Vous êtes sur la page 1sur 7

Akar Demokrasi; Sekulerisme!

Bila ada kosa kata politik yang paling banyak digunakan akhir-akhir ini itulah
demokrasi. Tidak ada satu kejadian politik pun yang terjadi dibelahan dunia
manapun melainkan digiring menuju pelaksanaan demokratisasi di segala bidang.
Termasuk dalam hal wacana civil society yang dikembangkan oleh beberapa
kalangan belakangan ini pun tidak terlepas dengan konteks diatas, sebab proses
demokratisasi berjalan bila melibatkan peran serta rakyat sebagai pemegang
kedaulatan dan bertindak sebagai kekuatan penyeimbang negara (counter
balancing the state) yang dirasakan bersifat eksesif dan hegemonik terhadap rakyat
atau dapat diistilahkan civil society ini bersikap opositif terhadap negara. Dengan
pemberdayaan civil society ini diharapkan kultur demokrasi bisa tumbuh dan
berkembang dengan melibatkan peran individu / kelompok diluar lingkaran
kekuasaan untuk menentukan berbagai macam pola kebijakan. Oleh karenanya
kajian komprehensif mengenai demokrasi sebagai main target pemberlakuan civil
society menjadi sesuatu yang urgen.
Adanya korelasi antara dua gagasan ini tidaklah sulit untuk dipahami, karena
banyaknya tulisan yang menunjukkan hal tersebut. Dalam pandangan Giovani
Sartoni, demokrasi

bukan otoritarianisme,

bukan totalitarianisme,

bukan

absolutisme dan bukan kediktatoran. Sartoni mengatakan demokrasi adalah suatu


sistem dimana tidak seseorangpun dapat memilih dirinya sendiri, tidak seorangpun
memberikan kepada dirinya sendiri suatu kekuasaan pemerintahan dan karenanya,
tidak seorangpun merebut kekuasaan untuk dirinya secara tidak terkontrol dan
tidak terbatas.
Pada titik inilah persinggungan antara demokrasi dan civil society. Intinya
keduanya memberikan ruang gerak dan aspirasi politik bagi kelompok-kelompok
masyarakat agar dapat eksis dan bergerak.

Tapi mungkinkah seluruh aspirasi

politik itu tertampung didalam demokrasi? Satu pertanyaan yang senantiasa dicaricari alibinya oleh pengusung demokras.
Satu hal yang harus difahami didalam mengetahui hakekat demokrasi, bahwa
demokrasi tidak bisa dilepaskan dari konteks latar belakang kemunculannya
(historical background) dan apa yang diinginkan oleh para penggagasnya, sehingga
dari sanalah kita akan memperoleh deskriptif yang obyektif bukan subyektif,
sebagai prasyarat berfikir yang rasional.
Demokrasi merupakan kata yang mempunyai konotasi istilah yang khas, yang
sengaja di pergunakan oleh pencetusnya untuk menyebut sistem pemerintahan
tertentu, yang di bangun berdasarkan asas rakyat sebagai sumber kekuasaan, yang
antara lain rakyat di beri hak membuat undang-undang dan sistem atau yang lazim
dipahami dengan istilah kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat ini eksis bilamana
rakyat berkuasa bila individu memiliki kesamaan hak berpartisipasi dalam proses
politik dan bila satu-satunya tujuan pemerintah adalah menjamin kepentingan
seluruh rakyat, dan bukan orang-orang dari lapisan atau kelompok kepentingan
tertentu.
Ini merupakan posisi teoritis. Arti penting praktisnya adalah bahwa konsep ini
mewakili suatu tujuan di mana rezim-rezim politik yang mengaku menghargai
kedaulatan rakyat harus berusaha mencapainya. Dalam pengertian praktis,
kedaulatan harus dinyatakan dengan tegas melalui pranata yang tidak mesti
sempurna, tetapi setidak-tidaknya memungkinkan rakyat memilih wakil-wakil dan
baik secara langsung (direct) atau tidak langsung (indirect)- , memilih suatu
pemerintahan. Pemerintahan adalah sumber legitimasi politiknya.
Symptom ideologi ini muncul sebagai counter atas dominannya penguasa Eropa
pada abad pertengahan yang gelap the dark middle age- yang berasumsi bahwa
mereka adalah wakil tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat berdasarkan
kekuasaan tuhan. Saat itu para raja dan kaisar memanfaatkan agama (kristiani)

