Vous êtes sur la page 1sur 58

1

I. Identitas Pasien
Nama

: Tn. YH

Usia

: 31 tahun

Pekerjaan

: Buruh

Agama

: Islam

Alamat

: Cidandang, Cilegon

No. CM

: 267xxx

Pembiayaan

: Umum

Tanggal Berobat

: 14 Desember 2013

Ruangan

: Nusa Indah RSUD Cilegon

II. Anamnesa
Dilakukan secara auto-anamnesa pada tanggal 17 Desember di Ruang Nusa Indah
RSUD Cilegon pukul 06.30 WIB

Keluhan Utama :
Nyeri perut kanan atas sejak 2 bulan SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke UGD RSUD Cilegon dengan keluhan nyeri perut
kanan atas sejak 2 bulan SMRS. Nyeri perut dirasakan seperti ditusuk-tusu,
pasien juga mengeluhkan adanya mual dan terkadang disertai muntah, muntah
kurang lebih 1 kali perhari berisi sisa makanan dan tidak disertai darah. Pasien
juga mengeluhkan adanya demam yang dirasakan terus-menerus sepanjang
hari.
Sejak 1 bulan SMRS pasien mengaku nafsu makan menurun. Pasien
hanya makan 4-5 sendok makan setiap kali makan karena rasa tidak enak
diperut. Pasien juga merasa adanya penurunan berat badan sebanyak 3 kg
dalam 1 bulan terakhir.
Sekitar 3 minggu yang lalu pasien merasa perut membesar, terasa
penuh diperut, mual dan keluhan nyeri perut masih sering dirasakan, pasien
juga merasa matanya kuning Sehingga pasien memutuskan untuk berobat ke
dokter. 2 hari SMRS, pasien merasakan keluhan semakin memburuk dan
disertai sesak ketika terlentang.

Pasien menyangkal adanya keluhan batukdan batuk berdarah, tidur


menggunakan 2 bantal, BAK seperti air the disangkal, nyeri ketika BAK
disangkal, BAB lunak berwarna kekuningan, darah (-) kehitaman (-).
Kemudian pada tanggal 14 Desembert 2013 pasien berobat ke UGD RSUD

Cilegon karena keluhan yang dirasakan tidak membaik.


Riwayat Penyakit Dahulu:
1 bulan yang lalu pasien dirawat di RSUD Cilegon dengan keluhan yang

sama.
Riwayat pengobatan paru-paru selama 6 bulan sebelumnya disangkal.
Riwayat sakit kuning disangkal
Riwayat transfusi darah disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang mengeluh keluhan yang sama dengan pasien.
Riwayat sakit kuning pada keluarga disangkal
Anamnesis Sistem (tanggal 17 Desember 2013)
Tanda checklist (+) menandakan keluhan pada sistem tersebut. Tanda strip (-)
menandakan keluhan di sistem tersebut disangkal oleh pasien.

Kulit
(-)
(-)

Bisul
Kuku

(-)
(-)

Rambut
Ikterus

(-)
(-)
(-)

Keringat malam
Sianosis
Lain-lain

Kepala
(-)
(-)

Trauma
Sinkop

(-)
(-)

Nyeri kepala
Nyeri sinus

(-)
(-)
(-)

Sekret
Gangguan penglihatan
Penurunan ketajaman penglihatan

(-)
(-)
(-)

Tinitus
Gangguan pendengaran
Kehilangan pendengaran

(-)
(-)
(-)

Gejala penyumbatan
Gangguan penciuman
Pilek

(-)
(-)
(-)

Lidah
Gangguan pengecapan
Stomatitis

(-) Nyeri tenggorok


Leher

(-)

Perubahan suara

(-)

(-)

Nyeri leher

(+)
(-)

Sesak nafas
Batuk darah

Mata
(-) Nyeri
(-) Radang
(+) Sklera Ikterus
Telinga
(-)
(-)

Nyeri
Sekret

Hidung
(-)
(-)
(-)
(-)

Trauma
Nyeri
Sekret
Epistaksis

Mulut
(-)
(-)
(-)

Bibir
Gusi
Selaput

Tenggorokan

Benjolan/ massa

Jantung/ Paru
(-)
(-)

Nyeri dada
Berdebar-debar

(-)

Ortopnoe

(-)

Batuk

(+)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Perut membesar
Wasir
Mencret
Melena
Tinja berwarna dempul
Tinja berwarna ter
Benjolan

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Kencing nanah
Kolik
Oliguria
Anuria
Retensi urin
Kencing menetes
Kencing seperti air teh

(-)
( )

Perdarahan

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Sukar menggigit
Ataksia
Hipo/hiper-estesi
Pingsan / syncope
Kedutan (tick)
Pusing (Vertigo)
Gangguan bicara (disartri)

(+)
(-)

Deformitas
Sianosis

Abdomen (Lambung / Usus)


(-)
(+)
(+)
(-)
(-)
(+)

Rasa kembung
Mual
Muntah
Muntah darah
Sukar menelan
Nyeri perut

Saluran Kemih / Alat Kelamin


(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Disuria
Stranguri
Poliuria
Polakisuria
Hematuria
Batu ginjal
Ngompol

Katamenis
(-)
(-)

Leukore
Lain-lain

Otot dan Syaraf


(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Anestesi
Parestesi
Otot lemah
Kejang
Afasia
Amnesis
Lain-lain

Ekstremitas
(-)
(-)

Bengkak
Nyeri sendi

III.Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 17 Desember pukul 07.00 WIB

VITAL SIGNS:
- Kesadaran
: Compos mentis
- Keadaan Umum : Lemah
- Tekanan Darah : 90/70 mmHg
(TD di IGD tgl 14 Desember 2013: 120/70 mmHg)
- Nadi
: 84 kali/menit, reguler
- Respirasi
: 24x kali/menit
- Suhu
: 37,50C
STATUS GENERALIS:
- Kulit
: Berwarna coklat muda, tidak terdapat kelainan warna kulit,
-

tidak ikterik, suhu normal, dan turgor kulit baik.


Kepala : Bentuk oval, simetris, ekspresi wajah lemah.
Rambut : Berwana hitam, lurus dan lebat.
Mata : Tidak exopthalmus, konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik,
pupil bulat dan isokor, tidak terdapat benda asing, pergerakan

bola mata baik.


Hidung : Tidak terdapat nafas cuping hidung, tidak deviasi septum, tidak

ada sekret, dan tidak hiperemis.


Telinga : Bentuk normal, liang telinga luas, tidak ada sekret, tidak ada

darah, tidak ada tanda radang, membran timpani intak.


