Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Nn. E
Usia
: 15 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Pelajar
Status Perkawinan
: Belum Nikah
Suku
: Jawa
Nomer RM
: 773156
Tanggal periksa
: 12 Juli 2015
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
: Mata merah
sebelumnya
Pasien tidk menggunakan kacamata sebelumnya
III. PEMERIKSAAN
1. Keadaan Umum
: Baik
2. Kesadaran
: Compos mentis
3. Tanda Vital
Tekanan Darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 86x/menit
Pernafasan
: 18x/menit
Suhu
: 36,70 C
+
+
Nodul
Pemeriksaan
AV
Tanpa koreksi
Dengan koreksi
TIO
Kedudukan
Pergerakan
Palpebra
- Edema
- Hiperemi
- Ptosis
- Entropion
- Ektropion
Konjungtiva Bulbi
- Injeksi konjungtiva
- Injeksi siliar
- Sekret
- Pterigium
- Sklera
OS
1,0
N/P
Orthophoria
Jernih
Cembung
-
Cukup
-
Kornea
Warna
Permukaan
Ulkus
Edema
Infiltrat
Sikatrik
Jernih
Cembung
-
Cukup
-
Coklat
Normal
Bulat
Sentral
2 mm
+ langsung
Coklat
Normal
Bulat
Sentral
2 mm
+langsung
Iris / pupil
Warna iris
Kripte iris
Bentuk pupil
Letak pupil
Ukuran pupil
Reflek cahaya
jernih
-
Lensa
Warna
Iris shadow
jernih
-
V. RESUME
Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUD Waled dengan keluhan mata
kanan merah sejak 1 minggu SMRS. Mata kanan merah disertai perasaan silau
apabila terkena cahaya dan tampak seperti ada benjolan, pasien mengeluh ada
yang menghalangi pandangan, tetapi pasien tidak mengeluh adanya penurunan
tajam pengelihatan.
Selain itu mata kanan sering mengeluarkan air mata tetapi tidak terasa
lengket dan tidak keluar kotoran. Keluhan tersebut juga disertai rasa nyeri apabila
ditekan pada sekitar mata, nyeri dirasakan tidak menyebar ke dahi dan alis.
Medikamentosa
Steroid eye drop (Xitrol 6x1 gtt OD)
Air mata buatan (Lyteers 6x1 ggt OD)
NSAID (Na Diklofenak 3x25 mg p.o)
VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam
: dubia ad bonam
Ad Functionam
: dubia ad bonam
Ad Sanactionam
: dubia ad bonam
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
II.1. SKLERA
II.1.1. ANATOMI SKLERA
Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan
kelanjutan dari kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya,
kecuali di bagian depan bersifat transparan yang disebut kornea. Sklera
merupakan dinding bola mata yang paling keras dengan jaringan pengikat yang
tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan dengan
berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah
pigmen, yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada dewasa karena
terdapatnya deposit lemak, sklera tampak sebagai garis kuning.
Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir
pada kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular
disisipkan ke dalam sklera. Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari
nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima
rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus
koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera
mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah
tersusun melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh
darah yang melekat pada sklera.
Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada
bola mata posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea,
untuk menentukan bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan
menyediakan kebutuhan bagi penempatan otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus
oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati foramen skleralis posterior.
Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan
1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu
penampang yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar
melalui serat optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm
pada kutub posterior hingga 0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau
akuator.
tebal 10-16 m dan lebar 100-140 m, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan
endotelium. Struktur histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.
II.1.2. FISIOLOGI SKLERA
Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen
intra okular. Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan
pergerakan bola mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya.
Pendukung dasar dari sklera adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan
vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Hidrasi yang terlalu tinggi pada
sklera menyebabkan kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera dan
jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan
perbandingan yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket.
Perbandingan ini sering terganggu sehingga menyebabkan beberapa penyakit
yang mengenai struktur artikular sampai pembungkus sklera dan episklera.
