Vous êtes sur la page 1sur 24

BAB II

TINJAUAN TEORI

Bab ini akan menjelaskan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan stres
dan tidur. Teori-teori tersebut meliputi konsep stres yang terdiri dari pengertian,
penyebab, jenis, respon, gejala, tingkat, dan dampak stres, dan konsep tidur yang
terdiri dari pengertian, fungsi, fisiologi, tahapan, siklus, dan faktor yang
mempengaruhi tidur.
A. Konsep Stres
1. Pengertian Stres
Stress sebagai ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi
oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia, yang pada suatu saat
dapat

mempengaruhi

kesehatan

fisik

manusia

tersebut.

Dengan

mengesampingkan berbagai sudut pandang (mental, emosional, fisik, atau


spiritual) yang dipakai untuk mengkaji stress, disepakati bahwa stress
adalah persepsi kita terhadap situasi atau kondisi di dalam lingkungan kita
sendiri. Baik nyata maupun imajinasi, persepsi terhadap stress sebenarnya
berasal dari perasaan takut atau marah. Perasaan ini dapat diekspresikan
dalam sikap tidak sabar, frustasi, iri, tidak ramah, depresi, bimbang,
cemas, rasa bersalah, khawatir, atau apati. (Widyastuti, P dan Devi
Yulianti, 2004). Pendapat lainnya mengartikan stres sebagai respon yang
tidak dapat dihindari oleh individu yang diperlukan untuk memberikan
stimulus terhadap perubahan dan pertumbuhan (Selye 1976 dalam Potter &
Perry, 2005).
8

2. Penyebab Stres
Penyebab stres (stresor) adalah segala situasi atau pemicu yang
menyebabkan individu merasa tertekan atau terancam. Stresor yang sama
akan dinilai berbeda oleh setiap individu. Penilaian individu terhadap
stresor akan mempengaruhi kemampuan individu untuk melakukan
tindakan pencegahan terhadap stresor yang membuat stres (Safaria &
Saputra, 2009)
Potter & Perry (2005) mengklasifikasikan stresor menjadi dua, yaitu
stressor internal dan stresor eksternal. Stresor internal adalah penyebab
stres yang berasal dari dalam diri individu, dan stresor eksternal adalah
penyebab stress yang berasal dari luar diri individu. Kausar (2010)
mengatakan bahwa penyebab stres yang terjadi pada mahasiswa selama
menjalani perkuliahan adalah tuntutan akademik, penilaian sosial,
manajemen waktu serta persepsi individu terhadap waktu penyelesaian
tugas, kondisi ujian, kondisi perbedaan bahasa yang digunakan, dan biaya
perkuliahan.
Penelitian Anatan & Ellitan (2009) mengatakan factor lain yang
juga mempengaruhi stress seserorang adalah perubahan ekonomi dan
finansial, munculnya konflik antar personal, interpersonal, dan antar
personal.

10

3. Penggolongan stress
Apabila ditinjau dari penyebab stress, menurut Sri Kusmiati dan
Desminiarti (1990) dalam penelitian Humaidi (2006), dapat digolongkan
sebagai nerikut:
a. Stress Fisik, disebabkan oleh suhu atau temperatur yang terlalu tinggi
atau rendah, suara amat bising, sinar yang terlalu terang, atau tersengat
arus listrik.
b. Stress kimiawi, disebabkan oleh asam-basa kuat, obat-obatan, zat
beracun, hormone atau gas.
c. Stress mikrobiologik, disebabkan oleh virus, bakteri atau parasite yang
menimbulkan penyakit.
d. Stress fisiologik, disebabkan oleh gangguan struktur, fungsi jaringan,
organ atau sistemik sehingga menimbulkan fungsi tubuh tidak normal.
e. Stress proses pertumbuhan dan perkembangan, disebabkan oleh
gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi.
f. Stress psikis/emosional, disebabkan oleh gangguan

hubungan

interpersonal, social, budaya atau keagamaan.


Adapun menurut Brench Grand (2000) dalam penelitian Humaidi
(2006), stress ditinjau dari penyebabnya hanya dibedakan menjadi 2
macam, yaitu:
a. Penyebab makro, yaitu menyangkut peristiwa besar dalam kehidupan,
seperti kematian, perceraian, pension, luka batin dan kebangkrutan.
b. Penyebab mikro, yaitu menyangkut peristiwa kecil sehari-hari, seperti
pertengkaran rumah tangga, beban pekerjaan, masalah apa yang akan
dimakan, dan antri.
4. Jenis Stres

11

Para peneliti membedakan antara stres yang merugikan atau


merusak yang disebut sebagai distres dan stres yang menguntungkan atau
membangun, yang disebut sebagai eustres (Safaria & Saputra, 2005). Selye
(1976) dalam Potter & Perry (2005) membagi stres menjadi dua, yaitu
eustres dan distres.
a. Eustres
Eustres adalah stres yang menghasilkan respon individu
bersifat sehat, positif, dan membangun. Respon positif tersebut tidak
hanya dirasakan oleh individu tetapi juga oleh lingkungan sekitar
individu, seperti dengan adanya pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan
adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
b. Distres
Distres adalah stres yang bersifat berkebalikan dengan eustres,
yaitu tidak sehat, negatif, dan merusak. Hal tersebut termasuk
konsekuensi individu dan juga organisasi seperti tingkat ketidakhadiran
(absenteism) yang tinggi, sulit berkonsentrasi, sulit menerima hasil
yang didapat.

5. Tingkat Stres
Setiap Individu mempunyai persepsi dan respon yang berbeda-beda
terhadap stres. Persepsi seseorang didasarkan pada keyakinan dan norma,
pengalaman, dan pola hidup, faktor lingkungan, struktur dan fungsi

12

keluarga, tahap perkembangan keluarga, pengalaman masa lalu dengan


stres serta mekanisme koping. Berdasarkan studi literatur, ditemukan
tingkatan stres menjadi tiga bagian, antara lain :
a. Stres Ringan
Stres ringan adalah stresor yang dihadapi secara teratur yang
dapat berlangsung beberapa menit atau jam. Situasi seperti banyak
tidur, kemacetan atau dimarahi dosen. Lovibond (1995) dalam Purwati
(2012) mengatakan stresor ini dapat menimbulkan gejala, antara lain
bibir sering kering, kesulitan bernafas (sering terengah-engah),
kesulitan menelan, merasa goyah, merasa lemas, berkeringat berlebihan
ketika temperature tidak panas dan tidak setelah beraktivitas, takut
tanpa alasan yang jelas, menyadari denyut jantung walaupun tidak
setelah melakukan aktivitas fisik, tremor pada tangan, dan merasa
sangat lega jika situasi berakhir. Dengan demikian, stresor ringan
dengan jumlah yang banyak dalam waktu singkat dapat meningkatkan
risiko penyakit bagi mahasiswa. Suzanne & Brenada (2008)
mengatakan pada fase ini seseorang mengalami peningkatan kesadaran
dan lapang persepsinya. Stres biasanya berakhir dalam beberapa menit
atau jam dan tidak menimbulkan penyakit kecuali jika dihadapi terus
menerus.
b. Stres Sedang
Stres sedang adalah stres yang terjadi lebih lama, dari beberapa
jam sampai hari. Fase ini ditandai dengan kewaspadaan, fokus pada

13

indra penglihatan dan pendengaran, peningkatan ketegangan dalam


batas toleransi, dan mampu mengatasi situasi yang dapat mempengaruhi
dirinya (Suzanne & Brenada, 2008). Lovibond (1995) dalam Purwati
(2012) mengatakan stresor ini dapat menimbulkan gejala, antara lain
mudah marah, bereaksi berlebihan terhadap suatu situasi, sulit untuk
beristirahat, merasa lelah karena cemas, tidak sabar ketika mengalami
penundaan dan menghadapi gangguan terhadap hal yang sedang
dilakukan, mudah tersinggung, gelisah, dan tidak dapat memaklumi hal
apapun yang menghalangi ketika sedang mengerjakan sesuatu hal, tugas
kuliah. Contoh stres sedang yang sering dihadapi mahasiswa
perselisihan antarteman, tugas yang berlebihan, mengharapkan liburan,
permasalahan keluarga.
c. Stres Berat
Stres berat adalah stres kronis yang terjadi beberapa minggu
sampai tahun. Semakin sering dan lama situasi stres, semakin tinggi
resiko kesehatan yang ditimbulkan (Wiebe & Williams 1992 dalam
Potter & Perry, 2005). Hal tersebut terjadi karena pada tahap ini
individu tidak mampu menggunakan koping yang adaptif, tidak mampu
melakukan kontrol aktifitas fisik dalam jangka waktu yang lama, dan
sulit fokus pada satu hal terutama dalam memecahkan masalah
(Suzanne &Brenada, 2008). Lovibond (1995) dalam Purwati (2012)
mengatakan stressor ini dapat menimbulkan gejala, antara lain merasa
tidak dapat merasakan perasaan positif, merasa tidak kuat lagi untuk
melakukan suatu kegiatan, merasa tidak ada hal yang dapat diharapkan

