Vous êtes sur la page 1sur 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma bukan hanya masalah kesehatan masyarakat untuk negara-negara
berpenghasilan tinggi terlepas dari tingkat perkembangan. Lebih dari 80%
kematian asma terjadi dinegara-negara berpenghasilan rendah dan menengah
kebawah. Asma adalah penyakit kronis yang ditandai dengan serangan berulang
dari sesak napas dan mengi, yang bervariasi dalam keparahan dan frekuensi dari
orang ke orang. Gejala dapat terjadi beberapa kali dalam sehari atau minggu pada
individu yang terkena, dan bagi sebagian orang menjadi lebih buruk selama
aktivitas fisik atau pada malam hari.1
Menurut World Health Organization (WHO) May 2011 memperkirakan, 235
juta orang menderita asma. Asma kurang terdiagnosis dan kurang diobati,
menciptakan beban besar untuk individu dan keluarga dan mungkin membatasi
aktivitas individu untuk seumur hidup. Kematian asma akan meningkat dalam 10
tahun kedepan jika tindakan segera tidak diambil. Asma tidak dapat disembuhkan,
tetapi diagnosis yang tepat, pengobatan dan pendidikan pasien dapat
menghasilkan kontrol asma yang baik dan manajemen. 1
Didefenisikan sebagai asma jika pernah mengalami gejala sesak napas yang
terjadi pada salah satu atau lebih kondisi; terpapar udara dingin dan/atau debu
dan/atau asap rokok dan/ atau stress dan / atau flu atau infeksi dan/ atau kelelahan
dan/atau alergi disertai salah satu atau lebih gejala: mengi dan/ sesak napas
1

berkurang atau menghilang dengan pengobatan dan/atau sesak napas berkurang


atau menghilang tanpa pengobatan dan/atau sesak napas lebih berat dirasakan
pada malam hari atau menjelang pagi dan jika pertama kali merasakan sesak
napas saat berumur<40 tahun (usia serangan terbanyak). 2
Menurut hasil penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi
penderita asma di indonesia adalah 4% (BPPK, 2007). Lalu pada penelitian
tentang profil kesehatan di Indonesia oleh Depkes R.I. (2009) dilaporkan terdapat
1,24% penderita asma di Sumatera Utara. Berdasarakan Riskesdas 2007,
Balitbangkes, Kemenkes RI pada tahun 2007 ada (18) delapan belas provinsi yang
mempunyai prevalensi penyakit asma melebihi angka nasional yaitu Gorontalo,
Sulawesi Tengah, Papua Barat, Kalimantan Selatan, Aceh, Nusa Tenggara Timur,
Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Bangka Belitung,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Bali, Kalimantan Barat,
Sumatera Barat, Papua, dan DI Yogyakarta. Sedangkan provinsi yang mempunyai
prevalensi dibawah angka nasional yaitu Banten, Riau, Jambi, Kalimantan Timur,
Maluku, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Bengkulu, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara,
Maluku Utara, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Lampung. 3
Pada tahun 2007 dibandingkan dengan 2013 didapat kenaikan prevalensi
penyakit Asma secara nasional sebesar 1%. Akan tetapi terdapat perbedaan dalam
mendiagnosispenyakit Asma di Riskesdas 2007 melalui wawancara berdasarkan
diagnosa oleh tenaga kesehatan atau dengan gejala sedangkan Riskesdas 2013
melalui wawancara semua umur berdasarkan gejala. 3

Berdasarkan Riskesdas 2007 terdapat peningkatan prevalensi Asma seiring


bertambahnya usia, dimana umur <1 tahun prevalensinya sebesar 1,1% dan umur
75+ sebesar 12,4% ini bisa saja bukan murni penyakit Asma, untuk
mengidentifikasi/mendiagnosa Asma pada orang tua itu bisa saja menjadi sulit,
karena gejala Asma hampir sama dengan gejala penyempitan saluran nafas pada
PPOK, berupa sesak dan batuk. Sementara berdasarkan Riskesdas 2013 terlihat
bahwa umur 25-34 tahun mempunai prevalensi Asma tertinggi yaitu sebesar 5,7%
dan umur <1 tahun memiliki prevalensi Asma terendah sebesar 1,5%. 3
Terlihat bahwa prevalensi Asma pasien rawat inap berdasarkan umur
tertinggi pada umur 45-64 tahun yaitu sebesar 25,56% dan prevalensi terendah
usia 0-6 hari sebesar 0,10%. Sedangkan prevalensi Asma pasien rawat jalan
berdasarkan umur tertinggi pada umur 25-44 tahun yaitu sebesar 24,05% dan
prevalensi terendah usia 0-6 hari sebesar 0,13%.3
Pada prevalensi Status Asmatikus pasien rawat inap berdasarkan umur
tertinggi pada umur 25-44 tahun yaitu sebesar 31,56% dan prevalensi
terendahusia 7-28 hari sebesar 0,05%. Sementara prevalensi Status Asmatikus
pasien rawat jalan berdasarkan umur tertinggi pada umur 25-44 tahun yaitu
sebesar 29,95% dan prevalensi terendah usia 7-18 hari sebesar 0,43%. 3
Berdasarkan survey awal yang dilakukan di poli paru RSU Haji Medan
tentang kasus Asma periode 2015 yaitu 62 jumlah kasus. Terkait dengan kondisi
RSU Haji Medan yang merupakan rumah sakit rujukan dan dijumpai kasus Asma
maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai beberapa faktor

