Vous êtes sur la page 1sur 15

Definisi

Asma adalah gangguan inflamasi kronik jalan napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi dan
elemennya yang berhubungan dengan hiperaktivitas bronkus, sehingga menyebabkan episodic
berulang berupa mengi, sesak napas, rasa berat di dada dan batuk terutama pada malam atau dini
hari. Episodik perburukan tersebut berkaitan dengan luasnya peradangan, variabilitas, beratnya
obstruksi jalan napas yang bersifat reversible baik spontan ataupun dengan pengobatan. [1]

Patofisiologi
Terjadi inflamasi pada mukosa respiratorik dari trakea sampai bronkioles terminal, namun lebih
dominan pada bronkus. Sudah ditemukan komponen utama dari inflamasi namun masih belum
jelas bagaimana sel inflamasi berinteraksi dan bagaimana proses inflamasi diterjemahkan
menjadi gejala-gejala asma. [2]

Terdapat bukti bahwa inflamasi jalan napas dengan pola yang spesifik pada asma berhubungan
dengan hiperresponsivitas jalan napas (Airway hiperresponsivenes/AHR), sebuah kelainan

fisiologis pada asma yang berhubungan dengan obstruksi saluran pernapasan. Banyak sel-sel
inflamasi yang sudah diketahui terlibat dalam asma, tidak ada sel yang predominan, [2]

Sel-sel inflamasi
Sel inflamasi yang terlibat dalam patofisiologi asma adalah sel mast, eosinofil, limfosit T
terutama Th2, sel dendritik, makrofag dan neutrofil.[1]

Gambar. Sel-sel inflamasi yang terlibat dalam patofisiologi asma

Sel mast
Sel mast sangat berperan dalam menginisiasi respon bronkokonstriksi akut terhadap allergen dan
stimulus lain yang secara langsung menyebabkan respon bronkokonstriksi seperti olahraga dan
hiperventilasi (akibat perubahan osmolalitas dan thermal). Sel mast yang teraktivasi ditemukan
dalam permukaan saluran pernapasan pada pasien asma dan pada lapisan otot polos saluran
pernapasan. Sel mast teraktivasi oleh allergen melalui mekanisme yang bergantung pada IgE. Sel
mast akan melepaskan beberapa mediator bronkokonstriksi seperti histamine, prostaglandin D2
dan sisteinil-leukotriene, berserta beberapa sitokin, kemokin, growth factors dan neutrophil. [2]
Makrofag dan sel dendrit
Makrofag yang berasal dari monosit dapat teraktivasi oleh allergen melalui reseptor IgE afinitas
rendah. Makrofag dapat menyebabkan respon inflamasi melalui pelepasan sitokin, namun sel ini
juga melepaskan mediator anti inflamasi (IL-10) sehingga perannya dalam asma masih belum
jelas. [2]
Sel dendrite adalah sel khusus pada epitel saluran pernapasan yang juga merupakan Antigen
presenting cell. Sel dendrite akan mengambil allergen, memprosesnya menjadi peptide dan
bermigrasi menuju nodus limfatik local untuk mempresentikan peptide alergenik kepada Tlimfosit untuk memprogram produksi dari sel T yang spesifik terhadap allergen tersebut. Sel
dendrite imatur pada saluran pernapasan menyebabkan diferensiasi sel TH2 dan memerlukan
sitokin seperti IL-12 dan tumor necrosis factor (TNF) untuk meningkatkan respon TH1 yang
biasanya terdapat dalam jumlah yang banyak. Sebuah sitokin dalam sel epitel pasien asma,
thymic stromal lymphopoietin (TSLP) menginstruksikan sel dendrite untuk melepaskan kemokin
yang menarik TH2 ke saluran pernapasan. [2]

Eosinofil
Infiltrasi eosinofil merupakan cirri khas yang ditemukan pada saluran pernapasan pasien dengan
asma. Inhalasi allergen menyebabkan peningkatan bermakna eosinofil yang teraktivasi pada
waktu reaksi lambat. Eosinofil berhubungan dengan perkembangan hiperresponsivitas saluran
pernapasan melalu pelepasan protein dan radikal bebas. Rekruitmen eosinofil melibatkan proses

adhesi eosinofil pada sel endotel vascular pada sirkulasi saluran pernapasan melalui interaksi
molekul adhesi, migrasi menuju submukosa dengan bantuan kemokin diikuti dengan aktivasi dan
pemanjangan kelangsungan hidup. Eosinofil juga berperan dalam pelepasan growth factor yang
terlibat dalam airway remodeling. [2]
Neutrofil
Peningkatan jumlah neutrofil teraktivasi dapat ditemukan pada sputum dan saluran pernapasan
pada pasien dengan asma berat dan pada eksaserbasi, walaupun terdapat sebagian pasien dengan
asma ringan atau sedang yang mempunyai predominan netrofil. [2]
Limfosit T
Limfosit T berperan penting dalam mengkoordinasi respon inflamasi dalam asma melalui
pelepasan sitokin spesifik yang menyebabkan recruitment eosinofil dan dalam mempertahankan
jumlah sel mast dalam saluran pernapasan. Pada system saluran pernapasan naf dan asma
terdapat predominansi terhadap fenotipe TH2, sedangkan TH1 lebih predominan pada saluran
pernapasan normal. Sel TH2 melalui pelepasan IL-5 berhubungan dengan inflamasi eosinofilik
dan melalui pelepasan IL-4 dan IL-3 berhubungan dengan pembentukan IgE. [2]
Sel Struktural
Sel struktural pada saluran pernapasan seperti sel epitel, fibroblast dan sel-sel otot polos juga
merukan sumber mediator inflamasi yang penting seperti sitokin, mediator lipid pada asma.
Karena jumlah sel structural jauh lebih banyak daripada sel-sel inflamatorik, sel-sel tersebut
dapat menjadi sumber utama mediator pada inflamasi kronik saluran pernapasan. Sebagai
tambahan, sel epitel juga berperan penting dalam mentranslasikan sinyal lingkungan yang
terhirup menjadi respon inflamasi jalan napas. [2]
Mediator inflamasi
Banyak mediator terlibat dalam asma, yang dapat mempunyai efek yang bervariasi pada saluran
pernapasan. Mediator seperti histamine, prostaglandin D2, dan cysteinyl-leukotrienes
menyebabkan kontraksi otot polos saluran pernapasan, meningkatkan kebocoran (leakage)
mikrovaskular, meningkatkan sekresi mucus saluran pernapasan dan merekrut sel-sel inflamasi

lain. Karena masing-masing mediator mempunyai banyak efek, peran dari masing-masing
mediator dalam patofisiologi asma belum jelas. [2]

Sitokin
Berbagai sitokin meregulasi inflamasi kronik pada asma. Sitokin TH2 seperti IL-4, IL-5 dan IL13 memediasi inflamasi alergik sedangkan sitokin proinflamasi seperti TNF dan IL-1
meningkatkan respon inflamasi dan berperan pada penyakit yang lebih berat. Thymic stromal
lymphopoietin (TSLP) merupakan sebuah sitokin yang dilepaskan oleh sel epitel menyebabkan
pelepasan kemokin yang secara selektif merekrut sel TH2. Beberapa sitokin seperti IL-10 dan
IL-12 yang bersifat anti-inflamasi dapat defisien pada asma. [2]

Kemokin
Kemokin berperan dalam menarik sel-sel inflamasi dari sirkulasi bronchial menuju jalan napas.
Eotaxin (CCL11) secara selektif menarik eosinofil melalui CCR3 dan diekspresikan oleh sel
epitel pada pasien asma. CCL17 (TARC) dan CCL22 (MDC) dari sel epitel menarik sel TH2
melalui CCR4. [2]

Stres oksidatif
Terjadi peningkatan stress oksidatif pada asma karena sel-sel inflamatorik seperti makrofag dan
eosinofil memproduksi reactive oxygen species. Peningkatan stress oksidatif berhubungan
dengan derajat keparahan penyakit, dapat meningkatkan respon inflamasi dan dapat mengurangi
respon terhadap kortikosteroid. [2]
Nitric Oxide (NO)
Nitric oxide diproduksi oleh beberapa sel di saluran pernapasan oleh NO synthase, terutama pada
sel sepitel dan makrofag. Pada pasien asma, terjadi peningkatan kadar NO yang dapat
berkontribusi terhadap vasodilatasi bronchial. [2]