: Bibir tidak sianosis, gigi geligi lengkap, gusi tidak hipertropi,

Mulut

lidah tidak kotor, mukosa mulut basah, tonsil T1-T1 tidak


-

Leher

hiperemis.
: Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada
submentalis,

subklavikula,

pre-aurikula,

post-aurikula,

oksipital, sternokleido-mastoideus, dan supraklavikula. Tidak


terdapat pembesaran tiroid, trakea tidak deviasi, dan Jugular
-

Venous Pressure bernilai 5 + 2 cm H2O.


Thoraks : Normal, Simetris kiri dan kanan perbandingan transversal :
antero posterior = 2:1, tidak ditemukan kelainan kulit, tidak

terlihat adanya massa.


Paru-paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri pada saat
statis dan dinamis, tidak terdapat retraksi dan pelebaran sela
Palpasi

iga.
: Tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas, tidak terdengar adanya

krepitasi, fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri.


Perkusi : Redup pada sela iga IV dextra.
Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi

: Iktus kordis teraba di 2cm lateral ICS IV linea midklavikula


sinistra, dan tidak terdapat thrill

Perkusi

: Batas jantung kanan pada ICS V linea para sternalis dextra,


batas jantung kiri pada ICS V linea midklavikula sinistra.

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, tidak terdapat murmur dan


gallop
-

Abdomen
Inspeksi : Tampak asimetris, agak membuncit, tidak terlihat massa,
tidak terdapat pelebaran vena, tampak ada striae pada abdomen
bawah.
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Palpasi : hepar teraba 5 jari dibawah arcus costae, 4 jari dibawah
prosesus xiphoideus, permukaan rata, konsistensi kenyal, nyeri tekan
(+) fluktuasi (+) lien tidak teraba.
Perkusi : suara redup pada kuadran kanan atas, terdapat nyeri ketuk,

shifting dullness (+) Undulasi (+)


Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : akral hangat, edema (+), tidak ada deformitas, tidak ada

krepitasi dan nyeri tekan.


Refleks fisiologis dan patologis : tidak dilakukan pemeriksaan.

IV. Pemeriksaan Penunjang


EKG (tanggal 17 Desemberber 2013)
-

Irama Sinus
HR 88x/menit (Takikardi)
Axis Normal
Gel P Normal
Interval PR 0,171 s
Tidak ditemukan Q patologis
Gel QRS 0.092 s
Segmen ST sejajar garis isoelektrik
Gel T (+)
QT 0,330 s
Gel U (-)

Laboratorium
Laboratorium 14/12
Hemoglobin
Hematokrit
Lekosit
Trombosit
LED
GDS
Ureum
Kreatinin
SGOT
SGPT
Hepatits A
Hepatitis B,C
Albumin
Globulin
Bil total
Bil Direk
Bil Indirek
Natrium
Kalium
Klorida
Protein Total

17/12
10,2
30,2
22.340
412.000
101
20
0,7
76
34
Negatif
Negatif

19/12

21/12

10,6
33,4
13.680
350.000

24/12
9,3
36,0
11.330
266.000

62
32

25/12
10,8
33,8
9.610
187.000

Nilai Normal
10,2
33,2
9,530
182.000

<200
17-43
0,7-1,1
<37
<41

24
13
2,3
4,5

14-18
40-48
5000-1000
150.000-4

2,5

134,5

3-6 g/dl
1,5 -3,5 g/
0-1 mg/dl
0-0,25 mg
0-0,7 mg/d
135-155

4,31

mg/dl
3,6-5,5

102,4

mg/dl
95-107

1,49
0,83
0,66

mmol/l
6-8 g/dl

6,8

Urinalisa

Analisa Feses

Radiologi :

10

11

USG

12

13

Cairan Efusi Pleura dan BTA

IV. Diagnosis

14

Diagnosis Kerja : Abses Hepar dengan Anemia, Hipoalbuminemia, Efusi Pleura


Dextra dan Hiperbilirubinemia
Dasar diagnosis Abses Hepar:
Anamnesis :
Nyeri perut kanan atas sejak 2 bulan yang lalu. Nyeri perut dirasakan hilang
timbul, karena keluhan ini pasien sering berobat ke mantra dan bidan kemudian
diberikan obat maag. Setelah pasien meminum obat tersebut keluhan membaik,
namun keluhan sering muncul kembali. nafsu makan menurun sejak 1 bulan yang
lalu. Pasien hanya makan 4-5 sendok makan setiap kali makan karena rasa tidak
enakdiperut. Penurunan berat badan ada sejak 1 bulan yang lalu sebanyak 3 kg.
sekitar 3 minggu yang lalu pasien merasa perut membesar dan terasa penuh
diperut, mual dan keluhan nyeri perut masih sering dirasakan. 2 minggu SMRS,
pasien mengeluhkan nyeri perut kanan atas, mual, perut semakin lama semakin
membesar, terasa penuh diperut, mata terlihat kuning, demam sejak 2 minggu
SMRS. Kemudian Os berobat ke dokter dan diberikan n4 macam obat yaitu 3
tablet dan 1 sirup (lupa nama obat) keluhan dirasakan tidak membaik. 2 hari
SMRS, pasien merasakan keluhan yang tidak membaik dan disertai sesak ketika
terlentang sehingga pasien memutuskan untuk berobat ke RSUD Cilegon. Ketika
pasien disuruh untuk berjalan, pasien membungkuk dan memegangi perut kanan
atas yang terasa sakit.
Pemeriksaan Fisik :
Mata : Sklera Ikterik
Abdomen :
Inspeksi : Tampak asimetris, agak membuncit, tidak terlihat massa, tidak terdapat
pelebaran vena, tampak ada striae pada abdomen bawah.
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Palpasi : hepar teraba 5 jari dibawah arcus costae, 4 jari dibawah prosesus
xiphoideus, permukaan rata, konsistensi kenyal, nyeri tekan (+) fluktuasi (+) lien
tidak teraba.
Perkusi : suara redup pada kuadran kanan atas, terdapat nyeri ketuk, shifting
dullness (+) Undulasi (+)

15

USG Abdomen

16

Dasar Diagnosa Anemia


Laboratorium 14/12
Hemoglobin

17/12
10,2

19/12

21/12

10,6

24/12
9,3

25/12
10,8

Nilai Normal
10,2

Mengapa pada pasien ini dapat terjadi Anemia ?


Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin
Sel hati mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferritin, yang
dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun banyak.

