Vous êtes sur la page 1sur 16

Asal Usul Kota Rembang Jawa Tengah

Kabupaten Rembang, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah
Rembang. Kabupaten ini berbatasan dengan Teluk Rembang (Laut Jawa) di utara, Kabupaten
Tuban (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Blora di selatan, serta Kabupaten Pati di barat.
Makam pahlawan pergerakan emansipasi wanita Indonesia, R. A. Kartini, terdapat di Kabupaten
Rembang, yakni di Desa Bulu yang masuk ke jalur Rembang-Blora (Mantingan).
Sejarah Rembang
Sumber lain tentang Rembang dapat diambil dari sebuah manuskrip/tulisan tidak di terbitkan
oleh Mbah Guru. Di sebutkan antara lain: kira-kira tahun Syaka 1336 ada orang Campa
Banjarmlati berjumlah delapam keluarga yang pandai membuat gula tebu ketika ada di
negaranyaOrang-orang tadi pindah untuk membuat gula merah yang tidak dapat di patahkan
itu.Berangkatnya melalui lautan menuju arah barat hingga mendarat di sekitar sungai yang
pinggir dan kanan kirinya tumbuh tak teratur pohon bakau. Kepindahannya itu di pimpin oleh
kakek Pow Ie Din; setelah mendarat kamudian mengadakan doa dan semedi, kemudian di mulai
menebang pohon bakau tadi yang kemudian di teruskan oleh orang-orang lainnya.
Tanah lapang itu kemudian di buat tegalan dan pekarangan serta perumahan yang selanjutnya
menjadi perkampungan itu dinamakan kampung : Kabongan; mengambil kata dari sebutan
pohon bakau, menjadi Ka-bonga-an (Kabongan),. Pada suatu hari saat fajar menyingsing di
bulan Waisaka; orang-orang akan mulai ngrembang (mbabat,Ind : memangkas) tebu. Sebelum di
mulai mbabat diadakan upacara suci Sembayang dan semedi di tempat tebu serumpun yang akan
dikepras/di pangkas dua pohon, untuk tebu Penganten.Upacara pengeprasan itu dinamakan
ngRembang, sampai di jadikan nama Kota Rembang hingga saat ini.Menurut Mbah Guru,
upacara ngRembang sakawit ini dilaksanakan pada hari Rabu Legi, saat di nyanyikan Kidung,
Minggu Kasadha. Bulan Waisaka, Tahun Saka 1337 dengan Candra Sengkala : Sabda Tiga
Wedha Isyara.

Logo Kabupaten Rembang


Cerita Rakyat
Pada zaman dulu ada seorang saudagar kaya yang bernama Dampo Awang. Dia berasal dari
Negara Cina. Dia ingin pergi kesuatu tempat untuk mengajarkan ajaran Kong Hu Cu dengan cara
mengarungi samudera bersama para pengawal setianya. Suatu hari dia sampai di tanah Jawa
bagian timur. Dampo Awang sangat senang akan daerah itu sehingga dia bermaksud untuk
berlabuh disana dan menetap sambil mengembangkan ajaran yang dibawanya. Suatu saat Dampo
Awang bertemu dengan Sunan Bonang, Sunan Bonang adalah salah satu dari wali songo atau
sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Pada saat pertemuan pertama kali itu, Dampo Awang sudah memperlihatkan sikap kurang baik
pada Sunan Bonang. Dampo Awang takut jika ajaran yang selama ini dia ajarkan akan hilang
dan digantikan dengan ajaran agama islam. Perlu diketahui bahwa Dampo Awang sudah terbiasa
dengan orang awam di jawa sehingga dia dapat berbahasa dengan baik.Saat Sunan Bonang mau
mendirikan Salat Ashar. Dampo Awang berfikir untuk mecelekai Sunan Bonang. Dia menyuruh
pengawalnya untuk menaruh racun ke air putih dalam kendi yang berada diatas meja. Setelah
selesai shalat Sunan Bonang menuju ke meja makan.
Dampo Awang mengira bahwa Sunan Bonang akan meminum air dalam kendi tersebut. Tetapi
dugaan Dampo Awang keliru, sebenarnya Sunan Bonang mau mengaji. Hari demi hari telah
berlalu, setiap waktu shalat Sunan Bonang mengumandangkan adzan dan shalat, setelah shalat
Sunan Bonang mengaji diteras rumahnya. Setiap orang orang yang lewat di depan rumahnya
dan mendengar suara Sunan Bonang saat mengaji dan adzan menjadi kagum akan ayat ayat
alllah. Kemudian banyak penduduk menjadi pemeluk agama islam. Lama kelamaan pengikut
sunan semakin banyak.
Tidak lama kemudian Dampo Awang mendengar peristiwa tersebut dia sangat marah karena
pengikutnya semakin berkurang lalu Dampo Awang mengirim pengawalnya untuk menjemput
Sunan Bonang . Mula mula Sunan Bonang menolak tetapi karena dia merasa kasihan akan
pengawal - pengawal Dampo Awang, jika Sunan Bonang tidak ikut mereka akan dihukum
pancung. Akhirnya Sunan Bonang bersedia untuk datang ke kediaman Dampo Awang. Saat
Sunan Bonang tiba di kediaman Dampo Awang, Dampo Awang menyambutnya dengan ramah.
Namun dibelakang dari keramahan tersebut Dampo Awang telah merencanakan sesuatu.
Dampo Awang menyuguhi Sunan Bonang dengan buah - buahan segar, makanan yang enak enak, minuman segar, dll. Sunan Bonang tidak menaruh curiga sedikitpun kepada Dampo
Awang, padahal Dampo Awang berniat mencelakainya. Saat ditengah perjamuan, tiba - tiba
Dampo Awang meminta agar Sunan Bonang meninggalkan daerah itu. Tetapi Sunan Bonang
menolak karena dia sudah berniat untuk mengajarkan agama islam di daerah itu. Dampo Awang
sangat marah mendengar ucapan Sunan Bonang yang baru saja diucapkannya tadi. Lalu Dampo
Awang menyuruh pengawalnya untuk menyerang Sunan Bonang tetapi dengan waktu yang
sangat singkat Sunan Bonang dapat mengalahkan pengawal - pengawal Dampo Awang.

Dampo Awang tidak terima akan kekalahannya. Dia kembali ke negaranya untuk menyusun
stategi dan kekuataan baru. Setelah beberapa tahun Dampo Awang kembali lagi ke tanah jawa
sambil membawa pasukan yang lebih banyak dari sebelumnya. Pada saat sampai di tanah jawa
dia sangat kaget sekali karena semua penduduk di daerah itu sudah menganut agama islam.
Dampo Awang marah lalu mencari Sunan Bonang. Dampo Awang tidak bisa menahan
amarahnya ketika dia sudah bertemu dengan Sunan Bonang sehingga dia langsung menyerang
Sunan Bonang lebih dulu tetapi dengan singkat Sunan Bonang bisa mengalahkan Dampo Awang
dan pengawalnya.
Kemudian Dampo Awang diikat di dalam kapalnya setelah itu Sunan Bonang menendang
kapalnya sehingga seluruh bagian kapal tersebar kemana - mana. Setelah itu sebagian kapal
terapung di laut. Dampo Awang menyebutnya Kerem Tenggelam) sedangkan Sunan Bonang
menyebutnya Kemambang (Terapung). Kemudian lama - kelamaan masyarakat mengucapkan
Rembang yang berasal dari kata Kerem dan Kemambang. Akhirnya di daerah itu dinamakan
Rembang yang sekarang menjadi salah satu Kabupaten yang ada di Jawa Tengah. Jangkarnya
sekarang ada di Taman Kartini sedangkan Layar kapal berada dibatu atau biasanya sering disebut
Watu Layar dan kapalnya dikabarkan menjadi Gunung Bugel yang ada di kecamatan Pancur
karena bentuknya menyerupai sebuah kapal besar dan diatas Gunung ada sebuah makam konon
disana merupakan makam Dampo Awang.
Perlu diingat Asal Usul Kota Rembang Jawa Tengah banyak versinya sehingga tidak setiap
orang mengetahui Asal Usul Kota Rembang yang sama versinya.

ASAL USUL RAWA PENING


Pada zaman dahulu di desa Ngasem hidup seorang gadis bernama Endang Sawitri.
Penduduk desa tak seorang pun yang tahu kalau Endang Sawitri punya seorang suami,
namun ia hamil. Tak lama kemudian ia melahirkan dan sangat mengejutkan penduduk
karena yang dilahirkan bukan seorang bayi melainkan seekor Naga. Anehnya Naga itu
bisa berbicara seperti halnya manusia. Naga itu diberi nama Baru Klinting.
Di usia remaja Baru Klinting bertanya kepada ibunya. Bu, Apakah saya ini juga
mempunyai Ayah?, siapa ayah sebenarnya. Ibu menjawab, Ayahmu seorang raja yang
saat ini sedang bertapa di gua lereng gunung Telomaya. Kamu sudah waktunya mencari
dan menemui bapakmu. Saya ijinkan kamu ke sana dan bawalah klintingan ini sebagai
bukti peninggalan ayahmu dulu. Dengan senang hati Baru Klinting berangkat ke
pertapaan Ki Hajar Salokantara sang ayahnya.
Sampai di pertapaan Baru Klinting masuk ke gua dengan hormat, di depan Ki Hajar dan
bertanya, Apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar Salokantara? Kemudian Ki
Hajar menjawab, Ya, benar, saya Ki Hajar Salokantara. Dengan sembah sujud di
hadapan Ki Hajar, Baru Klinting mengatakan berarti Ki Hajar adalah orang tuaku yang
sudah lama aku cari-cari, aku anak dari Endang Sawitri dari desa Ngasem dan ini
Klintingan yang konon kata ibu peninggalan Ki Hajar. Ya benar, dengan bukti
Klintingan itu kata Ki Hajar. Namun aku perlu bukti satu lagi kalau memang kamu
anakku coba kamu melingkari gunung Telomoyo ini, kalau bisa, kamu benar-benar
anakku. Ternyata Baru Klinting bisa melingkarinya dan Ki Hajar mengakui kalau ia
benar anaknya. Ki Hajar kemudian memerintahkan Baru Klinting untuk bertapa di
dalam hutan lereng gunung.
Suatu hari penduduk desa Pathok mau mengadakan pesta sedekah bumi setelah panen
usai. Mereka akan mengadakan pertunjukkan berbagai macam tarian. Untuk
memeriahkan pesta itu rakyat beramai-ramai mencari hewan, namun tidak
mendapatkan seekor hewan pun. Akhirnya mereka menemukan seekor Naga besar yang
bertapa langsung dipotong-potong, dagingnya dibawa pulang untuk pesta. Dalam acara
pesta itu datanglah seorang anak jelmaan Baru Klinting ikut dalam keramaian itu dan
ingin menikmati hidangan. Dengan sikap acuh dan sinis mereka mengusir anak itu dari
pesta dengan paksa karena dianggap pengemis yang menjijikkan dan memalukan.
Dengan sakit hati anak itu pergi meninggalkan pesta. Ia bertemu dengan seorang nenek
janda tua yang baik hati. Diajaknya mampir ke rumahnya. Janda tua itu
memperlakukan anak seperti tamu dihormati dan disiapkan hidangan. Di rumah janda
tua, anak berpesan, Nek, Kalau terdengar suara gemuruh nenek harus siapkan lesung,
agar selamat!. Nenek menuruti saran anak itu.
Sesaat kemudian anak itu kembali ke pesta mencoba ikut dan meminta hidangan dalam
pesta yang diadakan oleh penduduk desa. Namun warga tetap tidak menerima anak itu,

bahkan ditendang agar pergi dari tempat pesta itu. Dengan kemarahan hati anak itu
mengadakan sayembara. Ia menancapkan lidi ke tanah, siapa penduduk desa ini yang
bisa mencabutnya. Tak satu pun warga desa yang mampu mencabut lidi itu. Akhirnya
anak itu sendiri yang mencabutnya, ternyata lubang tancapan tadi muncul mata air
yang deras makin membesar dan menggenangi desa itu, penduduk semua tenggelam,
kecuali Janda Tua yang masuk lesung dan dapat selamat, semua desa menjadi rawarawa,

Karena airnya sangat bening, maka disebutlah Rawa Pening yang berada di kabupaten
Semarang, Jawa Tengah.