Faktor transkripsi
Faktor transkripsi proinflamasi seperti nuclear-factor B dan activator protein-1 teraktivasi pada
saluran pernapasan pasien asma dan menyebabkan ekspresi dari berbagai gen inflamatorik.
Faktor transkripsi yang lebih spesifik yang terlibat berupa nuclear factor dari sel T teraktivasi
yang berperan dalam regulasi ekspresi sitokin TH2. [2]
Dampak proses inflamasi
Respon inflmasi kronik mempunyai beberapa efek pada sel target dari saluran pernapasan yang
menyebabkan perubahan patofisiologis yang kahas pada asma. Asma dapat dikatakan sebagai
penyakit dengan inflamasi yang kontinu dan repair yang terjadi bersamaan. [2]
Epitel saluran pernapasan
Pelepasan (shedding) epitel saluran pernapasan penting dalam AHR dan dapat menjelaskan
bagaimana beberapa mekanisme seperti paparan ozone, infeksi virus, paparan allergen dapat
menyebabkan AHR karena hal-hal tersebut menyebabkan disrupsi epitel. Kerusakan epitel
berkontribusi terhadap AHR dalam beberapa cara, termasuk kehilangan fungsi barrier yang
menyebabkan penetrasi allergen, kehilangan enzim seperti neural endopeptidase yang
mendegradasi beberapa peptide mediator inflamasi dan kehilangan faktor relaksan (epithelialderived relaxant factor) dan paparan saraf sensorik yang dapat menyebabkan reflek neural pada
saluran pernapasan. [2]

Fibrosis
Pada semua pasien asma, membrane basal menebal akibat fibrosis subepitelial dengan deposisi
kolagen tipe III dan V dibawah membrane basalis dan berhubungan dengan infiltrasi eosinofil,
akibat pelepasan mediator profibrotik seperti TGF-b. Manipulasi mekanis dapat merubah fenotip
sel epitel saluran pernapasan menjadi profibrotil. Pada pasien dengan asma berat, juga terdapat
fibrosis pada dinding saluran pernapasan yang dapat berkontribusi pada penyempitan jalan napas
yang ireversibel. [2]

Otot polos saluran pernapasan


Masih didebatkan tentang peran dari abnormalitas otot polos pernapasan pada pasien asma. Sel
otot polos pada pasien asma biasanya tidak menunjukan peningkatan resnponsivitas terhadap
konstriktor, namun terjadi penurunan responsivitas terhadap - agonis walaupun jumlah
reseptornya tidak berkurang. Abnormalitas otot polos pernapasan ini dapat terjadi sekunder
akibat proses inflamasi kronik. Mediator inflamasi dapat memodulasi channel ion yang
merefulasi potensial membran dari sel otot polos pernapasan, sehingga merubah eksitabilitas selsel tersebut. Pada saluran pernapasan asma, juga terdapat hipertrofi dan hiperplasi otot polos
yang diduga akibat stimulasi oleh berbagai growth factor seperti platelet-derived growth factor
(PDGF) atau endothelin-1 yang dilepaskan oleh sel-sel inflamasi atau epitel. [2]
Respon Vaskular
Terjadi peningkatan aliran darah mukosa saluran pernapasan pada asma. Sirkulasi bronkial
berperan penting dalam meregulasi luas jalan napas karena peningkatan volume vaskular dapat
berkontribusi kepada penyempitan jalan napas. Peningkatan aliran darah penting dalam eliminasi
mediator inflamasi dari jalan napas, dan penting dalam perkembangan exercise-induced asthma.
Pada asma, terjadi peningkatan jumlah pembuluh darah yang terjadi akibat angiogenesis sebagai
respon dari growth factor, terutama vascular-endothelial growth factor. Kebocoran mikrovskular
dari venula postkapiler sebagai respon terhadap mediator inflamasi terlihat pada asma, yang
menyebabkan odem saluran napas dan eksudasi plasma kedalam lumen. [2]
Hipersekresi mukus
Peningkatan sekresi mukus berkontribusi pada pembentukan mucuos plug yang mengoklusi
saluran pernapasan. Terdapat bukti terjadinya hiperplasia kelenjar submukosa dan peningkatan
jumlah sel goblet. IL-3 dan IL-4 menginduksi hipersekresi mukus pada model eksperimen asma.
[2]

