Vous êtes sur la page 1sur 22

Abu Ala Maududi

Runtuhnya khilafah pada 1924 mengakibatkan kehidupan Maududi mengalami


perubahan besar. Dia jadi sinis terhadap nasionalisme yang ia yakini hanya
menyesatkan orang Turki dan Mesir, dan menyebabkan mereka merongrong
kesatuan muslim dengan cara menolak imperium Utsmaniah dan kekhalifahan
muslim.
Disinilah Maududi menjadi lebih mengetahui kesadaran politik kaum muslimin dan
jadi aktif dalam urusan agamanya. Namun, saat itu fokus tulisan-tulisannya belum
juga mengarah pada kebangkitan Islam.
Sayyid Abul Ala Maududi adalah figur penting dalam kebangkitan Islam pada
dasawarsa terakhir. Ia lahir dalam keluarga syarif (keluarga tokoh muslim India
Utara) di Aurangabad, India Selatan, tepatnya pada 25 September 1903 (3 Rajab
1321 H). Rasa dekat keluarga ini dengan warisan pemerintahan Muslim India dan
kebenciannya terhadap Inggris, memainkan peranan sentral dalam membentuk
pandangan Maududi di kemudian hari.
Ahmad Hasan, ayahnya Maududi, sangat menyukai tasawuf. Ia berhasil
menciptakan kondisi yang sangat religius dan zuhud bagi pendidikan anak-anaknya.
Ia berupaya membesarkan anak-anaknya dalam kultur syarif. Karenanya, sistem
pendidikan yang ia terapkan cenderung klasik. Dalam sistem ini tidak ada pelajaran
bahasa Inggris dan modern, yang ada hanya bahasa Arab, Persia, dan Urdu. Karena
itu, Maududi jadi ahli bahasa Arab pada usia muda.
Pada usia sebelas tahun, Maududi masuk sekolah di Aurangabad. Di sini ia
mendapatkan pelajaran modern. Namun, lima tahun kemudian ia terpaksa
meninggalkan sekolah formalnya setelah ayahnya sakit keras dan kemudian wafat.
Yang menarik, pada saat itu Maududi kurang menaruh minat pada soal-soal agama,
ia hanya suka politik. Karenanya, Maududi tidak pernah mengakui dirinya sebagai
alim. Kebanyakan biografi Maududi hanya menyebut dirinya sebagai jurnalis yang
belajar agama sendiri. Semangat nasionalisme Indianya tumbuh subur. Dalam
beberapa esainya, ia memuji pimpinan Partai Kongres, khususnya Mahatma Gandhi
dan Madan Muhan Malaviya.
Pada 1919 dia ke Jubalpur untuk bekerja di minggua partai pro Kongres yang
bernama Taj. Di sini dia jadi sepenuhnya aktif dalam gerakan khilafah, serta aktif
memobilisasi kaum muslim untuk mendukung Partai Kongres.
Kemudian Maududi kembali ke Delhi dan berkenalan dengan pemimpin penting
Khilafah seperti Muhammad Ali. Bersamanya, Maududi menerbitkan surat kabar
nasionalis, Hamdard. Namun itu tidak lama. Selama itulah pandangan politik
Maududi kian religius. Dia bergabung dengan Tahrik-I Hijrah (gerakan hijrah) yang
mendorong kaum muslim India untuk meninggalkan India ke Afganistan yang
dianggap sebagai Dar al-Islam (negeri Islam).
Pada 1921 Maududi berkenalan dengan pemimpin Jamiati Ulama Hind (masyarakat
ulama India). Ulama jamiat yang terkesan dengan bakat maududi kemudian
menarik Maududi sebagai editor surat kabar resmi mereka, Muslim. Hingga 1924

Maududi bekerja sebagai editor muslim. Disinilah Maududi menjadi lebih


mengetahui kesadaran politik kaum muslimin dan jadi aktif dalam urusan
agamanya. Namun, saat itu tulisan-tulisannya belum juga mengarah pada
kebangkitan Islam.
Di Delhi, Maududi memiliki peluang untuk terus belajar dan menumbuhkan minat
intelektualnya. Ia belajar bahasa Inggris dan membaca karya-karya Barat. Jamiat
mendorongnya untuk mengenyam pendidikan formal agama. Dia memulai dars-I
nizami, sebuah silabus pendidikan agama yang populer di sekolah agama Asia
Selatan sejak abad ke delapan belas. Pada 1926, ia menerima sertifikat pendidikan
agama dan jadi ulama.
Runtuhnya khilafah pada 1924 mengakibatkan kehidupan Maududi mengalami
perubahan besar. Dia jadi sinis terhadap nasionalisme yang ia yakini hanya
menyesatkan orang Turki dan Mesir, dan menyebabkan mereka merongrong
kesatuan muslim dengan cara menolak imperium Utsmaniah dan kekhalifahan
muslim. Dia juga tak lagi percaya pada nasionalisme India. Dia beranggapan bahwa
Partai Kongres hanya mengutamakan kepentingan Hindu dengan kedok sentimen
nasionalis. Dia ungkapkan ketidaksukaannya pada nasionalisme dan sekutu
muslimnya.
Sejak itu, sebagai upaya menentang imperialisme, Maududi menganjurkan aksi
Islami, bukan nasionalis. Ia percaya aksi yang ia anjurkan akan melindungi
kepentingan muslimin. Hal ini memberi tempat bagi wacana kebangkitan.
Pada 1925, seorang Muslim membunuh Swami Shradhnand, pemimpin kebangkitan
Hindu. Swami memancing kemarahan kaum muslimin karena dengan erangterangan meremehkan keyakinan kaum muslimin. Kematiannya Swami
menimbulkan kritik media massa bahwa Islam adalah agama kekerasan. Maududi
pun bertindak. Ia menulis bukunya yang terkenal mengenai perang dan damai,
kekerasan dan jihad dalam Islam, Al Jihad fi Al Islam. Buku ini berisi penjelasan
sistematis sikap Muslim mengenai jihad, sekaligus sebagai tanggapan atas kritik
terhadap Islam. Buku ini mendapat sambutan hangat dari kaum muslimin. Hal ini
semakin menegaskan Maududi sebagai intelektual umat.
Sisa terakhir pemerintahan muslim pada saat itu kelihatan semakin tidak pasti.
Maududi pun berupaya mencari faktor penyebab semakin pudarnya kekuasaan
muslim. Dia berkesimpulan, selama berabad-abad Islam telah dirusak oleh
masuknya adat istiadat lokal dan masuknya kultur asing yang mengaburkan ajaran
sejatinya. Karenanya Maududi mengusulkan pembaharuan Islam kepada
pemerintahan saat itu, namun tidak digubris. Hal ini mendorong Maududi mencari
solusi sosio-politik menyeluruh yang baru untuk melindungi kaum muslimin.
Gagasannya ia wujudkan dengan mendirikan Jamaat Islami (partai Islam), tepatnya
pada Agustus 1941, bersama sejumlah aktifis Islam dan ulama muda. Segera
setelah berdiri, Jamaati Islami pindah ke Pathankot, tempat dimana Jamaat
mengembangkan struktur partai, sikap politik, ideologi, dan rencana aksi.
Sejak itulah Maududi mengosentrasikan dirinya memimpin umat menuju
keselamatan politik dan agama. Sejak itu pula banyak karyanya terlahir di tengah-

tengah umat. Ketika India pecah, Jamaat juga terpecah. Maududi, bersama 385
anggota jamaat memilih Pakistan. Markasnya berpindah ke Lahore, dan Maududi
sebagai pemimpinnya. Sejak itu karir politik dan intelektual Maududi erat kaitannya
dengan perkembangan Jamaat. Dia telah kembali kepada Islam, dengan
membawa pandangan baru yang religius. [Majalah Percikan Iman No. 4 Tahun I
Oktober 2000]
ABU UBAY AL BAKRI
Saat fafar intelektual muslim memancar ke segenap penjuru bumi, nama-nama
ilmuwan Islam tercatat dengan tinta emas dari lembar abad ke abad. Mereka
datang dari berbagai disiplin ilmu, dengan penguasaan pengetahuan yang
mengagumkan, diiringi berbagai penemuan yang mencengangkan.
Dari deretan nama-nama besar itu, tercatatlah Abu Ubayd Al Bakri sebagai seorang
geografer terbesar abad XI atau bertepatan dengan abad ke-5 H. Selain menguasai
ilmu geografi, beliau juga mahir dalam disiplin ilmu botani, filologi, dan bibliofil atau
pecinta buku.
Beliau merupakan putra seorang penguasa kerajaan kecil di Pesisir Atlantik, sebelah
selatan Semenanjung Iberia dan sebelah barat Niebla (Labla). Kerajaan yang
bertajuk Huelva dan Saltes ini didirkan pada 403 H atau 1012 M. Dari kampung
halamannya inilah, Abu Ubayd memulai pengembaraan ilmiahnya. Ilmuwan yang
tidak banyak terungkap tentang detil hidupnya ini berguru pada tokoh-tokoh
terkemuka. satu diantaranya Abu Marwan bin Hayyan yang merupakan ahli tarikh.
Dalam rentang waktu tidak begitu lama, nama beliau pun segera meroket sebagai
penulis terkenal.
Putra Izza Ad Dwala ini menyusun dua buah buku geografi monumental yang
membuat namanya terkenal di jazirah Arab. Buku dengan titel Mujamma Istajam
merupakan sebuah daftar toponyms (nama-nama tempat) yang sebagian besar
terletak di Jazirah Arab. Sebagai pengantar bukunya, beliau memaparkan setting
geografis Arab zaman dulu secara menarik disertai pemukiman dari masing-masing
suku bangsa yang terkenal waktu itu.
Karya monumental lainnya berjudul Al Masalik wa Al Mamalik. Hasil curah
gagasannya yang satu ini terdiri dari beberapa jilid yang secara sendiri-sendiri
membahas satu tema pokok. Jilid pengantarnya terbagi dalam geografi umum,
muslim, dan non muslim. Walau tidak diterbitkan secara utuh, tetapi bagian yang
menyangkut muslim barat telah lama diketahui lewat penerbitan dan terjemahan
bahasa Prancis oleh Mac Guckin de Slane.
Pada 1831 M, Quatremere di Paris telah menerbitkan beberapa bagian Al Masalik.
Penerbitan ini juga didahului oleh penerjemahan singkat Al Masalik, masih oleh
Quatremere. Bagian ini berisi materi yang berhubungan dengan Andalusia. Selain
itu, kutipan-kutipan Al Masalik termasuk dalam sebuah kompilasi sejarah Geografis
berjudul Ar Rawd Al Mikhtar yang ditulis oleh Ibnu Abdul Munim Al Himyari as
Sabri.
Masih dalam disiplin geografi, buku lain yang beliau tulis adalah Itineraries and
Kingdoms atau Rencana-rencana Perjalanan dan Kerajaan-kerajaan. Buku ini

tidak hanya memuat keterangan-keterangan dan faktor-faktor yang bersifat


geografis, tetapi juga mencakup uraian komprehensif mengenai politik, sosial
historis, bahkan etnografi (ilmu bangsa-bangsa).
Walau hal ini pernah idsinggung dalam Al Masalik, tetapi paling tidak mempunyai
nilai informasi yang sangat berharga. Buku ini mengandung pemikiran-pemikiran
metodis dan pertanyaan pokok yang harus dijawab juga gambaran tentang sketsasketsa historis yang sebelumnya tidak pernah diungkap.
Kecemerlangan Abu Ubayd di bidang geografi juga tercermin dalam karya-karya
yang berbentuk laporan mengenai Al Idrisi dan Al Moravid. Laporan ini masih
dianggap sebagai bahan yang paling dapat diandalkan bagi suatu dokumentasi
mengenai asal-usul kedua dinasti tersebut. Gambaran tentang Ifikriya, Maghribi,
dan Sudan juga dikupas dengan menarik.
Karya-karya lainnya tersebar diluar disiplin ilmu geografi, terutama di bidang ilmu
botani. Tulisan Kitab An Nabat menjadi rujukan kaum naturalist (penyelidik alam),
tidak hanya di Andalusia tetapi juga di luar Andalusia. Bahkan penulis buku Umdat
At Tabib fi Syarh Al Ashab, Ibnu Abdu Al Ishbili, menjadikan buku ini sebagai
narasumber tulisannya.
Permata ilmu yang ditinggalkan ilmuwan ini menjadi pelita intelektual para ilmuwan
berikutnya. Perjalanan keilmuwan beliau berakhir ketika Yang Mahakuasa
memanggilnya. Beliau menutup mata pada bulan Syawwal 487 H atau bertepatan
dengan November 1094 M di Kordoba. [Tabloid MQ EDISI/ 6/TH.II/OKTOBER 2001]
t
Al Battani
Sejak berabad-abad lamanya, astronomi dan matematika begitu lekat dengan umat
Islam. Tak heran bila sejumlah ilmuwan di kedua bidang tersebut bermunculan.
Salah seorang di antaranya adalah Abu Abdallah Muhammad Ibn Jabir Ibn Sinan AlBattani. Ia lebih dikenal dengan panggilan Al-Battani atau Albatenius.
Al Battani lahir di Battan, Harran, Suriah pada sekitar 858 M. Keluarganya
merupakan penganut sekte Sabbian yang melakukan ritual penyembahan terhadap
bintang. Namun ia tak mengikuti jejak langkah nenek moyangnya, ia lebih memilih
memeluk Islam. Ketertarikannya dengan benda-benda yang ada di langit membuat
Al Battani kemudian menekuni astronomi. Secara informal ia mendapatkan
pendidikan dari ayahnya yang juga seorang ilmuwan, Jabir Ibn Sanan Al-Battani.
Keyakinan ini menguat dengan adanya bukti kemampuan Al Battani membuat dan
menggunakan sejumlah perangkat alat astronomi seperti yang dilakukan ayahnya.
Beberapa saat kemudian, ia meninggalkan Harran menuju Raqqa yang terletak di
tepi Sungai Eufrat, di sana ia melanjutkan pendidikannya. Di kota inilah ia
melakukan beragam penelitian hingga ia menemukan berbagai penemuan
cemerlangnya. Pada saat itu, Raqqa menjadi terkenal dan mencapai kemakmuran.
Ini disebabkan karena kalifah Harun Al Rashid, khalifah kelima dalam dinasti
Abbasiyah, pada 14 September 786 membangun sejumlah istana di kota tersebut.
Ini merupakan penghargaan atas sejumlah penemuan yang dihasilkan oleh

penelitian yang dilakukan Al Battani. Usai pembangunan sejumlah istana di Raqqa,


kota ini menjadi pusat kegiatan baik ilmu pengetahuan maupun perniagaan yang
ramai.
Buah pikirnya dalam bidang astronomi yang mendapatkan pengakuan dunia adalah
lamanya bumi mengelilingi bumi. Berdasarkan perhitungannya, ia menyatakan
bahwa bumi mengelilingi pusat tata surya tersebut dalam waktu 365 hari, 5 jam, 46
menit, dan 24 detik. Perhitungannya mendekati dengan perhitungan terakhir yang
dianggap lebih akurat.
Itulah hasil jerih payahnya selama 42 tahun melakukan penelitian yang diawali pada
musa mudanya di Raqqa, Suriah. Ia menemukan bahwa garis bujur terajauh
matahari mengalami peningkatan sebesar 16,47 derajat sejak perhitungan yang
dilakukan oleh Ptolemy. Ini membuahkan penemuan yang penting mengenai gerak
lengkung matahari.
Al Battani juga menentukan secara akurat kemiringin ekliptik, panjangnya musim,
dan orbit matahari. Ia pun bahkan berhasil menemukan orbit bulan dan planet dan
menetapkan teori baru untuk menentukan sebuah kondisi kemungkinan terlihatnya
bulan baru. Ini terkait dengan pergantian dari sebuah bulan ke bulan lainnya.
Penemuannya mengenai garis lengkung bulan dan matahari, pada 1749 kemudian
digunakan oleh Dunthorne untuk menentukan gerak akselerasi bulan. Dalam bidang
matematika, Al Battani juga memberikan kontribusi gemilang terutama dalam
trigonometri. Laiknya, ilmuwan Muslim lainnya, ia pun menuliskan pengetahuannya
di kedua bidang itu ke dalam sejumlah buku.
Bukunya tentang astronomi yang paling terkenal adalah Kitab Al Zij. Buku ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 dengan judul De Scienta
Stellerum u De Numeris Stellerum et Motibus oleh Plato dari Tivoli. Terjemahan
tertua dari karyanya itu masih ada di Vatikan. Terjemahan buku tersebut tak melulu
dalam bahasa latin tetapi juga bahasa lainnya.
Terjemahan ini keluar pada 1116 sedangkan edisi cetaknya beredar pada 1537 dan
pada 1645. Sementara terjemahan karya tersebut ke dalam bahasa Spanyol muncul
pada abad ke-13. Pada masa selanjutnya baik terjemahan karya Al Battani dalam
bahasa Latin maupun Spanyol tetap bertahan dan digunakan secara luas.
Tak heran bila tulisannya, sangat memberikan pengaruh bagi perkembangan ilmu
pengetahuan di Eropa hingga datangnya masa Pencerahan. Dalam Fihrist, yang
dikompilasi Ibn An-Nadim pada 988, karya ini merupakan kumpulan Muslim
berpengaruh pada abad ke-10, dinyatakan bahwa Al Battani merupakan ahli
astronomi yang memberikan gambaran akurat mengenai bulan dan matahari.
Informasi lain yang tertuang dalam Fihrist menyatakan pula bahwa Al Battani
melakukan penelitian antara tahun 877 dan 918. Tak hanya itu, di dalamnya juga
termuat informasi mengenai akhir hidup sang ilmuwan ini. Fihrist menyatakan
bahwa Al Battani meninggal dunia dalam sebuah perjalanan dari Raqqa ke
Baghdad. Perjalanan ini dilakukan sebagai bentuk protes karena ia dikenai pajak
yang berlebih. Al Battani memang mencapai Baghdad untuk menyampaikan

