Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Darat. Walaupun Jani dan kelompoknya sudah sampai pada posisi yang tidak
mudah disesuaikan dengan presiden, mereka tetap belum mau menentang presiden
secara langsung dan terang-terangan mengenai kenyataan adanya dorongan
presiden terhadap PKI. Namun sebagai konsekuensi percobaan kudeta,
kepemimpinan Angkatan Darat jatuh ke Soeharto yang didukung oleh Nasution.
Baik Soeharto maupun Nasution bukan anggota kalangan dekat presiden, dan
keduanya termasuk golongan perwira senior yang telah menyatakan keprihatinan
mereka dengan keengganan Jani untuk berhadapan muka dengan Soekarno secara
langsung sehubungan dengan kemajuan-kemajuan PKI. Ketika kelompok Jani
lenyap dengan sekali pukul pada tanggal 1 Oktober, kepemimpinan Angkatan
Darat bergeser kepada mereka yang lebih cenderung melakukan aksi-aksi segera
terhadap PKI, yang tidak begitu terpengaruhi oleh Soekarno secara pribadi .
Presiden Soekarno sadar sepenuhnya bahwa keseimbangan yang rapuh
menjadi sandaran dari kekuatan dan kekuasaannya berada dalam bahaya besar,
sebagai akibat dari peristiwa 1 Oktober. Soeharto dan Nasution telah menolak
mengakui penunjukan presiden atas Pranoto dan telah melaksanakan operasi
terhadap pangkalan Halim tidak sejalan dengan kemauan presiden. Soekarno
menyadari
bahwa
jika
ia
tidak
menegakkan
kembali
kekuasaan
dan
itu. Perlawanan PKI kecil saja kecuali beberapa tembak-menembak yang terjadi
antara beberapa anggota pasukan dan anggota-anggota organisasi pemuda yaitu
Pemuda Rakyat yang bersenjata, di Hotel Indonesia pada tanggal 2 Oktober.
Semua surat kabar kiri dan surat-surat kabar lain kecuali Angkatan Bersenjata dan
Berita Yudha yang disponsori tentara dilarang terbit.
Sementara presiden meminta ketenangan dan usaha untuk menahan diri,
para pemimpin Angkatan Darat dengan sengaja memelihara suasana yang sangat
emosional dengan tema utama yang ditekankan berupa ajakan untuk membalas
dendam. Publisitas yang meluas dilakukan pada waktu pengambilan mayat para
jenderal pada tanggal 4 Oktober, diperhitungkan akan membangkitkan amarah
publik di belakang tuntutan Angkatan Darat untuk melakukan pembalasan dendam;
dan sebagai ganti pertunjukan kekuatan militer yang sebenarnya direncanakan
untuk dilaksanakan pada tanggal 5 Oktober Hari Angkatan Bersenjata,
diselenggarakan penguburan sekaligus enam jenderal dan perwira muda tersebut.
Hampir seluruh elite nonkomunis hadir dalam upacara penguburan itu, akan tetapi
presiden tidak hadir. Mengetahui bahwa para jenderal mungkin akan menggunakan
kesempatan itu untuk mencoba menghubungkan dirinya dengan tuntutan
pembalasan dendam mereka, ia tidak hadir akan tetapi mengirimkan ajudannya
untuk mengumumkan bahwa para jenderal yang terbunuh itu dinaikkan pangkatnya
secara anumerta.
Pada tanggal 6 Oktober, presiden melanjutkan upayanya menciptakan
suasana yang baik bagi penyelesaian yang kompromistis dengan mengundang rapat
kabinet lengkap di Bogor. Dalam pidatonya di depan kabinet Soekarno mengutuk
pembunuhan terhadap para jenderal yang disebutnya dengan sebutan terhormat
Pahlawan-Pahlawan Revolusi. Ia menyatakan ketidaksetujuannya terhadap
pembentukan Dewan Revolusi dan mengemukakan bahwa suasana yang tenang
dan tertib harus diciptakan kembali sehingga dapat diambil tindakan-tindakan
terhadap oknum-oknum dari golongan mana pun yang ikut serta dalam insiden
30 September. Presiden menekankan bahwa, Kita tidak boleh dikuasai oleh emosi,
tuduh-menuduh dan saling menyalahkan oleh hal-hal yang dapat memecah belah
bangsa, memecah-belah angkatan bersenjata dan kehidupan politik. Pidato
7
Para pemimpin Angkatan Darat menghubungi partai-partai dan organisasiorganisasi antikomunis segera setelah percobaan kudeta dan membujuk mereka
untuk membentuk suatu front guna menuntut diambilnya tindakan terhadap PKI.
Pada tanggal 2 Oktober kepala bagian politik Koti, Brigjen Soetjipto mengundang
rapat para pemimpin muda dari partai-partai yang dengan cepat membentuk
kesatuan Aksi untuk mengganyang Gestapu (KAP-Gestapu). KAP-Gestapu yang
dipimpin oleh Subchan Z.E dari NU dan Harry Tjan dari partai Katolik, dengan
dorongan para perwira Angkatan Darat di Kostrad, mengadakan demontrasi
tanggal 4 Oktober, diikuti oleh kira-kira seribu demontran. Sesudah mendengarkan
pidato-pidato yang menyerang PKI, para demontran mengadakan gerak jalan
mengelilingi kota menuju Front Nasional untuk kemudian melanjutkan demontrasi
tersebut. Beberpa dari mereka terutama anggota-anggota organisasi pemuda
muslim pergi ke markas PKI, menyerang dan membakarnya. Walaupun tidak ada
izin resmi dari pemimpin-pemimpin KAP-Gestapu atau pejabat-pejabat militer,
mungkin mereka telah diberi jaminan oleh perwira-perwira muda Angkatan Darat
bahwa para jenderal senior tidak akan marah jika gedung PKI itu diserang secara
spontan oleh rakyat. Bagaimanapun, Angkatan Darat tidak mengambil langkah
untuk melindungi gedung PKI dan tidak bertindak menghentikan seranganserangan selanjutnya terhadap gedung-gedung yang ada ada hubungannya dengan
PKI dalam beberapa hari berikutnya.
