Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
membela diri di sebuah negara yang menyebut dirnya negara demokrasi. Saya
melihat buku Herlambang ini sebagai sebuah usaha baru untuk menegakkan hak bela
diri dari semua korban kekerasan Orba di masa lalu yang hingga kini pengaruhnya
masih sangat kuat. Dan yang menjadi korban sekarang ini bukan lagi semata kaum
komunis (mereka sudah hampir habis) tapi yang non Komunis dan juga
lapisan sebagian terbesar rakyat hingga ke segolongan intelektuil yang juga non
Komunis harus hidup dalam ketegangan karena selalu dalam kekuatiran dituduh
Komunis dan bahkan hingga didiskriminasi bila telah dicurigai sebagai bersimpati
dengan Komunis. Saya yakin bung Salim tidak akan setuju denga situasi yang begini.
Saya sendiri secara pribadi tidak setuju MK dilarang meskipun jiwa MK tidak saya
setujui. Saya juga adalah penganut kebebasan ber-ekspressi dalam pengertian
umum dan yang sedang aaya lakukansekarang ini adalah justru saya sedang
menggunakan kebebasan itu. Tanpa adanya kebebasan ber-expresi tidak akak lahir
karya manusia yang wajar. Tapi kebebasan ber-expressi yang diberi isi tujuan
membasmi Komunisme sudah pasti saya tentang yang kebebasan semacam itu
dikemudikan oleh kekuatan sebuah penguasa negara dengan tujuan menghancurkan
kebebasan ber-expressi orang lain maupun pihak lawan. Dan MK telah menjadi alat
langsung penguasa Orba turut serta menghancurkan Komunisme dengaan senjata
budaya seni mereka Kebebasan ber-expessi yang mereka tafsirkan secara palsu dan
penipuan sehingga istilah "kebebasan ber-expressi" yang didominasi dan menuurut
tafsiran MK membuat banyak orang menjadi takut untuk menentangnya tapi bila
membelanya berarti akan turut-turut memerangi Komunis.
Menurut saya Nasakom sama sekali bukan membuat PKI menjadi besar malah
sebaliknya Nasakom yang disokong PKI telah membuat PKI menambah musuh
secara tidak perlu. Sebelum Nasakom dilahirkaan secara formal setiap anggota PKI
yang menjalankan ajaran agama Islam bisa dengan tenang melakukannya yang
memang amat jelas PKI membiarkan semua anggotanya menganut sesuatu agama
yang dipilihnya meskipun PKI bukan nengurusi soal agama karna PKI adalah Partai
Politik. Tapi begitu Nasakom-nya Presiden Soekarno disokong kuat oleh PKI, Partai
menghadapi banyak musuh dari kalangan Islam di luar PKI. PKI membesar
dan berkembang adalah karena Partai menempuh jalan yang salah: jalan damai untuk
merebut kekuasaan. Tapi PKI ketika itu dengan penuh kesedaran menempuh dan
melaksanakan garis politik jalan damai yang punya risiko fatal yang sama dengan
yang ditempuh Presiden Soekarno di saat-saat menentukan di puncak kegagalan
G30S: MENGHINDARI PERTUMPAHAN DARAH yang berahir dengan akibat malah
darah telah tertumpah puluhan kali bahkan ratusan kali lebih banyak dibadingkan
sendainya mengadakan perlawanan. Dan begitu jugalah yang dialami PKI bersma
2
simpatisan dan sebagian rakyat Indonesia. Jalan damai PKI memang banyak menarik
perhatian dan simpati orang banyak dan oleh sebab itulah PKI dapat membesar yang
nantinya sebagai calon babi potong untuk dipestakan di tengah musuh-musuhnya
terutama Angkatan Darat .