keluhannya kepada pihak pemerintah. Namun kemudian ia menghembuskan nafas


terakhirnya ketika dalam perjalanan pulang dari Baghdad ke Raqqa. (fer)
[republika.co.id]
Al Idris
Syarif Al Idrisi adalah dosen ilmu Geografi bagi orang-orang Eropa dan senantiasa
dianggap sebagai guru di sana selama tiga abad, karena pada waktu itu belum ada
suatu peta dunia selain yang telah dibuatnya. (Goother, ahli sejarah).
Al-Idrisi (1100 1166 M) dikenal masyarakat Barat sebagai seorang ahli Geografi
yang telah membuat bola dunia dari bahan perak seberat 400 ons untuk Raja Roger
II dari Sicilia (Sekarang kita kenal sebagai nama pulau di selatan Italia). Beberapa
mahasiswa menyanjungnya sebagai ahli Geografi terbesar di abad pertengahan.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Muhammad Ibn Abdullah
Ibn Idris Ash Sharif. Ia dilahirkan di Ceuta, Spanyol tahun 493 H/1100 M.
Idris menempuh pendidikannya di Cordova. Seperti Geografer lainnya, ia pun
bepergian ke tempat-tempat yang jauh termasuk Asia dan Afrika, untuk
mengumpulkan data Geografi. Mayoritas Geografer muslim di masa Idris, telah
mampu membuat ukuran permukaan bumi yang akurat. Ketika itu beberapa peta
dunia juga telah dibuat, namun tak sesempurna karya Idris. Dari bahan-bahan yang
telah dikumpulkan, Idris mengkombinasikan sendiri temuan-temuannya menjadi
sebuah pengetahuan baru. Karyanya banyak menyajikan data komprehensif dari
setiap wilayah di dunia. Sehingga saat itu Idris menjadi sangat dikenal dan mulai
dilirik oleh kalangan navigator laut Eropa dan militer.
Kemasyhuran Idris dan kompetensinya di bidang Geografi terdengar oleh Roger II,
Raja Norman dari Sicilia (1129-1140 M). Roger II mengundang dan memfasilitasi
Idris untuk membuat peta dunia paling baru saat itu. Idris menyanggupi, namun ia
mengajukan syarat bahwa dalam peta itu ia ingin memasukkan data wilayah Sicilia
yang pernah berada di bawah kekuasaan kaum muslimin sebelum Raja Roger
berkuasa.
Peta pesanan sang Raja diwujudkan Idris ke dalam bentuk bola dunia (globe)
seberat 400 ons, yang secara cermat memuat danau dan sungai, kota-kota besar,
daratan serta pegunungan. Idris membedakan pula antara tanah yang subur
(pertanian) dan tanah yang gersang. Ia juga memasukkan beberapa informasi
tentang jarak, panjang dan ketinggian secara tepat. Bola dunianya itu dilengkapi
dengan Kitab Al-Rujari (Rogers book), sebagai bentuk penghormatan kepada Raja
Roger. Buku ini digambarkan sebagai bentuk deskripsi paling teliti dan cermat di
dunia pada abad pertengahan.
Buku Idris lainnya yang berjudul Nuzhat al-Mushtaq fi Ikhtiraq al-Afaq (Kesenangan
untuk Orang-orang yang Ingin Mengadakan Perjalanan Menembus Berbagai Iklim)
menjadi sebuah ensiklopedi yang berisi peta secara detil dan informasi lengkap
negara-negara Eropa. Setelah menyelesaikan buku itu, Idris membuat kembali
sebuah kompilasi ensiklopedi yang lebih komprehensif berjudul Rawd Unnas waNuzhat al-Nafs (Kenikmatan Lelaki dan Kesenangan Jiwa). Pengetahuannya tentang

kaum negro dari Timbuktu di Sudan dan asal sumber air sungai Nil di Mesir menjadi
salah satu bukti keakuratannya yang menakjubkan.
Selain bidang Geografi Idris juga memberi sumbangan bagi perkembangan ilmu
kedokteran. Ketika itu ia menyusun sebuah buku berjudul Kitab Al Jamili Sifat Ashtat
al Nabatat. Dalam buku tersebut, Idris membuat pandangan dan memadukan
semua literatur dari berbagai subjek ilmu kedokteran serta menggabungkannya
dengan metode pengobatan ilmuwan Islam ditambah dengan beberapa riset yang
dikumpulkannya ketika ia melakukan perjalanan. Misalnya nama-nama obat dalam
beberapa bahasa, termasuk Berber (Arab), Suriah, Persia, Hindi, Yunani dan bahasa
Latin.
Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, diantaranya ke
bahasa Spanyol (1793), Jerman (1828), Perancis (1840) oleh Amedie Jaubert, dan ke
bahasa Italia (1885).
Selama beberapa abad, karya-karyanya menjadi buku yang sangat populer di
daratan Eropa. Salah satu bukunya yang telah diterjemahkan, diterbitkan di Roma
pada tahun 1619. Nama Al-Idris tidak dicantumkan pada terjemahan tersebut.
Christopher Columbus menggunakan peta asli yang dibuat oleh Idris. Al Idris wafat
pada tahun 560 H/1165 M. [Majalah HIKAYAH edisi 06 Shafar 1424 H]
Al Khawarizmi
Dunia Islam benar-benar sebuah peradaban yang lengkap jika kita mau
mempelajarinya. Dari obat-obatan sampai matematika ada di dalamnya, begitu
juga para ahlinya. Di antara kita, banyak sekali yang mengenal dan mungkin pernah
belajar satu teori matematika yang bernama Algoritma. Sebuah teori yang
mempermudah manusia menghitung dalam jumlah besar dengan menggunakan
sistem decimal. Jika kita pernah mempelajari, ada satu pertanyaan menarik,
pernahkah kita tahu siapa yang pertama kali menemukan dan memperkenalkan
rumus Algoritma? Tak lain dan tak bukan adalah orang-orang Islam.
Adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Musa Al Khawarizmi, seorang intelektual Islam
yang lahir pada tahun 770 Masehi, di sebuah kota bernama Khawarizmi. Tak ada
data yang pasti tentang tanggal dan kapan tepatnya Al Khawarizmi dilahirkan.
Khawarizmi adalah sebuah kota kecil sederhana di pinggiran sungai Oxus, tepatnya
di bagian selatan sungai itu. Sungai Oxus adalah satu sungai yang mengalir panjang
dan membelah negara Uzbekistan.
Uzbekistan, adalah sebuah negara muslim yang besar sebelum tentara Rusia
mengambil alih dan menggempur daerah itu pada tahun 1873. Ratusan tahun lebih
Uzbekistan berada dalam tatanan pemerintahan Islam dengan penduduk mayoritas
Islam yang hidup makmur dengan rahmat melimpah. Tapi rupanya, hal ini membuat
orang-orang Rusia mulai melirik Uzbekistan menjadi satu di antara banyak negara
jajahannya.
Itulah kenapa Al Khawarizmi dipanggil dengan sebutan Al Khawarizmi, untuk
menunjukkan tempat awal dilahirkannya tokoh kita kali ini. Pada saat Al Khawarizmi
masih kecil, kedua orang tuanya berimigran, pindah dari Uzbekistan menuju

Baghdad, Irak. Saat itu Irak di bawah pemerintahan Khalifah Al Mamun yang
memerintah sepanjang tahun 813 sampai 833.
Kelak di kota inilah lahir sebuah konsep matematika yang oleh orang Barat dan kita
di sini sekarang, menyebutnya sebagai Algoritma. Entah bagaimana awalnya
sampai menjadi Algoritma, tapi yang jelas ia berasal dari kata Al Khawarizmi.
Mungkin orang-orang Barat dengan lidahnya terlalu sulit menyebutkan dengan fasih
kata Al Khawarizmi sehingga menjadi Algoritma.
Al Khawarizmi adalah seorang tokoh matematika besar yang pernah dilahirkan
Islam dan disumbangkan pada peradaban dunia. Dan mungkin tak seratus tahun
sekali akan lahir ke dunia orang-orang seperti dia. Meski namanya dikenal sebagai
seorang ahli dalam bidang matematika, sebenarnya ia juga ahli dalam bidang yang
lain. Al Khawarizmi juga seorang astronomi, ia juga seorang yang ahli dalam ilmu
geografi dan segala seluk belum tentang tanah dan bumi.
Ini yang menarik dalam Islam, seorang tokoh yang ahli dan dikenal dalam satu
bidang, selalu saja ahli pula dalam bidang yang lain. Ada kesimpulan yang bisa
ditarik dari sini, bahwa Islam adalah sebuah tatanan menyeluruh yang tak
terpisahkan. Belajar matematika tak lepas pula belajar astronomi. Belajar astronomi
tak ketinggalan pula belajar tentang keindahan alam dan itu tak terlepas pula dari
pelajaran tauhid. Bahwa kedahsyatan alam ini tercipta karena kebesaran Allah pada
manusia dan semesta.
Al Khawarizmi selain terkenal dengan teori Algoritmanya, ia juga dikenal sebagai
seorang yang membangun teori-teori matematika lain, di antaranya Aljabar. Salah
satu kehebatan Al Khawarizmi adalah, ia tak hanya mengenali satu hal sebagai
subyek saja, tapi ia juga mampu menyelesaikan masalah yang ada dalam subyek
tersebut. Dunia benar-benar tak bisa lepas dari jasa-jasa orang-orang Islam.
Aljabar diambil dari kata depan judul buku yang dikarang oleh Al Khawarizmi, Al
Jabr wa Al Muqabilah. Dalam buku ini ia merumuskan dan menjelaskan secara
detail table trigonometri yang biasa kita pelajari saat ini. Tak hanya itu, jika kita
pelajari secara detail, buku ini ternyata mengenalkan teori-teori kalkulus dasar
dengan gampang.
Selain karya-karyanya di bidang matematika, Al Khawarizmi juga melahirkan karya
dalam bidang astronomi. Ia membuat tabel yang mengelompokkan ilmu
perbintangan ini. Pada awal abad 12, karya-karya Al Khawarizmi diterjemahkan ke
dalam bahasa lain, dan yang pertama kali adalah bahasa latin oleh Adelard of bath
dan Gerard of Cremona. Kita-kita itu adalah, The Treatise of Arithmetic, Al Muqala fi
Hisab Al Jabr wa Al Muqabilah.
Di banyak universitas di Eropa, buku-buku karya Al Khawarizmi masih menjadi
acuan dan text book untuk mahasiswa di sana sampai pertengahan abad ke enam
belas. Karya-karyanya, setelah di terjemahkan dalam bahasa Latin, kemudian
menyusul bahasa-bahasa lain seperti bahasa-bahasa yang digunakan di Eropa dan
terakhir diterjemahkan dalam bahasa Cina.