untuk mengeksploitasi dan mendzalimi rakyat. Akibatnya berkobarlah pergolakan


sengit antara penguasa (para raja)dengan filosof yang mewakili rakyat.
Para filosof beranggapan, bahwa pergolakan itu pada intinya antara kelompok
pencerahan mereka sendiri dan para pembawa kegelapan gereja-gereja kristen
ortodoks yang telah mapan. Mereka merasakan agama (kristen) terutama
sebagaimana direfleksikan dalam perjanjian lama, yang membentuk rentetan
dogma dosa asal dan visi mesianis penyelamatan duniawi lainnya. Padahal,
manusia menurut mereka, memiliki kapasitas alamiah untuk berbuat kebajikan,
atau kebebasan untuk berbuat kesempurnaan.
Disamping menolak apa yang mereka pandang sebagai dogmatisme teologi kristen,
mereka juga mengecam tradisi filsafat spekulatif, yang berpuncak dalam sistem
besar metafisika abad ke tujuh belas. Kosmologi Descartes, Leibniz, Spinoza dan
Malebranche di zaman pencerahan dipuji karena keluasan ilmunya tetapi pada saat
yang sama ditolak karena keabstrakannya, begitulah kesan yang di tanamkan oleh
apa yang di lukiskan oleh dAlembert sebagai semangat sistem ketimbang
semangat sistematik dari zamannya yang tercerahkan.
Diatas semua itu, para filosof yakin bahwa pendahuluan-pendahuluan metafisika
mereka juga banyak menekankan perhatian kepada prinsip-prinsip pertama
pemerintahan, dan tidak cukup pada maksud, tujuan, fungsi dan kegunaan
pemerintahan. Perhatian pemikir-pemikir abad ke tujuh belas tercurah kepada
masalah kedaulatan dan sumbernya, apakah kedaulatan harus absolut atau terbatas,
apakah merupakan pemberian tuhan atau prestasi persetujuan masyarakat.
Setelah melewati konfrontasi yang berkepanjangan, pergolakan ini menemukan
ending-nya dengan suatu jalan tengah (kompromistis). Para gerejawan harus
mengakui mengakui hak-hak politik publik , sekaligus mengakhiri hak suci raja /
kaisar (Divine Right of Kings) dan pemikir pun harus mengakui keberadaan
agama, tetapi dibatasi dalam lingkup yang bersifat privacy. Sejak saat itulah

kedaulatan yang sebelumnya berada di tangan para raja di alihkan ke tangan


rakyat. Jargon vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan) adalah harga
mutlak menggantikan slogan Ietat cest moi (saya adalah negara) maka
pemerintah adalah implementasi dari kedaulatan rakyat, sebagai institusi politik
resmi yang akan melaksanakan volonte generale (keinginan rakyat). Momentum
bersejarah inilah yang kemudian melahirkan demokrasi dan mengakhiri era
kekuasaan absolut para raja dan teokrasi di Eropa pada waktu itu.
Sekulerisme benar-benar menggembirakan hati para pemikir dan filosof. Tidak ada
lagi gereja yang memenjarakan kebebasan berfikir mereka. Politik dan segala
urusan duniawi telah menjadi sangat bebas nilai. Tidak ada satupun yang
membatasi; tidak nilai agama dan tidak pula nilai moral.
Mulailah para filosof dan pemikir mulai membahas permasalahan pemerintahan
dan menyusun konsep sistem pemerintahan demokratis yang menempatkan rakyat
sebagai sumber hukum dan kekuasaan yang tidak terikat dengan nilai-nilai
spiritualitas agama. Jadilah gagasan-gagasan demokrasi sebagai platform sebuah
negara yang ideal dan menjadi pusat perhatian para pemikir semisal Rousseau,
John Locke, Voltaire, Montesquieu dan lain-lain. Mereka inilah tokoh-tokoh yang
banyak merumuskan gagasan demokrasi Barat yang inheren sampai kondisi
kontemporer saat ini. Rosseau dan John Lock merumuskan teori kontrak sosial
sedangkan Montesquieu merumuskan trias politica .
Jadi, hakekatnya, demokrasi tidak bisa melepaskan dirinya dari landasan
epistemologisnya yang berwatak sekuler.
Harvey Cox mengemukakan sebagaimana yang dikutip oleh Amin Rais (1991);
komponen-komponen sekulerisasi adalah disenchanment of nature, desakralisasi
politik, dan dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of Nature berarti pembebasan
alam dari nilai-nilai agama agar masyarakat dapat melakukan perubahan dan
pembangunan dengan bebas. Desakralisasi politik bermakna penghapusan

