Vous êtes sur la page 1sur 55

D.N.

Aidit dan Kehancuran PKI

Pembunuhan keenam jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965 diikuti oleh


serangkaian perkembangan dan memuncak dengan berhentiinya Presiden Soekarno
satu setengah tahun kemudian. Hancurnya sistem Demokrasi Terpimpin telah dapat
dibayangkan pada tanggal 1 Oktober 1965 ketika Soeharto yang didukung oleh
para jenderal senior yang lain tidak sejalan dengan pandangan-pandangan presiden,
tetapi baru pada minggu-minggu berikutnya dalam bulan itu imbangan kekuatan
yang lama tak tertolong lagi, sehingga terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap
para pendukung PKI. Lenyapnya PKI, salah satu kekuatan politik yang efektif
dalam tiga bulan terakhir tahun 1965, mengakibatkan yang tinggalah hanyalah
presiden dan kepemimpinan Angkatan Darat sebagai dua pusat kekuasaan yang
bersaing untuk mendapatkan dukungan dari kekuatan-kekuatan politik yang lebih
kecil. Segera menjadi jelas bahwa tanpa dukungan PKI, Soekarno jauh berkurang
kemampuannya untuk menguasai kepemimpinan Angkatan Darat daripada
sebelumnya.
Kondisi yang sulit dihadapi oleh dominasi Angkatan Darat yang makin
bertambah, adalah pembasmian PKI. Walaupun tidak jelas apakah pemimpin
Angkatan Darat memang bermaksud agar pembunuhan-pembunuhan sesudah
kudeta itu harus sampai ke tingkat yang begitu ganas seperti yang dialami di
daerah-daerah Jawa Timur, Bali dan Aceh, namun tidak dapat diragukan bahwa
mereka mengeksploitasi kesempatan yang tersedia oleh percobaan kudeta itu untuk
melenyapkan PKI, baik di Jakarta maupun tingkat-tingkat provinsi dan kabupaten.
1

Di daerah-daerah pedesaan di Jawa dan di tempat-tempat lain, para perwira


Angkatan Darat bekerja sama dengan anggota-anggota organisasi sipil nonkomunis
dalam pembunuhan ratusan ribu aktivis PKI, sehingga partai tersebut kehilangan
dukungan dasarnya yaitu massa yang terorganisasi. PKI yang diorganisasi lebih
untuk beragitasi daripada berperang, sama sekali tidak berada dalam posisi untuk
membela diri terhadap serangan yang didukung oleh Angkatan Darat. Para
pemimpinnya bersikap ragu untuk mendorong mengadakan perlawanan sedang
kawan-kawan mereka dalam angkatan bersenjata terlalu kecil untuk mampu
memberikan perlindungan. Sementara Presiden Soekarno di Jakarta berkali-kali
menyeruhkan agar pembunuhan massa di Jawa itu tidak dilanjutkan, pendukungpendukung terdekatnya di dalam angkatan bersenjata dan partai-partai politik
tinggal diam. Karena sakit hati akan kemajuan yang dicapai oleh PKI sehingga
mencapai kedudukan sebagai kawan utama Soekarno, para pemimpin kekuatankekuatan politik lainnya yang merasa lebih dekat kepada Presiden Soekarno
daripada pemimpin-pemimpin Angkatan Darat, sepertinya tidak dapat menghargai
kekuasaan Soekarno yang bergantung pada terpeliharanya kesempatan di mana
PKI memainkan peranan menyeluruh. Mungkin menganggap lenyapnya PKI
sebagai kesempatan untuk memperkuat posisi mereka sendiri menjadi kekuatankekuatan yang dapat diandalkan oleh presiden untuk mengimbangi kekuasaan
Angkatan Darat mereka lebih suka menunhuhkan sikap yang tidak kompromis di
mata para pemimpin Angkatan Darat dengan cara tidak mempertahankan PKI;
pemimpin-pemimpin Angkatan Laut, Kepolisian dan partai-partai seperrti PNI
menyisih ketika imbangan kekuasaan yang merupakan basis kekuasaan Soekarno
tumbang.
Tersingkirnya Jani dan kelompok-kelompok terdekatnya pada tanggal 1
Oktober membawa perubahan penting dalam pandangan kepemimpinan Angkatan
2

Darat. Walaupun Jani dan kelompoknya sudah sampai pada posisi yang tidak
mudah disesuaikan dengan presiden, mereka tetap belum mau menentang presiden
secara langsung dan terang-terangan mengenai kenyataan adanya dorongan
presiden terhadap PKI. Namun sebagai konsekuensi percobaan kudeta,
kepemimpinan Angkatan Darat jatuh ke Soeharto yang didukung oleh Nasution.
Baik Soeharto maupun Nasution bukan anggota kalangan dekat presiden, dan
keduanya termasuk golongan perwira senior yang telah menyatakan keprihatinan
mereka dengan keengganan Jani untuk berhadapan muka dengan Soekarno secara
langsung sehubungan dengan kemajuan-kemajuan PKI. Ketika kelompok Jani
lenyap dengan sekali pukul pada tanggal 1 Oktober, kepemimpinan Angkatan
Darat bergeser kepada mereka yang lebih cenderung melakukan aksi-aksi segera
terhadap PKI, yang tidak begitu terpengaruhi oleh Soekarno secara pribadi .
Presiden Soekarno sadar sepenuhnya bahwa keseimbangan yang rapuh
menjadi sandaran dari kekuatan dan kekuasaannya berada dalam bahaya besar,
sebagai akibat dari peristiwa 1 Oktober. Soeharto dan Nasution telah menolak
mengakui penunjukan presiden atas Pranoto dan telah melaksanakan operasi
terhadap pangkalan Halim tidak sejalan dengan kemauan presiden. Soekarno
menyadari

bahwa

jika

ia

tidak

menegakkan

kembali

kekuasaan

dan

kewibawaannya atas Angkatan Darat dengan segera, mereka akan bertindak


membersihkankan Angkatan Darat, mengambil tindakan terhadap Angkatan Udara
dan mungkin mendapat jalan untuk melibatkan PKI. Minggu-minggu berikutnya
tujuan utama Soekarno adalah mempertahankan status quo. Berulang-ulang ia
meminta orang untuk tenang dan menahan diri serta menjanjikan untuk melakukan
penyelesaian politik , yang merupakan kebalikan dari penyelesaian dratis yang
diancamkan oleh para pemimpin Angkatan Darat.

Menyadari bahwa ia tidak boleh kehilangan waktu untuk mengembalikan


kewibawaannya atas pemimpin-pemimpin Angkatan Darat, Soekarno memanggil
para panglima Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Kepolisian bersama-sama
dengan Parnoto, Soeharto dan Mursjid ke istananya di Bogor pada tanggal 2
Oktober dengan maksud menguatkan penunjukkan Pranoto. Rapat yang
berlangsung 5 jam itu berjalan dalam suasana penuh ketegangan, karena Soeharto
mempertahankan bahwa Angkatan Darat tidak akan menerima penunjukkan
Pranoto serta meminta agar diambil tindakan terhadap pimpinan Angkatan Udara.
Akhirnya Soeharto dapat menerima perintah presiden sehari sebelumnya yang
menyatakan bahwa Soekarno sendirilah yang memegang komando formal atas
Angkatan Darat dan menunjuk Pranoto untuk melaksanakan tugas sehari-hari
panglima, tetapi dengan syarat bahwa Soeharto diberi tanggung jawab
memulihkan keamanan dan ketertiban. Soeharto dengan dukungan Nasution dan
jenderal-jenderal senior lainnya telah berketetapan untuk mengadakan pembersihan
terhadap mereka yang dipandang terlibat dalam pembunuhan, dan mereka
berpendapat adalah penting bahwa merekalah, dan bukan presiden yang memegang
pengawasan.

Soekarno berharap untuk sebanyak mungkin membatasi akibat-akibat dari


percobaan kudeta karena ia mengetahui bahwa para perwira yang terlibat dalam
gerakan tersebut adalah pendukung-pendukung kepemimpinnya. Walaupun ia
memberikan perlindungan selama beberapa hari di istananya di Bogor kepada
Soepardjo, namun ia tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah Soepardjo kena
pembersihan, juga perwira-perwira Angkatan Darat dan Angkatan Udara yang lain
yang secara langsung ada hubungannya dengan Gerakan 30 September. Namun
demikian, ia sendiri merasa perlu melindungi kepemimpinan Angkatan Darat yang
telah menjadi kawannya yang terdekat dalam angkatan bersenjata selama beberpa
bulan terakhir. Juga Omar Dhani diberi perlindungan di istana presiden di Bogor.
Pada tanggal 3 Oktober sesudah tubuh para jenderal yang hilang diketemukan di
Lubang Buaya, Soekarno mengadakan siaran radio pada tengah malam yang
menyatakan bahwa tuduhan keterlibatan Angkatan Udara dalam Gerakan 30
Setember adalah tidak benar, dan ia memperingatkan Kita harus tetap berjagajaga agar Angkatan Darat dan Angkatan Udara tidak diadu domba satu sama lain,
yang akan menguntungkan Nekolim dan antek-anteknya.

Sebagaimana dikhawatirkan presiden, kesempatan diketemukannya tubuh


para jenderal pimpinan Angkatan Darat di Lubang Buaya dieksploitasi sepenuhnya
oleh pimpinan Angkatan Darat. Pengambilan mayat pada tanggal 4 Oktober
ditangguhkan sampai berkumpul para wartawan, pemotret dan juru kamera televisi.
Pengambilan mayat itu disaksikan juga oleh beberapa jenderal senior termasuk
Soeharto yang memberikan pidato radio dan pidato televisi singkat yang
menunjukan keterlibatan Angkatan Udara dan komunis dalam pembunuhanpembunuhan tersebut. Sesudah menekankan bahwa Lubang Buaya yaitu tempat
mayat-mayat itu diketemukannya berada dalam lingkungan pangkalan Angkatan
Udara, ia menyebutkan bahwa tempat itu juga merupakan pusat latihan di mana
anggota-anggota organisasi pemuda dan wanita yang berafiliasi dengan PKI diberi
5

latihan kemiliteran. Ia melanjutkan Mungkin latihan itu dimaksudkan untuk


pertahanan dari pangkalan tersebut; namun menurut seorang anggota Gerwani
yang dilatih di sini yang telah ditangkap di Cirebon, ia berasal dari Jawa Tengah.
Jauh dari tempat ini, Jadi, sesuai dengan kenyataan adalah mungkin bahwa apa
yang dikatakan oleh presiden yang kita cintai dan Pemimpin Besar Revolusi bahwa
Angkatan Udara tidak terlibat dalam masalah itu, mungkin mengandung
kebenaran, tetapi tidak mungkin bahwa tidak ada hubungan antara insiden tersebut
dengan beberapa anggota tertentu dari Angkatan Udara. Ketika Soeharto
menunjukkan keterlibatan beberapa anggota tertentu dalam Angkatan Udara, ia
tidak hanya membayangkan Mayor Sujono dan perwira-perwira lain yang relatif
yunior akan tetapi juga Laksamana Udara Omar Dhani. Pidato Soeharto yang
secara terus terang mengatakan bahwa presiden yang kita cintai tidak
memberikan keterangan yang sepenuhnya benar dalam pernyataan radio, yang juga
telah dimuat dalam koran pagi, jelas memperlihatkan bahwa ia tidak begitu segan
terhadap presiden. Presiden tidak akan dapat mengharapkan ketaatan dan
kemurahan hati dalam hubungannya dengan Soeharto, yang secara terbuka telah
menunjukkan bahwa ia berketetapan untuk membersihkan kepemimpinan
Angkatan Udara walaupun ini tidak direstui oleh Soekarno.
Dalam pidatonya, Soeharto juga mengatakan bahwa PKI telah terlibat dalam
percobaan kudeta. Walaupun bukti-bukti yang tersedia pada hari-hari pertama
seakan-akan menunjukkan bahwa para perwira Angkatan Darat yang
membangkang dibantu dengan dengan perwira-perwira Angkatan Udara itulah
yang terutama harus bertanggung jawab, namun Angkatan Darat cepat mencurigai
keterlibatan PKI dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang terbuka karena
keterlibatan itu untuk menangani hal tersebut.
Segera para pemimpin Angkatan Darat mengumumkan bahwa Jakarta
berada dalam keadaan darurat perang dan unit-unit Angkatan Darat mulai
menyapu daerah-daerah basis komunis di Ibu Kota serta menahan kader-kader
PKI. Para pejabat lokal dan warga negara antikomunis didorong untuk
menunjukkan rumah-rumah para tokoh PKI yang pada waktu itu ditahan. Pada
tanggal 3 Oktober anggota Politbiro, Njono, ditangkap dalam penyergapan seperti
6

itu. Perlawanan PKI kecil saja kecuali beberapa tembak-menembak yang terjadi
antara beberapa anggota pasukan dan anggota-anggota organisasi pemuda yaitu
Pemuda Rakyat yang bersenjata, di Hotel Indonesia pada tanggal 2 Oktober.
Semua surat kabar kiri dan surat-surat kabar lain kecuali Angkatan Bersenjata dan
Berita Yudha yang disponsori tentara dilarang terbit.
Sementara presiden meminta ketenangan dan usaha untuk menahan diri,
para pemimpin Angkatan Darat dengan sengaja memelihara suasana yang sangat
emosional dengan tema utama yang ditekankan berupa ajakan untuk membalas
dendam. Publisitas yang meluas dilakukan pada waktu pengambilan mayat para
jenderal pada tanggal 4 Oktober, diperhitungkan akan membangkitkan amarah
publik di belakang tuntutan Angkatan Darat untuk melakukan pembalasan dendam;
dan sebagai ganti pertunjukan kekuatan militer yang sebenarnya direncanakan
untuk dilaksanakan pada tanggal 5 Oktober Hari Angkatan Bersenjata,
diselenggarakan penguburan sekaligus enam jenderal dan perwira muda tersebut.
Hampir seluruh elite nonkomunis hadir dalam upacara penguburan itu, akan tetapi
presiden tidak hadir. Mengetahui bahwa para jenderal mungkin akan menggunakan
kesempatan itu untuk mencoba menghubungkan dirinya dengan tuntutan
pembalasan dendam mereka, ia tidak hadir akan tetapi mengirimkan ajudannya
untuk mengumumkan bahwa para jenderal yang terbunuh itu dinaikkan pangkatnya
secara anumerta.
Pada tanggal 6 Oktober, presiden melanjutkan upayanya menciptakan
suasana yang baik bagi penyelesaian yang kompromistis dengan mengundang rapat
kabinet lengkap di Bogor. Dalam pidatonya di depan kabinet Soekarno mengutuk
pembunuhan terhadap para jenderal yang disebutnya dengan sebutan terhormat
Pahlawan-Pahlawan Revolusi. Ia menyatakan ketidaksetujuannya terhadap
pembentukan Dewan Revolusi dan mengemukakan bahwa suasana yang tenang
dan tertib harus diciptakan kembali sehingga dapat diambil tindakan-tindakan
terhadap oknum-oknum dari golongan mana pun yang ikut serta dalam insiden
30 September. Presiden menekankan bahwa, Kita tidak boleh dikuasai oleh emosi,
tuduh-menuduh dan saling menyalahkan oleh hal-hal yang dapat memecah belah
bangsa, memecah-belah angkatan bersenjata dan kehidupan politik. Pidato
7

presiden itu diikuti dengan pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh para


