Vous êtes sur la page 1sur 4

Rumah Sakit (RS) Khusus Rehabilitasi Medik atau

Olahraga yang terletak di Cibubur Jakarta Timur


Rumah Sakit (RS) Khusus Rehabilitasi Medik atau Olahraga yang terletak di
Cibubur Jakarta Timur semakin siap untuk melayani atlet yang cedera atau yang
bermasalah dengan kondisi fisik mereka. Itu setelah Menpora, Roy Suryo
melantik Direktur Utama RS Khusus Olahraga, Basuki Supartono, Selasa
(11/2/2014).
RS khusus olahraga ini sudah diresmikan sejak 6 bulan lalu. Setelah
mendapatkan izin, RS berlantai empat ini langsung beroperasi. Menurut Basuki,
sejauh ini atlet yang paling banyak datang ke RS Rehabilitasi Medik untuk
merehabilitasi cedera lutut dan juga punggung.
"Banyak atlet yang belum ditangani secara benar. Misalnya lebih mempercayai
tukung urut ketimbang medis. Maka itu dibangun RS khusus untuk olahraga
disini," katanya kepada wartawan.
RS khusus rehabilitasi medik ini sejauh ini masih diperkuat lima orang tenaga
ahli dan staf kurang lebih 50 orang. Beragam fasilitas mulai gimnasium, ruang
pengukuran dan fasilitas canggih lainnya tersedia di sini.
"Jika kita kekurangan tenaga, maka kita akan kerjasama dengan rumah sakit
pembina. Kami masih dalam tahap berkembang pelan-pelan dalam setahun
ini.Sedangkan untuk tarif sendiri masih menunggu dasar hukumnya. Tapi, kami
tetap melayani karena alasan kemanusiaan. Saat ini belum dipungut biaya,"
katanya.
RS khusus ini, dikatakannya, juga akan melayani pasien umum. Basuki
beralasan, jika fokus hanya melayani atlet atau olahragawan, dikhawatirkan
kemampuan medis di RS ini stagnan dan tidak berkembang.
"Rumah sakit ini antara melayani orang sehat dan juga orang sakit. Jadi
peralatannya juga fifty-fifty antara untuk yang sehat dan sakit," tandasnya.
Sementara itu, Roy Suryo menegaskan dipilihnya Basuki dengan beberapa
pertimbangan. "Salah satunya karena dia ahli ortopedi dan juga terapi. Ini rumah
sakit khusus untuk rehabilitasi atlet yang cedera. Ini bakal menjadi tren di
Indonesia. Ini bukan sesuatu yang mudah. Selain itu, karena ini diusung oleh
Kemenpora, maka RS ini juga untuk pemuda. Utamanya yang terlilit masalah
narkoba," ujarnya. (Def)
Minimnya pengetahuan para atlet dan pembinanya dalam penanganan cedera
membuat sebagian besar atlet di Indonesia memilih pengobatan alternatif
ketimbang medis. Mahalnya biaya, menjadi salah satu faktor utama hal tersebut
terjadi.
Pernyataan ini disampaikan Dirut Rumah Sakit Olahraga Nasional (RSON), Basuki
Supartono usai memberikan pengarahan pelatihan c edera pada ratusan pelatih
taekwondo se-Indonesia di RSON, Cibubur Depok, Rabu 3 Desember 2014.
"Karena itulah, Kemenpora berinisiatif membangun RSON ini. Ini sudah cukup
lama. Tujuan berdirinya rumah sakit ini ialah untuk mengobati penyakit para

atlet, termasuk menangani operasi," kata Basuki Supartono.


