Vous êtes sur la page 1sur 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aceh Green
DALAM kurun waktu enam bulan, Pemerintah Aceh sudah melahirkan
dua konsep penyelamatan hutan, Moratorium Logging dan Aceh Green. Uniknya
ke dua konsep tersebut lahir di salah satu kawasan pariwisata terbaik di dunia,
Nusa Dua,
Jika ditanya mengapa dua konsep hutan Aceh lahir di Nusa Dua, Bali?,
kebetulan saja, kawasan ini kerap di dapuk menjadi tuan rumah pertemuan skala
international, bisa jadi iklim dan fasilitas di kawasan ini lebih mendukung
ketimbang wilayah lain. Pastinya, tidak ada latar belakang hubungan historis
maupun aktual antara hutan Aceh dan kawasan Nusa Dua.
Konsep pertama di deklarasikan bersama Gubernur Papua dan Papua Barat pada
26 April 2007 mengenai perubahan iklim, konsep ini merupakan cikal bakal
lahirnya kebijakan moratorium logging yang di deklarasikan pada 6 Juni 2007 di
Aceh.
Konsep kedua lahir bertepatan dengan konferensi dunia tentang perubahan
iklim, yaitu konsep Aceh Green. Konsep ini di deklarasikan bersama dua
Gubernur dari Papua dan Amazon, Brazil pada 12 Desember 2007. Sekarang,
hutan Aceh sudah mendapat stempel dua konsep pengelolaan hutan “Moratorium
Logging dan Aceh Green”. Selamatkah hutan aceh?.
Seperti yang dikatakan Gubernur Irwandi dalam pertemuan dengan Forum
Bersama (Forbes) Anggota DPR/DPD RI asal Aceh pada 7 Maret lalu, bahwa 80
persen hutan Sumatra ada di wilayah Aceh. Moratorium penebangan kayu yang
dicanangkan sejak Juni 2007, telah berhasil mendorong penyelamatan hutan,
meski demikian Irwandi mengakui bahwa aksi-aksi pencurian kayu masih terjadi
di hutan Aceh.
Masih maraknya aksi-aksi pencurian kayu di hutan Aceh tentunya tidak terlepas
dari peranan para cukong yang membiayai aksi ini, dan di sisi lain kondisi
ekonomi masyarakat yang masih miskin membuat kasus illegal logging sulit
untuk diberantas habis dari wilayah hutan Aceh.
Kini, cukong-cukong kayu mulai gerah dan panik. Mereka berteriak, akibat
moratorium, harga kayu melambung, rakyat sulit mendapat kayu untuk
membangun rumah, bahkan untuk peti mati. Cukong kayu sengaja menyebarkan
provokasi seperti itu agar masyarakat menolak kebijakan moratorium logging, hal
ini diungkapkan Irwandi pada rapat kerja dengan Komisi A dan Pimpinan DPRA,
6 Maret lalu di Gedung Serbaguna DPRA.
Padahal, menurut Irwandi, kebijakan moratorium dilakukan untuk menata kembali
fungsi hutan yang seharusnya menjadi faktor keseimbangan alam dan iklim. Tapi
akibat dieksploitasi secara berlebihan oleh pengusaha HPH dan pemilik HGU,
lanjut Irwandi, maka fungsi keseimbangan menjadi lemah hingga menimbulkan
bencana banjir, tanah longsor, gangguan gajah dan satwa liar seperti harimau.
Belum selesai dan lepas dari persoalan illegal logging dan kerusakan hutan.
Pemerintah Aceh telah dihadapkan pada persoalan baru yang harus diselesaikan.
Tingginya angka pengangguran di Aceh.
Ledakan angka pengangguran ini akan menjadi hantu bagi Aceh, pasca
berakhirnya program rehabilitasi dan rekonstruksi, April 2009 mendatang.
Sementara, sekitar satu juta hutan Aceh telah rusak akibat berbagai aktivitas
illegal dan pemilik konsesi di masa lalu. Dua hal ini di jawab Pemerintah Aceh
dengan konsep Aceh Green (Aceh Hijau).
Program Aceh Green, mempunyai karakter tidak jauh berbeda dengan moratorium
logging, bahkan mempunyai hubungan erat dengan salah satu program
moratorium, yaitu re-forestrasi (menanam kembali) hutan Aceh. Perbedaannya
terletak pada pelibatan langsung tenaga kerja yang masih menganggur.
Sedangkan, program reforestrasi moratorium logging melibatkan banyak pihak
dari semua kalangan.
Dalam keterangan persnya di Paviliun Indonesia, Nusa Dua, Bali di arena
konferensi perubahan iklim, Irwandi menjelaskan, sebanyak 50 kepala keluarga
(KK) yang bermukim di dekat hutan akan dihibahkan hak kepemilikan tanah oleh
Pemerintah Aceh.
BAB II
PEMBAHSAN