wakil kelompok utama dalam kabinet, termasuk PKI. Walaupun Aidit tidak
menghadiri rapat. PKI diwakili oleh Nyoto dan Lukman yang membacakan
pernyataan Politbiro yang menyatakan bahwa PKI tidak terlibat dalam urusan
intern Angkatan Darat . Pada kesempatan itu juga diumumkan bahwa Omar Dhani
telah memerintahkan menahan para angggota Angkatan Udara yang ada sangkutpautnya dengan latihan para sukarelawan di Halim.
Sementara Soekarno mengusahakan mengembalikan harmoni dalam tingkat
kabinet, para pemimpin Angkatan Darat meneruskan kegiatan menggugah emosi
yang makin lama makin tertuju kepada PKI. Pada malam tanggal 6 anak
perempuan Nasution yang masih kecil yang terluka dalam penyergapan di rumah
ayahnya meninggal dan ini memperkeras tuntutan akan pembalasan. Poster-poster
mulai bermunculan di Jakarta dengan pesan Ganyang PKI, gantung Aidit, dan
pada tanggal 6 Oktober Angkatan Darat mengijinkan delapan surat kabar terbit
kembali yang semuanya dipercaya akan mendukung garis Angkatan Darat
menentang PKI sedangkan larangan terbit terhadap pers kiri tetap dilanjutkan. Pada
hari itu surat kabar Angkatan Darat, Berita Yudha mengatakan bahwa ada dalang di
belakang Untung dan pada tanggal delapan, editorial Angkatan Bersenjata
menyatakan bahwa Gestapu (percobaan kudeta) telah didalangi PKI Aidit.
Selama beberapa hari berikutnya tersebar desas-desus tentang bagaimana para
jenderal itu disiksa dan organ seks mereka dikerat oleh anggota-anggota organisasi
wanita PKI, Gerwani, dan bahwa Untung dan Soepardjo mempunyai rencana akan
membunuh presiden ( Harold Crouch, 1986 : 151 158 ) Pada pidato Presiden
tertanggal 12 Desember 1965x, Presiden Soekarno mengutuk para wartawan yang
telah membesar-besarkan pernyataan mereka, dan menegaskan bahwa dokterdokter yang telah memeriksa mayat para korban menyatakan, tentang tidak adanya
perusakan mengerikan pada mata dan alat kelamin sepeti yang diberitakan dalam
pers. Dalam visum et repertum tak terdapat sepatah kata pun di laporan-laporan ini
tentang adanya siksaan yang tak tersangkal bekas silet atau pisau keil apa pun
( Ben Anderson, 1999 : 52 53 ; Saskia E Wieringa, 2010 : 443 444 dan
Amurwani Dwi Lestrariningsih, 2011 : 69 71 )

Para pemimpin Angkatan Darat menghubungi partai-partai dan organisasiorganisasi antikomunis segera setelah percobaan kudeta dan membujuk mereka
untuk membentuk suatu front guna menuntut diambilnya tindakan terhadap PKI.
Pada tanggal 2 Oktober kepala bagian politik Koti, Brigjen Soetjipto mengundang
rapat para pemimpin muda dari partai-partai yang dengan cepat membentuk
kesatuan Aksi untuk mengganyang Gestapu (KAP-Gestapu). KAP-Gestapu yang
dipimpin oleh Subchan Z.E dari NU dan Harry Tjan dari partai Katolik, dengan
dorongan para perwira Angkatan Darat di Kostrad, mengadakan demontrasi
tanggal 4 Oktober, diikuti oleh kira-kira seribu demontran. Sesudah mendengarkan
pidato-pidato yang menyerang PKI, para demontran mengadakan gerak jalan
mengelilingi kota menuju Front Nasional untuk kemudian melanjutkan demontrasi
tersebut. Beberpa dari mereka terutama anggota-anggota organisasi pemuda
muslim pergi ke markas PKI, menyerang dan membakarnya. Walaupun tidak ada
izin resmi dari pemimpin-pemimpin KAP-Gestapu atau pejabat-pejabat militer,
mungkin mereka telah diberi jaminan oleh perwira-perwira muda Angkatan Darat
bahwa para jenderal senior tidak akan marah jika gedung PKI itu diserang secara
spontan oleh rakyat. Bagaimanapun, Angkatan Darat tidak mengambil langkah
untuk melindungi gedung PKI dan tidak bertindak menghentikan seranganserangan selanjutnya terhadap gedung-gedung yang ada ada hubungannya dengan
PKI dalam beberapa hari berikutnya.
Soeharto bergerak dengan hati-hati dalam menindak PKI. Ia memutuskan
untuk memanfaatkan situasi baru itu guna meniadakan saingan utamanya, tetapi
merasa tidak secara terbuka mengeluarkan perintah keapada panglima-panglima
daerah militer untuk menahan pemimpin-pemimpin PKI dan membubarkan partai
tersebut, apalagi secara terbuka memerintahkan pembunuhan massal yang
nyatanya terjadi. Sementara secara pribadi penghargaannya kepada presiden telah
berkurang, ia sadar akan kepopuleran Soekarno di kalangan angkatan bersenjata
termasuk Angkatan Darat dan tidak ingin membuka kartu, dalam arti bahwa para
panglima daerah militer diminta untuk memilih antara presiden di satu pihak dan
Soeharto bersama Nasution di lain pihak. Yakin bahwa kebanyakan panglima
daerah militer ingin mengeksplotasi kesempatan memukul PKI, Soeharto tidak
mengirimkan perintah-perintah resmi dan tertulis yang jelas tentang bagaimana
9

harus bertindak terhadap PKI. Sebagai gantinya adalah pesan bahwa PKI harus
dihancurkan yang disampaikan secara tidak resmi, membiarkan para komandan
setempat memutuskan sendiri cara apa yang akan digunakan. Tiadanya perintah
yang jelas dan terinci dari Jakarta mengakibatkan bahwa para panglima daerah
militer memberi reaksi kepada situasi masing-masing dengan cara-cara sendiri,
sehingga mengakibatkan tindakan-tindakan terhadap PKI berbeda-beda menurut
tempatnya.(Harold Crouch , 1986 : 151 158 )
Kecurigaan dan stereotip lintas batas aliran yang mengental, permusuhan
sengit antarpartai politik dengan aliran yang berbeda, konflik di wilayah-wilayah
pedesaan Jawa yang berubah menjadi kekerasaan semuanya ini mengakibatkan
pertumpahan darah dalam negeri yang paling buruk di dalam sejarah Indonesia.
PKI menjadi pihak yang dipersalahkan untuk peristiwa yang meletus di Jakarta
oleh militer dan banyak lawan-lawan politiknya. Di Jakarta dan berbagai kota lain,
para aktivis pemuda belatar belakang dengan dukungan dari militer membentuk
kelompok-kelompok untuk menyerang anggota PKI dan harta benda mereka.
Masyarakat keturunan Tionghoa juga menjadi sasaran.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur; kekerasaan sosial juga merebak dengan
skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Peran militer di kedua wilayah
tersebut berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Di wilayah tersebut, kepelikan
yang besar muncul karena karena Kodam Diponegoro di Jawa Tengah dan Kodam
Brawijaya di Jawa Timur merupakan dua divisi militer yang paling berhasil
diinflitrasi dan dipengaruhi oleh PKI, beberapa elemen dari mereka secara tegas
dan jelas berpihak pada pemimpin kudeta militer di Jakarta. Loyalitas dari kedua
divisi militer sangat penting ini, karenanya, diragukan. Soeharto dan kolegakoleganya perlu beberapa waktu sebelum bisa merasa yakin bahwa perintah yang
diberikan entah kepada Kodam Diponegoro atau Brawijaya akan dipatuhinya.
Karenanya, penggerak utama dari pasukan pemburu dan pembunuh kaum PKI di
wilayah-wilayah yang paling terpencil bukanlah dari kalangan militer. Juga bukan
dari kalangan mahasiswa, karena jumlah perguruan tinggi yang memiliki jaringan
hingga kedesa-desa masih sangat terbatas pada saat itu. Alih-alih, dan ini kiranya
bukan sesuatu yang mengejutkan, Ansor dan para kiai di pedesaanlah yang
10

memobilisasi murid-murid pesantren mereka dengan cara yang serupa pada yang
terjadi pada masa Revolusi dan setelah peristiwa Madiun 1948.
Seluruh pelosok Jawa Tengah dan Jawa Timur, sebagaimana tempat-tempat
lain di Indonesia, merupakan ladang subur tempat terjadinya perjumpaan antara
kesalehan, iman keyakinan yang kuat, doktrin-doktrin mistis, takhayul, kebencian,
kebodohan, jampi-jampi serta ilmu hitam, kedengkian dan sifat haus darah yang
primitif. Pamflet, rumor dan tuduhan yang dilancarkan pada prasangka
diketemukan di mana-mana. Dipercayai secara luas bahwa kaum Komunis telah
menyiapkan peralatan untuk mencungkil mata musuh-musuh mereka dan
memasukkan mayat-mayat para kiai yang sudah mereka bunuh kedalam sumur.
Diyakini bahwa rumah-rumah orang NU dan PNI di Yogyakarta (dan tak diragukan
lagi di tempat-tempat lain juga) akan dibubuhi dengan tanda rahasia untuk diserang
oleh kaum Komunis, sehingga anggota keluarga akan meneliti sekeliling rumah
mereka setiap paginya untuk mencari tahu bilakah terdapat tanda bahwa rumah
mereka akan dijadikan sasaran penyerangan.
Ansor NU dan sayap milisinya, Banser; memimpin jalannya pembantaian,
walaupun organisasi-organisasi Islam yang lain, terutama Muhamaddiyah juga
mengeluarkan pernyataan bahwa pembersihan PKI adalah sebuah kewajiban
beragama yang sama pentingnya dengan Perang Jihad. Para kiai tidak sesuara
dalam fatwa mereka mengenai nasib yang menanti kaum komunis, tetapi sebagian
besar dari mereka menilai bahwa membunuh kader-kader PKI adalah hal yang
diperbolehkan, bahkan merupakan sebuah kewajiban beragama. Musuh-musuh
komunis dipandang sebagai pengkhianat terhadap pemerintah yang sah dan
merupakan kaum kafir yang ateistik. Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa
beberapa anggota PKI bisa lepas dari upaya pembunuhan dengan cara
mengucapkan kalimat syahadat, dan, dengan demikian bertobat kepada Islam
dari status Muslim nominal abangan mereka yang sebelumnya, serta mempersulit
para santri untuk membunuh mereka, menegaskan bahwa ini pada dasarnya adalah
sebuah konflik religius di mata para aktivis santri. Tetapi, hal ini tidak selalu
berhasil. Beberpa kaum abangan memang mampu mengucapkan kalimat syahadat
dengan fasih, seperti halnya para pemeluk nominal agama lain sering kali juga
11

sanggup menggumamkan frasa-frasa ritual paling sederhana dari komunitas


kultural mereka, sehingga tidak sedikit orang yang dituduh sebagai anggota PKI
yang mengucapkan kalimat syahadat tetap saja dibunuh. Setidak-tidaknya, ada
seorang kiai yang mengatakan bahwa iman adalah urusan pribadi antara orang
yang percaya dan Allah; Kaum komunis yang memberontak terhadap pemerintah
Indonesia yang sah bisa dibunuh entah mereka Muslim atau bukan, tetapi setiap
orang yang tidak memberontak, entah dia kafir atau bukan, harus dibiarkan hidup;
kita tidak bisa mengharapkan banyak nyawa terselamatkan berkat perbedaan yang
subtil ini. Namun demikian, terdapat beberapa kiai yang mencoba menghentikan
pertumpahan darah dan menawarkan perlindungan kaum komunis, tetapi jumlah
mereka tidak banyak dan, secara keseluruhan dampak tindakan mereka kecil
belaka. Bahkan, ada beberapa kasus di mana pemimpin Ansor menoba melindungi
yang dikait-kaitkan dengan PKI, tetapi orang semacam ini sangatlah sedikit
jumlahnya. Ada kecurigaan besar terhadap wilayah-wilayah yang didiami oleh
kaum abangan di Gunung Kidul. Di desa Kajar, yang menjadi tempat pengkajian
Ann Dunham, sang kepala desa pada waktu kemudian mengenangkan bagaimana
sorang sersan angkatan darat dan para aktivis Ansor berkali-kali datang ke sana
dan menuntutnya untuk menyerahkan nama-nama warga yang komunis untuk
ditahan dan kemudian dibunuh, tetapi mereka pada akhirnya berhasil diyakinkan
bahwa tidak anggota PKI di kampung tersebut sehingga jumlah warga yang
kehilangan nyawanya relatif sedikit.
Di dekat Pemalang di Pesisir Utara Jawa, kekerasaan berdarah santriabangan pada 1965-6 memberi warga desa suatu peluang untuk melakukan aksi
balas dendam yang sebenarnya tidak berkaitan dengan percobaan kudeta, sebab
mereka lalu membunuh seorang kepala desa yang mereka benci dengan cara yang
mengingatkan kita pada aksi kedaulatan rakyat semasa Revolusi Indonesia.
Akan tetapi, PKI tetap menjadi sasaran utama dari aksi gabungan antara kalangan
militer lokal dan pesantren di wilayah tersebut, dengan pembunuhan tetap berada
di bawah komando Ansor. Sebelum peristiwa ini, PNI dan PKI merupakan
kekuatan politik yang paling kuat di wilayah tersebut, tetapi ketika rangkaian
pembantaian mereda pada 1966, NU menggantikan keduanya sebagai kekuatan
politik yang dominan dan ini akan bertahan cukup lama.
12

Upaya pembersihan ini, dalam kebanyakan kasus, berlangsung mudah. Kita


mungkin tidak percaya akan hal ini, tetapi tidak banyak aktivis PKI yang mencoba
untuk melawan nasib yang menimpa mereka. Pihak yang dulunya telah mengambil
langkah ofensif dengan melancarkan kampanye aksi sepihak kini tampak begitu
saja menerima kenyataan bahwa mereka kalah dan kematian telah menanti mereka.
Hanya sedikit tokoh atau pengikut PKI yang berhasil meloloskan diri, sebab di
daerah pedesaan di Jawa pada waktu itu (dan sekarang) nyaris tidak mungkin
pindah ke suatu wilayah baru tanpa diketahui orang lain. Para pembunuh tidak
memerlukan senjata api. Mereka lebih memilih menggunakan senjata mereka
sendiri : keris, pedang; celurit, dan alat-alat pertanian yang lain. Dan, tentu saja,
kepercayaan bahwa mereka memiliki ilmu kekebalan tubuh. Dalam satu dari
sedikit kasus perlawanan PKI, kaum komunis berusaha mempertahankan diri
mereka dengan pentung dan panah. Aktivis dan pengikut PKI dan tak diragukan
lagi, banyak orang lain yang baru menyadari bahwa mereka berada di kelompok
yang keliru pada waktu yang salah dibacok, ditusuk dan dihajar sampai mati.
Pemenggalanan kepala menjadi praktik yang lazim. Di Kediri, banyak korban
dipenggal kepalanya ditepian sungai Brantas dan mayat-mayat mereka dibuang
begitu saja ke airnya. Anggota-anggota Banser yang terluka dan terbunuh dalam
beberapa bentrokan, tetapi tidak ada keraguan bahwa korban terbanyak berasal dari
pihak abangan yang berafiliasi dengan PKI.
Jenderal Soemitro pada waktu kemudian mengenang tentang apa yang
disaksikannya ketika dia baru tiba di Surabaya untuk mengambil alih komando atas
Kodam Brawijaya pada pertengahan 1966 dengan perintah, inter alia, memastikan
pembersihan PKI tetapi juga menghentikan pembantaian massal yang gila-gilaan.
Di muara sungai Brantas yang membelah kota Surabaya, Soemitro menyaksikan
betapa sungai tersebut penuh dengan mayat-mayat yang mengambang, di mana
beberapa tersangkut di dedahunan pohon yang menggantung di pinggiran sungai.
Sebuah laporan inteljen Indonesia dari bulan November 1965 juga menuliskan
tentang : banyaknya mayat tanpa kepalayang mengambang di sungai dan di
sepanjang bibir sungai di Mojokerto. Palang Merah Indonesia membersihkan

