Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Bila ada kosa kata politik yang paling banyak digunakan akhir-akhir ini itulah
demokrasi. Tidak ada satu kejadian politik pun yang terjadi dibelahan dunia
manapun melainkan digiring menuju pelaksanaan demokratisasi di segala bidang.
Termasuk dalam hal wacana civil society yang dikembangkan oleh beberapa
kalangan belakangan ini pun tidak terlepas dengan konteks diatas, sebab proses
demokratisasi berjalan bila melibatkan peran serta rakyat sebagai pemegang
kedaulatan dan bertindak sebagai kekuatan penyeimbang negara (counter
balancing the state) yang dirasakan bersifat eksesif dan hegemonik terhadap rakyat
atau dapat diistilahkan civil society ini bersikap opositif terhadap negara. Dengan
pemberdayaan civil society ini diharapkan kultur demokrasi bisa tumbuh dan
berkembang dengan melibatkan peran individu / kelompok diluar lingkaran
kekuasaan untuk menentukan berbagai macam pola kebijakan. Oleh karenanya
kajian komprehensif mengenai demokrasi sebagai main target pemberlakuan civil
society menjadi sesuatu yang urgen.
Adanya korelasi antara dua gagasan ini tidaklah sulit untuk dipahami, karena
banyaknya tulisan yang menunjukkan hal tersebut. Dalam pandangan Giovani
Sartoni, demokrasi
bukan otoritarianisme,
bukan totalitarianisme,
bukan
politik itu tertampung didalam demokrasi? Satu pertanyaan yang senantiasa dicaricari alibinya oleh pengusung demokras.
Satu hal yang harus difahami didalam mengetahui hakekat demokrasi, bahwa
demokrasi tidak bisa dilepaskan dari konteks latar belakang kemunculannya
(historical background) dan apa yang diinginkan oleh para penggagasnya, sehingga
dari sanalah kita akan memperoleh deskriptif yang obyektif bukan subyektif,
sebagai prasyarat berfikir yang rasional.
Demokrasi merupakan kata yang mempunyai konotasi istilah yang khas, yang
sengaja di pergunakan oleh pencetusnya untuk menyebut sistem pemerintahan
tertentu, yang di bangun berdasarkan asas rakyat sebagai sumber kekuasaan, yang
antara lain rakyat di beri hak membuat undang-undang dan sistem atau yang lazim
dipahami dengan istilah kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat ini eksis bilamana
rakyat berkuasa bila individu memiliki kesamaan hak berpartisipasi dalam proses
politik dan bila satu-satunya tujuan pemerintah adalah menjamin kepentingan
seluruh rakyat, dan bukan orang-orang dari lapisan atau kelompok kepentingan
tertentu.
Ini merupakan posisi teoritis. Arti penting praktisnya adalah bahwa konsep ini
mewakili suatu tujuan di mana rezim-rezim politik yang mengaku menghargai
kedaulatan rakyat harus berusaha mencapainya. Dalam pengertian praktis,
kedaulatan harus dinyatakan dengan tegas melalui pranata yang tidak mesti
sempurna, tetapi setidak-tidaknya memungkinkan rakyat memilih wakil-wakil dan
baik secara langsung (direct) atau tidak langsung (indirect)- , memilih suatu
pemerintahan. Pemerintahan adalah sumber legitimasi politiknya.
Symptom ideologi ini muncul sebagai counter atas dominannya penguasa Eropa
pada abad pertengahan yang gelap the dark middle age- yang berasumsi bahwa
mereka adalah wakil tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat berdasarkan
kekuasaan tuhan. Saat itu para raja dan kaisar memanfaatkan agama (kristiani)
legitimasi sakral (agama) atas otoritas dan kekuasaan. Hal ini merupakan syarat
untuk mempermudah kelangsungan perubahan sosial dan politik dalam proses
sejarah. Sementara itu, dekonsentrasi nilai-nilai maknanya adalah perelatifan setiap
sistem nilai, termasuk nilai-nilai agama, supaya manusia bebas mendorong
perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi dengan nilai-nilai agama yang
bersifat absolut.
Inilah makna kata-kata demokrasi yang di konklusikan oleh sebagian orang dengan
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sehingga ketika kata
demokrasi di ucapkan, itu artinya mengandung konotasi makna-makna tersebut.
Dalam kenyataannya, demokrasi memang meremehkan nilai-nilai agama dan
memandang agama sebagai masa lalu yang sudah tidak tidak lagi memiliki
bargaining sama sekali dalam masalah pemerintahan. Agama hanya dibiarkan
tumbuh dan berkembang hanya sebatas pada kehidupan individu, sedangkan upaya
untuk melegal-formalkan aturan yang berasal dari tuhan (Allah) dalam sebuah
pranata negara dianggap sebagai tindakan yang ademokratis, sekalipun mayoritas
masyarakat menginginkannya.
Di era modern, gagasan ini di adopsi oleh sistem ideologi kapitalisme sebagai
standar format politik mereka. Ini wajar mengingat demokrasi dan Kapitalisme
merupakan induk sekulerisme yang merupakan satu kesatuan organik yang tidak
bisa di pisahkan. Machperson dalam bukunya The Real World of Democracy
(1971) mengamati bahwa demokrasi liberal hanya akan tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat yang perkembangan Kapitalismenya relatif tinggi. Dengan kata
lain, perkembangan demokrasi liberal memiliki korelasi positif / paralel dengan
perkembangan Kapitalisme. Hanya dalam masyarakat Kapitalislah demokrasi
liberal bisa diwujudkan dalam makna sesungguhnya. Machperson mengatakan: