Vous êtes sur la page 1sur 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


1.2. Tujuan

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Status
Suku
Alamat
Pekerjaan
Tanggal Pemeriksaan
2.2. Anamnesa
2.2.1.
2.2.2.

: Ny. RH
:37th
: Perempuan
: Islam
: Sudah menikah
: Sasak
: Pagesangan
: Ibu Rumah Tangga
: 8 Februari 2015

Keluhan Utama
: Benjolan pada leher
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RS Kota Mataram dengan keluhan terdapat

benjolan di leher sejak 20 tahun yang lalu. Awalnya benjolan di leher


kanan sebesar biji kelereng yang kemudian semakin membesar sampai
sebesar bakso. Pasien mengatakan benjolan tidak terasa nyeri kecuali
pada saat menelan sampai pasien merasa susah menelan.
Pasien mengatakan sering berdebar-debar, sering merasa gelisah
dan nafsu makan berkurang serta berat badan menurun. Pasien
mengaku lebih suka udara panas dan tangan gemetar. Pasien
mengeluh terkadang sering merasa pusing.

2.2.3.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien mengaku tidak pernah memiliki gejala-gejala yang sama

seperti saat ini sebelumnya, pasien mengaku tidak memeliki gejalagejala penyakit kencing manis, darah tinggi, pasien juga mengaku
2

tidak memiliki gejala-gejala sering sesak nafas karena alergi, dan juga
tidak ada alergi terhadap makanan juga obat tertentu.
2.2.4.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Dari pengakuan pasien, keluarga pasien tidak ada yang memiliki

gejala yang sama seperti yang disebutkan oleh pasien, dan sebelumna
juga tidak ada keluarganya yang menderita gondok.
2.2.5.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien mengaku tinggal di lingkungan menengah kebawah di

perkampungan. Dari pengakuan pasien pun, pasien tidak mengontrol


makanan dan minuman yang dikonsumsinya sehari-hari, pasien juga
mengaku sering membeli bahan-bahan memasak di warung tanpa
memperhatikan kandungannya seperti garam yang dibelinya.
2.3. Pemeriksaan Fisik
2.3.1. Tanda Vital
TD
Nadi
Respirasi
Suhu

: 110/700 mmHg
: 65 x/menit, irama teratur, kuat angkat
: 18 x/menit
: 36,5 C

2.3.2. Status Generalis


1. Kepala
Kepala :Normocephali, bentuk simetris
Mata

:Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,

refleks pupil +/+


Hidung :Dalam bats normal
Telinga :Dalam batas normal
2. Leher
3

Inspeksi : Tampak benjolan pada leher kiri dan kanan


bagian depan bawah yang ikut bergerak ke atas pada
waktu penderita menelan ludah. tidak ada perubahan
warna kulit.
Palpasi : benjolan berada di lobus kanan, lobus kanan
berukuran 3x2cm, konsistensi kenyal, berbatas tegas,
nyeri tekan (-).
Auskultasi : bruit (-)
3. Thorax
Inspeksi
: Terlihat bentuk dada simetris, pergerakan
dinding dada kanan dan kiri simetris, retraksi dinding dada
(-), iktus kordis tidak tampak.
Palpasi : Pergerakan dinding dada kanan dan kiri
simetris.
Perkusi : Sonor di lapangan paru
Auskultasi
: Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur
(-), gallop (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/4. Abdomen
Inspeksi : Datar, distensi (-), hematom (-), luka bekas
operasi (-), tak tampak massa.
Auskultasi: Bising usus (+) normal,
Perkusi : Timpani (+) pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (+) pada perut kanan atas.
5. Extremitas
a. Akral hangat (+) pada kedua telapak tangan dan kaki
b. Edema (-) pada kedua tangan dan kaki

2.4. Hasil Pemeriksaan


2.4.1.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah Rutin
Wbc
: 9,08 [103/L]
Hgb
: 12,9 [g/dl]

(4.0 10.0)
(11.0 15.0)
4

Hct
Plt

: 39,2 L [%]
: 288 [103/L]

2. Kimia Klinik
SGOT/AST
SGPT/ALT
Ureum
Creatinin
GDS
2.4.2.

: 20 U/L
: 16 U/L
: 22,9 mg%
: 0,8 mg%
: 106 mg/dl

(36.0 48.0)
(150 380)

(<31 U/L)
(<31 U/L)
(17 43 mg%)
(0,6 1,1 mg%)
(80 120 mg/dl)

USG tyroid/coli
a. Tyroid kanan : bentuk dan ukuran membesar (6cm3), parenkim
inhomogen, kapsul utuh, pada dopler tampak vaskularisasi
perinodul.
b. Kesan : struma tyroid lobus kanan kiri, tak tampak
limfadenopati regio coli kanan kiri.