14

di masa depan, sedih dan tertekan, putus asa, kehilangan minat akan
segala hal, merasa tidak berharga sebagai seorang manusia, berpikir
bahwa hidup tidak bermanfaat. Semakin meningkat stres yang dialami
mahasiswa secara bertahap maka akan menurunkan energi dan respon
adaptif.
Lovibond (1995) , untuk mengukur tingkat stres anak atau remaja
menggunakan alat ukur Depression Anxiety Stress Scale (DASS 42).
DASS dapat digunakan baik itu oleh kelompok atau individu untuk tujuan
penelitian (Psychology Foundation of Australia, 2010). Alat ukur ini
mempunyai 42 pertanyaan untuk mengetahui seberapa tinggi depresi,
kecemasan dan stres yang dialami oleh seseorang. Yang masing-masing
memiliki 14 item pertanyaan. Seseorang dikatakan mengalami stress
ringan jika memiliki skor 0-13, stress sedang apabila memiliki skor 14-27,
dan stress sedang apabila memiliki skor 28-42, dan stress berat apabila
memiliki skor 28-42.
6. Dampak Stres
Stres yang dialami oleh individu akan menimbulkan dampak positif
atau negatif. Rafidah, dkk (2009) menyatakan bahwa stres dapat
meningkatkan kemampuan individu dalam proses belajar dan berpikir.
Dampak negatif stress dapat berupa gejala fisik maupun psikis dan akan
menimbulkan gejala-gejala tertentu. Rice (1992) dalam Safaria & Saputra
(2005) mengelompokkan dampak negatif stres yang dirasakan oleh individu
dalam

lima

gejala,

yaitu

gejala

fisiologis,

psikologis,

kognitif,

15

interpersonal, dan organisasional. Gejala fisiologis yang dirasakan individu


berupa keluhan seperti sakit kepala, sembelit, diare, sakit pinggang, urat
tegang pada tengkuk, tekanan darah tinggi, kelelahan, sakit perut, maag,
berubah selera makan, susah tidur, dan kehilangan semangat.
Selain dampak fisiologis, individu yang mengalami stres akan
mengalami perubahan kondisi psikis berupa perasaan gelisah, cemas,
mudah marah, gugup, takut, mudah tersinggung, sedih, dan depresi.
Perubahan psikologis akibat stres akan mempengaruhi penurunan
kemampuan kognitif, seperti sulit berkonsentrasi, sulit membuat keputusan,
mudah lupa, melamun secara berlebihan dan pikiran kacau. Dampak negatif
stres yang mudah diamati antara lain sikap acuh tak acuh pada lingkungan,
apatis, agresif, minder, dan mudah menyalahkan orang lain.
7. Respon Stres
Individu diharapkan mampu beradaptasi ketika menghadapi stres
sehingga individu kembali berada pada titik keseimbangan diri dan
meimiliki energy untuk menghadapi stresor selanjutnya. Respon adaptasi
yang terjadi dapat berupa adaptasi fisiologi dan psikologi (Brunner, 2001).
Penelitian Selye (1976) dalam Potter & Perry (2005) mengidentifikasi dua
respon stres, yaitu Local Adaptation Syndrome, LAS

dan General

Adaptation Syndrome, GAS.


a. Local Adaption Syndrom (LAS)
LAS adalah respon dari jaringan, organ, atau bagian tubuh
terhadap stres karena trauma, penyakit, atau perubahan fisiologis

16

lainnya. Contohdari LAS adalah respon refleks nyeri dan respon


inflamasi. Karakteristik dari LAS, yaitu respon adaptif dan tidak
melibatkan seluruh system tubuh, memerlukan stressor untuk
menstimulasinya, jangka pendek. Selain itu, respon tidak terjadi terus
menerus dan membantu dalam memulihkan homeostasis region atau
bagian tubuh.
b. General Adaptation Syndrome (GAS)
Selye (1973) dalam Losyk (2005) menyakan bahwa dampak
negative yang terjadi akibat stres dapat dijelaskan menurut teori
sindrom adaptasi umum (general adaptation system, GAS) dari Selye.
GAS adalah respons berpola tertentu terhadap tuntutan ekstra yang
diterimanya. Menurut Selye ada tiga tahap spesifik, yaitu reaksi
peringatan, pertahanan, dan penghabisan.
Tahap peringatan tubuh dihadapkan pada penyebab stres. Individu
menjadi bingung dan kehilangan arah. Tubuh mempersiapkan dirinya
mrlawan stres dengan mengirimkan hormon-hormon berguna ke dalam
aliran darah. Akibatnya, detak jantung dan pernapasan meningkat, ditambah
dengan semakin menegangnya otot-otot pada saat tubuh bersiap-siap
melakukan aksi. Gerakan pertahanan ini membantu kita agar dapat bertahan
terhadap faktor penyebab stres yang kita hadapi.
Tahap kedua merupakan tahap pertahanan. Hormon-hormon di
dalam darah tetap berada pada tingkat tinggi. Tubuh menyesuaikan diri
untuk melawan stres. Penyesuaian ini bisa saja hanya terjadi di dalam

17

sebuah organ tubuh tersendiri maupun sistem organ secara menyeluruh.


