Vous êtes sur la page 1sur 44

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

Salinan
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO
NOMOR 7 TAHUN 2012
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BOJONEGORO,
Menimbang

a. bahwa Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah


bertanggung jawab melindungi segenap warganya
dengan tujuan untuk memberikan perlindungan atas
kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan
terhadap
bencana,
dalam
rangka
terwujudnya
kesejahteraan umum, sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. bahwa kondisi geografis Bojonegoro termasuk daerah
rawan bencana, meliputi bencana alam, tanah longsor,
banjir, angin puting beliung, kekeringan, kebakaran,
bencana non alam, kegagalan industri yang dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dampak psikologis, dan korban jiwa, serta bencana
sosial dalam bentuk konflik dan lain-lain sehingga perlu
dilakukan upaya antisipasi dan penanggulangan
secara terkoordinir, terpadu, cepat serta tepat;
c. bahwa ketentuan mengenai penanggulangan bencana
yang ada memerlukan peraturan pelaksana dalam
bentuk peraturan daerah agar dapat diimplementasikan,
sehingga jika tidak dibentuk akan dapat menghambat
upaya penanggulangan bencana secara terencana,
terkoordinir dan terpadu di Kabupaten Bojonegoro;
d. bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Peraturan Daerah tentang Penanggulangan
Bencana;

Mengingat

1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten/Kota Dalam
Lingkungan Provinsi Jawa Timur (Berita Negara Tahun
1950 Nomor 19, Tambahan Berita Negara Nomor 09);

- 2 3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang


Pengumpulan Uang atau Barang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 2004,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1961 Nomor 2073);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3491);
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Pemukiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469);
6. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 3886 )
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah yang kedua kalinya dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844);
8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4723),
9. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725);
10. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
11. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 12 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);
12. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5038);
13. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);

- 3 14. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
15. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82)
16. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2006 tentang
Pencarian dan Pertolongan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 89, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4658);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4828);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang
Pendanaan
dan
Pengelolaan
Bantuan
Bencana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4829);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang
Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing
Non Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4830);
21. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006;
22. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan
Nasional Penanggulangan Bencana;
23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008
tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan
Penanggulangan Bencana Daerah;
24. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah;
25. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana;
26. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman
Penggunaan Dana Siap Pakai;

- 4 27. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan


Bencana Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata
Cara Pemberian Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar;
28. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pemberian dan Besaran Bantuan Santunan Duka Cita;
29. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 9 Tahun 2008 tentang Prosedur Tetap
Tim Reaksi Cepat;
30. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pedoman
Komando Tanggap Darurat Bencana;
31. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pedoman
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana;
32. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman
Manajemen Logistik dan Peralatan Penanggulangan
Bencana;
33. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pedoman
Bantuan Logistik;
34. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pedoman
Bantuan Peralatan;
35. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pedoman
Pergudangan;
36. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman
Standarisasi Peralatan Penanggulangan Bencana;
37. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman
Standarisasi Logistik Penanggulangan Bencana;
38. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pedoman
Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Pasca Bencana;
39. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 8 Tahun 2011 tentang Standarisasi
Data Kebencanaan;
40. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pedoman
Pengkajian Pasca Bencana;
41. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun
2004 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum Provinsi Jawa Timur (Lembaran Daerah Provinsi
Jawa Timur Tahun 2004 Nomor 5 Seri E);

- 5 42. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun


2009
tentang
Pembentukan
Lembaga
Lain
di
Lingkungan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur
(Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2009
Nomor 1 Seri D);
43. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun
2010 tentang Pengumpulan Sumbangan di Provinsi
Jawa Timur (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur
Tahun 2010 Nomor 1 Seri E);
44. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 3 Tahun
2010 tentang Penanggulangan Bencana di Provinsi Jawa
Timur (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun
2010 Nomor 3 Tahun 2010 Seri E);
45. Peraturan Daerah Kabupaten Bojonegoro Nomor 8
Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Lembaran Daerah Kabupaten Bojonegoro Tahun 2008
Nomor 2) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Daerah Kabupaten Bojonegoro Nomor 9 Tahun 2011
(Lembaran Daerah Kabupaten Bojonegoro Tahun 2011
Nomor 12)
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO
dan
BUPATI BOJONEGORO
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :

PERATURAN
BENCANA.

DAERAH

TENTANG

PENANGGULANGAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Bojonegoro.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Bojonegoro.
3. Bupati adalah Bupati Bojonegoro.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD
adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bojonegoro.
5. Sekretariat Daerah adalah Sekretariat Daerah Kabupaten Bojonegoro.
6. SKPD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Bojonegoro.
7. Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang selanjutnya disingkat
BPBD adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten
Bojonegoro.

- 6 8. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam


dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.
9. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa, gempa
bumi, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
10. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal kontruksi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit baik
yang menimpa manusia, hewan dan tumbuhan.
11. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan
teror.
12. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi.
13. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi
ancaman bencana.
14. Kesiap-siagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian, serta melalui langkah
yang tepat guna, dan berdaya guna.
15. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan
sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya
bencana pada suatu tempat oleh Pemerintah Daerah.
16. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana,
baik melalui pembangunan fisik, maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
17. Tanggap
darurat
bencana
adalah serangkaian
kegiatan
yang
dilakukan
dengan
segera,
pada
saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelematan
serta pemulihan prasarana dan sarana.
18. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah
pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya
secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada
wilayah pasca bencana.
19. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya
hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.

- 7 20. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis,


hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi dan
teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang
mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan
mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya
tertentu.
21. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi
masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana, dengan
memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana dan sarana dengan
melakukan upaya rehabilitasi.
22. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, baik melalui
pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam
bencana.
23. Resiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat
bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat
berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan
masyarakat.
24. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan bantuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar pada saat keadaan darurat.
25. Status keadaan darurat adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi
BPBD Kabupaten yang diberi tugas untuk menanggulangi bencana.
26. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau
dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum
pasti sebagai akibat dampak buruk bencana.
27. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang menderita
atau meninggal dunia akibat bencana.
28. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang dan/atau
badan hukum.
29. Lembaga
kemasyarakatan adalah lembaga yang mempunyai akta
notaris/akta pendirian/anggaran dasar disertai anggaran rumah tangga,
yang memuat antara lain, asas, sifat dan tujuan lembaga, lingkup
kegiatan, susunan organisasi, sumber-sumber keuangan serta
mempunyai kepanitian, yang meliputi susunan panitia, alamat
kepanitian dan program kegiatan.
30. Lembaga usaha adalah setiap badan usaha yang dapat berbentuk Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik
Desa, koperasi atau swasta yang didirikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang menjalankan jenis usaha tetap
dan terus menerus yang bekerja dan berkedudukan dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
31. Lembaga Internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup
Struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan
tugas
mewakili
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
atau
organisasi
internasional lainnya dan lembaga asing non pemerintah dari negara lain
diluar Perserikatan Bangsa-Bangsa.
32. Pelaku
penanggulangan
bencana
adalah
SKPD,
lembaga
kemasyarakatan, lembaga usaha, lembaga internasional yang
melakukan kegiatan penanggulangan bencana.

- 8 33. Dana Kontijensi adalah dana yang dicadangkan untuk menghadapi


kemungkinan terjadinya bencana tertentu.
34. Dana Siap Pakai adalah dana yang selalu tersedia dan dicadangkan
setiap tahun anggaran oleh Pemerintah Daerah untuk digunakan pada
saat tanggap darurat bencana sampai dengan batas waktu tanggap
darurat berakhir.
35. Dana Bantuan Sosial berpola hibah adalah dana yang disediakan
Pemerintah Kepada Pemerintah Daerah sebagai bantuan penanganan
Pasca Bencana
36. Organisasi Masyarakat
perkumpulan, yayasan.

Sipil

adalah

organisasi

kemasyarakatan,

37. Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh


anggota masyarakat Warga Negara Republik Indonesia secara sukarela
atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam
pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
38. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di
bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai
anggota.

