memerlukan perhatian
khusus.
Persiapan
32
Pasien ini
Teknik
ventilasi yang kami gunakan adalah dengan teknik low tidal volume dengan
frekuensi napas ditingkatkan.
Obat-obat anestesi sangat mempengaruhi sistem respirasi, gas inhalasi,
opioid, dan benzodiazepin adalah obat-obat yang dapat mendepresi napas
dan dapat mempengaruhi selama postoperatif.
mengurangi FRC hingga 20%.
33
34
35