Jika stres tingkat tinggi terus berlangsung, keadaan ini sering kali berakibat
pada timbulnya penyakit dalam sebuah organ atau sistem tubuh. Tingginya
tingkat stres ini juga dapat menyebabkan seseorang menjadi gugup, lelah,
dan sering kali marah-marah. Tahap terakhir adalah tahap penghabisan,
tahap di mana jika stres tetap berlangsung, jaringan dan sistem organ tubuh
bisa rusak. Dalam jangka waktu yang panjang, keadaan ini bisa
menimbulkan penyakit atau kematian.
B. Konsep Tidur
1. Pengertian
Tidur merupakan suatu proses berulang dan bersiklus yang menjadi
kebutuhan dasar bagi setiap individu dengan adanya penurunan status
kesadaran, baik kesadaran diri maupun kesadaran terhadap lingkungan,
yang terjadi selama periode tertentu (Potter & Perry, 2005; Kozier, 2004).
Berdasarkan beberapa pengertian tidur disimpulkan bahwa tidur merupakan
suatu proses yang menjadi kebutuhan dasar manusia yang memiliki siklus
tertentu diikuti dengan terjadinya penurunan kesadaran dan kemampuan
tubuh untuk merespon stimulus yang tidak begitu penting. Pola tidur adalah
model, bentuk atau corak tidur dalam jangka waktu yang relatif menetap
dan meliputi interval mulai tidur hingga bangun, irama tidur, frekuensi tidur
dalam sehari, mempertahankan kondisi tidur, dan kepuasan tidur. Pola tidur
inilah yang bisa terganggu diakibatkan oleh faktor stress dan faktor-faktor
lainnya, otomatis hal ini dapat menyebabkan gangguan tidur.
2. Fungsi Tidur

18

Fungsi tidur tetap belum jelas (Hodgson, 1991 dalam Potter &
Perry, 2005). Namun, tidur dapat berfungsi dalam pemeliharaan fungsi
jantung terlihat pada denyut jantung turun 10 hingga 20 kali setiap menit.
Selain itu, selama tidur, tubuh melepaskan hormon pertumbuhan untuk
memperbaiki dan memperbaharui sel epitel dan khusus seperti sel otak.
Otak akan menyaring informasi yang telah terekam selama sehari dan otak
mendapat asupan oksigen serta aliran darah serebral dengan optimal
sehingga selama tidur erjadi penyimpanan memori dan pemulihan kognitif.
Fungsi lain yang dirasakan ketika individu tidur adalah relaksasi otot
sehingga laju metabolic basal akan menurun. Hal tersebut dapat membuat
tubuh menyimpan lebih banyak energi saat tidur. Bila individu kehilangan
tidur selama waktu tertentu dapat menyebabkan perubahan fungsi tubuh,
baik kemampuan motorik, memori, dan keseimbangan. Jadi, tidur dapat
membantu perkebangan perilaku individu karena individu yang mengalami
masalah pada tahap REM akan merasa bingung dan curiga.
3. Fisiologis Tidur
Sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah
reticular activating system (RAS) dan bulbar synchronizing regional (BSR)
yang terletak pada batang otak dan bekerja secara intermittent (Potter &
Perry, 2005). RAS merupakan jaringan sel yang membentuk sistem
komunikasi dua arah, memanjang dari batang otak hingga ke otak tengah
dan system limbic (Brunner & Suddarth, 2002). Selain itu RAS dapat
menerima rangsangan visual, audio, nyeri dan stimulus dari korteks serebri
termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron

19

dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin yang


membuat indivdu waspada atau terjaga. Demikian juga pada saat tidur,
disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada
di pons dan batang otak tengah, yaitu BSR (Potter & Perry, 2005).
Manusia mengalami irama yang berputar sebagai bagian dari
kehidupan sehari-hari mereka. Irama yang paling dikenal adalah irama 24
jam, irama siang-malam dikenal sebagai diurnal atau irama sirkadian
(berasal dari bahasa latin: circa, sekitar, dan dies, hari). Irama sirkadian
mempengaruhi hampir semua fungsi biologis dan kebiasaan. Perubahan
yang dapat diprediksi adalah perubahan suhu tubuh, denyut jantung,
tekanan darah, sekresi hormone, ketajaman pancaindra, dan suasana hati
tergantung dari pemeliharaan siklus sirkadian 24 jam (izac, 2006).
Faktor-faktor seperti cahaya, temperature, aktivitas social, dan
rutinitas kerja mempengaruhi irama sirkadian dan siklus tidur-bangun
sehari-hari.