Soeharto bergerak dengan hati-hati dalam menindak PKI. Ia memutuskan
untuk memanfaatkan situasi baru itu guna meniadakan saingan utamanya, tetapi
merasa tidak secara terbuka mengeluarkan perintah keapada panglima-panglima
daerah militer untuk menahan pemimpin-pemimpin PKI dan membubarkan partai
tersebut, apalagi secara terbuka memerintahkan pembunuhan massal yang
nyatanya terjadi. Sementara secara pribadi penghargaannya kepada presiden telah
berkurang, ia sadar akan kepopuleran Soekarno di kalangan angkatan bersenjata
termasuk Angkatan Darat dan tidak ingin membuka kartu, dalam arti bahwa para
panglima daerah militer diminta untuk memilih antara presiden di satu pihak dan
Soeharto bersama Nasution di lain pihak. Yakin bahwa kebanyakan panglima
daerah militer ingin mengeksplotasi kesempatan memukul PKI, Soeharto tidak
mengirimkan perintah-perintah resmi dan tertulis yang jelas tentang bagaimana
9
harus bertindak terhadap PKI. Sebagai gantinya adalah pesan bahwa PKI harus
dihancurkan yang disampaikan secara tidak resmi, membiarkan para komandan
setempat memutuskan sendiri cara apa yang akan digunakan. Tiadanya perintah
yang jelas dan terinci dari Jakarta mengakibatkan bahwa para panglima daerah
militer memberi reaksi kepada situasi masing-masing dengan cara-cara sendiri,
sehingga mengakibatkan tindakan-tindakan terhadap PKI berbeda-beda menurut
tempatnya.(Harold Crouch , 1986 : 151 158 )
Kecurigaan dan stereotip lintas batas aliran yang mengental, permusuhan
sengit antarpartai politik dengan aliran yang berbeda, konflik di wilayah-wilayah
pedesaan Jawa yang berubah menjadi kekerasaan semuanya ini mengakibatkan
pertumpahan darah dalam negeri yang paling buruk di dalam sejarah Indonesia.
PKI menjadi pihak yang dipersalahkan untuk peristiwa yang meletus di Jakarta
oleh militer dan banyak lawan-lawan politiknya. Di Jakarta dan berbagai kota lain,
para aktivis pemuda belatar belakang dengan dukungan dari militer membentuk
kelompok-kelompok untuk menyerang anggota PKI dan harta benda mereka.
Masyarakat keturunan Tionghoa juga menjadi sasaran.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur; kekerasaan sosial juga merebak dengan
skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Peran militer di kedua wilayah
tersebut berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Di wilayah tersebut, kepelikan
yang besar muncul karena karena Kodam Diponegoro di Jawa Tengah dan Kodam
Brawijaya di Jawa Timur merupakan dua divisi militer yang paling berhasil
diinflitrasi dan dipengaruhi oleh PKI, beberapa elemen dari mereka secara tegas
dan jelas berpihak pada pemimpin kudeta militer di Jakarta. Loyalitas dari kedua
divisi militer sangat penting ini, karenanya, diragukan. Soeharto dan kolegakoleganya perlu beberapa waktu sebelum bisa merasa yakin bahwa perintah yang
diberikan entah kepada Kodam Diponegoro atau Brawijaya akan dipatuhinya.
Karenanya, penggerak utama dari pasukan pemburu dan pembunuh kaum PKI di
wilayah-wilayah yang paling terpencil bukanlah dari kalangan militer. Juga bukan
dari kalangan mahasiswa, karena jumlah perguruan tinggi yang memiliki jaringan
hingga kedesa-desa masih sangat terbatas pada saat itu. Alih-alih, dan ini kiranya
bukan sesuatu yang mengejutkan, Ansor dan para kiai di pedesaanlah yang
10
memobilisasi murid-murid pesantren mereka dengan cara yang serupa pada yang
terjadi pada masa Revolusi dan setelah peristiwa Madiun 1948.
Seluruh pelosok Jawa Tengah dan Jawa Timur, sebagaimana tempat-tempat
lain di Indonesia, merupakan ladang subur tempat terjadinya perjumpaan antara
kesalehan, iman keyakinan yang kuat, doktrin-doktrin mistis, takhayul, kebencian,
kebodohan, jampi-jampi serta ilmu hitam, kedengkian dan sifat haus darah yang
primitif. Pamflet, rumor dan tuduhan yang dilancarkan pada prasangka
diketemukan di mana-mana. Dipercayai secara luas bahwa kaum Komunis telah
menyiapkan peralatan untuk mencungkil mata musuh-musuh mereka dan
memasukkan mayat-mayat para kiai yang sudah mereka bunuh kedalam sumur.
Diyakini bahwa rumah-rumah orang NU dan PNI di Yogyakarta (dan tak diragukan
lagi di tempat-tempat lain juga) akan dibubuhi dengan tanda rahasia untuk diserang
oleh kaum Komunis, sehingga anggota keluarga akan meneliti sekeliling rumah
mereka setiap paginya untuk mencari tahu bilakah terdapat tanda bahwa rumah
mereka akan dijadikan sasaran penyerangan.