2.5. Diagnosis
2.5.1.

Struma nontoksik

2.6. Rencana Tindakan


2.6.1.
Tiroidektomi
2.7. Tindakan Anestesi
2.7.1.
Pre operatif
c. Perawatan di IRNA 3A
d. Paien puasa 6 jam preop
e. Informed concent keluarga resiko tinggi opersai
f. Premed : metal prednisolon 125 mg + ranitidine 1 ampul, 1 jam
sebelum operasi.
g. Pasang IVFD RL 20 tpm
h. O2 3L 6 jam preop.
2.7.2.
Peri operatif
1. Jenis anestesi : General Anestesi
5

2.
3.
4.
5.

Resiko operasi : Besar


ASA
:I
Premedikasi
: Ondansentron 4mg, Midazolam 1 mg.
Anestesi
:
a. Induksi melalui intravena menggunakan
i. Profofol 100 mg
j. Fentanil 75 mg
b. Maintenance
: O2, N2O, Isoflurence, sevoflurence.
c. Mulai anestesi
: 11:00 WITA
d. Selesai anestesi : 12:30 WITA
e. Lama anestesi
: 90 menit
6. Terapi Cairan :
a. Berat Badan
: 50kg
b. EBV
: 65cc/kgBB x 50kg = 3250
c. Jumlah perdarahan
: 100cc
d. Kebutuhan cairan :
Maintenance
: 2cc/kgBB x 50kg = 100cc/jam
Deficit puasa
: 100cc x 6 jam = 600 cc
Stress operasi
: 6cc x 50kg = 300cc
e. Cairan yang diberikan : RL 1000 cc, FIMAHES 500 cc
f. Pemakian obat/ bahan/ alat :
Obat suntik :
- Profofol
= 100 mg
- Fentanil
= 75 mg
- Tramadol
= 100 mg
- Ondansentron = 4 mg
- Ketorolac
= 30 mg
- Midazolam = 1
mg
Obat inhalasi
:
- N2O 2 L/menit
- O2 2 L/menit
- Sevoflurence 2 cc
- Isoflurence 2cc
Cairan
: RL 2 btl
Alat / lain-lain
: spuit 2,5 cc (2), spuit 5cc, (2),
spuit 10cc (2)
Perintah diruangan :
- Awasi TTV selama 24 jam
- Mual/muntah berikan ondansentron 4mg/8jam
- Program cairan RL 20 tpm
6

Program analgetik ketorolak 30 mg, tramadol


100 mg intravena/8jam, bias diberikan lebih

awal jika pasien kesakitan.


Khusus :
- Post operasi diberikan O2 3L/menit nasal
-

kanul.
Bila aldrete score 9/10 boleh pindah ruangan

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. General Anestesi
Asal kata Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa"
dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan
pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Obat yang digunakan
7

dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok ini


dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Bergantung pada dalamnya
pembiusan, anestetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya
sensasi nyeri atau efek anesthesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran,
sedangkan anestetik lokal hanya menimbulkan efek analgesia. Anestesi umum
bekerja di Susunan Saraf Pusat, sedangkan anestetik lokal bekerja langsung pada
Serabut Saraf di Perifer.
Anestesi umum (General Anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose
Umum (NU). Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko
yang tidak diinginkan dari pasien.
Dengan anestesi umum, akan diperoleh triad (trias) anestesia, yaitu :

Hipnosis (tidur)

Analgesia (bebas dari nyeri)

Relaksasi otot
Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran, isofluran,
sevofluran). Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID tertentu. Obatobat tertentu misalnya thiopental hanya menyebabkan tidur tanpa relaksasi atau
analgesia, sehingga hanya baik untuk induksi. Hanya eter yang memiliki trias
anestesia. Karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka
trias anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam obat. Eter
menyebabkan tidur, analgesia dan relaksasi, tetapi karena baunya tajam dan
kelarutannya dalam darah tinggi sehingga agak mengganggu dan lambat (meskipun
aman) untuk induksi. Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas otot

(muscle relaxant). Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot
sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan. Obat-obat opium seperti
morfin dan petidin akan menyebabkan analdesia dengan sedikit perubahan pada
tonus otot atau tingkat kesadaran. Kombinasi beberapa teknik dan obat dapat
dipergunakan untuk mencapai tujuan ini dan kombinasi ini harus dipilih yang paling
sesuai untuk pasien.
Tujuan Anastesi Umum adalah Anestesi umum menjamin hidup pasien, yang
memungkinkan operator melakukan tindakan bedah dengan leluasa dan menghilakan
rasa nyeri.
3.2. STRUMA
3.2.1.