Saya yakin cukup banyak para seniman, budayawan dan para pemuda kita yang tidak
sadar dan tidak tahu telah makan duit CIA. Dan kalau demikian bukanlah sesuatu
yang mesti disesalkan asalkan tidak secara sedar memburunya yang kemudian untuk
menerima tugas-tugas dari CIA. Hingga menjelang ahir tahun 1961 saya masih
berada di Jakarta dan menjadi mahasiswa UI di Rawamangun. Mungkin saja kalau
saya mendapat kesempatan sekolah ke Amerika dan mendapat besiswa saya akan ke
Amerika . Tapi ke Sovyet Uni pun saya harus berusaha sendiri tanpa dukungan
organisasi yang manapun. Bahkan abang sulung saya tidak setuju saya belajar ke
luar negeri: ke Soviet Uni apalagi ke Amerika. Tapi saya tetap menggunakan hak
saya dari usaha sendiri dengan cara melamar seperti ribuan calon penerima besiswa
lainnya tanpa dukungan siapapun.
Ketika MK dilarang oleh bung Karno saya sudah tidak berada di Indonesia dan dari
sana saya juga tidak mendengar bahwa lawan-lawan Lekra mengalami kesulitan
hidup, repressi, kehilangaan pekerjaan dan kehilangan kesempatan untuk bekerja
(Mungkin seperti yang dialami oleh para korban 65 hingga sekarang ini). Tapi saya
rasa sulit untuk menyalahkan Lekra atau menuduh Lekralah yang menyebabkan
semua penderitaan mereka. Lekra hanya berdebat dan melakukan perang
pena. Lekra tidak punya kuasa dan yang berkuasa adalah Pemerintahan Presiden
Soekarno. Lekra bisa menyokong tapi tidak bisa mengendalikan seorang Soekarno.
Dan MK dibubarkan dengan sebuah keputusan Presiden, dengan kertas, sedangkan
Lekra dihancurkan dengan peluru dan bayonet, penjara serta buangan. Lain
umpamanya dengan para mahasiswa pendemonstran dan pendongkel Pemerintahan
Soekarno yang bekerja sama langsung dengan militer dan sama-sama antusias untuk
menghancurkan Lekra dan komunisme.
Bung Salim, maafkan, ini sudah terlalu panjang dari saya.
Salam,
ASAHAN.
kebudayaannya" yakni para seniman yang tidak tergolong Kiri dan bahkan
"berperang" melawan kaum Kiri. Menurut saya di sini kelemahan utama Herlambang.
Penulis ini tidak meletakkan persoalan yang ditelitinya dalam kontek politik
zamannya.
Persoalan Kiri lawan Kanal sudah mulai tampil dalam sejarah Indonesia sejak
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) didirikan pada tahun 1950. Puncak dari
"perang" antara Kiri melawan Kanan adalah pada masa Demokrasi Terpimpin. Di
bawah payung doktrin Nasakom Pemimpin Besar Revolusi yang mendominasi
kegiatan budaya adalah kegiatan kiri. Pada saat itulah buku-buku mereka yang
dituduh Manikebu dan Humanisme Universal dilarang oleh kekuatan kiri dengan
menggunakan tangan Mendikbud Prof. Priyono, seorang pemegang bintang Stalin.
Dalam buku baru saya Dari Gestapu ke Reformasi ada saya ceritakan bagaimana
orang-orang yang dituduh Manikebu masa itu terpaksa harus menulis dengan nama
samaran karena tidak ada lagi media yang mau memuat tulisan mereka akibat teror
dari golongan kiri. Teror kiri waktu itu dipimpin oleh Pramudaya Ananta Tur yang
secara leluasa menggunakan rubrik Lentera pada harian milik Partindo, Bintang
Timur.
Pujian berlebihan kepada novel September sesungguhnya tidak usah terjadi kalau
saja Herlambang dengan saksama mempelajari berbagai tafsiran dan teori tentang
Gestapu. Novel Massardi tidak lebih dari terjemahan kreatif dari teori missing link
professor Wertheim yang sejak awal Orde Baru sudah menuduh Soeharto sebagai
dalang Gestapu.
Pada halaman 8, Herlambang menulis,"bahwa peran CCF di Indonesia merupakan
salah satu faktor penting yang telah memanipulasi gagasan "kebebasan"(liberty)
yang tujuannya adalah menghancurkan komunisme -- yang pada tahun 1960an
telah menjadi salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia-- dan sekaligus
untuk membela kepentingan ekonomi pemerintah AS."