B. Hutan Tanaman Rakyat


Secara teknis konsep Aceh Green akan di arahkan untuk merehabilitasi
satu juta hektar hutan yang terdegradasi. Lahan tersebut akan dikembangkan
menjadi kawasan hutan tanaman rakyat (HTR), hasil dari kawasan HTR itu akan
di jual untuk memenuhi kebutuhan Hutan Tanaman Industri (HTI).
“Langkah tersebut merupakan bagian dari pemberdayaan hutan melalui konsep
Aceh Green Vision,” ujar Irwandi. Selama ini, orang-orang yang tinggal di
pinggiran hutan, solusi termudah untuk mencari rezeki ialah menebang hutan,
lanjutnya, Karena itu, dengan program HTR, kita harapkan image itu bisa diubah
yaitu menanam kayu akan menghasilkan uang.
Terkait rencana pembangunan Hutan Tanaman Rakyat ini, Pemerintah Aceh
sendiri menurut Irwandi, telah mengkomunikasikannya kepada Menhut, MS
Kaban, saat berkunjung ke Aceh, beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Dirjen Bina Produksi Departemen Kehutanan telah menyiapkan 5,4
juta hektar hutan untuk lahan Hutan Tanaman Rakyat, dan 3,6 juta hektar hutan
untuk Hutan Tanaman Industri.
Program ini meruapakan bagian program nasional Pembangunan Hutan Tanaman
Rakyat dalam rangka revitalisasi di sektor kehutanan, bertujuan untuk
meningkatkan kontribusi kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi, dan
mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan.
Pola pembangunan hutan tanaman baru ini akan menggunakan pola 60 persen
Hutan Tanaman Rakyat dan 40 persen Hutan Tanaman. Sebanyak 360 ribu Kepala
Keluarga (KK) akan dilibatkan dalam program ini, mulai dari tahun 2007 hingga
2010, masing-masing KK akan mendapatkan lahan seluas 15 hektar.
Menurut Dirjen Bina Produksi Kehutanan, target penanaman 5,4 juta hektar untuk
Hutan Tanaman Rakyat tersebut akan direalisasikan sampai akhir tahun 2016,
dengan target anggaran 1,44 Triliun rupiah. Program ini sendiri akan mengacu
pada kebijakan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 tentang Hutan
Tanaman Rakyat.

C. Minimalisasi Dampak
Sementara itu, Sofyan, Koordinator Eksekutif Nasional Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Desk Aceh-Nias, memberikan apresiasi
yang positif terhadap gagasan Gubernur Irwandi Yusuf ini, tetapi menurutnya,
konsep semacam inti plasma ini harus dikritisi dan dimodifikasi oleh pemerintah
daerah.
Menurutnya, konsep inti plasma yang diterapkan di sebagian daerah di Indonesia,
terbukti gagal meningktkan kesejahteraan masyarakat. Malah, aset yang dimiliki
masyarakat tergadai oleh investor. Lahan perkebunan di daerah tersebut,
digunakan pihak swasta.
Dari pengalaman selama ini, umumnya perusahaan yang bergerak di dalam
konsep inti plasma tidak memiliki modal cukup. Justru, perusahaan itu
menggunakan aset yang dimiliki masyarakat, sebagai jaminan memulai kegiatan
perkebunan, katanya. Dia menyebutkan, dampak yang timbul, masyarakat harus
menanggung risiko jika perusahaan tersebut mengalami kerugian.
Cara mencegah terjadinya risiko itu, pemerintah dapat menggunakan perusahaan
daerah untuk mengimplementasikan konsep inti plasma. Kalaupun swasta,
pemerintah dapat membebankan mereka untuk meyetorkan modal ke dalam kas
daerah, sehingga mereka tidak bisa pergi begitu saja jika perusahaannya
mengalami kerugian, kata Sofyan. Dia mengakui, gagasan inti plasma yang
dicanangkan Irwandi telah dimodifikasi, dengan mewajibkan pihak swasta
membiayai perkebunan sebesar 50 persen. Namun, hasil modifikasi itu, masih
memungkinkan terjadi berbagai risiko yang merugikan masyarakat.
Sejumlah kegagalan yang terjadi terhadap sistem inti plasma di berbagai daerah,
bisa dijadikan background membuat strategi baru yang mampu meminimalisir
risiko, lanjutnya.
Konsep hutan tanaman rakyat tidak hanya dimanfaatkan produk kayunya.
Akan tetapi, produk nontimber (bukan kayu) di kawasan hutan, seperti lebah
madu dan berbagai produk lain dihasilkan oleh hutan, bisa juga digunakan.
Pemerintah harus melakukan studi untuk memetakan potensi berbeda di setiap
kawasan hutan tanaman rakyat, kata Sofyan.

