Vous êtes sur la page 1sur 18

TUGAS TERSTRUKTUR BIOANALISIS

ANALISIS PARAMETER DARAH (LIMFOSIT) UNTUK DIAGNOSTIK


A Prospective Analysis of Lymphocyte Phenotype and
Function Over The Course of Acute Sepsis

DISUSUN OLEH :

Fulki Ghilman H.

(G1F011067)

Intan Diah P.
Fela Anggia S. P.
Preggi Salvezza P.
Najah

(G1F011069)
(G1F011071)
(G1F011073)
(G1F011075)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-LMU KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
PURWOKERTO
2014
BAB I

PENDAHULUAN
A. Sepsis
Sepsis adalah suatu keadaan ketika mikroorganisme menginvasi tubuh
dan menyebabkan respon inflamasi sitemik. Respon yang ditimbulkan sering
menyebabkan penurunan perfusi organ dan disfungsi organ. Jika disertai
dengan hipotensi maka dinamakan Syok sepsis (Linda D.U, 2006). Penentuan
komponen struktural bakteria yang bertanggung jawab menginisiasi proses
sepsis menjadi

penting,

tidak

hanya

untuk

memahami

mekanisme

mendasar, namun juga untuk mengidentifikasi target terapi potensial.


Pola-pola bakterial ini, yang dikenali oleh sistem imun tubuh, telah
dikenal sebagai pathogen associated molecular patterns (PAMPs), meskipun
mungkin lebih akurat untuk disebut sebagai microorganism associated
molecular patterns oleh karena belum jelas bagaimana membedakan
antara sinyal patogen dengan komensal.
Setelah terjadi interaksi awal antara pejamu dan mikroba, terjadi
aktivasi

respons

imun

alami luas

yang

mengkoordinasikan respons

pertahanan, baik komponen humoral maupun selular. Sel-sel mononuklear


melepaskan sitokin-sitokin pro-inflamasi klasik seperti IL-1, IL-6 dan TNF,
namun juga beberapa sitokin lainnya seperti IL-12, IL-15 dan IL-18 serta juga
beberapa molekul-molekul kecil dilepaskan. TNF dan IL-1 merupakan
sitokin

inflamasi

prototipik

yang memerantarai

banyak

fitur

imunopatologis dari renjatan karena LPS. Sitokin-sitokin ini dilepaskan


pada 30-90 menit setelah paparan terhadap LPS, mengaktifkan kaskade
inflamasi derajat dua termasuk sitokin, mediator lipid dan spesies
oksigen reaktif serta juga meningkatkan produksi molekul-molekul adhesi
sel,

yang

kemudian

menginisiasi

migrasi

sel inflamatorik ke dalam

jaringan. Salah satu konsep paling menarik mengenai pengenalan pejamu


dan

amplifikasi

sinyal

setelah rangsangan

dengan

mikroba adalah

toleransi. Paparan makrofag terhadap LPS atau stimulus proinflamatorik


lainnya, seperti sitokin TNF-, dapat menginduksi keadaan toleransi yang
akan menyebabkan penurunan aktivasi setelah paparan dengan LPS atau
mediator inflamasi berikutnya. Diantara mekanisme-mekanisme yang ada,

penurunan ekspresi TLR telah diduga sebagai penyebabnya. Bruniati et


al telah mendemonstrasikan secara elegan bahwa ekspresi TLR 2 dan 4
di

dalam

monosit

pasien

septik

tetap

terjaga,

meskipun

mereka

menemukan produksi sitokin-sitokin yang lebih rendah setelah stimulus


inflamatorik. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa regulasi menurun
yang ditemukan pada pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis
nampaknya terkait dengan jalur intraselular dan bukan oleh karena
ekspresi TLR. Bukti-bukti tak langsung dari beberapa peneliti telah
mendemonstrasikan hal ini, dengan menggunakan LPS terbiotinilasi dan
flow cytometry untuk mempelajari interaksi LPS-monosit dan aktivasi
selular terinduksi LPS pada darah pasien sepsis. Lebih jauh lagi,
kelompok yang sama telah mendemonstrasikan bahwa netrofil dari
pasien

sepsis

mempertahankan kapasitasnya

untuk

fagositosis

dan

menghasilkan pula spesies oksigen reaktif. Apabila disatukan, temuantemuan ini menunjukkan bahwa toleransi merupakan suatu fenomena
terkait respons makrofag dan tidak terkait dengan ekspresi TLR.

