Vous êtes sur la page 1sur 11

LAPORAN REFRAT

ANCYLOSTOMIASIS
Blok Digestive

Pembimbing : dr. Joko Mulyanto,MSc


Oleh :
Kelompok IV
1.

K1A006009 Tika Indriati

2.

K1A006023 Sigit Dwiyanto

3.

K1A006041 Gita Yunisrita

4.

K1A006054 Sintia Dewi SMK

5.

K1A006066 Ajeng Amelianingtyas

6.

K1A006079 Wandito Gayuh Utomo

7.

K1A006091 Dewi Silviani

8.

K1A006101 Nindia Elita Winda R

9.

K1A006121 Dian Utami Aninda

10. K1A006131 M.Gima Faizal Gani


11. K1A006137 Ramadhyan Respatio

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2009

BAB I
PENDAHULUAN
Di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia penyakit infeksi
merupakan masalah yang masih sangat tinggi insidensinya. Keadaan lingkungan dan
sanitasi yang masih buruk yang ditemukan di Indonesia merupakan salah satu faktor
tingginya angka kejadian penyakit infeksi.
Infeksi cacing usus merupakan infeksi kronik yang masih banyak menyerang
masyarakat Indonesia khususnya anak-anak. Infeksi cacing usus ditularkan melalui
tanah yang tercemar telur cacing, tempat tinggal yang tidak saniter dan cara hidup
yang tidak bersih yang merupakan masalah kesehatan masyarakat di pedesaan dan di
daerah kumuh perkotaan di Indonesia. Tinggi rendahnya frekuensi kecacingan
berhubungan erat dengan kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan yang menjadi
sumber infeksi.
Diantara cacing usus yang menjadi masalah kesehatan adalah kelompok soil
transmitted helmint atau cacing yang ditularkan melalui tanah seperti ascaris
lumbricoides, thricuris trichiuria dan ancylostoma sp (cacing tambang). Penularan
dapat terjadi melalui 2 cara yaitu infeksi langsung dan larva yang menembus kulit.
Penularan langsung dapat terjadi bila telur cacing dari tepi anal masuk ke mulut tanpa
pernah berkembang dulu di tanah. Selain itu penularan langsung dapat pula melalui
pencemaran tanah yang merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing dari
tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing, lalu
masuk ke dalam mulut bersama makanan. Penularan melalui kulit terjadi pada cacing
tambang/ ancylostoma dan strongiloidiasis dimana telur terlebih dahulu menetas di
tanah baru kemudian larva yang sudah berkembang menginfeksi melalui kulit.
Penyakit cacing tambang tersebar di daerah tropis maupun subtropis. Di
Indonesia frekuensi kecacingan masih tinggi antara 60 90% tergantung pada lokasi
dan sanitasi lingkungan. Menurut hasil penelitian pada murid Sekolah Dasar di
daerah Jakarta Pusat ternyata prevalensi askariasis sebesar 66,67%, ancylostomiasis
sebesar 65,12% dan trikuriasis 61,12% sedangkan infeksi campuran 45,56%.

. Di Indonesia penyakit ini lebih banyak disebabkan oleh cacing necator


americanus dan ancylostoma duodenale. Gejala klinis dan patologis penyakit cacing
ini bergantung pada jumlah cacing yang menginfeksi usus, paling sedikit 500 cacing
diperlukan untuk menyebabkan terjadinya anemia dan gejala klinis pada pasien
dewasa.
Telur dihasilkan oleh cacing betina dan keluar melalui tinja. Bila telur tersebut
jatuh di tempat yang hangat, lembab dan basah maka telur akan berubah menjadi
larva yang infektif. Dan jika larva tersebut kontak dengan kulit, maka ia akan
mengadakan penetrasi melalui kulit, bermigrasi sampai ke paru-paru dan kemudian
turun ke usus halus, disini larva berkembang hingga menjadi cacing dewasa.
Pada referat ini kami akan mencoba memaparkan berbagai hal tentang
penyakit Ancylostomiasis, yaitu suatu keadaan kecacingan yang disebabkan oleh
ancylostoma sp.