13

mayat-mayat tersebut. Pada hari Minggu terdapat kurang lebih 162 mayat, dan
pada hari Senin, 102.
Soemitro, seperti semua orang lain sejauh pengetahuan kita, meyakini
adanya kekuatan supernatural yang terlibat di dalam berbagai peristiwa yang
mengerihkan ini. Tetapi, poin rujukan supernaturalnya, tidak sama dengan yang
diyakini oleh kaum santri. Alih-alih, dia berpikir dalam kerangka gagasan Jawa
yang pusatnya adalah sosok yang namanya lalu diabadikan sebagai nama Kodam
yang dipimpinnya Brawijaya dari Majapahit, raja Jawa pra-Islam terakhir, yang
digulingkan oleh para penakluk Muslim tetapi kemudian menjelma (menurut
keyakinan banyak masyarakat Jawa) sebagai kekuatan anti-Islam yang maha
dashyat dalam diri Sunan Lawu. Walaupun pada waktu itu tidak sangat
mendalami ilmu kebatinan Jawa dan masih hijau , Soemitro pergi ke
reruntuhan Brawijaya untuk bersemedi dan untuk mencari perlindungan serta
petunjuk dari Allah yang Mahakuasadan izin dari Brwajaya untuk melayaninya.
Gagasan-gagasan kebatinan semacam itu tersebar luas di antara kalangan militer
Jawa, menjadi pembeda dengan kaum santri yang baru akan tampak nyata setelah
1966. Soemitro ingin melayani Tuhan dan Brawijaya, sementara kaum santri ingin
melayani Allah dan para kiai mereka, tetapi, untuk keadaan pada waktu itu, keduaduanya sama berkepentingan untuk menghabisi kaum komunis.
Tidak seorang pun mengetahui dengan pasti berapa banyak orang yang
kehilangan nyawa mereka di dalam kegilaan pembantaian, yang berlanjut hingga
Agustus 1966, sebab tak ada yang menghitung. Baru ketika pembantaian mulai
menyusut pada pertengahan 1966, orang berpikir untuk menguburkan mayat-mayat
orang yang dibunuh. Beberapa pengamat telah mencoba menyampaikan jumlah
total korban yang meninggal dunia, tetapi mereka kekurangan informasi yang bisa
menjadi landasan bagi penghitungan mereka itu. Ada konsensus umum bahwa
korban meninggal dunia di seluruh pelosok Indonesia dan itu sebagian besar di
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali berjumlah antara setengah juta dan dua juta
jiwa. Sebagian besar analisis menganggap angka setengah juta lebih masuk akal
karena angka ini lebih rendah, tetapi dalam kenyataannya tidak terdapat data yang
dapat membuat konsensus ini valid. Walaupun angka tersebut masih di bawah
14

jumlah orang dibantai oleh rezim Pol Pot yang keji di Kambodja dan jauhy di
bawah Holokaust di Jerman semasa Nazi, rangkaian pembunuhan yang terjadi di
Indonesia ini tetap termasuk dalam kasus pembantaian massal yang paling buruk
pada abad ke-20. Pertumpahan darah ini benar-benar memukul banyak masyarakat
Jawa mereka yang kehilangan nyawa; kepedihan, kemiskinan, ketidakberdayaan,
dan anak cucu korban, puluhan ribu orang yang dipenjara selama bertahun-tahun
tanpa diadili; beban rasa bersalah di pihak yang melakukan pembantaian
sekaligus menjadi sesuatu yang diceritakan dengan rasa bangga oleh banyak pihak
lain. Warisan pembantaian ini masih bergema di antara masyarakat Jawa ( M.C.
Ricklefs, 2013 : 196 206 ; Robert Cribb, 2003 : 4 25 dan Antonius Sumarwan,
2007 : 325 - 362)
Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 Presiden AS Lyndon Johnson
menerima laporan situasi singkat dari Central Intelligence Ageny (CIA): Sebuah
gerakan kekuasaan yang memiliki dampak yang luas sedang terjadi di Jakarta
Dalam waktu dua puluh empat jam sejak berlangsunguya peristiwa itu di Jakarta,
para pejabat AS mulai menyusun rencana untuk memanfaatkan kemungkinankemungkinan politis dari apa yang oleh para pejabat dianggap sebagai upaya
kudeta gagal yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Para pejabat
Inggris (yang telah menghabiskan dua tahun sebelumnya untuk melakukan operasioperasi rahasia sebagai respon atas kebijakan Indonesia, yang melakukan
Konfrontasi dengan Malaysia) juga mempercepat upaya-upaya untuk
memanfaatkan situasi Selama tiga bulan berikutnya, AS dan Inggris melancarkan
operasi-operasi rahasia yang bertujuan untuk mendukung pembantaian yang
dipimpin tentara terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pendukung PKI dan
yang untuk mendukung penggulingan Presiden Indonesia Soekarno, mengandalkan
operasi-operasi rahasia yang sudah berlangsung selama hampir setahun.
Para ilmuwan yang menyelidiki Gerakan 30 September (G30S) dan
pembantaian yang mengikutinya sudah menekankan sebab-sebab domestik dari
peristiwa ini dengan tepat. Namun peristiwa-peristiwa itu juga merupakan
peristiwa internasional yang sangat penting dalam Perang Dingin global.
15

Pembunuhan massa di Indonesia adalah sebuah bentuk teror yang berhasil


mencapai tujuannya yang diperlukan untuk menggulingkan Soekarno untuk
mengintegrasikan Indonesia kembali ke dalam ekonomi politik regional, dan demi
berkuasanya rezim militer modern. Dengan kata lain, kekerasaan massal di
Indonesia memiliki logika yang dapat jelas terlihat oleh para pejabat di London,
Washington, Tokyo, Kuala Lumpur, Moskow dan di tempat-tempat lain.
Semenjak keterlibatan Washington dalam sejumlah pemberontakan
PRRI pada akhir 1950-an, AS telah berusaha untuk mendukung sebuah rezim antikomunis yang dipimpin oleh militer di Indonesia. Para pejabat AS bekerja sama
dengan angkatan bersenjata Indonesia dan kalangan intelektual berorientasi Barat
yang kecewa dengan demokrasi parlementer yang dianggap gagal menciptakan
stabilitas

dan

pembangunan

ekonomi.

Pemerintah

AS,

yayasan-yayasan

kemanusian dan lembaga-lembaga seperti Bank Dunia memberi mereka bantuan


militer dan ekonomi serta pelatihan teknis, sementara para ilmuwan sosial
menjustifikasi semakin besarnya peran militer dalam proses pembangunan. Tujuan
mereka adalah untuk membendung laju komunisme serta menahan kebijakan luar
negeri non-bl;ok dan rencana-rencana pembangunan Indonesia.
Para pejabat AS percaya banwa bantuan teknis, militer, dan ekonomi
akan

menstabilkan

dan

memodernisasikan

perekonomian

Indonesia

dan

menghalangi PKI. Namun, strategi mereka tergantung pada kesediaan Soekarno


untuk menerapkan kebijakan yang didesaian oleh AS dan IMF (Dana Moneter
Internasional), dan bergantung pada kesediaan Inggris untuk mendukung kebijakan
regional AS. Pembentukan negara Malaysia oleh Inggris pada awal tahun 1960-an,
dan konfrontasi militer skala rendah antara Indonesia dan Malaysia selama tiga
tahun ke depan mengandaskan rencana Washington. Kebijakan-kebijakan ini
16

mendorong Soekarno untuk semakin mendekati Cina dan ini mempercepat


polarisasi politik, namun sekaligus juga keruntuhan ekonomi Indonesia. Menjelang
terjadinya Gerakan 30 September, AS pada para sekutunya memandang
pembasmian PKI dan para pendukungnya sebagai hal yang diperlukan untuk
mengembalikan Indonesia ke pangkuan Barat, dan mereka mendukung
pembentukan rezim militer modern sebagai sarana untuk mencapai tujuan ini.

17

Konfrontasi Indonesia dengan Malaysia mengubah hubungan luar


negeri Indonesia dan strategi regional Amerika Serikat, Cina, dan Uni Soviet, pada
masa ketika AS tidak dapat merespons dengan memberi banyak perhatian atau
mengerahkan banyak sumber daya, karena sedang terlibat dalam perang di
Vietnam. Sebaliknya, AS mengurangi bantuan ekonomi dan militernya kepada
Indonesia, namun sambil tetap menjaga hubungan dengan para perwira militer
yang dipandang bersahabat. Pada bulan Agustus 1964, AS memulai operasi-operasi
rahasia untuk menggulingkan Soekarno dan memicu konflik yang tajam antara
Angkatan Darat dan PKI. Intelijen AS menyimpulkan bahwa kekuasaan Presiden
Soekarno mustahil dilawan selama dia masih hidup, kecuali tentu saja, jika
beberapa teman kita ingin mencoba menggulingkannya, demikian menurut Duta
Besar Berkuasa Penuh AS, Averell Harriman. Para pejabat Inggris juga mengambil
pendekatan perang rahasia pada tahun 1963, dengan harapan bisa menggalkan
kemampuan Indonesia untuk melancarkan Konfrontasi dan memprovokasi
perebutan kekuasaan yang berlarut-larut yang akan menciptakan perang sipil atau
anarki. Para pejabat Inggris dan Amerika bersepakat bahwa PKI tidak mungkin
naik ke puncak kekuasaan dalam waktu dekat, dan bahwa Angkatan Darat enggan
membasmi PKI jika tidak diprovokasi, Asisten Menteri Luar Negeri Inggris,
Edward Peck, mengisyaratkan bahwa tak ada peluang besar untuk mendorong
timbulnya suatu kudeta prematur oleh PKI selama Soekarno masih hidup
dengan harapan kudeta itu akan gagal ( Bradley Simpson, 2013 : 263 266 )

18

Kekhawatiran AS dan Inggris mulai berkurang setelah Gerakan 30


September terjadi. Yang lebih penting dari peristiwa itu sendiri, sebagaimana
dikatakan oleh John Rossa, adalah bagaimana Mayor Jenderal Soeharto, Angkatan
Darat dan para pendukung internasional mereka memanfaatkan apa yang terjadi
waktu itu untuk menjustifikasi aksi pembasmian atas PKI. Naiknya militer
Indonesia ke puncak kekuasaan dan kebutuhannya untuk mengatasi krisis ekonomi
Indonesia memberi kekuasaan yang besar kepada negara-negara Barat untuk
memengaruhi perilaku mereka. Washington yakin bahwa beberapa hari, minggu,
dan bulan berikut dapat melahirkan peluang-peluang yang belum pernah terjadi
sebelumnya bagi kita untuk mulai memengaruhi orang dan jalannya persitiwa yang
ada, ketika pihak militer mulai memahami berbagai masalah dan dilemma yang
tengah mereka hadapi.
Pada awalnya, kedutaaan besar AS, Inggris, Jepang, Soviet dan negaranegara lainnya terkejut dengan adanya peristiwa 1 Oktober. Banyak yang
mencurigai PKI, meskipun kedutaan AS mengakui bahwa situasi di Jakarta
sangat tidak jelas. Di Washington para pejabat dengan cepat menyadari peluang
untuk menghancurkan PKI, tetapi mereka takut bahwa Angkatan Darat tidak akan
bergerak sepenuhnya. CIA memperingatkan bahwa Angkatan Darat boleh jadi
akan cukup puas dengan hanya melakukan tindakan terhadap mereka yang
terlibat langsung dalam pembunuhan para jenderal, dan membiarkan Soekarno
memperoleh kembali sebagian besar kekuasaannya. Kedutaan Besar Inggris
sepakat bahwa Angkatan Darat mungkin akan membiarkan peluang ini lewat
begitu saja di hadapan mereka begitu Soekarno berupaya untuk melakukan
pembatasan-pembatasan.
Karena tidak ada badan-badan inteljen Barat yang mengatakan bahwa
keterlibatan PKI dalam Gerakan 30 September meluas hingga mencakup anggotaanggota biasa, kita hanya dapat menyimpulkan bahwa badan-badan itu mendukung
kekerasan massal terhadap para pendukung partai yang tidak bersnjata itu. Duta
19

Besar Inggris Andrew Gilchrist menyeruhkan dilakukannya propaganda dini


yang (direncanakan) secara hati-hati dan aktivitas perang urat syaraf guna
memperburuk perselisihan di dalam negeri dan memastikam pembasmian dan
penghalauan PKI oleh tentara Indonesia. Pemerintahan AS, Inggris, dan Australia
berusaha untuk membantu Angkatan Darat dengan menciptakan propaganda
mengenai kesalahan, pengkhianatan, dan kekejaman PKI dan tuduhan mengenai
adanya kaitan antara Gerakan 30 September dengan Cina.
Pada tanggal 18 Oktober, Menteri Luar Negeri AS Dean Rusk
menyimpulkan bahwa waktunya telah tiba untuk memberi beberapa isyarat
kepada pihak militer mengenai sikap kita terhadap perkembangan terakhir dan
terkini Menunjuk pada keberhasilan operasi Angkatan Darat terhadap PKI, Rusk
menulis, Jika bersedia atau tidaknya tentara untuk menuntaskan aksinya terhadap
PKI tergantung pada harus dipengaruhi oleh AS, kita tidak ingin melewatkan
kesempatan bagi AS untuk bertindak. Jenderal Nasution memberi kesempatan
ketika ajudannya mendekati Duta Besar AS Marshall Green untuk meminta
bantuan peralatan telekomunikasi portable untuk digunakan oleh Panglima
Tertinggi Angkatan Darat. Kesediaan AS untuk memenuhi permintaan Nasution
menghisyaratkan ditariknya pengakuan Washington terhadap Soekarno sebagai
pemimpin Indonesia yang sah. Kedutaan-kedutaan besar lain di Jakarta mengirim
isyarat serupa.
Selama beberapa pekan kedepan, kedutaan besar negara-negara Barat
menerima banyak laporan mengenai pembunuhan massal terhadap para pendukung
PKI. Pada akhir Oktober, Kedubes AS mendengar adanya serangan-serangan
massal terhadap para pendukung PKI di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Seorang penasihat militer yang kembali dari Bandung melaporkan bahwa para
20

penduduk desa sedang membersihkan anggota-anggotanya dan simpatisan dan


menyerahkan mereka kepada Angkatan Darat untuk ditahan atau dieksekusi.
Pada tanggal 4 November Kedutaan ini melaporkan bahwa pasukan RPKAD di
daerah komando Jawa Tengah memberi pelatihan dan senjata kepada para
pemuda Muslim. Sementara para pemimpin Angkatan Darat menangkapi
pemimpin-pemimpin tingkat atas PKI untuk diinterogasi, yang kelas teri
ditangkap, dipenjara, atau dieksekusi secara sistimatis. Di Sumatera Utara dan
Aceh organisasi Pemuda IPKI dan unsur-unsur anti Kom lainnya terlibat
dalam sebuah dorongan sistematis untuk menumpas PKI.disertai laporan
mengenai terjadinya pembunuhan massal..; pesan khusus dari Angkatan Darat
adalah bahwa mereka berusaha untuk membereskan PKI.
Para pejabat AS dengan cepat memuji Soeharto dan pihak militer karena
telah mengambil tindakan dan berusaha untu melepaskan mereka dari tanggung
jawab atas terjadinya pembunuhan massal. Pada tanggal 1 Desember, terlepas dari
begitu banyaknya bukti yang menunjukkan hal sebaliknya, Duta Besar Green
mencatat bahwa pembunuhan massal di Jawa Timur dilakukan oleh unsur-unsur
yang tidak bertanggung jawab, sedangkan partai-partai politik dan pihak-pihak
lainnya bekerja sama dengan militer untuk menghentikan ini Pejabat Urusan
Politik di Kedutaaan Besar AS memperingatkan: Pertentangan yang kini terjadi
antara Soekarno dan para pemimpin militer menyebabkan banyak pengamat Barat
memandang Nasution dan jenderal-jenderal utama lainnya bukan hanya sebagai
penentang komunisme yang gigih (hal ini memang benar), melainkan juga sebagai
pendukung demokrasi yang tulus (padahal tidak demikian halnya) Kenyataannya
ada banyak alasan untuk percaya bahwa pemimpin militer Indonesia sesungguhnya
menginginkan sebuah bentuk pemerintahan yang totaliter.