Ansor NU dan sayap milisinya, Banser; memimpin jalannya pembantaian,
walaupun organisasi-organisasi Islam yang lain, terutama Muhamaddiyah juga
mengeluarkan pernyataan bahwa pembersihan PKI adalah sebuah kewajiban
beragama yang sama pentingnya dengan Perang Jihad. Para kiai tidak sesuara
dalam fatwa mereka mengenai nasib yang menanti kaum komunis, tetapi sebagian
besar dari mereka menilai bahwa membunuh kader-kader PKI adalah hal yang
diperbolehkan, bahkan merupakan sebuah kewajiban beragama. Musuh-musuh
komunis dipandang sebagai pengkhianat terhadap pemerintah yang sah dan
merupakan kaum kafir yang ateistik. Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa
beberapa anggota PKI bisa lepas dari upaya pembunuhan dengan cara
mengucapkan kalimat syahadat, dan, dengan demikian bertobat kepada Islam
dari status Muslim nominal abangan mereka yang sebelumnya, serta mempersulit
para santri untuk membunuh mereka, menegaskan bahwa ini pada dasarnya adalah
sebuah konflik religius di mata para aktivis santri. Tetapi, hal ini tidak selalu
berhasil. Beberpa kaum abangan memang mampu mengucapkan kalimat syahadat
dengan fasih, seperti halnya para pemeluk nominal agama lain sering kali juga
11
13
mayat-mayat tersebut. Pada hari Minggu terdapat kurang lebih 162 mayat, dan
pada hari Senin, 102.
Soemitro, seperti semua orang lain sejauh pengetahuan kita, meyakini
adanya kekuatan supernatural yang terlibat di dalam berbagai peristiwa yang
mengerihkan ini. Tetapi, poin rujukan supernaturalnya, tidak sama dengan yang
diyakini oleh kaum santri. Alih-alih, dia berpikir dalam kerangka gagasan Jawa
yang pusatnya adalah sosok yang namanya lalu diabadikan sebagai nama Kodam
yang dipimpinnya Brawijaya dari Majapahit, raja Jawa pra-Islam terakhir, yang
digulingkan oleh para penakluk Muslim tetapi kemudian menjelma (menurut
keyakinan banyak masyarakat Jawa) sebagai kekuatan anti-Islam yang maha
dashyat dalam diri Sunan Lawu. Walaupun pada waktu itu tidak sangat
mendalami ilmu kebatinan Jawa dan masih hijau , Soemitro pergi ke
reruntuhan Brawijaya untuk bersemedi dan untuk mencari perlindungan serta
petunjuk dari Allah yang Mahakuasadan izin dari Brwajaya untuk melayaninya.
Gagasan-gagasan kebatinan semacam itu tersebar luas di antara kalangan militer
Jawa, menjadi pembeda dengan kaum santri yang baru akan tampak nyata setelah
1966. Soemitro ingin melayani Tuhan dan Brawijaya, sementara kaum santri ingin
melayani Allah dan para kiai mereka, tetapi, untuk keadaan pada waktu itu, keduaduanya sama berkepentingan untuk menghabisi kaum komunis.
Tidak seorang pun mengetahui dengan pasti berapa banyak orang yang
kehilangan nyawa mereka di dalam kegilaan pembantaian, yang berlanjut hingga
Agustus 1966, sebab tak ada yang menghitung. Baru ketika pembantaian mulai
menyusut pada pertengahan 1966, orang berpikir untuk menguburkan mayat-mayat
orang yang dibunuh. Beberapa pengamat telah mencoba menyampaikan jumlah
total korban yang meninggal dunia, tetapi mereka kekurangan informasi yang bisa
menjadi landasan bagi penghitungan mereka itu. Ada konsensus umum bahwa
korban meninggal dunia di seluruh pelosok Indonesia dan itu sebagian besar di
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali berjumlah antara setengah juta dan dua juta
jiwa. Sebagian besar analisis menganggap angka setengah juta lebih masuk akal
karena angka ini lebih rendah, tetapi dalam kenyataannya tidak terdapat data yang
dapat membuat konsensus ini valid. Walaupun angka tersebut masih di bawah
14
jumlah orang dibantai oleh rezim Pol Pot yang keji di Kambodja dan jauhy di
bawah Holokaust di Jerman semasa Nazi, rangkaian pembunuhan yang terjadi di
Indonesia ini tetap termasuk dalam kasus pembantaian massal yang paling buruk
pada abad ke-20. Pertumpahan darah ini benar-benar memukul banyak masyarakat
Jawa mereka yang kehilangan nyawa; kepedihan, kemiskinan, ketidakberdayaan,
dan anak cucu korban, puluhan ribu orang yang dipenjara selama bertahun-tahun
tanpa diadili; beban rasa bersalah di pihak yang melakukan pembantaian
sekaligus menjadi sesuatu yang diceritakan dengan rasa bangga oleh banyak pihak
lain. Warisan pembantaian ini masih bergema di antara masyarakat Jawa ( M.C.
Ricklefs, 2013 : 196 206 ; Robert Cribb, 2003 : 4 25 dan Antonius Sumarwan,
2007 : 325 - 362)
Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 Presiden AS Lyndon Johnson
menerima laporan situasi singkat dari Central Intelligence Ageny (CIA): Sebuah
gerakan kekuasaan yang memiliki dampak yang luas sedang terjadi di Jakarta
Dalam waktu dua puluh empat jam sejak berlangsunguya peristiwa itu di Jakarta,
para pejabat AS mulai menyusun rencana untuk memanfaatkan kemungkinankemungkinan politis dari apa yang oleh para pejabat dianggap sebagai upaya
kudeta gagal yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Para pejabat
Inggris (yang telah menghabiskan dua tahun sebelumnya untuk melakukan operasioperasi rahasia sebagai respon atas kebijakan Indonesia, yang melakukan
Konfrontasi dengan Malaysia) juga mempercepat upaya-upaya untuk
memanfaatkan situasi Selama tiga bulan berikutnya, AS dan Inggris melancarkan
operasi-operasi rahasia yang bertujuan untuk mendukung pembantaian yang
dipimpin tentara terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pendukung PKI dan
yang untuk mendukung penggulingan Presiden Indonesia Soekarno, mengandalkan
operasi-operasi rahasia yang sudah berlangsung selama hampir setahun.
