Vous êtes sur la page 1sur 9

ABSTRAK

Vishwanath Machakanur, 2B Krishnamurthy


1
Postgraduate, Departemen Pediatri, Mysore Medical College & Research Institute, Mysore,
Karnataka, India
2
Professor and Head, Departemen Pediatri, Mysore Medical College & Research
Institute, Mysore, Karnataka, India
1

PENDAHULUAN
Demam tifoid seringkali terjadi dan berpotensi menyebabkan penyakit infeksi yang fatal pada
anak-anak di negara berkembang, ditemukan pola resistensi terhadap beberapa obat. Oleh
karena itu, dibutuhkan terapi efektif yang sederhana dan terjangkau untuk keberhasilan terapi
dan mengurangi drug-resistance.
METODE DAN BAHAN
Studi non-randomized case-control dilakukan di Departemen Pediatri RS Cheluvamba,
berkaitan dengan Mysore Medial College and Research Institute, Mysore, selama periode 6
bulan dari Desember 2012 Mei 2013. Studi ini mengikutsertakan 100 anak (2-17 tahun)
dengan Widal-positive, demam tifoid tanpa komplikasi, di mana 50 anak mendapatkan terapi
azitromisin oral dosis rendah selama 6 hari yang akan dibandingkan dengan 50 anak yang
diterapi dengan ceftriaxon intravena selama 7 hari. Setiap hari masing-masing anak akan
dievaluasi secara klinis dan hasil studi dinilai sebagai kesembuhan atau kegagalan
penyembuhan secara klinis dan mikrobiologik di akhir durasi pengobatan. Data statistik
deskriptif dianalisa menggunakan SPSS-16.0. Nilai P <0,05 akan diartikan sebagai signifikan
secara statistik.
HASIL PENELITIAN
Durasi anak yang memberikan respons terhadap pengobatan dan menjadi afebris lebih
singkat pada anak yang mendapatkan terapi azitromisin dibandingkan dengan ceftriaxon,
dengan hasil yang sangat signifikan (p=0,000). 96% kasus pada anak yang diterapi dengan
azitromisin mencapai suhu normal pada hari ke-5, sedangkan hanya 27% anak yang diterapi
dengan ceftriaxon mencapai suhu normal pada hari ke-5. Satu kasus pada ceftriaxon-trialgroup menunjukkan no microbiological clearance terhadap mikroorganisme Salmonella pada
hari ke-10. Perbaikan secara klinis terjadi lebih cepat pada anak dengan pengobatan
azitromisin dibandingkan dengan ceftriaxon dan menunjukkan hasil yang signifikan
(p=0,027). Kesembuhan secara mikrobiologi tidak dapat dibandingkan antara kedua
kelompok pengobatan. (p=0,131)
KESIMPULAN
Oleh karena itu, kami peneliti menyimpulkan bahwa azitromisin oral (10mg/kgBB/hari
single dose selama 6 hari) memberikan hasil yang lebih efektif pada pengobatan demam
tifoid tanpa komplikasi pada anak dan remaja dibandingkan dengan ceftriaxon intravena
(100mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis selama 7 hari).