Legenda Terjadinya Bledug Kuwu


Berdirinya Kerajaan Medang Kamolan.
Konon tanah jawa ini pernah dikuasai oleh kerajaan Galuh, dipimpin oleh Prabu Sindulaya Sang
Hyang Prabu Watu Gunung, yang berhasil mengangkat nama Galuh menjadi termasyhur dan
rakyatnya hidup makmur. Pusat pemerintahannya di daerah Jawa Barat.
Prabu Watu Gunung dikaruniai 4 orang anak : Dyah Ayu Dewi (menjadi ratu di Nusatembini),
Pangeran Adipati Dewata Cengkar, Dewata Pemunah Sakti (menjadi adipati di Madura), dan
yang terakhir adalah Pangeran Adipati Dewata Agung (yang menjadi adipati di Pulau Bali).
Menurut cerita, rakyat Galuh tidak senang terhadap putra kedua, yaitu Pangeran Adipati Dewata
Cengkar. Tingkah lakunya yang kasar terhadap rakyat kecil, suka menganiaya orang, ditambah
hobinya berpesta pora, makin menambah kebencian rakyat. Satu hal lagi, pangeran tergila-gila
makan daging manusia. Hal ini menjadikan hidup rakyat Galuh yang tadinya tenteram, menjadi
gelisah dan takut. Akhirnya, sebagian rakyat mulai mengungsi untuk mencari perlindungan.
Perubahan keadaan rakyat ini ternyata tercium oleh sang prabu. Setelah beliau mengetahui
bahwa putranyalah penyebab keresahan rakyat sedemikian rupa, maka dengan sangat marah
sang paduka memanggil anaknya. Beliau sangat malu dan tercoreng mukanya. Karena emosi,
beliau mengumpat dengan kasar dan memerintahkan agar Dewata Cengkar segera merubah
sikapnya, kalau tidak harus pergi meninggalkan istana.
Dewata Cengkar tak berkata apa-apa, hatinya sakit mendengar kata-kata ayahnya, ia lalu bangkit
dan meninggalkan istana tanpa pamit, sambil memandang ayahnya seolah-olah menantang.
Dalam waktu beberapa hari, Dewata Cengkar berhasil menghimpun beberapa prajurit istana
yang masih setia padanya untuk ikut meninggalkan kerajaan Galuh. Dengan sembunyisembunyi, mereka menuju timur. Dalam waktu beberapa hari, mereka tiba di suatu tempat di
pegunungan Kendeng, yang berhadapan dengan Teluk Lusi. Melihat lokasi yang bagus dan
strategis ini, Dewata Cengkar lalu membangun satu bangunan sebagai istananya, lalu
mengangkat dirinya menjadi raja dengan sebutan Prabu Dewata Cengkar.
Untuk membantu urusan pemerintahan, diangkatlah Aryo Tengger menjadi patih dan Rudo
Pekso menjadi tumenggung. Kerajaan mereka dinamakan Medang Kamolan.
Semakin hari semakin makmur dan termasyhurlah kerajaan ini. Seiring waktu, rasa dendam
Dewata Cengkar kepada ayahnya pun lenyap sudah, kalau saja tidak termakan rayuan Aryo
Tenggger dan Rudo Pekso. Amarah itu tersulut kembali. Sang prabu sendiri lalu menghimpun
kekuatan untuk menyerbu Galuh.
Saat itu kerajaan Galuh tidak dalam kondisi siap perang. Sejak kejadian rakyat banyak yang
mengungsi dan kemudian diiukuti rakyat lain dan tidak ada yang mau kembali lagi, Galuh
menjadi kosong dan kekuatan prajuritnya semakin lemah. Ini membuat sang Prabu Watu Gunung
menjadi murung. Pada keadaan seperti itulah sang prabu mendengar ada serbuan dari kerajaan
lain yang ternyata dipimpin oleh anak kandung yang diusirnya dulu, beliau murka.
Dasar Dewata Cengkar tak tahu diri. Kerajaan Galuh ini nantinya akan kuwariskan kepadanya,
akan menjadi miliknya, tapi bukan dengan cara seperti ini.

Prabu Watu Gunung tak kuasa melawan nafsu Dewata Cengkar, setelah memperingatkan
anaknya, beliau mesti rela mati dihantam gada Dewata Cengkar.
Mampus kau keparat! teriak Dewata Cengkar. Bersama pukulan itu, timbul cahaya yang
sangat menyilaukan. Prabu Watu Gunung pun menghilang, bersama kerajaan dan rakyat
Galuhnya, lalu berubah menjadi hutan belantara. Dari dalam hutan, terdengar suara Watu
Gunung mengutuk putranya: Dewata Cengkar, semua sudah terlanjur. Dengan sifat-sifatmu
yang seperti binatang itu, nantinya akan menjadi kenyataan.
Dewata Cengkar sempat was-was mendengarnya, takut menjadi kenyataan. Namun Aryo
Tengger dan Rudo Pekso segera mengalihkan perasaan sang prabu dengan menyanjungnya atas
kemenangan ini. Prajurit bersorak sorai pulang ke Medang Kamolan. Mereka merencanakan
pesta pora.
Rakyat bersiap-siap menyambut kedatangan para prajurit dan rajanya dari medan perang.
Umbul-umbul berwarna-warni dipasang di sepanjang jalan, rumah-rumah dihias. Para wanita
bertugas menyiapkan makanan. Penari-penari bersiap untuk manggung.
Di dapur, saking bersemangatnya, seorang wanita terpotong jari kelingkingnya. Dia segera
berlari ke kamar untuk mengambil obat, tapi alangkah kagetnya ia ketika kembali ke dapur,
kelingkingnya sudah tidak ada, ikut teriris-iris dan masuk ke dalam panci masakan. Tidak
mungkin baginya mencari kelingkingnya diantara daging yang sudah masak semua.
Pesta berlangsung sangat meriah. Sang prabu mengundang semua rakyat untuk memakan semua
hidangan. Penari-penari bekerja semalam suntuk untuk menghibur sang prabu dan prajuritprajuritnya.
Setelah pesta usai, sang prabu memanggil Aryo Tengger, sang patih.
Tih..patih..coba kamu kesini sebentar..
Daulat paduka, ada apa gerangan, apakah patih diperlukan?
Ya ya ya..sini cepat, dengarkan kata-kataku, tapi jangan salah paham dulu. Ini penting,dan
sifatnya rahasia.
Baik paduka, patih akan merahasiakan.
Sekarang aku tanya kepadamu, daging apa yang paling kamu senangi?
Daging sapi paduka.
Bodoh Patih...daging paling enak itu ya daging manusia. Semasa di kerajaan Galuh aku sering
makan daging manusia, sampai aku dimarahi dan diusir ayahku. Setelah disini, aku tak pernah
lagi akan daging manusia sampai aku hampir lupa rasanya, seandainya tidak merasakannya saat
pesta tadi.
Apakah ada daging manusia dihidangkan paduka?
Ada, tapi tidak sengaja. Mungkin ada juru masak jarinya terpotong lalu tercampur bersama
makanan.
Gila, mampus nanti dia kalau tertangkap.
Jangan ganggu dia, justru dengan jari kelingking itu gairahku bertambah hidup. Nantinya ada
pekerjaan baru buatmu, Tih.
Pekerjaan apa paduka?
Mulai besok kamu harus dapat memperoleh korban manusia yang dagingnya dimasak
untukku.
Patih Aryo Tengger bak tersambar petir mendengarnya. Tapi mau tak mau ia harus
melaksanakannya. Awal yang tak disengaja itu akhirnya menjadi bencana bagi rakyat Medang
Kamolan. Korban pertama, patih mengambil narapidana dari penjara, sampai akhirnya seluruh