legitimasi sakral (agama) atas otoritas dan kekuasaan. Hal ini merupakan syarat
untuk mempermudah kelangsungan perubahan sosial dan politik dalam proses
sejarah. Sementara itu, dekonsentrasi nilai-nilai maknanya adalah perelatifan setiap
sistem nilai, termasuk nilai-nilai agama, supaya manusia bebas mendorong
perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi dengan nilai-nilai agama yang
bersifat absolut.
Inilah makna kata-kata demokrasi yang di konklusikan oleh sebagian orang dengan
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sehingga ketika kata
demokrasi di ucapkan, itu artinya mengandung konotasi makna-makna tersebut.
Dalam kenyataannya, demokrasi memang meremehkan nilai-nilai agama dan
memandang agama sebagai masa lalu yang sudah tidak tidak lagi memiliki
bargaining sama sekali dalam masalah pemerintahan. Agama hanya dibiarkan
tumbuh dan berkembang hanya sebatas pada kehidupan individu, sedangkan upaya
untuk melegal-formalkan aturan yang berasal dari tuhan (Allah) dalam sebuah
pranata negara dianggap sebagai tindakan yang ademokratis, sekalipun mayoritas
masyarakat menginginkannya.
Di era modern, gagasan ini di adopsi oleh sistem ideologi kapitalisme sebagai
standar format politik mereka. Ini wajar mengingat demokrasi dan Kapitalisme
merupakan induk sekulerisme yang merupakan satu kesatuan organik yang tidak
bisa di pisahkan. Machperson dalam bukunya The Real World of Democracy
(1971) mengamati bahwa demokrasi liberal hanya akan tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat yang perkembangan Kapitalismenya relatif tinggi. Dengan kata
lain, perkembangan demokrasi liberal memiliki korelasi positif / paralel dengan
perkembangan Kapitalisme. Hanya dalam masyarakat Kapitalislah demokrasi
liberal bisa diwujudkan dalam makna sesungguhnya. Machperson mengatakan:

Liberal democracy is found only in countries whose economic system is wholly


predominantly that of capitalist enterprise. And, with few and mostly temporary
exception, every capitalist country has a liberal democratic political system.
Artinya, demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang harus diterapkan oleh
negara-negara kapitalis yang mengikuti serta meniru-niru negara-negara kapitalis.
Sehingga seringkali penganut kapitalisme menyebut ideologi mereka sebagai
sistem demokrasi, walaupun pada hekekatnya penyebutan ini tidak tepat. Hal ini
dikarenakan; pertama, demokrasi bukanlah pemikiran orisinil kaum kapitalis.
Orang Yunani telah lebih dulu mencetuskannya. Kedua, kaum kapitalis bukan satusatunya pihak yang menerapkan demokrasi, karena kaum Sosialis-Marxis juga
mengklaim diri mereka sebagai kaum demokrat. Sampai di akhir hayat ideologi
Sosialisme, kaum sosialis tetap mengklaim bahwa mereka telah menerapkan
demokrasi.
Seiring dengan perkembangan zaman, gagasan ini mencuat kembali setelah
menemukan momentumnya dengan runtuhnya rezim otoritarianisme di Uni
Sovyet, faktor penting yang menyebabkan demokrasi menjadi obsesi politik dunia
(World Political Obsetion). Berakhirnya perang dingin (cold war) antara blok Barat
yang di wakili oleh AS dan blok Timur yang diwakili oleh Uni Sovyet telah
merubah paradigma politik global. Perubahan paradigma itu ditandai dengan
adanya perubahan pendekatan dari persoalan-persoalan militerisasi, perang
konvensional, penjajahan fisik kepada persoalan-persoalan demokrasi dan hak-hak
asasi manusia.
Akan tetapi, perubahan paradigma ini tidak merubah secara mendasar pola
pendekatan Kapitalisme dalam usahanya untuk mengangkangi dunia. Perubahan
tersebut hanya bersifat artifisial semata. Karena symptom tersebut tidak merubah
kultur Kapitalisme yang berwatak imperialis. Terbukti dengan adanya paksaan
kepada setiap dunia untuk melegislasi sistem pemerintahan ini. Implikasinya setiap

negara yang tidak membangun hierarkhi sistemnya selain diatas landasan


demokrasi akan teralienasi dari struktur interaksi politik global dan sah untuk di
hancurkan.

Vous aimerez peut-être aussi