A. Definisi
Ancylostomiasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh spesies
Ancylostoma duodenale yang merupakan salah satu spesies dari kelas cacing
tambang (hookworm).
B. Etiologi
Ancylostomiasis disebabkan oleh spesies Ancylostoma duodenale
yang merupakan salah satu spesies dari kelas cacing tambang (hookworm).
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang besar melekat
pada mukosa dinding usus. Cacing betina A.duodenale tiap hari mengeluarkan
telur kira-kira 10.000 butir telur. Cacing betina berukuran panjang kurang
lebih 1 cm, cacing jantan kurang lebih 0,8 cm. Cacing A.duodenale
menyerupai huruf C. Rongga mulut jenis cacing ini besar dengan dua pasang
gigi.
C. Patogenesis
1. Stadium larva :
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi
perubahan kulit yang disebut ground itch. Hal ini terjadi karena adanya
paparan berulang dengan larva filariform yang dapat berlanjut dengan
menetapnya cacing dibawah kulit (subdermal). Secara klinis hal ini
menyebabkan rasa gatal serta timbulnya lesi papulovesikular dan
eritematus.
2. Stadium dewasa :
Gejala tergantung pada (a) spesies dan jumlah cacing dan (b) keadaan gizi
penderita (Fe dan protein). Tiap cacing A.duodenale menyebabkan
kehilangan darah sebanyak 0,08 034 cc. Biasanya terdapat eosinofilia.
Bukti adanya toksin yang menyebabkan anemia belum ada. Biasanya tidak
mengakibatkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja
turun.
Hospes parasit ini adalah manusia. Infeksi pada cacing tambang ini
dimulai pada saat larva filariform yang merupakan stadium infektif pada

infeksi ancilostomiasis menembus kulit terutama kulit tangan dan kaki


atau ikut tertelan bersama makanan. Daur hidup dari cacing tambang jenis
ini adalah telur cacing akan keluar bersama tinja. Telur cacing tambang
besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding
tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel. Kemudian setelah 1-1,5 hari
dalam tanah telur tersebut akan menetas menjadi larva rabditiform yang
tidak infektif. Larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron.
Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform
yang merupakan stadium infektif cacing ini. Larva filariform panjangnya
kurang lebih 600 mikron. Larva filariform ini dapat menembus kulit dan
bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Dalam 10 hari setelah penetrasi
perkutan, terjadi migrasi larva filariform ke paru-paru setelah melewati
sirkulasi ventrikel kanan. Larva kemudian memasuki parenkim paru-paru
lalu naik ke saluran nafas sampai di trakea, dibatukkan, dan tertelan
sehingga masuk ke saluran cerna lalu bersarang terutama pada daerah 1/3
proksimal usus halus. Pematangan larva menjadi cacing dewasa terjadi
disini. Proses dari mulai penetrasi kulit oleh larva sampai terjadinya
cacing dewasa memerlukan waktu 6-8 minggu. Cacing jantan dan betina
berkopulasi di saluran cerna selanjutnya cacing betina memproduksi telur
yang akan dikeluarkan bersama dengan feses manusia. Pematangan telur
menjadi larva terutama terjadi pada lingkungan pedesaan dengan tanah liat
dan lembab dengan suhu antara 23-33 C. Penularan A. duodenale selain
terjadi melalui penetrasi kulit juga melalui jalur orofekal, akibat
kontaminasi feses pada makanan. Cacing dewasa hidup di rongga usus
halus dengan giginya melekat pada mukosa usus. Di usus inilah cacing
dewasa menghisap sari-sari makanan dan darah sehingga salah manifestasi
dari ancylostomiasis ini antara lain anemia, gangguan penyerapan
makanan, lemah, mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi,
bahkan bila cacing-cacing ini menggumpal di dalam usus dapat
mengakibatkan penyumbatan pada usus.