BAB II
LANDASAN, ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu
Landasan, Asas, dan Tujuan
Pasal 2
(1) Penanggulangan bencana dilaksanakan dengan berlandaskan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
(2) Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan asas:
a) kemanusiaan;
b) keadilan;
c) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
d) keseimbangan, keselarasan dan keserasian;
e) ketertiban dan kepastian hukum;
f) kebersamaan;
g) kelestarian lingkungan;
h) cepat, tepat dan prioritas;
i) koordinasi dan keterpaduan;
j) berdaya guna dan berhasil guna;
k) transparansi;
l) akuntabilitas;
m) pencegahan;
n) berkeadilan gender; dan
o) tidak diskriminatif.
(3) Tujuan Penanggulangan bencana dalam Peraturan Daerah ini untuk:
a. Mengurangi potensi terjadinya bencana;

- 9 b. Meminimalisir terjadinya jumlah korban dampak bencana;


c. Mewujudkan penyelenggaraan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh;
d. Memelihara keamanan, kelestarian dan keharmonisan lingkungan
e. Mewujudkan partisipasi dan kemitraan publik serta swasta dalam
upaya penanggulangan bencana
f. Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan
kedermawanan;
Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 3
Ruang Lingkup Peraturan Daerah ini adalah :
a. Mengatur tentang tanggung jawab dan wewenang Pemerintah Daerah;
b. Mengatur hak dan kewajiban multi pihak dalam penanggulangan
bencana;
c. Kelembagaan penanggulangan bencana;
d. Mengatur tentang penyelenggaraan penanggulanan bencana;
e. Mengatur tentang pendanaan dan pengalokasian bantuan bencana.

BAB III
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Tanggung Jawab
Pasal 4
(1) Tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam penanggulangan bencana
sesuai peraturan daerah ini meliputi:
a. Melindungi masyarakat dari bencana dan dampak yang ditimbulkan;
b. Memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dalam setiap tahap
penanggulangan bencana sesuai dengan standar minimum
penanggulangan bencana;
c. Mengurangi resiko bencana dan memadukan rencana pengurangan
resiko bencana dengan program pembangunan daerah.
d. Mengalokasikan dana untuk setiap tahap penanggulangan bencana
dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai
setiap tahunnya;
e. Memelihara arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan
dampak bencana;
f. Mengganti
dan/atau
memperbarui
arsip/dokumen
otentik
masyarakat yang hangus atau hilang akibat terkena bencana.
(2) Dalam melaksanakan tanggungjawab penanggulangan bencana,
Pemerintah Daerah melimpahkan tugas pokok dan fungsinya kepada
BPBD.

- 10 Bagian Kedua
Wewenang
Pasal 5
Wewenang Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana meliputi:
a. Menetapkan kebijakan penanggulangan bencana di wilayah
Kabupaten Bojonegoro yang selaras dengan kebijakan pembangunan
daerah,
kebijakan
pembangunan
provinsi,
dan
kebijakan
pembangunan nasional;
b. Membuat perencanaan pembangunan daerah yang didalamnya
memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana baik
pra bencana, saat bencana dan pasca bencana;
c. Memasukkan rencana penanggulangan bencana dalam agenda forum
musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) mulai dari
tingkat desa sampai kabupaten
d. Melakukan kerjasama dalam penanggulangan bencana dengan
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
lainnya;
e. Mengatur penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber
ancaman atau bahaya bencana;
f. Merumuskan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan
sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya;
g. Mengendalikan, mengumpulkan, dan menyalurkan uang atau barang
berskala Daerah.

BAB IV
KELEMBAGAAN
Pasal 6
(1)

Lembaga Penyelenggara penanggulangan bencana adalah BPBD yang


terdiri atas:
a. Unsur Pengarah penanggulangan bencana; dan
b. Unsur Pelaksana penanggulangan bencana.

(2)

BPBD yang dimaksud pada ayat (1) telah diatur dalam peraturan
daerah tentang struktur organisasi
BPBD beserta peraturan
pelaksanaannya;

(3)

Badan Penanggulangan Bencana Daerah dalam melaksanakan tugas


dan fungsinya dapat melibatkan :
a. SKPD lainnya
b. Unsur masyarakat
c. Lembaga kemasyarakatan,
d. Lembaga usaha dan
e. Lembaga internasional

- 11 BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT
DAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN
Bagian Kesatu
Hak Masyarakat
Pasal 7
(1)

Setiap orang berhak:


a. Mendapatkan informasi secara tertulis maupun lisan tentang
kebijakan penanggulangan bencana oleh Pemerintah Daerah;
b. Mendapatkan akses terhadap adanya bantuan bencana;
c. Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman khususnya bagi
kelompok masyarakat rentan bencana;
d. Mendapatkan pemenuhan layanan kesehatan,air bersih, sanitasi,
sandang, pangan, papan sesuai dengan standar pelayanan
minimum;
e. Mendapatkan pendidikan, pembinaan, pelatihan, dan ketrampilan
dalam penanggulangan bencana;
f.
Mendapatkan kesempatan untuk berperan serta dalam upaya
kegiatan penanggulangan bencana;
g. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan penanggulangan bencana;
h. berperan
serta
dalam
perencanaan,
pengoperasian,
dan
pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan
termasuk dukungan psikososial;
i.
Memperoleh santunan karena terkena bencana sesuai dengan
kemampuan keuangan daerah;
j.
Melakukan penggalangan bantuan kebencanaan baik berupa
barang dan/atau uang;
k. melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur
atas pelaksanaan penanggulangan bencana oleh Pemerintah
Daerah.
(2) Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar.
(3) Setiap orang berhak untuk memperoleh santunan karena terkena
bencana yang disebabkan oleh kegagalan teknologi dan/atau kegagalan
konstruksi.
Pasal 8
(1) Hak atas informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 huruf a
meliputi:
a. Kebijakan penanggulangan bencana pada saat pra bencana, saat
tanggap darurat dan pada pasca bencana;
b. Rencana Daerah Penanggulangan Bencana;
c. Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana;
d. Anggaran penanggulangan bencana.
(2) Dalam pemenuhan hak atas informasi, Pemerintah Daerah wajib
menyediakan sarana prasarana dalam bentuk :

- 12 a.
b.
c.
d.
e.
f.

Pos Komando Penanggulangan Bencana;


Layanan informasi keliling;
Call Center aktif;
Pos komunikasi kebencanaan;
Papan Informasi;
Pusat pengaduan.

(3) Pemenuhan hak atas informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7


ayat huruf a dilakukan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika
Kabupaten Bojonegoro yang dikoordinasikan dengan BPBD.
Pasal 9
Pemenuhan hak akses terhadap adanya bantuan bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 huruf b dilakukan melalui :
a. Pendataan jumlah korban berbasis jenis kelamin;
b. Identifikasi kebutuhan korban;
c. Pendirian pos distribusi bantuan;
d. Pemilahan jenis bantuan;
e. Penyediaan armada yang memadai untuk pendistribusian bantuan.
Pasal 10
Pemenuhan hak atas layanan kesehatan, air bersih, sanitasi, sandang,
pangan, dan papan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 huruf d
harus memperhatikan kebutuhan khusus perempuan dan masyarakat yang
berkebutuhan khusus
Pasal 11
(1) Hak mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e dilaksanakan melalui kegiatan
pendidikan formal dan non formal di semua jenjang pendidikan di
Kabupaten Bojonegoro.
(2) Kegiatan Pendidikan sebagaimana dimaksud ayat (1) dirumuskan
dalam materi pelajaran dan atau kurikulum sekolah oleh Pemerintah
Daerah.
(3) Pendidikan bagi masyarakat tentang kebencanaan dilaksanakan oleh
BPBD yang melibatkan SKPD, BUMN, BUMD, perusahaan, dan elemen
masyarakat lainnya.

Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat
Pasal 12
Setiap orang berkewajiban:
a. Menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara
keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi
Iingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;

- 13 b. Memberikan
informasi
yang
benar
kepada
publik
tentang
penanggulangan bencana;
c. Melakukan kegiatan penanggulangan bencana baik secara pribadi
maupun kelompok relawan;
d. Bertindak sebagai relawan baik sendiri atau secara kelompok yang
sepenuhnya berada dalam komando BPBD;
e. Mematuhi peraturan yang mengatur tentang tindakan pencegahan
terjadinya bencana atau pengurangan resiko bencana.