21

Begitu banyaknya laporan yang menyatakan bahwa penangkapan dan


pembunuhan massal sedang berlangsung mendorong para pejabat AS untuk bahkan
mempertimbangkan memberi bantuan rahasia yang lebih besar lagi kepada kepada
militer Indonesia yang akan memerlukan makanan, bahan-bahan baku, akses
pinjaman uang dan persenjataan ringan serta peralatanuntuk membereskan PKI
Duta Besar Green mencatat dengan penuh persetujuan bahwa Angkatan Darat
bergerak tiada henti untuk membasmi PKI. Pemerintahan Presiden Johnson
sepakat bahwa bantuan yang diperlukan, tetapi pendapat mereka terbelah perihal
apakah

harus

mengaitkan

bantuan

rahasia

jangka

pendek

itu

dengan

meneruskannya lagi dengan bantuan ekonomi dan militer secara terbuka.


Meskipun AS pada umumnya bersimpati dengan dan kagum terhadap apa yang
dilakukan tentara (itu), demikian kata Konsul Politik AS Francais Galbraith
kepada seorang ajudan Jenderal Nasution, namun tetap tidak ada kesepakatan yang
serius, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan minyak AS. Bagaimanapun
juga selama beberapa bulan berikutnya, aliran bantuan yang kecil namun signifikan
secara politis, termasuk senjata ringan dan uang tunai, dikirim kepada para perwira
tentara. Dukungan seperti ini mengindikasikan isyarat yang jelas mengenai
keinginan Washington dan sekutu-sekutunya.
Para pejabat AS sangat tahu mengenai kekerasaan yang sedang terjadi.
Konsulat AS di Medan melaporkan bahwa pembantaian yang meluas sedang
berlangsung. Pada tanggal

13 November, Kepala Informasi Polisi Kolonel

Budi Juwono melaporkan bahwa sekitar 50 sampai 100 anggota PKI dibunuh
setiap malam di Jawa Timur dan Jawa Tengah oleh kelompok warga sipil
antikomunis dengan restu Angkatan Darat. Tiga hari kemudian, para anggota
Pemuda Pancasila yang haus darah memberi tahu konsulat di Medan bahwa
organisasinya bermaksud untuk membunuh setiap anggota PKI yang bisa mereka
22

jangkau. Sumber lain melaporkan bahwa mulai berlangsung banyak


pembunuhan massa; tanpa pandang bulu, sehingga mendorong para pejabat
konsuler untuk menyimpulkan bahwa kuasa teror yang nyata sedang terjadi.
Beberapa waktu kemudian, CIA melaporkan pada bulan November bahwa
anggota-anggota PKI di Jawa Tengah sedang ditembaki di tempat oleh tentara.
Para misionaris mengatakan kepada Konsulat AS di Surabaya bahwa sebanyak
15.000 komunis dilaporkan telah dibunuh di daerah Tulungagung saja. Di
Pasuruan, Jawa Timur, insinyur berkebangsaan Inggris Row Taylor melaporkan
terjadinya pembantaian terhadap para buruh di pabrik tekstil Nebriex yang terletak
di dekatnya. Dengan menggunakan daftar nama-nama yang diketahui atau
dicurigai sebagai anggota PKI, anggota Sentral Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia (SOBSI), atau anggota kelompok-kelompok afiliasi lainnya, komandan
tentara setempat mengelompokkan para korban kedalam lima kategori ; membunuh
orang-orang yang termasuk dalam tiga kategori pertama, lalu memasukkan sisanya
kedalam penjara. Taylor memperkirakan bahwa sebanyak 2.000 orang telah
dibunuh dekat pabrik itu sejak akhir November.
AS menanggapi pembunuhan massal di Indonesia itu dengan antisias.
Washington mulai memberi bantuan kepada tentara persis ketika pembunuhan
massal itu dimulai dan terus melanjutkan pemberian bantuan itu lama setelah
mereka tahu dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi dan dengan harapan agar
bantuan AS itu akan membantu. Tidak seorang pejabat AS pun yang pernah
menyatakan keprihatinan mengenai pembantaian ini . Kebijakan kita adalah
diam, demikian Walt Rostow berkata kepada Presiden Lyndon Johnson, dan ini
dipandang sebagai hal yang baik mengingat adanya pembunuhan massal yang
menyertai massa transisi dari Soekarno ke Soeharto. CIA berpendapat bahwa
kita harus menghindari bersikap terlalu sinis mengenai motif dan kepentingan diri
23

(Angkatan Darat ), atau bersikap terlalu ragu-ragu mengenai kepantasan untuk


memperluas .bantuan asalkan kita dapat melakukannya secara diam-diam.
Tak ada yang peduli, kenang pejabat Departemen Luar Negeri Howard
Federspiel, jika mereka disembelih, asalkan mereka komunis.
AS tidak sendirian dalam sikap memalukan ini. Thailand menawarkan beras
kepada Tentara Nasional Indonesia sebagai sarana untuk mendorongnya menumpas
PKI sekaligus menggulingkan Soekarno. Uni Soviet terus mengirimkan senjata ke
Indonesia dalam rangka menjaga hubungan baik dengan militer, supaya para
jenderal itu tahu bahwa jika harus memilih antara PKI atau tidak ada PKI, Uni
Soviet akan memilih opsi yang kedua. Moskow secara mengutuk pembantaian
dan penganiayaan terhadap unsur-unsur progresif di Indonesia, menuduh PKI
sebagai avonturur, terlalu longgar dalam menerapkan aturan keanggotaan dan
kebijakan perekutan dan tidak cukup berdisiplin. Dengan kata lain, Uni Soviet
secara tidak langsung ingin menyatakan bahwa PKI menanggung akibat yang
sudah sepantasnya. Pemimpin Cina, yang telah terkejut oleh berbaliknya
keadaan di Indonesia. Banyak pejabat Cina akhirnya menjadi yakin bahwa
mereka harus memusatkan perhatian untuk mendukung gerakan-gerakan
revolusioner saya kiri pribumi, yakni membantu melopori peralihan ke garis
Maois di antara kader-kader PKI yang masih hidup.
Para pejabat AS sebagaimana mitra-mitra militer Indonesia mereka,
memandang operasi penumpasan pemimpin PKI itu sebagai sebuah perebutan
kekuasaan dan bukan sebuah perjuangan ideologis . Konsul Inggris di Medan
merumuskan perlawanan antara Tentara dan PKI di Sumatera untuk merebut
kembali atas pelabuhan, perkebunan karet dan tambang-tambang timah lokal
sebagai sebuah perlawanan untuk memperebutkan puncak-puncak kekuatan
24

perekonomian Indonesia, dan untuk memperebutkan cadangan devisa dan akses


sumber daya yang akan terbuka dengan adanya kendali itu. Perkebunanperkebunan di Sumatera Utara menjadi tempat terjadinya sejumlah serangan yang
paling berdarah terhadap para pendukung PKI, dengan tentara menangkap,
membuat berahama, atau membereskan sekitar 3.000 anggota PKI setiap
minggu. ( Bradley Simpson, 2013 : 268 275 )

25

Koran-koran

Indonesia

tidak

memberitakan

adanya

pembunuhan-

pembunuhan. Angkatan Darat memberangus hampir semua surat kabar dalam


pekan pertama Oktober 1965 dan menerapkan sensor terhadap beberapa di
antaranya yang mendapat ijin terbit kembali. Angkatan Darat menerbitkan
beberapa koran sendiri. Orang akan sia-sia mencari berita dalam koran-koran yang
terbit antara akhir tahun 1965 sampai akhir 1966 yang sekadar menyebut saja
bahwa ada pembunuhan besar-besaran. Koran-koran hanya menyebut saja ada
pembunuhan besar-besaran. Koran-koran hanya memuat berita tentang cara-cara
tanpa kekerasaan dalam penumpasan PKI; pemecatan orang-orang yang dituduh
mendukung PKI dan berbagai badan pemerintahan (seperti kantor berita Antara),
pembubaran organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI, dan demontrasi
mahasiswa menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI. Sudah pasti para
redaktur koran-koran tersebut mengetahui tentang terjadinya pembunuhan besarbesaran kisah-kisah yang mengerikan sudah beredar luas dan dari mulut ke
mulut. Tapi mereka sengaja tidak memberitakannya barang sepatah kata pun.
Sebagai gantinya mereka penuhi koran-koran mereka dengan cerita-cerita fiktif
dari para ahli perang urat syaraf di kalangan tentara, yakni kisah-kisah yang
melukiskan PKI sebagai pelaku tunggal kekerasaan di tengah masyarakat. Bahkan
koran-koran independen pun, ikut ambil bagian dalam kampanye militer untuk
menggalakkan histeria anti-PKI.
Angkatan Darat mengendalikan dengan ketat keberadaan wartawan asing,
melarang banyak dari mereka masuk ke Indonesia sejak Oktober 1065, dan
membatasi gerak mereka yang berhasil tinggal atau menyelinap masuk agar tetap
berada di Jakarta. Sebagian besar pemberitaan para wartawan yang berdiam di
Jakarta terpusat pada manuver-manuver politik tingkat tinggi pemerintahan yang
lain. Para juru bicara militer dengan sopan meyakinkan para wartawan bahwa
pembunuhan apa pun yang terjadi adalah akibat kemarahan rakyat yang tak
26

terkendali, bukan pembantaian yang diatur tentara. Dari cerita-cerita yang


merembes ke Jakarta, para wartawan menduga-duga bahwa angka korban mati
yang diumumkan Soekarno pada Januari 1966, yaitu 87.000, sangat jauh di bawah
angka sebenarnya. Tetapi mereka tidak dapat memberitakan pembunuhan besarbesaran itu selengkap-lengkapnya sampai sesudah Angkatan Darat melonggarkan
batasan-batasan bergerak pada Maret 1966. Skala pembunuhan mulai menjadi jelas
ketika wartawan dapat pergi ke daerah-daerah di luar Jakarta. Wartawan pertama
yang melakukan penyelidikan, Stanley Karnow dari Washington Post, setelah
melalui perjalanan selama dua pekan di seluruh Jawa dan Bali, memperkirakan
setengah juta orang telah mati dibunuh. Seth King dari New York Times, pada Mei
1966, mengajukan angka perkiraan moderat, yaitu sebanyak 300.000 korban tewas.
Seymour Topping, rekan Seth King dari koran yang sama, melakukan penyelidikan
beberapa bulan kemudian dan menyimpulkan bahwa jumlah korban seluruhnya
bahkan dapat lebih dari setengah juta orang.
Ketiga koresponden asing itu memberitakan bahwa personil militer dan
milisi sipil antikomunis terlibat dalam pembunuhan dan sering kali mereka
melakukannya dengan cara-cara yang sistematik dan rahasia. King mencatat bahwa
orang-orang asing di Jakarta tidak menyaksikan kekerasaan apa pun. Mereka hanya
mengetahui bahwa tentara pada malam hari melakukan penggerebekan rumahrumah, menggiring mereka yang dicurigai sebagai simpatisan PKI ke atas truk, dan
membawa mereka ke luar kota sebelum fajar. King mendengar cerita dari
seseorang yang kebetulan menumpang sebuah truk tentara bahwa kira-kira lima
ribu orang dari Jakarta yang diambil dari rumah mereka masing-masing dibawa ke
sebuah penjara di pinggir kota, dan di sana mereka mati perlahan-lahan karena
kelaparan. ( King tidak menyebut adanya ribuan orang lagi yang kelaparan di
penjara-penjara di dalam kota Jakarta). Karnow menggambarkan pembunuhan
besar-besaran di kota Salatiga di Jawa Tengah: Di setiap bangunan, seorang
kapten tentara membacakan nama-nama dari sebuah daftar, memberi tahu mereka
tentang kesalahan masing-masing - atas nama hukum walaupun sidang pengadilan
tidak pernah diadakan. Akhirnya truk-truk itu masing-masing diisi dengan enam
puluh tawanan, dan dengan dikawal satu peleton tentara, menempuh jarak sekitar
enam mil, melalui hamparan sawah dan kebun karet yang gelap menuju suatu
27

kawasan tandus di dekat Desa Djelok. Para petani di daerah tersebut sudah
diperintahkan lurah untuk menggali sebuah lubang besar satu hari sebelumnya.
Para tawanan, dibariskan berdiri di bibir lubang, lalu ditembaki dalam beberapa
menit. Beberapa dari mereka barangkali dikubur hidup-hidup. Dari kisah-kisah
semacam ini, Karnow sampai pada kesimpulan bahwa tentara mengorganisasi
pembantaian berkelanjutan secara sistematik di Jawa Tengah.
Topping juga menyimpulkan bahwa militer melakukan pembunuhan secara
kilat terhadap rakyat di Jawa Tengah tetapi ia mengatakan pola kekerasaannya
berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur dan Bali. Di dua daerah terakhir militer
biasanya menghasut penduduk sipil untuk melakukan pembunuhan, ketimbang
memerintahkan personil mereka sendiri melakukan tugas kotor itu. Tentara
menebar suasana ketakutan dengan mengatakan kepada masyarakat di kota dan
desa bahwa PKI sedang bersiap-siap melakukan pembunuhan besar-besaran;
menggali kuburan massal, menyusun daftar hitam orang yang akan dibunuh,
menyiapkan alat khusus pencungkil mata. Topping menyatakan bahwa pada
umumnya para pengamat Indonesia yang berpengalaman menganggap cerita-cerita
yang disebarkan tentara sebagai cerita yang dibuat-buat : Tidak ada bukti-bukti
kuat bahwa orang-orang Komunis mempunyai perbekalan senjata yang begitu
besar atau merencanakan pemberontakan massa di seluruh tanah air untuk merebut
kekuasaan dalam waktu dekat. Topping menambahkan bahwa pengikaran tentara
terhadap tanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan yang terjadi disangkal
bukan hanya oleh hasil penyelidikan singkatnya sendiri tapi juga oleh pernyataan
pribadi salah satu dari para panglima utama Soeharto sendiri, Mayor Jenderal
Soemitro, Panglima Kodam Brawijaya, Jawa Timur, dalam wawancaranya dengan
Topping berkata, bahwa Soeharto, pada November 1965, mengeluarkan perintah
secara rinci tentang pembasmian PKI. Dalam Desember 1965, Soemitro beserta
stafnya mengunjungi seluruh komando distrik militer di Jawa Timur untuk
memastikan bahwa perintah itu telah dipahami. Topping mengutip Soemitro yang
mengakui bahwa sebagian besar komandan setempat telah menunaikan tugas
sebaik-baiknya untuk membunuh kader-kader (PKI) sebanyak-banyaknya .
Sampai pertengahan 1966 dua surat kabar utama Amerika Serikat sudah
menyiarkan ke publik bahwa Angkatan Darat Indonesia di bawah Mayor Jenderal
28