PENELITIAN KLINIK PENATALAKSANAAN DEMAM TIFOID


KOMPLIKASI: EFEKTIVITAS AZITROMISIN VERSUS CEFTRIAXON

TANPA

PENDAHULUAN
Demam tifoid, infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan Salmonella
paratyphi, merupakan penyakit yang sering dan terkadang merupakan menyebabkan infeksi
yang fatal pada anak-anak di negara berkembang dengan insidens 500 kasus/100.000
populasi (0,5%) dan tingkat mortalitas yang tinggi.1,2 World Health Organization
mengestimasi paling sedikit terdapat 12,5 juta kasus di seluruh dunia.3,4
Dalam beberapa dekade, kloramfenikol memiliki tingkat keefektifan yang tinggi untuk
mengatasi S. typhi dan S. paratyphi.5 Akan tetapi, timbulnya multidrug-resistant S.typhi yang
meluas mengharuskan pencarian pilihan terapi lainnya. 6 Telah dilaporkan bahwa S. typhi
resisten terhadap quinolone. Ceftriaxon, sefalosporin generasi ke-3, memiliki efektivitas yang
tinggi mengatasi, tetapi cara pemberian secara parentral membuat ceftriaxon bukan
merupakan pilihan alternatif obat yang ideal.
Beberapa studi telah melaporkan bahwa konsentrasi neutrofil pada azitromisin lebih dari 100
kali konsentrasi serum. Telah ditemukan dari studi lainnya bahwa pemberian azitromisin oral
sekali per hari memberikan hasil yang efektif dalam pengobatan demam tifoid tanpa
komplikasi pada anak.7 Apabila hasil tersebut telah dikonfirmasi, azitromisin dapat menjadi
alternatif pengobatan demam tifoid, terutama di negara berkembang di mana sumber infomasi
medis masih kurang.
Oleh karena itu, peneliti melakukan studi komparatif untuk keefektifan obat secara klinis
pada pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi: azitromisin oral versus ceftriaxon
intravena, dengan tujuan untuk menemukan obat yang efektif secara klinis dalam mengobati
demam tifoid tanpa komplikasi.
METODE DAN BAHAN
Sejumlah 100 anak yang terbukti (Widal-positive) demam tifoid tanpa komplikasi dalam
kelompok usia 2-17 tahun di Mysore Medical College and Research Insitute (MMC and RI),
Mysore, selama periode 6 bulan dari Desember 2012- Mei 2013. Seluruh subjek penelitian
yang diikutsertakan pada studi ini mendapat persetujuan dari orang tua pasien, dan proforma
diisi dari setiap subjek penelitian yang berisi informasi demografi pasien, keluhan saat ini,
keluhan yang berkaitan, laporan pemeriksaan Widal, dan dokumentasi suhu. Subjek
penelitian dibagi menjadi 2 kelompok dalam jumlah yang sama, satu kelompok mendapatkan
terapi berupa azitromisin oral 10mg/kgBB/hari single dose selama 6 hari, sementara
kelompok lainnya mendapatkan ceftriaxon intravena 100mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 dosis
selama 7 hari sebagai terapi utama. Pemeriksaan darah yang dilakukan adalah pemeriksaan
darah lengkap dan hitung jenis. Pemeriksaan kultur darah dilakukan pada hari pertama dan
hari kesepuluh utuk mengkorelasikan keefektifan pengobatan secara klinis dan mikrobiologik
dengan menggunakan metode kultur standard. (Xylose lysine deoxycholate-agar). Setiap hari,
masing-masing pasien akan dievaluasi secara klinis dan dilakukan pembaharuan proforma

terhadap informasi seperti suhu (axilla), nafsu makan, hepatomegali, splenomegali,