Dalam bidang astronomi pun, Al Khawarizmi menyumbangkan karya-karya besarnya


yang tak terbatas. Begitu juga dalam bidang geografi, ia membuat koreksi-koreksi
mendasar pada pemikiran filsuf Yunani tentang geografi. Dalam sejarah tercatat
tujuh puluh orang yang ahli dalam bidang geografi bekerja di bawah koordinasi Al
Khawarizmi. Grup ini kemudian melahirkan peta bumi yang kita kenal sebagai globe
untuk pertama kali. Karya ini dikenal dunia pada tahun 830 masehi.
Sepuluh tahun kemudian, tahun 840, Al Khawarizmi meninggal dunia dengan
warisannya khazanah dalam ilmu pengetahuan dunia. Kita yang masih hidup saat
ini, tak bisa berbicara matematika tanpa menyebut nama Al Khawarizmi. Kita juga
tak bisa bersenang-senang, tanpa mengucapkan terima kasih pada Al Khawarizmi
saat mempermainkan bola dunia alias globe. Tapi yang lebih penting dari itu adalah,
bagaimana caranya kita semua, mampu menjadi seperti dia. Menerangi dunia dan
memberi pencerahan dengan Ilmu-ilmu Islam. Kita pasti bisa! (NN)
Al Mawardi
Khazanah intelektual Islam era kekhalifahan Abbasiyah pernah mengukir sejarah
emas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemikiran keagamaan. Salah satu
tokoh terkemuka sekaligus pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam
penyangga kemajuan Abbasiyah itu adalah Al Mawardi. Tokoh yang pernah menjadi
qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini, menjadi penyelamat berbagai
kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). Al Khatib of Baghdad, tulis
seorang orientalis.
Ulama penganut mazhab Syafii ini bernama lengkap Abu al Hasan Ali bin Habib al
Mawardi. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 386
H/975 M, Al Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota kelahirannya. Ia
belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum
mazhab Syafii yang terkenal.
Kemudian, pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan
kesusastraan dari Abdullah al Bafi dan Syaikh Abdul Hamid al Isfraini. Dalam waktu
singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama, seperti hadis dan fiqh,
juga politik, filsafat, etika dan sastra.
Sebagai seorang penasihat politik, Al Mawardi menempati kedudukan yang penting
di antara sarjana-sarjana Muslim. Dia diakui secara universal sebagai salah seorang
ahli hukum terbesar pada zamannya. Al Mawardi mengemukakan fiqh madzhab
Syafii dalam karya besarnya Al Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang
hukum mazhab Syafii oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk Al Isnavi
yang sangat memuji buku ini. Buku ini terdiri 8.000 halaman, diringkas oleh Al
Mawardi dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.
Menelaah pemikiran Al Mawardi, bisa dikatakan cukup dengan membaca karyanya,
Al Ahkaam Al Shultoniyah (Hukum-hukum Kekuasaan), yang menjadi master piecenya. Meskipun ia juga menulis beberapa buku lainnya, namun dalam buku //Al
Ahkaam Al Shultoniyah// inilah pokok pemikiran dan gagasannya menyatu.

Dalam magnum opusnya ini, termuat prinsip-prinsip politik kontemporer dan


kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran maju, bahkan
sampai kini sekalipun. Misalnya, dalam buku itu dibahas masalah pengangkatan
imamah (kepala negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima
perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana. Selain
itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, fai dan ghanimah (harta peninggalan
dan pampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah
yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan
pajak dan jizyah, masalah protektorat, masalah dokumen negara dan lain
sebagainya.
Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan)
merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat penting dalam
suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul
suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa
menjadi tidak berharga.
Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini,
Al Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila
memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqdi).
Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga
disebut model Al Ikhtiar. Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama
selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, Al
Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah Umar bin
Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar Ash Shiddiq.
Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, Al Mawardi menyebutkan dua hal
yang mengubah kondite dirinya, dan karenanya ia harus mundur dari jabatannya
itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat
syubhat. Kedua, cacat tubuh.
Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi
seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara
permanen, hilang penglihatan). Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat
tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam,
seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat
alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.
Berkaitan dengan masalah jihad, Al Mawardi menegaskan, selain perintah jihad
kepada orang kafir, jihad dibagi menjadi tiga bagian : jihad untuk memerangi orang
murtad, jihad melawan para pemberontak (dikenal juga sebagai bughat), dan jihad
melawan para pengacau keamanan. Bila kita cermati, pembagian versi Al Mawardi
ini selalu tersangkut-paut dengan politik kekuasaan, alias mengalami reduksi dari
maknanya yang luas.
Dalam hubungannya jihad terhadap mereka yang murtad, Al Mawardi membagi dua
kondisi. Pertama, mereka berdomisili di negara Islam dan tidak memiliki wilayah
otonom. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak berhak diperangi, melainkan perlu
diteliti latar belakang keputusannya untuk kemudian diupayakan bertobat. Kedua,
mereka memiliki wilayah otonom di luar wilayah Islam. Mereka wajib diperangi.

Soal jihad melawan pemberontak, ia menulis, Jika salah satu kelompok dari kaum
Muslimin memberontak, menentang pendapat (kebijakan) jamaah kaum Muslimin
lainnya, dan menganut pendapat yang mereka ciptakan sendiri; jika dengan
pendapatnya itu mereka masih taat kepada sang imam, tidak memiliki daerah
otonom di mana mereka berdomisili di dalamnya, mereka terpencar yang
memungkinkan untuk ditangkap, berada dalam jangkauan negara Islam, maka
mereka dibiarkan, tidak diperangi, kewajiban dan hak mereka sama dengan kaum
Muslimin lainnya.
Dalam banyak hal, khususnya dalam konteks demokrasi dan politik modern, sulit
rasanya menerapkan konsep dan pemikiran Al Mawardi secara penuh. Barangkali,
hanya beberapa bagian, semisal dalam masalah kualifikasi dan pengangkatan
seorang imam, juga masalah pembagian kekuasaan di bawahnya. Namun demikian,
wacana Al Mawardi ini sangat berbobot ketika diletakkan sebagai antitesis dari
kegagalan teori demokrasi, dan sumbangan khazanah berharga bagi perkembangan
politik Islam modern.
Bahkan, harus diakui pula bahwa pemikiran dan gagasannya memiliki pengaruh
besar atas penulis-penulis generasi selanjutnya, terutama di negeri-negeri Islam.
Pengaruhnya ini misalnya, terlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat
Nama, dan Prolegomena karya Ibn Khaldun. Khaldun, yang diakui sebagai peletak
dasar sosiologi, dan pengarang terkemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi
telah melebihi Al Mawardi dalam banyak hal.
Setelah seluruh hayatnya diabdikan untuk dunia ilmu dan kemaslahatan umat, Sang
Khaliq akhirnya memanggil Al Mawardi pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.
Pada tahun 1037 M, khalifah Al Qadir, mengundang empat orang ahli hukum
mewakili keempat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali). Mereka diminta
menulis sebuah buku fikih. Al Mawardi terpilih untuk menulis buku fikih mazhab
Syafii.
Setelah selesai, hanya dua orang yang memenuhi permintaan khalifah sesuai yang
diharapkan, yakni Al Quduri dengan bukunya Al Mukhtashor (Ringkasan), dan Al
Mawardi dengan kitabnya Kitab Al Iqna.
Khalifah memuji karya Al Mawardi sebagai yang terbaik, dan menyuruh para penulis
kerajaan untuk menyalinnya, lalu menyebarluaskannya ke seluruh perpustakaan
Islam di wilayah kekuasaannya.
Selain kedua karyanya, yakni Kitab Al Iqna, dan Al Ahkaam al Shultoniyah, Mawardi
yang sejak kecil bercita-cita menjadi pegawai negeri ini juga menulis buku Adab al
Wazir (Etika Menteri), Siyasat al Malik (Politik Raja), Tahsil un Nasr wat Tajit uz Zafar
(Memudahkan Penaklukan dan Mempercepat Kemenangan). Al Ahkam al
Shultoniyah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia, Indonesia,
dan Urdu.
Al Mawardi juga menulis buku tentang perumpamaan dalam Alquran, yang
menurut pendapat As Suyuthi, merupakan buku pertama dalam soal ini.