"Semua gratis dan ditangani oleh ahlinya. Kita sadar, kesehatan untuk mereka
para atlit belum maksimal. Banyak atlet yang memilih pengobatan alternatif
ketimbang medis. Selain minimnya pengetahuan ini juga disebabkan biaya yang
mahal," lanjutnya.
Dalam kesempatan ini pula, Basuki memberikan diklat ke pelatih taekwondo.
Diklat yang diikuti 100 pelatih dari 34 provinsi ini difokuskan pada penanganan
cedera saat latihan.
"Berdasarkan riset yang saya lakukan sepanjang tahun 2010, ditemukan, 67
persen cedera atlet terjadi saat latihan. Ironisnya, banyak atlet dan pelatih yang
belum tahu cara menanganinya."
"Juga belum tersedia biaya dan sarana pelayanan kesehatan untuk mengobati
para atlet itu. Karena itulah RSON memberikan pelatihan. Dan ke depan, para
atlet yang cedera, bisa dirujuk ke sini," jelasnya.
Namun apa yang dilakukannya bukan tanpa kendala. Basuki mengaku pihaknya
masih sangat membutuhkan tenaga sekarelawan khususnya bagian dokter
umum. Kondisi ini semakin menyulitkannya lantaran APBN yang dialokasikan ke
RSON dinilai masih sangat kurang.
Ia pun berharap, kedepannya pemerintah akan lebih memperhatikan hal
tersebut.
"Kita menganggap kesehatan untuk mereka kurang maksinmal. Tahun 2014 kita
akan seleksi CPNS untuk menambah dokter ahli dan dokter umum, psikologi.
APBN yang dialokasikan ada, namun masih sangat kurang."
Persiapan para atlet untuk mengikuti sebuah turnamen, bukan hanya dilihat dari
bagaimana latihan dan mental masing-masing atlet. Ada faktor lainnya yang
turut mempengaruhi kesiapan para atlet, salah satunya adalah penanganan atlet
saat cedera.
Dalam hal ini, Rumah Sakit Olahraga Nasional (RSON) menyatakan kesiapannya
untuk mendukung persiapan para atlet nasional untuk mengikuti SEA Games
2015 mendatang yang dilaksanakan di Singapura.
Kesiapan tersebut dinyatakan oleh Direktur RSON Cibubur, Basuki Supartono.
Menurutnya penanganan atlet yang cedera tak dapat dilakukan sembarangan,
karena dapat berakibat fatal untuk atlet yang bersangkutan.
"Kesalahan penanganan cedera pada atlet bisa berakibat fatal dan bisa
menghancurkan karier atlet. Kita siap untuk berkontribusi dalam menangani
cedera yang terjadi pada atlet pelantas SEA Games 2015 Singapura," ucap
Basuki seperti diberitakan oleh Antara, Rabu (19/11/2014).
"Rumah Sakit Olahraga Nasional ini sudah menyediakan banyak fasilitas khusus
untuk atlet, dilengkapi peralatan untuk menunjang kebutuhan para atlet, mulai
analisis postur tubuh, ruang pemeriksaan kapasitas oksigen dalam paru-paru,
ruang operasi ortopedi, hingga ruang rehabilitasi medik. Nantinya saya berharap
agar atlet yang cedera tidak lagi dirawat di RSCM-Rumah Sakit Cimande
Medical," harap dokter ahli bedah tulang itu.
Lebih lanjut, Basuki menegaskan pentingnya pemeriksaan ke rumah sakit atau
dokter ahli saat atlet cedera. Karena hingga saat ini para atlet yang cedera,
cenderung menjalani terapi pengobatan tradisional.

