Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
A. KONSEP MEDIS
1.
DEFINISI
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala.
2.
ETIOLOGI
Penyebab cedera kepala yaitu karena trauma.
Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal
Trauma oleh benda tumpul dapat menyebabkan ke substansi otak energi. Kerusakan terjadi
ketika energi/kekuatan diteruskan ke substansi otak energi diserap lapisan pelindung yaitu
rambut kulit kepala dan tengkorak.
Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab
cedera
kepala
dandeselerasi)
Trauma sekunder, Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
3.
4.
5.
6.
3.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder.
Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang
relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio
dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan
orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah
dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan
kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang
merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
Page 1 of 25
1.
(perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal
yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan
arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala.
Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan
serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
2.
dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan
hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak
sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak
sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah
otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal
bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang
tergantung lokasi kerusakan
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan
mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan
ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan
sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti
dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya
kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi.
Page 2 of 25
Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air,
natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh
terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah
berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul
juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat
didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi
atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena
penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal
dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus
rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada
siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-kerusakan sarafsaraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak
teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil.
Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan
alkalosisi respiratorik.
Cedera otak sekunder tejadi setiap saat setelah terjadi benturan. Factor-faktor yang
menyebabkan cedera otak sekunder adalah:
1.
2.
Hematoma intrakranial
a.
Epidural
b.
Subdural
c.
Intraserebral
d.
Subarahnoid
Pembengkakan otak
Mungkin terjadi dengan atau tanpa hematoma intrakranial. Hal ini diakibatkan timbunan
Page 3 of 25
4.
KLASIFIKASI
Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi durameter. Kerusakan
otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak, misalnya akibat benda tajam atau
tembakan.
b.
Fraktur linier di daerah temporal, dimana arteri meningeal media berada dalam jalur tulang
temporal, sering menyebabkan perdarahan epidural. Fraktur linier yang melintang garis
tengah, sering menyebabkan perdarahan sinus dan robeknya sinus sagitalis superior.
c.
Fraktur di daerah basis, disebabkan karena trauma dari atas atau kepala bagian atas yang
membentur jalan atau benda diam. Fraktur di fosa anterior, sering terjadi keluarnya liquor
melalui hidung (rhinorhoe) dan adanya brill hematom (raccon eye).
d.
Fraktur pada os petrosus, berbentuk longitudinal dan transversal (lebih jarang). Fraktur
longitudinal dibagi menjadi anterior dan posterior. Fraktur anterior biasanya karena trauma di
daerah temporal, sedang yang posterior disebabkan trauma di daerah oksipital.
e.
Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen
jugularis dan tuba eustakhius. Setelah 2 3 hari akan nampakbattle sign (warna biru di
belakang telinga di atas os mastoid) dan otorrhoe(liquor keluar dari telinga). perdarahan dari
telinga dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak.
Pada dasarnya fraktur tulang tengkorak itu sendiri tidaklah menimbulkan hal yang emergensi,
namun yang sering menimbulkan masalah adalah fragmen tulang itu menyebabkan robekan
Page 4 of 25
pada durameter, pembuluh darah atau jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan
pusat vital, saraf kranial dan saluran saraf (nerve pathway).
2. Trauma kepala tertutup
a. commotio serebri (gegar otak)
Penyebab gejala komotio serebri belum jelas. Akselerasi-akselerasi yang meregangkan otak
dan menekan formotio retikularis merupakan hipotesis yang banyak dianut. Setelah penurunan
kesadaran beberapa saat pasien mulai bergerak, membuka matanya tetapi tidak terarah, reflek
kornea, reflek menelan dan respon terhadap rasa sakit yang semula hilang mulai timbul kembali.
Kehilangan memori yang berhubungan dengan waktu sebelum trauma disebut amnesia retrograde.