Para ilmuwan yang menyelidiki Gerakan 30 September (G30S) dan
pembantaian yang mengikutinya sudah menekankan sebab-sebab domestik dari
peristiwa ini dengan tepat. Namun peristiwa-peristiwa itu juga merupakan
peristiwa internasional yang sangat penting dalam Perang Dingin global.
15
dan
pembangunan
ekonomi.
Pemerintah
AS,
yayasan-yayasan
menstabilkan
dan
memodernisasikan
perekonomian
Indonesia
dan
17
18
21
harus
mengaitkan
bantuan
rahasia
jangka
pendek
itu
dengan
Budi Juwono melaporkan bahwa sekitar 50 sampai 100 anggota PKI dibunuh
setiap malam di Jawa Timur dan Jawa Tengah oleh kelompok warga sipil
antikomunis dengan restu Angkatan Darat. Tiga hari kemudian, para anggota
Pemuda Pancasila yang haus darah memberi tahu konsulat di Medan bahwa
organisasinya bermaksud untuk membunuh setiap anggota PKI yang bisa mereka
22
25
Koran-koran
Indonesia
tidak
memberitakan
adanya
pembunuhan-
kawasan tandus di dekat Desa Djelok. Para petani di daerah tersebut sudah
diperintahkan lurah untuk menggali sebuah lubang besar satu hari sebelumnya.
Para tawanan, dibariskan berdiri di bibir lubang, lalu ditembaki dalam beberapa
menit. Beberapa dari mereka barangkali dikubur hidup-hidup. Dari kisah-kisah
semacam ini, Karnow sampai pada kesimpulan bahwa tentara mengorganisasi
pembantaian berkelanjutan secara sistematik di Jawa Tengah.
Topping juga menyimpulkan bahwa militer melakukan pembunuhan secara
kilat terhadap rakyat di Jawa Tengah tetapi ia mengatakan pola kekerasaannya
berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur dan Bali. Di dua daerah terakhir militer
biasanya menghasut penduduk sipil untuk melakukan pembunuhan, ketimbang
memerintahkan personil mereka sendiri melakukan tugas kotor itu. Tentara
menebar suasana ketakutan dengan mengatakan kepada masyarakat di kota dan
desa bahwa PKI sedang bersiap-siap melakukan pembunuhan besar-besaran;
menggali kuburan massal, menyusun daftar hitam orang yang akan dibunuh,
menyiapkan alat khusus pencungkil mata. Topping menyatakan bahwa pada
umumnya para pengamat Indonesia yang berpengalaman menganggap cerita-cerita
yang disebarkan tentara sebagai cerita yang dibuat-buat : Tidak ada bukti-bukti
kuat bahwa orang-orang Komunis mempunyai perbekalan senjata yang begitu
besar atau merencanakan pemberontakan massa di seluruh tanah air untuk merebut
kekuasaan dalam waktu dekat. Topping menambahkan bahwa pengikaran tentara
terhadap tanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan yang terjadi disangkal
bukan hanya oleh hasil penyelidikan singkatnya sendiri tapi juga oleh pernyataan
pribadi salah satu dari para panglima utama Soeharto sendiri, Mayor Jenderal
Soemitro, Panglima Kodam Brawijaya, Jawa Timur, dalam wawancaranya dengan
Topping berkata, bahwa Soeharto, pada November 1965, mengeluarkan perintah
secara rinci tentang pembasmian PKI. Dalam Desember 1965, Soemitro beserta
stafnya mengunjungi seluruh komando distrik militer di Jawa Timur untuk
memastikan bahwa perintah itu telah dipahami. Topping mengutip Soemitro yang
mengakui bahwa sebagian besar komandan setempat telah menunaikan tugas
sebaik-baiknya untuk membunuh kader-kader (PKI) sebanyak-banyaknya .
Sampai pertengahan 1966 dua surat kabar utama Amerika Serikat sudah
menyiarkan ke publik bahwa Angkatan Darat Indonesia di bawah Mayor Jenderal
28
29
balas dendam liar dan tak pandang bulu berdasarkan permusuhan pribadi dan
histeria massal di tengah masyarakat yang secara emosional dan psikologis
memang siap mengamuk. Adalah tidak adil jika apa yang disebutnya sebagai
segenap dunia berakal untuk mengharapkan bangsa Indonesia merasa bahwa
mereka telah melakukan sesuatu yang salah karena bangsa ini dapat menjelaskan
pertumpahan darah tersebut, sekurang-kurangnya demi kepuasan hati mereka
sendiri, menurut pengertian kuno tentang katarsis dan pembasmian kejahatan.
Sembari menghidupkan kembali mitos-mitos tua kolonial tentang orang-orang
pribumi yang terbelenggu pada tradisi dan bersifat mistik. Shaplen secara tidak
kritis menceritakan ulang versi tentara Indonesia tentang persitiwa-peristiwa 19651966.