"Sebanyak 69 persen atlet yang cedera memilih terapi pengobatan tradisional


dan belum ada kesadaran untuk memeriksa cedera ke rumah sakit atau dokter
ahli. Misi RSON adalah memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada
atlet, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan pelayanan kesehatan atlet maupun masyarakat umum,"
pungkasnya.
Gedung RSON dibangun dengan biaya sekitar Rp 200 miliar dan berada tak jauh
dari pintu keluar tol Cibubur tersebut, memiliki empat lantai dengan total luas
bangunan 11.000 meter persegi.
Risiko cedera pada atlet cukup tinggi baik itu cedera ringan ataupun cedera yang
cukup serius. Selama ini setiap atlet yang cedera menjalani operasi di luar negeri
dan dilanjutkan dengan terapi yang konvensional.
Jika menggunakan cara yang konvensional ada kemungkinan atlet tersebut
belum 100% sembuh dan bisa menyebabkan cedera yang lebih serius lagi.
Dengan menggunakan DBC (Documentation Based Care) cedera pada atlet bisa
diatasi.
DBC adalah suatu konsep rehabilitasi aktif (otot pasien dituntun bergerak secara
aktif) yang komprehensif dengan pendekatan cognitive behaviour menggunakan
alat yang dirancang berdasarkan penelitian dan telah digunakan di klinik dan
rumah sakit diberbagai negara.
Konsep rehabilitasi ini juga memperbaiki keleluasaan gerak sendi, koordinasi
kelompok otot, pengendalian keseimbangan, mobilitas dan daya tahan otot,
yang nantinya mengurangi rasa sakit dan memperbaiki fungsi serta stabilitas
sendi. Pada terapi ini menggunakan lock system, sehingga hanya bagian-bagian
yang bermasalah saja yang diterapi dan bisa mengurangi cedera minor akibat
terapi.
"Tahapan dalam DBC adalah pasien harus menjalani pre-assesment (pengisian
kuesioner, pemeriksaan klinis, tes mobilitas dan EMG), setelah itu ditentukan
terapi apa yang cocok dan berapa kali treatment yang dibutuhkan, dan diakhir
terapi dilakukan post-assesment untuk melihat hasil dari terapi," ujar dr. Haidir
Sulaeman, SpRM, Spesialis Rehabilitasi Medis Siloam Hospital Kebun Jeruk, pada
acara Grand Opening DBC Center Siloam Hospital Kebun Jeruk, 23 Juli 2009.
Sementara dr. Ari Sutopo, SpKO, director of Sport Science, Program Atlet Andalan
Kemenegpora mengatakan hampir 75% atlet Indonesia mengalami cedera lutut
dan engkel. Cedera yang dialami atlet Indonesia adalah terapinya yang
konvensional, sehingga cedera belum sembuh 100% sudah dipaksa latihan
kembali, akibatnya menimbulkan cedera yang lebih parah.
Menurut dr. Haidir Sulaeman, SpRM, DBC hanya bisa menangani fase kronis saja,
pada pasien yang masih kesakitan harus dikurangi dulu rasa sakitnya dan
mempertahankan fase tidak sakitnya itu. Terapi ini bisa dilakukan oleh semua
umur karena terdapat lock system dan bebannya bisa diatur asalkan tidak ada
kontraindikasi pada pasien.
"Terapi ini juga bisa untuk pengobatan skoliosis dengan membantu penguatan
dan koordinasi agar tulang kanan dan kiri seimbang, namun tulang tidak dapat
diluruskan dengan DBC," ujar dr. Haidir Sulaeman.

Menurut Peter Halen, Director Regional Executive for DBC, 80-85% fisioterapi
dengan DBC ini berhasil, karena cara kerja yang digunakan pada DBC sangat
aman dan bagus. Pasien mendapatkan perbaikan fungsi yang bermakna, dapat
beraktifitas kembali, dan meningkatkan kualitas hidup.
"Pada atlet dibutuhkan recovery yang cepat dan baik, jika cedera pada atlet
sembuh 100%, maka itu bisa meningkatkan prestasi dari atlet itu sendiri," ujar
dr. Ari Sutopo, SpKO.
Beberapa atlet yang sering mengalami cedera adalah atlet tenis, bulutangkis,
lari, angkat besi, basket, dan sepakbola, seperti atlet muda tenis Sandy Gumulya
yang sedang menjalani terapi.
Untuk mencegah timbulnya cedera disarankan untuk menjaga jasmani dengan
baik, fleksibilitas dan kecepatan reaksi yang baik, sarana yang digunakan harus
bagus, gunakan sepatu yang nyaman dan tepat, dan gunakan teknik yang baik.
Terapi ini juga bisa dilakukan oleh semua orang yang mempuyai keluhan nyeri
leher, bahu, pinggang, dan lutut, asalkan memenuhi kriterianya.

Vous aimerez peut-être aussi