Ada dua komentar saya untuk kalimat tersebut. Pertama, masa yang disebutkan
Herlambang adalah masa Perang Dingin. Dalam masa itu hampir seluruh dunia tidak
mungkin terbebas dari konflik Timur-Barat tersebut. Amerika bergerak di
mana-mana membendung Sovyet dan Cina serta sekutu-sekutu mereka. Pihak
sebaliknya juga demikian.Karena Amerika lebih kaya, tentu duit dan fasilitas yang
ditebarkannya lebih banyak dari pihak lawannya.Saya masih ingat USIS (kantor
penerangan Amerika) membiarkan bukunya dicuri oleh anak-anak muda yang
tertarik membaca buku buku Amerika itu. Beasiswa ke Amerika juga tersedia
5
ASAHAN:
WIJAYA HERLAMBANG: Kekerasan Budaya Pasca 1965; Tanggerang Selatan; Marijn Kiri: 2013;
334 hlm.
soal politik dan pula analisisnya. Umpamanya Herlambang dalam ulasannya dan
penilaiannya mengenai perdebatan atau lebih tepatnya perselisihan antara KUK
(Komunitas Utan Kayu) dan boemipoetra, di pihak boemipoetra dan pihak
sekutunya dalam menyerang pihak KUK cumalah menyinggung soal-soal permukaan
saja tapi tidak menyingung masalah inti sebagai isi perut KUK yang menyebarkan
budaya anti Komunis dan pembenaran terhadap kekerasan pembantaian pasca G30S
serta penganut ekonomi Neoliberalisme dan agen berkebudayaan liberal
Barat meskipun hanya melalui ide-ide besar mereka "kebebasan ber-ekspressi"
yang ibu kandungnya adalah "Hunanisme Universal". Saya sendiri menganggap
analisis Wijaya Herlambang ini adalah jenius meskipun tampak lahirnya sederhana
saja .
Metode Wijaya Herlaambang dalam mengumumkan apa yang tersembunyi dan apa
yang terang-terangan dalam karya karya produk budaya kaum Manifest
Kebudaayaan maupun pecahannya seperti KUK, adalah langsung membedah
karya-karya mereka itu sendiri yang memang karya-karya itu sendirilah yang
berbicara.
Saya jadi teringat akan seorang kritikus sastra yang besar bangsa Rusia abad ke 19
Dobroliubov yang terkenal dengan ucapannya: "Tidak penting apa yang kau
maksudkan (di luar text), yang penting apa yang telah kau katakan (dalam text)."
Dengan kata lain Wijaya Herlambang telah membedah hingga ke dasar obyek
yang dibedahnya dan lalu menunjukkan kepada setiap orang apa yang ada di sana dan
dan apa yang tidak ada dengan pertolongan penerang analisis yang tidak keluar dari
bingkai obyektivitas dan sambil juga tetap berdisiplin menunjukkan diri sebagai
seorang ilmuwan dan peneliti. Kombinasi kwalitas yang demikian masih amat langka
dan amat jarang kita temukan di Indonesia sekarang ini. Masyarakat sastra
Indonesia sendiri sering bilang: "Di Indonessia sekarang ini tidak ada kritikus
sastra". Tapi dengan lahirnya buku Wijaya Herlambang "Kekerasan Budaya Pasca
1965", toh kita sudah bisa bilang, kritikus sastra sudah ada di Indonesia.
Dengan menggunakan dokumen dokumen dan juga wawancara langsung dengan
tokoh-tokoh sastra dan budaya, penulis buku ini mengurai analisisnya dan
menawarkan kesimpulan-kesimpulan dan bahkan mengungkap banyak masalah yang
dulu tidak atau belum terungkap atau bahkan dimanipulasi yang justru dilakukan
oleh produk-produk kebudayaan Orba melalui institusi-institusi kebudayaan dan
kesenian mereka.