Beberapa pakar tentang Indonesia tetap percaya kepada cerita tentang
pembantaian itu sebagai balas dendam spontan terhadap PKI. Antropolog Clifford
Geertz berdasarkan kunjungannya ke sebuah kota keil di Jawa Timur pada tahun
1970-an dan 1980-an, mengatakan bahwa orang di kota itu mengenang
pembunuhan tersebut sebagai : penggalan retak sejarah yang kadang-kadang
diingat sebagai akibat dari politik. Dalam esainya yang terkenal mengenai adu
ayam di Bali, Geertz sambil lalu menyebut bahwa kekerasaan dalam adu ayam itu
memperlihatkan pembantaian yang terjadi di sebuah pulau dengan kerukunan
sosialnya yang terkenal di seluruh dunia itu tidak bertentangan dengan hukum
alam; adu ayam itu menurutnya merupakan penyaluran kecenderungan
kekerasaan yang ada dalam masyarakat. Theodore Friend, seorang sejarawan Asia
Tenggara, dengan yakin mengatakan bahwa pembunuhan itu mencerminkan
ledakan kekerasaan massal yang hebat; dimulai secara spontan tanpa arahan
militer dan merupakan kekerasaan muka lawan muka dan dengan kedaulatan
yang aneh.
Sungguh menengangkan bahwa kekerasaan anti-PKI, suatu kejadian dengan
skala demikian luas, ternyata salah dimengerti sedemikian parah. Tentu saja
keterlibatan baik personil militer maupun penduduk dalam pembunuhan itu telah
mengaburkan masalah tanggung jawab. Bagaimana pun, dari sedikit yang sudah
diketahui, jelaslah bahwa militer yang memikul bagian tanggung jawab terbesar,
31
dan bahwa pembunuhan itu lebih merupakan kekerasaan birokratik yang terencana
ketimbang kekerasaan massa yang bersifat spontan. Dengan mengarang ceritacerita bohong mengenai G-30-S dan mengendalikan media massa sedemikian
ketat, klik perwira di sekitar Soeharto menciptakan suasana di kalangan penduduk
sipil bahwa PKI sedang bersiap-siap untuk perang. Tanpa provokasi yang disengaja
oleh ahli-ahli propaganda militer, penduduk tidak akan percaya bahwa PKI
merupakan ancaman yang mematikan karena partai ini bersikap pasif setelag G-30S ditaklukan. Militer bekerja keras menyulut kemarahan rakyat melawan PKI
sejak awal Oktober 1965, yang dikaitkan dengan polisi rahasia Nazi Jerman.
Akronim itu, Gestapu, tidak sesuai dengan kepanjangan yang berbunyi Gerakan
Tiga Puluh September. Surat kabar dan siaran radio dipenuhi dengan berita palsu
tentang apa yang dinamakan Gestapu: bahwa PKI menimbun senjata dari
Tiongkok, menggali kuburan massal, menyusun daftar orang yang akan dibunuh,
mengum;pulkan alat khusus untuk mencungkil mata, dan seterusnya. Militer
menggambarkan jutaa orang seperti setan dan bukan manusia dengan menyusun
mata rantai asosiasi : G-30-S sama dengan PKI sama dengan barang siapa saja
yang diasosiasikan dengan PKI sama dengan kejahatan mutlak.
Propaganda itu sendiri, bagaimana pun, tidak cukup untuk memprovokasi
penduduk sipil agar ikut melakukan kekerasaan. Propaganda merupakan faktor
yang penting tapi tidak cukup. Perbedaan waktu terjadinya kekerasaan di daerahdaerah yang berlainan menunjukkan bahwa kedatangan Resimen Para Komando
Angkatan Darat (RPKAD) berperan sebagai pemicu. Pangamatan Ben Anderson
dan Ruth McVey di Jawa Tengah telah saya kemukakan di atas. Kekerasaan baru
dimulai saat pasukan RPKAD tiba di ibu kota propinsi tersebut, Semarang, pada 17
Oktober, dan kemudian menyebar ke kota-kota kecil dan desa-desa pada hari-hari
berikutnya. Beruntunglah Jawa Barat lolos dari serbuan karena RPKAD harus
bergegas masuk Jawa Tengah, yang memang merupakan basis PKI. Relatif sedikit
pembunuhan yang terjadi di Jawa Barat walaupun pada masa sebelumnya terjadi
konflik tajam antara PKI dan organisasi anti-PKI.
Kasus Bali memang patut ditilik, terutama karena mereka yang berpegang
pada tesis kekerasaan spontan selalu menunjuk Bali sebagai bukti. Mereka
32
PKI yakin tentara dan sipil telah melancarkan pembunuhan massal yang belum
pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Akibatnya, presiden kehilangan
pendukung yang paling dinamik. Lebih jauh lagi, ruang gerak untuk kegiatankegiatan politiknya menjadi terbatas, karena keseimbangan telah berganti dengan
ancaman dari satu kekuatan politik yang menjadi jauh lebih kuat daripada yang
lain-lain.
Walaupun kekuatan kepemimpinan Angkatan Darat semakin meningkat pada
akhir tahun 1965 dalam hubungan dengan presiden, tetapi presiden bukannya tidak
punya kekuatan. Soekarno memang telah kehilangan salah satu pendukung terkuat,
namun ia masih mempunyai pendukung di kalangan angkatan bersenjata dan
partai-partai politik yang lebih menyukai kepemimpinannya daripada
kepemimpinan Angkatan Darat.Soeharto telah mewarisi tentaranya Jani yang telah
mahir dalam hal tidak mengacuhkan perlaksanaan-pelaksanaan perintah-perintah
presiden, tetapi tidak pernah membayangkan untuk bertindak menumbangkan
Panglima Tertinggi dan Pemimpin Besar Revolusi. Sekalipun Soeharto tahu bahwa
ia didukung oleh hampir seluruh perwira senior dalam perlawanan terhadap PKI
dan pimpinan Angkatan Udara, namun ia juga menyadari kesetiaan banyak
perwira, khususnya yang berasal dari Jawa Tengah dan Timur kepada Soekarno
yang nasionalismenya bernyala-nyala itu telah menarik korps perwira yang asalnya
adalah pejuang. Banyak perwira senior berharap bahwa setelah PKI tumpas, dapat
dibangun kembali semangat lama dari pengertian timbal-balik dan hubungan baik
seperti ketika ia belum bersekutu dengan PKI. Lagi pula banyak jenderal yang
telah menduduki jabatan-jabatan tinggi khawatir bahwa jika Soeharto dapat
menghimpun kiekuatan, pasti akan mengangkat orang-orangnya sendiri pada
jabatan-jabatan inti. Jadi, beberapa jenderal penting bersedia menerima Soeharto
sebagai pimpinan Angkatan Darat dengan mengorbankan presiden.