Soeharto adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap pembunuhan


massal sekitar setengah juta orang, dan bahwa banyak pembunuhan itu dilakukan
secara kejam terhadap para tawanan terpilih. Namun demikian berita ini tidak
mengalangi pemerintah Amerika Serikat memberikan sambutan hangatnya kepada
Soeharto selaku penguasa baru di Indonesia. Tidak satu pun pejabat pemerintah
Johnson menyatakan keberatan terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia
yang dilakukan tentara Indonesia. Robert Keneedy menyesali kebisuan itu ketika
mengucapkan pidatonya di New York City pada Januari 1966 Kita telah
bersuara lantang terhadap pembantaian tak manusiawi yang dilakukan oleh kaum
Nazi dan kaum Komunis. Tapi apakah kita akan bersuara lantang terhadap
pembantaian keji di Indonesia, yang lebih dari 100.000 orang yang dituduh
Komunis bukanlah pelaku tetapi korban? Jawaban terhadap pertanyaan itu, tentu
saja tidak. Bagaimana pun juga pemerintah AS telah membantu Soeharto naik
tahta. Kegembiraan akan penggulingan Soekarno dan penghancuran PKI
mengalahkan pertimbangan kemanusian apa pun.
Prioritas-prioritas ini tampak jelas dalam laporan utama tentang Soeharto
dalam majalah Time pada Juli 1966. Dengan tepat Time memberitakan, militer
bertanggung jawab atas jebanyakan pembunuhan yang terjadi dan mengakui
bahwa pembunuhan itu telah menghilangkan lebih banyak nyawa ketimbang
kehilangan (yang diderita) AS dalam seluruh peperangan di sepanjang abad ini.
Tanpa menghindari pengambaran detil-detil yang mengerikan, laporan utama itu
menyebutkan bahwa beberapa orang yang dicurigai sebagai komunis telah
dipancung dan mayat mereka dibuang dikali-kali. Namun selanjutnya artikel itu
memuji rezim baru Soeharto yang didominasi militer karena sangat konsitusional
. Soeharto dikutip saat mengatakan , Indonesia negara yang berdasar hukum,
bukan pada kekuasaan belaka. Oleh karena dari sudut kepentingan politik luar
negeri AS banjir darah itu konstruktif, majalah Time dapat menampilkan pelaku
kejahatan dalam sorotan yang sama sekali positif walaupun hasilnya kemudian
adalah penjajaran yang sangat aneh antara kepala-kepala yang dipenggal dan
prosedur konsitusional.

29

Kecaman terhadap pembunuhan-pembunuhan yang terjadi diredam bukan


hanya karena para pelakunya antikomunis. Banyak pemberitaan media
mengecilkan tanggung jawab militer atas pembunuhan sambil membesar-besarkan
peranan masyarakat sipil. Stereotip yang dibuat para orientalis mengenai orang
Indonesia yang primitif, terbelakang, dan bengis mengemuka sehingga
menenggelamkan pemberitaan faktual tentang pembunuhan-pembunuhan berdarah
dingin yang diorganisir militer. Orang asi9ng digiring untuk mempercayai bahwa
pembunuhan massal itu merupakan ledakan tiba-tiba, tanpa nalar, dan penuh
dendam kesumat masyarakat rentan yang meradang oleh sepak terjang agresif PKI
selama bertahun-tahun. Bahkan tanpa penyelidikan mendalam, wartawanwartawan merasa yakin bahwa prasangka mereka terhadap apa yang disebut watak
ketimuran membenarkan adanya kesimpulan definitif. Judul utama salah satu tajuk
rencana C.L. Sulzberger dalam New York Time terbaca When a Nation Runs
Amok (Ketika Suatu Bangsa Mengamuk). Bagi Sulzberger pembunuhanpembunuhan itu tidak mengejutkan karena terjadi di Asia yang berperingai keras,
dengan kehidupan murah. Banjir darah itu hanyalah memantapkan keyakinannya
bahwa bangsa Indonesia menguasai ciri pembawaan Melayu yang ganjil, tabiat
haus darah membabi buta yang telah menyumbang satu kata dari sedikit kata
Melayu dalam bahasa-bahasa lain : amok.
Demikian pula laporan Don Moser untuk majalah Life tak beranjak terlalu
jauh dari ungkapan-ungkapan klise dangkal tentang bangsa Indonesia yang
pramodern dan eksotik : Tidak ada di mana pun selain di pulau-pulau yang
misterius dan elok ini peristiwa-peristiwa dapat meledak begitu tak terduga,
begitu kejam, tak hanya diwarnai dengan fanatisme, tapi juga haus darah dan halhal semacam sihir dan santet. . Kekerasaan ini bahkan tidak melibatkan militer
melainkan timbul sepenuhnya dari kalangan rakyat. Pembantaian gila-gilaan di
Bali merupakan pesta-pora kebengisan. Di mana-mana terjadi histeria
massal. Karangan-karangan Robert Shaplen di New Yorker, yang lebih panjang
lebar, mengulang alur kisah yang sama tentang keberangan spontan terhadap PKI.
Bangsa Indonesia adalah bangsa primitif belaka yang tidak dapat disalahkan dalam
hal pelanggaran hak asasi manusia karena mereka belum beradab untuk dipandang
sebagai manusia yang dewasa. Represi terhadap PKI berubah menjadi luapan
30

balas dendam liar dan tak pandang bulu berdasarkan permusuhan pribadi dan
histeria massal di tengah masyarakat yang secara emosional dan psikologis
memang siap mengamuk. Adalah tidak adil jika apa yang disebutnya sebagai
segenap dunia berakal untuk mengharapkan bangsa Indonesia merasa bahwa
mereka telah melakukan sesuatu yang salah karena bangsa ini dapat menjelaskan
pertumpahan darah tersebut, sekurang-kurangnya demi kepuasan hati mereka
sendiri, menurut pengertian kuno tentang katarsis dan pembasmian kejahatan.
Sembari menghidupkan kembali mitos-mitos tua kolonial tentang orang-orang
pribumi yang terbelenggu pada tradisi dan bersifat mistik. Shaplen secara tidak
kritis menceritakan ulang versi tentara Indonesia tentang persitiwa-peristiwa 19651966.
Beberapa pakar tentang Indonesia tetap percaya kepada cerita tentang
pembantaian itu sebagai balas dendam spontan terhadap PKI. Antropolog Clifford
Geertz berdasarkan kunjungannya ke sebuah kota keil di Jawa Timur pada tahun
1970-an dan 1980-an, mengatakan bahwa orang di kota itu mengenang
pembunuhan tersebut sebagai : penggalan retak sejarah yang kadang-kadang
diingat sebagai akibat dari politik. Dalam esainya yang terkenal mengenai adu
ayam di Bali, Geertz sambil lalu menyebut bahwa kekerasaan dalam adu ayam itu
memperlihatkan pembantaian yang terjadi di sebuah pulau dengan kerukunan
sosialnya yang terkenal di seluruh dunia itu tidak bertentangan dengan hukum
alam; adu ayam itu menurutnya merupakan penyaluran kecenderungan
kekerasaan yang ada dalam masyarakat. Theodore Friend, seorang sejarawan Asia
Tenggara, dengan yakin mengatakan bahwa pembunuhan itu mencerminkan
ledakan kekerasaan massal yang hebat; dimulai secara spontan tanpa arahan
militer dan merupakan kekerasaan muka lawan muka dan dengan kedaulatan
yang aneh.
Sungguh menengangkan bahwa kekerasaan anti-PKI, suatu kejadian dengan
skala demikian luas, ternyata salah dimengerti sedemikian parah. Tentu saja
keterlibatan baik personil militer maupun penduduk dalam pembunuhan itu telah
mengaburkan masalah tanggung jawab. Bagaimana pun, dari sedikit yang sudah
diketahui, jelaslah bahwa militer yang memikul bagian tanggung jawab terbesar,
31

dan bahwa pembunuhan itu lebih merupakan kekerasaan birokratik yang terencana
ketimbang kekerasaan massa yang bersifat spontan. Dengan mengarang ceritacerita bohong mengenai G-30-S dan mengendalikan media massa sedemikian
ketat, klik perwira di sekitar Soeharto menciptakan suasana di kalangan penduduk
sipil bahwa PKI sedang bersiap-siap untuk perang. Tanpa provokasi yang disengaja
oleh ahli-ahli propaganda militer, penduduk tidak akan percaya bahwa PKI
merupakan ancaman yang mematikan karena partai ini bersikap pasif setelag G-30S ditaklukan. Militer bekerja keras menyulut kemarahan rakyat melawan PKI
sejak awal Oktober 1965, yang dikaitkan dengan polisi rahasia Nazi Jerman.
Akronim itu, Gestapu, tidak sesuai dengan kepanjangan yang berbunyi Gerakan
Tiga Puluh September. Surat kabar dan siaran radio dipenuhi dengan berita palsu
tentang apa yang dinamakan Gestapu: bahwa PKI menimbun senjata dari
Tiongkok, menggali kuburan massal, menyusun daftar orang yang akan dibunuh,
mengum;pulkan alat khusus untuk mencungkil mata, dan seterusnya. Militer
menggambarkan jutaa orang seperti setan dan bukan manusia dengan menyusun
mata rantai asosiasi : G-30-S sama dengan PKI sama dengan barang siapa saja
yang diasosiasikan dengan PKI sama dengan kejahatan mutlak.
Propaganda itu sendiri, bagaimana pun, tidak cukup untuk memprovokasi
penduduk sipil agar ikut melakukan kekerasaan. Propaganda merupakan faktor
yang penting tapi tidak cukup. Perbedaan waktu terjadinya kekerasaan di daerahdaerah yang berlainan menunjukkan bahwa kedatangan Resimen Para Komando
Angkatan Darat (RPKAD) berperan sebagai pemicu. Pangamatan Ben Anderson
dan Ruth McVey di Jawa Tengah telah saya kemukakan di atas. Kekerasaan baru
dimulai saat pasukan RPKAD tiba di ibu kota propinsi tersebut, Semarang, pada 17
Oktober, dan kemudian menyebar ke kota-kota kecil dan desa-desa pada hari-hari
berikutnya. Beruntunglah Jawa Barat lolos dari serbuan karena RPKAD harus
bergegas masuk Jawa Tengah, yang memang merupakan basis PKI. Relatif sedikit
pembunuhan yang terjadi di Jawa Barat walaupun pada masa sebelumnya terjadi
konflik tajam antara PKI dan organisasi anti-PKI.
Kasus Bali memang patut ditilik, terutama karena mereka yang berpegang
pada tesis kekerasaan spontan selalu menunjuk Bali sebagai bukti. Mereka
32

menyatakan bahwa masyarakat Bali melakukan pesta pembunuhan gila-gilaan


sampai saat pasukan RPKAD tiba awal Desember 1965 untuk menghentikan
mereka. Pendapat ini salah dalam mengemukakan kronologi kejadian yang
sebenarnya. Sebelum pasukan RPKAD datang pada 7 Desember, tidak ada
pembunuhan berarti di Bali. Selama bulan-bulan Oktober dan November situasi
memang tegang. Gerombolan antikomunis menyerang dan membakar rumahrumah anggota PKI. Beberapa anggota partai ditangkap; sebagian lain
menyerahkan diri kepada polisi untuk mendapat perlindungan. Tapi tidak terjadi
pembantaian besar-besaran sebelum 7 Desember. Semua pimpinan PKI masih
hidup saat RPKAD tiba. Adalah RPKAD yang mengatur dan melaksanakan
eksekusi para pemimpin PKI Bali pada16 Desember1965 di Desa Kapal. Ada
banyak saksi kejadian itu karena RPKAD mengundang politisi-politisi antikomunis
di Bali selatan untuk menonton. Pembataian sekitar 30 orang ini, termasuk I Gde
Puger, seorang pengusaha berada yang dikenal sebagai penyandang dana untuk
PKI walaupun ia bukan anggota partai, mengungkapkan bahwa militer mendorong
penduduk sipil untuk membunuh orang-orang yang terkait dengan PKI. Mengingat
PKI yang memulai pembunuhan itu, maka kita tidak bisa memperkirakan bahwa
pasukan parakomando ini telah menerima perintah langsung dari Soeharto untuk
melakukannya. Koordinasi antara Soeharto dan RPKAD sangat erat; di datang di
Bali satu hari setelah pasukan para komando mendarat di sana.
Orang-orang sipil yang terlibat dalam pembunuhan, apakah di Jawa Tengah,
Jawa Timur, Bali, atau tempat-tempat lainnya, umumnya anggota milisi yang
sudah dilatih oleh militer (baik sebelum maupun sesudah 1 Oktober), dan diberi
senjata, kendaraan, serta jaminan kebal hukum. Mereka bukan sekadar orang-orang
sipil biasa yang bertindak mandiri dari militer. Walaupun dinamika interaksi
setepatnya antara militer dan milisi bervariasi dari satu daerah ke daerah lain,
secara keseluruhan militer memainkan peran dominan. Robert Cribb mencatat
bahwa kelompok-kelompok milisi ini umumnya tidak bertahan lama setelah 1966
banyak yang : kelihatannya segera menghilang setelah tugas berdarah mereka
selesai, berbeda dengan, misalnya,laskar-laskar otonom yang lahir setelah 1945
dalam perang kemerdekaan melawan Belanda: dan menjadi masalah bagi upaya
monopoli militer terhadap angkatan bersenjata pada tahun 1950-an. Sejak 1965
33

militer secara rutin membentuk kelompok-kelompok kelaskaran agar pada saat


melakukan kekerasaan terhadap penduduk sipil yang tidak bersenjata mereka
selalu dapat mengingkari keterlibatan mereka. Tidak ada alasan untuk mengatakan
bahwa situasi kekerasaan dalam 1965-1966 itu sendiri sangat berbeda ( John
Rossa, 2008 : 29 37 )
Ketika pembunuhan-pembunuhan tetap berlanjut, Presiden Soekarno di
Jakarta berbicara menentang kejadian-kejadian yang merupakan epilog dari
insiden Gerakan 30 September, Epilog ini katanya, telah mengganggu sukmaku,
telah membuatku sedih, membuatku khawatir Dengan terus terang kukatakan
aku meratap kepada Allah, bertanya kepada Tuhan, bagaimana ya Allah, Robbi,
bagaimana semua ini dapat terjadi? Berkali-kali ia mengutip Abraham Lincoln
yang mengatakan, Suatu bangsa yang terpecah dari dalam tidak akan dapat berdiri
, dan Gibbon serta Toynbee dikutipnya dengan mengatakan, Suatu kebudayaan
yang besar tidak pernah akan merosot kecuali bila ia menghancurkan dirinya
sendiri dari dalam. Dalam suatu pertemuan dengan para gubernur dalam bulan
Dersember ia mengatakan, Kita memulihkan hukum dan keterrtiban dengan cara
yang terlalu ekstreemdengan akibat bahwa orang-orang yang tidak berdosa di
masukkan ke dalam penjara. Tidak hanya masuk kedalam penjara, beberapa orang
malah dipotong lehernya. Ia mengingatkan bahwa bila seorang, suatu
golongan, suatu partai terlalu disia-siakan dan dan bahkan yang tidak bersalah ikut
ditangkap, dibunuh dan diganyang, akan datang waktunya mereka akan bangkit
kembali dan membalaskan dendamnya. Dalam suatu rapat umum wanita ia
mengatakan bahwa banyak orang di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang tidak
langsung terlibat dalam percobaan kudeta ditumpahkan darahnya oleh unsurunsur revolusioner yang retrogresif. Dan dalam keputusasaan ia meminta
kepada angggota anggota organisasi Islam HMI untuk bersikap sebagai orang
Islam yang baik dengan cara setidak-tidaknya menguburkan mayat-mayat. Ia
mengatakan bahwa bahwa di Jawa Timur Banyak anggota-anggota Pemuda
Rakyat atau anggota-anggota PKI ataupun sekedar simpatisan-simpatisan PKI
telah dibunuh, disembelih, ditikam atau dipukuli sampai kepala mereka pecah.
Mayat-mayat mereka ditinggalkan di bawah pohon-pohon, dipinggir sungaisungai, dilempar seperti bangkai anjing mati. Soekarno mengingatkan
34