Efek Neural
Berbagai defek pada kontrol neural autonom berkontribusi pada AHR pada asma, namun hal-hal
ini lebih cenderung sekunder dari penyakit asma, bukan defek primer. Jalur kolinergik, melalui

pelepasan asetilkolin yang bekerja pada reseptor muskarinik menyebabkan bronkokonstriksi


yang dapat teraktivasi secara refleks pada asma. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi saraf
sensorik yang menyebabkan refleks bronkokonstriksi kolinergik atau pelepasan neuropeptida
inflamatorik. Produk-produk inflamasi dapat mensensitisasi saraf sensorik pada epitel saluran
nafas. Neutrophin yang dilepaskan oleh berbagai sel termasuk sel epitel dan sel mast
menyebabkan proliferasi dan sensitisasi saraf sensorik saluran pernapasan. Saraf saluran napas
juga dapat melepaskan neurotransmitter seperti substansi P yang mempunyai efek inflamatorik. [2]
Airway Remodeling
Beberapa perubahan terjadi pada struktur jalan napas yang khas terjadi pada asma, yang dapat
menyebabkan penyempitan jalan napas yang ireversibel. Terjadi penurunan fungsi paru yang
lebih besar pada pasien asma, namun fungsi paru dapat dipertahankan bila diterapi dengan baik.
Perubahan yang terjadi adalah peningkatan otot polos saluran pernapasan, fibrosis, angiogeneris
dan hiperplasia mukosa. [2]

Klasifikasi

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai faktor antara lain etiologi, fenotip, berat
penyakit dan kondisi terkontrol.[1]
Etiologi
Klasifikasi asma berdasarkan etiologi berhubungan dengan faktor lingkungan yang
mensensitisasi timbulnya asma seperti asma alergi dan asma kerja. Klasifikasi ini mempunyai
keterbatasan yaitu banyak pasien asma yang tidak dapat diidentifikasikan faktor lingkungan
sebagai penyebab atau pencetus asma. [1]
Fenotip inflamasi
Klasifikasi asma berdasarkan fenotip inflamasi yang terjadi pada asma menggambarkan interaksi
antara genetic pasien dengan lingkungan serta dikaitkan dengan pengobatan. Termasuk
didalamnya adalah asma akibat aspirin, asma eosinofilik, asma non-eosinofilik, dll. Identifikasi
fenotip bermanfaat terutama bagi pasien dengan asma berat untuk pendekatan penanganannya,
serta untuk kegiatan riset. [1]
Gambaran klinis
Klasifikasi beratnya asma berdasarkan gambaran klinis dikaitkan dengan pengobatan dan
perencanaan jangka panjang tatalaksana asma. Pada penilaian awal sebelum pasen mendapatkan
pengobatan, beratnya asma dinilai berdasarkan gambaran klinis yang termasuk didalamnya
adalah gejala, eksaserbasi asma, kebutuhan reliever (pelega), dan nilai faal paru. Tapi bila pasien
sudah dalam pengobatan, maka beratnya asma dinilai berdasarkan gambaran klinis asma dan
rejimen pengobatan (tahapan pengobatan) yang digunakan saat itu. [1]

Derajat

Gejala

Gejala Malam

Faal Paru

Asma
Intermiten

Gejala <1x /minggu

Tidak ada gejala diluar

<2x/
bulan

APE>80% prediksi

eksaserbasi
Persisten

ringan

Eksaserbasi singkat
Gejala >1x/minggu tetapi

<1x/hari

>2x /

Variabilitas VEP1

atau APE<20 %
VEP1 atay APE

bulan

>80% nilai prediksi

Eksaserbasi dapat
mengganggu aktivitas dan

Persisten

tidur
Gejala setiap hari

sedang

Eksaserbasi mengganggu
Membutuhkan

Persisten

bronkodilator setiap hari


Gejala setiap hari

berat

Eksaserbasi sering

Aktivitas fisik terbatas

Variabilitas VEP1
atau APE 20-30%

>1x/
minggu

VEP1 atau APE 6080% prediksi

aktivitas dan tidur

VEP1 atau

Variabilitas VEP1
atau APE > 30%

Sering

VEP1 atau APE


60% prediksi

Variabilitas VEP1
atau APE > 30%

Tabel klasifikasi beratnya asma berdasarkan gambaran klinis (penilaian awal, sebelum
terapi)