Amnesia post traumatic ialah kehilangan ingatan setelah trauma, sedangkan amnesia traumatic
terdiri dari amnesia retrograde dan post traumatic. Geger otak merupakan Cidera kepala ringan,
Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali, Hilang kesadaran sementara , kurang dari
10 - 20 menit, Tanpa kerusakan otak permanen, Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah,
Disorientasi sementara dan Tidak ada gejala sisa.
b. Edema serebri traumatic
Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis terutama pada anakanak. Pingsan dapat berlangsung lebih dari 10 menit, tidak dijumpai tanda-tanda kerusakan
jaringan otak. Pasien mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah. Pemeriksaan cairan otak
mungkin hanya dijumpai tekanan yang agak meningkat.
c. Contusio serebri (memar otak)
Kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak mengganggu
jaringan. Kontosio sendiri biasanya menimbulkan defisit neurologis jika mengenai daerah motorik
atau sensorik otak.
Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosa kontusio serebri meningkat sejalan
dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri
sangat sering terjadi difrontal dan labus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian
otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intra
serebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam
atau hari mengalami evolusi membentuk pedarahan intra serebral (ATLS 1997).
3. Perdarahan Intrakranial
a.
Perdarahan Epidural
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya
pembuluh darah / cabang - cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh
Page 5 of 25
darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa
jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.
Gejala-gejala yang terjadi :
Penurunan tingkat kesadaran, Nyeri kepala, Muntah, Hemiparesis, Dilatasi pupil ipsilateral,
Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irreguler, Penurunan nadi, Peningkatan suhu.
b.
Perdarahan Subdural
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi
akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater,
perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam - 2 hari atau 2 minggu dan
kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir
lambat, kejang dan udem pupil.
Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah
arteri; kapiler; vena.
Tanda dan gejalanya :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegia kontra lateral, dilatasi
pupil, perubahan tanda-tanda vital
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak
dibawahnya lebih berat dan prognosinyapun jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.
c.
Perdarahan subarahnoid
Perdarahan subaranoid sering terjadi pada trauma kapitis. Secara klinis mudah dikenali yaitu
ditemukannya kaku kuduk, nyeri kepala, gelisah, suhu badan subfebril, dan hemiparese.
Gejalanya menyerupai meningitis. Perdarahan yang besar dapat disertai koma.
Pedarahan terjadi didalam ruang subarahnoid karena robeknya pembuluh darah yang berjalan
didalamnya. darah tercampur dengan cairan otak. Adanya darah didalam liquor serebri spinal akan
merangsang meningia sehingga terjadi kaku kuduk.
Klasifikasi cedera kepala
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala yang muncul setelah
cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam penentuan
derajat cedera kepala. The Traumatic Coma Data Bank mendifinisikan berdasarkan skor Skala
Koma Glasgow (Glasgow coma scale)
Page 6 of 25
Glasgow (SKG)
Penentuan
Deskripsi
keparahan
Minor/ Ringan
SKG 13 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia cerebral,
Sedang
hematoma
SKG 9 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
Berat
2.
Membuka Mata
Spontan
Terhadap nyeri
Tidak ada
Respon Verbal
Orientasi baik
orientasi terganggu
2
1
Respon Motorik
Mampu bergerak
Melokalisasi nyeri
Fleksi menarik
Fleksi abnormal
Ekstensi
Tidak ada respon
Total
3
2
1
3 15
Page 7 of 25
Annegers et al (1998) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama amnesis
pasca trauma yang dibagi menjadi:
1.
Cedera kepala ringan, apabila kehilangan kesadaran dan amnesia berlangsung kurang dari 30
menit.
2.
Cedera kepala sedang, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30 menit sampai 24
jam atau adanya fraktur tengkorak.
3. Cedera kepala berat, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam, perdarahan
subdural dan kontusio serebri.
Penggolongan cedera kepala berdasarkan periode kehilangan kesadaran ataupun amnesia saat
ini masih kontroversional dan tidak dipakai secara luas. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan
jumlah Skala Koma Glasgow (SKG) saat masuk rumah sakit merupakan definisi yang paling
umum dipakai (Hoffman, dkk, 1996).
5.
MENIFESTASI KLINIS
1.
Gangguan kesadaran
2.
Konfusi
3.
Abnormalitas pupil
6.
7.
Disfungsi sensory
8.
Kejang otot
Page 8 of 25
9.
Sakit kepala
10. Vertigo
11. Gangguan pergerakan
12. Kejang
6.