Dukungan terhadap Soekarno dari angkatan-angkatan lain lebih kuat. Dalam
masa Demokrasi Terpimpin presiden telah melakukan pembinaan terhadap
Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Kepolisian serta menyetujui kebebasan
mereka dari Angkatan Darat. Meskipun perwira-perwira Angkatan Udara,
Angkatan Laut dan Kepolisan tidak berkeberatan dengan sikap antikomunis dari
36
Angkatan Darat, mereka menyadari bahwa setelah kudeta yang gagal itu,
kekuasaan pimpinan Angkatan Darat akan bertambah dan diteruskan dengan usaha
memantapkan kembali kekuasaan atas seluruh angkatan bersenjata. Jadi, sejalan
dengan kepentingan mereka, dukungan yang mereka berikan kepada Soekarno
akan menjadi benteng terhadap meluasnya kekuasaan Angkatan Darat dan
demikian pula dengan dukungan moril Soekarno kepada angkatan-angkatan selain
Angkatan Darat itu. Di samping itu bagian terbesar dari para perwira ketiga
angkatan tersebut berasal dari suku Jawa, terikat oleh perasaan yang sama yakni
keterikatan pribadi terhadap Bapak dan pelindung mereka yang kini
kedudukannya sedang terancam.
Alasan dan hal yang serupa juga meliputi kalangan pimpinan partai-partai
politik yang lebih kecil, yang memihak Soekarno dalam konfliknya dengan
Angkatan Darat. Meskipun dalam kadar yang berbeda-beda mereka mendukung
tindakan Angkatan Darat terhadap PKI, namun ingin tetap mempertahankan sistim
politik lama di mana mereka telah tumbuh dengan subur, sementara para pemimpin
partai politik di daerah mengkhawatirkan lebih meluasnya peranan Angkatan Darat
dalam aparat pemerintahan daerah. Seperti halnya di kalangan perwira-perwira
senior angkatan bersenjata, para pemimpin partai politik menganggap diri mereka
anak-anak Bapak dan sulit membayangkan suatu keadaan tanpa dia. Dalam
pertimbangan tentang perluasan kekuasaan Angkatan Darat, mereka menyadari
bahwa ruang gerak untuk manuver-manuver politik mereka akan lebih luas selama
adanya kompetisi antara pimpinan Angkatan Darat dengan presiden. Dibandingkan
apabila Angkatan berhasil mengecilkan peranan presiden. Akan tetapi, sikap partaipartai tersebut tidak selamanya satu dalam sikap mereka terhadap presiden. Di
anatara partai-partai timbul kesenjangan pandangan, demikian juga di kalangan
sendiri antara generasi tua dan generasi muda terutama di kalangan partai-partai
agama, di mana para aktivis muda terutama di kalangan partai-partai agama, di
mana para aktivis muda terjun ke barisan terdepan dari kesatuan aksi yang
terbentuk di masa itu dengan tuntutan agar dilakukan tindakan terhadap Soekarno
dan Orde Lama. Generasi tua dari partai-partai bersangkutan pada umumnya ragu
untuk meninggalkan Soekarno, sedangkan pimpinan muda di kesatuan-kesatuan
aksi adalah pendukung militan dari pihak sipil terhadap Angkatan Darat.
37
Di awal tahun 1966 garis-garis besar dari suatu keseimbangan baru dalam
kekuasaan mulai kelihatan. Dengan menumpas PKI, Angkatan Darat telah
menghancurkan konstelasi politik kekuasaan lama dan menciptakan kondisi untuk
suatu keseimbangan baru di mana Angkatan Darat merupakan satu-satunya
kekuatan yang utama. Pimpinan Angkatan Darat dalam situasi yang baru merasa
berada dalam kedudukan yang dapat mendikte presiden dan seluruh kebijakannya
serta mengira dapat dapat mendikte presiden mengutuk PKI dan membubarkan
partai itu. Mereka juga berencana untuk memaksa presiden membebastugaskan
menteri-menterinya yang selama itu bekerja sama dengan PKI dan yang sekarang
bersama dengan pihak-pihak lain tidak rela menerima kekuasaan Angkatan Darat.
Jika
presiden
kehilangan
para
penasihat
dan
pendukungnya
mereka
memperkirakan tidak akan ada alternatif lain baginya selain berpaling ke pihak
Anngkatan Darat Dengan demikian pimpinan Angkatan Darat berharap dapat
mengkonsolidasi kekuasaan mereka tanpa mengganggu status resmi presiden dan
karena itu menghindarkan ketegangan dan ancaman, setidak-tidaknya di kalangan
Angkatan Darat sendiri, yang tak terelakkan terjadinya bila ada usaha untuk
menjatuhkan Soekarno. Strategi pimpinan Angkatan Darat didasarkan pada
harapan bahwa akhirnya presiden akan menerima kenyataan dan menyesuaikan
sikapnya dengan keadaan yang baru itu.