17

14-18

Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka besi
akan berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan dalam
bentuk ini di dalam sel hati sampai diperlukan. Bila besi dalam sirkulasi
cairan tubuh mencapai kadar rendah, maka ferritin akan melepaskan besi.
Karena pasien tidak mau makan dan fungsi hati terganggu maka fungi
ferritin untuk melepaskan besi juga terganggu, akhirnya terjadilah anemia.
Dasar Diagnosa Hipoalbuminemia
Pemeriksaan Albumin tanggal 19/12 : 2,3
Pemeriksaan Albumin tanggal 21/12 : 2,5
Mengapa pada pasien ini terjadi Hipoalbuminemia?
Albumin adalah salah satu jenis protein darah yang dibentuk di hati. Hati
menghasilkan sekitar 12 gram albumin per hari yang merupakan sekitar 25% dari
total sintesis protein hepatic dan separuh dari seluruh protein yang dihasilkan sel
tersebut. Ketika ada gangguan pada hati maka sintesis albuminpun terganggu.
Dasar Diagnosa Efusi Pleura :
Anamnesa :
2 hari SMRS, pasien merasakan keluhan semakin memburuk dan disertai sesak
ketika terlentang
Pemeriksaan Fisik :
-

Paru-paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri pada saat
statis dan dinamis, tidak terdapat retraksi dan pelebaran sela
Palpasi

iga.
: Tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas, tidak terdengar adanya

krepitasi, fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri.


Perkusi : Redup pada sela iga IV.
Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/Pemeriksaan Penunjang :

18

Rontgen :
Dasar Diagnosa Hiperbilirubinemia
Mata : Sklera Ikterik
Laboratorium 14/12
Bil total
1,49
Bil Direk
0,83

17/12

19/12

21/12

24/12

25/12

Mengapa pada pasien ini terjadi Hiperbilirubinemia?


Peningkatan kadar bilirubin direk menunjukkan adanya gangguan pada hati
(kerusakan sel hati) atau saluran empedu (batu atau tumor). Bilirubin terkonjugasi
tidak dapat keluar dari empedu menuju usus sehingga akan masuk kembali dan
terabsorbsi ke dalam aliran darah.

V. Anjuran Pemeriksaan
19

Nilai Norma
0-1 mg/dl
0-0,25 mg/dl

CT scan abdomen, Analisa Darah Tepi

VI. Terapi yang diberikan


- IVFD RL 20 tpm
- Metronidazole inj 3x500 mg
- Levofloxacin 1x500 mg inj 2x62,5 mg
- Ranitidin inj 2x1 ampul
- Ketorolac Inj 3x1 ampul
- Paracetamol tab 500 mg (k/p)
- Transfusi Albumin 1 fl
- Furosemid 1x1 ampul
- Transfusi PRC 1 Kolf
IX. Prognosis
-

Quo ad vitam
: ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

X. Follow-up
16 Desember 2013

S/ : Perut masih terasa sakit, mual (+) namun tidak muntah. Kepala
terasa pusing, nafsu makan berkurang dan tidak bisa tidur.
O/ : KU : Lemah, Kesadaran : Compos mentis
TD: 10/70, N: 84 x/menit, S: 37,5C, RR: 24 x/menit
Kepala : Normocephale
Mata : CA -/- SI +/+
THT : dbn
Thoraks : Simetris
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : SN Vesikular, ronki-/- wheezing -/Abd : BU (+) normal, supel, nyeri tekan epigastrium (+), NT
Kuadran kanan atas (+)
Eks : Hangat, edema tungkai (+)
A/ : Jaundice e.c Colesistitis
P/ : IVFD RL 20 tpm
Ketorolac inj 2x1 ampul
Curcuma 3x1
Ranitidin inj 2x1 ampul
Ceftriaxone 1x2 gr drip NS100

20

17 Desember 2013

Rencana USG
S/ : Perut masih terasa sakit, mual (+) namun tidak muntah. Kepala
terasa pusing, BAK dan BAB tidak ada keluahn.
O/ : KU : Lemah, Kesadaran : Compos mentis
TD: 120/70, N: 80 x/menit, S: 36C, RR: 20 x/menit
Kepala : Normocephale
Mata : CA -/- SI +/+ RC +/+
THT : dbn
Thoraks : Simetris
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : SN Vesikular, ronki-/- wheezing -/Abd : BU (+) normal, supel, NT epigastrium (+) NT kuadran
kanan atas (+)
Eks : Hangat, edema tungai +/+
A/ : Abses Hepar
P/ : IVFD RL 20 tpm
Ketorolac inj 2x1 ampul
Ranitidin inj 2x1 ampul
Levofloxacin 1x50mg

18 Desember 2013

Metronidazole 3x500 mg
S/ : Perut masih terasa sakit, mual (+) namun tidak muntah. Kepala
terasa pusing, BAK dan BAB tidak ada keluahan.
O/ : KU : Lemah, Kesadaran : Compos mentis
TD: 90/60, N: 80 x/menit, S: 37,8C, RR: 22 x/menit
Kepala : Normocephale
Mata : CA -/- SI +/+ RC +/+
THT : dbn
Thoraks : Simetris
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : SN Vesikular, ronki-/- wheezing -/Abd : BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium (+) NT kuadran
kanan atas (+) undulasi (+) shifting dullness (+)
Eks : Hangat, edema tungai +/+
A/ : Abses Hepar
P/ : IVFD RL 20 tpm
Ketorolac inj 2x1 ampul

21

Ranitidin inj 2x1 ampul


Levofloxacin 1x50mg
Metronidazole 3x500 mg
Rencana aspirasi Abses
19 Desember 2013

Rencana transfuse albumin 1 fl


S/ : Perut masih terasa sakit, mual (+) namun tidak muntah. Kepala
terasa pusing, BAK dan BAB tidak ada keluahan.
O/ : KU : Lemah, Kesadaran : Compos mentis
TD: 90/60, N: 80 x/menit, S: 37,8C, RR: 22 x/menit
Kepala : Normocephale
Mata : CA -/- SI +/+ RC +/+
THT : dbn
Thoraks : Simetris
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : SN Vesikular, ronki-/- wheezing -/Abd : BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium (+) NT kuadran
kanan atas (+) undulasi (+) shifting dullness (+)
Eks : Hangat, edema tungai +/+
A/ : Abses Hepar
P/ : IVFD RL 20 tpm
Ketorolac inj 2x1 ampul
Ranitidin inj 2x1 ampul
Levofloxacin 1x50mg
Metronidazole 3x500 mg

20 Desember 2013

transfuse albumin 1 fl
S/ : Perut masih terasa sakit, mual (+) namun tidak muntah. Kepala
terasa pusing, BAK sedikit, warna agak keruh dan BAB tidak ada
keluahan, minum minimal.
O/ : KU : Lemah, Kesadaran : Compos mentis
TD: 90/60, N: 80 x/menit, S: 37,8C, RR: 22 x/menit
Kepala : Normocephale
Mata : CA -/- SI +/+ RC +/+
THT : dbn
Thoraks : Simetris
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : SN Vesikular, ronki-/- wheezing -/-

22

Abd : BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium (+) NT kuadran


kanan atas (+) hepatomegaly, teraba massa, undulasi (+) shifting
dullness (+)
Eks : Hangat, edema tungai +/+
A/ : Abses Hepar
P/ : IVFD RL 20 tpm
Ketorolac inj 2x1 ampul
Ranitidin inj 2x1 ampul
Levofloxacin 1x50mg
Metronidazole 3x500 mg
21 Desember 2013