risiko penderita yang berhubungan dengan penyakit asma pada orang dewasa di
Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2015.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditentukan sebagai suatu
rumusan masalah adalah Belum diketahui faktor risiko apa saja dari penderita
yang berhubungan dengan penyakit asma pada orang dewasa di Rumah Sakit
Umum Haji Medan tahun 2015 .

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui beberapa faktor risiko penderita yang berhubungan
dengan penyakit asma pada orang dewasa di Rumah Sakit Umum Haji Medan
tahun 2015.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan genetik penderita dengan penyakit asma pada
orang dewasa di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2015.
2. Untuk mengetahui hubungan riwayat alergi penderita dengan penyakit
asma pada orang dewasa di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2015.
3. Untuk mengetahui hubungan gender penderita dengan penyakit asma pada
orang dewasa di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2015.
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi peneliti


Manfaat yang diperoleh dalam melakukan penelitian ini adalah peneliti
mampu mengetahui beberapa faktor risiko penderita yang berhubungan dengan
penyakit asma pada orang dewasa di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun
2015.
1.4.2 Manfaat bagi Rumah Sakit Umum Haji Medan
Manfaat yang diperoleh dalam melakukan penelitian ini adalah
memberikan bahan informasi mengenai ada atau tidaknya hubungan faktor risiko
penderita dengan penyakit asma untuk meningkatkan pelayanan terhadap
penderita asma di instansi kesehatan yang bersangkutan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Asma
Asma bronchial adalah penyempitan bronkus yang bersifat reversible yang
terjadi oleh karena bronkus yang hiperaktif mengalami kontaminasi dengan
antigen.4
2.2 Faktor Resiko Asma
1.Genetik
Pola herediter komplek dan asma tidak dapat diklasifikasikan secara
sederhana cara pewarisannya seperti autosomal dominan, resesif. Namun dari
studi genetik telah menemukan multiple chromosomal region yang berisi gen-gen
yang memberi kontribusi asma. Kadar serum IgE yang tinggi telah diketahui ada
hubungan dengan kromosom 5q, 11q dan 12q. Secara klinik ada hubungan kuat
antara hiperresponsif saluran nafas dengan dan peningkatan kadar IgE.
2.Gender dan ras
Asma pada anak lebih sering dijumpai pada anak laki laki tetapi menjadi
berlawanan pada pubertas dan dewasa. Prevalensi secara keseluruhan wanita lebih
banyak dari pria. Di Amerika Serikat ras kulit hitam diketahui mempunyai resiko
tinggi kematian, tidak tergantung status sosial ekonomi dan pendidikan.

3.Faktor lingkungan

Dari beberapa studi epidemiologi telah menunjukkan korelasi antara


paparan allergen dan prevalensi asma dan perbaikan asma bila paparan allergen
menurun. Alergen hewan (kucing,anjing), allergen kecoak dan jamur.
4.Polusi udara
Polusi diluar dan didalam rumah mempunyai kontribusi perburuakn gejala
asma dengan peningkatan hiperesponsif saluran nafas dan peningkatan respon
terhadap allergen.5
2.3. Patofisiologi
Yang sering terserang adalah bronkus dengan ukuran 3-5 mm akan tetapi
distribusinya meliputi daerah yang luas. Walaupun asma pada prinsipnya adalah
suatu kelainan pada bagian jalan pernafasan, akan tetapi dapat pula menyebabkan
terjadinya gangguan pada bagian funsional paru. Gangguan ini disebabkan karena:
a.Peningkatan resisteentinsi udara respirasi dimana akan mengganggu rasio
fentilasi perfusi.
b.Terdapatnya air tapering (perangkat udara menyebabkan seolah-olah volume
inspirasi lebih besar dari ekspirasi.
c.Terdapatnya mukus dengan viskositas yang tinggi didalam lumen bronkus
dimana dapat menimbulkan gangguan ventilasi, dapat menyebabkan terjadinya
obstruksi total.
d.Selain bronkospasme dapat pula terjadi edema pada saluran pernafasan yang
mana dapat mengganggu pertukaran gas didalam sistem pernafasan.

