Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
sampai
bisa
repolarisasi
perubahan
ion
pada
reseptor
acethylcholine
yang
Sejarah Suksinilkolin
Lebih dari 100 tahun yang lalu, pada tahun 1906, SC pertama kali disintesa di
laboratorium kesehatan di Washington D.C, sekarang dikenal sebagai Institusi Kesehatan
Nasional. Reid Hunt, Kepala divisi farmakologi, dan asistennya, Renee de M. Taveau,
menghasilkan 17 dari 19 kumpulan derivat kolin yang dipergunakan dalam percobaan
mereka, satu diantaranya adalah suksinilkolin.1
Awal
tahun
1950,
segera
setelah
ditemukannya
keberadaan
penghambat
neuromuskular, uji klinis suksinilkolin di seluruh dunia. Uji coba pertama yang tercatat di
Amerika dilakukan oleh Foldes pada tahun 1952. Foldes dipercayai untuk memperkenalkan
suksinilkolin kedalam praktek klinis di Amerika. Dalam laporan dari uji coba klinis
suksinilkolin pertama, Foldes menjelaskan kriteria dari perelaksasi otot yang baik, dan
menyimpulkan bahwa suksinilkolin adalah obat penghambat neuromuskular yang paling
mendekati kriteria itu.1
Walaupun sudah lebih dari 50 tahun sejak uji coba pertama itu, suksinilkolin adalah
satu satunya deporalisasi perelaksasi otot yang dipergunakan di Amerika. Saat ini pun,
suksinilkolin masih satu-satunya obat penghambat neuromuskular yang mempunyai
karakteristik dari suatu perelaksasi otot ideal, termasuk (1) onset cepat, (2) kelumpuhan yang
lengkap dan dapat diperkirakan, (3) pemulihan lengkap dan cepat, dan (4) tidak
membutuhkan obat pembalik. Setelah beberapa dekade terlalui, banyak percobaan yang
dilakukan untuk menggantikan suksinilkolin dengan perelaksasi otot yang lebih baru, tapi
tidak ada yang dapat lebih menyamai karakteristik dari suatu perelaksasi otot ideal.1
Suatu penelitian yang paling mendekati untuk menghasilkan suatu perelaksasi otot
ideal yang dikembangkan dari perelaksasi non depolarisasi. Pada tahun 1990, Rapacuronium
dan Rocuronium telah diperkenalkan kedalam praktek klinis. Kedua obat ini memberikan
harapan bagi klinisi bahwa suksinilkolin akan dapat digantikan. Rokuronium tertinggal dalam
penggunaan klinis saat ini, bagaimanapun rokuronium tidak mempunyai onset secepat
suksinilkolin, dan jangka waktu kerjanya juga lebih panjang, dan membutuhkan
penggunaandari suatu obat pembalik.1
Rumus Kimia
Suksinilkolin juga disebut diacetylcholine atau suxamethonium memiliki 2
acethylcholine molekul yang bersatu (gambar 4). Suksinilkolin adalah inti dari 2 molekul
asetilkolin dalam kelompol metil asetat. Formula kimianya adalah C14H30N204. Struktur
yang menyerupai acethylcholine inilah yang bertanggung jawab terhadap mekanisme kerja
dari suksinilkolin, efek sampingnya dan metabolismenya.
Farmakologi Suksinilkolin
Suksinilkolin
bekerja
di
neuromuskular
junction,
meningkatkan
transmisi
kesakitan, menyebabkan ketidaknyamanan dalam pemberian obat saat tidak dianastesi. Tahun
2005, Schreirber melaporkan hasil dari meta-analisis dari 52 percobaan acak dari tahun 19712003. Percobaan ini menggunakan berbagai jenis obat pencegah faskulisasi otot. Secara
keseluruhan hasilnya adalah 95% peserta mengalami faskulisasi, dimana peserta ini tidak
mendapatkan obat anti faskulisasi. Faskulisasi ini menjadi topik pembicaraan utama para
klinisi dengan tujuannya adalah menurunkan insiden faskulisasi.11
A.1 Fisiologi Fasikulasi
Banyak pembelajaran terfokus pada mekanisme fisiologis suksinilkolin dapat
menyebabkan faskulisasi. Dua mekanisme kerja yang dibicarakan adalah ikatan prejunctional
dan postjunctional Suksinilkolin ke otot dan masing-masing reseptor asetilkolin nikotinik.