Aspirasi abses
S/ : Perut masih terasa sakit, mual (+) namun tidak muntah. Kepala
terasa pusing, BAK sedikit, warna agak keruh dan BAB tidak ada
keluahan, minum minimal, nafsu makan menurun.
O/ : KU : Lemah, Kesadaran : Compos mentis
TD: 120/70, N: 80 x/menit, S: 37,2C, RR: 24 x/menit
Kepala : Normocephale
Mata : CA -/- SI +/+ RC +/+
THT : dbn
Thoraks : Simetris
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : SN Vesikular, ronki-/- wheezing -/Abd : BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium (+) NT kuadran kanan
atas (+) hepatomegaly, teraba massa, undulasi (+) shifting dullness
(+)
Eks : Hangat, edema tungai +/+
A/ : Abses Hepar
P/ : IVFD RL 20 tpm
Ketorolac inj 2x1 ampul
Ranitidin inj 2x1 ampul

23 Desember 2013

Levofloxacin 1x50mgMetronidazole 3x500 mg


S/ : Perut semakin terasa sakit, mual (+) namun tidak muntah. Kepala
terasa pusing, BAK sedikit, warna agak keruh dan BAB tidak ada
keluahan, minum minimal.
O/ : KU : Lemah, Kesadaran : Compos mentis
TD: 100/70, N: 80 x/menit, S: 37,1C, RR: 24 x/menit

23

Kepala : Normocephale
Mata : CA -/- SI +/+ RC +/+
THT : dbn
Thoraks : Simetris
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : SN Vesikular, ronki-/- wheezing -/Abd : BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium (+) NT kuadran kanan
atas (+) hepatomegaly, teraba massa, undulasi (+) shifting dullness
(+)nyeri ketuk (+)
Eks : Hangat, edema tungai +/+
A/ : Abses Hepar
P/ : IVFD RL 20 tpm
Ketorolac inj 2x1 ampul
Ranitidin inj 2x1 ampul
Levofloxacin 1x50mg
Metronidazole 3x500 mg
26 Desember 2013

S/ : badan bertambah lemas, Perut masih terasa sakit, mual (+) namun
tidak muntah. Kepala terasa pusing, BAK sedikit, warna agak
keruh dan BAB tidak ada keluahan, minum minimal.
O/ : KU : Lemah, Kesadaran : Compos mentis
TD: 90/60, N: 80 x/menit, S: 37,8C, RR: 22 x/menit
Kepala : Normocephale
Mata : CA -/- SI +/+ RC +/+
THT : dbn
Thoraks : Simetris
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : SN Vesikular, ronki-/- wheezing -/Abd : BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium (+) NT kuadran kanan
atas (+) hepatomegaly, teraba massa, undulasi (+) shifting dullness
(+)
Eks : Hangat, edema tungai +/+
A/ : Abses Hepar
P/ : IVFD RL 20 tpm
Ketorolac inj 2x1 ampul
Ranitidin inj 2x1 ampul
24

Levofloxacin 1x50mg
Metronidazole 3x500 mg
Furosemide 1 amp
Spironolakton 2x100 mg
28 Desember 2013

Diet tinggi protein


S/ : tida bisa tidur dan semakin sesak. Perut masih terasa sakit, mual
(+) namun tidak muntah. Kepala terasa pusing, BAK sedikit,
warna agak keruh dan BAB tidak ada keluahan, minum minimal.
O/ : KU : Lemah, Kesadaran : Compos mentis
TD: 100/770, N: 80 x/menit, S: 37,8C, RR: 22 x/menit
Kepala : Normocephale
Mata : CA -/- SI +/+ RC +/+
THT : dbn
Thoraks : Simetris
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : SN Vesikular, ronki-/- wheezing -/Abd : BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium (+) NT kuadran kanan
atas (+) hepatomegaly, teraba massa, undulasi (+) shifting dullness
(+)
Eks : Hangat, edema tungai +/+
A/ : Abses Hepar
P/ : IVFD RL 20 tpm
Ketorolac inj 2x1 ampul
Ranitidin inj 2x1 ampul
Levofloxacin 1x50mg
Metronidazole 3x500 mg Furosemide 1 amp
Spironolakton 2x100 mg

31 Desember 2013

Diet tinggi protein


S/ : Perut masih terasa sakit, mual (+) namun tidak muntah. Kepala
terasa pusing, BAK sedikit, warna agak keruh dan BAB tidak ada
keluahan, minum minimal.
O/ : KU : Lemah, Kesadaran : Compos mentis
TD: 100/60, N: 80 x/menit, S: 37,8C, RR: 26 x/menit
Kepala : Normocephale
Mata : CA -/- SI +/+ RC +/+
THT : dbn

25

Thoraks : Simetris
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : SN Vesikular, ronki-/- wheezing -/Abd : BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium (+) NT kuadran kanan
atas (+) hepatomegaly, teraba massa, undulasi (+) shifting dullness
(+)
Eks : Hangat, edema tungai +/+
A/ : Abses Hepar
P/ : IVFD RL 20 tpm
Ketorolac inj 2x1 ampul
Ranitidin inj 2x1 ampul
Levofloxacin 1x50mg
Metronidazole 3x500 mg
02 Januari 2014

Rencana pungsi efusi pleura


S/ : mual (+) sejak semalam, sesak (-) BAB tadi malam berwarna
kehijauan, keadaan sudah mulai membaik
O/ : KU : sedang, Kesadaran : Compos mentis
TD: 110/70, N: 80 x/menit, S: 36,8C, RR: 22 x/menit
Kepala : Normocephale
Mata : CA -/- SI +/+ RC +/+
THT : dbn
Thoraks : Simetris
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : SN Vesikular, ronki-/- wheezing -/Abd : BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium (+) NT kuadran kanan
atas sudah berkurang
Eks : Hangat, edema tungai +/+
A/ : Abses Hepar
P/ : Rawat Jalan
Metronidazole 3x500 mg tab 1x1
Furosemid 2x1
Spironolactone 1x25 mg

26

ABSES HEPAR
A. PENDAHULUAN
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari
sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau
sel darah didalam parenkim hati .(1)
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan
abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik,
termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver
abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini
merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400
SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1)
Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang
jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus
urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan.
Di negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan
secara endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa
dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis,
etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta
prognosisnya. (2)
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI HATI
Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar
1.500gr atau 2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di
regio hipokondria dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria
sinistra. Hati memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan
dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan.
Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum

27

falsiformis. Di bawah peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut


kapsula Glisson yang meliputi seluruh permukaan hati. Setiap lobus hati
terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai lobulus, yang
merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ yang terdiri atas lempenglempeng sel hati dimana diantaranya terdapat sinusoid. Selain sel-sel hati,
sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan
makrofag yang melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis bakteri dan
benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Hati memiliki suplai darah dari
saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui
arteria hepatika. (2,3,4)

Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di antaranya


yaitu: (3,4,5,6)
Pembentukan dan ekskresi empedu

28

Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam empedu
penting untuk pencernaan dan absopsi lemak serta vitamin larut-lemak di
dalam usus.
Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak,
protein) setelah penyerapan dari saluran pencernaan
a. Metabolisme karbohidrat : menyimpan glikogen dalam jumlah besar,
konversi galaktosa dan friktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta
pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme
karbohidrat.
b. Metabolisme lemak : oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi
fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan sebagian besar
lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan karbohidrat
c. Metabolisme protein : deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk
mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma,
serta interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari
asam amino.
Penimbunan vitamin dan mineral
Vitamin larut-lemak ( A,D,E,K ) disimpan dalam hati, juga vitamin B 12,
tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling banyak
disimpan dalam hati adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan
B12 juga disimpan secara normal.
Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin
Sel hati mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferritin, yang
dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun banyak.
Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka besi
akan berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan dalam
bentuk ini di dalam sel hati sampai diperlukan. Bila besi dalam sirkulasi
cairan tubuh mencapai kadar rendah, maka ferritin akan melepaskan besi.
Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam
jumlah banyak

29

Zat-zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses koagulasi


meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan
beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses
metabolisme hati, untuk membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X.
Hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon, dan zat
lain
Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam melakukan
detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi sulfonamid,
penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu. Beberapa hormon
yang disekresi oleh kelenjar endokrin diekskresi atau dihambat secara kimia
oleh hati meliputi tiroksin dan terutama semua hormon steroid seperti
estrogen, kortisol, dan aldosteron.
Hati berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi
Hati adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat penampungan
darah yang bermakna saat volume darah berlebihan dan mampu menyuplai
darah ekstra di saat kekurangan volume darah. Sinusoid hati merupakan depot
darah yang mengalir kembali dari vena cava (gagal jantung kanan). kerja
fagositik sel Kupffer membuang bakteri dan debris dari darah.
C. EPIDEMIOLOGI
Di negara negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh
dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi yang
kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 15 per 100.000 kasus AHP yang
memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat,
didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29 1,47% sedangkan
prevalensi di RS antara 0,008 0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria
dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun,
dengan insidensi puncak pada dekade ke 6. (1)
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal
setelah otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG,
CT Scan dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi

30

otopsi berkisar antara 0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000


penderita. (2)
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens
amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di
berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun.
Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar
3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya
melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang
menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering
dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama
dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki
prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang
padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. (2,7)
D. ETIOLOGI
D.1 Abses Hati Amebik
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai
parasit non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba
histolytica yang dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil
individu yang terinfeksi Entamoeba histolytica yang memberikan gejala
amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis Entamoeba histolytica yaitu
strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain
Entamoeba

histolytica

ini

berbeda

berdasarkan

kemampuannya

menimbulkan lesi pada hati. (2)

31

Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar(5)


Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang
mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3
bentuk parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif,
mampu memasuki organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif
bergerak dan bentuk prakista yang merupakan bentuk antara kedua
stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup
komensal di dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara membelah diri
menjadi 2 atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan hanya
perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini tidak
penting untuk penularan karena dapat mati terpajan hidroklorida atau
enzim pencernaan. Jika terjadi diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um
yang berpseudopodia keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar
sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease
yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan
destruksi jaringan. Bentuk tropozoit ini akan mati dalam suasana kering
atau asam. Bila tidak diare/disentri tropozoit akan membentuk kista
sebelum keluar ke tinja. (2,6)
Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan
berperan dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan,
tahan asam lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4
inti merupakan bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier ke
manusia lainnya. Kista berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding

32

kaku. Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya bahan


makanan atau perubahan osmolaritas media. (2,9)
D.2 Abses Hati Piogenik
Etiologi

AHP

adalah

enterobacteriaceae,

microaerophilic

streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes,


fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida
albicans,

aspergillus,

actinomyces,

eikenella

corrodens,

yersinia

enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme


penyebab yang paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella
pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari
bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus Milleri ). Staphylococcus
aureus biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki
penyakit granuloma yang kronik. Organisme yang jarang ditemukan
sebagai penyebabnya adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia.
Kebanyakan abses hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam
abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui :
1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa
menyebabkan fileplebitis porta
2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik
3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis,
peritonitis, dan infeksi post operasi
4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau
saluran-saluran

empedu.

Obstruksi

bilier

ekstrahepatik

menyebabkan kolangitis. Penyebab lainnya biasanya berhubungan


dengan

choledocholithiasis,

tumor

jinak

dan

ganas

atau

pascaoperasi striktur.
5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan
cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses
piogenik.
6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada
orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan
diabetes atau kanker metastatik. (1,7,10,11)
E. PATOGENESIS

33

E.1 Abses Hepar Amebik


Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista,
baik melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi
langsung pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang
terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun anal. (11,12)
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit

yang

menyebabkan penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat


ditemukan pada lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung
namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian
kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan
mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim
cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan
menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum.
Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam
aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi
enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati
terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan
infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti
dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti
jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%)
karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan
vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika
inferior dan aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung
pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai achovy
paste dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta
sel darah merah yang dicerna. (2,8,12,13)
E.2 Abses Hepar Piogenik
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses.
Dari suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses
viseral. Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini
dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari

34

tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima


darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini
memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang
berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid
hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri
piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung dari
organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri
hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi
aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya
tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari
vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses
fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara
hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat
trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati
sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan
nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran
empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan
kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi
pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding
lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan
menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal
sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior
dan aliran limfatik. (1,10)

F. GAMBARAN KLINIS
F.1 Abses Hepar Amebik (2,8,9,13,)
Gejala :
a. Demam internitten ( 38-40 oC)

35

b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

hingga bahu kanan dan daerah skapula


Anoreksia
Nausea
Vomitus
Keringat malam
Berat badan menurun
Batuk
Pembengkakan perut kanan atas
Ikterus
Buang air besar berdarah
Kadang ditemukan riwayat diare
Kadang terjadi cegukan (hiccup)

Kelainan fisis :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Ikterus
Temperatur naik
Malnutrisi
Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi
Nyeri perut kanan atas
Fluktuasi

F.2 Abses hati piogenik (1,2,8,15)


Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang
lebih berat dari abses hati amuba.
Keluhan :
a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang
disertai menggigil
b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke
c.
d.
e.
f.
g.
h.

depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya.