konstipasi/diare, sakit kepala, dan sakit perut. Dilakukan pencarian terhadap efek samping
dari azitromisin dan ceftriaxon dan apabila ditemukan, obat akan diganti menjadi obat yang
lebih aman dan subjek akan dieksklusi dari studi ini. Pasien akan dirawat inap di rumah sakit
selama durasi pemberian obat dan 3 hari setelah pengobatan, dan hasil studi akan dinilai
sebagai perbaikan klinis dan mikrobiologik atau gagal pengobatan. Data berupa deskriptifstatistik dianalisa menggunakan Chi-square, Independent t-test menggunakan IBM SPSS
(Statistical Package for the Social Sciences version 16.0, 2009). Nilai P <0.05 dianggap
sebagai signifikan secara statistik.
HASIL PENELITIAN
Sejumlah 100 anak dengan rasio jenis kelamin 1.2 : 1 (laki-laki : perempuan) dengan demam
tifoid tanpa komplikasi dengan Widal positif diikutsertakan dalam studi. Usia rata-rata pada
kelompok percobaan azitromisin adalah 8.5 tahun dan kelompok percobaan ceftriaxon adalah
7.3 tahun. Perbandingan jenis kelamin pada kelompok percobaan azitromisin adalah 1.02 : 1
(laki-laki : perempuan) dan 1.3 : 1 pada kelompok percobaan ceftriaxon.
Perbandingan Tanda dan Gejala
Karakteristik demografi dan hasil pemeriksaan laboratorium sebelum dimulai terapi
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok. Demam adalah
gejala yang muncul pada seluruh kasus. (durasi rata-rata pada kelompok percobaan
azitromisin 8.62 hari dan 11.1 hari pada kelompok percobaan ceftriaxon).
Perbandingan Parameter Laboratorium
Rata-rata hemoglobin, leukosit total, dan platelet adalah 12.2g/dL, 6,136/cu mm, dan 2.16
lakh platelets/cu mm pada kelompok percobaan dengan azitromisin.; 11.16 g/dL, 5,609/cu
mm, dan 3.8 lakh platelets/cu mm pada kelompok percobaan dengan ceftriaxon. Leukopenia
(leukosit < 4000/cu mm) ditemukan pada 28 % kelompok percobaan azitromisin dan 10.2 %
pada kelompok ceftriaxon.
Perbandingan Temuan Sehari-hari (Tabel 1)

Durasi pada anak untuk merespons terhadap pengobatan dan menjadi afebris lebih singkat
pada pengobatan dengan menggunakan azitromisin dibandingkan dengan ceftriaxon, dan
sangat signifikan secara statistik (p=0.000).
Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu afebris pada kelompok ceftriaxon
adalah 5.52 hari dan 2.72 hari pada kelompok azitromisin. Pada hari ke-5 pengobatan, 96 %
dari kelompok azitromisin mencapai suhu yang normal, sementara hanya 27 % pada
kelompok ceftriaxon.
Diare merupakan keluhan yang telah teratasi 100 % pada hari ke-3 pada pengobatan
azitromisin, sementara hanya 92 % pada kelompok dengan pengobatan ceftriaxon, ini
menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik (p=0.002).
Pada hari ke-3 perawatan, 96 % kelompok azitromisin sudah tidak mengalami anoreksia,
dibandingkan dengan kelompok ceftriaxon, hanya 76 % anak yang sudah tidak mengalami
anoreksia, ini menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik (p=0.000).
Coated-tongue, merupakan tanda yang sering ada dengan jumlah yang sama pada masingmasing kelompok, telah diobservasi menjadi normal dengan durasi yang lebih singkat pada
kelompok dengan pengobatan azitromisin dibandingkan ceftriaxon (p=0.000). Ukuran hepar
kembali normal lebih cepat pada kelompok dengan pengobatan azitromisin dibandingkan
dengan ceftriaxon. Tidak ditemukan adanya reaksi yang merugikan pada kedua kelompok,
baik azitromisin ataupun ceftriaxon selama periode studi
Perbandingan Studi Kultur Darah (Tabel 2)

Hanya 6 % (6 dari 100 populasi) yang menghasilkan kultur yang positif. Satu dari 50 (2 %)
kelompok percobaan azitromisin dan 5 dari 50 (10 %) kelompok percobaan ceftriaxon
memberikan hasil positif kultur Salmonella pada hari pertama. Satu kasus dari kelompok
ceftriaxon tetap menunjukkan hasil yang positif pada hari ke-10. Tidak ditemukan isolasi
yang menunjukkan resistensi terhadap ceftriaxon, azitromisin, ataupun ciprofloxacin, 1
isolasi resisten terhadap trimethropim-sulfamethoxazole, 2 isolasi resisten terhadap
kloramfenikol, dan 3 isolasi resisten terhadap ampicillin.