Bagian Ketiga
Hak Lembaga Kemasyarakatan
Pasal 13
Lembaga kemasyarakatan berhak:
a. Berperan serta dalam upaya kegiatan penanggulangan bencana;
b. Mendapatkan
perlindungan
dalam
melaksanakan
kegiatan
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
c. Melaksanakan kegiatan pengumpulan barang dan/atau uang untuk
membantu kegiatan penanggulangan bencana;
d. Melakukan pengawasan pelaksanaan penanggulangan bencana yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Bagian Keempat
Kewajiban Lembaga Kemasyarakatan
Pasal 14
Lembaga kemasyarakatan berkewajiban melakukan koordinasi dengan
Pemerintah Daerah melalui BPBD dalam melaksanakan kegiatan
penanggulangan bencana.

BAB VI
PERAN, HAK, DAN KEWAJIBAN LEMBAGA USAHA
Pasal 15
(1) Lembaga Usaha dapat berperan menyediakan kebutuhan dalam kegiatan
penanggulangan bencana yang dilaksanakan oleh masyarakat dan
Pemerintah Daerah, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan
pihak lain.
(2) Lembaga usaha dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana
berhak:
a. Mendapatkan akses yang aman ke wilayah-wilayah terkena bencana.
b. Menentukan mitra dalam pendistribusian bantuan peralatan dan
loigistik.

- 14 (3) Dalam menyelenggarakan peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


lembaga usaha berkewajiban:
a. Menyesuaikan kegiatannya dengan kebijakan penyelenggaraan
penanggulangan bencana daerah.
b. Menyampaikan laporan kepada Pemerintah Daerah melalui BPBD.
BAB VII
PERAN, HAK, DAN KEWAJIBAN
LEMBAGA INTERNASIONAL
Pasal 16
(1) Lembaga Internasioal dapat berperan sebagai mitra masyarakat dan
Pemerintah Daerah dalam upaya penanggulangan bencana.
(2) Lembaga Internasional dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan
bencana berhak :
a. Mendapat jaminan perlindungan keselamatan dari Pemerintah
Daerah terhadap para pekerjanya;
b. Mendapatkan akses yang aman ke wilayah-wilayah terkena bencana;
c. Menentukan mitra dalam pendistribusian bantuan peralatan dan
loigistik.
(3) Dalam menyelenggarakan peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Lembaga Internasional berkewajiban :
a. Menyelaraskan
dan
mengkoordinasikan
kegiatannya
dalam
penanggulangan bencana dengan kebijakan penanggulangan
bencana yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah;
b. Memberitahukan kepada Pemerintah Daerah mengenai aset-aset
penanggulangan bencana yang dibawa;
c. Menunjukkan visa, izin masuk, izin tinggal terbatas kepada
Pemerintah Daerah.

BAB VIII
TAHAPAN PENANGGULANGAN BENCANA
Pasal 17
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam Peraturan Daerah ini
terdiri atas 3 (tiga) tahapan meliputi:
a. Pra bencana;
b. Saat tanggap darurat;
c. Pasca bencana.
Bagian Kesatu
Pra Bencana
Pasal 18
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan pra bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a meliputi:
a. Dalam situasi tidak terjadi bencana; dan
b. Dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.

- 15 Pasal 19
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi
bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a meliputi:
a. Penyusunan rencana daerah penanggulangan bencana;
b. Penyusunan rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana;
c. Pencegahan
d. Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam perencanaan
pembangunan daerah;
e. Penyusunan persyaratan analisis risiko bencana;
f. Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
g. Pendidikan serta pelatihan; dan
h. Penyusunan standar teknis penanggulangan bencana.
Pasal 20
(1) Rencana daerah penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 huruf a ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
(2) Penyusunan rencana daerah penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh BPBD.
(3) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui penyusunan data tentang risiko bencana pada
wilayah Kabupaten dalam waktu tertentu berdasarkan dokumen resmi
yang berisi program penanggulangan bencana.
(4) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. Pengenalan dan pengkajian ancaman bencana;
b. Data tentang risiko bencana;
c. Peta rawan bencana;
d. Pemahaman tentang kerentanan masyarakat;
e. Analisis kemungkinan dampak bencana;
f. Pilihan tindakan pengurangan risiko bencana;
g. Penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak
bencana; dan
h. Program penanggulangan bencana;
i. Alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia.
(5) Pemerintah Daerah meninjau dokumen perencanaan penanggulangan
bencana secara berkala.
(6) Dalam usaha menyelaraskan kegiatan perencanaan penanggulangan
bencana, Pemerintah dapat meminta kepada pelaku penanggulangan
bencana untuk melaksanakan perencanaan penanggulangan bencana
sesuai kewenangannya.
Pasal 21
(1) Penyusunan rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b dilakukan untuk
mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan
dalam situasi sedang tidak terjadi bencana.

- 16 (2) Rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
b. Prioritas penanganan risiko bencana;
c. Program dan kegiatan pengurangan resiko bencana;
d. Mekanisme pelaksanaan;
e. Mekanisme monitoring dan evaluasi;
f. Peran pelaku penanggulangan bencana dalam pengurangan risiko
bencana.
(3) Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Resiko Bencana
dilakukan oleh BPBD berkoordinasi dengan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah dan SKPD dilingkungan Pemerintah Daerah,
dengan mengacu pada RAN-PRB.
(4) Dalam penyusunan RAD-PRB sebagaimana dimaksud pada ayat 3
melibatkan partisipasi masyarakat.
(5) RAD-PRB ditetapkan oleh kepala BPBD untuk jangka waktu 3 (tiga)
tahun dan dapat dievaluasi sesuai kebutuhan.
Pasal 22
Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c meliputi:
a. Identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau
ancaman bencana;
b. Kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang
secara tiba-tiba dan atau berangsur-angsur berpotensi menjadi sumber
bahaya bencana;
c. Pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan/atau
berangsur-angsur berpotensi menjadi sumber ancaman atau bahaya
bencana;
d. Penataan ruang dan pengelolaan lingkungan hidup; dan
e. Penguatan ketahanan sosial masyarakat;
f.
Pengkajian dan penyusunan strategi pencegahan dan penanggulangan
bencana secara berkala.
Pasal 23
(1)

Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam perencanaan


pembangunan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d
dilakukan dengan cara mencantumkan unsur-unsur rencana
penanggulangan bencana kedalam setiap tahap rencana pembangunan
daerah.

(2)

Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang


menimbulkan bencana harus dilengkapi dengan analisis risiko bencana
sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 24

(1)

Persyaratan analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 19 huruf e disusun dan ditetapkan oleh BPBD.

(2)

BPBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pemantauan


dan evaluasi atas pelaksanaan analisis risiko.

- 17 Pasal 25
(1)

Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 19 huruf f dilakukan untuk mengurangi risiko
bencana yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang penataan
ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar.

(2)

Pemerintah Daerah secara berkala melaksanakan pemantauan dan


evaluasi terhadap pelaksanaan tata ruang pemenuhan standar
keselamatan.
Pasal 26

Pendidikan, pelatihan, dan penyusunan standar teknis penanggulangan


bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf g dan huruf h,
dilaksanakan dan ditetapkan oleh Kepala BPBD bekerjasama dengan SKPD
terkait.
Pasal 27
(1) Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat
potensi terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b
meliputi:
a.

Kesiap-siagaan;

b.

Peringatan dini; dan

c.

Mitigasi bencana.

(2) Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan


melalui:
a. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan
bencana;
b. Pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan
dini;
c.

Penyediaan dan penyiapan barang pasok pemenuhan kebutuhan


dasar;

d. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan simulasi tentang


mekanisme tanggap darurat;
e.

Penyiapan lokasi evakuasi;

f.

Penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur


tetap tanggap darurat bencana; dan

g.

Penyediaan dan penyiapan bahan, barang dan peralatan untuk


pemenuhan pemulihan sarana dan prasarana.

(3) Peringatan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan oleh BPBD.

huruf b

(4) Peringatan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
melalui:
a.

Pengamatan gejala bencana;

b.

Pengolahan hasil pengamatan gejala bencana;

c.

Pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang;

d.

Penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana; dan

- 18 e.

Pemasangan alat peringatan dini pada setiap titik rawan bencana.

(5)

Pengamatan gejala bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf


a dilakukan oleh instansi/lembaga yang berwenang sesuai dengan jenis
ancaman bencana, untuk memperoleh data mengenai gejala bencana
yang kemungkinan akan terjadi dengan memperhatikan kearifan lokal.

