Vous êtes sur la page 1sur 11

ATRESIA DUODENI

A.

Pengertian Atresia duodeni


Atresia duodeni merupakan suatu kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari

usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka dari
lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke usus.
Atresia Duodeni adalah tidak terbentuknya atau tersumbatnya duodenum (bagian
terkecil dari usus halus) sehingga tidak dapat dilalui makanan yang akan ke usus.
Atresia Duodeni adalah obstruksi lumen usus oleh membran utuh, tali fibrosa yang
menghubungkan dua ujung kantong duodenum yang buntu pendek, atau suatu celah antara
ujung-ujung duodenum yang tidak bersambung.

B.

a.
b.
c.
d.
e.

Etiologi Atresia Duodeni


Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih belum diketahui, tapi

ada beberapa yang bisa menyebabkan atresia duodenum :


Gangguan perkembangan pada awal masa kehamilan (minggu ke-4 dan ke-5 ).
Gangguan pembuluh darah.
Banyak terjadi pada bayi prematur.
Banyak ditemukan pada bayi sindrom down.
Suplay darah yang rendah pada masa kehamilan sehingga duodenum mengalami
penyempitan dan menjadi obstruksi.

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

C.
Tanda dan Gejala Atresia Duodeni
Perutnya menggelembung (kembung) di daerah epigastrum pada 24 jam atau sesudahnya.
Muntah segera setelah lahir berwarna kehijau - hijauan karena empedu(biliosa).
Muntah terus - menerus meskipun bayi dipuasakan selama beberapa jam.
Bayi muntah tanpa disertai distensi abdomen.
Tidak kencing setelah disusui.
Tidak ada gerakan usus setelah pengeluaran mekonium.
Pembengkakan abdomen pada bagian atas.
Hilangnya bising usus setelah beberapa kali buang air besar mekonium.
Berat badan menurun atau sukar bertambah.
Polihidramnion terlihat pada 50 % dengan atresia duodenal.
Ikterik.
D.

Komplikasi
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi, terutama bila

tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat terjadi komplikasi lanjut seperti

pembengkakan duodenum (megaduodenum), gangguan motilitas usus, atau refluks


gastroesofageal.
E.

Penatalaksanaan atau Pengobatan


Pada penderita atresia duodeni ini belum ditemukan obatnya. Jalan satu-satunya

hanya dengan pembedahan.Prinsip terapi :


1.
a)
b)
c)
2.

3.
a)
b)
c)

Perawatan pra bedah :


Perawatan prabedah neonatus rutin
Koreksi dehidrasi yang biasanya tidak pearah karena diagnosa dibuat secara dini.
Tuba naso gastric dengan drainase bebas dan penyedotan setiap jam
Pembedahan
Pembedahan suatu duodena-duodenostomi mengurangi penyempitan obstruksi dan sisa
ususdiperiksa karena sering kali ditemukan obstruksi lanjut.
Perawatan pasca bedah.
Perawatan pasca bedah neonatorum rutin.
Aspirasi setiap jam dari tuba gastrostomi yang mengalami drainase bebas
Cairan intravena dilanjutkan sampai diberikan makanan melalui tuba.
Pemberian makanan transa nastomik yang berlanjut dengan kecepatan maksimun 1 ml
per menit dimulai dalam 24 jam pasca bedah dimulai dengan dektrose dan secara berangsurangsur diubahdalam jumlah dan konsistensinya hingga pada sekitar 7 hari pasca bedah
dimana diberikan susudengan kekuatan penuh. Untuk menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit aspirat lambungdapat diganti melalui transanastomik dan ini dapat meniadakan
kebutuhan untuk melanjutkan terapi intravena. Tidak jarang diperoleh volume aspirat yang
besar dalam beberapa waktu pasca bedah, sampai beberapa minggu dalam beberapa kasus.
Karena lambung yang berdilatasi danduodenum bagian proksimal membutuhkan waktu untuk
kembali pada fungsi yang normal. Jika hal ini menurun maka penyedotan gastromi tidak
dilakukan terlalu sering dan makanan alternatif diberikan kedalam lambung selama 24 jam.
Pemberian makanan peroral dapat dilakukan secara berangsur-angsur sebelum pengangkatan
tuba gastromi berat badan bayi dimonitor secaraseksama

Persiapan operasi
a) Prinsip umum persiapan terapi pada neonatus.
b) Koreksi cairan dan elektrolit.
c) Pertimbangan khusus diberikan pada atresia duodenum : koreksi emergensi tidak dibutuhkan
kecuali diduga ada malrotasi- pada obstruksi parsial yang lama, malnutrisi biasanya berat.
Koreksi melalui TPN selama seminggu atau lebih sebelum operasi.
Perawatan Operasi
a) End-to-end anastomosis, juga bisa side-to-side

b)

