Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aceh Green
DALAM kurun waktu enam bulan, Pemerintah Aceh sudah melahirkan
dua konsep penyelamatan hutan, Moratorium Logging dan Aceh Green. Uniknya
ke dua konsep tersebut lahir di salah satu kawasan pariwisata terbaik di dunia,
Nusa Dua,
Jika ditanya mengapa dua konsep hutan Aceh lahir di Nusa Dua, Bali?,
kebetulan saja, kawasan ini kerap di dapuk menjadi tuan rumah pertemuan skala
international, bisa jadi iklim dan fasilitas di kawasan ini lebih mendukung
ketimbang wilayah lain. Pastinya, tidak ada latar belakang hubungan historis
maupun aktual antara hutan Aceh dan kawasan Nusa Dua.
Konsep pertama di deklarasikan bersama Gubernur Papua dan Papua Barat pada
26 April 2007 mengenai perubahan iklim, konsep ini merupakan cikal bakal
lahirnya kebijakan moratorium logging yang di deklarasikan pada 6 Juni 2007 di
Aceh.
Konsep kedua lahir bertepatan dengan konferensi dunia tentang perubahan
iklim, yaitu konsep Aceh Green. Konsep ini di deklarasikan bersama dua
Gubernur dari Papua dan Amazon, Brazil pada 12 Desember 2007. Sekarang,
hutan Aceh sudah mendapat stempel dua konsep pengelolaan hutan “Moratorium
Logging dan Aceh Green”. Selamatkah hutan aceh?.
Seperti yang dikatakan Gubernur Irwandi dalam pertemuan dengan Forum
Bersama (Forbes) Anggota DPR/DPD RI asal Aceh pada 7 Maret lalu, bahwa 80
persen hutan Sumatra ada di wilayah Aceh. Moratorium penebangan kayu yang
dicanangkan sejak Juni 2007, telah berhasil mendorong penyelamatan hutan,
meski demikian Irwandi mengakui bahwa aksi-aksi pencurian kayu masih terjadi
di hutan Aceh.
Masih maraknya aksi-aksi pencurian kayu di hutan Aceh tentunya tidak terlepas
dari peranan para cukong yang membiayai aksi ini, dan di sisi lain kondisi
ekonomi masyarakat yang masih miskin membuat kasus illegal logging sulit
untuk diberantas habis dari wilayah hutan Aceh.
Kini, cukong-cukong kayu mulai gerah dan panik. Mereka berteriak, akibat
moratorium, harga kayu melambung, rakyat sulit mendapat kayu untuk
membangun rumah, bahkan untuk peti mati. Cukong kayu sengaja menyebarkan
provokasi seperti itu agar masyarakat menolak kebijakan moratorium logging, hal
ini diungkapkan Irwandi pada rapat kerja dengan Komisi A dan Pimpinan DPRA,
6 Maret lalu di Gedung Serbaguna DPRA.
Padahal, menurut Irwandi, kebijakan moratorium dilakukan untuk menata kembali
fungsi hutan yang seharusnya menjadi faktor keseimbangan alam dan iklim. Tapi
akibat dieksploitasi secara berlebihan oleh pengusaha HPH dan pemilik HGU,
lanjut Irwandi, maka fungsi keseimbangan menjadi lemah hingga menimbulkan
bencana banjir, tanah longsor, gangguan gajah dan satwa liar seperti harimau.
Belum selesai dan lepas dari persoalan illegal logging dan kerusakan hutan.
Pemerintah Aceh telah dihadapkan pada persoalan baru yang harus diselesaikan.
Tingginya angka pengangguran di Aceh.
Ledakan angka pengangguran ini akan menjadi hantu bagi Aceh, pasca
berakhirnya program rehabilitasi dan rekonstruksi, April 2009 mendatang.
Sementara, sekitar satu juta hutan Aceh telah rusak akibat berbagai aktivitas
illegal dan pemilik konsesi di masa lalu. Dua hal ini di jawab Pemerintah Aceh
dengan konsep Aceh Green (Aceh Hijau).
Program Aceh Green, mempunyai karakter tidak jauh berbeda dengan moratorium
logging, bahkan mempunyai hubungan erat dengan salah satu program
moratorium, yaitu re-forestrasi (menanam kembali) hutan Aceh. Perbedaannya
terletak pada pelibatan langsung tenaga kerja yang masih menganggur.
Sedangkan, program reforestrasi moratorium logging melibatkan banyak pihak
dari semua kalangan.
Dalam keterangan persnya di Paviliun Indonesia, Nusa Dua, Bali di arena
konferensi perubahan iklim, Irwandi menjelaskan, sebanyak 50 kepala keluarga
(KK) yang bermukim di dekat hutan akan dihibahkan hak kepemilikan tanah oleh
Pemerintah Aceh.