Menekankan pentingnya buku ini, Al Mawardi menulis, Salah satu dari ilmu Quran
yang pokok adalah ilmu ibarat atau umpama. (her)[republika.co.id]
Al Zahrawi
Dalam dunia kedokteran, nama Albucasis alias Al Zahrawi tidak pernah luntur.
Apalagi bila merunut pada penemuan penyakit hemofilia. Penyakit ini sebenarnya
telah ada sejak lama sekali, dan belum memiliki nama. Talmud, yaitu sekumpulan
tulisan para rabi Yahudi, 2 abad setelah Masehi menyatakan bahwa seorang bayi
laki-laki tidak harus dikhitan jika dua kakak laki-lakinya mengalami kematian akibat
dikhitan.
Titik terang ditemukan setelah Al Zahrawi pada abad ke-12 menulis dalam bukunya
mengenai sebuah keluarga yang setiap anak laki-lakinya meninggal setelah terjadi
perdarahan akibat luka kecil. Ia menduga hal tersebut tidak terjadi secara
kebetulan. Kata hemofilia pertama kali muncul pada sebuah tulisan yang ditulis oleh
Hopff di Universitas Zurich, tahun 1828. Dan menurut ensiklopedia Britanica, istilah
hemofilia (haemophilia) pertama kali diperkenalkan oleh seorang dokter
berkebangsaan Jerman, Johann Lukas Schonlein (1793 1864), pada tahun 1928.
Lukas menelusur aneka catatan kedokteran, termasuk tulisan Al Zahrawi atau
Albucasis itu.
Albucasis lahir sebagai Abu al-Qasim Khalaf bin Abbas Al-Zahrawi di Al Zahraa, 6
mil utara Cordoba di Andalusia (sekarang Spanyol), tahun 936. Dia mengawali
karirnya sebagai dokter bedah dan pengajar di beberapa sekolah kedokteran.
Namanya mulai menjadi perbincangan di dunia kedokteran setelah dia meluncurkan
buku yang kemudian menjadi buku paling populer di dunia kedokteran, At-Tasrif
liman Ajiza an at-Talif (Metode Pengobatan).
Dalam buku itu, ia banyak menguraikan tentang hal-hal baru dalam operasi medis.
Apa yang ditulisnya merupakan cetak biru dari apa yang dilakukannya selama 50
tahun melang melintang dalam dunia pengobatan. Bahkan, bukunya dianggap
sebagai ikhtisar ensiklopedi kedokteran. Al Zahrawi juga menciptakan sejumlah alat
bantu operasi. Ada tiga kelompok alat yang diciptakannya, yaitu instrumen untuk
mengoperasi bagian dalam telinga, instrumen untuk inspeksi internal saluran
kencing, dan instrumen untuk membuang sel asing dalam kerongkongan.
Di atas semua itu, ia terkenal sebagai pakar operasi yang piawai mengaplikasikan
aneka teknik paling tidak untuk 50 jenis operasi yang berbeda. Dia jugalah yang
pertama menguraikan secara detil operasi klasik terhadap kanker payudara,
lithotrities untuk menggempur batu ginjal, dan teknik membuang kista di kelenjar
tiroid. Dia juga termasuk salah satu penggagas operasi plastik, atau setidaknya,
dialah yang memancangkan prosedur bedah plastik pertama kali.
Dalam bukunya, Al-Tasrif, Al-Zahrawi mendiskusikan tentang penyiapan aneka obatobatan yang diperlukan untuk penyembuhan pasca operasi, yang dalam dunia
pengobatan modern dikenal sebagai ophthalmologi atau sejenisnya. Dalam
penyiapan obat-obatan itu, ia mengenalkan tehnik sublimasi. Al Zahrawi juga ahli
dalam bidang kedoteran gigi. Bukunya memuat beberapa piranti penting dalam
perawatan gigi. Misalnya thereof, alat yang sangat vital dalam operasi gigi.

Di buku yang sama, ia juga mendiskusikan beberapa kelainan pada gigi dan
problem deformasi gigi serta bagaimana cara untuk mengoreksinya. Ia juga
memciptakan sebuah teknik untuk menyiapkan gigi artifisial dan cara
memasangnya. Al-Tasrif dialihbahasakan ke dalam bahasa Latin pada abad
pertengahan oleh Gherard of Cremona. Sejumlah editor lain di Eropa mengikutinya,
dengan menerjemahkannya ke dalam bahasa mereka. Buku dengan sejumlah
diagram dan ilustrasi alat bedah yang digunakan Al Zahrawi ini kemudian masuk ke
kampus-kampus dan menjadi buku wajib mahasiswa kedokteran.
Al Zahrawi disebut oleh Pietro Argallata (meninggal tahun 1423) sebagai Pimpinan
segala operasi bedah tanpa keraguan. Jacques Delechamps (1513-1588), ahli
bedah Prancis lainnya, menyebut Al Zahrawi sebagai pemikir jempolan abad
pertengahan hingga Renaissance. Ia merujuk komentarnya pada kitab At Tasrif
karya Al Zahrawi yang banyak dirujuk dokter-dokter pada masa itu.
Al Zahrawi menjadi pakar kedokteran populer di zamannya. Bahkan hingga lima
abad setelah kematiannya, bukunya tetap menjadi buku wajib bagi para dokter di
berbagai belahan dunia. Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan kedokterannya, menurut
Dr Cambell, pakar sejarah pengobatan Arab, dimasukkan dalam kurikulum fakultas
kedokteran di seluruh belahan Eropa. Dia juga dikenal sebagai fisikawan andal
kebanggaan Raja Al-Hakam II dari Spanyol. Setelah malang melintang di dunia
kedokteran dengan sejumlah temuan baru, Al Zahrawi berpulang pada tahun 1013.
Namanya tercatat dengan tinta emas dalam dunia kedokteran modern hingga kini.
(tri/islamonline)[republika.co.id]
Hadits merupakan salah satu rujukan sumber hukum Islam di samping kitab suci AlQuran. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW itulah terkandung jawaban dan solusi
masalah yang dihadapi oleh umat di berbagai bidang kehidupan. Berbicara tentang
ilmu hadits, umat Islam tidak akan melupakan jasa Al-Albani. Ia merupakan salah
satu tokoh pembaharu Islam abad ini.
Karya dan jasa-jasanya cukup banyak dan sangat membantu umat Islam terutama
dalam menghidupkan kembali ilmu hadits. Ia berjasa memurnikan ajaran Islam dari
hadits-hadits lemah dan palsu serta meneliti derajat hadits. Al-Albani mempunyai
nama lengkap Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani.
Dilahirkan pada tahun 1333 H di kota Ashqadar, ibu kota Albania masa lampau. Ia
dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya secara materi, namun sangat
kaya ilmu. Ayah al-Albani bernama Al Haj Nuh adalah lulusan lembaga pendidikan
ilmu-ilmu syariat di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul).
Ketika Raja Ahmad Zagha naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan
menjadi pemerintah sekuler, Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri
keluarganya. Akhirnya ia memutuskan untuk berhijrah ke Syam dalam rangka
menyelamatkan agamanya dan karena takut terkena fitnah. Dari sana, ia
sekeluarga bertolak ke Damaskus. Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai
mempelajari bahasa Arab. Al-Albani kecil masuk sekolah madrasah yang dikelola
oleh Jumiyah al-Isaf al-Khairiyah. Ia terus belajar di sekolah tersebut hingga kelas
terakhir dan lulus di tingkat Ibtidaiyah.

Selanjutnya, ia meneruskan belajarnya langsung kepada para syekh. Ia mempelajari


Al-Quran dari ayahnya sampai selesai, disamping juga mempelajari sebagian fikih
madzab Hanafi. Al-Albani juga mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari
ayahnya sampai mahir betul. Keterampilan ini kemudian menjadi salah satu mata
pencahariannya. Pada umur 20 tahun, pemuda Al-Albani mulai mengkonsentrasi diri
pada ilmu hadits. Ketertarikannya itu berawal dari pembahasan-pembahasan yang
ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syekh
Muhammad Rasyid Ridha. Tulisan-tulisan sang Syekh, sangat memukau hatinya.
Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul Al-Mughni an
Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar, karya al-Iraqi, berupa takhrij
terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya Ulumuddin-nya Al-Ghazali. Awalnya
kegiatan Al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya. Ia
mengomentarinya begini, Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orangorang pailit (bangkrut). Namun Syekh al-Albani justru semakin cinta terhadap
dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Al-Albani tidak memiliki cukup uang
untuk membeli kitab-kitab. Karenanya, beliau memanfaatkan Perpustakaan adhDhahiriyah di Damaskus. Di samping juga meminjam buku-buku dari beberapa
perpustakaan khusus.
Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya sampai-sampai ia menutup kios
reparasi jamnya. Al-Albani lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan adhDhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat
mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu shalat tiba. Untuk makannya,
seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan. Akhirnya
kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan
untuknya. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci
perpustakaan. Dengan demikian, Al-Albani makin leluasa mempelajari banyak
sumber.
Syekh Al-Albani pernah dua kali mendekam dalam penjara. Kali pertama selama
satu bulan dan kali kedua selama enam bulan. Itu tidak lain karena gigihnya beliau
berdakwah kepada sunnah dan memerangi bidah sehingga orang-orang yang
dengki kepadanya menebarkan fitnah.
Pengalaman mengajarnya dilakukan ketika menjadi pengajar di Jamiah Islamiyah
(Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun. Dari tahun 1381-1383 H, ia
mengajar tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Setelah itu ia pindah ke Yordania.
Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syekh Al-Albani untuk
menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah
Perguruan Tinggi di Kerajaan Yordania.
Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi
permintaan itu. Pada tahun 1395-1398 H ia kembali ke Madinah untuk bertugas
sebagai anggota Majelis Tinggi Jamiyah Islamiyah di sana. Di negeri itu pula, AlAlbani mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King
Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H. Sebelum berpulang, Syekh Al-Albani
berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah
dicetak, buku-buku hasil foto kopi, manuskrip-manuskrip (yang ditulis olehnya