Annulare pancreas terbaik dilakukan by pass anastomosis dari duodenum ke

jejunum.Pankreas sendiri tidak diincisi.


c) Eksisi merupakan pilihan tepat bagi atresia duodenum yang berbentuk diafragmatik, setelah
identifikasi ampula vateri.
d) Deformitas windsock harus disangkakan dan dicari bagi semua pasien dengan atresia
duodenum yang berkelanjutan. Kateter dimasukkan dari proksimal sampai distal untuk
memastikan patensinya.
e) Gastrostomy dilakukan jika gejalanya menetap serta perbaikan dini tidak terjadi.
f) Akses pada vena sentral tatau transanastomosis tube ke dalam jejunum diindikasikan
baginutrisi pasca operasi pada pasien yang berat.
Perawatan pasca operasi
a) Dekompresi gaster dilakukan sampai duodenum benar-benar kosong, selanjutnya dimulai
feeding. Sebagian pasien dapat diberi makan dalam seminggu setelah operasi.
b) TPN atau makanan melalui jejunum terkadang dibutuhkan.
c) Antibiotik tidak diindikasikan jika operasi dilakukan steril dan tidak ada gangguan vaskuler.
a.

F.
Pemeriksaan Penunjang
Dengan X-ray abdomen (USG prenatal) memperlihatkan pola gelembung ganda yang berisi

udara dalam usus bagian bawah.


b. Suatu enema barium dapat diperlihatkan berasosiasi dengan keadaan malrotasi.
G.
Diagnosis Banding
Atresia esophagus
Malrotasi dengan volvulus midgut
Stenosis pylorus
Pankreas anular
Vena portal preduodenal
Atresia usus
Duplikasi duodenal
Obstruksi benda asing
Penyakit Hirschsprung
Refluks gastroesofageal
H.

Patofisiologi
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang tidak adekuat
(elongasi
rekanalisasi

saluran
pita

cerna
padat

melebihi
epithelial

proliferasinya)
(kegagalan

atau
proses

kegagalan
vakuolisasi).

Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam usia
kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara sempurna. Proses
selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum padat mengalami rekanalisasi.
Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses apoptosis, atau kematian sel terprogram, yang

timbul selama perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia


duodenum berkaitan dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang mengelilingi
sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat gangguan perkembangan duodenal
daripada

suatu

perkembangan

dan/atau

berlebihan

dari

pancreatic

buds.

Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic gut, yang tersusun atas
epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm, dikelilingi sel yang berasal dari
mesoderm. Pensinyalan sel antara kedua lapisan embrionik ini tampaknya memainkan
peranan sangat penting dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis dari
duodenum.

j. Konsep Asuhan Keperawatan


1.
a.

Pengkajian

Keluhan utama .
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan klien pada saat dikaji. Pada umumnya akan
ditemukan klien merasakan nyeri pada abdomennya biasanya terus menerus, demam, nyeri
tekan lepas, abdomen tegang dan kaku.

b.

Riwayat kesehatan sekarang


Mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan klien mencari pertolongan, dikaji dengan
menggunakan pendekatan PQRST :

a)

P : Apa yang menyebabkan timbulnya keluhan.

b)

Q :Bagaiman keluhan dirasakan oleh klien, apakah hilang, timbul atau terus- menerus
(menetap).

c)

R : Di daerah mana gejala dirasakan

d)

S : Seberapa keparahan yang dirasakan klien dengan memakai skala numeric 1 sampai
dengan 10.

e)

T :Kapan keluhan timbul, sekaligus factor yang memperberat dan memperingan keluhan.

c.

Riwayat kesehatan masa lalu


Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit yang sama, riwayat ketergantungan
terhadap makanan/minuman, zat dan obat-obatan.

d.

Riwayat kesehatan keluarga


Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang sama dengan klien.

e.

Pemeriksan fisik

1)

Inspeksi: perut distensi, dapat ditemukan darm kontur dan darm steifung. Benjolan pada
regio inguinalis, femoral, dan skrotum menunjukkan suatu hernia inkarserata. Pada invaginasi
dapat terlihat massa abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas
luka operasi sebelumnya.

2)

Auskultasi: hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi. Pada fase lanjut bising usus dan
peristaltik melemah sampai hilang.

3)

Perkusi: hipertimpani

4)

Palpasi: kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi, hernia.

f.

Pola Kesehatan Gordon

1)

Aktivitas atau istirahat


Gejala : Kelelahan dan ngantuk.
Tanda : Kesulitan ambulasi

2)

Sirkulasi
Gejala : Takikardia, pucat, hipotensi ( tanda syok)

3)

Eliminasi
Gejala : Distensi abdomen, ketidakmampuan defekasi dan Flatus
Tanda : Perubahan warna urine dan feces

4)

Makanan atau cairan


Gejala : anoreksia,mual atau muntah dan haus terus menerus.
Tanda : muntah berwarna hitam dan fekal. Membran mukosa pecah-pecah. Kulit buruk.