(6)

Penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana sebagaimana


dimaksud pada ayat (4) huruf d dilakukan oleh Pemerintah Daerah
melalui telegram, layangan informasi keliling, lembaga penyiaran baik
milik pemerintah maupun swasta setempat.
Pasal 28

Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana


dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana diatur melalui Peraturan
Bupati.
Pasal 29
Dalam rangka mitigasi bencana untuk kawasan rawan banjir, dilakukan
melalui:
a. Kegiatan non fisik;
b. Kegiatan fisik.
Pasal 30
Kegiatan non fisik sebagaimana dimaksud pada pasal 30 huruf a meliputi:
a. Penetapan kebijakan;
b. Pembinaan;
c. Pengawasan;
d. Pengendalian.
Pasal 31
Penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a
meliputi:
a. Batas dataran banjir;
b. Standar prosedur pengelolaan sarana dan prasarana pengendali daya
rusak air;
c. Kebijakan mengenai konservasi lingkungan;
d. Kebijakan mengenai aturan penebangan hutan;
e. Kebijakan penataan ruang yang responsif bencana;
f. Kebijakan konservasi sumberdaya alam dan dan lingkungan hidup;
g. Kebijakan kawasan rawan bencana pada setiap wilayah aliran sungai;
h. Standar prosedur evakuasi korban.
Pasal 32
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf b meliputi :
a. Penyebarluasan informasi dan penyuluhan ;

- 19 b. Pelatihan pengurangan resiko bencana ;


c. Pelatihan konservasi lingkungan.
Pasal 33
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf c meliputi :
a. Pengawasan terhadap penggunaan lahan pada kawasan rawan bencana
sesuai dengan tingkat kerawanan bencana;
b. Pengawasan terhadap kondisi
pengendalian daya rusak air.

dan

fungsi

sarana

dan

prasarana

Pasal 34
Pengendalian sebagaimana dimaksud pada pasal 30 huruf d meliputi :
a. Pembuatan batas zona bebas dan terlarang penggunaan lahan pada
kawasan rawan bencana sesuai dengan tingkat kerawanan bencana
daerah tersebut;
b. Upaya pemindahan penduduk yang bermukim di kawasan rawan
bencana;
c. Penyeimbangan hulu dan hilir wilayah sungai, dilakukan dengan
mekanisme penataan ruang dan pengoperasian prasarana sungai sesuai
dengan kesepakatan para pemangku kepentingan (stakeholders);
d. Penataan kawasan pantai dan prasarana pantai sesuai dengan kondisi
kawasan dan ketersediaan dana.
Pasal 35
Kegiatan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b meliputi:
a. Pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau;
b. Pemasangan peringatan dini pada setiap wilayah aliran sungai yang
rawan banjir;
a. Pembangunan sarana dan prasarana untuk mencegah kerusakan
dan/atau bencana banjir.
Pasal 36
Kegiatan mitigasi bencana banjir dilaksanakan oleh SKPD yang terkait
dibawah koordinasi BPBD.
Pasal 37
(1) Dalam hal tingkat kerawanan bencana akibat banjir secara permanen
yang mengancam keselamatan jiwa, Pemerintah Daerah dapat
menetapkan kawasan rawan bencana tertutup bagi permukiman dan
kegiatan di luar kegiatan penanggulangan bencana.
(2) Biaya yang timbul akibat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.

- 20 Pasal 38
Dalam rangka mitigasi bencana yang ditimbulkan akibat
teknologi dilakukan melalui:

kegagalan

a. Kegiatan non fisik;


b. Kegiatan fisik.
Pasal 39
Kegiatan non fisik dalam rangka mitigasi bencana akibat gagal teknologi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a meliputi:
a. Penentuan kebijakan penyusunan anilisis resiko bencana;
b. Menerapkan safety management perusahaan yang dipantau secara
berkala oleh SKPD yang terkait;
c. Pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan atau
berangsur-angsur berpotensi menjadi sumber ancaman atau bahaya
bencana;
d. Pemantauan dampak teknologi terhadap kondisi lingkungan;
e. Publikasi hasil pemantauan dampak teknologi terhadap lingkungan;
f. Pengawasan penerapan Good Corporate Governance (GCG);
g. Penyusunan kebijakan yang mewajibkan perusahaan yang berpotensi
menimbulkan pencemaran udara untuk menyediakan dan mewujudkan
Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Pasal 40
(1) Penentuan kebijakan penyusunan analisis resiko bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 huruf a dimaksudkan untuk mewajibkan
penyusunan analisis risiko bencana kepada setiap usaha dan/atau
kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap
bencana, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan, dan/atau
kesehatan dan keselamatan manusia.
(2) Analisis resiko bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan
termasuk dokumen AMDAL.
(3) Analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pengkajian risiko;
b. Rencana pengelolaan dan penanganan resiko;
c. Komunikasi risiko.
(4) Format, prosedur, metode, dan evaluasi analisa resiko ditentukan oleh
SKPD atau instansi terkait dibawah koordinasi BPBD.
Pasal 41
Kegiatan fisik dalam rangka mitigasi bencana akibat gagal teknologi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf b meliputi:
a. Menyediakan alat peringatan dini kebakaran, kerusakan komponen dan
terjadinya bahaya lainnya;
b. Menyediakan perangkat keamanan dan keselamatan bagi masyarakat;
c. Menyediakan alat pengukur kualitas tanah, air, dan udara.

- 21 Bagian Kedua
Saat Tanggap Darurat
Pasal 42
(1) Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
meliputi:
a. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan dan
sumber daya;
b. Penentuan status keadaan darurat;
c. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
d. Pemenuhan kebutuhan dasar;
e. Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
f. Pemulihan dengan segera terhadap sarana dan prasarana vital.
(2) Penyelenggaraan penanggulangan bencana dikoordinasi oleh BPBD
dengan melibatkan pelaku penanggulangan bencana.
(3) Dalam hal bencana akibat gagal teknologi, upaya penanggulangan
bencana wajib dilakukan oleh badan usaha yang menyebabkan
terjadinya bencana di bawah koordinasi BPBD.
(4) Penanggulangan bencana
dilakukan dengan:

sebagaimana

dimaksud

pada

ayat

(3)

a.

Pemberian informasi peringatan bencana kepada masyarakat;

b.

Pengisolasian bencana;

c.

Penghentian sumber bencana;

d.

Pemberian ganti atas kerugian yang ditimbulkan;

e.

Penyediaan pos pelayanan kesehatan;

f.

Penyediaan sarana evakuasi untuk pekerja dan masyarakat


sekitar;

g.

Penyediaan kebutuhan dasar bagi korban;

h.

Penyediaan tempat hunian sementara untuk korban;

i.

Menanggung biaya pelayanan kesehatan korban sampai korban


dinyatakan sehat oleh tenaga medis.
Pasal 43

(1) Pengkajian secara cepat dan tepat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (1) huruf a dilakukan untuk menentukan kebutuhan dan tindakan
yang tepat dalam penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat.
(2) Pengkajian secara cepat dan tepat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk mengidentifikasi:
a. Cakupan lokasi bencana;
b. Jumlah korban;
c. Kerusakan prasarana dan sarana;
d. Gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan;
e. Kemampuan sumber daya alam maupun buatan.

- 22 Pasal 44
(1) Penentuan status keadaan darurat bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sesuai
dengan skala bencana.
(2) Pada saat status keadaan darurat bencana ditetapkan,
mempunyai kewenangan dan kemudahan akses meliputi:
a. Pengerahan sumber daya manusia, peralatan dan logistik;
b. Pengadaan barang/jasa;
c. Pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang;
d. Penyelamatan;
e. Komando untuk memerintahkan sektor/lembaga.