PEMERIKSAAN FISIK
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15, disorientasi
orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital
kaku kuduk, hemiparese.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema
otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.
7.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan lain yang dapat menunjang diantaranya :
1.
CT Scan
CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan
ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia
jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri. Indikasi dilakukan Ct Scan yaitu :
Penurunan kesadaran (GCS <15)
Fraktur tulang tengkorak
Tanda klinis adanya fraktu basis krani
Nyeri kepala persisten, muntah
Cedera penetrasi
Page 9 of 25
Kejang
Deficit neurologis
Lateralisasi
2.
MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3.
4.
Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis dan mencari lesi
5.
X-Ray:
Mendeteksi
perubahan
struktur
tulang
(fraktur),
perubahan
struktur
7.
8.
CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum 6 jam dari saat kejadian trauma.
9.
ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intracranial
10. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.
8.
PENATALAKSANAAN
Beberapa hal yang diperhatikan dalam penatalaksanaan yaitu :
a. Prioritas Perawatan:
1.
2.
Mencegah komplikasi
3.
4.
5.
b. Tujuan:
1.
2.
3.
4.
5.
Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai
sumber informasi.
Page 10 of 25
b.
2.
oksigenasi adekuat
3.
pemberian mannitol
4.
penggunaan steroid
5.
6.
bedah neuro
dukungan ventilasi
2.
pencegahan kejang
3.
4.
terapi antikonvulsan
5.
6.
selang nasogastrik
Proses Penatalaksanaan pada Trauma Kepala yang Memerlukan Tindakan Bedah Saraf :
Penatalaksanaan trauma kepala yang memerlukan tindakan bedah saraf, merupakan proses yang
terdiri dari serangkaian tahapan yang saling berkaitan satu sama lain, sehingga sampai pada
pengambilan putusan untuk melakukan tindakan pembedahan.
Dalam hal ini meliputi 4 tahapan, tahapan-tahapan tersebut meliputi:
1.
Tahap I
a.
Airway
Breathing
Circulation
Periksa adanya kemungkinan kelainan atau perdarahan. Tentukan hal-hal sebagai berikut:
Sebab-sebab cedera
Page 11 of 25
Diagnosis
Pemeriksaan Laboratorium
Hb, hematokrit, eritrosit, lekosit, trombosit, elektrolit, gula darah, BUN, ureum, kreatinin,
masa perdarahan dan penjendalan, golongan darah dan AGD.
Pemeriksaan penunjang yang khusus
c.
Foto kepala
Foto servikal
Angiografi Serebral
CT scan
3.
Tahap III
a.
Indikasi pembedahan
Page 12 of 25
b.
Kontaindikasi
Adanya tanda-tanda renjatan (Shock), ini biasanya bukan karena trauma kepalanya tetapi
karena sebab-sebab lain, misalnya ruptur alat viscera (Hepar, lien, ginjal) atau fraktur berat
pada ekstremitas.
Penderita dengan trauma kepala yang pada waktu masuk rumah sakit pupil sudah dilatasi
maksimal dan reaksi cahaya negatif, denyut nadi dan respirasi irregular.
c.
Tujuan Pembedahan
Untuk mengeluarkan bekuan darah dan atau jaringan otak yang nekrotik
Untuk mengangkat bagian tulang yang menekan atau masuk ke jaringan otak
Untuk mengurangi tekanan intrakranial
Untuk mengontrol perdarahan
Untuk menutup durameter atau memperbaiki durameter yang rusak
Menutup defek pada kulit kepala untuk mencegah infeksi atau untuk kepentingan segi
kosmetik
d.
Persiapan Pembedahan
Tahap IV
a.
Pembedahan spesifik
Perlukaan pada kulit prinsipnya dilakukan debridemen. Pada lesi desak ruang intrakranial
Trepanasi
yang terbatas. Pada epidural hematom yang lebih tebal <1,5 1 cm, belum perlu tindakan operasi.
Pada Hematom Subdural
Page 13 of 25
Pada Hematom Subdural akut senantiasa diperlukan kraniotomi yang luas. Tindakan
kraniektomi atau membuat lubang bur tidak dianggap cukup, ini hanya hematom subdural yang
kronis.