Untuk menyukseskan konsep Aceh Green Vision yang menghasilkan


komoditas pertanian, ia menilai Pemerintah Aceh dapat menciptakan langkah-
langkah strategi yang mendukung perogram itu.
Langkah dimaksud dapat dilakukan dengan melibatkan sektor perbankan di
tingkat lokal. Sektor ini harus menerapkan kebijakan yang berpihak kepada
masyarakat banyak, memetakan jaringan pasar, menjaga stabilitas harga produk,
dan menjamin ketersediaan alat-alat produksi.
Sofyan menambahkan, konsep Aceh Green Vision yang dicanangkan pemerintah,
juga harus disosialisasikan dan dipahamai seluruh masyarakat. Tujuannya, agar
publik diberikan ruang, untuk mengutarakan pendapatnya sebelum seluruh
program dilaksanakan. Ini dapat dilakukan dengan cara diskusi melibatkan
seluruh pihak yang terlibat di dalamnya, sehingga konsep ini benar-benar didasari
visi sama, pungkas Sofyan.
Kowisata (ecotourism) merupakan salah satu produk dalam industri
pariwisata di Indonesia. Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata
ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan
dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat.
Risalah ringkas ini bermaksud mencermati potensi pengembangan
ekowisata serta bagaimana partisipasi masyarakat dalam pembangunan
ekowisata menunjang pencapaian matlamat AcehGreen.
Konsep ekowisata pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Pembangunan berkelanjutan merupakan aktivitas pembangunan yang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa merusak atau
menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya (WECD, 1987). Dengan perkataan lain, dapat dipahami
bahwa pembangunan harus mampu menyeimbangkan dua kepentingan
yang berbeda yaitu antara paradigma developmentalis (pembangunan
ekonomi) dan paradigma environmentalis (pelestarian lingkungan)
sebagaimana diamanahkan oleh perwakilan berbagai negara dibelahan
dunia termasuk Indonesia seperti tertuang dalam Bruntland Report, pada
tahun 1987.
Potensi Ekowisata Aceh
Provinsi Aceh memiliki berbagai kawasan pariwisata yang sangat menarik yang
didukung oleh berbagai sumber daya alam seperti keindahan pesona alam,
kehidupan bawah laut dengan terumbu karang, keanekaragaman flora dan fauna
serta satwa langka, dan warisan budaya. Provinsi Aceh memiliki 756 destinasi
pariwisata yang terdiri atas 396 destinasi pariwisata berbasis alam, 255 destinasi
pariwisata berbasis budaya dan 105 destinasi berbasis minat khusus yang tersebar
di seluruh kabupaten/kota (Aceh’s Culture and Tourism Agency, 2008).

Perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, pada
15 Agustus 2005 di Helsinki merupakan titik awal kedamaian di Provinsi Aceh.
Keamanan telah menjadi salah satu faktor yang utama sehingga berpeluang
mendatangkan wisatawan dari berbagai negara. Aceh’s Culture and Tourism
Agency, (2008) melaporkan jumlah wisatawan terus meningkat dari tahun ke
tahun baik wisatawan nusantara maupun wisatawan asing. Pada tahun 2006,
jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Aceh sebanyak 12.596 wisatawan.
Pada tahun 2007, terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisatawan asing
sebanyak 14.602 wisatawan. Sementara itu, jumlah kunjungan wisatawan
nusantara juga mengalami peningkatan. Jumlah kunjungan wisata pada tahun
2007 meningkat sebesar 595.546 wisatawan dibandingkan pada tahun 2006
sebanyak 395.691 wisatawan.

BAB III
EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT MENUJU ACEH GREEN
Pembangunan pariwisata yang lebih mengutamakan aspek ekonomi tanpa
upaya mengindahkan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan
niscaya akan berdampak negatif terhadap masyarakat pada masa yang
akan datang. Oleh karena itu, konsep ekowisata dapat menjadi salah satu
solusi untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan
lingkungan. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian
lingkungan dan budaya asli setempat. Prinsip ekowisata menurut TIES
(2000) yaitu 1). Mengurangi dampak negatif kerusakan atau pencemaran
lingkungan dan budaya lokal; 2). Membangun kesadaran dan penghargaan
atas lingkungan dan budaya di destinasi wisata; 3). Menawarkan
pengalaman positif bagi wisatawan melalui kontak budaya yang lebih
intensif; 4). Memberikan keuntungan finansial bagi keperluan konservasi
melalui kontribusi ekstra wisatawan; 5).Memberikan keuntungan finansial
dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal dengan menciptakan produk
wisata yang mengedepankan nilai-nilai lokal. Terdapat berbagai jenis
destinasi ekowisata yang dapat dikembangkan menjadi produk pariwisata.
Misalnya, untuk kawasan pesisir dan pantai kita memiliki sejumlah
destinasi seperti keindahan alam dan pesona bawah laut yang kaya dengan
terumbu karang seperti di Pulau Weh, Sabang. Keindahan pantai pasir
putih yang terdapat disepanjang pesisir Aceh Besar, Banda Aceh sampai
ke Pantai Barat Selatan serta keindahan panorama wisata bahari Pulau
Simeulu. Sementara itu, di kawasan pergunungan kita memiliki Taman
Nasional Gunung Leuser (TNGL) dengan keanekaragaman sumberdaya
hayati, keindahan taman buru Linge, dan keindahan Danau Laut Tawar
Aceh Tengah serta berbagai keindahan alam yang tersebar di hampir
seluruh kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
Untuk mewujudkan ekowisata, maka partisipasi masyarakat merupakan
persyaratan mutlak keberhasilan program tersebut. Peran serta masyarakat
lokal dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan
pengawasan. Dengan kata lain, konsep pembangunan ekowisata mengacu
kepada konsep perencanaan partisipatif. Posisi masyarakat dalam konsep
pembangunan ekowisata merupakan salah satu subjek penting dari
berbagai pemangku kepentingan lainya dalam industri pariwisata. Kajian
memperlihatkan bahwa dukungan dan partisipasi masyarakat merupakan
variabel terpenting penentu keberhasilan program pariwisata. Contohnya,
sebagaimana dilaporkan oleh Ioannides (1995), pemerintah Cyprus tidak
melibatkan dan tidak mendengar aspirasi masyarakat dalam proses
perencanaan pembangunan kawasan Taman Nasional. Akibatnya, secara
drastis masyarakat menghentikan pembangunan kawasan tersebut.