BPBD

Pasal 45
(1) Pengerahan sumber daya manusia, peralatan dan logistik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf a meliputi permintaan,
penerimaan dan penggunaan sumber daya manusia, peralatan, dan
logistik kepada dan dari multi pihak.
(2) Pengerahan sumber daya manusia, peralatan, dan logistik dilakukan
untuk menyelamatkan dan mengevakuasi korban bencana, memenuhi
kebutuhan dasar, dan memulihkan fungsi prasarana dan sarana vital
yang rusak akibat bencana.
(3) Pengerahan sumber daya manusia, peralatan, dan logistik ke lokasi
bencana harus sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 46
(1) Pada saat keadaan darurat bencana, kepala BPBD, sesuai dengan lokasi
dan tingkatan bencananya, meminta kepada instansi/lembaga terkait
untuk mengirimkan sumber daya manusia, peralatan, dan logistik ke
lokasi bencana.
(2) Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
instansi/lembaga terkait, wajib segera mengirimkan dan memobilisasi
sumber daya manusia, peralatan, dan logistik ke lokasi bencana.
(3) Instansi/lembaga terkait, dalam mengirimkan sumber daya manusia,
peralatan, dan logistik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menunjuk
seorang pejabat sebagai wakil yang diberi kewenangan untuk mengambil
keputusan.
Pasal 47
(1) Dalam hal sumber daya manusia, peralatan, dan logistik di Daerah tidak
tersedia/tidak memadai, Pemerintah Daerah dapat meminta bantuan
kepada Kabupaten/Kota lain yang terdekat, baik dalam satu wilayah
provinsi maupun provinsi lain.
(2) Dalam hal sumber daya manusia, peralatan, dan logistik di
kabupaten/kota lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tersedia/tidak memadai, Pemerintah Daerah dapat meminta bantuan
kepada pemerintah provinsi yang bersangkutan.

- 23 (3) Biaya pengerahan dan mobilisasi sumber daya manusia, peralatan, dan
logistik dari kabupaten/kota lain yang mengirimkan bantuannya
ditanggung oleh Pemerintah Daerah.
(4) Penerimaan dan penggunaan sumber daya manusia, peralatan, dan
logistik di lokasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (2) dilaksanakan di bawah kendali kepala BPBD.
Pasal 48
(1) Kepala BPBD sesuai dengan kewenangannya dapat mengerahkan
peralatan dan logistik dari depo regional yang terdekat ke lokasi bencana
yang dibentuk dalam sistem manajemen logistik dan peralatan.
(2) Pengerahan peralatan dan logistik di lokasi bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di bawah kendali Kepala BPBD.
Pasal 49
(1) Dalam hal terdapat Bantuan peralatan atau logistik berasal dari luar
daerah dan/atau lembaga internasional harus dikoordinasikan dengan
BPBD.
(2) BPBD mempunyai kemudahan akses dalam penggunaan bantuan
peralatan dan logistik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dibawa
ke lokasi bencana.
Pasal 50
(1) Pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2)
huruf b dilaksanakan secara terencana dengan memperhatikan jenis dan
jumlah kebutuhan sesuai dengan kondisi dan karakteristik wilayah
bencana.
(2) Pada saat keadaan darurat bencana, pengadaan barang/jasa untuk
penyelenggaraan tanggap darurat bencana dilakukan secara khusus
melalui pembelian/pengadaan langsung yang efektif dan efisien sesuai
dengan kondisi pada saat keadaan tanggap darurat.
(3) Pembelian/pengadaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
didasarkan pada kebutuhan, jenis dan jumlah barang/jasa di lokasi
bencana.
(4) Pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
peralatan dan/atau jasa untuk:
a. Pencarian dan penyelamatan korban bencana;
b. Pertolongan darurat;
c. Evakuasi korban bencana;
d. Kebutuhan air bersih dan sanitasi;
e. Pangan;
f. Sandang;
g. Pelayanan kesehatan; dan
h. Penampungan serta tempat hunian sementara.

- 24 (5) Pengadaan barang/jasa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
dilakukan oleh instansi/lembaga terkait setelah mendapat persetujuan
kepala BPBD sesuai kewenangannya.
(6) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diberikan secara
lisan dan diikuti persetujuan secara tertulis dalam waktu paling lambat 3
(tiga) x 24 (dua puluh empat) jam.
Pasal 51
(1) Untuk pengadaan barang dan/atau jasa pada saat tanggap darurat
bencana, BPBD menggunakan dana siap pakai yang disediakan dalam
APBD dan ditempatkan dalam anggaran BPBD.
(2) Dana siap pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sesuai
dengan kebutuhan tanggap darurat bencana.
(3) Ketentuan mengenai sumber, pengelolaan dan pertanggungjawaban dana
siap pakai diatur dalam Peraturan Bupati.
Pasal 52
(1) Kemudahan akses dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 ayat (2) huruf d dilakukan melalui pencarian, pertolongan, dan
evakuasi korban bencana.
(2) Untuk memudahkan penyelamatan korban bencana dan harta benda,
kepala BPBD mempunyai kewenangan:
a. Menyingkirkan dan/atau memusnahkan barang atau benda di lokasi
bencana yang dapat membahayakan jiwa;
b. Menyingkirkan dan/atau memusnahkan barang atau benda yang
dapat mengganggu proses penyelamatan;
c. Memerintahkan orang untuk ke luar dari suatu lokasi atau melarang
orang untuk memasuki suatu lokasi;
d. Mengisolasi atau menutup suatu lokasi baik milik publik maupun
pribadi; dan
e. Memerintahkan kepada pimpinan instansi/lembaga terkait untuk
mematikan aliran listrik, gas, atau menutup/membuka pintu air.
(3) Pemerintah Daerah dapat memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang
timbul dari upaya penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pencarian dan pertolongan terhadap korban bencana dapat dihentikan
jika:
a. Seluruh korban telah ditemukan, ditolong, dan dievakuasi; atau
b. Setelah jangka waktu 3 (tiga) hari sejak dimulainya operasi pencarian,
tidak ada tanda-tanda korban akan ditemukan.
(5) Penghentian pencarian dan pertolongan terhadap korban bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dapat dilaksanakan kembali
dengan pertimbangan adanya informasi baru mengenai indikasi
keberadaan korban bencana.

- 25 Pasal 53
(1) Kemudahan
akses
berupa
komando
untuk
memerintahkan
sektor/lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf e
dimaksudkan untuk pengerahan sumber daya manusia, peralatan,
logistik, dan penyelamatan.
(2) Untuk melaksanakan fungsi komando sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), kepala BPBD dapat menunjuk seorang pejabat sebagai Komandan
penanganan darurat bencana.
(3) Dalam melaksanakan penanganan tanggap darurat bencana, Komandan
penanganan darurat bencana, sesuai dengan lokasi dan tingkatan
bencananya menyusun rencana operasi tanggap darurat bencana yang
digunakan sebagai acuan bagi setiap instansi/lembaga pelaksana tanggap
darurat bencana.
(4) Pedoman penyusunan rencana operasi tanggap darurat bencana
ditetapkan oleh Kepala BPBD dengan berpedoman pada peraturan Kepala
BNPB tentang rencana operasi tanggap darurat bencana
Pasal 54
(1) Dalam melaksanakan komando pengerahan sumber daya manusia,
peralatan, logistik, dan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam pasal
53 ayat (1), Komandan penanganan darurat bencana, sesuai dengan
lokasi dan tingkatan bencananya, berwenang mengendalikan para pejabat
yang mewakili instansi/lembaga.
(2) Mekanisme pelaksanaan pengendalian dalam satu komando sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada sistem komando tanggap darurat
bencana.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem komando tanggap darurat
bencana diatur melalui Peraturan Kepala BPBD dengan berpedoman
kepada Peraturan Kepala BNPB tentang pedoman komando tanggap
darurat bencana.
Pasal 55
(1) Pada status keadaan darurat bencana, komandan penanganan darurat
bencana, sesuai dengan lokasi dan tingkatan bencananya mengaktifkan
dan meningkatkan pusat pengendalian operasi menjadi pos komando
tanggap darurat bencana.
(2) Pos komando sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk
mengkoordinasikan, mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi
penanganan tanggap darurat bencana.
(3) Pos komando sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan institusi
yang berwenang memberikan data dan informasi tentang penanganan
tanggap darurat bencana.
(4) Pada status keadaan darurat bencana, komandan penanganan darurat
bencana, sesuai dengan lokasi dan tingkatan bencananya membentuk pos
komando lapangan penanggulangan tanggap darurat bencana di lokasi
bencana.
(5) Pos komando lapangan tanggap darurat bencana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertugas melakukan penanganan tanggap darurat bencana.