Bentuk penularan lain juga dapat melalui hewan vektor (zoonosis)


seperti pada anjing yang menularkan A. brazilienze dan A. caninum.
Hewan kucing dan anjing juga menularkan A. ceylanum. Jenis cacing yang
yang ditularkan melalui hewan vektor tersebut tidak mengalami maturasi
dalam usus manusia.
D. Patofisiologi
Cacing tambang memiliki alat pengait seperti gunting yang
membantu melekatkan dirinya pada mukosa dan submukosa jaringan
intestinal. Setelah terjadi pelekatan, otot esofagus cacing menyebabkan
tekanan negatif yang menyedot gumpalan jaringan intestinal ke dalam kapsul
bukal cacing. Akibat kaitan ini terjadi ruptur kapiler dan arteriol yang
menyebabkan perdarahan. Pelepasan enzim hidrolitik oleh cacing tambang
akan memperberat kerusakan pembuluh darah. Hal itu ditambah lagi dengan
sekresi berbagai antikoagulan termasuk diantaranya inhibitor factor VIIa
(tissue inhibitory factor).
Cacing ini mencerna sebagian darah yang dihisapnya dengan bantuan
enzim hemoglobinase, sedangkan sebagian lagi dari darah tersebut akan
keluar melalui saluran cerna. Masa inkubasi mulai dari bentuk dewasa pada
usus sampai dengan timbulnya gejala klinis seperti nyeri perut, berkisar antara
1-3 bulan. Untuk meyebabkan anemia diperlukan kurang lebih 500 cacing
dewasa. Pada infeksi yang berat dapat terjadi kehilangan darah sampai 200
ml/hari, meskipun pada umumnya didapatkan perdarahan intestinal kronik
yang terjadi perlahan-lahan. Terjadinya anemia defisiensi besi pada infeksi
cacing tambang tergantung pada status besi tubuh dan gizi pejamu, beratnya
infeksi (jumlah cacing dalam usus penderita), serta spesies cacing tambang
dalam usus. Infeksi A. duodenale menyebabkan perdarahan yang lebih banyak
dibandingkan N. americanus.

E. Manifestasi Klinis
Gejala klinis ancylostomiasis berdasarkan stadium dari ancylostoma:
1. Stadium Larva
Larva filariform yang menembus kulit dalam jumlah yang banyak secara
sekaligus dapat menyebabkan perubahan kulit berupa :
a. Gatal atau pruritus kulit, terutama di kaki (ground itch).
b. Dermatitis dan kadang ruam makulopapula sampai vesikel; merupakan
tanda pertama yag dihubungkan dengan invasi larva cacing.
c. Perubahan yang terjadi pada paru biasanya ringan. Selama berada di paru,
larva dapat menyebabkan kapiler-kapiler dalam alveoli paru menjadi peah
sehingga terjadi batuk darah. Berat ringannya kondisi ini ditentukan oleh
jumlah larva cacing yang melakukan penetrasi ke dalam kulit.
d. Gejala-gejala pada usus terjadi dalam waktu 2 minggu setelah larva
melakukan penetrasi terhadap kulit. Larva cacing menyebabkan iritasi
usus halus. Gejala dari iritasi usus halus diantaranya adalah rasa tidak
enak di perut, kembung, sering mengeluarkan gas (flatus), serta menretmencret (Gandahusada, 2006; Pohan, 2006).
2. Stadium Dewasa
Gejala yang terjadi bergantung pada:
a. Spesies dan jumlah cacing
Setiap satu cacing Ancylostoma duodenale akan menyebabkan kehilangan
darah sebanyak 0,08-0,34 cc setiap hari.
b. Keadaan gizi penderita (Fe dan protein)
Infeksi cacing Ancylostoma dalam stadium dewasa dapat menyebabkan
terjadinya anemia hipokromik normositer serta eosinofilia. Anemia terjadi
setelah infestasi cacing dalam tubuh berlangsung selama 10-20 mingggu.
Jumlah cacing dewasa yang diperlukan untuk menimbulkan gejala anemia
adalah lebih dari 500, tetapi bergantung pada keadaan gizi hospes.
Eosinofilia akan jelas terlihat pada bulan pertama infeksi cacing.

Toksin cacing yang dapat menyebabkan anemia belum dapat dibuktikan.