e.Pada setiap serangan yang pertama produksi mukus lalu bertambah.


f.Infeksi yang menghasilkan eksudat dapat mengganggu bagian jalan pernafasan
maupun fungsional dari jaringan.
g.Pada tingkat permulaan dari suatu asma yang berat PaCO2 dan pH darah selalu
konstan.
2.4. Gejala klinis Asma
Asma bukan suatu penyakit spesifik tetapi merupakan sindrom yang
dihasilkan mekanisme multiple yang akhirnya menghasilkan kompleks gejala
klinis termasuk obstruksi jalan nafas reversible. Ciri-ciri yang sangat penting dari
sindrom ini, seperti dispnea, suara mengi, obstruksi jalan nafas reversible terhadap
bronkodilator bronkus yang hiperesposif terhadap berbagai stimulus baik yang
spesifik maupun yang non spesifik, dan peradangan saluran pernafasan. Semua
ciri-ciri tadi tidak harus terdapat bersamaan. Serangan asma ditandai dengan
batuk, mengi, serta sesak nafa. Gejala yang sering terlihat jelas adalah
penggunaan otot nafas tambahan, timbulnya pulsus paradoksus, timbulnya
Kussmauls sign. Pasien akan mencari posisi yang enak, yaitu duduk tegak dengan
tangan berpegangan pada sesuatu agar bahu tetap stabil, dengan demikian otot
tambahan dapat bekerja dengan lebih baik. Takikardi akan timbul diawal
serangan, kemudian diikuti sianosis sentral.6,7,8
2.5.Pemeriksaan fisik Asma

Hasil temuan fisik pada saat serangan asma adalah akibat dari : 1.Efek ung
penyempitan saluran nafas difus dan hipersekresi mukus. 2.Tidak langsung
sebagai akibat dari peningkatan kerja nafas,peningkatan kebutuhan metabolik.
a.Takipnoe dan takikardi. Adalah tanda umum yang dijumpai pada asma akut .
Pernafasan antar 25-28 kali permenit dan rata-rata detak jantung 100 kali per
menit.Pernafasan > 30 kali per menit dan detak jantung > 120 kali per menit tidak
jarang dijumpai.
b.Wheezing difus adalah khas untuk asma tetapi keberadaan tidak dapat
memprediksi berat ringan asma. Wheezing dapat dideteksi dengan stetoskop
secara umum wheezing yang dujumpai saat inspirasi dan ekspirasi wheezing keras
dan nadi tinggi ada hubungan dengan obstruksi dengan saluran nafas berat. Pada
asma yang lebih berat wheezing bisa tidak terdengar. Hal ini menunjukkan
pertukaran gas yang sangat terganggu dan sudah dalam bahaya gagal nafas.
Penggunaan otot nafas tambahan, pulsus paradoksus dan banyak keringat adalah
tanda-tanda obstruksi saluran nafas berat. Sianosis dan tanda-tanda asidosis
respiratorik akut menunjukkan kasus berat.5,7
2.6. Pemeriksaan penunjang
1.Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat dibagi atas:

A.Pemeriksaan sputum

Pada pemeriksaan sputum ditemukan :


a.Kristal-kristal Charcot Leyden yang merupakan degranulasi dari Kristal
eosinofil.
b.Terdapatnya spiral Curschmann, yakni spiral yang merupakan cast cell (sel
cetakan) dari cabang-cabang bronkus.
c.Terdapatnya creole yang merupakan fragment dari epitel bronkus
B.Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah yang rutin diharapkan terjadi peningkatan eosinofil
sedangkan leukosit dapat meningkat atau normal.
a.Analisis gas darah pada umumnya normal,akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia,hiperkapnia,atau asidosis.
b.Kadang-kadang pada darah terdapat peningkatn dari SGOT dan LDH.
c.Hiponatremia,dan kadar leukosit kadang-kadang diatas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
d.Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu
serangan dan menurun pada waktu pasien bebas dari serangan.