Mekanisme dari faskulisasi dilengkapi asetilkolin seperti efek suksinilkolin saat
menyentuh reseptor asetilkon nikotinik di motor end plate. Ini menyebabkan channel ion
sodium terbuka, dan otot memulai depolarisasinya, dimana jika ambang batas dicapai, hasil
dari potensial aksi ini menyebabkan kontraksi otot yang terlihat sebagai faskulisasi. Karena
suksinilkolin tidak didegradasi oleh asetilkolinesterase di klep junctional, maka akan
mengikat reseptor berulang-ulang dan sodium channel menjadi tidak aktif walaupun otot
paralisa.
Mekanisme prejunctional menjadi faskulisasi dilengkapi dengan ikatan molekul
suksinilkolin ke reseptor asetilkolin nikotinik yang berada di presinaps neuromuskular
junction yang berdepolarisasi dan menyebabkan aktifitas saraf yang berulang. Pengulangan
aktifitas ini disebabkan oleh impuls saraf yang berjalan ke arah berlawanan dari normalnya
(refleks akson antidromik) dari terminal saraf motor yang terstimulasi yang berjalan ke serat
motor unit lainnya. Kecepatan dari blok neuromuskular muncul pada reseptor post junctional
adalah berbanding terbalik dengan proporsional potensi obat dan fenomena yang mirip dapat
terjadi pada reseptor prejunctional.
B. Mialgia postoperasi
Selama
ujicoba
klinis
Suksinilkolin
pertama
pada
tahun
1950,
peneliti
mengungkapkan fenomena dari timbulnya mialgia disertai rasa sakit dan tidak nyaman pada
pasien post operasi. Kejadian pertama yang dilaporkan terhadap mialgia post operasi adalah
pada tahun 1952, ketika Bourne fokus terhadap nyeri otot yang dianggap kaku otot yang
disebabkan oleh kontraksi otot yang kuat karena pemberian Suksinilkolin. Beberapa tahun
kemudian, tahun 1954, Churchill Davidson mengajukan deskripsi awal dari sindrom
mialgia postopearasi pada studi pertama yang mengkhususkan tentang mialgia, dimana
dilaporkan bahwa nyeri otot yang dirasakan oleh pasien adalah hasil dari pemberian
Suksinilkolin. Berbagai deskripsi keterbatasan fisik akibat efek yang disebabkan oleh mialgia
postoperasi sering disebutkan pasien melalui literatur tersebut. Gejala yang sering dikeluhkan
pasien antara lain adalah gejala yang menyerupai flu ( flu like symptom ), nyeri otot seperti
telah melakukan olahraga berat, nyeri seperti ditendang kuda, terinjak oleh gajah atau pun
terlibat dalam pertandingan.
Berdasarkan jawaban 218 pasien suatu penelitian (52%)yang mengeluh mengalami
mialgia akibat suksinilkolin ,nyeri otot yang dirasakan paling banyak berturut turut berlikasi
pada leher (54%), dada (28%), bahu (17% ),punggung (16 %)dan anggota tubuh (6 %).
C. Kardiovaskular
Akibat miripnya relaksan otot ini dengan Acethylcholine, tidak mengejutkan bahwa
mereka mempengaruhi reseptor kolinergik selain mempengaruhi junction neuromuskular.
Sistem parasimpatis secara keseluruhan dan sebagian sistem saraf simpatis (ganglion
simpatis, medula adrenal, dan kelenjar keringat) tergantung pada Acethylcholine sebagai
neurotransmiter.