Definisi
Kelainan glamdula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti

tiritosikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya,


seperti penyakit tyroid noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran
tyroid umumnya disebut struma.
3.2.2.
Embriologi
Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah
usus depan. Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada janin
berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan.
Kelenjar tyroid berasal dari lekukan faring antara branchial pouch
pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang
kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami desensus dan
akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk
sebagai duktus tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis
lidah.
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan
tertentu masih menetap. Dan akan ada kemungkinan terbentuk
kelenjar tyroid yang letaknya abnormal, seperti persisten duktud
tyroglossus, tyroid servikal, tyroid lingual, sedangkan desensus yang
9

terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal. Branchial pouch


keempat ikut membentuk kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel
parafolikular atau sel C, yang memproduksi kalsitonin.(IPD I).
Kelenjar tyroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu
ke-12 masa kehidupan intrauterin. (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
3.2.3.
Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli
media dan fascia prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak
trakhea, esofagus, pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid
melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga
perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak
pada permukaan belakang kelenjar tyroid.
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan
menutup cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan
kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap gerakan
menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial.
Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu
bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak.
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior
(cabang dari a. Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a.
Subklavia). Setiap folikel lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler,
dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus
perifolikular.
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan
pleksus trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat
di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian
lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus
thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran
keganasan.
3.2.4.
Histologi
10

Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara


mikroskopis terdiri atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan
diameter antara 50-500 m. Dinding folikel terdiri dari selapis sel
epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam lumen, sedangkan
basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini
berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus
yang mendapat vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan
pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein, khususnya protein
tyroglobulin (BM 650.000).
3.2.5.
Fisiologi Hormon Tyroid
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu
Tiroksin (T4). Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3),
yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di perifer, dan
sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida
inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku
hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk
organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat
dalam tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin
(DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau
T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid.
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya
tetap didalam kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk
selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tyroid
terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid (thyroid-binding
globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding
pre-albumine, TPBA).
3.2.6.

Metabolisme T3 dan T4
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam.

Sebagian T4 endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses


11

monodeiodonasi menjadi T3. Jaringan yang mempunyai kapasitas


mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan
hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3,
3,3,5 triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur
metabolisme pada tingkat seluler.
3.2.7.

Pengaturan faal tiroid

Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :


1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang
hipofisis mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang
selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi hiperplasi dan
hiperfungsi.
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta).
Dalam sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid
(TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi
hormon meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di
tingkat hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek
pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan
mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid.
3.2.8.
Efek metabolisme Hormon Tyroid :
1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat
anabolik, tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik.
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi
intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian

12

pula glikogen otot menipis pada dosis farmakologis tinggi dan


degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi
proses degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu
ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar
kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol
total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati
memerlukan hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat
dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan
miopati, tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik
sehingga terjadi diare, gangguan faal hati, anemia defesiensi
3.2.8.

besi dan hipotiroidisme.


Klasifikasi Struma
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan). Menurut

American society for Study of Goiter membagi :


1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
2. Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan
dari segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan
hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih kepada
perubahan bentuk anatomi.
1. Struma non toxic nodusa
Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang
berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid.
Etiologinya penyebab paling banyak dari struma non
toxic adalah kekurangan iodium. Akan tetapi pasien
dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya
13

belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh


beberapa hal, yaitu :
a. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi
pada difesiensi sedang yodium yang kurang dari 50
mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah
kurang

dari

25

mcg/d

dihubungkan

dengan

hypothyroidism dan cretinism


b. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya
terjadi pada preexisting penyakit tiroid autoimun.
c. Goitrogen :
Obat
:
Propylthiouracil,
litium,
phenylbutazone,

aminoglutethimide,

expectorants yang mengandung yodium


Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate
ester derivative dan resorcinol berasal dari
tambang batu dan batubara.
Makanan, Sayur-Mayur

jenis

Brassica

( misalnya, kubis, lobak cina, brussels


kecambah), padi-padian millet, singkong, dan
goitrin dalam rumput liar.
d. Dishormonogenesis: Kerusakan

dalam

jalur

biosynthetic hormon kelejar tiroid.


e. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi
selama masa kanak-kanak mengakibatkan nodul
benigna dan maligna.
2. Struma Non Toxic Diffusa
Etiologi :
a. Defisiensi Iodium
b. Autoimmun
thyroiditis:

Hashimoto

oatau

postpartum thyroiditis

14

c. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti


lithium, dengan penurunan pelepasan hormon tiroid.
d. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor
hipofisis, resistensi hipofisis terhadap hormon tiroid,
gonadotropin,

dan/atau

tiroid-stimulating

immunoglobulin
e. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

kerusakan dalam biosynthesis hormon tiroid.


Terpapar radiasi
Penyakit deposisi
Resistensi hormon tiroid
Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
Silent thyroiditis
Agen-agen infeksi
Suppuratif Akut : bacterial
Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit

granulomatosa parasit
n. Keganasan Tiroid
3. Struma Toxic Nodusa
Etiologi :
a. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan
level T4
b. Aktivasi reseptor TSH
c. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G
d. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk

Endothelin-1 (ET-1), insulin like growth factor-1,


epidermal growth factor, dan fibroblast growth
factor.
4. Struma Toxic Diffusa
Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah
grave desease, yang merupakan penyakit autoimun yang
masih belum diketahui penyebab pastinya.
3.2.9.

Patofisiologi

15

Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan


perubahan dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok.
Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH, TSH-Resepor Antibodi
atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin, akan
menyebabkan struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel
inflamasi, atau sel maligna metastase ke kelenjar tiroid, akan
menyebabkan struma nodusa.
Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan
menyebabkan

peningkatan

produksi

TSH.

Peningkatan

TSH

menyebabkan peningkatan jumlah dan hiperplasi sel kelenjar tyroid


untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini terus menerus,
akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk
inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan goitrogen.
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis
TSH. Yang termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi
TSH, kelenjar hipofise yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma
di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan tumor yang
memproduksi human chorionic gonadotropin.
3.2.10.
Diagnosis dan Penatalaksanaan
Diagnosis disebut lengkap apabila

dibelakang

struma

dicantumkan keterangan lainnya, yaitu morfologi dan faal struma.


Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran
makroskopis yang diketahui dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik
Mengenai 1 lobus
Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
Kadang Multilobaris
Fluktuasi (+)
2. Bentuk Noduler : Struma nodusa
Batas Jelas
Konsistensi kenyal sampai keras

16

Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa


adenocarcinoma tiroidea
3. Bentuk diffusa : Struma diffusa
Batas tidak jelas
Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa
Tampak pembuluh darah
Berdenyut
Auskultasi
Kelejar

Bruit

getah

Dari

bening

faalnya

pada

neoplasma

Para

struma

dan

trakheal

struma
dan

dibedakan

vaskulosa

jugular

menjadi

vein

a.Eutiroid
b.Hipotiroid
c.Hipertiroid
Berdasarkan

istilah

a.Nontoksik

klinis

dibedakan

b.Toksik
Pemeriksaan

Hipertiroid
Fisik

Generalis

a.Tekanan

eutiroid/hipotiroid
:

Status

menjadi

darah

meningkat

b.Nadi

meningkat

c.Mata

Exopthalmus
Stelwag

Sign

Jarang

berkedip

Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli waktu melihat ke
bawah
Morbus

Sign

Sukar

konvergensi
17

Joffroy
Ressenbach
d.Hipertroni

Sign

Sign

Tidak

simpatis

dapat

Temor
:

Kulit

palpebra
basah

dan

e.Jantung

Status

Lokalis

mengerutkan
jika
dingin,

dahi

mata

tertutup

tremor

halus

Takikardi
:

1.Inspeksi
Benjolan
Warna
Permukaan
Bergerak

waktu

menelan

2.Palpasi
Permukaan,

suhu

Batas

Atas

Bawah
Medial
Lateral

Kartilago
:

incisura
garis

tiroid

M.

jugularis
tengah

leher

Sternokleidomastoideus

DAFTAR PUSTAKA
Sri Hartini, 1987. Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, hal. 461, FKUI, 1987.

18

Yudha,

herry,

2013.

Anestesi

umum.

From

http://www.dokterbedahherryyudha.com/2013/03/mengenal-anestesi-umumgeneral-anesthesi.html
Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy Pharmacology). Alih
Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta, 1995
Latief SA, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta, 2010

19

Vous aimerez peut-être aussi