Mual dan muntah
Berkeringat malam
Malaise dan kelelahan
Berat badan menurun
Berkurangnya nafsu makan
Anoreksia

Pemeriksaan fisis :
a.
b.
c.
d.

Hepatomegali
Nyeri tekan perut kanan
Ikterus, namun jarang terjadi
Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
36

e. Buang air besar berwarna seperti kapur


f. Buang air kecil berwarna gelap
g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik
G. DIAGNOSIS
G.1 Abses hati amebik (2,9)
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan
trofozoit amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat
dipertimbangkan

jika

terdapat

demam,

nyeri

perut

kanan

atas,

hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan
leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi
dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes
serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan
kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria
Lamont dan Pooler.
a. Kriteria Sherlock (1969)
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5. Aspirasi pus
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
b. Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respons terhadap terapi amebisid
c. Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis
4. Pus amebik
5. Tes serologi positif
6. Kelainan sidikan hati
7. Respons terhadap terapi amebisid
G.2 Abses hati piogenik

37

Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis


dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadangkadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik.
Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun
pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi
untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan.
Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun
terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian.
Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri
penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar
emas untuk diagnosis. (1)
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
H.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan
hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL 3 . pada
pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,623,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L,
SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan yang
didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang,
leukositosis berkisar 15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan
ringan sampai sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan
adanya Ag atau Ab yang spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal
infeksi. Ada beberapa uji yang banyak digunakan antara lain
hemaglutination (IHA), countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA.
Real Time PCR cocok untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus
penderita abses hepar. (2,7,9)
Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis
dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah,
gangguan fungsi hati seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase,
peningkatan

enzim

transaminase,

serum

bilirubin,

berkurangnya

konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin yang memanjang

38

menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati. Kultur darah yang


memperlihatkan bakterial penyebab menjadi standar emas untuk
menegakkan diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada
permulaan penyakit sering tidak ditemukan kuman. Kuman yang sering
ditemukan adalah kuman gram negatif seperti Proteus vulgaris,
Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan kuman
anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau
Fusobacterium sp. (1,2)
H.2 Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan
peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan
diafragma efusi pleura kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto
polos abdomen tidak begitu banyak. Mungkin berupa gambaran ileus,
hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan
air fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG
sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis
hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding yang berarti
ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal bersentuhan dengan
kapsul hati dan peninggian sonic distal. Gambaran CT scan : 85 % berupa
massa soliter relatif besar, monolokular, prakontras tampak sebagai massa
hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca
kontras tampak penyengatan pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat
pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta. (2)

Gambaran CT Scan pada abses hati amebic(8)

39

Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang


didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma
kanan, efusi pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru. Pada
foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut
kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik abses merupakan
daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau cairan pada
subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan
dan MRI mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat
menetapkan lokasi abses lebih akurat terutama untuk drainase perkutan
atau tindakan bedah. Gambaran CT scan : apabila mikroabses berupa lesi
hipodens kecil-kecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur, rim
enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil.
Apabila mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak
massa agak besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai
masa low density berbatas suram. Pasca kontras fase arterial tampak
gambaran khas berupa masa dengan rim enhancement dimana hanya
kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah abses terlihat
hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga
membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding
kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak
area yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil
piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses
amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh
kuman Klebsiella. (1,2,)

40

Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada


segmen IV. Abses lainnya terdapat pada segmen VII dan VIII.(8)
Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan
penyengatan kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak
tampak penyengatan. Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase tunda. (2)
Sangat sukar dibedakan gambaran USG antara abses piogenik dan amebik.
Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular. Struktur eko rendah
sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-bercak hiperekoik
(debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama makin
bertambah tebal. (16)
I. PENATALAKSANAAN
I.1 Abses hati amebik (2,12,14,17)
1. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan
penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk
amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang
paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap
logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah 3
x 750 mg per hari selama 5 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 3550 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole
lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800
mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari
dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan
untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari
atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10
hari. DHE relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan

41

kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan


pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak
c. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal
ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150
mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang
dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari
selama 20 hari.
2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di
atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada
ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan
kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi.
Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur
atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi
campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda
perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan
berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan
perikardial.
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis
susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah
diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi
mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.
Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami
infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila
usaha

dekompresi

perkutan

tidak

berhasil

Laparoskopi

juga

42

dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya


ruptur abses amuba intraperitoneal.
I.2 Abses hati piogenik (1,2,7,10)
Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses
hati piogenik yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu
ataupun tumor dengan rute transhepatik atau dengan
melakukan endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang
adekuat dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang
berasal dari saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena
sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 12 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan
beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya
sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2
gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk
bakteri anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole
500 mg/6 jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisinmetronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.
Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase
terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan
abdomen ultrasound atau tomografi komputer.
Drainase bedah

43

Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi


perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen
yang memerlukan manajemen operasi.
J. KOMPLIKASI
J.1 Abses Hepar Amoeba
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %.
Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau
kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau
drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum
terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi serosa simpatik,
pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan
empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim.
Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan
nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi.
Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri
hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses
dapat ke organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm
arteri hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. (12,13,14)
J.2 Abses Hepar Piogenik
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti
septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai
peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal,
gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula
hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau retroperineum. Sesudah
mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi luka, abses
rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses. (1)
K. PROGNOSIS
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,
metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah
sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan
fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai
mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi

44

mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai
40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek,
malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom
hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi
penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya
komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5%

pasien dengan infeksi

ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium. (2,13)


Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang
akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur
anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase
secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur,
jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan
fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir
mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur
abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia,
dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan
mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas
abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial
penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila:
terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya
hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis,
keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap
abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit
lain. (1,2)
L. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS (18)
Differential Diagnosis
Hepatoma

Manifestasi Klinis
Merupakan tumor ganas hati primer.
Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan
atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas.
Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol,
stigmata penyakit hati kronik.
Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali

45

fosatase
USG : lesi lokal/ difus di hati
Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat

Kolesistitis akut

infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut


kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan.
Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas
yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam.
Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu,
nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal,
Murphy sign (+), ikterik biasanya menunjukkan
adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik.
Laboratorium: leukositosis
USG : penebalan dining kandung empedu, sering
ditemukan pula sludge atau batu.