pendengarnya umat Islam mempunyai kewajiban untuk memelihara orang


matidengan baik. Di Jawa Timur, katanya, orang yang ingin melakukan kewajibankewajiban mereka terhadap mayat-mayat kaum komunis itu sendiri terancam.
Soekarno menyeruhkan kepada mahasiswa-mahasiswa HMI , yang mengerti
hukum hukum Islamuntuk melakukan perjalanan ke Jawa Timur dan Jawa
Tengah dan memberitahukan kepada orang-orang Islam di sana untuk tidak
menyia-nyiakan mayat-mayat itu, tidak membuat mereka yang yatim piatu makin
sengsara. Ia menambahkan, Kalau kita melanjutkan keadaan seperti ini, saudarasaudaraku kita akan masuk ke dalam neraka, benar-benar kita akan masuk neraka.
Walaupun tak perlu diragukan bahwa Soekarno benar-benar ngeri melihat
bayangan suatu bangsa yang bersatu diremukkan oleh pemandangan di mana
orang-orang Indonesia membunuh secara kejam orang-orang Indonesia lainnya,
namun ia juga sepenuhnya sadar akan implikasi politik semangat anti-PKI itu.
Nasakom mempunyai arti yang lebih daripada konsep kesatuan nasional, dengan
mengakui peranan integral dari PKI, ini merupakan syarat utama dari sistem politik
yang menjadi dasar pemerintahan Soekarno. Dengan bergerak melenyapkan PKI
sebagai suatu kekuatan politik, Angkatan Darat juga menumbangkan sistim yang
memberi kekuasaan kepada Presiden Soekarno. Tanpa adanya PKI untuk
mengimbangi kekuasaan Angkatan Darat, maka peranan presiden senfdiri akan
menjadi terbatas, kecuali jika ia dapat membentuk suatu koalisi baru sebagai lawan
kepemimpinan Angkatan Darat. Menjelang akhir 1965 dan awal 1966 keyakinan
Soekarno akan kemampuannya memperoleh kembali kewibawaannya tampaknya
bertumbuh. Sementara ia berbuat seolah-olah kekuatannya masih utuh dengan
adanya perkembangan-perkembangan terakhir, konflik antara presiden dan
pemimpin-pemimpin Angkatan Darat makin meruncing. ( Harold Crouch, 1986 :
172 174 )
Dalam tiga bulan terakhir tahun 1965, kedudukan Presiden Soekarno
melemah secara dratis. Angkatan Darat telah memanfaatkan percobaan kudeta itu
tidak saja menangkap mereka yang terlibat langsung, tetapi sekaligus menghabisi
PKI, lawan politik angkatan ini. Anjuran presiden agar membatasi tindakan hanya
kepada mereka yang nyata-nyata terlibat, tidak ditanggapi, karena lawan-lawan
35

PKI yakin tentara dan sipil telah melancarkan pembunuhan massal yang belum
pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Akibatnya, presiden kehilangan
pendukung yang paling dinamik. Lebih jauh lagi, ruang gerak untuk kegiatankegiatan politiknya menjadi terbatas, karena keseimbangan telah berganti dengan
ancaman dari satu kekuatan politik yang menjadi jauh lebih kuat daripada yang
lain-lain.
Walaupun kekuatan kepemimpinan Angkatan Darat semakin meningkat pada
akhir tahun 1965 dalam hubungan dengan presiden, tetapi presiden bukannya tidak
punya kekuatan. Soekarno memang telah kehilangan salah satu pendukung terkuat,
namun ia masih mempunyai pendukung di kalangan angkatan bersenjata dan
partai-partai politik yang lebih menyukai kepemimpinannya daripada
kepemimpinan Angkatan Darat.Soeharto telah mewarisi tentaranya Jani yang telah
mahir dalam hal tidak mengacuhkan perlaksanaan-pelaksanaan perintah-perintah
presiden, tetapi tidak pernah membayangkan untuk bertindak menumbangkan
Panglima Tertinggi dan Pemimpin Besar Revolusi. Sekalipun Soeharto tahu bahwa
ia didukung oleh hampir seluruh perwira senior dalam perlawanan terhadap PKI
dan pimpinan Angkatan Udara, namun ia juga menyadari kesetiaan banyak
perwira, khususnya yang berasal dari Jawa Tengah dan Timur kepada Soekarno
yang nasionalismenya bernyala-nyala itu telah menarik korps perwira yang asalnya
adalah pejuang. Banyak perwira senior berharap bahwa setelah PKI tumpas, dapat
dibangun kembali semangat lama dari pengertian timbal-balik dan hubungan baik
seperti ketika ia belum bersekutu dengan PKI. Lagi pula banyak jenderal yang
telah menduduki jabatan-jabatan tinggi khawatir bahwa jika Soeharto dapat
menghimpun kiekuatan, pasti akan mengangkat orang-orangnya sendiri pada
jabatan-jabatan inti. Jadi, beberapa jenderal penting bersedia menerima Soeharto
sebagai pimpinan Angkatan Darat dengan mengorbankan presiden.
Dukungan terhadap Soekarno dari angkatan-angkatan lain lebih kuat. Dalam
masa Demokrasi Terpimpin presiden telah melakukan pembinaan terhadap
Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Kepolisian serta menyetujui kebebasan
mereka dari Angkatan Darat. Meskipun perwira-perwira Angkatan Udara,
Angkatan Laut dan Kepolisan tidak berkeberatan dengan sikap antikomunis dari
36

Angkatan Darat, mereka menyadari bahwa setelah kudeta yang gagal itu,
kekuasaan pimpinan Angkatan Darat akan bertambah dan diteruskan dengan usaha
memantapkan kembali kekuasaan atas seluruh angkatan bersenjata. Jadi, sejalan
dengan kepentingan mereka, dukungan yang mereka berikan kepada Soekarno
akan menjadi benteng terhadap meluasnya kekuasaan Angkatan Darat dan
demikian pula dengan dukungan moril Soekarno kepada angkatan-angkatan selain
Angkatan Darat itu. Di samping itu bagian terbesar dari para perwira ketiga
angkatan tersebut berasal dari suku Jawa, terikat oleh perasaan yang sama yakni
keterikatan pribadi terhadap Bapak dan pelindung mereka yang kini
kedudukannya sedang terancam.
Alasan dan hal yang serupa juga meliputi kalangan pimpinan partai-partai
politik yang lebih kecil, yang memihak Soekarno dalam konfliknya dengan
Angkatan Darat. Meskipun dalam kadar yang berbeda-beda mereka mendukung
tindakan Angkatan Darat terhadap PKI, namun ingin tetap mempertahankan sistim
politik lama di mana mereka telah tumbuh dengan subur, sementara para pemimpin
partai politik di daerah mengkhawatirkan lebih meluasnya peranan Angkatan Darat
dalam aparat pemerintahan daerah. Seperti halnya di kalangan perwira-perwira
senior angkatan bersenjata, para pemimpin partai politik menganggap diri mereka
anak-anak Bapak dan sulit membayangkan suatu keadaan tanpa dia. Dalam
pertimbangan tentang perluasan kekuasaan Angkatan Darat, mereka menyadari
bahwa ruang gerak untuk manuver-manuver politik mereka akan lebih luas selama
adanya kompetisi antara pimpinan Angkatan Darat dengan presiden. Dibandingkan
apabila Angkatan berhasil mengecilkan peranan presiden. Akan tetapi, sikap partaipartai tersebut tidak selamanya satu dalam sikap mereka terhadap presiden. Di
anatara partai-partai timbul kesenjangan pandangan, demikian juga di kalangan
sendiri antara generasi tua dan generasi muda terutama di kalangan partai-partai
agama, di mana para aktivis muda terutama di kalangan partai-partai agama, di
mana para aktivis muda terjun ke barisan terdepan dari kesatuan aksi yang
terbentuk di masa itu dengan tuntutan agar dilakukan tindakan terhadap Soekarno
dan Orde Lama. Generasi tua dari partai-partai bersangkutan pada umumnya ragu
untuk meninggalkan Soekarno, sedangkan pimpinan muda di kesatuan-kesatuan
aksi adalah pendukung militan dari pihak sipil terhadap Angkatan Darat.
37

Di awal tahun 1966 garis-garis besar dari suatu keseimbangan baru dalam
kekuasaan mulai kelihatan. Dengan menumpas PKI, Angkatan Darat telah
menghancurkan konstelasi politik kekuasaan lama dan menciptakan kondisi untuk
suatu keseimbangan baru di mana Angkatan Darat merupakan satu-satunya
kekuatan yang utama. Pimpinan Angkatan Darat dalam situasi yang baru merasa
berada dalam kedudukan yang dapat mendikte presiden dan seluruh kebijakannya
serta mengira dapat dapat mendikte presiden mengutuk PKI dan membubarkan
partai itu. Mereka juga berencana untuk memaksa presiden membebastugaskan
menteri-menterinya yang selama itu bekerja sama dengan PKI dan yang sekarang
bersama dengan pihak-pihak lain tidak rela menerima kekuasaan Angkatan Darat.
Jika

presiden

kehilangan

para

penasihat

dan

pendukungnya

mereka

memperkirakan tidak akan ada alternatif lain baginya selain berpaling ke pihak
Anngkatan Darat Dengan demikian pimpinan Angkatan Darat berharap dapat
mengkonsolidasi kekuasaan mereka tanpa mengganggu status resmi presiden dan
karena itu menghindarkan ketegangan dan ancaman, setidak-tidaknya di kalangan
Angkatan Darat sendiri, yang tak terelakkan terjadinya bila ada usaha untuk
menjatuhkan Soekarno. Strategi pimpinan Angkatan Darat didasarkan pada
harapan bahwa akhirnya presiden akan menerima kenyataan dan menyesuaikan
sikapnya dengan keadaan yang baru itu.
Sepanjang akhir tahun 1965, Soeharto melakukan serangkaian tindakan
untuk memperkuat kedudukannya di dalam Angkatan Darat dan posisi Angkatan
Darat dalam hubungan dengan presiden. Pada tanggal 10 Oktober ia
melembagakan wewenang yang telah diberikan presiden kepadanya di Bogor
delapan hari sebelumnya untuk memulihkan keamanan dan ketertiban dengan
membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang
38

diakui Soekarno pada tanggal 1 November. Setelah Soeharto memegang pimpinan


operasi-operasi keamaman, semakin jelas bahwa bukan Parnoto atau presiden yang
menjalankan kekuasaan di dalam Angkatan Darat dan pada tanggal 16 Oktober.
Soekarno mengalah kepada tekanan-tekanan untuk mengangkat Soeharto resmi
menjadi panglima Angkatan Darat dan kepala staf Koti. Pada akhir November
Soeharto melakukan pengorganisasian kembali staf Koti setelah mengusulkan
pemberintian pejabat-pejabat sipil seperti Soebandrio, Achmadi dan pemindahan
Laksamana Muda Sri Moelyono Herlambang dari jabatannya dari komandan
operasi ke jabatan wakil kepala staf. Dalam pada itu Soekarno juga ditekan untuk
membebastugaskan Omar Dhani sebagai kepala staf Angkatan Udara, tetapi
penggantinya Sri Moelyono Herlambang bukanlah tokoh yang dapat diterima oleh
kalangan Angkatan Darat.
-------------------------------------------------------------------------------------------Sementara itu, kampanye terhadap PKI terus berlanjut, Aidit yang
menyingkir ke Jawa Tengah pada tanggal 1 Oktober 1965, ditangkap dan langsung
dihukum mati pada tanggal 22 November; Nyoto yang berlindung di istana
presiden dan di rumah para menteri yang beraliran kiri, ditangkap dan ditembak
mati beberapa saat sesuai menghadiri sidang kabinet tanggal 6 November. Lukman
dan Sudisman bersembunyi di Jakarta dan Sakirman menghilang ke Jawa Tengah.
Dari pemimpin-pemimpin senior yang ditangkap pada akhir tahun 1965, hanya
Nyono dan Peris Pardede yang tidak langsung ditembak mati yang kemudian
diputuskan untuk dihadapkan ke pengadilan. Pada ahkir November, setelah
diperoleh pengakuan dari Nyono, Soeharto meminta wewenang dari presiden
untuk membentuk Mahmillub (Mahkamah Militer Luar Biasa) untuk memeriksa
dan mengadili para tahanan. Pada tanggal 4 Desember Soekarno melimpaihkan