Pada Hematom intraserebral dan kontusio serebri dengan efek massa yang jelas.
Dilakukan tindakan kraniotomi yang cukup luas apabila :
Terdapat kontusio dengan diameter > 1 cm, dipermukaan korteks hendaknya diisap
sampai batas jaringan otak yang sehat.
Menunjukkan peninggian tekanan intrakarnial > 30 mmHg dan atau berkaitan dengan
gangguan neurologik yang progresif.
Pada hematoma intraserebral yang kronis dapat dilakukan dengan trepanasi secara
konvensional dan aspirasi.
Pada intraventrikuler hematoma
Prognosis buruk bila GCS < 8 pada saat masuk dirawat. Bila GCS > 8 prognosis lebih baik
kira-kira 86 % hidupnya tidak tergantung orang lain.
Pada subdural higroma
Pada Rhinorrhea
Pada Laserasi otak
Pada fraktur tulang kepala terbuka
Pada fraktur yang menekan tertutup
b.
Perdarahan ulang
Kebocoran cairan otak
Infeksi pada luka atau sepsis
Timbulnya edema serebri
Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
Nyeri kepala setelah penderita sadar
Konvulsi
c.
Outcome
Page 14 of 25
Outcome akibat trauma kepala, walaupun sudah dilakukan tindakan operasi tergantung
beberapa factor diantaranya:
Saat dilakukan operasi
Tergantung pada penilaian tingkat kesadaran
Faktor usia
Tergantung tanda-tanda vital waktu masuk
Tergantung pada peninggian intrakranial
Tergantung pada factor hematom: jenis, sifatnya, volume dan lokalisasinya, misalnya:
Outcome epidural hematom dengan kontusio serebri lebih buruk daripada kalau hanya
ada epidural hematomnya (Guillermann, 1996)
9.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang akan terjadi pada cplikasi yang akan terjadi pada cedera kepala ini
diantaranya ;
a.
Jangka pendek :
1.
Hematom Epidural
Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala
sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian timbul
gejala-gejala yang memperberat progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran
menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mulamula sempit, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks
cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
Interval lucid
Peningkatan TIK
Gejala lateralisasi hemiparese
Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati hematoma
subkutan
Page 15 of 25
Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada sisi
kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan traktus
piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon meninggi dan refleks patologik
positif.
CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks
LCS : jernih
Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan
pembuluh darah.
2.
Hematom subdural
Letak : di bawah duramater
Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi
piamater serta arachnoid dari kortex cerebri
Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian
Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.
Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak (bagian
dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak)
Isodens terlihat dari midline yang bergeser
Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak
(dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom
akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.
3. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada lobus
temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya
berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari
kematian,
perdarahannya
akan
direorganisasi
dengan
pembentukan
gliosis
dan
kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian
otak yang terkena.
4.
Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga
berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah
dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak
ada. Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi.
TIK meningkat
Page 16 of 25
Cephalgia memberat
Kesadaran menurun
b.
Jangka Panjang :
1.
Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII, disartria,
tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan tingkah laku, misalnya:
menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan depresi.
B. KONSEP KEPERAWATAN
1.
PENGKAJIAN
a.
Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran
saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
b.
c.
intrakranial.
Tanda peningkatan TIK meliputi pelambatan nadi, peningkatan tekanan darah sistolik, dan
pelebaran tekanan nadi.
Pada saat kompresi otak meningkat, tanda vital cenderung sebaliknya, nadi dan pernapasan
menjadi cepat, dan tekanan darah menurun. Hal ini adalah perkembangan yang
menyenangkan, sesuai dengan fluktuasi cepat tanda vital.
Peningkatan suhu tubuh dianggap hal yang tidak menguntungkan, karena hipertermia
meningkat kebutuhan metabolism otak dan merupakan indikasi kerusakan batang otak.
Indicator prognosis buruk. Suhu dipertahaknkan dibawah 280C
Takikardia dan hipotensi arteri dapat mengindikasikan perdarahan sedang terjadi ditempat lain
ditubuh.
d.