Perbandingan Hasil Akhir pada Percobaan (Tabel 3)

Perbaikan secara klinis lebih cepat terjadi pada kelompok dengan pengobatan azitromisin
dibandingkan dengan ceftriaxon, ini memberikan hasil yang signifikan secara statistik
(p=0.027) (Gambar 1). Perbaikan secara mikrobiologi tidak dapat dibandingkan antara kedua
kelompok (p=0.131). Perbaikan secara mikrobiologi mencapai angka 100 % pada kelompok
azitromisin, sedangkan hanya 4 (80 %) sampel yang tidak menunjukkan pertumbuhan
Salmonella pada kultur ulang di hari ke-10 pada kelompok ceftriaxon.

PEMBAHASAN
Studi membandingkan efektivitas dari azitromisin oral dan ceftriaxon intravena pada
pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi usia 2-17 tahun di Rumah Sakit Cheluvamba
berkaitan dengan MMC dan RI, Mysore.
Kedua kelompok-percobaan azitromisin dan ceftriaxon-telah dibandingkan dan tidak
didapatkan hasil yang signifikan di seluruh data demografi. Beratnya temuan sign atau tanda
tersebar merata di kedua kelompok. Kejadian demam pada kedua kelompok berada dalam
waktu antara 8-11 hari telah dilaporkan juga pada penelitian sebelumnya.7-9
Pada studi ini, pemeriksaan kultur darah dilakukan sebelum diberikan pengobatan antibiotik
pada hari pertama dan saat hari kesepuluh perawatan, terlepas dari hasil pemeriksaan secara
klinis. Akan tetapi, studi serupa pernah dilakukan sebelumnya dengan melakukan
pemeriksaan kultur darah pada hari ke-3 dan ke-7 pengobatan. 10 Tingkat resistensi bakteri
ditemukan pada studi ini, 1 dari 5 dengan kultur positif pada kelompok ceftriaxon tidak
menunjukkan bacterial clearance pada hari kesepuluh, tetapi hasil ini tidak konsisten dengan

studi sebelumnya yang dilakukan oleh Islam et al., masih ditemukan S. typhi pada kultur
darah dari 65 % pasien dengan demam tifoid setelah 3 hari terapi kloramfenikol,
dibandingkan dengan 0 dari 28 pasien yang diterapi dengan ceftriaxon.
Temuan menarik lainnya yaitu resistensi in vitro terhadap azitromisin tidak berkaitan dengan
tingkat efektivitas in vivo azitromisin dalam mengatasi demam tifoid. Hal ini mungkin terjadi
karena pengujian kerentanan berdasarkan pada tingkat obat dalam serum, sedangkan pada
demam tifoid, mekanisme utamanya diperkirakan terjadi intracelullar-killing, di mana tingkat
azitromisin mungkin 100 kali lipat lebih besar dari tingkat serum. 12,13 Hasil yang sama
didapatkan pada studi yang dilakukan oleh Frenck et al.10
Pada studi ini, tidak ditemukan adanya relaps pada kelompok pasien demam tifoid yang
mendapatkan terapi azitromisin, tetapi ditemukan satu kasus relaps pada kelompok ceftriaxon
selama periode penelitian. Ditemukan juga kasus demam tifoid relaps pada pasien yang
diterapi dengan ceftriaxon pada studi sebelumnya. 10 Konsentrasi azitromisin dalam sel dan
sekresinya ke duktus biliar kemungkinan menjelaskan mengapa kekambuhan tidak terjadi
pada infeksi intraselular seperti demam tifoid.8,14,15
Studi yang dilakukan oleh Tribble et al. (1995) mendemostrasikan bahwa pengobatan
azitromisin selama 5 hari (20mg/kgBB/hari, dengan dosis maksimal 1000mg/hari) efektif
dalam mengobati demam tifoid pada anak-anak dan remaja.10,15
Studi lain yang telah dilakukan oleh Agarwal (2000) menyimpulkan bahwa pengobatan
azitromisin short-course (6 hari) aman dan efektif dalam mengobati demam tifoid tanpa
komplikasi.16
Pada studi ini, peneliti menggunakan azitromisin dosis rendah 10mg/kg/BB satu kali per hari
selama 6 hari dan membandingkannya dengan pemberian ceftriaxon intravena. Satu
alasannya adalah untuk mengurangi kemungkinan efek samping yag ditimbulkan dari
pemakaian azitromisin, dan pemakaian azitromisin dosis rendah didapatkan efektif mengobati
demam tifoid.17
Kepatuhan berobat lebih baik pada pengobatan oral azitomisin dibandingkan dengan
ceftriaxon inravena (berdasarkan pendapat orang tua, seringnya keperluan akses intravena
untuk kelompok ceftriaxon dianggap rumit). Hasil ini sama dengan studi sebelumnya yang
dilakukan oleh Frenck et al.10,13,17
Laporan sebelumnya dari Vietnam mendemonstrasikan bahwa durasi pengobatan azitromisin
untuk demam tifoid tanpa komplikasi pada dewasa dapat dipersingkat menjadi 5 hari.17
Hasil menggembirakan pada penelitian ini mendorong kami untuk melakukan uji terhadap
pengobatan dengan durasi yang lebih singkat pada anak dan remaja.
Studi kali ini menyatakan bahwa perbaikan secara klinis lebih baik pada pemberian
azitromisin oral 10mg/kgBB/hari single dose selama 6 hari yang dibandingkan dengan
ceftriaxon intravena 100mg/kgBB/hari terbagi dalam dua dosis selama 7 hari, dan ini
menunjukkan hasil yang signifikan (p=0.027); walaupun tidak didapatkan hubungan yang