5)

Nyeri atau Kenyamanan


Gejala : Nyeri abdomen terasa seperti gelombang dan bersifat kolik.
Tanda : Distensi abdomen dan nyeri tekan

6)

Pernapasan
Gejala : Peningkatan frekuensi pernafasan,
Tanda

: Napas pendek dan dangkal

2.

Diagnosa Keperawatan
a.

Nyeri berhubungan dengan distensi, kekakuan

b.

Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah, demam dan atau
diforesis

c.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan


absorbsi

3. Intervensi Keperawatan
a.

Nyeri berhubungan dengan distensi, kekakuan

Tujuan : Rasa nyeri teratasi atau terkontrol


Kriteria hasil : Pasien mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan; menyatakan nyeri pada
tingkat dapat ditoleransi, menunjukkan relaks.

Intervensi :
1)

Selidiki keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) dan faktor
pemberat/penghilang.
Rasional:

Nyeri

distensi

abdomen,

dan

mual.

Membiarkan

pasien

rentang

ketidaknyamanannya sendiri membantu mengidentifikasi intervensi yang tepat dan


mengevaluasi keefektifan analgesia.
2)

Pantau tanda-tanda vital.


Rasional: Respon autonomik meliputi perubahan pada TD, nadi dan pernafasan, yang
berhubungan dengan keluhan/penghilangan energi. Abnormalitas tanda vitalterus menerus
memerlukan evaluasi lanjut.

3)

Palpasi kandung kemih terhadap distensi bila berkemih ditunda. Tingkatkan privasi dan
gunakan tindakan keperawatan untuk meningkatkan relaksasi bila bila pasien berupaya untuk
berkemih. Tempatkan pada posisi semi-fowler atau berdiri sesuai kebutuhan.
Rasional: Faktor psikologis dan nyeri dapat meningkatkan tegangan otot. Posisi tegak
meningkatkan tekanan intra-abdomen, yang dapat membantu dalam berkemih.

4)

Berikan analgesik, narkotik, sesuai indikasi.


Rasional: Mengontrol/mengurangi nyeri untuk meningkatkan istirahat dan meningkatkan
kerjasama dengan aturan terapeutik.

5)

Kateterisasi sesuai kebutuhan.


Rasional: Kateterisasi tunggal/multifel dapat digunakan untuk mengosongkan kandung kemih
sampai fungsinya kembali.

b.

Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah, demam dan atau
diforesis.

Tujuan : Kebutuhan cairan terpenuhi


Kriteria hasil :

Klien mendapat cairan yang cukup untuk mengganti cairan yang hilang.

Klien menunjukkan tanda-tanda hidrasi yang adekuat.


Intervensi :

1)

Pantau tanda-tanda vital dengan sering, perhatikan peningkatan nadi, perubahan TD,
takipnea, dan ketakutan. Periksa balutan dan luka dengan sering selama 24 jam pertama
terhadap tanda-tanda darah merah terang atau bengkak insisi berlebihan.
Rasional: Tanda-tanda awal hemoragi usus atau pembentukan hematoma, yang dapat
menyebabkan syok hipovolemik.

2)

Palpasi nadi perifer, evaluasi pengisian kapiler, turgor kulit dan status membran mukosa.
Rasional: Memberi informasi tentang volume sirkulasi umum dan tingkat hidrasi.

3)

Pantau masukan dan haluaran, perhatikan haluaran urine, berat jenis,. Kalkulasi
keeimbangan 24 jam, dan timbang berat badan setiap hari.
Rasional: Indikator langsung dari hidrasi atau perfusi organ dan fungsi. Memberikan
pedoman untuk penggantian cairan.

4)

Perhatikan adanya atau ukur distensi abdomen.


Rasional: Perpindahan cairan dari ruang vaskuler menurunkan volume sirkulasi dan merusak
perfusi ginjal.

5)

Observasi atau catat kuantitas, jumlah dan karakter drainase NGT. tes pH sesuai indikasi.
Anjurkan dan bantu dengan perubahan posisi sering.
Rasional: Haluaran cairan berlebihan dapat menyebabkan ketidakseimbangan eletrolit dan
alkalosis metabolik dengan kehilangan lanjut kalium oleh ginjal yang berupaya untuk
mengkompensasi. Hiperasiditas, ditunjukkan oleh pH kurang dari 5, menunjukkan pasien
beresiko ulkus stres. Pengubahan posisi mencegah pembentukan magenstrase di lambung,
yang dapat menyalurkan cairan gastrik dan udara melalui selang NGT kedalam duodenum.