- 26 (6) Tugas penanganan tanggap darurat bencana yang dilakukan oleh pos
komando lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan
kepada pos komando untuk digunakan sebagai data, informasi, dan bahan
pengambilan keputusan untuk penanganan tanggap darurat bencana.
Pasal 56
(1) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf c dilakukan melalui usaha dan
kegiatan pencarian, pertolongan, dan penyelamatan masyarakat sebagai
korban akibat bencana.
(2) Pencarian, pertolongan dan penyelamatan masyarakat terkena bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tim reaksi cepat
dengan melibatkan unsur masyarakat di bawah komando Komandan
penanganan darurat bencana, sesuai dengan lokasi dan tingkatan
bencananya.
(3) Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan pada
masyarakat terkena bencana yang mengalami luka parah dan kelompok
rentan.
(4) Terhadap masyarakat terkena bencana yang meninggal dunia dilakukan
upaya identifikasi dan pemakamannya
Pasal 57
(1) Pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (1) huruf d meliputi bantuan penyediaan:
a. Kebutuhan air bersih, sanitasi;
b. Pangan;
c. Sandang;
d. Pelayanan kesehatan;
e. Pelayanan psikososial;
f. Penampungan dan tempat hunian.
(2) Pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.
(3) Dalam pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memperhatikan kebutuhan khusus perempuan, anak-anak, dan
orang yang berkebutuhan khusus dan kelompok rentan
(4) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka dapat meminta bantuan
kepada masyarakat, lembaga usaha, lembaga internasional dan/atau
lembaga asing non pemerintah.
(5) Dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Masyarakat luas dapat berperan serta dalam pengumpulan dan
pembagian kebutuhan dasar sebagai bentuk solidaritas dibawah
koordinasi BPBD
(6) Tata cara pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) di buat oleh BPBD dengan berpedoman pada Peraturan Kepala BNPB
tentang pedoman pemenuhan kebutuhan dasar.

- 27 Pasal 58
(1) Perlindungan terhadap kelompok rentan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (1) huruf e dilakukan dengan memberikan
prioritas kepada kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi,
pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial.
(2) Upaya perlindungan terhadap kelompok rentan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh instansi/lembaga terkait yang
dikoordinasikan oleh kepala BPBD dengan pola pendampingan/fasilitasi.
(3) Kelompok rentan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. bayi, balita dan anak-anak;
b. ibu yang sedang mengandung dan/atau menyusui;
c. penyandang cacat;
d. orang lanjut usia.
Pasal 59
(1) Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf f bertujuan untuk berfungsinya
prasarana dan sarana dengan segera, agar kehidupan masyarakat tetap
berlangsung.
(2) Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi/lembaga terkait yang
dikoordinasikan oleh kepala BPBD sesuai dengan kewenangannya.

Bagian Ketiga
Pasca Bencana
Pasal 60
(1) Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana
meliputi:
a. Rehabilitasi; dan
b. Rekonstruksi.
(2) Perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dapat melibatkan tokoh masyarakat, pemuka agama, akademisi,
insan media, dan lembaga swadaya masyarakat.
Pasal 61
(1) Rehabilitasi pada wilayah pasca bencana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 60 ayat (1) huruf a dilakukan melalui kegiatan:
a. Perbaikan lingkungan daerah bencana;
b. Perbaikan prasarana dan sarana umum;
c. Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
d. Pemulihan sosial psikologis;
e. Pelayanan kesehatan;
f. Rekonsiliasi dan resolusi konflik;
g. Pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya;

- 28 h. Pemulihan keamanan dan ketertiban;


i. Pemulihan fungsi pemerintahan; dan
j. Pemulihan fungsi pelayanan publik.
(2) Untuk mempercepat pemulihan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana, pemerintah daerah menetapkan prioritas dari kegiatan
rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penetapan prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada
analisis kerusakan dan kerugian akibat bencana.
(4) Analisis kerusakan dan kerugian akibat bencana dilakukan oleh tim yang
terdiri dari unsur :
a. Pemerintah Daerah;
b. Tentara Nasional Indonesia (TNI);
c. Polisi Republik Indonesia (POLRI);
d. Organisasi Masyarakat Sipil.
(5) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sekurang-kurangnya berjumlah
7 (tujuh) orang.
Pasal 62
(1) Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61ayat (1)
merupakan tanggungjawab pemerintah.
(2) Dalam melakukan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pemerintah daerah menyusun rencana rehabilitasi yang didasarkan pada
analisis kerusakan dan kerugian akibat bencana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 ayat (3) dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.
(3) Dalam menyusun rencana rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus memperhatikan:
a. Pengaturan mengenai standar konstruksi bangunan;
b. Kondisi sosial;
c. Adat istiadat;
d. Budaya; dan
e. Ekonomi.
(4) Dalam menyusun rencana rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) Pemerintah Daerah mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh
Kepala BNPB.
Pasal 63
(1) Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1)
dilaksanakan oleh satuan kerja Perangkat Daerah dan instansi/lembaga
terkait yang dikoordinasikan oleh kepala BPBD.
(2) Dalam rangka mempercepat rehabilitasi Pemerintah Daerah dapat
bekerjasama dengan lembaga usaha, lembaga internasional, dan
organisasi masyarakat sipil.

- 29 Pasal 64
(1)

Dalam hal bencana akibat gagal teknologi, upaya pemulihan fungsi


lingkungan hidup wajib dilakukan oleh badan usaha yang
menyebabkan terjadinya bencana di bawah koordinasi BPBD.

(2)

Kegiatan Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
a.
Remediasi;
b.
Rehabilitasi;
c.
Restorasi;

(3)

Biaya pemulihan fungsi lingkungan hidup wajib ditanggung pihak


penyebab rusaknya fungsi lingkungan hidup.
Pasal 65

Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi pada wilayah panca bencana


diatur melalui Peraturan Bupati.

Pasal 66
(1) Rekonstruksi pada wilayah pasca bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 huruf b dilakukan melalui kegiatan:
a. Pembangunan kembali prasarana dan sarana;
b. Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
c. Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat;
d. Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang
lebih baik dan tahan bencana;
e. Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan,
dunia usaha dan masyarakat;
f. Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
g. Peningkatan fungsi pelayanan publik; atau
h. Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
(2) Untuk mempercepat pembangunan kembali semua prasarana dan sarana
serta kelembagaan pada wilayah pasca bencana, Pemerintah Daerah
menetapkan prioritas dari kegiatan rekonstruksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
(3) Penetapan prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada
analisis kerusakan dan kerugian akibat bencana.
Pasal 67
(1) Kegiatan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1)
merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah, kecuali prasarana dan
sarana yang merupakan tanggungjawab Pemerintah.
(2) Pemerintah daerah menyusun rencana rekonstruksi yang merupakan satu
kesatuan dari rencana rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62
ayat (2).

- 30 (3) Dalam menyusun rencana rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat


(2) harus mengacu dan memperhatikan :
a. Rencana tata ruang;
b. Pengaturan mengenai standar konstruksi bangunan;
c. Kondisi sosial;
d. Adat istiadat;
e. Budaya lokal; dan
b. Ekonomi.
(4) Rencana rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun
berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh kepala BNPB.
Pasal 68
Kegiatan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1)
dilaksanakan oleh satuan kerja Pemerintah Daerah dan instansi/lembaga
terkait yang dikoordinasikan oleh BPBD.
Pasal 69
Ketentuan lebih lanjut mengenai rekonstruksi pada wilayah pasca bencana
diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB IX
BENTUK DAN ANALISIS RESIKO BENCANA NON ALAM
Bagian Kesatu
Bentuk Bencana Non Alam
Pasal 70
Bencana non alam meliputi:
a. kebakaran hutan/lahan yang disebabkan oleh manusia;
b. kecelakaan transportasi darat, air dan udara ;
c. kegagalan konstruksi/teknologi;
d. dampak industri;
e. pencemaran lingkungan dan
f. kejadian luar biasa yang diakibatkan oleh hama penyakit tanaman,
epidemik dan wabah.

Bagian Kedua
Analisis Risiko Bencana Non Alam
Pasal 71
(1)

Setiap usaha dan atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak


penting terhadap bencana non alam, ancaman terhadap ekosistem dan
kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia, wajib
melakukan analisis risiko bencana bukan alam.