Semua

orang

mempunyai

jam

biologis

yang

menyingkronisasikan siklus tidurnya. Hal ini menjelaskan beberapa orang


tertidur pada pukul 8 malam, sedangkan yang lain tidur pada tengah malam
atau ketika hendak subuh. Orang lainnya juga lebih aktif diwaktu yang
berbeda pada satu hari.
Seseorang memiliki kualitas tidur yang tidak memadai jika siklus tidurbangunnya berubah secara signifikan. Sebaliknya pada siklus tidur-bangun,
kejadian tertidur pada siang hari (atau sebaliknya pada orang-orang yang
bekerja di malam hari) sering kali mengindikasikan penyakit yang serius.

20

Irama biologis dari tubuh untuk tidur secara berkelanjutan akan


bersinkronasi dengan fungsi tubuh yang lain. Ketika siklus tidur-terjaga
seseorang terganggu (misalnya: dengan bekerja dalam shift).
4. Tahapan Tidur
Tahapan

tidur

dapat

diidentifikasi

melalui

pola

electroencephalograph (EEG), pergerakan mata, dan aktivitas otot.


Tahapan tidur diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu non-rapid eye
movement (NREM) dan rapid eye movement (REM) (DeLauner & Ladner,
2002).
a. Tidur NREM
Tidur memperlambat pernapasan dan denyut jantung, tetapi
tetap teratur. Fase pertama dari tidur disebut sebagai NREM. Tidur
NREM terdiri dari empat tahapan yang berbeda. NREM tahap 1 terjadi
perlambatan dari frekuensi EEG, tetapi terlihat adanya lonjakan
gelombang, terlihat gerakan perlahan pada mata dari sisi ke sisi dan
tidak ada ketegangan otot kecuali pada otot wajah dan leher. Orang
dewasa dengan pola tidur normal, NREM tahap 1 biasanya berlangsung
sekitar sepuluh menit atau lebih. NREM tahap 1 adalah tidur dengan
kualitas sangat ringan sehingga mudah terbangun. NREM tahap 2
masih cukup ringan dengan adanya perlambatan lebih lanjut dari pola
EEG dan hilangnya gerakan lambat dari mata. Setelah 20 menit atau
lebih dari NREM tahap 1 dan 2, tahap tidur dalam dimulai, yaitu
NREM tahap 3 dan 4. NREM tahap 3 merupakan tidur dengan tingkat

21

kedalaman sedang hingga dalam, sedangkan NREM tahap 4 merupakan


tanda tidur paling dalam. Selama tahap ini terlihat bahwa gelombang
EEG menjadi rendah. NREM tahap 3 dan 4 membuat individu sulit
terbangun dan tahap ini memiliki nilai restoratif dan penting bagi
pemulihan fisik.
b. Tidur REM
Setelah 90 menit atau lebih dari tahap NREM akan memasuki
rapid eye movement (REM). Pola EEG menyerupai keadaan terjaga,
terdapat gerakan mata yang cepat, pernapasan dan denyut jantung tidak
teratur dan lebih tinggi daripada ketika terjaga, penurunan kontraksi
otot termasuk otot wajah dan leher yang lembek, dan tubuh bergerak.
Mimpi terjadi 80% pada tidur REM. Periode tidur REM menjadi lebih
lama saat malam hari dan individu menjadi lebih beristirahat. Orang
dewasa biasanya memiliki 4 hingga 6 periode REM sepanjang malam,
terhitung 20% sampai 25% dari tidur.
5. Siklus Tidur
Siklus tidur mengacu pada urutan tidur yang dimulai dengan empat
tahapan tidur NREM kemudian kembali ke tahap 3, lalu 2, kemudaian
tahap REM pertama (gambar A).
Gambar 2.1. Siklus Tidur

22

Satu siklus tidur secara umum adalah 70 hingga 90 menit dan individu yang
tertidur akan melewati 4 hingga 6 siklus tidur dalam satu periode tidur yang
rata-rata memerlukan waktu 7 sampai 8 jam. Panjang periode NREM dan
REM akan berubah sepanjang periode tidur dan individu akan menjadi
lebih rileks dan kembali berenergi. Jika siklus tidur terputus pada tahap
manapun, maka siklus tidur baru akan dimulai lagi dari NREM tahap 1 dan
kemajuan melalui semua tahapan untuk tidur REM.
6. Persyaratan dan Pola Tidur Normal
Durasi tidur dan kualitas bervariasi antara orang orang dari semua
kelompok umur. Misalnya, satu orang merasa cukup beristirahat dengan
tidur 4 jam. sedangkan yang lain memerlukan waktu 10 jam. Adapun
tingkatan umurnya yaitu:
a. Neonatus
Neonatus atau bayi baru lahir sampai usia 3 bulan tidur rata-rata
sekitar 16jam sehari,

tidur hampir terus-menerus selama minggu

pertama. Siklus tidur umumnya 40-50 menit dengan bangun setelah 12 siklus tidur sekitar 50%

dari tidur ini adalah tidur REM yang

23

merangsang pusat otak yang lebih tinggi.