Sepanjang akhir tahun 1965, Soeharto melakukan serangkaian tindakan
untuk memperkuat kedudukannya di dalam Angkatan Darat dan posisi Angkatan
Darat dalam hubungan dengan presiden. Pada tanggal 10 Oktober ia
melembagakan wewenang yang telah diberikan presiden kepadanya di Bogor
delapan hari sebelumnya untuk memulihkan keamanan dan ketertiban dengan
membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang
38
39
biasanya
bersimpati
kepada
presiden
Ketika
Soekarno
terus-menerus
menjauhkan dari para pendukungnya di kalangan tentara. Jika sebelum itu tekanan
dalam pidato-pidatonya ditujukan pada pentingnya masalah mempertahankan
konsepsi Nasakom dan penghentian pembunuhan massal, dalam pidato di depan
mahasiswa pada tanggal 21 Desember ia memulai serangannya. Setelah
menggambarkan pengalaman-pengalaman kaum komunis di Bovel Digul dan
penjara-penjara lain dalam masa penjajahan Belanda, ia mengingatkan para
mahasiswa bahwa golongan komunis, seperti halnya golongan nasionalis dan
agama, telah menderita dalam perjuangan melawan Belanda. Ia bahkan
menyatakan bahwa pengorbanan mereka selama perjuangan kemerdekaan
Indonesia lebih besar dari partai-partai dan golongan-golongan lain Banyak dari
antara para pendukung Soekarno di kalangan Angkatan Darat maupun angkatan
lain kaget dan merasa bahwa presiden sengaja mengesampingkan peranan
angkatan bersenjata yang merasa telah memberikan pengorbanan terbesar selama
masa revolusi. Dengan menghina Angkatan Darat secara menyeluruh, Soekarno
dengan tidak sadar telah membantu mengerahkan pendukung Soeharto dari
kalangan korps perwira untuk melaksanakan kebijakan yang lebih keras
menghadapi presiden.
Ketidakbijakan Soekarno telah memungkinkan dan memaksa Soeharto
menambah tekanannya kepada presiden. Jika Soeharto gagal menjawab tantangan
presiden, itu berarti ia mengambil resiko kehilangan monemum yang telah
menambah pamor kekuasaan Angkatan Darat dalam bulan-bulan sebelumnya.
Keretakan antara Soekarno dan korps perwira memberikan kesempatan yang amat
dibutuhkan Soeharto. Tetapi Soeharto telah bertindak hati-hati dan dalam mingguminggu pertama tahun 1966 masalah kenaikan harga menjadi lebih utama daripada
sikap presiden terhadap PKI . Masalah ini memperluas fokus perhatian masyarakat,
dari masalah PKI dan Gestapu ke masalah tindakan-tindakan pemerintah secara
43
secara terbuka.
Inflasi yang tidak terkendalikan lagi pada akhir tahun 1965, menekan
pemerintah menaikkan harga-harga barang dan jasa yang langsung ada di bawah
pengawasan pemerintah. Pada tanggal 23 November Menteri Koordinator
Pembangunan Chaerul Saleh mengumumkan kenaikan harga minyak bumi, dari
empat rupiah per liter menjadi 250 rupiah. Dalam bulan Januari, kenaikan hargaharga yang dikendalikan pemerintah tidak terelakkan lagi. Pada tanggal 3 Januari
Brigadir Jenderal Ibnu Sutowo, menteri negara urusan minyak dan gas bumi
mengumumkan kenaikan harga minyak tanah dan bensin sampai kali lipat. Pada
saat yang sama, pos dan telekomunikasi menaikkan tariff 10 kali lipat, tariff kereta
api empat kali lipat dan harga karcis bis di Jakarta dari 200 rupiah menjadi 10000
rupiah. Dihadapi oleh laju inflasi yang luar biasa, pemerintah terpaksa secara dratis
menaikan harga-harga kebutuhan pokok dan barang-barang yang bersubsidi .
Masyarakat yang harus membayar, tidak dapat mengerti kesulitan pemerintah.
Kenaikan harga-harga menyebabkan timbulnya ketidakpuasan yang kemudian
dieksploitasi oleh golongan yang hendak menekan pemerintah dan di lain pihak,
merupakan katalisator bagi perkembangan politik selanjutnya.
44
Bogor berkumpul
melepaskan tembakan-tembakan
kekuatanmu,
bentuk
barisanmu,
pertahankan
SoekarnoTunggu
Harold
apa pun yang dapat dilakukan untuk membuat pemimpin baru Indonesia sadar
akan konsekuensi-konsekuensi serius yang harus dihadapi jika mereka memaksa
perusahaan-perusahaan minyak itu hengkang.