isi penjara habis. Lalu beralih mencari pemuda desa. Banyak pemuda yang keluar malam hari
menghilang secara misterius.
Namun, serapat-rapat orang menyimpan bangkai akhirnya tercium juga. Rakyat akhirnya lari
meninggalkan kerajaan. Patih mulai bingung mencari korban, apalagi akhir-akhir ini sang prabu
mulai minta yang aneh-aneh. Karena biasanya mendapat pemuda, kali ini sang prabu minta
daging wanita muda. Patih bingung karena tak ada lagi wanita muda yang masih tinggal disana.
Semua telah pergi. Sampai akhirnya terdengar kabar bahwa di rumah Kaki Grenteng masih
hidup seorang gadis muda yang bisa dijadikan korban. Patih memerintahkan seluruh anak
buahnya untuk mengepung rumah Kaki Grenteng.
***
Ajisaka dan Buaya Putih
Tak disebutkan darimana asal Ajisaka. Tapi dia adalah seorang ilmuwan yang bermaksud akan
menyebarkan agama ke Medang Kamolan, ditemani dua temannya, Dora dan Sembada.
Dengan menggunakan perahu mereka menuju negeri yang makmur itu, hingga tiba di tempat
pemberhentian pertama, Nusa Majedi, yang sekarang bernama Bawean. Dari situ Ajisaka
menyiapkan peralatan dan perbekalan. Dia memutuskan akan melanjutkan perjalanan bersama
Dora, sedangkan Sembada ditugaskan tinggal di Nusa Majedi untuk sementara waktu, sambil
menjaga barang-barang mereka. Keris pusaka ditinggalkannya bersama Sembada dengan pesan
agar tidak memberikannya kepada siapapun, kecuali Ajisaka sendiri yang meminta. Sembada
menerima tugas tersebut dengan patuh dan ikhlas.
Melewati samudera, gunung dan hutan belantarra, Sembada dan Dora mulai memasuki Medang
Kamolan. Namun betapa terkejutnya mereka ketika bertemu rombongan penduduk Medang
Kamolan yang bergegas keluar perbatasan. Para penduduk enggan menjawab ketika ditanya,
malah terlihat takut, seakan-akan diancam dari belakang. Kecurigaan mereka makin bertambah
ketika melewati beberapa desa yang kosong tak berpenghuni. Kalaupun ada, tinggal orang-orang
lanjut usia.
Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah rumah yang asri berhalaman luas. Mereka mengetuk
pintu dan disambut dengan penuh curiga oleh Kaki Grenteng, sang pemilik rumah. Setelah
mengetahui bahwa mereka hanyalah orang asing, Kaki Grenteng mempersilakan mereka masuk.
Singkat cerita, mereka menjadi paham mengapa rakyat pada mengungsi keluar.
Kaki Grenteng lalu menceritakan kekuatirannya karena di rumahnya terdapat seorang gadis
bernama Roro Cangkek. Pasti saat ini dia sedang diburu patih Aryo Tengger untuk menjadi
santapan sang prabu.
Puas mendengar cerita dan menyantap makanan dan minuman yang dihidangkan, Ajisaka minta
ijin untuk buang hajat. Saat menuju ke belakang, dia berpapasan dengan Roro Cangkek yang
juga sangat kaget dan malu melihatnya karena sebagian pakaiannya terbuka. Roro Cangkek lalu
lari ke dalam kamar, sedangkan Ajisaka yang masih tak habis pikir melihat ada bidadari di
kampung terpencil seperti ini, lalu menyelesaikan urusannya.
Ternyata, saat Ajisaka membuang hajat itu, datang seekor ayam jago yang sedang kehausan, lalu
meminum air seninya. Tak disangka, ayam jago itu lalu bersikap aneh, melonjak-lonjak
kegirangan dan berkokok seperti ayam betina yang akan bertelur. Roro Cangkek yang mellihat
keanehan tersebut lalu mendekati ayam jago itu, menggendongnya, membelainya dan
membawanya ke lumbung padi.