ataupun orang lain) seluruhnya diserahkan kepada pihak Perpustakaan Jamiah. Ia


wafat pada hari Jumat malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau
bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania.
Karya-karya beliau amat banyak, ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa
manuskrip dan ada yang mafqud (hilang). Jumlahnya sekitar 218 judul. Karya yang
terkenal antara lain :
* Dabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
* Al-Ajwibah an-Nafiah ala asilah masjid al-Jamiah
* Silisilah al-Ahadits ash Shahihah
* Silisilah al-Ahadits adh-Dhaifah wal Maudhuah
* At-Tawasul wa anwauhu
* Ahkam Al-Janaiz wabidauha.
Di samping itu, beliau juga memiliki buku kumpulan ceramah, bantahan terhadap
berbagai pemikiran sesat, dan buku berisi jawaban-jawaban tentang pelbagai
masalah yang bermanfaat. (yus/berbagai sumber)[republi
Al-Jazari
Tak mungkin mengabaikan hasil karya Al-Jazari yang begitu penting. Dalam
bukunya, ia begitu detail memaparkan instruksi untuk mendesain, merakit, dan
membuat sebuah mesin (Donald Hill).
Kalimat di atas merupakan komentar Donald Hill, seorang ahli teknik asal Inggris
yang tertarik dengan sejarah teknologi, atas buku karya ahli teknik Muslim yang
ternama, Al-Jazari.
Al-Jazari merupakan ahli teknik yang luar biasa pada masanya. Nama lengkapnya
adalah Badi Al-Zaman Abullezz Ibn Alrazz Al-Jazari. Dia tinggal di Diyar Bakir, Turki,
selama abad kedua belas.
Ia dipanggil Al-Jazari karena lahir di Al-Jazira, sebuah wilayah yang terletak di antara
Tigris dan Efrat, Irak. Seperti ayahnya ia mengabdi pada raja-raja Urtuq atau Artuqid
di Diyar Bakir dari 1174 sampai 1200 sebagai ahli teknik.
Pada 1206 ia merampungkan sebuah karya dalam bentuk buku yang berkaitan
dengan dunia teknik. Bukunya bertajuk Al-Jami Baim Al-Ilm wal Amal Al-Nafi Fi
Sinatat Al Hiyal. Bukunya ini berisi tentang teori dan praktik mekanik.
Karyanya ini sangat berbeda dengan karya ilmuwan lainnya, karena dengan
piawainya Al-Jazari membeberkan secara detail hal yang terkait dengan mekanika.
Dan merupakan kontribusi yang sangat berharga dalam sejarah teknik.
Keunggulan buku tersebut mengundang decak kagum dari ahli teknik asal Inggris,
Donald Hill (1974). Donald berkomentar bahwa dalam sejarah, begitu pentingnya
karya Al-Jazari tersebut. Pasalnya, kata dia, dalam buku Al-Jazari, terdapat instruksi
untuk merancang, merakit, dan membuat mesin.
Ia menjabarkan sekitar lima puluh peralatan mekanik dalam enam kategori yang
berbeda. Termasuk jam air, alat mencuci tangan atau mesin wadu dan mesin
pemompa air.

Pada acara World of Islam Festival yang diselenggarakan di Inggris pada 1976,
banyak orang yang berdecak kagum dengan hasil karya Al-Jazari. Pasalnya, Science
Museum merekonstruksi kerja gemilang Al-Jazari, yaitu jam air.
Ketertarikan Donald Hill terhadap karya Al-Jazari membuatnya terdorong untuk
menerjemahkan karya Al-Jazari pada 1974, atau enam abad dan enam puluh
delapan tahun setelah pengarangnya menyelesaikan karyanya.
Tulisan Al-Jazari juga dianggap unik karena memberikan gambaran yang begitu
detail dan jelas. Sebab ahli teknik lainnya lebih banyak mengetahui teori saja atau
mereka menyembunyikan pengetahuannya dari orang lain. Bahkan ia pun
menggambarkan metode rekonstruksi peralatan yang ia temukan.
Karyanya juga dianggap sebagai sebuah manuskrip terkenal di dunia, yang
dianggap sebagai teks penting untuk mempelajari sejarah teknologi. Isinya
diilustrasikan dengan miniatur yang menakjubkan. Hasil kerjanya ini kerap menarik
perhatian bahkan dari dunia Barat.
Dengan karya gemilangnya, ilmuwan dan ahli teknik Muslim ini telah membawa
masyarakat Islam pada abad ke-12 pada kejayaan. Ia hidup dan bekerja di
Mesopotamia selama 25 tahun. Ia mengabdi di istana Artuqid, kala itu di bawah
naungan Sultan Nasir al-Din Mahmoud.
Al-Jazari memberikan kontribusi yang pentng bagi dunia ilmu pengetahuan dan
masyarakat. Mesin pemompa air yang dipaparkan dalam bukunya, menjadi salah
satu karya yang inspiratif. Terutama bagi sarjana teknik dari belahan negari Barat.
Jika menilik sejarah, pasokan air untuk minum, keperluan rumah tangga, irigasi dan
kepentingan industri merupakan hal vital di negara-negara Muslim. Namun
demikian, yang sering menjadi masalah adalah terkait dengan alat yang efektif
untuk memompa air dari sumber airnya.
Masyarakat zaman dulu memang telah memanfaatkan sejumlah peralatan untuk
mendapatkan air. Yaitu, Shaduf maupun Saqiya. Shaduf dikenal pada masa kuno,
baik di Mesir maupun Assyria. Alat ini terdiri dari balok panjang yang ditopang di
antara dua pilar dengan balok kayu horizontal.
Sementara Saqiya merupakan mesin bertenaga hewan. Mekanisme sentralnya
terdiri dari dua gigi. Tenaga binatang yang digunakan adalah keledai maupun unta
dan Saqiya terkenal pada zaman Roma.
Para ilmuwan Muslim melakukan eksplorasi peralatan tersebut untuk mendapatkan
hasil yang lebih memuaskan. Al-Jazari merintis jalan ke sana dengan menguraikan
mesin yang mampu menghasilkan air dalam jumlah lebih banyak dibandingkan
dengan mesin yang pernah ada sebelumnya.
Al-Jazari, kala itu, memikul tanggung jawab untuk merancang lima mesin pada abad
ketiga belas. Dua mesin pertamanya merupakan modifikasi terhadap Shaduf, mesin
ketiganya adalah pengembangan dari Saqiya di mana tenaga air menggantikan
tenaga binatang.

Satu mesin yang sejenis dengan Saqiya diletakkan di Sungai Yazid di Damaskus dan
diperkirakan mampu memasok kebutuhan air di rumah sakit yang berada di dekat
sungai tersebut.
Mesin keempat adalah mesin yang menggunakan balok dan tenaga binatang. Balok
digerakkan secara naik turun oleh sebuah mekanisme yang melibatkan gigi gerigi
dan sebuah engkol.
Mesin itu diketahui merupakan mesin pertama kalinya yang menggunakan engkol
sebagai bagian dari sebuah mesin. Di Eropa hal ini baru terjadi pada abad 15. Dan
hal itu dianggap sebagai pencapaian yang luar biasa.
Pasalnya, engkol mesin merupakan peralatan mekanis yang penting setelah roda. Ia
menghasilkan gerakan berputar yang terus menerus. Pada masa sebelumnya
memang telah ditemukan engkol mesin, namun digerakkan dengan tangan. Tetapi,
engkol yang terhubung dengan sistem rod di sebuah mesin yang berputar ceritanya
lain.
Penemuan engkol mesin sejenis itu oleh sejarawan teknologi dianggap sebagai
peralatan mekanik yang paling penting bagi orang-orang Eropa yang hidup pada
awal abad kelima belas. Bertrand Gille menyatakan bahwa sistem tersebut
sebelumnya tak diketahui dan sangat terbatas penggunaannya.
Pada 1206 engkol mesin yang terhubung dengan sistem rod sepenuhnya
dikembangkan pada mesin pemompa air yang dibuat Al-jazari. Ini dilakukan tiga
abad sebelum Francesco di Giorgio Martini melakukannya.
Sedangkan mesin kelima, adalah mesin pompa yang digerakkan oleh air yang
merupakan peralatan yang memperlihatkan kemajuan lebih radikal. Gerakan roda
air yang ada dalam mesin itu menggerakan piston yang saling berhubungan.
Kemudian, silinder piston tersebut terhubung dengan pipa penyedot. Dan pipa
penyedot selanjutnya menyedot air dari sumber air dan membagikannya ke sistem
pasokan air. Pompa ini merupakan contoh awal dari double-acting principle. Taqi alDin kemudian menjabarkannya kembali mesin kelima dalam bukunya pada abad
keenam belas. [republika.co.id]
Al-Yaqubi
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan pernah dirasakan umat Islam berabad-abad
lampau. Ketika itu, banyak ilmuwan dan cendekiawan Muslim mengharu biru jagad
keilmuan dunia yang hingga kini pun karya-karya mereka masih menjadi bahan
rujukan.
Dalam kaitan ini, seorang Muslim bernama al-Yaqubi terkenal sebagai ahli di bidang
ilmu geografi. Sejarah mencatat, dia hidup di Baghdad pada masa pemerintahan
khalifah Abbasiyah, al-Mutamid (257 H/870 M 279 H/892 M). Selain pakar pada
bidang geografi, al-Yaqubi juga dikenal sebagai seorang sejarawan dan
pengembara.