Hipoalbuminemia
A. Definisi Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah nilai normal
atau keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL (Muhammad Sjaifullah
Noer, Ninik Soemyarso, 2006 dan Diagnose-Me.com, 2007). Hipoalbuminemia
mencerminkan pasokan asam amino yang tidak memadai dari protein, sehingga
mengganggu sintesis albumin serta protein lain oleh hati (Murray, dkk, 2003).
Di Indonesia, data hospital malnutrition menunjukkan 40-50% pasien
mengalami hipoalbuminemia atau berisiko hipoalbuminemia, 12% diantaranya
hipoalbuminemia berat, serta masa rawat inap pasien dengan hospital
malnutrition menunjukkan 90% lebih lama daripada pasien dengan gizi baik (Tri
Widyastuti dan M. Dawan Jamil, 2005).
B. Klasifikasi Hipoalbuminemia
46

Defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan selisih


atau jarak dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,55 g/dl atau total
kandungan albumin dalam tubuh adalah 300-500 gram (Albumin.htm, 2007 dan
Peralta, 2006). Klasifikasi hipoalbuminemia menurut Agung M dan Hendro W
(2005) adalah sebagai berikut:
1. Hipoalbuminemia ringan

: 3,53,9 g/dl

2. Hipoalbuminemia sedang : 2,53,5 g/dl


3. Hipoalbuminemia berat

: < 2,5 g/dl

C. Penyebab Hipoalbuminemia
Menurut Iwan S. Handoko (2005), Adhe Hariani (2005) dan Baron (1995)
hipoalbuminemia adalah suatu masalah umum yang terjadi pada pasien.
Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh masukan protein yang rendah,
pencernaan atau absorbsi protein yang tak adekuat dan peningkatan kehilangan
protein yang dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi medis kronis dan akut:
1. Kurang Energi Protein,
2. Kanker,
3. Peritonitis,
4. Luka bakar,
5. Sepsis,
6. Luka akibat Pre dan Post pembedahan (penurunan albumin plasma yang terjadi
setelah trauma),
7. Penyakit hati akut yang berat atau penyakit hati kronis (sintesa albumin menurun),
8. Penyakit ginjal (hemodialisa),
9. Penyakit saluran cerna kronik,

47

10.

Radang atau Infeksi tertentu (akut dan kronis),

11.

Diabetes mellitus dengan gangren, dan

12.

TBC paru.

D. Terapi Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia dikoreksi dengan Albumin intravena dan diet tinggi
albumin (Sunanto, 2006), dapat dilakukan dengan pemberian diet ekstra putih
telur, atau ekstrak albumin dari bahan makanan yang mengandung albumin dalam
kadar yang cukup tinggi. Penangan pasien hipoalbumin di RS dr. Sardjito
Yogyakarta dilakukan dengan pemberian putih telur sebagai sumber albumin dan
sebagai alternatif lain sumber albumin adalah ekstrak ikan lele (Tri Widyastuti dan
M. Dawan Jamil, 2005). Sedangkan pada RS dr. Saiful Anwar Malang,
penanganan pasien hipoalbuminemia dilakukan dengan pemberian BSA (Body
Serum Albumer), dan segi gizi telah dilakukan pemanfaatan bahan makanan
seperti estrak ikan gabus, putih telur dan tempe kedelai (Illy Hajar Masula, 2005).

EFUSI PLEURA

1. DEFINISI3,4
Efusi pleura adalah penimbunan cairan pada rongga pleura (1)atau Efusi pleura
adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di
dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidak seimbangan antara pembentukan dan
pengeluaran cairan pleura.
Dalam konteks ini perlu di ingat bahwa pada orang normal rongga pleura ini juga
selalu ada cairannya yang berfungsi untuk mencegah melekatnya pleura viseralis dengan
pleura parietalis. Sehingga dengan demikian gerakan paru (mengembang dan mengecil)
dapat berjalan dengan mulus. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga

48

pleura sekitar 10-20 ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma,
kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu< 1,5 gr/dl.
Ada beberapa jenis cairan yang bisa berkumpul di dalam rongga pleura antara
lain darah, pus, cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi (2)

a. Hidrotoraks
Pada keadaan hipoalbuminemia berat, bisa timbul transudat. Dalam
hal ini penyakitnya disebut hidrotorak dan biasanya ditemukan bilateral.
Sebab-sebab lain yang mungkin adalah kegagalan jantung kanan, sirosis
hati dengan asites, serta sebgai salah satu tias dari syndroma meig
(fibroma ovarii, asites dan hidrotorak).
b. Hemotoraks
Hemotorak adalah adanya darah di dalam rongga pleura. Biasanya
terjadi karena trauma toraks. Trauma ini bisa karna ledakan dasyat di dekat
penderita, atau trauma tajam maupu trauma tumpul. Kadar Hb pada
hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah
hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini
mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya
diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka
biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.Penyebab lainnya
hemotoraks adalah:
Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan

darahnya ke dalam rongga pleura.


Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta)

yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.


Gangguan pembekuan darah, akibatnya darah di dalam rongga
pleura tidak membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah

dikeluarkan melelui sebuah jarum atau selang.


c. Empiema
Bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan pleura
patologis iniakan berubah menjadi pus, maka keadaan ini disebut piotoraks
atau empiema. Pada setiap kasus pneumonia perlu diingat kemungkinan
terjadinya empiema sebagai salah satu komplikasinya.

Empiema bisa

merupakan komplikasi dari:


Pneumonia
Infeksi pada cedera di dada
49

Pembedahan dada
d. Chylotoraks
Kilotoraks adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan kil/getah
bening pada rongga pleura. Adapun sebab-sebab terjadinya kilotoraks
antaralain :

Kongenital, sejak lahir tidak terbentuk (atresia) duktus torasikus,


tapi terdapat fistula antara duktus torasikus rongga pleura.
Trauma yang berasal dari luar seperti penetrasi pada leher dan
dada, atau pukulan pada dada (dengan/tanpa fratur).Yang berasal
dari efek operasi daerah torakolumbal, reseksi esophagus 1/3
tengah dan atas, operasi leher, operasi kardiovaskular yang
membutuhkan mobilisasi arkus aorta.
Obstruksi Karena limfoma malignum, metastasis karsinima ke
mediastinum,

granuloma

mediastinum

(tuberkulosis,

histoplasmosis).
Penyakit-penyakit ini memberi efek obstruksi dan juga perforasi terhadap
duktus torasikus secara kombinasi. Disamping itu terdapat juga penyakit
trombosis vena subklavia dan nodul-nodul tiroid yang menekan duktus torasikus
dan menyebabkan kilotoraks

2. EPIDEMIOLOGI 4
Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di negaranegara industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi penyakit yang
mendasarinya.
Secara umum, kejadian efusi pleura adalah sama antara kedua jenis kelamin.
Namun, penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks. Sekitar dua pertiga dari efusi
pleura ganas terjadi pada wanita. Efusi pleura ganas secara signifikan berhubungan
dengan keganasan payudara dan ginekologi. Efusi pleura yang terkait dengan lupus
eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria

50

3. ETIOLOGI 4
Ruang pleura normal mengandung sekitar 1 mL cairan, hal ini memperlihatkan
adanya keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik dalam pembuluh
darah pleura viseral dan parietal dan drainase limfatik luas. Efusi pleura merupakan hasil
dari ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik.
Efusi pleura merupakan indikator dari suatu penyakit paru atau non pulmonary,
dapat bersifat akut atau kronis. Meskipun spektrum etiologi efusi pleura sangat luas, efusi
pleura sebagian disebabkan oleh gagal jantung kongestif,. pneumonia, keganasan, atau
emboli paru. Mekanisme sebagai berikut memainkan peran dalam pembentukan efusi
pleura:

1. Perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya, radang, keganasan,


emboli paru)
2. Pengurangan

tekanan

onkotik

intravaskular

(misalnya,

hipoalbuminemia, sirosis)
3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan pembuluh darah
(misalnya, trauma, keganasan, peradangan, infeksi, infark paru, obat
hipersensitivitas, uremia, pankreatitis)
4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan /
atau paru-paru (misalnya, gagal jantung kongestif, sindrom vena kava
superior)
5. Pengurangan tekanan dalam ruang pleura, mencegah ekspansi paru penuh
(misalnya, atelektasis yang luas, mesothelioma)
6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan lengkap, termasuk
obstruksi duktus toraks atau pecah (misalnya, keganasan, trauma)
7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi di diafragma melalui
limfatik atau cacat struktural (misalnya, sirosis, dialisis peritoneal)
8. Perpindahan cairan dari edema paru ke pleura viseral
9. Peningkatan tekanan onkotik di cairan pleura yang persisiten
menyebabkan adanaya akumulasi cairan di pleura

4. KLASIFIKASI (5)
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme pembentukan cairan
dan kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat atau eksudat. Transudat hasil dari

51

ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik, sedangkan


eksudat adalah hasil dari peradangan pleura atau drainase limfatik yang menurun. Dalam
beberapa kasus mungkin terjadi kombinasi antara karakteristk cairan transudat dan
eksudat.

1. Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan:


a. Transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah
transudat. Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan kapiler
hidrostatik dan koloid osmotic, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura
melebihi reabsorpsinya oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada:

1.
2.
3.
4.

Meningkatnya tekanan kapiler sistemik


Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura
Menurunnya tekanan intra pleura

Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:


a. Gagal jantung kiri (terbanyak)
b. Sindrom nefrotik
c. Obstruksi vena cava superior
d. Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau
masuk melalui saluran getah bening)

b. Exusadat
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler
yang permeabelnya
dibandingkan

protein

abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi


transudat.

Bila

terjadi

proses

peradangan

maka

permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga selmesotelial


berubahmenjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan kedalam
rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa.
Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah
bening. Kegagalan aliran protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis
tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan konsentasi protein cairan pleura,
sehingga menimbulkan eksudat.

52

Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:

a.
b.
c.
d.
e.
f.

Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)


Tumor pada pleura
Infark paru,
Karsinoma bronkogenik
Radiasi,
Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic Lupus
Eritematosis).

Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar
Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan, pleura. Efusi pleura eksudatif
memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut ini, sementara efusi pleura
transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga criteria ini:

Protein cairan pleura / protein serum > 0,5


LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang
normal didalam serum.

5 . PATOFISIOLOGI3, 4

53

Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura
melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi oleh saluran
limfe, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi. Kemampuan untuk
reabsorpsinya dapat meningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan reabsorpsinya
tidak seimbang (produksinya meningkat atau reabsorpsinya menurun) maka akan timbul
efusi pleura
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan
dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara
lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi yang terjadi karena
perbedaan tekanan osmotic plasma danjaringan interstitial submesotelial kemudian
melalui sel mesotelial masuk kedalam rongga pleura. Selain itucairan pleura dapat
melalui pembuluh limfe sekitar pleura. Pergerakan cairan dari pleura parietalis ke pleura
visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaantekanan hidrostatik dan tekanan koloid
osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil
yang diabsorpsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan
pada pleura visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial.
Bila penumpukan cairan dalam rongga pleura disebabkan oleh peradangan. Bila
proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi
empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat
menyebabkan hemotoraks. Penumpukan cairan pleura dapat terjadi bila:

1. Meningkatnya
pembentukan

tekanan
cairan

intravaskuler

pleura

melalui

dari

pleura

pengaruh

meningkatkan

terhadap

hukum

Starling.Keadaan ni dapat terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung


kiri dan sindroma vena kava superior.
2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada
atelektasis, baik karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis.
3. Meningkatnya kadar proteindalam cairan pleura dapat menarik lebih
banyak cairan masuk ke dalam rongga pleura
4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan
transudasi cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura
5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe
bermuara pada vena untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena
sistemik akan menghambat pengosongan cairan limfe, gangguan kontraksi
saluran limfe, infiltrasi pada kelenjar getah bening.

54

Efusi

pleura

akan

menghambat

fungsi

paru

dengan

membatasi

pengembangannya. Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung pada ukuran dan
cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun secara perlahan-lahan maka
jumlah cairan yang cukup besar mungkin akan terkumpul dengan sedikit gangguan fisik
yang nyata.
Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan menyebabkan
gagal nafas. Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan pernafasan bila tekanan partial
Oksigen (Pa O2) 60 mmHg atau tekanan partial Karbondioksida arteri (Pa Co2) 50
mmHg melalui pemeriksaan analisa gas darah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam :
Sudoyo,Aru W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus.
Setiati,Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461.
2. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul.
Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic
resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam :
Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M.
Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal
1, 80-83, 93-94, 487-491, 513-514.
3. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas.
Dalam : Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476.
4. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku
ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.
5. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari
sel ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.

55

6. Keshav, Satish. Structure and function. In : The gastrointestinal system at a


glance. United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter
27-28.
7. Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver,
biliary tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In :
Papadakis, Maxine A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current
medical diagnosis and treatment 2008 forty-seventh edition. Jakarta : PT.
Soho Industri Pharmasi. 2008. Page 596, 1304-1306.
8. Krige,J. Beckingham, I.J. Liver abscesses and hydatid disease. In :
Beckingham, I.J. ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain :
GraphyCems,Navarra. 2001. Chapter 40-42
9. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis.
Surabaya : Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.
10. Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. January 23 th, 2009. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/193182overview#showall.
11. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran.
Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007.
Hal 684.
12. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrisons principles of internal
medicine 17th edition. USA. 2008. Chapter 202.
13. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920overview#showall.
14. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses
hati amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1
November 2011. Diunduh dari :
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati
%20amuba%20(dr%20arini).pdf.
15. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson
textbook of pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356.
16. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi
diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469.
17. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan.
Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta :
Balai Penerbit UI. 2008. Hal 551-554.

56

18. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika
Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam :
Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam
Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321324.
19. Almatsier, Sunita. Diet penyakit hati dan kandung empedu. Dalam :
Penuntun diet edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010. Hal
120-122.

57

Vous aimerez peut-être aussi