Hal ini penting untuk

perkembangan karena neonatus tidak terjaga cukup lama untuk


stimulasi eksternal yang signifikan.
b. Bayi
Bayi biasanya mengembangkan pola tidur malam dengan mimpi buruk
dari usia 3 bulan. Bayi biasanya melakukan beberapa kali tidur siang,
namun tidur rata rata selama 8-10 am di malam hari dengan waktu
tidur total 15 jam setiap hari sekitar 30% dari waktu tidur adalah
dalam siklus REM. Bangun umumnya terjadi di pagi hari, meskipun
tidak biasa bagi bayi terbangun di malam hari.
c. Balita
Pada umur 2 tahun, anak-anak biasanya tidur sepanjang malam dan
tidursiang setiap hari. Total tidur rata-rata 12 jam sehari Setelah 3
tahun,

anak-anak sering tidak tidur siang (Potter & Perry, 2005).

Umum bagi balita untuk terbangun di malam hari. Persentase tidur


REM terus menurun. Selama masa ini, balita mungkin tidak mau
tidur pada malam hari karena kebutuhan otonomi atau takut berpisah
dari orang tua mereka.
d. Anak-anak Prasekolah
Rata-rata lama tidur anak prasekolah adalah sekitar 12 jam
semalam(sekitar 20%

adalah REM).

Pada umur 5 tahun,

anak

prasekolah jarang membutuhkan tidur siang kecuali dalam budaya di


mana tidur siang menjadi kebiasaan (Potter & Perry, 2005). Anak
prasekolah

biasanya

mengalami

kesulitan

untuk

rileks

atau

menenangkan diri setelah melewati hari yang sangat aktif dan


memiliki masalah dengan ketakutan tidur, bangun pada malam hari,
atau mimpi buruk. Bangun sebentar dan kemudian terlelap lagi adalah

24

hal yang sering (Potter & Perry, 2005). Pada saat terbangun, anak
akan menangis sebentar berjalan-

jalan,

berbicara yang tidak

dipahami, tidur sambil berjalan, atau mengompol


e. Anak Usia Sekolah
Jumlah tidur yang diperlukan bervariasi sepanjang masa sekolah.
Anak usia 6 tahun rata-rata tidur 11 sampai 12 jam semalam,
sedangkan anak usia 11 tahun tidur sekitar 9 10 jam sampai (Potter &
Perry, 2005). Anak usia 6 atau 7 tahun biasanya akan pergi tidur
dengan beberapa dorongan atau dengan melakukan kegiatan yang
tenang Anak yang lebih tua sering menolak tidur karena suatu tidak
peduli dengan rasa lelahnya atau kebutuhan untuk bebas.
f. Remaja
Rata-rata remaja mendapatkan sekitar 7 jam tidur per malam.
Tipikal remaja yang khas dikarenakan sejumlah perubahan seperti
kebutuhan sekolah, kegiatan sosial setelah sekolah, dan pekerjaan
paruh waktu yang mengurangi waktu untuk tidur (Potter & Perry,
2005).

Waktu tidur yang sering disingkat menghasilkan EDS.

Mengurangi kinerja di sekolah,

kerentanan terhadap kecelakaan,

masalah perilaku dan suasana hati, dan meningkatkan penggunaan


alkohol adalah hasil dari EDS karena kurangnya tidur (Potter & Perry,
2005)
g. Dewasa Muda
Kebanyakan orang dewasa muda rata-rata tidur 6-8 jam per malam.
Sekitar 20% dari waktu tidur adalah tidur REM yang tetap konsisten
sepanjang hidup. Tekanan dalam pekerjaan, hubungan keluarga, dan
kegiatan sosial sering mengarah pada insomnia dan penggunaan obat
tidur.

Kantuk di siang hari menyebabkan peningkatan jumlah

25

kecelakaan penurunan produktivitas, dan masalah interpersonal dalam


kelompok usia ini.

Kehamilan meningkatkan kebutuhan tidur dan

beristirahat. Insomnia, gerakan tungkai yang periodik, sindrom kaki


gelisah,

dan gangguan pernapasan saat tidur merupakan masalah

umum selama trimester ketiga kehamilan (Potter & Perry, 2005).


h. Dewasa Menengah
Selama masa dewasa menengah, total waktu tidur di malam hari mulai
menurun.

Jumlah tidur stadium 4 mulai turun,

penurunan terus

berlanjut seiring dengan meningkatnya usia. Insomnia sangat umum,


mungkin karena perubahan dan stres pada usia dewasa menengah.
Kecemasan depresi,atau penyakit fisik tertentu yang menyebabkan
gangguan tidur. Wanita menopause sering mengalami gejala insomnia.
i. Lansia
Keluhan kesulitan tidur meningkat seiring dengan meningkatnya umur
Lebih dari 50% lansia yang berusia 65 tahun atau lebih melaporkan
mempunyaimasalah dengan tidur (Potter & Perry, 2005).