Saat itu pula, ternyata pasukan patih Aryo Tengger telah mengepung rumah kaki Grenteng. Ia
diperintahkan untuk segera menyerahkan Roro Cangkek. Akhirnya, dengan paksa mereka
menggotong Roro Cangkek dari kamarnya. Kaki Grenteng dan istrinya yang sudah tua tak bisa
berbuat apa-apa, mereka pingsan dipukuli oleh anak buah patih, sementara Ajisaka dan Dora
didorong ke sudut agar menjauh namun tak disakiti karena mereka orang asing.
Roro Cangkek berteriak dengan memilukan. Ajisaka lalu menghadang para punggawa yang
membawa Roro Cangkek, lalu mengatakan bahwa wanita itu mengidap suatu penyakit
berbahaya yang sangat menular, bahkan dari hembusan nafasnya. Ajisaka lalu menawarkan
dirinya sebagai pengganti Roro Cangkek untuk menjadi korban sang prabu.
Roro Cangkek memeluk kaki Ajisaka, tapi akhirnya Ajisaka pergi juga. Roro Cangkek hatinya
hancur.
Menghadap prabu Dewata Cengkar, Ajisaka dan Dora terlibat percakapan serius sebelum
akhirnya hidup mereka berakhir menjadi santapan sang prabu. Sang prabu rupanya bersedia
memenuhi 1 permintaan terakhir Ajisaka sebelum beliau memakannya. Ajisaka hanya minta
sepetak tanah di alun-alun Medang Kamolan, seluas sorban di kepalanya. Sang prabu segera
memenuhinya. Permintaan kecil, pikirnya.
Dengan disaksikan patih, tumenggung dan seluruh rakyat, Ajisaka membuka sorbannya,
memegang ujung utara, dan sang prabu memegang ujung selatan. Mereka mulai mengukur,
namun sorban tersebut malah semakin panjang dan panjang, tidak habis-habis gulungannya.
Sang prabu mulai kelelahan dan malu dilihat rakyatnya, lalu menyerah kepada Ajisaka. Saat itu
posisi beliau sudah di tebing laut yang curam. Beliau bersedia menyerahkan kerajaan asalkan
dibiarkan hidup. Rakyat tidak mau, mereka sudah cukup menderita karena perbuatan sang prabu
dan meminta Ajisaka segera membunuhnya. Dengan memohon kepada Yang Maha Pencipta,
Ajisaka mengibaskan sorbannya. Tubuh Dewata Cengkar terpental hingga ke tengah samudra,
hilang dibawa ombak. Setelah itu muncul seekor buaya putih dengan mulut menganga seolah
kelaparan. Buaya ini mengutuk Ajisaka dan bersumpah akan memangsa semua keturunannya
yang lengah di samudera.
Rakyat menyambut gembira dan mengangkat sang dewa penolong menjadi raja Medang
Kamolan. Sang patih dan tumenggung ditangkap rakyat lalu dilemparkan ke samudera agar
berkumpul bersama tuannya.
***
Sementara itu, di rumah Kaki Grenteng.
Ayam jago yang dulu dikurung di gudang jerami kini telah bertelur. Bentuk telurnya berbeda dan
tidak juga menetas pada waktunya seperti halnya ayam kampung. Hanya, lumbung padi mereka
tidak pernah kosong, selalu terisi penuh. Hal ini membuat Kaki Grenteng dan istrinya curiga,
lalu mereka membongkar tumpukan padi itu, dan tiba-tiba mundur ketakutan. Seekor ular
berkepala besar muncul, dan dapat berbicara. Dia minta bertemu dengan Roro Cangkek, yang
diakunya sebagai ibunya.
Roro Cangkek melihat ada kemiripan antara ular tersebut dengan Ajisaka, ditambah lagi dari
penjelasan sang ular bahwa dirinya berasal dari telur seekor ayam jago yang meminum air seni
Ajisaka. Sang ular meminta ijin pada ibunda Roro Congkek untuk mencari ayahnya. Oleh Roro
Cangkek lalu diarahkan ke kerajaan Medang Kamolan, dimana sang prabu Ajisaka bertahta.

Sang ular pun bergerak menuju arah yang ditunjuk ibunya. Badannya yang demikian besar
menyebabkan rumah penduduk dan hutan banyak yang rusak. Rakyat ketakutan. Pengawal
istana bersiap siaga, apalagi setelah mendengar ular itu bermaksud ingin bertemu raja.
Prabu Ajisaka tak begitu saja percaya bahwa ular itu adalah anaknya, tetapi setelah mendengar
ceritanya, beliau pun sadar bahwa ular itu benar. Tapi, untuk mengujinya, beliau menugaskan
sang ular untuk membunuh seekor buaya putih di Samodra Kidul (Laut Selatan), lalu membawa
pulang kepalanya. Jalan pulang ke Medang Kamolan harus melewati dasar bumi.
Sang ular melaksanakan tugas tersebut dengan mudahnya. Setelah menelan kepala buaya putih
untuk diperlihatkan kepada sang prabu, ia lalu menerobos tebing di pinggir pantai, untuk terus
menuju ke timur, ke Medang Kamolan.
Karena tidak yakin arah yang benar, ia naik sebentar ke permukaan, dan tiba di desa Jono,
kecamatan Tawangharjo. Hingga saat ini, daerah terebut terkenal dengan penghasil bleng, yaitu
sejenis cairan untuk campuran membuat kerupuk, yang dapat diproses menjadi garam dapur.
Kedua kalinya ia muncul ke permukaan yaitu di daerah Crewek, tetapi ternyata perjalanan masih
cukup jauh.
Lalu, untuk ketiga kalinya, dengan tak sabar ia memusatkan seluruh kekuatannya untuk
mengeluarkan badannya dari dasar bumi. Saking besarnya tubuh sang ular raksasa, sampai
mengeluarkan suara BLEDUG...BLEDUG... Ia tiba di desa Kuwu, Kecamatan Grobogan. Tetapi
tenaganya sudah habis, dan akhirnya ia lumpuh. Saat itu ia menjelma menjadi seorang anak
kecil. Seorang dukun menemukannya dan menyembuhkannya dari penyakit lumpuh. Sang dukun
menanyakan asal dan tujuan si anak, tetapi ia tak dapat menjawab. Akhirnya ia dikenal dengan
nama Joko Linglung.
***
Begitulah. Sebenarnya masih ada lanjutan cerita si Joko Linglung ini, yaitu sampai dia
menemukan ayah ibunya, lalu berakhir di Kesongo, daerah lain yang juga tandus, sebenarnya
berpotensi pariwisata, tapi saat ini hanya menarik buat para geologis.