Gejala dan faal paru dalam pengobatan

Tahapan pengobatan yang sedang digunakan


saat penilaian

Tahap 1

Tahap 2

Intermitten Persisten
Tahap 1: Intermiten

Gejala< 1x/ minggu

Serangan singkat

Gejala malam <2 bulan

Faal paru normal diluar eksaserbasi


Tahap II: persisten ringan

Gejala >1x/minggu tapi <1x/ hari

Gejala malam >2x/bulan tapi

Tahap 3
Persisten sedang

Intermiten

ringan
Persisten ringan

Persisten

Persisten sedang Persisten berat

Persisten sedang

ringan

<1x/minggu
Faal paru normal diluar eksaserbasi
Tahap III: persisten sedang

Gejala setiap hari

Serangan mempengaruhi aktivitas

Persisten

Persisten berat

Persisten berat

Persisten berat

Persisten berat

sedang

dan tidur

Gejala malam >1x/minggu

Faal paru 60%<VEP1<80% nilai


prediksi atau 60%<APE< 80% nilai

terbaik
Tahap IV: persisten berat

Gejala terus menerus

Serangan sering

Gejala malam sering

Faal paru VEP160% nilai prediksi

Persisten
berat

atau APE 60% nilai terbaik


Tabel klasifikasi berat asma berdasarkan paduan treapi setiap harinya dan respon terapi
Kondisi terkontrol

Klasifikasi berdasarkan kondisi terkontrolnya asma memudahkan penilaian asma di lapangan dan
sekaligus berhubungan dengan tujuan pengobatan, yaitu asma terkontrol. Beberapa instrument
yang valid untuk menilai status asma kontrol adalah Asthma Control Questionare (ACQ) atau
Asthma Control Test (ACT). [1]
Derajat Terkontrolnya Asma
A. Penilaian Kontrol Asma (> 4 minggu terakhir)
Karakteristik
Terkontrol total
Terkontrol sebagian
(semua criteria)

(minimal 1 kriteria dalam

Gejala harian
Keterbatasan

Tidak ada (2/minggu)


Tidak ada

setiap minggunya)
>2x/minggu
Ada

aktivitas
Asma malam/

Tidak ada

Ada

nokturnal
Kebutuhan pelega
APE atau VEP1

Tidak ada (2/minggu)


Normal

>2x/minggu
<80% prediksi atau nilai

Tidak terkontrol

Terdapat 3
kriteria dari asma
terkontrol sebagian
dalam setiap
minggu

terbaik
B. Penilaian resiko berikutnya (risiko eksaserbasi, tidak stabil, penurunan faal paru,
efek samping)
Gambaran yang berkaitan dengan kejadian yang tidak diharapkan termasuk:
Kondisi klinis tidak terkontrol, sering eksaserbasi dalam satu tahun terakhir, membutuhkan
perawatan rumah sakit karena kondisi kritis asma, faal paru (VEP1) rendah, pajanan asap rokok,
menggunakan pengobatan dosis tinggi.
Catatan:
Terkontrol

: Harus memenuhi semua criteria

Terkontrol sebagian

: 1-2 kriteria dalam seminggunya

Tidak terkontrol

: 3 kriteria terkontrol sebagian dalam seminggunya

Differential Diagnosis
Berbagai kondisi/penyakit dapat memiliki gejala pernapasan (sesak napas, batuk, mengi, rasa
berat di dada) seperti asma, penilaian gejala dan riwayat medis yang cermat dan pemeriksaan

fisik tepat serta pemeriksaan faal paru yang menunjukan obstruksi saluran napas yang reversible
(dengan spirometri) dan terdapat variabilitas adalah mendukung konfirmasi diagnosis asma. [1]
Biasanya tidak sulit untuk membedakan asma dari kondisi-kondisi lain yang menyebabkan
dispnea dan wheezing. Obstruksi saluran napas atas oleh tumor atau edem laring dapat
menyerupai asma berat, namun pada pemeriksaannya ditemukan stridor yang terlokalisasi pada
jalan napas yang besar. [2]
Wheezing persisten pada area spesifik dada dapat mengindikasikan obstruksi endobronkial oleh
benda asing. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dapat dibedakan dari asma karena pada
PPOK terdapat lebih sedikit variabilitas, tidak pernah remisi sempurna, dan menunjukan sedikit
reversibilitas dengan penggunaan bronkodilator. [2]
Berbagai kondisi/penyakit sebagai diagnosis banding adalah: [1]

Sindrom hiperventilasi dan serangan panic

Obstruksi saluran napas atas dan benda asing

Disfungsi pita suara

Bronkitis kronik

Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)

Bronkiolitis atau Diffuse Pan Bronchiolitis (DPB)

Diffuse Parenchymal Lung Disease (DPLD) atau Interstitial Lung Disease (ILD)

Dll.

Daftar Pustaka
1. Pedoman tatalaksanan Asma, Dewan Asma Indonesia

2. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons
Principles of Internal Medicine, 18th ed. McGraw-Hill Companies, 2012.

Vous aimerez peut-être aussi