Episode

tidur REM cenderung menyingkat. Ada penurunan progresif dalam


tidur tahap 3 dan 4 NREM; beberapa lansia hampir tidak memiliki
tidur tahap atau tidur nyenyak. seorang lansia terbangun lebih sering
pada malam hari, dan memerlukan lebih banyak waktu untuk mereka
agar dapat tidur kembali. Kecenderungan untuk tidur siang tampaknya
semakin meningkat seiring bertambahnya usia karena sering terjaga di
malam hari. Adanya penyakit kronis sering menyebabkan gangguan
tidur bagi lansia Sebagai contoh, seorang lansia dengan artritis sering
mengalami kesulitan tidur karena nyeri sendi. Perubahan pola tidur
sering disebabkan oleh perubahan dalam sistem saraf pusat yang

26

memengaruhi pengaturan tidur.

Penurunan sensorik mengurangi

sensitivitas orang tua terhadap waktu untuk mempertahankan irama


sirkadian.
Pada abad sebelumnya, jumlah tidur malam yang dibutuhkan oleh
warga negara AS telah menurun lebih dari 20% (Nationalsleep
Foundation, 2003), menunjukkan bahwa banyak orang Amerika kurang
tidur dan mengalami kantuk berlebihan di siang hari. Kantuk patologis
terjadi ketika individu perlu atau ingin terjaga. Orang yang mengalami
kurang tidur sementara sebagai hasil dari aktivitas malam yang aktif atau
jadwal kerja yang diperpanjang biasanya akan mengantuk keesokan
harinya.
meskipun

Namun,

mereka merasa mampu mengatasi perasaan ini

mengalami

kesulitan

melaksanakan

tugas

dan

tetap

memperhatikan. Kurang tidur yang kronis jauh lebih serius dari kurang
tidur sementara dan menyebabkan perubahan serius pada kemampuan
untuk melakukan fungsi sehari-hari. Kantuk cenderung paling sulit diatasi
selama melakukan tugas yang menetap (tidak aktif).

Sebagai contoh,

kecelakaan kendaraan tunggal yang berkaitan dengan sopir yang tertidur di


dalam kendaraan terjadi paling sering pada pukul 02.00-05.00 dini hari
karena kantuk yang terjadi. (Potter & Perry, 2005)
Penelitian Dietrick Langen (1984) dalam bukunya mengatakan
sangat disayangkan bahwa norma tidur delapan jam yang telah diterima
oleh kebanyakan orang sebagai suatu standar merupakan hal yang keliru,
sebagaimana yang berlaku pada penentuan jumlah makanan yang perlu

27

dimakan oleh setiap orang, atau juga menetapkan suatu norma dalam
tingkah laku seksual.
Orang-orang yang paling termahsyur sebagai orang yang tidur
sedikit, Edison dan Napoleon, berulang kali disebut-sebut karena
kebiasaannya tidur hanya dua jam. Kata orang, Edison telah menemukan
lampu pijar dengan maksud agar manusia tidak perlu membuang begitu
banyak waktu yang berharga dalam hidupnya dengan tidur. Kebiasaan
tidur Napoleon membuktikan bahwa kerja keras sama sekali tidak perlu
diimbangi dengan banyak tidur. Sebaliknya, saat-saat sibuk dan kerja keras
kadang-kadang dapat dipadukan dengan tidur yang sangat sedikit.
Kebutuhan tidur untuk setiap pribadi jelas sangat berbeda satu dengan
yang lain. Orang yang tidur sedikit benar-benar tidur sangat lelap, pada
suatu taraf yang boleh dikatakan lebih bermakna atau berkualitas,
meskipun tidur singkat tapi sangat lelap, berkualitas, ketika bangun merasa
segar dan pulih kembali.
7. Faktor yang mempengaruhi tidur
Tidur dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penyakit fisik, obatobatan, lingkungan, gaya hidup, keadaan stres, dan jadwal kerja/shift
(Rafknowledge,

2004).

Individu

dengan

penyakit

fisik

tertentu

mempengaruhi kemampuan untuk tertidur. Penyakit arthritis menyebabkan


nyeri atau ketidaknyamanan sehingga akan menyulitkan individu untuk
tertidur atau sleep apnea yang membuat kesulitan bernapas sehingga dapat
membuat individu terbangun.