Respons pro-inflamasi nyata yang timbul pada sepsis diseimbangkan


oleh sekumpulan molekul regulator-umpan balik yang berusaha untuk
mengembalikan keseimbangan imunologikal. Sitokin-sitokin umpan balik
inflamatorik termasuk antagonis-antagonis seperti reseptor TNF solubel
dan antagonis reseptor IL-1, reseptor umpan seperti reseptor IL-1 tipe
II, inaktivator kaskade komplemen dan sitokin-sitokin anti-inflamasi di
mana IL-10 merupakan prototipe. Seiring dengan reaksi ini, respons
pejamu

terhadap

trauma

termasuk

perubahan

nyata

pada aktivitas

metabolik (peningkatan produksi kortisol dan pelepasan katekolamin),


induksi protein fase

akut

dan

aktivasi

endotelial

dengan

regulasi

meningkat molekul-molekul adhesi dan pelepasan prostanoid serta faktor


aktivasi trombosit (PAF-platelet activating factors). Sisi lain dari regulasi
menurun sistem imunitas yang timbul pada sepsis adalah timbulnya
apoptosis limfosit; beberapa analisis otopsi jaringan telah menunjukkan
adanya deplesi selektif limfosit B dan CD4+. Proses ini dan akibat
fungsionalnya dipandang sebagai bagian dari keadaan imunosupresi yang
lebih luas, dikarakteristikkan dengan hiporesponsif sel T dan anergi,
yang timbul pada sebagian besar pasien sepsis dan dipandang sebagai
respons

keseimbangan

(dan terkadang

respons

berlebihan)

terhadap

keadaan proinflamasi awal. Oleh karena respons berlebihan ini beberapa


peneliti memandang respons inflamasi umpan balik sebagai penyebab
pertahanan pejamu yang inadekuat terhadap infeksi dan merupakan
sebagai

mediator potensial

Beberapa

peneliti

telah

sepsis

serta

kegagalan

berusaha membuktikan

organ
pendapat

progresif.
bahwa

pembalikan keadaan imunosupresif ini mungkin mempunyai peranan


terapeutik.
B. Identifikasi Pasien dengan Risiko Tinggi
Identifikasi pasien dengan risiko tinggi bermula dengan penanda
derajat

keberatan

penyakit. Sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS)

dapat dipicu oleh infeksi, trauma, kerusakan iskemik atau reperfusi atau
inflamasi steril. Meskipun komponen SIRS tidak spesifik, kombinasi infeksi
dan adanya SIRS dapat membantu klinisi untuk mendiagnosis sepsis.

Meskipun hipotensi merupakan tanda klinis lain yang dapat menandai


awitan syok septik, pasien dapat datang dengan sepsis berat dan hipoksia
jaringan global tanpa mengalami hipotensi. Sehingga, tanda-tanda hipoperfusi
dan disfungsi organ harus dicari oleh klinisi yang menangani pasien untuk
mengevaluasi derajat penyakit.
Oleh karena hipoksia jaringan global pada pasien dengan sepsis
dapat timbul bersamaan dengan tanda-tanda vital yang normal, penanda
metabolik dapat membantu untuk mengidentifikasi pasien risiko tinggi.
Pemeriksaan laktat serum 4 mmol/L pada pemeriksaan awal dikaitkan
dengan peningkatan laju mortalitas. Kegagalan untuk membersihkan laktat
pada 6 jam pertama juga dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang
lebih tinggi. Pemeriksaan bikarbonat serum dan defisit basa arterial juga
berkaitan

dengan

adanya

hipoperfusi

jaringan. Meskipun

demikian,

bikarbonat serum dapat mengalami penekanan dan defisit basa menetap


pada saat resusitasi dilakukan dengan cairan kristaloid kaya klorida.
Pemeriksaan serologik dan biomarker pada hari pertama penting
untuk mengkaji dan menatalaksana pasien dengan sepsis. Pemeriksaan
yang berguna termasuk protein C reaktif (CRP), endotoksin (komponen
dinding sel bakteri gram negatif), peptida natriuretik otak (infikasi
disfungsi miokardial), prokalsitonin, interleukin-6 dan protein C endogen.
Pemeriksaan penanda-penanda ini masih terbatas, oleh karena hasil
pemeriksaan saat ini masih mengalami batasan dalam akurasi, kemampuan
prognostik dan waktu, namun suatu saat nanti penanda-penanda ini akan
menyediakan pemeriksaan klinis yang dapat membantu mendiagnosis
dan menatalaksana keseluruhan spektrum sepsis.
Terminology dalam sepsis menurut American College of Chest
Physicians/society of Critical Care Medicine, 1992 :

