Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Angina pectoris tidak stabil atau Unstable angina pectoris (UAP) adalah keadaan
pasien dengan gejala iskemia sesuai dengan sindroma coroner akut tanpa terjadi penaikan
enzim penanda iskemia jantung (CKMB, Troponin) dengan atau tanpa perubahan EKG
yang menunjukan iskemia (depresi segmen ST, inverse gelombang T dan elevasi segmen
ST yang transien).2
Yang termasuk ke dalam angina tak stabil yaitu:
1. Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina cukup berat dan
frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari.
2. Pasien dengan angina yang bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan
angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor prepitasi
makin ringan.
3. Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.1
Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada
keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik.1
Berat angina :
-
Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri
dada
Kelas II. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tak
ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir
Kelas III. Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik
sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir1
Keadaan klinis :
Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau febris
Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor ekstrakardiak
Kelas C. Angina yang timbul setelah serangan infark jantung1
Intensitas pengobatan :
Skor
Usia 65 tahun
3 faktor risiko penyakit jantung coroner (hipertensi, riwayat keluarga,
hiperkolesteronemia, diabetes, perokok aktif)
Pemakaian aspirin dalam 7 hari terakhir
2 episode angina dalam 24 jam terakhir
Peningkatan enzim jantung
Devariasi Segmen ST 0,5 mm, yaitu depresi atau elevasi segmen ST
yang transien (<20 menit)
Diketahui menderita PJK
Skor 0-2 : Risiko Rendah, 3-4 : Risiko Sedang, 5-7 : Risiko Tinggi
1
1
1
1
1
1
1
2.4 Patogenesis
2.4.1
Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pectoris tak stabil,
sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh darah koroner yang
sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Plak aterosklerotik terdiri dari inti
yang mengandung banyak lemak dan perlindungan jaringan fibrotic (fibrotic cap). Plak
yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltasi sel
makrofag. Biasanya rupture terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang
normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada
dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag
dan secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous cap). 1
Terjadinya rupture menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh darah
100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila thrombus tidak
menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak
stabil. 1
2.4.2
Agregasi platelet dan pembentukan thrombus merupakan salah satu dasar terjadinya
angina tak stabil. Terjadinya thrombosis setelah plak terganggu disebabkan karena
interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak
merupakan bahan terpenting dalam pembentukan thrombus yang kaya trombosit,
sedangkan sel oto polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan
dengan ekspresi factor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah,
factor jaringan berinteraksi dengan factor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik
yang meghasilkan pembentukan thrombin dan fibrin. 1
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet
melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokontriksi dan
pembentukan thrombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikur berperan dalam perubahan
terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai thrombosis yang
intermitten, pada angina tak stabil. 1
2.4.3
Vasospasme
Terjadinya vasokontriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil.
Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet
berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme.
Spasme yang terlokalisir seperti pada Angina Printzmetal juga dapat menyebabkan angina
tak stabil. Adanya spasme seringkali terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai
peran dalam pembentukan thrombus. 1
2.4.4
Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko
pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukan kemungkinan
adanya iskemia akut. Gelombang T negative juga salah satu tanda iskemia atau NSTEMI.
Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari
0,5 mm dan gelombang T negative kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemia, dan
dapat disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4% mempunyai EKG normal,
dan pada NSTEMI 1-6% EKG juga normal. 1
2.6.2
Uji Latih
Pasien yang telah stabil dengan medikamentosa dan menunjukan tanda risiko tinggi
perlu pemeriksaan exercise test dengan alat treadmill. Bila hasilnya negative maka
prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya positif, lebih-lebih bila didapatkan depresi
segmen ST yang dalam, dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner,
untuk menilai keadaan pembuluh darah koronermua apakah perlu tindakan
revaskularisasi (PCI atau CABG) karena risiko terjadinya komplikasi kardiovaskular
dalam waktu mendatang cukup besar1
2.6.3
Ekokardiografi
Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di ruamh sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu
diistirahatkan (bed rest), diberikan penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin
perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapatkan
nitrogliserin. 1
2.8.2
Terapi Medikamentosa
Meta analisis studi pada pasien dengan angina tak stabil yang mendapa antagonis
kalsium, menunjukan tak ada pengurangan angka kematian dan infark. Pada pasien yang
sebelumnya tidak mendapat antagonis pemberian nifedipin menaikan infark dan angina
yang rekuren sebesar 16%, sedangkan kombinasi nifedipin dan metoprolol dapat
mengurangi kematian dan infark sebesar 20%, tapi kedua studi secara statistic tak