- 31 (2)

(3)

Analisis risiko bencana bukan alam sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) meliputi:
a. Pengkajian risiko;
b. Pengelolaan risiko; dan/atau
c. Komunikasi risiko.
Format, prosedur, metode dan evaluasi analisa resiko ditentukan oleh
SKPD atau instansi terkait dibawah koordinasi BPBD.

BAB X
PENANGGULANGAN, PEMULIHAN, DAN PEMELIHARAAN
BENCANA NON ALAM
Bagian Kesatu
Penanggulangan
Pasal 72
(1)
(2)

Setiap orang wajib melakukan penanggulangan bencana non alam.


Bencana non alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan:
a. pemberian informasi peringatan bencana non alam kepada
masyarakat;
b. pengisolasian bencana non alam;
c. penghentian sumber bencana non alam; dan/atau
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pasal 73

Dalam penanggulangan bencana non alam pada tahap tanggap darurat dan
pasca bencana, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Daerah ini.

Bagian Kedua
Pemulihan
Pasal 74
(1)
(2)

(3)

Setiap orang, kelompok orang atau badan hukum yang menyebabkan


bencana non alam wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan tahapan:
a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;
b. remediasi;
c. rehabilitasi;
d. restorasi; dan/atau
e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Biaya pemulihan fungsi lingkungan hidup wajib ditanggung pihak
penyebab rusaknya fungsi lingkungan hidup.

- 32 Bagian Ketiga
Pemeliharaan
Pasal 75
(1)
(2)

Pemeliharaan lingkungan hidup antara lain dilakukan melalui upaya


konservasi sumber daya alam.
Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi kegiatan:
a. Perlindungan sumber daya alam;
b. Pengawetan sumber daya alam;
c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam; dan
d. Semua kegiatan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

BAB XI
PENDANAAN, PENGELOLAAN, DAN PERTANGGUNGJAWABAN DANA
PENANGGULANGAN BENCANA
Bagian Kesatu
Pendanaan
Pasal 76
(1)

Dana penyelenggaraan penanggulangan bencana berasal dari


Pemerintah Daerah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah sesuai
dengan kewenangannya masing-masing berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

(2)

Dalam hal bencana gagal teknologi, dana penanggulangan bencana


menjadi tanggung jawab badan usaha penyebab utama terjadinya
bencana.

(3)

Dalam hal anggaran Pemerintah Daerah tidak memadai, Pemerintah


Daerah dapat meminta bantuan dana kepada Pemerintah Provinsi
dan/atau Pemerintah.

(4)

Pemerintah Daerah mendorong partisipasi masyarakat, lembaga usaha


dan lembaga internasional dalam penyediaan dana.

(5)

Penggunaan dana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) dilaksanakan oleh BPBD sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya.

(6)

Dana operasional penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) terdiri atas:
a. Dana kontejensi bencana untuk kegiatan kesiapsiagaan pada tahap
pra bencana.
b. Dana siap pakai untuk kegiatan pada saat tanggap darurat.
c. Dana bantuan berpola hibah untuk kegiatan pada tahap pasca
bencana.

- 33 Pasal 77
Pemerintah
Kabupaten
berkewajiban
mengalokasikan
anggaran
penanggulangan bencana secara memadai dan proporsional guna
dipergunakan untuk:
a. Pelaksanaan pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi
kerusakan dan sumber daya;
b. Kegiatan penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
c. Pemberian bantuan kebutuhan dasar masyarakat korban bencana;
d. Pelaksanaan perlindungan terhadap kelompok rentan, dan;
e. Kegiatan pemulihan darurat sarana prasarana.
Pasal 78
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pengelolaan dana
penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 sampai
dengan Pasal 77 diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Kedua
Pengelolaan Dan Pertanggungjawaban
Dana Penanggulangan Bencana
Pasal 79
(1) Pengelolaan dana penanggulangan bencana meliputi: perencanaan,
penggunaan, pemeliharaan, pemantauan, dan pengevaluasian terhadap
barang/jasa, dan/atau uang bantuan dari Pemerintah dan bantuan
internasional
(2) Pengelolaan dana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan pada semua tahap bencana sesuai kewenangannya
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 80
(1) Kepala BPBD sesuai dengan kewenangannya wajib membuat laporan
pertanggungjawaban dana penanggulangan bencana.
(2) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Bupati.
(3) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diinformasikan kepada publik melalui media cetak.
Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pertanggungjawaban dana
penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada pasal 79 ayat (1)
diatur dengan Peraturan Bupati.

- 34 BAB XII
PENGAWASAN
Pasal 82
(1)

Pemerintah Daerah harus melakukan pengawasan terhadap seluruh


tahap penanggulangan bencana.

(2)

Pengawasan terhadap seluruh tahap bencan sebagaimana dimaksut


pada ayat (1) meliputi :
a. Pra bencana;
b. Saat tanggap darurat; dan
c. Pasca bencana
Pasal 83

Apabila berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


82 ayat (1) ditemukan adanya penyimpangan, dikenakan sanksi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 84
(1)

Apabila terjadi sengketa penanggulangan bencana, maka penyelesaian


pada tahap pertama diupayakan berdasarkan azas musyawarah
mufakat.

(2)

Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya
penyelesaian diluar pengadilan atau melalui pengadilan.

(3)

Upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) dapat dilakukan dengan jalan arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa sesuai dengen peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 85

(1) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai


kesepakatan mengenai:
a. Bentuk dan besarnya ganti rugi;
b. Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan atau perusakan;
c. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya
pencemaran dan atau perusakan; dan/atau
d. Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap
Iingkungan hidup.
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Lingkungan
Hidup.
(3) Dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dapat digunakan jasa
mediator dan atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa.

- 35 BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 86
Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini, semua ketentuan yang berkaitan
dengan penanggulangan bencana di Daerah dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum dikeluarkan peraturan
pelaksanaan baru berdasarkan Peraturan Daerah ini.
Pasal 87
Semua program dan/atau kegiatan berkaitan dengan penanggulangan
bencana yang telah ditetapkan sebelum ditetapkannya Peraturan Daerah
ini dinyatakan tetap berlaku sampai massa waktunya kegiatan dimaksud
berakhir kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Daerah ini

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 88
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai
teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati
selambat-Iambatnya diterbitkan dalam waktu 6 (enam) bulan sejak
Peraturan Daerah ini ditetapkan.
Pasal 89
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Bojonegoro.
Ditetapkan di Bojonegoro
pada tanggal 30 Agustus 2012
BUPATI BOJONEGORO,
ttd
H. S U Y O T O
Diundangkan di Bojonegoro
pada tanggal 5 Nopember 2012
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO
ttd
SOEHADI MOELJONO
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO TAHUN 2012 NOMOR 10.
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO

Drs. SOEHADI MOELJONO,MM


Pembina Utama Madya
NIP. 19600131 198603 1 008

PENJELASAN ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO
NOMOR 7 TAHUN 2012
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA DIKABUPATEN BOJONEGORO
I.

UMUM
Kabupaten Bojonegoro adalah salah satu Kabupaten yang memiliki

kerentanan bencana yang cukup tinggi mulai dari banjir, angin puting
beliung, tanah lonsor, kebakaran hutan, dan bencana non alam lain seperti
bencana akibat ekstraksi sumber daya alam, serta bencana sosial seperti
konflik dan sebagainya.
Sebagaimana kita ketahui bersama Undang-undang No 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU-PB) mendefinisikan bencana
sebagai

peristiwa

atau

rangkaian

peristiwa

yang

mengancam

dan

mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,


baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
UU-PB juga mengelompokan bencana kedalam tiga kategori yaitu:
Pertama, Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor. Kedua, Bencana non-alam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara
lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit. Ketiga, Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang
meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat,
dan teror
Bencana alam sangat berpotensi di Bojonegoro mengingat secara
geografis

Bojonegoro

berada

di

aliran

sungai

Bengawan

Solo

yang

menyebabkan tingginya peluang terjadinya banjir rutin tahunan di beberapa


wilayah bojonegoro bagian utara, Selain itu Bojonegoro juga berpotensi
banjir bandang yang disebabkan oleh semakin intensifnya penebangan
hutan di dataran tinggi Bojonegoro selatan.
Berdasarkan data BPBD Kabupaten Bojonegoro, Jenis ancaman
bencana lain yang sering terjadi adalah kegagalan teknologi/industri,
kebakaran, angin puting beliung.Sebagian masyarakat petani yang rutin
terkena dampak banjir, mengalami gagal panen berulang, sehingga terjebak
dalam hutang untuk menutupi kebutuhan modal tanam kembali.