Ancylotomiasis

biasanya

tidak

menyebabkan

kematian,

tetapi

menyebabkan daya tahan tubuh berkurang. Prestasi kerja juga dapat


menurun akibat ancylostomiasis (Gandahusada, 2006; Pohan, 2006).
F. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis pasti ancylostomiasis ditegakkan dengan menemukan telur dalam
feses segar. Dalam feses yang telah lama kemungkinan dapat ditemukan larva.
Selain dalam feses, larva dapat pula ditemukan dalam sputum (Gandahusada,
2006; Pohan, 2006).
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan feses
Dalam feses dapat ditemukan telur atau larva Ancylostoma. Kadang-kadang
terdapat darah dalam feses. Jumlah cacing dewasa yang terdapat dalam usus
dapat diperkirakan dengan dengan teknik cara menghitung telur cacing
(Pohan, 2006).
H. Terapi
1. Perawatan Umum
Perawatan umum dilakukan dengan memberikan nutrisi yang baik.
Suplemen besi diperlukan oleh pasien dengan gejala klinis yang berat,
terutama bula ditemukan anemia.
2. Pengobatan Spesifik
a. Albendazol, diberikan dalam dosis tunggal 400 mg.
b. Mebendazol, diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari selama 5 hari.
c. Tetrakloretilen
Merupakan drug of choice untuk pasien ancylostomiasis. Dosis yang
diberikan adalah 0,12 ml/kgBB dosis tunggal. Dosis maksimal 5 ml.
pengobatan diulang dalam 2 minggu kemudian apabila dari pemeriksaan

feses masih terdapat telur. Pemberian obat sebaiknya dalam keadaan perut
yang kosong disertai pemberia 30 gram MgSO4. Kontaindikasi pemberian
obat ini pada pasien alkoholisme, kelainan penernaan, konstipasi.
d. Befanium hidroksinaftat
Obat pilihan untuk ankilostomiasis dan baik untuk pengobatan massal
pada pasien anak-anak. Diberikan dalam dosis 5 gram, 2 kali sehari, dapat
diulang sesuai kebutuhan. Toksisitas obat ini rendah.
e. Pirantel pamoat
Obat ini diberikan dalam dosis tunggal 10 mg/kgBB/hari selama 2-3 hari
secara berturut-turut dapat memberikan hasil yang baik, toksisitas obat ini
juga rendah.
f. Heksilresorsinol
Diberikan sebagai obat alternatif yang cukup efektif. Pasien dipuasakan
terlebih dahulu, baru kemudian diberi 1 gram hekilresorsinol sekaligus
disusul pemberian laksan MgSO4 senganyak 30 gram. Diulangi lagi 3 jam
kemudian untuk tujuan mengeluarkan cacing. Bila diperlukan, pengobatan
ini dapat diulang 3 hari kemudian (Gandahusada, 2006; Pohan, 2006).
I. Komplikasi
Kerusakan yang terjadi pada kulit dapat menyebabkan dermatitis berat
terlebih bila pasien sensitif. Gangguan pertumbuhan, perkembangan mental
dan anemia berat akibat infestasi cacing Ancylostoma (Pohan, 2006).
J. Prognosis
Ancylotomiasis jarang menyebabkan kematian, tetapi dapat menurunkan
prestasi kerja. Prognosis ancylostomiasis tetap baik dengan pengobatan yang
adekuat, walaupun telah terjadi komplikasi berat (Gandahusada, 2006; Pohan,
2006).

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
1. Angka kejadian Ancylostomiasis di Indonesia masih tinggi terutama pada
anak-anak.
2. Ancylostomiasis adalah penyakit kecacingan yang disebabkan oleh
Ancylostoma sp.
3. Faktor lingkungan yang buruk, kebersihan diri yang kurang, dan kebiasaan
yang tidak baik menjadi predisposisi terjadinya Ancylostomiasis.

B.

Saran
1.

Pemerintah hendaknya menggalakan program peningkatan kebersihan dan


sanitasi lingkungan maupun individu yang diperlukan untuk mencegah
terjadinya penyakit kecacingan.

2.

Masih perlu penelaahan yang lebih mendalam lagi tentang penyakit


Ancylostomiasis ini.

DAFTAR PUSTAKA

Gandahusada, Srisasi. 2006. Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta, FKUI


Pohan, H.T. 2006. Penyakit Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta, FKUI.
Montressor A, Sanioli L. Ancylostomiasis. 2004. Available from: http://
www.orphanet.com. Downloaded in July 2, 2005.
Mangatas S.M Banalu, S. L Biran. Infeksi cacing tambang. 2006. Available from:
http://www.dexamedica.com/images/publication.pdf

Vous aimerez peut-être aussi