Tidak diketahui secara pasti tanggal lahir dari tokoh bernama lengkap Ahmad bin
Abi Yaqub Ishaq bin Jafar bin Wahab bin Waddih ini. Hanya yang jelas, kakeknya
adalah seorang maula (budak) khalifah Abbasiyah, al-Mansur.
Kariernya terbilang cukup cemerlang di kerajaan. Ia misalnya pernah menjadi
sekretaris al-khalifah (negara) Abbasiyah. Ia juga sempat mengadakan
pengembaraan panjang ke Armenia, Transoksania (Asia Tengah), Iran, India, Mesir,
Hedzjaz (Hijaz) serta Afrika Utara. Dalam pengembaraannya tersebut banyak
informasi mengenai sejarah dan geografi yang ia peroleh.
Berdasarkan pengalamannya pergi ke sejumlah negara, maka pada tahun 891 alYaqubi menulis sebuah buku berjudul Kitab al-Buldan (Buku Negeri-negeri). Buku ini
termasuk kitab yang tertua dalam sejarah ilmu geografi dunia. Karenanya, buku
tersebut pun lantas diterbitkan kembali oleh sebuah penerbit di Leiden, Belanda,
dengan mengambil judul Ibn Waddih qui dicitur al-Yaqubi historiae.
Di samping itu, bagi negara-negara yang dikunjungi dan termuat dalam buku tadi,
merupakan informasi kesejarahan tidak ternilai. Pada awal bukunya, al-Yaqubi
menerangkan secara terperinci kota Baghdad dan Samarra (utara Baghdad).
Setelah itu berturut-turut ia menggambarkan mengenai negeri Iran, Semenanjung
Arabia, Suriah, Mesir, Nubia (utara Sudan), Afrika Utara dan lainnya. Tak hanya
mengenai geografi wilayah, buku itu juga menerangkan tentang keadaan sosial dan
sejarah dinasti-dinasti yang sedang berkuasa di masing-masing negeri.
Ada satu buku karyanya lagi yang juga terkenal, yakni Tarikh al-Yaqubi, buku ini pun
sudah diterbitkan kembali di Leiden dalam dua jilid. Dalam bukunya al-Yaqubi masih
mempertahankan ciri khasnya, yakni kronologis yang akurat. Pada jilid pertama,
difokuskan pada sejarah dunia kuno, seperti peristiwa-peristiwa yang berhubungan
pada penciptaan alam semesta, Nabi Adam AS dan putra-putranya, peristiwa banjir
besar pada zaman Nabi Nuh AS dan masih banyak lagi. Kemudian ia melukiskan
sejarah kerajaan-kerajaan kuno, semisal Assyria, Babylonia, Abessinia, India, Yunani,
Romawi, Persia, Cina, Armenia dan lain-lain. Dalam setiap kali melukiskan kerajaankerajaan itu, dia kerap mengdeskripsikan keterangan geografis, iklim, agama serta
kepercayaan dan perkembangan ilmu pengetahuan mereka, termasuk filsafat dan
kebudayaannya.
Sementara jilid kedua, berisi sejarah Islam yang disusun berdasarkan urutan para
khalifah, hingga tahun 259 H pada masa pemerintahan al-Mutamid. Diawali dengan
kelahiran, riwayat hidup serta perang yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, baru
kemudian tentang para khalifah. Berkenaan dengan metode penulisan jilid kedua
ini, ia mengatakan, Saya menulis kitab ini berdasarkan riwayat-riwayat para
ilmuwan dan ahli hadis yang lalu, termasuk tulisan-tulisan para sejarawan yang
berkaitan dengan as-siyar (riwayat hidup Nabi Muhammad SAW), al-akhbar wa attarikh (berita dan sejarah). Saya tidak berpretensi bahwa buku ini merupakan karya
yang orisinal. Saya berusaha mengumpulkan makalah dan riwayat itu, meskipun
sebenarnya karya-karya itu berbeda-beda dalam menyebutkan tahun dan
peristiwanya.
Di samping dua buku tadi, al-Yaqubi juga meninggalkan sebuah makalah yang
merupakan penggalan lain dari Tarikh al-Yaqubi yang diterbitkan oleh Matbaah an-

Najaf al-Asyraf di Irak dan sebuah karya singkat berjudul Musyakalah an-Nass li
Zamanihim (Kesamaan Manusia pada Masa Mereka). Buku yang satu ini sudah
diterbitkan kembali di Beirut membahas bagaimana masyarakat berusaha
mengikuti dan mencontoh kehidupan para penguasa, terutama tentang para
khalifah Umayyah dan Abbasiyah.
Kitab al-Buldan bisa disebut sebagai kitab paling berharga dalam bentuk karya
rihlah (pengembaraan) dan ilmu geografi. Di dalamnya dijelaskan pengembaraan
yang dia lakukan dan tugas-tugas negara yang dia emban, yaitu pada masa dinasti
Tahiriah di Khurasan dan dinasti Tulun di Mesir dan Suriah, di samping sejumlah
informasi yang dikutipnya dari yang lain. Al-Yaqubi menggunakan langgam sejarah
sendiri tanpa mengikuti langgam sejarah sebelumnya. Ia juga berusaha
mengembangkan pendekatan eksperimental dalam menulis.
Pengembaraan al-Yaqubi ke Transoksania memberikan manfaat besar bagi generasi
berikutnya. Misalnya, ia menyaksikan langsung bagaimana para khalifah Abbasiyah
mengambil anak-anak berkebangsaan Turki dan Fergana di Turkistan, dan
menuangkannya dalam buku al-Buldan. Ia berkata, Ekspansi Islam sudah sampai
ke negeri Transoksania. Para pegawai di sana mengirimkan hadiah-hadiah kepada
khalifah, di antaranya dalam bentuk anak-anak berkebangsaan Turki dan Fergana.
Pengambilan seperti itu semakin mudah pada masa al-Mutasim karena ibunya
berasal dari sana. Pengambilan anak-anak itu mencapai jumlah ribuan, sebagian
dibeli dan sebagian lagi dalam bentuk hadiah. Jumlah mereka terus bertambah
banyak hingga mencapai 18 ribu, semuanya menetap di Baghdad. Penduduk
Baghdad menjadi resah karena tingkah laku mereka yang buruk. Sehubungan
dengan itu, al-Mutasim kemudian mendirikan sebuah kota di sebelah utara
Baghdad untuk mereka, yaitu kota Samarra. Sebagian besar mereka kemudian
dijadikan tentara.
Setiap kali, al-Yaqubi menceritakan secara mendetil tentang negeri-negeri yang
pernah dikunjunginya. Jalan-jalan digambarkan dengan sangat terperinci, begitu
pula ladang-ladang gandum, perkebunan kurma, taman-taman dan sungai serta
sumber-sumber air, sebagaimana ia menggambarkan corak masyarakatnya yang
majemuk. (yus/ensiklopedi islam)[republika.co.id]
Bayazid Al-Bustami
Tlah kutanamkan cinta dalam jiwaku dan takkan luruh sampai hari akhir kelak.
Engkau tlah melukai jiwaku ketika Engkau menghampiriku. Hasratku berkembang,
cintaku merekah. Dia tuangkan air untuk kuteguk. Dia telah memacu jiwaku dengan
secangkir cinta. Yang telah mengisi samudra persahabatan. (Bayazid Al-Bustami)
Tokoh-tokoh sufi besar telah banyak lahir di sepanjang sejarah Islam. Dengan
pemahaman mereka tentang agama dan Tuhannya, kemudian mereka meletakkan
dasar ajarannya. Menjadi panutan banyak pengikutnya hingga melintas batas
tempat dan waktu. Salah satu sufi besar yang dikenal dalam khazanah Islam adalah
Abu Yazid Taifur bin Isa bin Surusyan al-Bustami atau karib dipanggil Bayazid AlBustami. Ia lahir pada 805 M, di Bastam, sebuah desa di Iran bagian Utara.
Ia berasal dari keluarga yang terhormat dan terpelajar. Ayahnya, Isa bin Surusyan,
merupakan pemuka masyarakat di Bastam sedangkan ibunya dikenal sebagai orang