Sepanjang awal tahun 1966 ekonomi Indonesia nyaris runtuh ketika para
petinggi Angkatan Darat semakin meningkatkan tekanan mereka terhadap
Soekarno. Pada bulan Januari, Soekarno memberitahu bank-bank negara Barat
bahwa Indonesia tidak mampu lagi membayar utang-utangnya dan, seperti
dikatakan oleh kedutaan besar AS, melengkapi kehancuran reputasi kredit
internasionalnya. Sekarang para pemimpin Angkatan Darat berusaha menjauhkan
diri dari kebijakan ekonomi Soekarno, seraya berkata kepada kedutaan besar
negara-negara Barat agar mereka jangan lagi memberi bantuan ekonomi kepada
Indonesia. Mungkin yang lebih penting, para pemimpin Angkatan Darat
mengupayakan, dengan dukungan AS dan Inggris, untuk mempercepat keruntuhan
ekonomi Indonesia dengan jalan mengalihkan dana-dana dari Bank Sentral dalam
rangka menciptakan sebuah anggaran parallel (terpisah dari anggaran
resmi
pemerintah Presiden Soekarno). Pada bulan Februari Soeharto dan Ibnu Sutowo
mengatakan kepada para pejabat Caltex bahwa mereka sangat membutuhkan
dana untuk mengimpor barang-barang kebutuhan pokok dan sejumlah
perlengkapan untuk kebutuhan militer. Mereka menginstruksikan Caltex untuk
mulai membayar pendapatan atas penjualan minyak Indonesia ke sebuah
rekening yang tidak bernama pada sebuah bank di Belanda daripada
menyetorkannya ke Bank Sentral Indonesia. Menteri Perkebunan FransSeda
membuat pengaturan yang serrupa dengan Goodyear, US Rubber, dan juga untuk
penerimaan atas penjualan timah. Pejabat Kedubes AS, David Cuthell menulis,
Sekarang, kebutuhan Indonesia, akan valuta asing lebih berpengaruh ketimbang
keiinginan (pemerintah) untuk melakukan nasionalisasi. Pengalihan sumber51
bukti adanya sebuah revolusi gerilya oleh orang-orang komunis yang dilakukan
hanya dalam beberapa saat setelah terjadinya kudeta tersebut dan dengan dikaitkan
dengan perhitungan-perhitungan sebelumnya, hal ini merupakan bukti keterlibatan
PKI dalam kudeta tersebut. Bahkan pada akhir 1969, Soeharto yang telah
menjadi Presiden mengirim pesan kepada para jenderalnya di mana dinyatakan
bahwa orang-orang komunis tengah berusaha untuk kembali secara politis.
Keberadaan sejumlah organisasi bawah tanah pun dijelaskan secara detail. Mereka
diruduh telah beraktivitas dengan menggunakan nama-nama samaran seperti PKI
Malam, Kucing Hitam, dan Koyok (anjing) Hitam. Para anggota Politbiro yang
berhasil menyelamatkan diri menjalankan sebuah ikhtiar yang ternyata hanya
berumur pendek yang bertujuan untuk mengumpulkan kembali sisa angota PKI
yang tercerai-berai betul. Upaya-upaya ini antara lain dilakukan oleh Soedisman di
Jakarta dan Jawa Barat, serta yang dilakukan oleh kelompok Rewang di Jawa
Tengah. Penangkapan terhadap Soedisman tak pelak lagi akhirnya mematikan
kemungkinan keberhasilan upaya-upayanya tersebut dalam jangka panjang.
Namun demikian sisa-sisa kelompok Rewang yang jumlahnya lumayan cukup
besar menjadi persoalan dalam waktu yang cukup lama bagi pemerintahan
Soeharto yang masih baru tersebut. Berbagai aktivitas serupa yang dilakukan di
luar Jawa hanya memperoleh sukses yang amat terbatas, hal karena memang
konsentrasi-konsentrasi terkuat PKI berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di
Jawa Timur, Blitar menjadi titik temu aktivitas di mana taktik-taktik mereka
diterapkan, dan sebuah detail tentang sistem terowongan yang bergaya Vietcong
benar-benar dibuat. Dilaporkan bahwa Oloan Hutapea secara teratur memimpin
sebuah gerakan komunis di bawah tanah yang aktivitasnya bertujuan mengadakan
perlawanan terhadap pemerintah (counter-government) yang bermarkas di dekat
Blitar. Para penduduk keturunan Tionghoa setempat pun di tuduh telah
memberikan bantuan bagi dilangsingkannya aktifitas-aktifitas tersebut. Namun
53
demikian pada bulan Juli 1968 Hutapea berhasil ditangkap dan kemudian dibunuh,
sementara Tjugito, Munir, Sukatmo, Rewang dan lainnya yang berkedudukan lebih
rendah juga berhasil ditangkap. Dengan sebuah operasi yang dilakukan oleh militer
pada
tahun
1969,
berakhirlah
sebagian
besar
kemampuan
PKI
untuk
mengorganisasi dirinya.
Penguasa kemudian mengalihkan perhatiannya kepada elemen-elemen
sayap kiri dalam tubuh Partai Nasional Indonesia (PNI), yakni PNI ASU yang
diketuai oleh Mr Ali Sastraomidjojo dan Ir Surachman sebagai sekretaris
jenderalnya. Berbagai peringatan pun dinyatakan yang berkaitan dengan
kemungkinan adanya penyusupan-penyusupan yang dilakukan oleh orang-orang
komunis di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan dan dilaporkan
bahwa tahun 1969 ini adalah tahun di mana terdapat ofensif besar-besaran yang
dilakukan oleh orang-orang komunis. Kesemuanya itu mendorong dilakukannya
pembunuhan-pembunuhan terhadap sejumlah tahanan maupun orang-orang yang
dicurigai terlibat dalam PKI/Gestapu dengan sumber-sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan yang membenarkan laporan-laporan tersebut. Meskipun
hal tersebut pada akhirnya membawa kita pada akhir rangkaian operasi
penghancuran orang-orang komunis, akan tetapi persoalan yang timbul dengan
demikian banyaknya tahanan politik masih tetap belum dapat terselesaikan
sepenuhnya. Para tahanan politik tersebut kemudian digolong-golongkan kedalam
kategori A,B,C dan D. Banyak dari para tahanan kategori C dan D (yang dicurigai
telah terlibat secara terbatas dalam aktivitas subversif) yang telah dibebaskan,
namun demikian persoalan-persoalan rehabilitasi yang disebabkan karena
masyarakat di tempatnya masih sulit untuk menerimanya kembali, sistem peradilan
yang demikian rumit dan tidak efisien, dan timbulnya persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan logistik (makanan dan transportasi) akhirnya membuat persoalan
bekas tawanan tersebut menjadi sangat rumit ( Peter Edman, 2015 : 213 217 : I.G
Krisnadi , 2000 : 6 10 )
54
55