II.2. EPISKLERITIS
II.2.1. DEFINISI
Episkleritis didefinisikan sebagai peradangan lokal sklera yang relatif
sering dijumpai. Kelainan ini bersifat unilateral pada dua-pertiga kasus, dan
insidens pada kedua jenis kelamin wanita tiga kali lebih sering dibanding pria.
Episklera dapat tumbuh di tempat yang sama atau di dekatnya di jaringan
palpebra. Episkleritis merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskular yang
terletak antara konjungtiva dan permukaan sklera.
Keluhan pasien dengan episkleritis berupa mata terasa kering, dengan rasa
sakit yang ringan, mengganjal, dengan konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang
yang terjadi pada episklerisis mempunyai gambaran khusus, yaitu berupa benjolan
setempat dengan batas tegas dan warna putih di bawah konjungtiva. Bila benjolan
itu ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, akan
memberikan rasa sakit, rasa sakit akan menjalar ke sekitar mata. Pada episkleritis
bila dilakukan pengangkatan konjungtiva di atasnya, maka akan mudah terangkat
atau dilepas dari pembuluh darah yang meradang. Perjalanan penyakit mulai
dengan episode akut dan terdapat riwayat berulang dan dapat berminggu-minggu
atau beberapa bulan.
Radang episklera disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap
penyakit sistemik seperti tuberkulosis, reumatoid arthritis, lues, SLE, dll.
Merupakan suatu reaksi toksik, alergi atau merupakan bagian daripada infeksi.
Dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik.
II.2.2. EPIDEMIOLOGI
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat
insidensi kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien
yang ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6% nya
adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit
ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau
mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan. Peningkatan
insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak
terkena daripada pria dengan perbandingan 3 : 1. Insiden skleritis terutama terjadi
antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun.
II.2.3. ETIOLOGI
Hingga sekarang para dokter masih belum dapat mengetahui penyebab
pasti dari episkleritis. Namun, ada beberapa kondisi kesehatan tertentu yang selalu
berhubungan dengan terjadinya episkleritis.
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh
proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan
tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus,
mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses
imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah
katarak.
II.2.4. PATOFISIOLOGI
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi
sel T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis.
Inflamasi dari sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan
menyebabkan penipisan pada sklera dan perforasi dari bola mata. Inflamasi yang
mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit imun sistemik dan
penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun secara
umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa
disebabkan oleh kompleks imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular
(reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon kronik granulomatous (reaksi
hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari sistem imun aktif
dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun pada
pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan venula
post kapiler dan respon imun sel perantara.
II.2.5. KLASIFIKASI
Ada dua jenis episkleritis:
Episkleritis simpel
Ini adalah jenis yang paling umum dari episkleritis. Peradangan biasanya
ringan dan terjadi dengan cepat. Hanya berlangsung selama sekitar tujuh
sampai 10 hari dan akan hilang sepenuhnya setelah dua sampai tiga
minggu. Pasien dapat mengalami serangan dari kondisi tersebut, biasanya
setiap satu sampai tiga bulan. Penyebabnya seringkali tidak diketahui.
Episkleritis nodular
Hal ini sering lebih menyakitkan daripada episkleritis simpel dan berlangsung
lebih lama. Peradangan biasanya terbatas pada satu bagian mata saja dan
mungkin terdapat suatu daerah penonjolan atau benjolan pada permukaan
mata. Ini sering berkaitan dengan kondisi kesehatan, seperti rheumatoid
arthritis, colitis dan lupus.
Jika pasien mengalami episkleritis nodular, pasien mungkin memiliki satu atau
lebih benjolan kecil atau benjolan pada daerah putih mata. Pasien mungkin
merasakan bahwa benjolan tersebut dapat bergerak di permukaan bola mata.
Gambar. Episkleritis
II.2.7. DIAGNOSIS
Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.
ANAMNESIS
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan
penyakit, riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun
riwayat pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh.
Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan dapat
terjadi penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah.
Nyeri adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya
inflamasi yang aktif. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung
saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa
berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun
sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang sementara dengan
penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis tanpa disertai
sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh
perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang
menjadi keratitis, uveitis, glaukoma, katarak dan fundus yang abnormal.