yang zuhud. Bayazid sangat patuh terhadap ibunya. Sedangkan kakeknya adalah
pemeluk Majusi yang kemudian berislam. Tak ayal jika kondisi keluarganya yang
terpelajar membuatnya terdorong untuk belajar, memahami serta melaksanakan
ajaran agamanya. Ia pun mencontoh laku spiritual yang dijalani ibunya dengan
hidup zuhud.
Bahkan bakti kepada ibunya telah memberikannya pula pada pengalaman spiritual
yang mengesankan. Dalam Tadhkirat al-Awliya yang ditulis Sheikh Fariddedin Attar,
dikisahkan bahwa suatu malam ibunya terbangun dan menginginkan segelas air.
Dirinya kemudian bergegas ingin membawakan segelas air yang diinginkan ibunya
tersebut. Sayang, tak setetes air pun yang ia temukan. Dalam malam yang gelap
dan dingin Bayazid kemudian keluar rumah mencari sumber air. Ia pun
mendapatkannya.
Namun ibunya telah tertidur kembali, dan Bayazid menunggu di samping tempat
tidur ibunya. Menjelang fajar, ibunya terbangun dan mendapatkan segelas air dari
Bayazid. Kemudian Bayazid pun menceritakan bagaimana ia mendapatkan air
tersebut. Ibunya sambil meneguk air dalam gelas lantas mendoakan dirinya. Betapa
ia merasakan kebahagiaan didoakan ibu yang ia sayangi. Dalam mempelajari ilmu,
kondisi lingkungan keluarganya rupanya memberikan pengaruh yang sangat baik.
Tak hanya di kota kelahirannya, ia bahkan pergi menuju kota di luar Iran untuk
memenuhi dahaga akan ilmu. Tak heran jika ia memiliki ratusan guru dan
mendapatkan beragam ilmu dari gurunya itu. Pada masanya, ia pun kerap kritis
dengan perilaku agama yang dilaksanakan masyarakat. Ia menganggap bahwa
perilaku keagamaan mereka hanya menekankan ritual keagamaan. Tak heran jika
Bayazid merasa bahwa aplikasi keagamaan yang ditunaikan oleh orang-orang di
zamannya dirasakan sebagai hal yang superficial dan hipokrit.
Karena semuanya hanya ditujukan untuk keselamatan individual di dunia dan di
akhirat kelak, bagi Bayazid, perilaku keagamaan yaang konvensional seperti itu
hanya untuk memenuhi kepentingan sendiri dan ego. Padahal menurutnya
memperturutkan ego justru malah bertentangan dengan Tuhan. Hal inilah yang
kemudian mendorong Bayazid Al-Bustami selama bertahun-tahun mendisiplinkan
diri untuk menata ego dan nafs hingga nafs yang ia miliki telah menjelma menjadi
cermin baginya.
Sampai suatu hari, ia merasakan bahwa dirinya merasa ujub, merasa lebih besar
dibandingkan orang lain. Maka ia pun berkemas diri dan menuju ke Kota Khorasan.
Ia tinggal di sebuah tempat berteduh dan berjanji kepada dirinya sendiri tak akan
meninggalkan tempat itu sampai mendapatkan teguran dari Allah. Pada hari
keempat ia melihat seorang pengendara unta menuju ke arahnya. Sebuah pikiran
melayang dalam benaknya bahwa ia bisa menghentikan unta tersebut di tempat ia
berada.
Melihat ke arah Bustami, pengendara unta itu berkata, Jangan menghancurkan
Bastam dan Bayazid secara bersamaan. Ia terpana dan menanyakan dari mana
orang tersebut datang. Kemudian dijawab bahwa ia datang dari tempat yang
mengeluarkan janji (hati). Sebelum meninggalkan Bayazid, orang itu pun berkata,
Bayazid jaga dan lindungilah hatimu. Bayazid tak pernah melupakan peristiwa itu.

Dalam kajian tasawuf, Bayazid mengenal tasawuf dari seorang India, Abu Ali asSindi, yang mengajarinya ajaran al-fana fi at-tauhid (keluluhan dalam tauhid).
Salah satu perkataan Bayazid yang menunjukkan kecenderungannya dalam tasawuf
adalah, Aku telah mengetahui Allah melalui Allah dan aku telah mengetahui hal
ihwal selain Allah dengan cahaya Allah. Ia juga menyatakan bahwa jika Allah
mencintai hamba-Nya, Dia akan menjamin tiga tanda sebagai bukti cinta-Nya :
Kekayaan seperti kayanya samudra, kemurahan seperti murahnya matahari
memberikan sinarnya, dan keindahan seperti indahnya bumi. Dalam keluluhannya
itulah kemudian Bayazid terkenal dengan istilah ittihad, yang berarti bersatunya
sufi dengan Tuhan.
Bayazid juga kerap disebut sebagai salah satu sufi Shatta, sufi yang terpesona
dengan cinta yang bersifat ketuhanan dan percaya terjadinya peleburan antara
dirinya dengan Tuhan. Laiknya Al-Hallaj dengan perkataannya, anna al-haq (aku
adalah kebenaran), Bayazid juga terkenal Maha suci aku, maha suci aku, alangkah
maha agungnya aku. Tak pelak kemudian paham Bayazid ini mendapatkan
kecaman dari ulama syariat, karena dipandang menyesatkan.
Para ulama itu menilai ajaran Bayazid tentang ittihad adalah sesat dan menyimpang
dari syariat dan akidah serta menunjukkan penghujatan terhadap Tuhan.
Ucapannya yang lain adalah Sesungguhnya aku adalah Allah. Tidak ada Tuhan
selain aku. Maka sembahlah aku. Secara harfiah, Bayazid dianggap kafir. Namun
sebagian kalangan juga memberikan pembelaan terhadap pandangan Bayazid.
Menurutnya, ittihad yang dicapai Bayazid adalah pengalaman spiritualnya yang
diliputi perasaan bahwa dirinya bersatu dengan Tuhan.
Dalam ittihad yang dirasakan hanya satu wujud, meskipun sebenarnya ada dua
wujud yang berbeda, yaitu sang sufi dan Tuhan. Pada tingkat ini, sang sufi
kehilangan kesadaran tentang dirinya sendiri dan segala sesuatu selain Tuhan.
Sehingga yang tersisa hanyalah kesadaran tentang Tuhan. Paham ini tetap
mempertahankan perbedaan antara Tuhan dan manusia. Sebuah percakapan
Bayazid dengan muridnya, menunjukkan dengan jelas bahwa ia penganut paham al
fana fi at tauhid.
Salah satu pengikut Bayazid Al-Bustami adalah Zhun Nun al-Misri. Ketika Bayazid
menanyakan siapa yang dicarinya, Zhun Nun menjawab bahwa ia mencari Bayazid.
Bayazid pun mengatakan bahwa selama empat puluh tahun hingga bertemu Zhun
Nun, belum menemukan dirinya. Dari perkataan tersebut, Zhun Nun menyatakan
bahwa gurunya telah kehilangan dirinya karena melebur di dalam cinta Allah. Itulah
yang menyebabkan mengapa ia mencoba menemukan dirinya kembali.
Dalam buku Kashf al-Mahjub karya Hujwiri, diceritakan bahwa Bayazid pergi ke
Makkah untuk menunaikan ibadah haji berbekal rasa ingin tahu yang tinggi serta
niat sepenuh hati. Hanya satu hal yang ia ingin capai, dapat melihat Allah. Namun
ketika tiba di baitullah, ia pun kecewa karena hanya menyaksikan sebuah bangunan
dari batu dan lempung. Sejak itu ia bertekad untuk terus menunaikan ibadah haji ke
Makkah hingga melihat Tuhan.

Setelah perjalanan ketiganya kemudian terpikir bahwa ia melihat Tuhan dan


melebur dengan dirinya. Meski dengan pertentangan mengenai ajaran yang ia
tinggalkan, banyak sarjana Muslim yang mengaku bahwa Bayazid telah
menorehkan warna dalam khazanah Islam dan menganggapnya sebagai guru. Di
antaranya adalah Ibn Taymiyya yang menyatakan bahwa Bayazid adalah gurunya.
Bayazid, katanya, tak akan menyatu dengan sesuatu kecuali dengan Tuhan dan tak
meminta kecuali kepada Tuhan.
Ia pun mengutip perkataan sang sufi Aku tak menginginkan apa yang tak
diinginkan Tuhan. Bayazid mempertahankan pendiriannya meski beberapa kali ia
harus mengalami pengusiran dari kota kelahirannya. Pada usia 70 tahun, 875 M, di
Bastam, kota kelahirannya, Bayazid Al-Bustami menghembuskan nafas yang
terakhir. Ia hingga kini dianggap sebagai peletak dasar ajaran sufi dan menjadi sufi
pada masa awal
Ibnu Sina Hingga Abdus Salam
Dalam perjalanan sejarah Hadiah Nobel sepanjang sekitar 100 tahun, baru ada
empat Muslim yang mendapatkan anugerah itu. Mereka adalah almarhum Presiden
Mesir Anwar Sadat, sastrawan Mesir Najib Mahfudz, lmuwan Pakistan Abdus Salam,
dan terakhir ilmuwan asal Mesir yang menetap di AS, Ahmad Zuwaeli asal Mesir.
Dua yang pertama mendapatkah Penghargaan Nobel di bidang perdamaian dan
sastra. Sedangkan Abdus Salam di bidang fisika dan Zuwaeliyang juga hafiz
Qurandi bidang kimia pada 2000.
Hadiah Nobel adalah penghargaan yang diberikan oleh Alfred Nobel (1833-1896)
sejak tahun 1901 untuk lima bidang: fisika, kimia, kedokteran, sastra, dan
perdamaian. Pada 1968 bertambah lagi satu bidang, yaitu ekonomi. Penghargaan
Nobel, terutama di bidang ilmu pengetahuan, diberikan kepada seorang ilmuwan
atas penemuan yang dinyatakan sangat bermanfaat bagi kemanusiaan dalam
bidangnya masing-masing.
Jauh sebelum Abdus Salam dan Zuwaeli, sekitar 9 atau 10 abad lalu, dunia Islam
sebenarnya sudah mempunyai ilmuwan-ilmuwan besar, bahkan mungkin lebih
besar dari mereka yang pernah mendapatkan Hadiah Nobel. Mereka antara lain: AlKindi (pendiri psikofisik), Al-Khawarizmi (bapak aljabar dan geografi), Abu AlZahrawi (penemu acuan gips modern), Abu Said Al-Sijzi (penemu sistem heliosentrik
dan pendahulu Galileo), Ibnu Haitham (penemu teknik fotografi dan energi solar),
Ibnu Sina (bapak ilmu kedokteran modern), Al-Ghazali (penemu pusat paru
jantung), Ibnu Rusyd (perintis ilmu jaringan tubuh), Ibnu Nafis (penemu peredaran
darah paru-paru), dan Ibnu Khaldun (bapak sosiologi dan politik).
Berikut profil singkat di antara para ilmuwan Muslim itu beserta penemuanpenemuan mereka:

Vous aimerez peut-être aussi