Pada gilirannya, ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan


peluang pekerjaan bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan,
di mana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis,
fee pemandu; ongkos transportasi; homestay; serta industri rumah tangga
yang menjual kerajinan. Dan yang terpenting adalah kita akan semakin
jarang membaca berita-berita di media massa berkenaan dengan bencana
banjir bandang, tanah longsor, illegal logging maupun rusaknya terumbu
karang serta berbagai aktivitas merosotnya sumberdaya alam dan
lingkungan akibat pesatnya pembangunan dapat diimbangi dengan
pelestarian lingkungan sehingga Aceh Green tidak jalan ditempat
BAB IV
TEKNOLOGI ACEH GREEN

Terminology Aceh Green atau A Green Aceh mulai terdengar populer


akhir-akhir ini. Istilah ini sedang menjadi topik pembicaraan bagi kalangan
tertentu, utamanya dikalangan aktivis lingkungan dan konservasi. Sedangkan bagi
kalangan lain, istilah ini masih belum dipahami. Maka wajar saja, jika ada pro-
kontra yang meresponnya. Bahkan ada pula dengan nada sinis berujar, “jargon apa
lagi ini”. Hemat saya, jika wacana ini benar-benar berfaedah bagi rakyat Aceh,
maka upaya sosialisasi harus segera dilakukan.

Beberapa hari lalu, di Kantin Yahnu, beberapa dosen muda Unsyiah


menyoal ketepatan penggunaan istilah tersebut. Mereka yang baru pulang studi
dari luar negeri mengemukakan istilah “a Green Aceh” adalah istilah yang benar.
Sementara rekan yang lainnya mengungkapkan terminology “Aceh Green” lebih
tepat. Penggunaan kedua istilah tersebut tentusaja didukung argumentasinya
masing-masing. “A Green Aceh” dapat diterjemahkan dengan menuju Aceh
Hijau, sedangkan “Aceh Green” dapat dipadankan sebagai “Hijaukan Aceh !”,
lebih seru, gitu lhoo !! Saya sendiri, lebih terkesan dengan istilah Aceh Green.
Disamping karena istilah ini lebih mengindonesia dengan hukum DM-nya
(diterangkan – menerangkan), juga lebih terkesan obsesif dan intruktif. Selain
itupun, istilah ini lebih mudah diingat dan lebih familiar, sehingga akan lebih
mudah populer, juga lebih seru. Secara substansial, wacana atau konsep Aceh
Green bukan hanya persoalan semantic belaka. Tetapi lebih dari itu, ia
menyangkut pula aspek axiology, epistemology, dan ontology-nya. Sehingga apa,
bagaimana, dan untuk apa Aceh Green harus dapat dijabarkan, baik secara
akademik maupun dalam tataran empiriknya oleh berbagai pihak. Dengan kata
lain, tidak cukup wacana ini hanya ada dalam pikiran Irwandi dan orang-orang
terdekatnya saja. Apalagi, konon untuk mendukung konsep ini Gubernur telah
pula membentuk Tim Asistensi Aceh Green.

Terusterang saja, saya sendiri belum mengetahui apa, bagaimana dan untuk apa
Aceh Green itu. Jadi maaf saja, saya belum bisa menjelaskan secara akademik
pada kolega dan mahasiswa tentang kehebatan konsep Aceh Green jika
dibandingkan dengan konsep Ecodevelopment-nya Emil Salim atau Sustainable
development-nya Sarwono Kusumaatmadja. Saat ini, Bapak Irwandi dan Tim
Asistensi Aceh Green-lah yang mengetahui percis, sehingga merekalah yang
mula-mula harus menjelaskan konsep tersebut kepada perwakilan komponen
strategis masyarakat. Hal ini menurut saya penting dilakukan agar tidak sekedar
menjadi jargon, alias retorika belaka. Setelah ada penjelasan konsepsional dari
gubernur dan tim tersebut, baru pihak lain mensosialisasikannya kepada seluruh
rakyat Aceh.
Dari perspektif juridis, ada beberapa pertanyaan yang layak diajukan
secara beruntun, yaitu: apakah Aceh Green tersebut merupakan kebijakan public
atau bukan? Apakah kebijakan tersebut merupakan kebijakan pemerintah atau
kebijakan pemerintahan? Apakah kebijakan ini partisipatif atau instruktif yang
topdown? Apakah telah ada payung hukum terhadap kebijakan ini? Payung
hukum apakah yang paling tepat untuk mengatur Aceh Green ini? Apakah
pengaturan Aceh Green telah mempertimbangkan sinkronisasi dan harmonisasi
hukum?

Untuk semua pertanyaan yang saya ajukan di atas, tentulah bapak Gubernur
bersama para anggota Tim Aceh Green dapat menjawabnya secara tepat dan
lugas. Hemat saya, jawaban dari persoalan-persoalan hukum di atas menjadi
penting bagi semua pihak. Bagi birokrasi pemerintahan, misalnya, jawaban di atas
akan menjadi acuan bagi mereka dalam merumuskan kebijakan turunan yang
akan diimplementasikan secara sektoral. Begitu pula bagi kalangan lembaga
swadaya masyarakat (LSM) jawaban tersebut pun berguna untuk mereka dalam
merancang dan merumuskan program kerjanya ditahun mendatang. Sementara itu,
bagi kalangan akademisi dan legislasi (DPRA), jawaban tersebut bermanfaat
dalam rangka memformulasikan what should be the law, yang mungkin saja dapat
“membungkus” wacana ini menjadi ketentuan hukum yang mengikat siapapun di
nanggroe indatu ini. Mengacu pada UUPA yang telah memberikan otonomi
seluas-luasnya kepada provinsi ini, maka Qanun Aceh merupakan payung hukum
kebijakan public yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan
masyarakat Aceh. Sehingga, menurut saya, wacana Aceh Green tidak cukup jika
hanya berupa konsep pidato saja, atau bahkan hanya berupa Instruksi atau
Peraturan Gubernur -- yang seringkali terkesan topdown dengan paradigma “law
as a tool of social engineering” . Tetapi, konsep Aceh Green ini, jika memang
benar-benar bermanfaat bagi rakyat, maka ia harus mendapat pengaturannya di
dalam atau dengan Qanun Aceh sebagai payung hukumnya.