Dalam buku ini Gunawan Mohamad sangat banyak disoroti dan hasil penyorotan
Wijaya Herlambang bahwa Gunawan Mohamad adalah seorang moderat anti Komunis,
simpatisaan PSI, menerima banyak bantuan dari CCF (Congress for Cutural
Freedom) yang dibiayai oleh CIA yang kemudian bubar karena campur tangan CIA
dalam CCF ini justru pernah dibongkar oleh majalah Amerika The New York
Time. Tapi yang mendapat biaya dan bantuan lainnya dari CIA bukan cuma
Gunawan Mohamad tapi masih banyak dan sangat banyak para tokoh sastrawan dan
budayawan lainnya yang menikmati uang CIA seperti umpamanya dikirim ke luar
negeri hanya untuk menulis sebuah novel dengan tema anti komunis atau dengan
banyak alasan lainnya seperti dapat beasiswa belajar di luar negeri. Dan tujuan CIA
satu-satunya adalah untuk menciptakan kader-kader Indonesia anti komunis dan
pembasmian Komunis di Indonesia. Sedangkan alat budaya mereka yang terampuh
adalah: "kebebasan ber-expresi" yang diisikan atau dipompakan ke berbagai
semboyan yang bagus-bagus seperti "Humanisme Universal" yang kemudian
melahirkan karya-karya seni budaya yang bertemakan anti komunis yang terutama
dipelopori oleh majalah horizon dan majalah Sastra.
Contoh-contoh yang diambil oleh Wijaya Herlambang adalah cerpen-cerpen yang
bertema yang melegitimasi kekerasan atau pembantaian manusia oleh rezim
suharto tapi dengan cara mem "pahlawankan" para pelaku kekerasan (algojo)
sebagai pengemis rasa "harap dimaklumi" atau "harap bertimbang rasa" kepada
pembaca karena para pelaku kekerasan itu "terpaksa" atau tidak ada jalan lain
dan harus melakukannya untuk menyelamatkaa hidup mereka sendiri yang ini tentu
saja merujuk pada ideologi Manifest Kebudayaan: "sekejam-kejam manusia toh
mereka masih memiliki sinar cahaya ilahi". Dan ujar mereka cahaya ilahi itu harus
diselamatkan, jadi para algojo tidaklah bersalah dan tidak boleh dihukum bahkan
harus dibenarkan dan DILEGITIMASI yang itulah ideologi suharto dan Orde Baru
hingga sekarang ini: PEMBUNUHAN MASAAL DI TAHUN 65/66 DAPAT
DIBENARKAN
DAN
PERLU
UNTUK
MEMBASMI
KOMUNIS
DAN
MENYELAMATKAN INDONESIA.
Dan ideologi Orba suharto inilah yang telah dibedah oleh Wijaya Herlambang dalam
bukunya dalam bentuk studi ilmiah yang bermuatan sejarah itu secara amat
gamblang, penuh penekanan dan bahkan cukup sering diulang ulang dalam banyak
pengulasan selanjutnya di dalam bukunya. Dan dia sampai pada kesimpulan penting
bahwa legitimasi kekerasan budaya maupun kekerasan fisik yang dilancarkaan
Orba suharto di Indonesia adalah cikalbakal untuk melaksanakan Neoliberalisme
dan demokrasi Liberal di Indonesia dan semua tujuan itu hanya bisa dilaksanakan
hanya dengan cara membasmi Komunisme hingga keakar-akarnya dan ideologi inilah
yang membimbing Indonesia hingga sekarang ini.
Hal lain yang menarik juga adalah bahwa Wijaya Herlambang menggunakan metode
perbandingan antara versi Nugroho Notosusanto, Arswendo Atmowiloto, Arifin
C.Noor ( Film "Pengkhianatan G30Spki") dengan novel Noorca Massardi
September yang bertolak belakang secara ideologis dan bahkan menjungkir
balikkan semua rekayasa Orde Baru tentang peristiwa, G30S. Herlambang
mengatakan bahwa Orde Baru dan para sekutu budayanya menggunakan,
menciptakan "kenyataan" yang sesungguhnya adalah fiksi belaka. Sebaliknya
Noorca Massardi dengan Novel September- nya mengunakan fiksi untuk
menggambarkan kebenaran sejarah. Dengan cukup panjang lebar bahkan dengan
bab tersendiri Wijaya Herlambang mengulas, membedah dan mengurai novel
September karya Noorca Massardi dan memberikan penilaian tinggi terhadap novel
tsb. Sangat menarik untuk dibaca.
ASAHAN.
Hoofddorp, 6 Januari 2014.
10