2.Pemeriksaan radiologi

10

Gambaran radiologi pada asma umumnya normal.pada waktu serangan


menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolucent yang
bertambah dan pelebaran rongga intercostals,serta diafragma yang menurun.
3.Pemeriksaan faal paru
Pada pemeriksaan ini tingkat serangan dapat diketahui dengan mengukur vital
capacity (kapasitas vital),FEVI,dan VRC. Berdasarkan pemeriksaan faal paru
maka dapat diambil kesimpulan :
a.Bila FEVI

lebih kecil dari 40% maka 2/3 dari pasien akan menunjukkan

penurunan tekana sistol dan bila lebih rendah dari 50% maka seluruh pasien akan
menunjukkan penurunan tekanan sistol.
b.Setiap pasien menunjukkan peningkatan resistensi jalan pernafasan dan
penurunan expiratoryflow rate (kecepatan aliran ekspirasi).
c.FRC lebih kecil dari 1 liter.
d.Peningkatan fluktasi dari tekanan intrapleura.
2.7.Penatalaksanaan
Ada 2 macam terapi asma : terapi simtomatik menggunakan relievers, yaiu
bronkodilator (agonis ,teofilin) dan disease-modifyng therapy

yang

menggunakan obat anti inflamasi (kortikosteroid,kromolin,antileukotrien) saat


terjadi serangan asma yang digunakan ada relievers dibantu dengan diseasemodifyng therapy . Setelah serangan dapat diatasi dan periode asimtomatik telah

11

tercapai, obat yang digunakan hanya disease-modifyng therapy atau bahkan


tanpa obat lagi, tetapi penderita dibekali peak flow meter untuk memantau arus
puncak.6,7,8
Pengobatan standar asma bronchial adalah pemberian agonis -2 yang
menyebabkan relaksasi otot polos saluran pernapasan dan menghambat kerja
mediator yang dilepas sel mast. Pemberian agonis -2 dilakukan secara inhalasi
karena pemberian secara perenteral tidak terlalu memberikan hasil berbeda.
Pemberian secara parenteral baru dilakukan jika pemberian secara inhalasi tidak
memberikan hasil yang diharapkan. Pemeberian agonis -2 memberikan efek
samping, seperti takikardi, hipokalemia, aritmia, tremor, iskemia miokardial, dan
asidosis asam laktat. Sebaliknya, pemberian agonis -2 memberikan efek
samping, seperti takikardia, hipokalemia, aritmia, tremor, iskemia miokardial, dan
asidosis asam laktat. Sebaliknya, pemberian agonis -2u cenderung menyebabkan
detak jantung menurun. Itu sebabnya pemberian inhalasi menjadi pilihan utama
dibandingkan dengan pemberian secara parenteral. Pemberian agonis -2
cenderung menyebabkan detak jantung menurun. Itu sebabnya pemberian inhalasi
menjadi pilihan utama dibandingkan dengan pemberian secara parenteral.
Pemberian agonis -2 dapat berupa adrenalin atau salbutamol. Antikolinergik
bukan pengobatan lini pertama, tetapi dapat digunakan untuk menolong serangan
asma ringan maupun sedang. Pada serangan asma berat, pengobatan lini pertama
sebaiknya disertai dengan pemberian obat antikolinergik. Antikolinergik yang
diberikan secara inhalasi adalah ipratopium bromide dengan MDI atau wet
nebulization (WN). Jika diberikan secara parenteral, antikolinergik yang

12

digunakan adalah atropine sulfat. Kortikosteroid sangat bermanfaat dalam


pengobatan asma bronchial, tetapi efeknya lambat baru tampak setelah beberapa
jam. Oleh karena itu, kortikosteroid sebaiknya diberikan pada saat mulai tampak
adanya serangan asma. Kortikosteroid yang dberikan berupa methylprednisolon.
Pada saat serangan asma, pemberian kortikosteroid per inhalasi tidak dapat
memberikan manfaat.6

BAB III

13

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS


3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Variabel bebas

Variabel terikat

(variabel independent)

(variabel dependen)

Faktor Resiko:
1Genetik

Penderita Asma

2.Riwayat Alergi
3.Gender
Gambar 3.1 Kerangka konsep Penelitian
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel

Asma

Definisi

Alat

Operasional

Ukur/

Gangguan

cara ukur
Rekam

saluran

nafas medik

kronik

yang

Hasil Ukur

Skala
Ukur

a. Ya
b. Tidak

Ordinal

ditandai dengan
wheezing/mengi
Variabel

.
Definisi

Alat

Operasional

Ukur/

14

Hasil Ukur

Skala
Ukur

Genetik

cara ukur
Rekam

Faktor

a. Ya
b. Tidak

Nominal

a. Ya
b. Tidak

Nominal

a. Laki-laki
b. Perempuan

Nominal

keturunan yang medik


dimaksud
adalah

adanya

riwayat

asma

dalam keluarga
Riwayat

yaitu orang tua.