Persoalan berikutnya, jika konsep Aceh Green disepakati pengaturannya di


dalam atau dengan Qanun Aceh, yang notabene dibuat oleh Pemerintah Provinsi
dan DPRA – sebagai perwakilan dari rakyat Aceh. Maka pertanyaannya adalah, di
dalam qanun apakah konsep ini di-insert? Ataukah konsep ini akan dijabarkan
dengan Qanun Aceh yang tersendiri? Kalau saya boleh usul, sebaiknya konsep
Aceh Green tidak diatur dengan qanun tersendiri, tetapi diterakan di dalam
berbagai qanun yang mengatur mengenai Lingkungan Hidup dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam.

Memasuki cagar alam jantho, sebuah papan nama bercat dasar hijau
bertuliskan “Cagar Alam Pinus Jantho 16.600 ha”. Di bawahnya tumbuh alang-
alang setinggi lutut. Tak jauh dari papan nama tersebut, puluhan pohon pinus
berdiri tegak menghitam habis terbakar.
Hampir delapan kilometer memasuki kawasan cagar alam, jalan tanah merah
mulai tertutup alang-alang, jalan mulai mendaki. Selang dua puluh meter di
depan, hawa panas di sertai suara gemeretak alang-alang terbakar memanjang di
kanan jalan.
Sejak proyek jalan Jantho menuju Keumala tahun 1991 menembus kawasan ini,
hampir setiap musim kemarau ratusan pohon pinus di lalap api, penyebabnya
tidak jelas. Proyek jalan ini akhirnya di hentikan tahun 1992 oleh Departemen
Kehutanan, karena melanggar undang-undang. Tapi, delapan kilometer jalan tanah
sudah menembus jantung kawasan, sejak itu kawasan ini tidak perawan lagi.
Pembalak liar dan perburuhan satwa semakin marak dengan terbukanya kawasan
ini.
Jalan tanah sepanjang delapan kilometer ber-ujung di Sungai Krueng Aceh bagian
selatan kawasan ini, merupakan jalan yang baru di bangun Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Aceh. Pembangunan jalan ini direncanakan sepanjang lima puluh
dua kilometer menuju Keumala, Kabupaten Pidie.
Seperti mengulang sejarah tahun 1992, proyek ini kembali di hentikan dengan
dalih berada di dalam wilayah yang telah di tetapkan sebagai kawasan konservasi
oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Soedjarwo pada 4 Oktober 1984.

Terkait proyek pembukaan jalan dari Jantho menuju Keumala, posisi


proyeknya membelah kawasan Cagar Alam Hutan Pinus Jantho. Kawasan Hutan
Pinus Jantho, termasuk kedalam kawasan berstatus lindung. Di tetapkan oleh
Menteri Kehutanan, melalui surat keputusan tahun 1984. Luasnya 16.600 hektar,
terletak di Kabupaten Aceh Besar. Lahirnya undang-undang No. 5 tahun 1990
tentang konservasi sumber daya alam, dan undang-undang No. 41 tahun 1999
tentang kehutanan, kian mengukuhkan status cagar alam sebagai kawasan lindung.
Hak pinjam pakai kawasan cagar alam hanya di keluarkan Menteri Kehutanan.
“Saat melakukan survey, saya tidak melihat pamplet atau papan penerangan yang
bertuliskan lokasi tersebut adalah Kawasan Cagar Alam Hutan Pinus Jantho,” kata
Makmur.
Makmur resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Aceh Besar dalam
kasus tindak pidana kehutanan, dengan tuduhan membangun jalan di Kawasan
Cagar Alam Hutan Pinus Jantho, di wilayah Kabupaten Aceh Besar.
Kejadiannya persis dua tahun lalu, di awal Januari 2006 PT Alhas Jaya Group
tempat Makmur bekerja dinyatakan sebagai pemenang tender pekerjaan jalan dan
jembatan jantho keumala dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias. Ia
menerima kuasa Direktur PT Alhas Jaya Group dari Sopyan Hasan sejak 1
Desember 2005.
Berbekal kontrak kerja, ia memulau proyek jalan tersebut dengan menerobos
hutan pinus menggunakan buldozer, exavacator, dan dump truk. Ia mulai
mengeruk, memindahkan, mengikis, dan menimbun sesuai dengan spek yang ada
dalam kontrak.

Sebelum melakukan pengerjaan jalan ini, ia sempat melakukan survey


ditemani Ilyas mantan Kepala Desa Data Cut. Selain tidak adanya papan
penerangan, ia juga tidak mengetahui bahwa jalan tersebut dilarang dibangun
karena berada di dalam kawasan cagar alam. Makmur hanya tahu bahwa
pembangunan jalan tersebut pernah dihentikan tahun 1991, karena tidak ada izin
dari Menteri Kehutanan. Jalan yang sudah dikerjakan sepanjang sepuluh kilometer
dan lebar empat meter. “Pedoman saya kontrak kerja dan surat perintah mulai
kerja, walaupun jalan masuk kawasan yang di lindungi proyek tetap diteruskan,”
katanya. Makmur tidak sendirian menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. Pada
hari yang berbeda, 22 Juni 2007, empat orang tim penyidik terdiri dari Agus
Prasetyo, Rusli Johan, Abdullah, dan Abu Bakar juga memanggil Kepala Satuan
Kerja Sementara BRR Jalan Nasional NAD yang bertugas sejak September 2005
sampai Desember 2006, namanya Fajri.