39

kekuasaan yang luas kepada Soeharto untuk mengangkat hakim-hakim pengadilan


tersebut dan menentukan siapa-siapa yang akan diajukan kedepan pengadilan.
Dalam 3 bulan terakhir tahun 1965 PKI merupakan target utama dari
pemberatasan yang dilancarkan, sekalipun nampak tanda-tanda baik di kalangan
sipil maupun tentara yang terlibat dalam gerakan anti-Gestapu menghendaki
perluasan kampanye yang mencakup pula sasaran-sasaran lain. Presiden masih
terhindar dari kritik-kritik umum, tetapi gerakan anti-Gestapu meluaskan sasaran
dengan menyerang kebijakan-kebijakan dari rekan-rekan dekat presiden. Jelas
bahwa jihad terhadap PKI adalah pembakangan terhadap salah satu kebijakannya
usaha-usaha juga ditujukan untuk memanfaatkan situasi, menentang politik
persahabatan dengan RRC. Dalam hubungan ini kampanye juga dilancarkan
terhadap Menteri Luar Negeri dan Wakil Perdana Menteri Soebandrio, yang juga
kepala Biro Inteljen. Selanjutnya gerakan-gerakan juga dilakukan untuk
menyerang PNI yang setelah PKI merupakan benteng terkuat golongan sipil
pendukung Soekarno.
Sementara kampanye me luas ke luar negeri, tidak saja PKI tetapi juga
rekan-rekan presiden, dan dengan susah payah Soekarno berupaya membuktikan
bahwa ia masih tetap berkuasa. Pada upacara pengangkatan Soeharto sebagai
panglima Angkatan Darat yang baru pada tanggal 16 Oktober, ia membantah isyuisyu yang mengatakan bahwa ia kehilangan kekuasaan, Saya ingin tertawa
Saudara-saudara, katanya orang-orang mengatakan, Soekarno? Ho, Soekarno
telah ditumbangkanSoekarno bukan pemimpin yang berkuasa lagi. Ia hanyalah
bapak bangsa. Sebagai usaha mempertahankan status quo, ia mengartikan
percobaan kudeta itu sebagai hal yang wajar dalam revolusi. Bertentangan
derngan pandangan pimpinan Angkatan Darat yang menganggap pembunuhan
40

terhadap Jani dan rekan-rekannya sebagai suatu tragedi nasional, berkali-kali


Soekarno mengatakan bahwa percobaan kudeta itu sebagai Riak belaka dalam
samudera revolusi. Dalam sidang kabinet tanggal 6 November yang dihadiri
Nyoto , jelas ia menerima kenyataan bahwa anggota-anggota PKI terlibat dalam
percobaan kudeta yang dinyatakan sebagai penyakit yang kekanak-kanakan dari
Komunisme. Dan kepada Nyoto, Hai Nyoto, ia berseru, partai komunisme, ya,
sekarang disebut orang sebagai Gestapu, benar-benar totol. Ketololan yang
membahayakan Komunisme! Akan tetapi, Soekarno berusaha memisahkan partai
tersebut. Ia menyadari bahwa pembasmian terhadap PKI akan mengubah sistem
kepartaian yang telah dibinanya selama ini. Meskipun pimpinan Angkatan Darat
mendorongnya untuk menyatakan pembubaran PKI, berulang kali ditekannya
bahwa kekuatan Nasakom tidak terikat dan tidak terkait kepada partai sebagai
wadah organisasi padawaktu itu. Dalam berbagai pidatonya ia menyatakan Kom
bukan berarti PKI, tidak. A bukan berarti hanya NU, tidak. Nas juga bukan berarti
hanya PNI dan Partindo, sama sekali tidak, tetapi itu adalah ide, merupakan prinsip
dari revolusi Indonesia. Pidato-pidato Soekarno yang bernada tinggi pada akhir
Oktober memberikan petunjuk bahwa ia sedang mempertimbangkan kemungkinan
suatu penyelesaian politik, termasuk tindakan terhadap pimpinan PKI yang
terlibat langsung dalam percobaan kudeta dengan memisahkan mereka dari partai
mereka. Ia menyadari bahwa kemungkinan menyelamatkan PKI amat kecil, oleh
karena itu ditekankan bahwa unsur Kom tidaklah identik dengan PKI dan pada
akhir November dibayangkannya kemungkinan membentuk suatu partai baru
sebagai wadah kekuatan sosial dari unsur Kom dalam Nasakom.
Penolakan Soekarno berulang kali terhadap tuntutan Angkatan Darat untuk
membubarkan PKI telah menimbulkan kegusaran, tidak saja di pihak Soeharto dan
kolega-koleganya tetapi juga di kalangan para perwira angkatan bersenjata yang
41

biasanya

bersimpati

kepada

presiden

Ketika

Soekarno

terus-menerus

menangguhkan pengumuman yang dijanjikan mengenai penyelesaian politik ,


Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, panglima divisi Siliwangi dari Jawa Barat teman
terdekat presiden dari kalangan jenderal senior Angkatan Darat, pada tanggal 17
November mengumumkan pembubaran PKI yang telah dibekukan di Jawa Barat.
Tindakan Adjie, dalam minggu-minggu berikutnya, diikuti oleh panglimapanglima lain di di seluruh daerah. Sekalipun pembunuhan massal terhadap para
pengikut PKI mulai dipertanyakan sehubungan dengan eksistensi partai yang
bersangkutan, masalah ini menjadi menjadi amat penting. Bila oleh karena itu
Soekarno menyerah kepada tuntutan pembubaran PKI secara terbuka ia akan
mengakui kemampuan Angkatan Darat untuk memaksanya mengambil tindakan
yang bertentangan langsung dengan keinginan yang dilontarkannya di depan
umum. Tidak berdaya menghalangi pembekuan dan pembubaran PKI. Soekarno
menolak untuk mundur dan dalam pidatonya pada tanggal 6 Desember ia
melontarkan tantangan kepada pimpinan Angkatan Darat sewaktu menyatakan,
Tiap kelompok, tiap surat kabar menyatakan loyalitas kepada Pemimpin Besar
Revolusi dan taat kepada komando Bung Karno , setia dan loyal kepada segala
perintah Bung Karno. Tetapi apa yang saya lihat, dan ini telah saya katakan, saya
merasa dikentutin
Sepanjang bulan Desember nada pidato-pidato Soekarno makin keras
sementara bersiap-siap meneruskan tentangannya terhadap pimpinan Angkatan
Darat. Jika hendak mempertahankan kewibawaannya, Soekarno tidak dapat
mundur dalam hal mendukung keabsahan PKI tetapi memilih pembela PKI sebagai
masalah pokok, ia mengambil resiko kehilangan pendukung-pendukung kuatnya di
kalangan angkatan bersenjata. Dalam hari-hari terakhir bulan Desember Soekarno
mulai memasukkan satu tema baru dalam pidato-pidatonya, yang lebih
42

menjauhkan dari para pendukungnya di kalangan tentara. Jika sebelum itu tekanan
dalam pidato-pidatonya ditujukan pada pentingnya masalah mempertahankan
konsepsi Nasakom dan penghentian pembunuhan massal, dalam pidato di depan
mahasiswa pada tanggal 21 Desember ia memulai serangannya. Setelah
menggambarkan pengalaman-pengalaman kaum komunis di Bovel Digul dan
penjara-penjara lain dalam masa penjajahan Belanda, ia mengingatkan para
mahasiswa bahwa golongan komunis, seperti halnya golongan nasionalis dan
agama, telah menderita dalam perjuangan melawan Belanda. Ia bahkan
menyatakan bahwa pengorbanan mereka selama perjuangan kemerdekaan
Indonesia lebih besar dari partai-partai dan golongan-golongan lain Banyak dari
antara para pendukung Soekarno di kalangan Angkatan Darat maupun angkatan
lain kaget dan merasa bahwa presiden sengaja mengesampingkan peranan
angkatan bersenjata yang merasa telah memberikan pengorbanan terbesar selama
masa revolusi. Dengan menghina Angkatan Darat secara menyeluruh, Soekarno
dengan tidak sadar telah membantu mengerahkan pendukung Soeharto dari
kalangan korps perwira untuk melaksanakan kebijakan yang lebih keras
menghadapi presiden.
Ketidakbijakan Soekarno telah memungkinkan dan memaksa Soeharto
menambah tekanannya kepada presiden. Jika Soeharto gagal menjawab tantangan
presiden, itu berarti ia mengambil resiko kehilangan monemum yang telah
menambah pamor kekuasaan Angkatan Darat dalam bulan-bulan sebelumnya.
Keretakan antara Soekarno dan korps perwira memberikan kesempatan yang amat
dibutuhkan Soeharto. Tetapi Soeharto telah bertindak hati-hati dan dalam mingguminggu pertama tahun 1966 masalah kenaikan harga menjadi lebih utama daripada
sikap presiden terhadap PKI . Masalah ini memperluas fokus perhatian masyarakat,
dari masalah PKI dan Gestapu ke masalah tindakan-tindakan pemerintah secara
43

keseluruhan. Ketika para mahasiswa dengan dorongan pimpinan Angkatan Darat


turun ke jalan-jalan memperotes kenaikan harga, tuntutan mereka bukan saja agar
menurunkan menteri-menteri pro-PKI tetapi juga menurunkan menteri-menteri
bodoh yang dituduh mengacaukan perekonomian negara. Demontrasidemontrasi ditujukan tidak saja untuk memaksa pemerintah melakukan perubahanperubahan, tetapi lebih cenderung untuk menyatakan ketidakpercayaan rakyat
kepada pemerintah secara keseluruhan. Walaupun presiden tidak diserang secara
langsung, namun

kemampuan pemerintahan yang dipimpinnya dipertanyakan

secara terbuka.
Inflasi yang tidak terkendalikan lagi pada akhir tahun 1965, menekan
pemerintah menaikkan harga-harga barang dan jasa yang langsung ada di bawah
pengawasan pemerintah. Pada tanggal 23 November Menteri Koordinator
Pembangunan Chaerul Saleh mengumumkan kenaikan harga minyak bumi, dari
empat rupiah per liter menjadi 250 rupiah. Dalam bulan Januari, kenaikan hargaharga yang dikendalikan pemerintah tidak terelakkan lagi. Pada tanggal 3 Januari
Brigadir Jenderal Ibnu Sutowo, menteri negara urusan minyak dan gas bumi
mengumumkan kenaikan harga minyak tanah dan bensin sampai kali lipat. Pada
saat yang sama, pos dan telekomunikasi menaikkan tariff 10 kali lipat, tariff kereta
api empat kali lipat dan harga karcis bis di Jakarta dari 200 rupiah menjadi 10000
rupiah. Dihadapi oleh laju inflasi yang luar biasa, pemerintah terpaksa secara dratis
menaikan harga-harga kebutuhan pokok dan barang-barang yang bersubsidi .
Masyarakat yang harus membayar, tidak dapat mengerti kesulitan pemerintah.
Kenaikan harga-harga menyebabkan timbulnya ketidakpuasan yang kemudian
dieksploitasi oleh golongan yang hendak menekan pemerintah dan di lain pihak,
merupakan katalisator bagi perkembangan politik selanjutnya.

44

Demontrasi-demontrasi mahasiswa menentang kenaikan harga disalurkan


melalui Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang dibentuk pada akhir
Oktober oleh organisasi-organisasi mahasiswa antikomunis di kediaman Menteri P
dan K Brigadir Jenderal Sjarif Thayeb. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI), organisasi mahasiswa yang bernaung di bawah PNI, hadir dalam
pertemuan itu tetapi menolak masuk kedalam organisasi tersebut, di mana juga ada
organisasi mahasiswa Islam yang besar, HMI, yang sebelum tanggal 1 Oktober
telah menjadi sasaran kampanye bersama golongan mahasiswa komunis dan
nasionalis. Dengan kehadiran organisasi mahasiswa Islam yang besar itu sebagai
dasar, KAMI didukung oleh para mahasiswa Katolik, mahasiswa-mahasiswa
berorientasi pada PSI dan juga Mapancas serta organisasi-organisasi mahasiswa
yang berafiliasi dengan IPKI. Walaupun tidak alasan untuk meragukan spontanitas
murni mereka terhadap kenaikan harga-harga, yang sejak naiknya harga bensin
menyebabkan lima kali kenaikan tariff bis kota di Jakarta yang langsung dirasakan
oleh para mahasiswa, namun jelas bahwa pimpinan KAMI berhubungan dengan
perwira-perwira terkemuka Angkatan Darat yang telah diberitahukan tentang
rencana untuk mengadakan demontrasi dan bersimpati kepada mereka. Perwiraperwira tersebut antara lain Kepala Staf Kostrad Brigadir Jenderal Kemal Idris,
Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie, Kepala Staf Komando Daerah Militer
Jakarta Kolonel AJ Witono dan Letnan Kolonel Urip Widodo, juga dari komando
daerah militer Jakarta, semuanya berpihak kepada pimpinan KAMI dan membantu
mereka dengan informasi-informasi tentang pandangan-pandangan Soeharto dan
Nasution. Jadi, ketika para mahasiswa memutuskan untuk melakukan demontrasi
besar-besaran, mereka yakin akan dukungan dari pimpinan Angkatan Darat.
Pada tanggal 10 Januari ribuan mahasiswa berkumpul di Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan mencanangkan Tri Tuntutan Rakyat
45

(Tritura) Tuntutan-tuntutan itu adalah : Turunkan harga-harga, bubarkan PKI, dan


bubarkan kabinet.

Seusai pidato Kolonel Sarwo Edhie, mereka berbaris ke

Departemen P dan K untuk menyampaikan tuntutan dan dari sana ke Sekretariat


Negara di sebelah istana presiden dan bertemu dengan Chaerul Saleh. Tidak puas
dengan sikap Chaerul Saleh, mereka memutuskan untuk meneruskan kampanye
dan melanjutkan demontrasi pada hari-hari berikutnya.
Sementara itu, suatu seminar yang disponsori KAMI mengenai ekonomi
diselenggarakan di Universitas Indonesia. Para pembicara terdiri dari para ahli
ekonomi dan ahli sosial, tetapi yang terpenting setelah Jenderal Nasution yang
kehadirannya tidak dapat tidak harus ditafsirkan sebagai persetujuannya atas
demontrasi-demontrasi yang berlangsung. Lebih jauh, Soeharto mengirimkan suatu
pesan tertulis. Sehubungan dengan demontrasi-demontrasi dikatakannya, Saya
melihat aksi-aksi ini sebagai perwuju dan dari kontrol sosial. Saya tahu bahwa
demontrasi-demontrasi telah dilaksanakan dengan tertib dan dengan disiplin yang
tinggiPara mahasiswa dalam kenyataannya berdiri di tengah-tengah rakyat
menyadari penderitaan rakyat dan mengerti keinginan-keinginan mereka, dari
mana kita berasal, oleh siapa kita dibesarkan dan untuk siapa kita berjuang.
Presiden Soekarno dengan cepat menangkap ancaman yang datang dari
demontrasi-demontrasi mahasiswa yang didukung oleh tentara dan mengadu
kepada Panglima Daerah Militer Jakarta Mayor Jenderal Amir Machmud yang
lunak. Ia ini kemudian mengeritik demontrasi-demontrasi liar yang telah terjadi
dan mengistruksikan bahwa untuk selanjutnya demontrasi-demontrasi harus
disalurkan melalui pejabat-pejabat yang berwenang dengan cara-cara yang teratur
dan wajar. Namun, pada tanggal 15 Januari ketika sedang dilangsungkan sidang
kabinet di istana Bogor, ribuan mahasiswa berdatangan dari Jakarta, Bandung dan
46

Bogor berkumpul

dan pasukan pengawal

melepaskan tembakan-tembakan

peringatan. Dalam sidang kabinet presiden menyampaikan pidato yang


mengandung kemarahan dan merangsang, dan dengan keras ia mengeritik caracara yang ditempuh para mahasiswa

untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan

mereka. Pada akhir pidato ia menantang lawan-lawannya untuk memperlihatkan


diri mereka. Ditegaskan, bahwa ia menemukan selebaran-selebaran yang
menuduhnya membela PKI. Ada tanda-tanda bahwa rakyat ingin mendongkelnya :
Saya tidak akan mundur sejengkal pun.Saya Soekarno, Pemimpin Besar
Revolusi. Sebagaimana Martin Luther katakan di gereja Wurtenberg, saya pun
berkata inilah saya, saya tidak bisa berbuat lainAyo, siapa yang membutuhkan
Soekarno, setuju dengan Soekarno sebagai pemimpin Besar Revolusi, kerahkan
seluruh

kekuatanmu,

bentuk

barisanmu,

pertahankan

SoekarnoTunggu

komandoku.Berdirilah di belakang Soekarno!