ASAL USUL API ABADI MRAPEN GROBOGAN

Pada jaman dahulu berdirilah kerajaan Demak yang didirikan Raden Patah dibantu oleh para
Wali dan guru agama. Akhirnya oleh Prabu Brawijaya, Raden Patah diijinkan dan bahkan
diangkat menjadi Bupati di Bintara Demak pada tahun 1503. Kemajuan Bintara sangat pesat dan
pengaruhnya sampai menyusup ke daerah Majapahit. Beberapa bangsawan Majapahit sudah
mulai masuk Islam. Tahun 1509 Raden Patah diangkat sebagai Sultan Demak dengan Gelarnya
Sultan Jimbun Ngalam Akbar atau Panembahan Jimbun. Dia memerintah sampai tahun 1518 dan
digantikan oleh Adipati Umus (1518 1521). Usaha penaklukan Majapahit baru terlaksana pada
tahun 1525, yaitu pada masa kekuasaan Sultan Trenggono ( 1521 1546 ).
Dengan keruntuhan Majapahit tahun 1525, maka kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam di
Jawa menjadi penguasa tunggal. Sedang sisa sisa penguasa Majapahit yang tidak mau tunduk
ke Demak memindahkan pusat kerajaannya ke Sengguruh. Ada pula yang menyingkir ke
Ponorogo dan lereng Gunung Lawu. Setelah R. Patah menjadi raja dia mulai menata wilayah
kerajaan. Kota Demak dijadikan pusat pemerintahan, pusat perdagangan dan pusat pendidikan
dan penyebaran agama Islam ke seluruh Jawa. Sebagai lambang negara Islam dibangunlah
sebuah masjid Agung yang merupakan perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu.
Ekspedisi pemboyongan dipimpin oleh Sunan Kalijaga tampak berjalan lancar.
Setelah sampai di Mrapen mereka merasa sangat lelah. Kemudian rombongan itu beristirahat
disitu. Karena tidak ada air untuk minum, maka Sunan Kalijogo bersemedi memohon kepada
Tuhan diberi air untuk minum para pengikutnya. Tongkat wasiatnya ditancapkannya ke tanah,
kemudian dicabutnya. Tetapi yang keluar bukan air namun api yang tidak dapat padam (Api
Abadi). Sejak itulah tempat itu disebut Mrapen. Kemudian di tempat lain dilakukan hal yang
sama dan keluarlah pancuran air yang jernih, yang dapat diminum. Demikian rombongan itu
minum dan setelah hilang lelahnya mereka melanjutkan perjalanannya ke Demak.
Sesampainya di Demak barang - barangnya yang dibawa diteliti. Ternyata ada yang ketinggalan
di Mrapen, berupa sebuah ompak (alis tiang). Sunan Kalijaga menyatakan ompak itu tidak perlu
diambil sebab nantinya akan banyak gunanya. Batu ompak itu kemudian dikenal dengan Watu
Bobot. Suatu ketika Sunan Kalijaga mengajak Jaka Supo pergi ke hutan mencari kayu jati yang

cocok untuk dibuat Saka Guru Masjid Agung Demak. Jaka Suko adalah Putra Tumenggung
Mpu Supodriyo, seorang Wedana Bupati Mpu (tukang membuat alat perang dari besi) Kerajaan
Majapahit. Pada waktu itu Jaka Supa sendiri telah menjabat sebagai jajar Mpu walaupun dia abdi
Majapahit, tetapi dia telah belajar agama Islam pada Sunan Kalijaga.
Selama Sunan Kalijaga mengembara di hutan mencari kayu tersebut, dia berjumpa dengan Dewi
Rasa Wulan yang sedang Tapa Ngidang. Dewi Rasa Wulan sebenarnya adalah adiknya sendiri
yang lari dari Kadipaten Tuban, karena ditawari untuk menikah tidak mau. Oleh Sunan Kalijaga,
Dewi Rasa Wulan diajak ke Tuban. Di Tuban dia dikawinkan dengan Jaka Supa. Pada suatu
pagi, ketika Jaka Supa yang telah bernama Mpu Supa Memadai ( bahasa Jawa : Mandhe )
membuat keris, datanglah Sunan Kalijaga untuk minta kepada Jaka Supa membuat sebuah keris
yang baik. Sunan memberinya bahan berupa besi sebesar biji asam (sak klungsu) Jaka Supa
heran, dapatkah besi yang sekian besarnya dapat dibuat keris ? tetapi setelah dipegang ternyata
besi itu sangat berat dan berubah menjadi sebesar Gunung.
Mpu Supa sangat takut kepada Sunan Kalijaga, maka apa yang menjadi perintah Sunan Kalijaga
dikerjakan. Sunan Kalijaga memerintahkan supaya keris dibuat di Mrapen. Maka Mpu Supa
pergi ke Mrapen membuat keris tersebut. Untuk pembakarannya digunakan api abadi. Watu
Bobot digunakan sebagai landasannya. Sedang air sendang juga digunakan sebagai
penyepuhnya. Aneh, air yang tadinya jernih setelah dipakai untuk menyepuh keris berubah
warna menjadi kuning kecoklat - coklatan sampai sekarang. Setelah keris itu jadi, dalam Serat
Babad Demak (M. Atmo Darminto, 1962 : 55 56) dinyatakan : (tembang Dandang Gula) :
Sunan Kali angandika aris, Sunan arani kris dapur Sengkelat, dene kris abang warnane, nanging
iki tan patut, dipun angge wong laku santri, iki pantes kagema, mring patingginipun, negaraning
pulo Jawa, wus pinasthi besuk dadi pusaka ji, kang mengku nusu Jawa. Lah pundhinen jebeng
ingkang becik, bokmanawa Siradarbe darah, kang mengku nusa Jawane, nulya simpenen
tinampen gupuh, mring Ki Supa dhuwung pinundhi, dohing maling jeng Sunan, gawekena
ingsun, cothen pranti pembelehan, ingkang pantes dianggo wong laku santri, mengko sun golek
tosan.
Inti
Api abadi Mrapen adalah sebuah kompleks yang terletak di desa Manggarmas, kecamatan
Godong, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Kawasan ini terletak di tepi jalan raya Purwodadi Semarang, berjarak 26 km dari Kota Purwodadi. Kompleks api abadi Mrapen merupakan
fenomena geologi alam berupa keluarnya gas alam dari dalam tanah yang tersulut api sehingga
menciptakan api yang tidak pernah padam walaupun turun hujan sekalipun.
Banyak peristiwa besar mengambil api dari kompleks api abadi Mrapen sebagai sumber
obornya, misalnya pesta olahraga internasional Ganefo I tanggal 1 November 1963. Api abadi
dari Mrapen juga digunakan untuk menyalakan obor Pekan Olahraga Nasional (PON) mulai
PON X tahun 1981, POR PWI tahun 1983 dan HAORNAS. Api abadi dari Mrapen juga
digunakan untuk obor upacara hari raya Waisak.