BAB II
PEMBAHSAN
C. Minimalisasi Dampak
Sementara itu, Sofyan, Koordinator Eksekutif Nasional Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Desk Aceh-Nias, memberikan apresiasi
yang positif terhadap gagasan Gubernur Irwandi Yusuf ini, tetapi menurutnya,
konsep semacam inti plasma ini harus dikritisi dan dimodifikasi oleh pemerintah
daerah.
Menurutnya, konsep inti plasma yang diterapkan di sebagian daerah di Indonesia,
terbukti gagal meningktkan kesejahteraan masyarakat. Malah, aset yang dimiliki
masyarakat tergadai oleh investor. Lahan perkebunan di daerah tersebut,
digunakan pihak swasta.
Dari pengalaman selama ini, umumnya perusahaan yang bergerak di dalam
konsep inti plasma tidak memiliki modal cukup. Justru, perusahaan itu
menggunakan aset yang dimiliki masyarakat, sebagai jaminan memulai kegiatan
perkebunan, katanya. Dia menyebutkan, dampak yang timbul, masyarakat harus
menanggung risiko jika perusahaan tersebut mengalami kerugian.
Cara mencegah terjadinya risiko itu, pemerintah dapat menggunakan perusahaan
daerah untuk mengimplementasikan konsep inti plasma. Kalaupun swasta,
pemerintah dapat membebankan mereka untuk meyetorkan modal ke dalam kas
daerah, sehingga mereka tidak bisa pergi begitu saja jika perusahaannya
mengalami kerugian, kata Sofyan. Dia mengakui, gagasan inti plasma yang
dicanangkan Irwandi telah dimodifikasi, dengan mewajibkan pihak swasta
membiayai perkebunan sebesar 50 persen. Namun, hasil modifikasi itu, masih
memungkinkan terjadi berbagai risiko yang merugikan masyarakat.
Sejumlah kegagalan yang terjadi terhadap sistem inti plasma di berbagai daerah,
bisa dijadikan background membuat strategi baru yang mampu meminimalisir
risiko, lanjutnya.
Konsep hutan tanaman rakyat tidak hanya dimanfaatkan produk kayunya.
Akan tetapi, produk nontimber (bukan kayu) di kawasan hutan, seperti lebah
madu dan berbagai produk lain dihasilkan oleh hutan, bisa juga digunakan.
Pemerintah harus melakukan studi untuk memetakan potensi berbeda di setiap
kawasan hutan tanaman rakyat, kata Sofyan.
Perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, pada
15 Agustus 2005 di Helsinki merupakan titik awal kedamaian di Provinsi Aceh.
Keamanan telah menjadi salah satu faktor yang utama sehingga berpeluang
mendatangkan wisatawan dari berbagai negara. Aceh’s Culture and Tourism
Agency, (2008) melaporkan jumlah wisatawan terus meningkat dari tahun ke
tahun baik wisatawan nusantara maupun wisatawan asing. Pada tahun 2006,
jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Aceh sebanyak 12.596 wisatawan.
Pada tahun 2007, terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisatawan asing
sebanyak 14.602 wisatawan. Sementara itu, jumlah kunjungan wisatawan
nusantara juga mengalami peningkatan. Jumlah kunjungan wisata pada tahun
2007 meningkat sebesar 595.546 wisatawan dibandingkan pada tahun 2006
sebanyak 395.691 wisatawan.
BAB III
EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT MENUJU ACEH GREEN
Pembangunan pariwisata yang lebih mengutamakan aspek ekonomi tanpa
upaya mengindahkan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan
niscaya akan berdampak negatif terhadap masyarakat pada masa yang
akan datang. Oleh karena itu, konsep ekowisata dapat menjadi salah satu
solusi untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan
lingkungan. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian
lingkungan dan budaya asli setempat. Prinsip ekowisata menurut TIES
(2000) yaitu 1). Mengurangi dampak negatif kerusakan atau pencemaran
lingkungan dan budaya lokal; 2). Membangun kesadaran dan penghargaan
atas lingkungan dan budaya di destinasi wisata; 3). Menawarkan
pengalaman positif bagi wisatawan melalui kontak budaya yang lebih
intensif; 4). Memberikan keuntungan finansial bagi keperluan konservasi
melalui kontribusi ekstra wisatawan; 5).Memberikan keuntungan finansial
dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal dengan menciptakan produk
wisata yang mengedepankan nilai-nilai lokal. Terdapat berbagai jenis
destinasi ekowisata yang dapat dikembangkan menjadi produk pariwisata.