Suksinilkolin tidak hanya menstimulasi reseptor kolinergik nikotinik pada junction
neuromuskular, ia menstimulasi seluruh reseptor Acethylcholine. Oleh karena itu, kerja
suksinilkolin pada kardiovaskular sangat kompleks. Stimulasi reseptor nikotinik pada ganglia
saraf parasimpatis dan simpatis dan reseptor muskarinik di nodus sinoatrial jantung bisa
meningkatkan atau menurunkan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung. Dosis rendah
suksinilkolin bisa menimbulkan efek kronotropik dan inotropik negatif, namun dosis yang
lebih tinggi biasanya meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas dan
meningkatkan kadar katekolamin yang beredar dalam sirkulasi.
Anak-anak biasanya rentan pada efek bradikardi yang timbul setelah pemberian
suksinilkolin. Bradikardia biasanya muncul pada orang dewasa hanya jika bolus suksinilkolin
yang kedua diberikan kira-kira 3-8 menit setelah dosis pertama. Suatu metabolit
suksinilkolin,
suksinilmonokolin,
muncul
untuk
mensensitisasi
reseptor
kolinergik
biasanya diberikan sebagai profilaksis pada anak-anak sebelum dosis pertama dan selalu
sebelum dosis yang kedua. Aritmia lain seperti bradikardi nodus dan ektopik ventrikel telah
dilaporkan.
D. Hiperkalemia
Otot normal melepaskan cukup kalium selama depolarisasi yang disebabkan
suksinilkolin untuk meningkatkan kalium serum sebesar 0.5mEq/L. Walaupun hal ini
biasanya tidak signifikan pada pasien-pasien dengan kadar kalium dasar normal, hal ini bisa
mengancam jiwa pada pasien-pasien dengan hiperkalemia yang telah ada sebelumnya atau
pasien dengan luka bakar, trauma masif, kelainan neurologi, dan beberapa kondisi lainnya.
Henti jantung yang mengikuti bisa terbukti menjadi agak refrakter/bias terhadap resusitasi
kardiopulmonar rutin, membutuhkan kalsium, insulin, glukosa, bikarbonat, epinefrin, kationpertukaran resin, dantrolene, dan bahkan bypass kardiopulmonar untuk menurunkan asidosis
metabolik dan kadar kalium serum.
Setelah cedera saraf, reseptor Acethylcholine isoform, imatur bisa diekspresikan
didalam dan diluar junction neuromuskular (up-regulation). Reseptor extrajunctional ini
membiarkan suksinilkolin untuk menimbulkan efek depolarisasi yang luas dan pelepasan
kalium yang ekstensif. Pelepasan kalium yang mengancam jiwa tidak bisa dicegah dengan
terapi awal menggunakan relaksan non depolarisasi. Risiko hiperkalemia biasanya tampak
memuncak dalam 7-10 hari setelah cedera, namun waktu onset pasti dan durasi periode risiko
bervariasi.
E. Peningkatan Tekanan Intragastrik
Fasikulasi otot dinding abdomen meningkatkan tekanan intragastrik, yang diimbangi
dengan peningkatan tonus sfingter osoefagus bawah. Oleh karena itu, resiko refluk lambung
atau aspirasi pulmonar mungkin tidak ditingkatkan oleh suksinilkolin. Walaupun terapi awal
dengan relaksan non depolarisasi meniadakan peningkatan tekanan lambung, ia juga
mencegah peningkatan tonus sfingter esofagus.