signifikan pada perbaikan mikrobiologis antara kedua kelompok (p=0.131). Hasil serupa juga
didapatkan pada 5 studi sebelumnya yang menyatakan keefektivan azitromisin untuk
pengobatan demam tifoid pada anak, remaja, dan dewasa. Pada tiap studi, tingkat
kesembuhan secara klinis dan mikrobiologis lebih dari 90 % tanpa ditemukan adanya efek
yang merugikan atau demam tifoid relaps (Tabel 3).7,15-17
Azitromisin muncul sebagai obat yang efektif dalam mengobati demam tifoid tanpa
komplikasi pada anak dengan angka keberhasilan > 95 %. Angka kegagalan terapi sebesar 9.3
% telah diobservasi pada studi sebelumnya. 18 Dua studi lainnya melaporkan angka
kesembuhan secara klinis sebesar 82 % dan 92 %.6,7,18 Pola sensitivitas yang ditemukan pada
studi ini juga sama dengan studi di India.
KESIMPULAN
Azitromisin oral (10mg/kgBB/hari one-dose selama 6 hari) lebih efektif dibandingkan dengan
ceftriaxon intravena (100mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis selama 7 hari) untuk terapi demam
tifoid tanpa komplikasi pada anak dan remaja.
Keterbatasan pada Studi
1. Hasil kultur darah kurang baik (hanya 6 %) dan sangat kurang untuk menggambarkan
tingkat sensitivitas pada kultur darah. Oleh karena itu, peneliti tidak dapat
menggambarkan hasil mikrobiologi pada studi ini secara efektif.
2. Studi ini tergolong dalam penelitian dalam sampel yang kecil, maka dibutuhkan
penelitian yang melibatkan jumlah sampel yang lebih besar.
ACKNOWLEDGEMENT
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Rumah Sakit Cheluvamba, Mysore Medical
College, dan Research Institute Dean, komite etik yang telah bersedia memberikan
persetujuan berkaitan dengan dilaksanakannya penelitian ini. Peneliti juga sangat berterima
kasih pada laboratorium sentral, MMC dan RI, Mysore, dan laboratorium SRL, Mysore yang
telah membantu dalam melakukan investigasi. Selain itu, terima kasih juga kepada seluruh
anak dan orang tua yang telah berpartisipasi dalam studi ini. Pembiayaan pada studi ini
ditanggung oleh peneliti.
REFERENSI
1. Byrne JP. Encyclopedia of Pestilence, Pandemics and Plagues. Vol.
1(A-M). Connecticut: Greenwood; 2008. p. 190.
2. USAMRMC: 50 Years of Dedication to the Warfi ghter 1958-2008.
U.S. Army Medical Research and Material Command; 2008. p. 5.
3. Fuller GW. Description of the Process and Plant of the Jersey City
Water Supply Company for the Sterilization of the Water of the
Boonton Reservoir. Proceedings American Water Works Association;
1909. p. 110-34.