Infeksi
Fenomena microbial yang ditandai dengan munculnya respon
inflamasi terhadap munculnya / invasi mikroorganisme ke dalam
jaringan tubuh yang steril.

Bakteriemia

Munculnya atau terdapatnya bakteri di dalam darah.

SIRS (Systemic Inflamatory Response Syndrome)


Respon inflamasi secara sistemik yang dapat disebabkan oleh
bermacam macam kondisi klinis yang berat. Respon tersebut
dimanifestasikan oleh 2 atau lebih dari gejala khas berikut ini :
o

Suhu badan> 380 C atau <360 C

Heart Rate >9O;/menit

RR >20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk


immature

Sepsis sistemik
Respon terhadap infeksi yang disebabkan oleh adanya sumber
infeksi yang jelas, yang ditandai oleh dua atau lebih dari gejala di
bawah ini:
o

Suhu badan> 380 C atau <360 C

Heart Rate >9O;/menit

RR >20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk


immature

Severe Sepsis
Keadaan

sepsis

dimana

disertai

dengan

disfungsi

organ,

hipoperfusi atau hipotensi. Hipoperfusi atau gangguan perfusi


mungkin juga disertai dengan asidosis laktat, oliguria, atau
penurunan status mentas secara mendadak.

Shok sepsis
Sepsis yang menyebabkan kondisi syok, dengan hipotensi
walaupun telah dilakuakn resusitasi cairan. Sehubungan terjadinya
hipoperfusi juga bisa menyebabkan asidosis laktat, oliguria atau
penurunan

status

mental

secara

mendadak.

Pasien

yang

mendapatkan inotropik atau vasopresor mungkin tidak tampaka


hipotensi walaupun masih terjadi gangguan perfusi.

Sepsis Induce Hipotension

Kondisi dimana tekanan darah sistolik <90mmHg atau terjadi


penurunan sistolik >40mmHg dari sebelumnya tanpa adanya
penyebab hipotensi yang jelas.

MODS (Multy Organ Dysfunction Syndroma)


Munculnya penurunan fungsi organ atau gangguan fungsi organ
dan homeostasis tidak dapat dijaga tanpa adanya intervensi.

C. Etiologi
Mayoritas dari kasus-kasus sepsis disebabkan oleh infeksi-infeksi
bakteri gram negatif (-) dengan persentase 60-70% kasus, beberapa
disebabkan oleh infeksi-infeksi jamur, dan sangat jarang disebabkan oleh
penyebab-penyebab lain dari infeksi atau agen-agen yang mungkin
menyebabkan SIRS. Agen-agen infeksius, biasanya bakteri-bakteri, mulai
menginfeksi hampir segala lokasi organ atau alat-alat yang ditanam
(contohnya, kulit, paru, saluran pencernaan, tempat operasi, kateter intravena,
dll.). Agen-agen yang menginfeksi atau racun-racun mereka (atau keduaduanya) kemudian menyebar secara langsung atau tidak langsung kedalam
aliran darah. Ini mengizinkan mereka untuk menyebar ke hampir segala
sistim organ lain. Kriteria SIRS berakibat ketika tubuh mencoba untuk
melawan kerusakan yang dilakukan oleh agen-agen yang dilahirkan darah ini.
Sepsis bisa disebabkan oleh mikroorganisme yang sangat bervariasi,
meliputi bakteri aerobik, anareobik, gram positif, gram negatif, jamur, dan
virus (Linda D.U, 2006)

Bakteri gram negative yang sering menyebabkan sepsis adalah E. Coli,


Klebsiella Sp. Pseudomonas Sp, Bakteriodes Sp, dan Proteus Sp. Bakteri
gram negative mengandung liposakarida pada dinding selnya yang
disebut endotoksin. Apabila dilepaskan dan masuk ke dalam aliran darah,
endotoksin dapat menyebabkan bergabagi perubahan biokimia yang
merugikan dan mengaktivasi imun dan mediator biologis lainnya yang
menunjang timbulnya shock sepsis.