Gambar. Skleritis
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya penyakit
sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat menyebabkan
skleritis seperti :
Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
Penyakit infeksi
Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid dan
ibandronate.
Post pembedahan pada mata
Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati, penyakit
ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.
Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan
responnya terhadap pengobatan.
PEMERIKSAAN FISIK SKLERA
1. Daylight
Sklera bisa terlihat merah kebiruan atau keunguan yang difus. Setelah
serangan yang berat dari inflamasi sklera, daerah penipisan sklera dan translusen
juga dapat muncul dan juga terlihat uvea yang gelap. Area hitam, abu-abu dan
coklat yang dikelilingi oleh inflamasi yang aktif yang mengindikasikan adanya
proses nekrotik. Jika jaringan nekrosis berlanjut, area pada sklera bisa menjadi
avaskular yang menghasilkan sekuester putih di tengah yang dikelilingi lingkaran
coklat kehitaman. Proses pengelupasan bisa diganti secara bertahap dengan
jaringan granulasi meninggalkan uvea yang kosong atau lapisan tipis dari
konjungtiva.
2. Pemeriksaan Slit Lamp
Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam episklera
dengan beberapa bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi anterior
dan posterior cahaya slit lamp bergeser ke depan karena episklera dan sklera
edema. Pada skleritis dengan pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan
superfisial episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam
episklera.
3. Pemeriksaan Red-free Light
Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan area yang mempunyai
kongesti vaskular yang maksimum, area dengan tampilan vaskular yang baru dan
juga area yang avaskular total. Selain itu perlu pemeriksaan secara umum pada
mata meliputi otot ekstra okular, kornea, uvea, lensa, tekanan intraokular dan
fundus.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Berdasarkan riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan sistemik dan
pemeriksaan fisik dapat ditentukan tes yang cocok untuk memastikan atau
menyingkirkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan skleritis. Adapun
pemeriksaan laboratorium tersebut meliputi :
Hitung darah lengkap dan laju endap darah
Konjungtivitis alergika
Episkleritis
Gout
Herpes zoster
Rosasea okular
Karsinoma sel skuamosa pada konjungtiva
Karsinoma sel skuamosa pada palpebra
Uveitis anterior nongranulomatosa
II.2.9. PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik.
Pasien yang terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan
yang spesifik juga. Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada
skleritis yang tidak infeksius, pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta
konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai ada penyakit sistemik yang
menyertai.
1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau
obat imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal saja tidak
mencukupi. Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon
pengobatan, efek samping, dan penyakit penyerta lainnya.
o Diffuse scleritis atau nodular scleritis
Pengobatan
awal
menggunakan
NSAIDs.
Jika
gagal
dapat
o Necrotizing scleritis
Naproxen diserap dengan cepat dan memiliki paruh waktu sekitar 12 15 jam.
Dosis: 250-500 mg PO 2 kali sehari. Tidak lebih dari 1500 mg/hari.
4. Ibuprofen (Motrin, Ibuprin, Advil)
Biasanya merupakan obat pilihan untuk pengobatan nyeri ringan sampai sedang,
jika tidak ada kontraindikasi. Menghambat reaksi peradangan dan nyeri,
kemungkinan dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase, yang
menghasilkan sintesis prostaglandin.
Obat yang berikatan kuat dengan protein dan siap diserap secara oral. Memiliki
paruh waktu yang singkat (1.8-2.6 jam).
Dosis: 300-800 mg PO 4 kali sehari, 400-800 mg IV selama 30 menit setiap 6 jam
kalau diperlukan. Tidak melebihi 3200 mg/hari
5. Sulindac (Clinoril)
Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan, dengan begitu, menghambat sintesis
prostaglandin. Menghasilkan penurunan pembentukan mediator peradangan.
Dosis: 150-200 mg PO 2 kali sehari. Tidak melebihi 400 mg/hari.
Gunakan dosis terendah yang paling efektif untuk jangka waktu terpendek.