Sebagai tanggapan terhadap seruan presiden untuk membentuk barisanmu,
Wakil Perdana Menteri Soebandrio dalam pidato radio malam berikutnya
menghimbau pembentukan Barisan Soekarno untuk membela presiden pada rapat
umum yang diadakan di markas besar Front Nasional, Sudibjo, sekretaris jenderal
front itu, didampingi Brigadir Jenderal Djuhartono pimpinan Sekber-Golkar,
menyatakan masuknya Front Nasional ke dalam Barisan Soekarno. Beberapa hari
kemudian, Chaerul Saleh bertindak selaku penjabat ketua umum Front Nasional
mengumumkan pembentukan Komando Aksi Pembela Bung Karno dan
menyatakan bahwa selretariat Front Nasional akan berfungsi sebagai sekretariat
komando aksi yang baru itu. Para pendukung Soekarno yang antikomunis seperti
Chaerul Saleh, Sudibjo, Achmadi dan Djuhartono tampaknya berusaha merebut
kontrol atas Barisan Soekarno dari Soebandrio dengan menempatkan organisasi
yang baru dibentuk itu ke dalam struktur Front Nasional Sementara itu pernyataan47

pernyataan dikemukakan oleh puluhan organisasi yang menyatakan berdiri di


belakang Bung Karno sebagai anggota Barisan Soekarno dan pada tanggal 20
Januari, 92 menteri berkumpul di istana untuk menyampaikan pernyataan setia
kepada presiden dan kesediaan mereka menjadi bagian paling depan Barisan
Soekarno.
Seruan presiden untuk pernyataan dukungan terhadap kepemimpinannya
mengejutkan pimpinan Angkatan Darat. Mereka berharap bahwa demontrasidemontrasi yang dilancarkan para mahasiswa dapat digunakan sebagai usaha untuk
meningkatkan tekanan terhadap presiden

tetapi nyatanya tantangan itu

menempatkan mereka ke kedudukan bertahan. Sehari setelah pidato presiden,


tanggal 16 Januari, Soeharto mengeluarkan pernyataan atas nama Angkatan Darat
bahwa seluruh Angkatan Darat berdiri di belakang presiden/Pemimpin Besar
Revolusi dan menunggu komando-komando selanjutnya. Tetapi Menteri
Pertahanan dan Keamanan Nasution, tidak puas dengan pernyataan dukungan
Soeharto terhadap presiden, oleh karena itu memanggil Soeharto dan ketiga
panglima angkatan yang lain dalam suatu rapat di mana mereka menandatangani
suatu pernyataan yang berhati-hati sifatnya, yang berisikan kesetiaan mereka
kepada presiden dalam menghadapi seluruh tantangan terhadap revolusi sesuai
dengan Saptamarga dan Sunmpah Prajurit. Ketika pernyataan-pernyataan
dukungan kepada Barisan Soekarno mengalir dari puluhan organisasi pada harihari berikutnya, pimpinan Angkatan Darat mencari jalan untuk menetralisasi
usaha-usaha presiden seraya menghindar suatu benturan langsung (

Harold

Crouch, 1986 : 178 188 )


Washington bersikap mendua terhadap militer Indonesia, bahkan saat
mendukung upaya mereka untuk menumpas PKI dan merebut kekuasaan. Para
48

pejabat AS khawatir mengenai kesediaan Angkatan Darat untuk menyingkirkan


Presiden Soekarno, dan takut bahwa mereka akan menolak tuntutan negara-negara
Barat untuk merestrukturisasi ekonomi dan kebijakan luar negeri Indonesia.
Negara-negara Barat bersikeras bahwa militer bukan hanya harus menghancurkan
PKI, melainkan juga menyingkirkan Soekarno dan para pendukungnya. Selama
Soekarno masih berkuasa, akan sulit bagi Angkatan Darat untuk membuat
perubahan dratis yang oleh AS dan negara-negara lainnya dianggap perlu untuk
memulihkan stabilitas ekonomi dan politik. Sebagaimana diperhatikan oleh salah
seorang pejabat AS, Angkatan Darat masih sangat nasionalis dan penumpasan
PKI tidak akan mengubah hal ini.
Dalam hitungan jam setelah terjadinya G30S, para pejabat AS mulai
mendaftar bantuan ekonomi dan finasial apa yang dibutuhkan oleh Angkatan Darat
jika nanti mereka mengambil alih kekuasaan. Pada minggu itu, para jenderal
Angkatan Darat mendekati Kedutaaan Besar AS untuk mendapatkan senjata, suku
cadang, kapas, beras, dan perlengkapan lainnya. Departemen Luar Negeri AS
berpendapat bahwa Amerika seharusnya tidak terburu-buru untuk memberikan
bantuan tersebut, dan jika kita memberikannya, bantuan itu harus disertai dengan
syarat-syarat yang jelas dan pasti. Sementara pembantaian dimulai. Washington
dan sekutu-sekutunya mulai menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
bantuan ekonomi mereka kepada Indonesia bisa dilanjutkan. Menumpas PKI saja
tidak cukup, Soekarno harus disingkirkan, Konfrontasi dengan Malaysia harus
berakhir, dan serangan-serangan terhadap kebijakan dan investasi AS dan Barat
harus berhenti, Begitu dilanjutkan, pemberian bantuan itu akan dikaitkan dengan
kesediaan Indonesia untuk mengatasi beberapa di antara masalah struktural yang
selama ini sudah mencegah kemajuan pembangunan ekonomi. Pemberian bantuan
juga akan langsung dikaitkan dengan kesediaan Indonesia untuk menerima
rencana-rencana ekonomi yang disetujui oleh AS dan IMF; pencairannya dibawah
pimpinan Jepang.
49

Para pejabat AS mengungkapkan rasa frustasi mereka bahwa Soeharto dan


perwira-perwira militer lainnya ingin membicarakan masalah bantuan ini secara
terpisah dari konteks politik-ekonomi yang lebih luas (daripada) hubungan ASIndonesia. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu kelompok dari mereka
kepada Duta Besar Green, yang tampaknya ingin diketahui oleh para pemimpin
Angkatan Darat hanyalah seberapa besar nilainya bagi kami jika PKI ditumpas
dan kecenderungan (politis) di sini berbalik, sehingga bagian wilayah Asia
Tenggara yang besar ini akan selamat dari komunisme ?
Namun demikian, frustasi AS tidak pada tempatnya. Para pemimpin
Angkatan Darat itu memiliki strategi yang jelas, yaitu memeras bantuan sebanyak
mungkin yang bisa mereka dapatkan dari negara-negara Barat, dalam rangka
mengonsolidasikan kekuasaan mereka, seraya menghindari syarat-syarat yang
ingin ditetapkan oleh Washington sebagai harga dari pemberian dukungannya
untuk pemerintahan militer.
Posisi perusahaan-perusahaan minyak Barat di Indonesia merupakan yang
paling dipentingkan di antara isu-isu yang lebih luas ini. Pada bulan September,
Soekarno telah memerintahkan Wakil III Perdana Menteri Chaerul Saleh untuk
menyelesaikan pengambilalihan manajemen dari tangan perusahaan minyak AS
dan mempercepat pembelian aset penyulingan mereka. Bahkan setelah peristiwa
G30S, posisi pemerintah ini tidak berubah. Perlu waktu untuk membina (sebuah)
dialog yang bermakna dengan Angkatan Darat perihal urusan perminyakan,
simpul Kedutaan, dan penggunaan tekanan akan menimbulkan resiko politik yang
nyata. Beberapa pejabat perusahaan minyak mengancam akan menarik diri diri jika
negoisasi gagal. Dean Rusk menginstruksikan Duta Besar Green untuk melakukan
50

apa pun yang dapat dilakukan untuk membuat pemimpin baru Indonesia sadar
akan konsekuensi-konsekuensi serius yang harus dihadapi jika mereka memaksa
perusahaan-perusahaan minyak itu hengkang.
Sepanjang awal tahun 1966 ekonomi Indonesia nyaris runtuh ketika para
petinggi Angkatan Darat semakin meningkatkan tekanan mereka terhadap
Soekarno. Pada bulan Januari, Soekarno memberitahu bank-bank negara Barat
bahwa Indonesia tidak mampu lagi membayar utang-utangnya dan, seperti
dikatakan oleh kedutaan besar AS, melengkapi kehancuran reputasi kredit
internasionalnya. Sekarang para pemimpin Angkatan Darat berusaha menjauhkan
diri dari kebijakan ekonomi Soekarno, seraya berkata kepada kedutaan besar
negara-negara Barat agar mereka jangan lagi memberi bantuan ekonomi kepada
Indonesia. Mungkin yang lebih penting, para pemimpin Angkatan Darat
mengupayakan, dengan dukungan AS dan Inggris, untuk mempercepat keruntuhan
ekonomi Indonesia dengan jalan mengalihkan dana-dana dari Bank Sentral dalam
rangka menciptakan sebuah anggaran parallel (terpisah dari anggaran

resmi

pemerintah Presiden Soekarno). Pada bulan Februari Soeharto dan Ibnu Sutowo
mengatakan kepada para pejabat Caltex bahwa mereka sangat membutuhkan
dana untuk mengimpor barang-barang kebutuhan pokok dan sejumlah
perlengkapan untuk kebutuhan militer. Mereka menginstruksikan Caltex untuk
mulai membayar pendapatan atas penjualan minyak Indonesia ke sebuah
rekening yang tidak bernama pada sebuah bank di Belanda daripada
menyetorkannya ke Bank Sentral Indonesia. Menteri Perkebunan FransSeda
membuat pengaturan yang serrupa dengan Goodyear, US Rubber, dan juga untuk
penerimaan atas penjualan timah. Pejabat Kedubes AS, David Cuthell menulis,
Sekarang, kebutuhan Indonesia, akan valuta asing lebih berpengaruh ketimbang
keiinginan (pemerintah) untuk melakukan nasionalisasi. Pengalihan sumber51

sumber utama devisa Indonesia merupakan pukulan telak terhadap Soekarno,


sehingga pemerintah tidak memiliki akses untuk mendapatkan devisa utama, dan
menunjukan ketidakberdayaan sang Presiden untuk memberi makan dan pakaian
kepada rakyatnya.
Pada tanggal 11 Maret 1966, di tengah-tengah meningkatnya tekanan politik
yang dilancarkan oleh Angkatan Darat, Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada
Jenderal Soeharto. Para pejabat AS nyaris tidak bisa menyembunyikan
kegembiraan mereka atas hal ini. Penumpasan PKI dan terkikisnya kekuasaan
Soekarno telah menggeser dinamika hubungan AS-Indonesia. Washington
sekarang mulai mengalihkan perhatiannya untuk membantu Angkatan Darat
mengonsolidasikan sebuah rezim yang moderat, bertanggung jawab, dan
berpikiran ekonomis di Jakarta. Bagi Soeharto dan para sekutu militernya, tugas
yang paling penting bersifat politis membersihkan para pendukung fanatik
Soekarno, mengakhiri Knfrontasi

dengan Malaysia, melanjutkan serangan

terhadap PKI, dan mengonsolidasikan kekuasaan mereka. Namun, para pejabat AS


memandang bahwa tugas-tugas penting yang harus diselesaikan Indonesia
terutama ada di bidang ekonomi, melanjutkan bantuan internasional, menstabilkan
dan merehabilitasi perekonomian, meraih kembali kepercayaan dari para investor
dan kreditor, dan melibatkan Indonesia kembali kedalam jaring-jaring pengaruh
negara-negara Barat. Prioritas-prioritas ini benar-benar menegaskan kaitan antara
anti-komunisme dan pelaksanaan kewajiban politik dan ekonomi yang merupakan
konsekuensinya. ( Bradley Simpson, 2013 : 275 279 )
Selama beberapa bulan setelah terjadinya kudeta tersebut, seluruh perhatian
secara konstan ditujukan pada berbagai insiden yang terjadi baik di Jawa maupun
di pulau-pulau di luar Jawa. Insiden-insiden tersebut kemudian dijadikan sebagai
52

bukti adanya sebuah revolusi gerilya oleh orang-orang komunis yang dilakukan
hanya dalam beberapa saat setelah terjadinya kudeta tersebut dan dengan dikaitkan
dengan perhitungan-perhitungan sebelumnya, hal ini merupakan bukti keterlibatan
PKI dalam kudeta tersebut. Bahkan pada akhir 1969, Soeharto yang telah
menjadi Presiden mengirim pesan kepada para jenderalnya di mana dinyatakan
bahwa orang-orang komunis tengah berusaha untuk kembali secara politis.
Keberadaan sejumlah organisasi bawah tanah pun dijelaskan secara detail. Mereka
diruduh telah beraktivitas dengan menggunakan nama-nama samaran seperti PKI
Malam, Kucing Hitam, dan Koyok (anjing) Hitam. Para anggota Politbiro yang
berhasil menyelamatkan diri menjalankan sebuah ikhtiar yang ternyata hanya
berumur pendek yang bertujuan untuk mengumpulkan kembali sisa angota PKI
yang tercerai-berai betul. Upaya-upaya ini antara lain dilakukan oleh Soedisman di
Jakarta dan Jawa Barat, serta yang dilakukan oleh kelompok Rewang di Jawa
Tengah. Penangkapan terhadap Soedisman tak pelak lagi akhirnya mematikan
kemungkinan keberhasilan upaya-upayanya tersebut dalam jangka panjang.
Namun demikian sisa-sisa kelompok Rewang yang jumlahnya lumayan cukup
besar menjadi persoalan dalam waktu yang cukup lama bagi pemerintahan
Soeharto yang masih baru tersebut. Berbagai aktivitas serupa yang dilakukan di
luar Jawa hanya memperoleh sukses yang amat terbatas, hal karena memang
konsentrasi-konsentrasi terkuat PKI berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di
Jawa Timur, Blitar menjadi titik temu aktivitas di mana taktik-taktik mereka
diterapkan, dan sebuah detail tentang sistem terowongan yang bergaya Vietcong
benar-benar dibuat. Dilaporkan bahwa Oloan Hutapea secara teratur memimpin
sebuah gerakan komunis di bawah tanah yang aktivitasnya bertujuan mengadakan
perlawanan terhadap pemerintah (counter-government) yang bermarkas di dekat
Blitar. Para penduduk keturunan Tionghoa setempat pun di tuduh telah
memberikan bantuan bagi dilangsingkannya aktifitas-aktifitas tersebut. Namun
53

demikian pada bulan Juli 1968 Hutapea berhasil ditangkap dan kemudian dibunuh,
sementara Tjugito, Munir, Sukatmo, Rewang dan lainnya yang berkedudukan lebih
rendah juga berhasil ditangkap. Dengan sebuah operasi yang dilakukan oleh militer
pada

tahun

1969,

berakhirlah

sebagian

besar

kemampuan

PKI

untuk

mengorganisasi dirinya.
Penguasa kemudian mengalihkan perhatiannya kepada elemen-elemen
sayap kiri dalam tubuh Partai Nasional Indonesia (PNI), yakni PNI ASU yang
diketuai oleh Mr Ali Sastraomidjojo dan Ir Surachman sebagai sekretaris
jenderalnya. Berbagai peringatan pun dinyatakan yang berkaitan dengan
kemungkinan adanya penyusupan-penyusupan yang dilakukan oleh orang-orang
komunis di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan dan dilaporkan
bahwa tahun 1969 ini adalah tahun di mana terdapat ofensif besar-besaran yang
dilakukan oleh orang-orang komunis. Kesemuanya itu mendorong dilakukannya
pembunuhan-pembunuhan terhadap sejumlah tahanan maupun orang-orang yang
dicurigai terlibat dalam PKI/Gestapu dengan sumber-sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan yang membenarkan laporan-laporan tersebut. Meskipun
hal tersebut pada akhirnya membawa kita pada akhir rangkaian operasi
penghancuran orang-orang komunis, akan tetapi persoalan yang timbul dengan
demikian banyaknya tahanan politik masih tetap belum dapat terselesaikan
sepenuhnya. Para tahanan politik tersebut kemudian digolong-golongkan kedalam
kategori A,B,C dan D. Banyak dari para tahanan kategori C dan D (yang dicurigai
telah terlibat secara terbatas dalam aktivitas subversif) yang telah dibebaskan,
namun demikian persoalan-persoalan rehabilitasi yang disebabkan karena
masyarakat di tempatnya masih sulit untuk menerimanya kembali, sistem peradilan
yang demikian rumit dan tidak efisien, dan timbulnya persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan logistik (makanan dan transportasi) akhirnya membuat persoalan
bekas tawanan tersebut menjadi sangat rumit ( Peter Edman, 2015 : 213 217 : I.G
Krisnadi , 2000 : 6 10 )

54

55

Vous aimerez peut-être aussi