F. Peningkatan Tekanan Intraokular
Otot-otot ekstra-okular berbeda dari otot lurik lain dimana ia memiliki motor endplate multipel pada tiap sel. Depolarisasi membran yang memanjang dan kontraksi otot
ekstra-okular setelah pemberian suksinilkolin meningkatkan tekanan intraokular sementara
dan bisa membahayakan mata yang cedera. Peningkatan tekanan intraokular tidak bisa selalu
dicegah dengan terapi awal dengan relaksan non-depolarisasi.
menimbulkan
durasi
kerja
yang
lebih
lama,
dimana
pasien
dengan
Obat golongan ini mencegah depolarisasi dengan jalan bereaksi dengan reseptor asetilkolin
dengan cara:
a. Mencegah asetilkolin berikatan dengan reseptor,sehingga mencegah depolarisasi motor
end plate.
b. Molekul relaksan akan masuk ke terowongan reseptor, menyebabkan blockade channel
c. Relaksan non depolarisasi bekerja pada presynaptik site, memblok terowongan Na+ dan
mencegah pergerakan asetilkolin dari sintesa site ke release site.
Atrakurium
Penemuan di awal tahun 1980-an terhadap dua jenis pelumpuh otot, atrakurium dan
vecuronium, menciptakan revolusi terhadap penggunaan klinis pelumpuh otot yang tidak
tergantung kepada eliminasi melalui ginjal, onsetnya lebih cepat, masa pulih lebih cepat, dan obat
antagonisnya lebih komplit dan lebih cepat. Perkembangan atrakurium dan vecuronium
menyebabkan :
1. Menambah keberanian dalam melakukan intubasi trakea dengan penggunaan relaksan
nondepolarisasi,
2. Membuat paralisis lebih mudah melalui infus relaksan yang berkelanjutan, dan
3. Yang paling penting, secara signifikan mengembalikan fungsi neuromuskular post operatif,
yang menyebabkan periode resiko kelemahan yang lebih pendek pada unit perawatan post
anestetik.
Rumus kimia
Atrakurium
termasuk
pelumpuh
otot
nondepolarisasi
golongan
bisquaternary
tinggi terlepas menjadi amine tersier. Obat ini pertama sekali diperkenalkan dalam penggunaan
klinis di Inggris oleh Payne dan Hughes pada tahun 1981 dan di Amerika Serikat oleh Basta pada
tahun 1982.3,4,5
Mekanisme kerja
Tempat kerja atrakurium sama seperti obat pelumpuh otot nondepolarisasi lainnya,
adalah pada tempat presinaps dan postsinaps reseptor kolinergik. Atrakurium dapat juga
menghasilkan blokade neuromuskular dengan secara langsung mempengaruhi jalan masuk
ion melalui chanel reseptor kolinergik nikotinik, dan diperkirakan 82% atrakurium berikatan
pada protein, yang diduga albumin. Atrakurium dirancang secara khusus agar dapat
didegradasi (eliminasi Hofmann) dalam tubuh pada temperature dan pH yang normal. Garam
iodida besylate menghasilkan kelarutan dalam air, dan meningkatkan pH pada larutan yang
dipasarkan dari 3,25 hingga 3,65 untuk menghindari proses degradasi yang spontan.
Tampilan pH yang asam pada in vitro, atrakurium sebaiknya tidak dicampur dengan larutan
alkali seperti barbiturate atau bercampur dengan larutan yang lebih alkalis pada saat
digunakan di dalam infus set atau cairan infus. Terpaparnya atrakurium dengan zat yang lebih
alkalis sebelum masuk ke sirkulasi secara teoritisnya akan menyebabkan pemecahan obat
secara premature. Potensi atrakurium yang disimpan pada temperatur ruangan akan terus
berkurang kira-kira 5% setiap 30 hari, dengan ED95-nya 0,25 mg/kgBB menimbulkan mula
kerja 3-5 menit, dan lama kerja 20-35 menit.3,4,5
Eliminasi Hofmann menunjukkan mekanisme eliminasi kimia, dimana hidrolisis ester
merupakan mekanisme biologik. Kedua rute metabolisme ini tidak tergantung pada fungsi
hepar dan renal, seperti juga aktifitas dari kolinesterase plasma. Sama seperti pasien normal,