6. Piroxicam (Feldene)
Secara struktur kimia berbeda dengan NSAID. Berikatan dengan protein plasma.
Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan dengan begitu, menghambat sintesis
prostaglandin. Efek ini menurunkan pembentukan mediator radang.
Dosis: 20 mg PO setiap harinya atau dibagi 2 kali sehari; tidak melebihi 30-40
mg/hari
B. Agen Imunosupresan
Digunakan untuk skleritis berat (Necrotizing scleritis) dan yang resisten terhadap
NSAIDs.
1. Methotrexate (Folex, Rheumatex)
Mekanisme kerjanya dalam pengobatan reaksi peradangan kurang diketahui.
Dapat mempengaruhi fungsi imun dan biasanya menghilangkan gejala peradangan
Sebesar 0.5 mg/kg/hari setelah 6-8 minggu, kemudian sebesar 0.5 mg/kg/hari
setiap 4 minggu, tidak melebihi 2.5 mg/kg/hari.
Pengawasan: Kurangi dosis sebanyak 0.5 mg/kg setiap 4 minggu sampai dosis
efektif terendah tercapai
4. Cyclosporine (Neoral)
Siklik polipeptida yang menekan beberapa imun humoral dan reaksi imun yang
dilakukan sel, seperti hipersensitifitas tipe lambat dan penolakan cangkok.
Dosis: 2.5 mg/kg/hari dibagi 2 kali sehari PO kurang lebih 8 minggu, Dapat
ditambah menjadi tidak lebih dari 4 mg/kg/hari
C. Glukokortikoid
Memiliki sifat anti peradangan dan mengakibatkan bermacam efek metabolik.
Kortikosteroid mempengaruhi respon imun tubuh dan berguna dalam pengobatan
skleritis yang berulang.
1. Methylprednisolone (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Medrol)
Pemberian IM atau IV. Biasanya digunakan sebagai tambahan agen imunosupresif
lainnya.
Dosis: 2-60 mg/hari dibagi sekali sehari atau 2 kali sehari PO
Metilprednisolon asetat: 10-80 mg IM setiap 1-2 minggu
Jika diberikan sebagai pengganti sementara untuk pemberian oral, berikan dosis
IM setiap harinya sama dengan dosis oral.
Untuk efek jangka panjang, berikan dosis oral 7 kali setiap harinya IM setiap
minggu. Hanya metilprednisolon sodium sukinat dapat diberikan secara IV
Digunakan untuk mengobati reaksi peradangan dan alergi. Bekerja dengan cara
meningkatkan permeabilitas kapiler dan menekan kerja PMN, serta dapat
menurunkan peradangan.
Dosis: 5-60 mg/hari PO setiap hari atau dibagi 2 kali sehari sampai 4 kali sehari.
II.2.10. KOMPLIKASI
Penyulit skleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina,
ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Keratitis
II.2.11. PROGNOSIS
Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana
termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata
Skleritis pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan
buta permanen dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan komplikasi pada
mata. Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah tipe skleritis difus,
nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada
penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau
autoimun. Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan
lebih respon terhadap tetes mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe
yang paling destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas atau yang
telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada tipe
skleritis yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S., 2005. Penuntun Ilmu Penyakit Mata edisi ke-3. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
2. PERDAMI. 2006. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum & Mahasiswa
Kedokteran, PERDAMI.
3. Roy Sr H , episkleritis, http://emedicine.medscape.com/article/1228246overview.Medscape.
4. Riordan-Eva, Paul, John P.Whitcher. Vaughan & Asburys General
Ophthalmology. USA: Mc.GrawHill; 2008.
5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum, Edisi 14, Cetakan I, Widya Medika,
Jakarta, 2000: Hal 165-167.
BAB III
ANALISIS KASUS
III.1 Identitas Pasien
Pasien perempuan 15 tahun sebagai pelajar. Hal ini faktor resiko bagi terjadinya
episkleritis, jenis kelamin perempuan termasuk insidensi tinggi terkena
episkleritis dibandingkan pria.
III.2 Anamnesis