Selain api abadi, di komplek tersebut juga terdapat kolam dengan air mendidih yang konon dapat
dipergunakan untuk mengobati penyakit kulit, serta batu bobot yang konon apabila seseorang
dapat mengangkatnya maka yang mengangkat tersebut akan mendapatkan keinginannya.

Asal Usul Jawa Barat


Baik orang Sunda maupun orang Jawa dua-duanya adalah orang Jawa. Dari sejarah kerajaankerajaan kuno di Pulau Jawa hampir tidak terlihat batas dan jarak untuk membedakan mana
orang jawa dan mana orang sunda.
Kalau dijaman sekarang hubungan Jawa - Sunda sering dianggap sebagai dua suku yang sama
sekali berbeda bagai minyak dan air dan hubungannya renggang secara historis akibat sejarah
lama yang dikait-kaitkan dengan warisan luka perang Bubat akibat kegagalan perkawinan Raja
Majapahit (hayam Wuruk) dan putri raja Pajajaran (Dyah Pitaloka), sebetulnya itu kaitan
yang tidak mencerminkan hubungan Sunda -j awa secara utuh dan menyeluruh dalam rentang
kurun sejarah yang panjang.
Jauh sebelum peristiwa Bubat muncul, sejarah banyak mengindikasikan bahwa sama sekali tidak
ada penghalang hubungan antara Jawa dan Sunda karena pada dasarnya mereka lebih memiliki
banyak kesamaan dan kemiripan akar budaya, kepercayaan, tradisi, genetik dan bahkan bahasa.
Baik orang Sunda maupun orang jawa mereka tidak pernah mengangap asing satu dengan
lainnya. Pertalian kekerabatan antara kerajaan Jawa dan sunda juga terjalin kuat sejak sejarah
kerajaan di Jawa muncul di era sejarah.
Sebut saja Ketika Tarumanegara pecah maka kerajaan Kalingga dari Jawa Tengah (terkenal
dengan Ratu Shima) menengahinya sehingga Tarumanegara dibelah dua secara damai menjadi
Sunda dan Galuh. Ini karena keluarga diraja Kalingga memiliki hubungan keluarga dengan
keturunan raja Tarumanegara yang berkuasa di Galuh. Berdasarkan sejarah, Sanjaya (pendiri
Wangsa Sanjaya Mataram Kuno) adalah hasil keturunan campuran darah Tarumanegara
(Galuh) dan Kalingga. Keeratan Sunda Galuh dan Kalingga memang bisa dimengerti karena
Tarumanegara bukanlah kerajaan agresor yang ingin menguasai wilayah selebar-lebarnya seperti
Sriwijaya ketika itu.
Hubungan kekerabatan keturunan raja-raja Sunda dan jawa juga terus berlangsung sampai keera
Wangsa Isana (Empu Sendok). Di sini diceritakan bahwa Raja Sunda terkenal Prabu Sri Jaya
Bhupati menikah dengan puteri kerajaan Medang (Dharmawangsa) dari jawa timur adik iparnya
Airlangga. Prabu Sri Jaya Bhupati sendiri adalah keturunan campuran darah ningrat Sunda dan
Sriwijaya. Ketika Medang diserang habis-habisan oleh Sriwijaya maka Jaya Bhupati diceritakan
dalam posisi sulit dan dilemma dan sebab itu bersikap netral karena disatu pihak dia punya
separo garis keturunan dari Sriwijaya dan dipihak lain isterinya adalah keturunan Raja Medang
ketika itu. Kerajaan Sunda ketika terjadi perang yang sering terjadi berkali-kali antara Srivijaya
dan kerajaan di tanah Jawa selalu mengambil sikap netral dan berusaha menjalin kekerabatan
baik dengan Sriwijaya maupun dengan kerajaan Jawa.
Raden Wijaya sendiri yaitu pendiri kerajaan besar Majapahit menurut sumber merupakan darah
campuran antara keturunan raja Sunda dengan keturunan Ken Arok Sang pendiri Singosari.
Perkawinan kerabat raja Sunda dengan keturunan Singosari tentu dimaksud untuk simbol
persahabatan kedua kerajaan yang juga pernah dilakukan Kerajaan Sunda terhadap Kerajaan
Medang, Kalingga dan Srivijaya. Tetapi khusus tentang pernyataan bahwa Raden Wijaya adalah
separo Sunda banyak disangkal ahli sejarah khususnya mereka yang mempercayai seratus persen
kitab Nagarakartagama karangan Empu prapanca.
Alasanya karena Nagara Kartagama ditulis belum lama setelah Raden Wijaya wafat dan
diperkuat oleh prasasti lainnya. Dalam Nagara kartagama dituliskan bahwa Dyah Lembu Tal
yang dalam versi ahli yang mempercayai Raden Wijaya punya darah keturunan kerajaan Sunda
disebutkan sebagai Ibu dari Raden Wijaya ternyata dalam Nagarakertagama disebutkan Lembu
Tal ini adalah laki-laki yang tidak lain ayahnya Raden Wijaya (bukan Ibu) dan ibunya Raden
Wijaya sendiri malah tidak disebut-sebut dalam nagarakartagama.