bermakna. Kenaikan mortalitas mungkin karena pemberian nifedipin menyebabkan
takikardia dan kenaikan kebutuhan oksigen. 1
Verapamil dan diltiazem dapar memperbaiki survival dan mengurangi infark pada
pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang
berkurang, pengurangan afterload memberikan keuntungan pada golongan
nondihidropirin pada pasien SKA dengan faal jantung normal. Pemakaian antagonis
kalsium biasanya pada pasien yang ada kontraindikasi dengan antagonis atau telah diberi
penyekat beta tapi keluhan angina masih refrakter. 1
Obat antiagregasi trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tak stabil
maupun NSTEMI. Tiga golongan obat anti platelet seperti aspirin, tienopiridin dan
inhibitor GP IIb/IIIa telah terbukti bermanfaat. 1
Aspirin
Banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi kematian jantung
dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51% sampai 72% pada pasien dengan
angina tak stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan untuk diberikan seumur hidup
dengan dosis awal 160 mg per hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg per hari. 1
Tienopiridin
Tiklopidin
Tiklopidin suatu derivate tienopiridin merupakan obat lini kedua dalam pengobatan
angina tak stabil bila pasien tidak tahan aspirin. Studi dengan tiklopidin dibandingkan
placebo pada angina tak stabil ternyata menunjukan bahwa kematian dan infark non fatal
berkurang 46,3%. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping
granulositopenia, dimana insidennya 2,4%. Dengan adanya klopidogrel yang lebih aman
pemakaian tiklopidin mulai ditinggalkan. 1
Klopidogrel
Klopidogrel juga merupakan derivate tienopiridin, yang dapat menghambat agregasi
platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin dan belum ada laporan adanya
neutropenia. Klopidogrel juga terbukti dapat mengurangi strok, infark dan kematian
kardiovaskular. Klopidogrel dianjurkan untuk diberikan pada pasien yang tak tahan
aspirin. Tapi dalam pedoman ACC/AHA klopidogrel juga dianjurkan untuk diberikan
bersama aspirin paling sedikit 1 bulan sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg
per hari dan selanjutnya 75 mg per hari1
Inhibitor Glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada
proses agregasi platelet. Karena Inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka
ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. 1
Pada saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui untuk pemakaian
dalam klinik yaitu:
a. Absiksimab, suatu antibody monoclonal
b. Eptifibatid, suatu siklik heptapeptid
c. Tirofiban, suatu nonpeptid
Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil maupun untuk obat
tambahan dalam tindakan PCI terutama pada kasus-kasus angina tak stabil. Keuntungan
lebih nyata pada pasien resiko tinggi, dan lebih tampak pada pasien dengan PCI karena
strategi invasive dini. Penelitian pada pasien SKA tanpa elevasi segmen ST dan
mendapatkan tindakan PCI, kematian dan infark miokard dalam 30 hari berkurang dari
30-70%. Tirofiban dan eptifibatid harus diberikan bersama aspirin dan heparin pada
pasien dengan iskemia terus menerus atau pasien risiko tinggi dan pasien yang
direncanakan untuk tindakan PCI. Absiksimab disetujui untuk pasien dengan angina tak
stabil dan NSTEMI yang direncanakan tindakan invasive dini dimana PCI direncanakan
dalam 12 jam. 1
Obat Antitrombin
Unfractionated Heparin
Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari berbagai rantai polisakarida
yang berbeda panjangnya dengan aktivasi antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin
III, bila terikat dengan heparin, akan berkerja menghambat thrombin dan factor Xa.
Heparin juga mengikat protein plasma yang lain, sel darah dan sel endotel, yang akan
mempengaruhi bioavaibilitas. Kelemaham lain heparin adalah efek terhadap thrombus
yang kaya trombosit dan heparin dapat dirusak oleh platelet factor 4. 1
Metaanalisis dari 6 penelitian menunjukan bahwa pemberian heparin bersama aspirin
dapat mengurangi risiko sebesar 33% dibandingkan aspirin saja. 1
Karena adanya ikatan protein yang lain dan perubahan bioavaibilitas yang berubahubah makan pada pemberian selealu perlu pemeriksaan laboratorium untuk memastikan
dosis pemberian cukup efektif. Actived Partial Thromboplastin Time (APTT) harus 1.52.5 kali control dan dilakukan pemantauan tiap 6 jam setelah pemberian. Pemeriksaan
trombosit juga perlu untuk mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced
thrombocytopenia (HIT). 1
Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Low Molecular Weight Heparin (LMWH) dibuat dengan melakukan depolimerisasi
rantai polisakarida heparin. Kebanyakan mengandung sakarida kurang dari 18 dan hanya
bekerja pada factor Xa, sedangkan heparin menghambat factor Xa dan thrombin.
Dibandingkan dengan Unfractionated heparin, LMWH mempunyai ikatan terhadap
protein plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar dan tidak mudah untuk dinetralisir oleh
factor 4, lebih besar pelepasan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan kejadian
trombositopenia lebih sedikit. 1
Low Molecular Weight Heparin (LMWH) yang ada di Indonesia ialah dalteparin,
nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. 1
Dalteparin sama efektifnya dengan heparin sedang penelitian dengan enoksaparin
menunjukan berkurangnya mortalitas atau infark sebesar 20% pada pasien yang
mendapatkan enoksaparin dibandingkan heparin. 1
Daftar Pustaka
1.
2. Mehta, Sachin dan Neal Kleiman. Unstable Angina and Non-ST Segment Elevation
Myocardial Infaction (Acute Coronary Syndrome), Springer Science Business Media.
New York. 2013
3. Eghiazarians E, Raunstein J. Askari A And Stone P. Unstable Angina Pectoris. The New
England Journal of Medicine. 2000. Volume 342. Number 2.
4. Oktarina R., Karani Y., Edward Z. Hubungan Kadar Glukosa Darah Saat Masuk Rumah
Sakit Dengan Lama Hari Rawat Pasien Sindrom Koroner Akut (SKA) Di RSUP Dr. M.
Djamil Padang, Jurnal Kesehatan Andalas, 2013; 2; 94-7
5. Braunwald, E. 2007. Heart Disease : A Textbook of Cardiovascular Medicine.
Philadelphia : W.B. Saunders