Organisme gram positif yang sering menyebabkan sepsis adalah


staphilococus, streptococcus dan pneumococcus. Organime gram positif

melepaskan eksotoksin yang berkemampuan menggerakkan mediator


imun dengan cara yang sama dengan endotoksin.
D. Tanda dan Gejala
Kriteria Diagnostik sepsis menurut ACCP/SCCM th 2001 dan
International Sepsis Definitions Conference, Critical Care Medicine, th 2003 :

Variabel Umum
o

Suhu badan inti > 380 C atau <360 C

Heart Rate >9O;/menit

Tachipnea

Penurunan status mental

Edema atau balance cairan yang positif > 20ml/kg/24 jam

Hiperglikemia > 120 mg/dl pada pasien yang tidak diabetes.

Variable Inflamasi
o

WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk immature

Peningkatan plasma C-reactive protein

Peningkatan plasma procalcitonin

Variabel Hemodinamik
o

Sistolik < 90mmHg atau penurunan sistolik . 40>mmHg dari


sebelumnya.

MAP <70mmHg

SvO2 >70%

Cardiak Indeks >3,5 L/m/m3

Variable Perfusi Jaringan


o

Serum laktat > 1mmol/L

Penurunan kapiler refil

Variable Disfungsi Organ


o

PaO2 / Fi O2 <300

Urine output < 0,5 ml/kg/jam

Peningkatan creatinin > 0,5 mg/dl

INR >1,5 atau APTT > 60 detik

Ileus

Trombosit < 100.000mm3

Hiperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4mg/dl)

BAB II
PEMBAHASAN
A. Metode
1. Patient and Control
Pasien dengan umur >18 tahun dengan diagnosa sepsis
Kriteria eksklusi:
1. Penyakit yang serius
2. Infeksi HIV
3. Infeksi Hepatitis B dan C
4. Penggunaan immunosupressive (kecuali prednison <10 mg)
Kontrol
1. Relawan usia normal
2. Tidak memiliki penyakit akut atu kronik
2. Preparasi Sampel
Darah diambil melalui kateter vena sentral, jalur arteri atau
venipuncture (Pasien sepsis) atau dengan venipuncture perifer
(kontrol) pada hari ke 0 sampai berakhirnya studi (tujuh hari

kecuali dinyatakan lain), diberi heparin.


Plasma dikumpulkan dan disimpan pada suhu -80C untuk

penentuan sitokin.
Sel-sel dicuci dan diresuspensi dalam media sel T ditambah dengan
10% heat-inactive FCS, asam hidroksietil piperazineethanesulfonic
(HEPES), penisilin/streptomisin, L-glutamine dan asam amino non-

esensial.
Selanjutnya diproses untuk pewarnaan, proliferasi atau sekresi
sitokin.

3. Flow Cytometry
Flowcytometry adalah metode pengukuran (metri) jumlah dan
sifat-sifat sel (cyto) yang dilewatkan pada aliran cairan (flow) melalui
celah sempit yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang
melewati berkas sinar laser akan menyebabkan sinar laser terpencar
(scattered) ke dua arah, yaitu:
1. forward scatter (FSC) yang pararel dengan arah sinar