Misalnya, untuk kawasan pesisir dan pantai kita memiliki sejumlah
destinasi seperti keindahan alam dan pesona bawah laut yang kaya dengan
terumbu karang seperti di Pulau Weh, Sabang. Keindahan pantai pasir
putih yang terdapat disepanjang pesisir Aceh Besar, Banda Aceh sampai
ke Pantai Barat Selatan serta keindahan panorama wisata bahari Pulau
Simeulu. Sementara itu, di kawasan pergunungan kita memiliki Taman
Nasional Gunung Leuser (TNGL) dengan keanekaragaman sumberdaya
hayati, keindahan taman buru Linge, dan keindahan Danau Laut Tawar
Aceh Tengah serta berbagai keindahan alam yang tersebar di hampir
seluruh kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
Untuk mewujudkan ekowisata, maka partisipasi masyarakat merupakan
persyaratan mutlak keberhasilan program tersebut. Peran serta masyarakat
lokal dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan
pengawasan. Dengan kata lain, konsep pembangunan ekowisata mengacu
kepada konsep perencanaan partisipatif. Posisi masyarakat dalam konsep
pembangunan ekowisata merupakan salah satu subjek penting dari
berbagai pemangku kepentingan lainya dalam industri pariwisata. Kajian
memperlihatkan bahwa dukungan dan partisipasi masyarakat merupakan
variabel terpenting penentu keberhasilan program pariwisata. Contohnya,
sebagaimana dilaporkan oleh Ioannides (1995), pemerintah Cyprus tidak
melibatkan dan tidak mendengar aspirasi masyarakat dalam proses
perencanaan pembangunan kawasan Taman Nasional. Akibatnya, secara
drastis masyarakat menghentikan pembangunan kawasan tersebut.
Terusterang saja, saya sendiri belum mengetahui apa, bagaimana dan untuk apa
Aceh Green itu. Jadi maaf saja, saya belum bisa menjelaskan secara akademik
pada kolega dan mahasiswa tentang kehebatan konsep Aceh Green jika
dibandingkan dengan konsep Ecodevelopment-nya Emil Salim atau Sustainable
development-nya Sarwono Kusumaatmadja. Saat ini, Bapak Irwandi dan Tim
Asistensi Aceh Green-lah yang mengetahui percis, sehingga merekalah yang
mula-mula harus menjelaskan konsep tersebut kepada perwakilan komponen
strategis masyarakat. Hal ini menurut saya penting dilakukan agar tidak sekedar
menjadi jargon, alias retorika belaka. Setelah ada penjelasan konsepsional dari
gubernur dan tim tersebut, baru pihak lain mensosialisasikannya kepada seluruh
rakyat Aceh.
Dari perspektif juridis, ada beberapa pertanyaan yang layak diajukan
secara beruntun, yaitu: apakah Aceh Green tersebut merupakan kebijakan public
atau bukan? Apakah kebijakan tersebut merupakan kebijakan pemerintah atau
kebijakan pemerintahan? Apakah kebijakan ini partisipatif atau instruktif yang
topdown? Apakah telah ada payung hukum terhadap kebijakan ini? Payung
hukum apakah yang paling tepat untuk mengatur Aceh Green ini? Apakah
pengaturan Aceh Green telah mempertimbangkan sinkronisasi dan harmonisasi
hukum?
Untuk semua pertanyaan yang saya ajukan di atas, tentulah bapak Gubernur
bersama para anggota Tim Aceh Green dapat menjawabnya secara tepat dan
lugas. Hemat saya, jawaban dari persoalan-persoalan hukum di atas menjadi
penting bagi semua pihak. Bagi birokrasi pemerintahan, misalnya, jawaban di atas
akan menjadi acuan bagi mereka dalam merumuskan kebijakan turunan yang
akan diimplementasikan secara sektoral. Begitu pula bagi kalangan lembaga
swadaya masyarakat (LSM) jawaban tersebut pun berguna untuk mereka dalam
merancang dan merumuskan program kerjanya ditahun mendatang. Sementara itu,
bagi kalangan akademisi dan legislasi (DPRA), jawaban tersebut bermanfaat
dalam rangka memformulasikan what should be the law, yang mungkin saja dapat
“membungkus” wacana ini menjadi ketentuan hukum yang mengikat siapapun di
nanggroe indatu ini. Mengacu pada UUPA yang telah memberikan otonomi
seluas-luasnya kepada provinsi ini, maka Qanun Aceh merupakan payung hukum
kebijakan public yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan
masyarakat Aceh. Sehingga, menurut saya, wacana Aceh Green tidak cukup jika
hanya berupa konsep pidato saja, atau bahkan hanya berupa Instruksi atau
Peraturan Gubernur -- yang seringkali terkesan topdown dengan paradigma “law
as a tool of social engineering” . Tetapi, konsep Aceh Green ini, jika memang
benar-benar bermanfaat bagi rakyat, maka ia harus mendapat pengaturannya di
dalam atau dengan Qanun Aceh sebagai payung hukumnya.