Fungsi motorik
Page 17 of 25
Fungsi motorik juga sering dikaji melalui observasi gerakan gerakan spontan,
memeribtahkan pasien meninggikan dan menurunkan ekstermitas, dan membandingkan kekuatan
dan kualitas genggaman tangan dalam periodic waktu yabg teratur. Ada atau tidaknya gerakan
gerakan spontan pada masing masing ekstermitas dicatat dan tanda bicara dan mata dikaji.
Jika pasien tidak menunjukkan gerakan spontan, maka respon stimulus nyeri dikaji. Respon
abnormal (respon motorik berkurang, perluasan respon) mengarah pada prognosis buruk
Kemampuan pasien untuk bicara dan kualitas biacara juga dikaji. Kapasitas untuk berbicara
merupakan indikasi tingkat fungsi otak yang tinggi.
Pembukaan mata secara spontan pada pasien dievaluasi.
Ukuran dan kualitas pupil dan reaksinya terhadap cahaya. Dilatasi unilateral dan respon pupil
yang buruk merupakan indikasi adanya pembentukkan hematoma dengan tekanan lanjut pada
saraf cranial ketiga karena pergeseran otak. Jika kedua pupil menjadi kaku dan dilatasi, maka
diindikasikan ada cedera berlebihan dan kerusakan instrinsik pada batang otak atas, yang
merupakan tanda prognostic buruk.
e.
Pemeriksaan fisik
Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi,
ataksik)
Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
Sistem saraf :
Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
2.
DIAGNOSA
Diagnose yang sering muncul diantaranya :
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
Page 18 of 25
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan
tekanan intrakranial
3. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma)
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan
intrakranial.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
7. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
8. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya
sirkulasi perifer.
3.
RENCANA INTERVENSI
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
a. Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
b. Kriteria evaluasi : Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda
hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
c. Rencana tindakan :
1.
Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. pernapasan yang cepat dari pasien dapat
menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2
dan menyebabkan asidosis respiratorik.
2.
Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal
volume.
3.
Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari
inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap
gangguan pertukaran gas.
4.
Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi /
cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi.
5.
Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak
adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.
6.
Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan ventilasi yang
adekuat bila ada gangguan pada ventilator
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan
tekanan intrakranial.
a.
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat,
kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
b.
Page 19 of 25
c.
Rencana tindakan :
1.
2.
3.
Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan,
fleksi (harus bersamaan).
4.
5.
Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan
therapeutic, hindari percakapan yang emosional.
6.
7.
Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat
meningkatkan edema serebral.
8.
9.
10. Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi.
11. Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat meningkatkan
tekanan intrakranial.
3. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma)
a.
b.
Kriteria hasil : Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai
dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
c.
Rencana tindakan :
1. Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
2. Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan
pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.
3. Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
4. Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku,
mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh
perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.
Page 20 of 25
a. Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai
dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas
normal.
2.
Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata
cekung dan out put urine.
3.
Page 21 of 25
a. Tujuan : Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri, dan
tanda-tanda vital dalam batas normal.
a. Tujuan : Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai dengan
tidak gelisah dan orang tua dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam
perawatan anak.
b. Criteria hasil : Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan, Keluarga mengerti cara
berhubungan dengan pasien, Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan
tindakan meningkat.
c. Rencana tindakan
1. Jelaskan pada anak dan orang tua tentang prosedur yang akan dilakukan, dan tujuannya.
2. Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak.
3. Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan.
4. Gunakan komunikasi terapeutik
8. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya
sirkulasi perifer.
a.
b.
c.
Rencana tindakan :
1. Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk menetapkan
kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
2. Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
Page 22 of 25
3. Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang
menonjol.
6. Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
7. Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
8. Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.
9. Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan
menggunakan H2O2.
4.
PENYIMPANGAN KDM
Page 23 of 25
Page 24 of 25
DAFTAR PUSTAKA
Barbara
Elizabeth
Hudak
Meg
C.
Long.
1996.
J.
Corwin,
&
Gallo,
Gulanik,
1994,
Perawatan
1996,
Medikal
Buku
1994,
Nursing
Bedah,
Saku
Pajajaran,
Bandung.
EGC,
Jakarta.
Patofisiologi,
Keperawatan
Care
IAPK,
Plans,
Kritis,
Mosby,
EGC,
New
Jakarta.
York.
Page 25 of 25