4. Choo KE, Davis TM, Ismail A, Tuan Ibrahim TA, Ghazali WN. Rapid
and reliable serological diagnosis of enteric fever: Comparative
sensitivity and specificity of Typhidot and Typhidot-M tests in febrile
Malaysian children. Acta Trop 1999;72:175 83.
5. Bhutta ZA, Mansurali N. Rapid serologic diagnosis of pediatric
typhoid fever in an endemic area: A prospective comparative
evaluation of two dot-enzyme immunoassays and the Widal test. Am
J Trop Med Hyg 1999;61:654-7.
6. Bhutta ZA. Salmonella. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
Stanton BF, editors. Nelson Text Book of Pediatrics. 18th ed.
Philadelphia, PA: Saunders Elsevier; 2011. p. 1186-90.
7. Frenck RW Jr, Nakhla I, Sultan Y, Bassily SB, Girgis YF, David J, et al.
Azithromycin versus ceftriaxone for the treatment of uncomplicated
typhoid fever in children. Clin Infect Dis 2000;31:1134-8.
8. Chinh NT, Parry CM, Ly NT, Ha HD, Thong MX, Diep TS, et al. A
randomized controlled comparison of azithromycin and ofl oxacin for
treatment of multidrug-resistant or nalidixic acid-resistant enteric
fever. Antimicrob Agents Chemother 2000;44:1855-9.
9. Islam A, Butler T, Kabir I, Alam NH. Treatment of typhoid fever with
ceftriaxone for 5 days or kloramfenikol for 14 days: A randomized
clinical trial. Antimicrob Agents Chemother 1993;37:1572-5.
10.
Tribble D, Girgis N, Habib N, Butler T. Effi cacy of azithromycin
for typhoid fever. Clin Infect Dis 1995;21:1045-6.
11.
Girgis NI, Butler T, Frenck RW, Sultan Y, Brown FM, Tribble D,
et al. Azithromycin versus ciprofl oxacin for treatment of
uncomplicated typhoid fever in a randomized trial in Egypt that
included patients with multidrug resistance. Antimicrob Agents
Chemother 1999;43:1441-4.
12.
Butler T, Sridhar CB, Daga MK, Pathak K, Pandit RB, Khakhria
R, et al. Treatment of typhoid fever with azithromycin versus
kloramfenikol in a randomized multicentre trial in India. J Antimicrob
Chemother 1999;44:243-50.
13.
Rahman M. Treatment of enteric fever. Orion Med J
2009;32:674.
14.
Wildfeuer A, Laufen H, Zimmermann T. Distribution of orally
administered azithromycin in various blood compartments. Int J Clin
Pharmacol Ther 1994;32:356-60.
15.
Rakita RM, Jacques-Palaz K, Murray BE. Intracellular activity of
azithromycin against bacterial enteric pathogens. Antimicrob Agents
Chemother 1994;38:1915-21.
16.
Aggarwal A, Ghosh A, Gomber S, Mitra M, Parikh AO. Effi cacy
and safety of azithromycin for uncomplicated typhoid fever: An open
label noncomparative study. Indian Pediatr 2011;48:553-6.
17.
Saha SK, Talukder SY, Islam M, Saha S. A highly ceftriaxoneresistant Salmonella typhi in Bangladesh. Pediatr Infect Dis J
1999;18:387.
18.
Parry CM, Ho VA, Phuong le T, Bay PV, Lanh MN, Tung le T, et
al. Randomized controlled comparison of ofl oxacin, azithromycin,
and an ofloxacin-azithromycin combination for treatment of

multidrug-resistant and nalidixic acid-resistant


Antimicrob Agents Chemother 2007;51:819-25.

typhoid

fever.

Vous aimerez peut-être aussi