Besarnya FSC berbanding lurus dengan atau menggambarkan


volume atau ukuran sel.
2. Side scatter (SSC) yang arahnya tegak lurus pada arah sinar laser.
SSC ditentukan oleh morfologi dan emisi sinar fluoresen yang
dipancarkan oleh fluorokrom yang digunakan untuk mewarnai sel.
Sinyal-sinyal itu dikonversikan menjadi angka digital dan
diperlihatkan pada suatu histogram yang dapat dianalisis untuk
memperoleh informasi tentang karakteristik sel bersangkutan.
Keunggulan metode flow cytometry:
Dapat menganalisis banyak sifat sel dalam waktu yang relatif
singkat
Dapat melihat berbagai parameter sekaligus
Untuk pewarnaan permukaan, 100 l whole blood diinkubasi
dengan 10 l serum AB manusia dan secara fluoressensi menunjukkan
antibodi terkonjugasi. Sel-sel yang besar dicuci dalam PBS yang
mengandung 1% BSA dan kemudian diresuspensi dalam PBS yang
mengandung 1% BSA dan 1% paraformaldehyde (PFA). Untuk
pewarnaan intraseluler FoxP3, pewarnaan permukaan dengan -CD4
dan CD25-, sel yang dapat tembus dengan buffer Fix / Perm
diinkubasi dengan kontrol atau antibodi -FoxP3 selama satu jam pada
4C, kemudian dicuci diresuspensi dalam PBS/BSA yang mengandung
1% PFA. Fungsi FoxP3 merupakan penanda untuk CD4 (+) sel T reg
dan

digunakan

dalam

mengembangkan

multiparameter

dalam

flowcytometri untuk mengidentifikasi T reg.


Sel T diidentifikasi CD4+ or CD8+
Sel T diidentifikasi dengan +CD4 dan CD25+ colabeled FoxP3.
Sel NK diidentifikasi dengan CD56+
Natural Killer T (NKT) sel co-berlabel dengan CD3 dan sel
CD8+
NK co-berlabel dengan CD8.

Sel

dendritik

diidentifikasi

sebagai

turunan

negatif

(CD3/CD19/CD16/CD14/CD20/CD56)
HLA-DR+ dan sub-tipe sebagai sel dendritik plasmasitoid
(PDC, CD123+) atau monocytoid sel dendritik (MDC,
CD11c+).
MDSC diidentifikasi sebagai turunan negatif, HLA-DR rendah /
negatif, CD33+ dan +CD11b.
4. Proliferation and cytokine analysis
PBMC diresuspensi dalam media sel T pada 2 106 sel/ml dan
50 ml ditambahkan ke setiap well round bottom 96-well plate kultur
jaringan. Sel-sel distimulasi dengan-CD3 (1 mg/ml) di kombinasi
dengan-CD28 (1 mg/ml, clone CD28) atau dengan phorbol miristat
acetate (PMA) (5 ng/ml) ditambah ionmycin (0,4 mg/ml). Setelah 48
jam, masing-masing ditambahkan 1 pCi tritiated timidin (3H-TDR) dan
di diamkan semalam. Sel yang sudah didiamkan semalaman di kaca
filter microfiber kaca dan dimasukkan 3H-TDR dihitung menggunakan
scintillography cair. Untuk penentuan produksi sitokin, sel dikultur
seperti yang dijelaskan untuk proliferasi dan kultur supernatan
diperoleh pada 5 jam dan 48 jam setelah distimulasi. Tingkat sitokin
yang ada pada plasma dan kultur supernatan ditentukan dengan
menggunakan sitokin manik array (BD Biosciences) menurut protokol
pabrik menggunakan Th1/Th2/Th17 kit manusia yang mengukur IL-2,
IL-4, IL-6, IL-10, IL-17A, TNF-a dan IFNg. Untuk beberapa contoh,
sel yang didiamkan semalaman di fresh media, distimulasi seperti di
atas dan kultur supernatan dikumpulkan setelah 5 jam untuk penentuan
sitokin.

Metode Cytometric Bead Array System lebih unggul dibandingkan metode


Elisa karena pada metode Elisa hanya dapat menganalisis satu jenis protein
sedangkan pada Cytometric Bead Array dapat menganalisis sampai 30 jenis
protein dengan jumlah sample yang sama. Seperti yang ada pada gambar cara
kerja Cytometric Bead Array ini diawali dengan memasukkan sample dan
menggabungkannya dengan beads dan detector antibodies. Pada alat cytometric
ini terdapat lima jenis beads berbeda yang dicoating dengan antibodi spesifik yang
nantinya akan berikatan dengan sample dan diinkubasi. Detector antibodi disini
berfungsi untuk mendeteksi jenis antibodi yang ada pada sample sehingga sample
dengan mudah berikatan pada beads, detector antibodi yang digunakan adalah PE
(phycoerthryn). Setelah diinkubasi sample akan dicuci dengan larutan PBS dan
dianalisis dengan flowcytometri.