Penyidik memberikan 15 buah pertanyaan kepada Fajri. Pemeriksaan


dimulai pukul sebelas siang. Ini kali kedua Fajri diperiksa tanpa di dampingi
pengacara, menurutnya pengacara lebih diperlukan saat di pengadilan nanti.
Pemeriksaan pertama di jalaninya pada 6 Juni 2007.
Sama halnya dengan Makmur, menurut pengakuan Fajri, sebelum proyek tersebut
di tandatangani kontraknya, ia tidak tahu bahwa proyek tersebut akan melewati
Cagar Alam Hutan Pinus Jantho.
Tetapi, ia pernah mendapat informasi dari Saudara Khalidin, yang bertugas
sebagai Satker Sementara Pembinaan Perencanaan Jalan Nasional NAD, bahwa
jalan yang di kerjakan tersebut sudah ada badan jalan dan trase sesuai sesuai
dengan SK Menteri PU tanggal 11 Oktober 2004.
Fajri lulusan Sarjana Tehnik, bekerja sebagai PNS pada Dinas Kimpraswil
Provinsi NAD, posisi ini pulalah yang mendorongnya masuk ke dalam BRR.
Sedikit banyak ia paham dengan hukum dan aturan. Menurutnya, jika suatu
proyek jalan akan melewati suatu kawasan cagar alam maka proyek tersebut harus
di hentikan sebelum mendapat izin dari Menteri Kehutanan.
Fajri menyangkal ketika dituduh sebagai orang yang bertanggungjawab dalam
menetapkan proyek jalan tersebut. Menurutnya, proyek jalan tersebut di tetapkan
oleh Saudara Khalidin selaku Kasatker Pembinaan Perencanaan, dan Saudara
Bastian Sihombing selaku Direktur jalan dan jembatan BRR.
“Sebelum ditandatangani kontraknya, lokasi proyek tersebut tidak pernah
dilakukan survey,” tutur Fajri, kami hanya melihat peta ruas jalan yang di
kerjakan saja, lanjutnya. “Seharusnya jalan tersebut sebelum di kerjakan wajib di
survey, dan itu tugas Saudara Khalidin,” tudingnya.
Saya menelpon Fajri, membuat janji wawancara. “Saya bukan orang yang tepat
Pak,” jawabnya. Menurutnya kasus itu sudah terjadi, lagi pula Pak Gubernur
sudah tahu kasus ini, jadi untuk apalagi wawancara. “Kerja saya mengacu pada
blue print rencana induk, kalau mau di salahkan, ya … salahkan blue print,”
sambungnya dengan suara datar.
“Kalau mau wawancara silahkan dengan orang berkompetent,” elaknya lagi. Fajri
menyebut nama Bastian Sihombing, salah satu direktur di BRR. “Saya ini hanya
pejabat teknis, tidak enak nantinya kalau di tekan terus” katanya kepada saya,
tanpa menjelaskan siapa yang menekan dirinya. Dia lantas menutup pembicaraan
telepon kami.
Pada pemeriksaan 27 Februari 2007, Khalidin mengakui bahwa sebelum
proyek jalan dikerjakan tidak pernah dilakukan survey lapangan. Saat ditanya
penyidik siapa yang bertanggungjawab terhadap proyek tersebut, ia menyebutkan
empat nama. “Seharusnya yang bertanggungjawab terhadap pembukaan kawasan
cagar alam itu adalah keseluruhan unsur yang terlibat penyusunan program,”
ucapnya, yaitu Ir. Bastian Sihombing dari BRR, Ir. Khalidin, Ir. Fajri, Ir. Ridwan
Husen dari Praswil, lanjutnya.
Status Khalidin berbeda dengan Makmur dan Fajri, saat diperiksa ia hanya
dijadikan saksi. Jika mengacu pada UU No. 41 tahun 1999 dan UU No. 5 tahun
1990 dalam kasus tindak pidana kehutanan yang dijadikan tersangka adalah orang
yang melakukan langsung atau tertangkap tangan dalam perusakan kawasan
konservasi. Dengan argumentasi inilah Khalidin tidak ditetapkan sebagai
tersangka.