Adanya riwaat Rekam

Alergi

alergi

(respon medik

berlebihan
terhadap

suatu

zat

misal

makanan,debu
Gender

atau obat).
Jenis
kelamin Rekam
pasien

yang medik

tercantum dalam
rekam medis.

3.3 Hipotesis
1. Tidak ada hubungan genetik penderita dengan penyakit asma pada orang
dewasa di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2015

15

2. Tidak ada hubungan riwayat alergi penderita dengan penyakit asma pada orang
dewasa di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2015
3. Tidak ada hubungan gender penderita dengan penyakit asma pada orang dewasa
di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2015

BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
16

Jenis penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode survei yang


bersifat analitik yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan untuk mencari
hubungan antarvariabel dengan pendekatan case control untuk mengetahui
beberapa faktor risiko penderita yang berhubungan dengan penyakit asma pada
orang dewasa di Rumah Sakit Haji Kota Medan tahun 2015.9,10
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
4.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga bulan September
2015.
4.2.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Haji Kota Medan.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi Kasus
Populasi Kasus adalah semua penderita Asma yang datang berobat ke
Rumah Sakit Haji Kota Medan periode Januari 2015 sampai dengan Juli 2015.
Populasi Kontrol adalah semua penderita Asma dan bukan penderita Asma
di Rumah Sakit Haji Kota Medan periode januari 2015 sampai dengan Juli 2015
Kasus
Faktor risiko (+)

17

Kontrol

Jumlah

a+b

Faktor risiko (-)


Jumlah

c+d

a+c

b+d

+b+c+d

4.3.2 Sampel
Sampel penelitian ini adalah semua penderita asma yang berobat di Rumah
Sakit Umum Haji dengan teknik pengambilan sampel kasus dalam penelitian
adalah Simple Random sampling.9,10
4.4 Jenis Data dan Prosedur Penelitian
4.4.1 Jenis Data Penelitian
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
hasil rekam medik. Data sekunder yang di peroleh dari catatan medik penderita
asma.
4.4.2 Prosedur Penelitian
Data yang dibutuhkan seperti genetik, riwayat alergi dan gender
didapatkan dari hasil Rekam Medik di Rumah Sakit Haji Kota Medan tahu 2015.

4.5 Metode Analisis Data


Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan program SPSS.
Analisa data meliputi:
1. Analisis Univariat

18

Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel


dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel.
Analisis yang telah dilakukan dengan distribusi frekuensi dari tiap-tiap
variabel independen dan variabel dependen.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk menguji hipotesis hubungan antara
variabel bebas dan variabel terikat, dengan uji statistik Chi Square(X2)
dengan derajat kemaknaan 5% (alpha 0.05) atau tingkat kepercayaan 95%,
selanjutnya untuk kesimpulan dilihat nilai p value dari hasil Chi Square,
dimana bermakna jika nilai p < 0.05.
Keputusan dari pengujian Chi-square:
a. Jika p value (0,05), Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen.
b. Jika p value> (0,05), Ho diterima yang berarti tidak ada hubungan
antara variabel independen dengan variabel dependen.

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Asthma. Switzerland. 2015

19

http://www.who.int/respiratory/asthma/en (diakses tanggal 2 Agustus


2015)
2. KEMENKES. Hasil Riskesdas 2013-Kementrian kesehatan Republik
Indonesia oleh BPDANP KESEHATAN. Jakarta.2013
www.depkes.go.id. (diakses tanggal 2 Agustus 2015)
3. Pusat data dan Informasi Kementerian kesehatan RI. You can control your
asthma. Jakarta. 2010
http://www.depkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatin-infodatin.html (diakses tanggal 2 Agustus 2015)
4. Rab Tabrani. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media. 2010
5. Wibiono Jusuf. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010.

Surabaya: FK

UNAIR. 2010
6. Djojodibroto Darmanto. Respirologi. Jakarta: EGC. 2009
7. Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi; konsep klinis proses-prses
penyakit.Jakarta: EGC. 2005
8. Djuanda A, Hamzah M, Aisah A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed.
Jakarta:Badan Penerbitan FKUI; 2011.
9. Notoatmodjo S.Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
2010

20

10. Budiarto Eko. Pengantar epidemiologi. Jakarta: EGC.2002

21

Vous aimerez peut-être aussi