6)

Pertahankan potensi penghisap NGT atau usus.


Rasional: Meningkatkan dekompresi usus untuk menurunkan distensi/tekanan di garis jahitan
dan menurunkan mual/muntah, yang dapat menyertai anastesia,manipulasi usus atau kondisi
yang sebelumnya ada, mis: kanker.

c.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan absorbsi
nutrisi.
Tujuan: Berat badan stabil dan nutrisi teratasi.
Kriteria hasil :

Tidak ada tanda-tanda mal nutrisi.

Berat badan stabil.

Pasien tidak mengalami mual muntah.

Intervensi:
1)

Tinjau faktor-faktor individual yang mempengaruhi kemampuan untuk mencerna makanan,


mis: status puasa, mual, ileus paralitik setelah selang dilepas.
Rasional: Mempengaruhi pilihan intervensi.

2)

Auskultasi bising usus; palpasi abdomen; catat pasase flatus.


Rasional: Menentukan kembalinya peristaltik (biasanya dalam 2-4 hari).

3)

Identifikasi kesukaan/ketidaksukaan diet dari pasien. Anjurkan pilihan makanan tinggi


protein dan vitamin C.
Rasional: Meningkatkan kerjasama pasien dengan aturan diet. Protein/vitamin C adalah
kontributor utuma untuk pemeliharaan jaringan dan perbaikan. Malnutrisi adalah fator dalam
menurunkan pertahanan terhadap infeksi.

4)

Observasi terhadap terjadinya diare; makanan bau busuk dan berminyak.


Rasional: Sindrom malabsorbsi dapat terjadi setelah pembedahan usus halus, memerlukan
evaluasi lanjut dan perubahan diet, mis: diet rendah serat.

5)

Berikan obat-obatan sesuai indikasi: Antimetik, mis: proklorperazin (Compazine). Antasida


dan inhibitor histamin, mis: simetidin (tagamet).
Rasional: Mencegah muntah. Menetralkan atau menurunkan pembentukan asam untuk
mencegah erosi mukosa dan kemungkinan ulserasi.

d.

Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas saluran gastrointestinal.


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan masalah konstipasi klien teratasi.
Kriteria hasil :

Pola eliminasi klien dalam rentang normal.

Klien akan mengeluarkan feses tanpa bantuan.

Klien akan mengonsumsi cairan dan serat dengan adekuat.


Intervensi :
1) Auskultasi bising usus.
Rasional: adanya bunyi abnormal menunjukkan terjadinya komplikasi.
2)

Kaji keluhan nyeri abdomen.


Rasional: Mungkin berhubungan dengan distensi gas.
3)
Observasi gerakan usus.
Rasional: Indicator kembalinya fungsi GI. Mengidentifikasi ketepatan intervensi.
4) Anjurkan makanan atau cairan yang tidak mengiritasi bila masukan oral diberikan.
Rasional : Menurunkan resiko iritasi mukosa.
5)
Kolaborasi : berikan pelunak feses, supositoria gliserin sesuai indikasi.
Rasional : Untuk merangsang peristaltik dengan perlahan.
e.

Reiko tinggi infeksi berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan primer.


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan klien tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil :

1)
2)
3)
4)

Klien tidak menunjukkan adanya tanda atau gejala infeksi.


Klien menunjukkan personal hygiene yang adekuat.
Klien akan menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan.
Intervensi :
Pantau tanda-tanda vital, perhatikan suhu.
Rasional: Suhu malam hari memuncak yang kembali ke normal pada pagi hari adalah
karakteristik infeksi.
Pantau pernafasan. Pertahankan kepala tempat tidur tinggi 35-45.
Rasional: distensi abdomen menurunkan ekspansi paru.
Observasi terhadap tanda atau gejala peritonitis.
Rasional: Peritonitis dapat terjadi bila usus terganggu.
Kolaborasi : berikan obat-obatan sesuai indikasi.
Rasional: Diberikan secara profilaktik dan untuk mengatasi infeksi.

DAFTAR PUSTAKA

Closky, Bulaceck G. 2000. Nursing intervention classification (NIC). Mosby: Philadelphia


Dermawan, dkk. 2010. Keperawatan medika bedah sistem pencernaan. Yogyakarta: Gosyen
Publishing.
Inayah, Iin. 2004. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem pencernaan.
Jakarta: Salemba Medika.
Johnson. 2000. Nursing outcome classification (NOC). Mosby: Philadelphia
Nettina, Sandra M. 2001. Pedoman praktik keperawatan. Alih bahasa Setiawan dkk. Ed. 1.
Jakarta : EGC.

Vous aimerez peut-être aussi