Khalidin diperiksa sesuai jabatannya pada saat proyek jalan tersebut


dikerjakan sebagai Kasatker Pembinaan Perencanaa Jalan Nasional BRR,
tugasnya menyiapkan document perencanaan teknik dan pengawasan teknik jalan,
termasuk didalamnya menyiapkan gambar konstruksi jalan, spesifikasi tanah
jalan, dan syarat-syarat umum kontrak.
“Biasanya ada dua cara yang dilakukan dalam membuat gambar konstruksi jalan
dan jembatan, yaitu dengan mengukur jalan yang akan dibuat gambar tersebut
langsung di lapangan atau menggunakan standart lebar jalan,” jelas Khalidin. Ia
juga mengakui bahwa dalam pembangunan proyek jalan jantho menuju keumala
tidak dilakukan survey langsung di lapangan.
Khalidin memberikan kesaksian cukup berani di hadapan penyidik, menurutnya
yang wajib melakukan survey proyek jalan tersebut adalah dirinya selaku Satker
Pembinaan Sementara Perencanaan Jalan Nasional NAD saat itu, tetapi ia punya
alasan mengapa survey tidak dilakukan. “BRR kan baru terbentuk, semua fasilitas
untuk melakukan survey tersebut tidak ada,” kilahnya.
Sekarang, Khalidin harus bersaksi atas proses hukum yang dijalani Makmur dan
Fajri karena telah melanggar Undang-Undang Kehutanan dan Konservasi Sumber
Daya Alam. Mereka diancam hukuman 10 tahun kurungan, dan denda Rp. 5
milyar.
Sembilan kilometer dari Kota Jantho, melewati jalan tanah berlubang.
Endang Edi Saputra kini telah berada di pintu gerbang masuk Cagar Alam Hutan
Pinus Jantho. Matanya tertuju pada papan nama di bagian atas pintu gerbang
tersebut, “Kawasan Cagar Alam Hutan Pinus Jantho,” ejanya.
Seperti biasa, Endang bertugas mengawasi dan mengatur para pekerja yang
sedang meratakan jalan agar sesuai dengan kontrak. Alat yang digunakan mulai
dari exavacator, buldozer, dan truk colt diesel. Endang memulai pekerjaannya
sebagai pengawas sejak Desember 2005, ia mendapat bayaran satu juta lima ratus
ribu perbulan. Bersama Edi Nur dan Alfian, mereka di tugaskan PT Alhas Jaya
Group untuk mengawasi proyek tersebut.

Tetapi, sejak Januari 2006, pekerjaan mereka telah dihentikan Balai


Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi NAD, padahal mereka telah
berhasil membuka kawasan hutan pinus tersebut sejauh delapan kilometer.
Kini, Endang, Edi Nur, dan Alfian juga harus menghadap Polres Aceh Besar
untuk didengarkan kesaksiannya menyangkut pembukaan jalan tersebut. Endang
Edi Saputra menegaskan dalam kesaksiannya bahwa, di atas pintu masuk gerbang
menuju kawasan tertulis pamplet yang menerangkan nama kawasan. Kesaksian
Endang justru berbanding terbalik dengan apa yang dilihat Makmur.

Karier Andi Basrul di dunia konservasi di mulainya sejak tahun 1982, saat
diangkat menjadi pegawai PPAL (sekarang BKSDA). Sebelumnya, ia pernah
merasakan menjadi pengangguran selama empat tahun setelah menamatkan
SLTA-nya, sambil bekerja ia kuliah lagi di Universitas Iskandar Muda dan
menamatkan sarjana sosial politiknya pada tahun 1986.
Tahun 1987 ia ditugaskan ke Kota Lhokseumawe sebagai Kepala Pusat Latihan
Gajah, sebelum akhirnya dipindahkan ke Balai Taman Nasional Gunung Leuser
(BTNGL) tahun 1996. berkat etos kerjanya, tahun 2001 Departemen Kehutanan
menunjuk ia menjadi Kepala BKSDA Provinsi NAD.
Selepas menerima laporan dari tiga stafnya, 19 Januari 2006, ia
melaporkan kasus pembukaan cagar alam jantho kepada Polres Aceh Besar. Tak
lama, empat hari setelahnya ia dipanggil untuk menjadi saksi pada kasus tersebut.
Dihadapan Rahman Takdir, Joko Supriyono, dan Sucipto selaku penyidik Andi
Basrul menjelaskan duduk persoalan kasus pembukaan jalan tersebut.
“Cagar Alam Jantho itu tanggungjawab BKSDA,” tukasnya. Izin dapat diberikan
terbatas pada pemberian izin penelitian, pendidikan dan ilmu pengetahuan saja.
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur tugas
dan tanggungjawab Balai (BKSDA). “Kita sedang menunggu proses persidangan,
berkas perkaranya baru dirampungkan tim penyidik,” katanya.
“Mudah-mudahan jaksa sudah membuat rencana tuntutan, sehingga proses
pengadilan bisa segera di lakukan,” ujar Andi dengan penuh semangat.
Ketika ditanya, bagaimana seandainya tersangka kasus perusakan cagar alam ini
di bebaskan oleh pihak pengadilan.“Yang penting prosedurnya sudah dilalui, saya
menjalankan tugas saya, termasuk pihak pengadilan. Kasus ini harus di awasi
bersama, termasuk LSM yang vokal bersuara di koran,” katanya, tanpa
menjelaskan siapa LSM di maksud

A. Beberapa kegiatan tambahan yang dilaksanakan adalah


Mendukung komunitas Al-Hayah desa Nusa, Kemukiman Kueh dalam
pelaksanaan kegiatan pendidikan konservasi. Kegiatan pendidikan konservasi
yang diinisiasi oleh generasi muda yang bergabung dalam komunitas Al-Hayah
gampong Nusa dan merupakan perwujudan dari rasa kepedulian dan bukti nyata
peningkatan peran aktif masyarakat sasaran secara langsung (khususnya kader
pemuda) dalam rangka menjaga dan memperbaiki kondisi lingkungannya. Adapun
aktifitas yang dilaksanakan selama 2 hari (17 s/d 18 Januari 2009) meliputi
kegiatan penanaman 300 batang (mahoni, trembesi, ketapang dan cemara laut)
disepanjang sungai, lintas alam dan pengamatan burung. Dimana keseluruhan
pesertanya adalah anak-naka yang berasal dari gampong Nusa. Ini adalah langkah
nyata yang telah dilakukan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan
pemahaman dan pengetahuan anak usia dini akan arti penting menjaga kelestarian
alam sekitar. Selain PeNA, kegiatan ini juga mendapat dukungan dari ESP
USAID, PLAN Internasional serta komunitas Cicem Nanggroe Banda Aceh.