maka durasi blockade neuromuscular atrakurium pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
dan hepar adalah sama. Tidak terdapatnya blokade neuromuskular yang lama setelah
penggunaan atrakurium terhadap pasien dengan kolinesterase atipikal meningkatkan
ketergantungan terhadap hidrolisis ester dari atrakurium pada esterase plasma nonspesifik
yang tidak berhubungan dengan kolinesterase plasma. Eliminasi Hofmann dan hidrolisis ester
juga menunjukkan efek kumulatif obat yang sedikit dengan dosis berulang atau infuse
atrakurium yang berkelanjutan. Di atas semuanya itu, hidrolisis ester bernilai untuk sekitar
2/3 Atrakurium yang didegradasi, dimana eliminasi Hofmann memberikan jaring yang
aman, khususnya terhadap pasien dengan fungsi hepar dan/atau ginjal yang terganggu.3,4,5
Walaupun eliminasi Hofmann tergantung pada pH (dipercepat oleh alkalosis dan
diperlambat oleh asidosis), ini tidak seperti bahwa kisaran perubahan pH yang bermakna
secara klinis adalah cukup besar untuk merubah kecepatan eliminasi Hofmann dan durasi dari
blokade neuromuscular yang diinduksi oleh atrakurium. Lebih jauh lagi, perubahan pH
mempengaruhi kecepatan hidrolisis ester dalam arah yang berlawanan terhadap perubahan
kecepatan eliminasi Hofmann, yang memperlambat eliminasi Hofmann akan dijelaskan
secara teoritis melalui peningkatan kecepatan hidrolisis ester.3,4,5
Konsistensi dari mula kerja hingga masa penyembuhan setelah dosis penunjang
atrakurium yang berulang merupakan karakteristik dari obat ini dan menunjukkan tidak
terdapatnya efek kumulatif obat yang signifikan. Tidak terdapatnya efek kumulatif obat yang
signifikan karena klirens atrakurium yang cepat dari plasma yang mana tidak tergantung pada
fungsi renal atau hepatic. Sedikitnya efek kumulatif obat yang signifikan memperkecil
kecenderungan blokade neuromuskular yang persisten ketika prosedur pembedahan yang
lama membutuhkan dosis berulang atau infuse kontinu atrakurium.3,4,5
Efek Kardiovaskular
Perubahan tekanan darah sistemik dan denyut jantung tidak menyertai pemberian
cepat atrakurium secara IV dalam dosis > 2 x ED95 dengan latar belakang anestesi mencakup
nitrogen oksida, fentanyl dan isoflurane. Selama anestesi nitrogen oksida-fentanyl, pemberian
atrakurium yang cepat secara IV sebanyak 3 x ED95 meningkatkan denyut jantung sekitar 8,3
% dan menurunkan MAP sekitar 21,5 %. Perubahan sirkulasi ini sementara, berlangsung
selama 60-90 detik setelah pemberian atrakurium dan menghilang dalam 5 menit. Kemerahan
pada fasial dan trunkal pada beberapa pasien menandakan pelepasan histamine bersamaan
dengan mekanisme perubahan sirkulasi menyertai pemberian cepat Atrakurium dengan dosis
yang tinggi. Pada kenyataannya, konsentrasi histamin dalam plasma meningkat sementara
dan perubahan parallel denyut jantung dan tekanan darah sistemik ketika 0,6 mg/kg/IV
Pelepasan histamin yang dicetuskan oleh Atrakurium dan mivacurium tidak terjadi
dengan penyuntikan berulang obat ini dalam waktu yang singkat karena cadangan histamin
jaringan tidak dipecah dalam beberapa hari. Oleh karena itu, penurunan tekanan darah
sistemik yang disebabkan oleh pelepasan histamin yang diinduksi oleh obat lebih jarang
terjadi terhadap hal yang sama pada dosis yang berulang. Efek kardiovaskular yang
sebelumnya menyertai pelepasan histamin yang diinduksi oleh obat dapat menunjukkan
pelepasan prostasiklin dan efek vasodilasinya pada vascular perifer yang diperantarai oleh
reseptor H1 dan H2. 3,4,5
Dosis
8u7