Memasuki cagar alam jantho, sebuah papan nama bercat dasar hijau
bertuliskan “Cagar Alam Pinus Jantho 16.600 ha”. Di bawahnya tumbuh alang-
alang setinggi lutut. Tak jauh dari papan nama tersebut, puluhan pohon pinus
berdiri tegak menghitam habis terbakar.
Hampir delapan kilometer memasuki kawasan cagar alam, jalan tanah merah
mulai tertutup alang-alang, jalan mulai mendaki. Selang dua puluh meter di
depan, hawa panas di sertai suara gemeretak alang-alang terbakar memanjang di
kanan jalan.
Sejak proyek jalan Jantho menuju Keumala tahun 1991 menembus kawasan ini,
hampir setiap musim kemarau ratusan pohon pinus di lalap api, penyebabnya
tidak jelas. Proyek jalan ini akhirnya di hentikan tahun 1992 oleh Departemen
Kehutanan, karena melanggar undang-undang. Tapi, delapan kilometer jalan tanah
sudah menembus jantung kawasan, sejak itu kawasan ini tidak perawan lagi.
Pembalak liar dan perburuhan satwa semakin marak dengan terbukanya kawasan
ini.
Jalan tanah sepanjang delapan kilometer ber-ujung di Sungai Krueng Aceh bagian
selatan kawasan ini, merupakan jalan yang baru di bangun Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Aceh. Pembangunan jalan ini direncanakan sepanjang lima puluh
dua kilometer menuju Keumala, Kabupaten Pidie.
Seperti mengulang sejarah tahun 1992, proyek ini kembali di hentikan dengan
dalih berada di dalam wilayah yang telah di tetapkan sebagai kawasan konservasi
oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Soedjarwo pada 4 Oktober 1984.
Karier Andi Basrul di dunia konservasi di mulainya sejak tahun 1982, saat
diangkat menjadi pegawai PPAL (sekarang BKSDA). Sebelumnya, ia pernah
merasakan menjadi pengangguran selama empat tahun setelah menamatkan
SLTA-nya, sambil bekerja ia kuliah lagi di Universitas Iskandar Muda dan
menamatkan sarjana sosial politiknya pada tahun 1986.
Tahun 1987 ia ditugaskan ke Kota Lhokseumawe sebagai Kepala Pusat Latihan
Gajah, sebelum akhirnya dipindahkan ke Balai Taman Nasional Gunung Leuser
(BTNGL) tahun 1996. berkat etos kerjanya, tahun 2001 Departemen Kehutanan
menunjuk ia menjadi Kepala BKSDA Provinsi NAD.
Selepas menerima laporan dari tiga stafnya, 19 Januari 2006, ia
melaporkan kasus pembukaan cagar alam jantho kepada Polres Aceh Besar. Tak
lama, empat hari setelahnya ia dipanggil untuk menjadi saksi pada kasus tersebut.
Dihadapan Rahman Takdir, Joko Supriyono, dan Sucipto selaku penyidik Andi
Basrul menjelaskan duduk persoalan kasus pembukaan jalan tersebut.
“Cagar Alam Jantho itu tanggungjawab BKSDA,” tukasnya. Izin dapat diberikan
terbatas pada pemberian izin penelitian, pendidikan dan ilmu pengetahuan saja.
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur tugas
dan tanggungjawab Balai (BKSDA). “Kita sedang menunggu proses persidangan,
berkas perkaranya baru dirampungkan tim penyidik,” katanya.
“Mudah-mudahan jaksa sudah membuat rencana tuntutan, sehingga proses
pengadilan bisa segera di lakukan,” ujar Andi dengan penuh semangat.
Ketika ditanya, bagaimana seandainya tersangka kasus perusakan cagar alam ini
di bebaskan oleh pihak pengadilan.“Yang penting prosedurnya sudah dilalui, saya
menjalankan tugas saya, termasuk pihak pengadilan. Kasus ini harus di awasi
bersama, termasuk LSM yang vokal bersuara di koran,” katanya, tanpa
menjelaskan siapa LSM di maksud
F. Dampak konservasi
Dampak konsevasi yang terlihat saat ini untuk kawasan target adalah
adanya keterlibatan serta kepedulian masyarakat terhadap upaya perlindungan
kawasan. Kebijakan tentang larangan kegiatan penebangan serta perburuan satwa
juga telah berjalan. Untuk memperbaiki kondisi hutan yang telah rusak, kegiatan
penanaman pohon juga dilakukan(Kueh, Lhoknga dan Leupung). Disamping itu,
Penghentian kegiatan usaha galian C di Kr. Geupu juga dilakukan melalui surat
yang dikeluarkan oleh Imeum Mukim Leupung.
BAB V
PENUTUP