B. Pendidikan Konservasi bagi pelajar. Berupa pembekalan dan diskusi materi


pelestarian lingkungan dan field trip ke kebun pertanian organik yang diikuti
oleh 63 orang yang terdiri dari 47 laki-laki dan 16 perempuan yang berasal
dari siswa SMU dan MAN serta pasantren se Banda Aceh dan Aceh Besar.
Materi ruang disampaikan oleh Dedi Ikhwani S.P (LINKA Aceh), Zakiah
S.Hut, MP (PeNA) dan Nurhayati (AL-HAYAH). Kunjungan lapangan
dilakukan ke lokasi kebun pertanian organik milik PAL Caniva - FP Unsyiah.
Beberapa santri bahkan mengungkapkan keinginannya untuk memperoleh
bantuan teknis untuk mengembangkan pertanian organik di dayah/pesantren
mereka.
C. Semiloka Lingkungan. Peserta yang mengikuti semiloka ini berjumlah 140
orang yang berasal dari paguyuban pemuda, Mapala, LSM lokal yang
bergerak dibidang Lingkungan hidup dan BEM Universitas/Fakultas. Kegiatan
semiloka ini dihasilkan 7 point penting yang menjadi Maklumat Hijau Aceh
versi generasi muda. Adapun materi yang disampaikan dalam seminar adalah:
i.Konsep dan rencana aksi program Aceh Green yang disampaikan oleh
bapak Hairul Anwar yang merupakan perwakilan dari tim Aceh Green.
ii.Kondisi dan pengendalian lingkungan hidup di Aceh yang disampaikan
oleh Bapak Ir. Husaini Syamauun M.M (Ka. Bapedal Aceh)
iii.Permasalahan dan kebijakan pengelolaan hutan Aceh oleh Bapak
Saminuddin B Tou (Dinas Kehutanan Aceh)

D. Panggung seni lingkungan dan posko donasi pohon.


Panggung seni lingkungan dipusatkan di Taman sari. Pementasan tarian
tradisional yang dibawakan oleh UKM Putroe Phang Unsyiah dan pembacaan
puisi oleh Jamal Syarif (pekerja seni Aceh) menjadi acara pembuka dalam
kegiatan ini. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan pagelaran musik dan
mimbar bebas. Sementara panggung seni lingkungan di gelar, posko pendonasian
bibit pohon juga berhasil menyalurkan 560 batang tanaman kepada masyarakat
kota Banda Aceh. Dalam kegiatan ini juga dibentangkan maklumat hijau Aceh
dan spanduk penggalangan dukungan tanda tangan untuk mendesak perbaikan
kualitas lingkungan hidup di Aceh.
E. Perubahan Kegiatan dan target
Hutan ulayat yang telah dipetakan pada saat pelaksanaan pride campaign
tahap I adalah seluas 3000 Ha dan jika dilihat dari letaknya, wilayah yang
dipetakan hanya mewakili 2 (dua) gampong yaitu Lamseunia dan Meunasah
Mesjid. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul permintaan serta kebutuhan
untuk melakukan perencanaan dan pemetaan ulang wilayah hutan ulayat secara
menyeluruh (seluruh kawasan hutan yang terdapat di mukim Leupung).
Atas inisiasi dan kerjasama FFI Aceh Program, Institute Green Aceh, JKMA
Pidie, PeNA, YSNI Lamno serta Kelompok Kerja Penguatan Mukim Aceh, pada
tanggal 18 s/d 23 Nov 2009 yang lalu juga telah diselenggarakan pelatihan
fasilitator (ToT) perencanaan mukim, dimana pesertanya berasal dari wilayah
kerja masing-masing lembaga. Kedepan diharapkan, para peserta pelatihan dapat
membantu serta memperlancar proses pelaksanaan perencanaan dan pemetaan,
khususnya terhadap rencana PeNA untuk melakukan perencanaan dan pemetaan
ulang calon hutan ulayat di mukim leupung. Lanjutan dari pelatihan tersebut,
pada tanggal 12 s/d 14 Desember 2009 yang lalu, PeNA dengan dukungan FFI
Aceh Program dan yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) Banda Aceh juga
telah melaksanakan pelatihan fasilitator lokal Perencanaan mukim di Aula Serba
Guna Gampong Pulot, Kemukiman Leupung, Aceh Besar.

F. Dampak konservasi
Dampak konsevasi yang terlihat saat ini untuk kawasan target adalah
adanya keterlibatan serta kepedulian masyarakat terhadap upaya perlindungan
kawasan. Kebijakan tentang larangan kegiatan penebangan serta perburuan satwa
juga telah berjalan. Untuk memperbaiki kondisi hutan yang telah rusak, kegiatan
penanaman pohon juga dilakukan(Kueh, Lhoknga dan Leupung). Disamping itu,
Penghentian kegiatan usaha galian C di Kr. Geupu juga dilakukan melalui surat
yang dikeluarkan oleh Imeum Mukim Leupung.
BAB V
PENUTUP

Vous aimerez peut-être aussi