Saya sendiri belum mempercayai Nagarakartagama sepenuhnya sebagai tulisan jujur, jadi masih
lebih meyakini Lembu Tal itu ibunya Raden wijaya dan punya keterkaitan keturunan dengan
keluarga Raja-raja Sunda. Negarakertagama sebagai karya tulis jelas didedikasikan untuk pujapuji kebesaran Majapahit dan Raja-rajanya dan menyembunyikan borok didalamnya.
Itulah sebabnya Nagarakartagama tidak pernah menyinggung lebih dalam lagi leluhur raja-raja
majapahit yaitu mulai dari pertempuran berdarah dan perebutan kekuasaan dari sejak Ken Arok
Tunggul Ametung sampai keanak cucunya. Demikian pula walau Bubat disinggung dalam
Nagarakertagama tapi perang Bubat antara Pajajaran dan Majapahit yang menyebabkan matinya
calon penganten dan calon mertua Hayam Wuruk dari kerajaan Sunda tidak disinggung sama
sekali.
Penyebutan Lembu Tal sebagai ayah Raden Wijaya ada kemungkinan karena untuk
menghindarkan pertentangan garis keturunan dalam dinasti Ken Arok mengingat dinasti ini
sepanjang sejarahnya sangat sarat dengan perang keluarga dan pembunuhan yang berkaitan
dengan tahta dan keturunan. Penyebutan ayah Raden Wijaya adalah seorang lelaki keturunan
kerajaan Sunda mungkin bisa menjadi pemicu untuk menghasut keturunan lain berontak.
Tapi memang perlu diakui tidak ada yang pasti dalam mengungkap status asal usul Raden
Wijaya ini sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut.
Kembali kepada pertanyaan Siapa itu orang Sunda dan siapa Orang Jawa, maka dari rentetan
cerita diatas saya berkesimpulan mereka sebenarnya satu kerabat dekat yang memiliki tali
persaudaraan, punya kesamaan tradisi dan kepercayaan.
Yang lebih mengejutkan lagi prsasti tentang Kerajaan Sunda pada jaman Raja Jaya Bhupati yang
ditulis sekitar awal abad ke-11 diketemukan di Cibadak sukabumi, ternyata ditulis dalam bahasa
Jawa kuno.
Ini memberi indikasi kuat bagi saya sebenarnya yang namanya bahasa kehidupan orang Pulau
Jawa kuno adalah kurang lebih hampir sama dan cenderung dipengaruhi banyak oleh kata-kata
dari bahasa India kuno. Pada perkembangannya karena pengaruh kekuasaan kerajaan wijaya,
maka antara Jawa Barat dan jawa belahan lainnya berubah kearah berbeda.
Jawa-Barat hampir bisa dikatakan secara kontinyu dikuasai oleh kerajaan keturunan
Tarumanegara dan pecahannya sampai era kerajaan islam terutama banten dan kesultanan
Cirebon berdiri. Ini yang menyebabkan Jawa sebelah barat kemudian berkembang secara
eksklusif baik dari segi bahasa maupun identitas kesukuan dan pada perkembangan sejarah
modern kemudian mereka menamakan dirinya sebagai orang Sunda atau lebih tegas lagi berubah
menjadi suku sunda karena memang dari dulunya merupakan masyarakakat dibawah langsung
kerajaan Sunda.
Kerajaan Tarumanegara, Sunda atau pajajaran walau suatu ketika pernah menjadi kerajaan
dibawah bayang-bayang kekuasaan Srivijaya, singosari ataupun Majapahit tapi tidak pernah
secara langsung dikuasia atau disentuh kerajaan besar tersebut.

Pertama karena kerajaan Sunda selalu menerapkan strategi hubungan baik dan
kekeluargaan dengan kerajaan yang berusaha mencaploknya. Ini terbukti bahwa
keturunan kerajaan Sunda banyak menikah dengan keturunan raja-raja Jawa dan
Sumatera.

Kedua, karena letak Jawa Barat adalah dipintu masuk antara Sumatera dan jawa maka
kerajaan Sunda memiliki letak yang strategis.

Sriwijaya terlalu kuat disebelah barat untuk bisa ditundukan sepenuhnya oleh kerajaan jawa dan
sebaliknya pula kerajaan jawa yang dalam perkembangannya lebih menjurus kewilayah timur
(jawa timur) terlalu jauh untuk dijangkau dan dirundukan Sriwijaya.
Dengan demikian wilayah jawa barat merupakan wilayah yang tidak pernah sepenuhnya dan
secara kontinu dijadikan pusat pemerintahan maupun kegiatan militer kerajaan Jawa, kecuali

pada masa kerajaan Islam Demak yang menyerang Sunda Kelapa dan membangun pertahanan
disitu.
Inilah yang menyebabkan wilayah Jawa-Barat relatif tidak banyak tersentuh pengaruh budaya
kerajaan kerajaan Jawa selain kerajaan Sunda. Dengan demikian dalam perkembangannya
daerah jawa barat berubah menjadi pusat budaya dan bahasa yang berkembang kearahnya
tersendiri.
Sejurus dengan pengaruh retaknya hubungan Majapahit pajajaran akibat perang bubat pada abad
ke-14 kemudian munculnya era penyebaran kebudayaan Islam di Jawa yang dilanjutkan dengan
lahirnya penjajahan barat, maka Jawa barat sudah renggang terpisah dari wilayah jawa lainnya
dan berkembang sendiri mencari bentuknya sendiri.
Maka dari situlah apa yang terlihat sekarang lahir perbedaan antara bahasa dan budaya Sunda
dan non-Sunda di tanah Java Dvipa. Orang modern kemudian menyebut budaya Java warisan
kerajaan Sunda disebut Jawa-sunda atau Sunda saja dan wilayah Jawa lainnya bekas kekuasaan
Majapahit sebagai Jawa-Jawa atau Jawa saja.
Majapahit tidak pernah mengganggu kerajaan Sunda bukan karena Majapahit takut Sunda tapi
merupakan bentuk tanggung-jawab moral Hayam Wuruk terhadap masyarakat Sunda yang
merasa prihatin tidak bisa mengatasi kesalah pahaaman atas terjadinya malapetaka Bubat dan
tidak ingin mengingat-ingat kisah pahitnya dengan Dyah Pitaloka.
Ini menunjukkan bahwa Hayam wuruk memang tidak bermaksud menciptakan perang Bubat
demi kekuasaan.

Vous aimerez peut-être aussi