B. Hasil
Hasil yang diperoleh ditunjukkan pada figure 1, yaitu terjadi penurunan
CD4+ dan CD8+, penurunan NK dan sel dendriik (pDC dan mDC),
peningkatan CD11b+ MDSC, peningkatan %CD4/CD25+, sementara itu
tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada %Treg.

Dalam Figure 2, menunjukkan peningkatan CD69, PD-1, BTLA,


CTLA-4.

Pada gambar 5 ditunjukkan level dari plasma cytokine, yaitu IL-6 dan IL10 dengan membandingkan kelompok sepsis dengan control pada awal dan akhir
penelitian. Didapatkan hasil pada awal penelitian untuk kelompok sepsis nilai IL6 maupun IL-10 adalah tinggi dan menurun pada akhir penelitian. Berbeda dengan
kelompok kontrol pada awal dan akhir peneletian menunjukkan angka yang sama
dan signifikan.

Pada gambar 6a menggambarkan PBMCs yang diisolasi dan distimulasi


selama 5 jam, pada awal penelitian nilai pada kelompok sepsis maupun control
masih cukup tinggi, sedangkan pada akhir penelitian terjadi kenaikan pada
kelompok sepsis tapi terjadi penurunan pada kelompok control. Gambar 6b
menggambarkan PBMCs yang diisolasi dan distimulasi selama 48 jam, dapat
dilihat pada awal penelitian nilai kelompok control masih tinggi dibandingkan
saat akhir penelitian terjadi penurunan, tetapi terjadi peningkatan pada kelompok

sepsis. Gambar 6c menggambarkan duplikasi dari PBMCs yang didiamkan


semalaman dan yang tidak didiamkan pada fresh media lalu distimulasi selama 5
jam, baik pada kelompok sepsis maupun control PBMCs yang didiamkan
semalaman memiliki angka yang lebih baik daripada yang tidak didiamkan
semalaman. Gambar 6d menggambarkan hasil proliferasi 3H-TdR pada PBMCs
yang distimulasi selama 48 jam, terjadi kenaikan pada kelompok sepsis dan
penurunan pada kelompok kontrol.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pemeriksaan limfosit pada pasien sepsis dapat dilakukan dengan metode
flowcytometry, proliferasi, dan analisis sitokin.
Sepsis akut ditandai dengan hilangnya sirkulasi sel imun bawaan dan
adaptif dan gangguan sekresi IFN . Selama minggu pertama, pasien
dengan sepsis mengalami peningkatan ekspresi dari sejumlah inhibitory
reseptor dan ligan pada permukaan limfosit dan sel dendritik, serta
penurunan ekspresi reseptor untuk IL-7 dan meningkatnya jumlah sel-sel
Treg.

JAWABAN DISKUSI
1) Alin : MESF menunjukkan apa?
Jawab :
MESF merupakan satuan molekul yang terlarut dalam fluorochrome.
2) Agung : Faktor yang mengganggu dari jurnal?

Jawab :
Dalam jurnal tidak disebutkan adanya faktor pengganggu yang
mengganggu hasil analisis penelitian.
3) Fitri : Marker dari penelitian?
Jawab :
CD4, CD8, sel NK, sel dendritik (pDC dan mDC), Treg.
4) Abner : Mekanisme peningkatan sitokin?
Jawab :
Setelah terjadi interaksi awal antara pejamu dan mikroba, terjadi
aktivasi respons imun alami luas yang mengkoordinasikan respons
pertahanan, baik

komponen

humoral

maupun

selular. Sel-sel

mononuklear melepaskan sitokin-sitokin pro-inflamasi klasik seperti IL-1,


IL-6 dan TNF, namun juga beberapa sitokin lainnya seperti IL-12, IL-15
dan IL-18 serta juga beberapa molekul-molekul kecil dilepaskan.
DAFTAR PUSTAKA

Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ
failure and guidelines for the use of innovative therapies in
sepsis. The ACCP/SCCM Consensus Conference Committee.
American College of Chest Physicians/Society of Critical Care
Medicine. Chest 1992;101:1644-55.
Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al. 2001SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS
International
Sepsis
Definitions Conference. Crit Care Med
2003;31:1250-6.

Vous aimerez peut-être aussi