28

Konsumsi obat yang memiliki efek samping tertentu dapat


mempengaruhi tidur. Obat diuretik berefek pada nokturia sehingga individu
sering terbangun di malam hari (DeLauner & Ladner, 2002). Faktor
lingkungan sekitar kamar tidur dapat mempengaruhi tidur. Lingkungan
sekitar kamar yang bising, memiliki teman tidur yang mengalami masalah
tidur, dan kondisi kamar seperti suhu, cahaya, ukuran dan kenyamanan
tempat tidur. Rafknowledge (2004) mengatakan bahwa kebiasaan
mengkonsumsi alkohol atau kafein membuat individu sulit tertidur. Selain
itu, individu yang memiliki jadwal kerja berubah-ubah, misalnya jadwal
kerja (shift) yang berubah setiap seminggu sekali dapat mengganggu pola
tidur.
Keadaan stres yang dialami individu mempengaruhi kemampuan
individu untuk tidur atau tetap tertidur. Mayoral (2006) dalam Wulandari
(2012) menyatakan bahwa stres berat sangat lekat dengan jam tidur yang
rendah. Selain itu, stres berat sangat berpengaruh dan berhubungan positif
dengan mimpi buruk dan keluhan tidur. Potter & Perry (2005) menyatakan
bahwa stres emosional dapat menyebabkan individu merasa tegang dan
putus asa. Perasaan tersebut menyebabkan individu menjadi sulit tidur,
sering terbangun saat tidur atau terlalu banyak tidur. Bila stres
berkepanjangan dapat menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk.
C. Konsep Mahasiswa
Mahasiswa adalah sebagian kecil dari generasi muda Indonesia yang
mendapat kesempatan untuk mengasah kemampuannya di Perguruan Tinggi.
Tentunya sangat diharapkan mendapat manfaat yang sebesar-besarnya dalam

29

pendidikan agar kelak mampu menyumbangkan kemampuannya untuk


memperbaiki kualitas hidup bangsa Indonesia yang saat ini belum pulih
sepenuhnya dari krisis yang dialami pada akhir abad ke 20 (Salim dan
Sukadji, 2006).
Begitu pula yang dialami oleh mahasiswa POLTEKKES Banjarmasin
Jurusan Keperawatan Prodi D III semester VI yang berjumlah 38 orang dan
Jurusan Kebidanan berjumlah 48 orang. Seorang lulusan D III Keperawatan
sesuai KepMendiknas RI No. 232/U/2000 harus menyelesaikan minimal 96
SKS kurikulum inti dan 14 SKS kurikulum Institusi, dengan komposisi
praktikum dan Klinik 56% dan teori 44%. Kegiatan pembelajaran berupa teori
1 SKS setara 1 jam perminggu, praktikum 1 SKS setara 2 jam perminggu
sedangkan praktek klinik 1 SKS setara 4 jam.
Adapun target yang harus dicapai mahasiswa D III Keperawatan yaitu
melaksanakan Asuhan Keperawatan terhadap Penyakit Fisik, Asuhan
Keperawatan terhadap Gangguan Kesehatan Jiwa, Asuhan Keperawatan
Keluarga, Asuhan

Keperawatan

Komunitas,

melaksanakan

Penelitian

Deskriptif, Ujian Akhir Semester, Ujian Praktek dan yang baru-baru ini ada
kebijakan harus melaksanakan Uji Kompetensi Nasional, yang mana semua
ini akan dilalui oleh mahasiswa POLTEKKES Banjarmasin Jurusan
Keperawatan Prodi D III, sama halnya juga yang dialami oleh Jurusan
Kebidanan Semester VI.
D. Kerangka Teori
Sebagaimana landasan teori yang sudah dijelaskan diatas yaitu dari
faktor-faktor penyebab stress seperti faktor lingkungan fisik, faktor biologis,
faktor sosiokultural, penyebab makro dan mikro yang mana akan

30

menyebabkan stress dan mengganggu pola tidur dari seseorang, maka dapat
dibuat sebuah kerangka teori sebagai berikut:

Faktor lingkungan Fisik Sumber stress psikologik:


1.
2.
3.
4.

Suhu
Pencahayaan
Bau-bauan
Kebisingan

1.
2.
3.
4.

Konflik
Tekanan
Frustasi
Krisis

Faktor Biologis
1. Kondisi Fisik
2. Neurofisiologis
3. Neurohormonal

Mahasiswa

Faktor
Psikoedukatif/sosiokultural:
Penyebab Stres:
A. Makro
1. Perceraian
2. Kematian
3. Pension
B. Mikro
1. Pertengkaran dengan
teman
2. Antri
3. Sandang dan pangan
4. Beban hidup

Tingkat
Stres

1. Perkembangan
kepribadian
2. pengalaman
Berat

Ringa
Seda
ng
n

31

Pola Tidur

Terganggu

Gambar 2.2 Kerangka Teori

Tidak
Terganggu

Vous aimerez peut-être aussi