- 2 Disamping potensi bencana alam sebagaimana disebutkan diatas


Bojonegoro juga memiliki potensi bencana non alam, misalnya yang pernah
terjadi disekitar eksplorasi migas, dimana pernah terjadi kebocoran gas yang
menyebabkan ratusan orang menjadi korban, baik segi kesehatan maupun
psikis.
Dalam upaya penanganan bencana sebagaimana diatas Pemerintah
Kabupaten Bojonegoro telah mengesahkan Perda Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Lain yang isinya mengatur tentang Kelembagaan BPBD. mengingat
pentingnya

penanggulangan

bencana

yang

sistematis,

terpadu,

dan

terkoordinasi, tentu belumlah cukup bila hanya diatur dengan perda


Kelembagaan Penanggulangan bencana oleh sebab itu diperlukan peraturan
daerah

yang

lebih

konprehensif

sebagai

acuan

dalam

pelaksanaan

penanggulangan bencana di Kabupaten Bojonegoro guna memberikan


perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana dan menjamin
terselenggaranya

penanggulangan

bencana

secara

terencana,

terpadu,

terkoordinasi, serta menyeluruh.


Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu menetapkan
peraturan Daerah tentang penanggulangan bencana yang mengatur tentang:
a. semua upaya penanggulangan bencana yang dilakukan pada saat
prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana;
b. penitikberatan upaya-upaya yang bersifat preventif pada prabencana;
c. pemberian kemudahan akses bagi badan penanggulangan bencana
pada saat tanggap darurat; dan
d. pelaksanaan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pada pascabencana.
e. Pendanaan Penanggulangan bencana di Kabupaten Bojonegoro
f.

Pengawasan dalam penanggulangan bencana

g. Penyelesaian sengketa dalam penanggulangan bencana


h. ketentuan pidana dalam penyelenggaraan penanggulngan bencana
II.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas

- 3 Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Dokumen otentik masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal ini adalah; dokumen setifikat tanah, akta
kelahiran, ijazah, ktp, kk, buku nikah, STNK, BPKB, SIM)
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 5
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas
huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup Jelas
Huruf i
Ganti rugi diberikan dalam bentuk santunan sesuai dengan
kemampuan keuangan daerah
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup Jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan layanan informasi keliling adalah
menggunakan alat transportasi darat dan air.
Huruf c
Yang dimaksud dengan call centre adalah pusat layanan
informasi yang dilakukan secara online dan bersifat aktif.
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas

- 4 Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 9
Cukup Jelas
Pasal 10
masyarakat berkebutuhan khusus antara lain orang cacat, lansia dan
penyandang masalah kesejahteraan social lainnya
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Cukup Jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Yang dimaksud Lembaga Kemasyarakatan adalah semua organisasi
baik yang berbadan hukum seperti yayasan, perkumpulan atau lainnya
Pasal 15
Cukup Jelas
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup Jelas
Pasal 19
.
Cukup Jelas
Pasal 20
Cukup Jelas
Pasal 21
Cukup Jelas
Pasal 22
Cukup Jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Pemenuhan syarat analisis risiko bencana ditunjukkan dalam
dokumen yang disahkan oleh pejabat pemerintah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
Pasal 24
Cukup Jelas
Pasal 25
Cukup Jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup Jelas.
Pasal 28
Cukup Jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas

- 5 Pasal 31
Huruf a
Yang dimaksud dengan batas dataran banjir adalah; luas
genangan, tinggi genangan, dan lama genangan banjir.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Padal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup Jelas
Pasal 43
Cukup Jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas

- 6 Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1 )
Cukup jelas
Ayat ( 2)
Yang dimaksud dengan "sistem komando tanggap darurat
bencana" adalah suatu standar penanganan darurat bencana
yang digunakan oleh semua instansi/lembaga dengan
mengintegrasikan pengerahan fasilitas, peralatan, personil,
prosedur, dan komunikasi dalam suatu struktur organisasi.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Huruf a
Tujuan perbaikan lingkungan daerah bencana dalam
ketentuan ini dimaksudkan untuk mengembalikan kondisi
lingkungan yang dapat mendukung kehidupan masyarakat,
seperti lingkungan permukiman, lingkungan industri,
lingkungan usaha, dan kawasan konservasi yang
disesuaikan dengan penataan ruang.
Huruf b
Tujuan perbaikan prasarana dan sarana umum dalam
ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung kelancaran
perekonomian dan kehidupan masyarakat, seperti sistem
jaringan jalan, perhubungan, air bersih, sanitasi, listrik dan
energi, komunikasi serta jaringan lainnya.
Huruf c
Tujuan pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat
dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperbaiki
kondisi rumah masyarakat agar dapat mendukung
kehidupan masyarakat,
seperti
komponen rumah,
prasarana, dan sarana lingkungan perumahan yang
memungkinkan berlangsungnya kehidupan sosial dan
ekonomi
yang
memadai
sesuai
dengan
standar
pembangunan perumahan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.

- 7 Huruf d
Tujuan pemulihan sosial psikologis dalam ketentuan ini
dimaksudkan untuk memperbaiki kehidupan sosial dan
psikologis masyarakat sehingga dapat meneruskan
kehidupan dan penghidupan yang dilakukan melalui
pelayanan rehabilitasi sosial berupa konseling bagi
keluarga korban bencana yang mengalami trauma,
pelayanan
konsultasi
keluarga,
dan
pendampingan/fasilitasi sosial.
Huruf e
Tujuan pelayanan kesehatan dalam ketentuan ini
dimaksudkan untuk memulihkan kesehatan korban
bencana.
Huruf f
Tujuan rekonsiliasi dan resolusi konflik dalam ketentuan
ini dimaksudkan untuk menurunkan eskalasi konflik
sosial, termasuk mempersiapkan landasan rekonsiliasi dan
resolusi konflik sosial.
Huruf g
Tujuan pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya dalam
ketentuan ini dimaksudkan untuk memperbaiki kehidupan
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat dengan cara
menghidupkan kembali aktifitas sosial, ekonomi, dan
budaya masyarakat.
Huruf h
Tujuan pemulihan keamanan dan ketertiban dalam
ketentuan ini dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi
keamanan dan ketertiban masyarakat dengan cara
mengaktifkan kembali lembaga-lembaga keamanan dan
ketertiban terkait.
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Ayat (1 )
Cukup jelas.
Ayat (2 )
huruf a
Yang dimaksud remediasi adalah kegiatan untuk
membersihkan permukaan tanah yang tercemar.
Huruf b
Cukup Jelas

- 8 Huruf c
Yang dimaksud restorasi adalah pengembalian atau
pemuliha kepada keadaan semula (tentang gedung
bersejarah, kedudukan, keudukan raja, negara)
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Huruf a
Tujuan pembangunan kembali prasarana dan sarana
dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk membangun
kembali prasarana dan sarana untuk tumbuh dan
berkembangnya kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.
Huruf b
Tujuan pembangunan kembali sarana sosial masyarakat
dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan
fungsi sarana sosial masyarakat yang rusak akibat bencana
agar kegiatan sosial masyarakat dapat tumbuh dan
berkembang pada wilayah pasca bencana, seperti sarana
pendidikan, kesehatan, panti asuhan, sarana ibadah, panti
wredha, dan balai desa.
Huruf c
Tujuan pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya
masyarakat dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk
menata kembali kehidupan sosial budaya masyarakat yang
rusak akibat bencana agar kegiatan sosial masyarakat
dapat tumbuh dan berkembang pada wilayah pasca
bencana, seperti pemenuhan kembali fungsi-fungsi sosial
korban bencana agar kondisi kehidupan korban bencana
menjadi lebih layak.
Huruf d
Tujuan penerapan rancang bangun yang tepat dan
penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana
dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko
bencana yang dapat ditimbulkan oleh bencana berikutnya,
sehingga kehidupan masyarakat pada wilayah pasca
bencana dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan
penataan ruang.
Huruf e
Tujuan partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat dalam
ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran
serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia
usaha dan masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas

- 9 Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup Jelas
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas

oooOooo

Vous aimerez peut-être aussi