Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
vi somaklon mempunyai rata-rata karakter kuantitatif lebih tinggi dan lebih rendah dari
karakter tanaman induk. Hasil percobaan 4 menunjukkan bahwa cekaman kekeringan
menekan pertumbuhan dan hasil tanaman. Somaklon TT00, TT05 dan TT10 merespon
kondisi cekaman kekeringan lebih baik dibandingkan dengan tanaman induk, sedangkan
somaklon TT15 dan TT20 relatif sama dengan tanaman induk. Dari hasil analisis
sensitivitas, tidak diperoleh somaklon yang toleran. Somaklon TT00, TT05 dan TT10
dikategorikan moderat, sedangkan TT15, TT20 dan tanaman induk dikategorikan sebagai
somaklon yang peka. Namun demikian berdasarkan analisis tingkat toleransi nomor
somaklon, diperoleh 11 nomor yang dikategorikan toleran. Terdapat tujuh nomor
somaklon diantaranya mempunyai kadar minyak 3.27 3.76 %. Somaklon yang
dikategorikan moderat mengakumulasi prolin dan gula total lebih tinggi saat diberi
cekaman kekeringan dibandingkan dengan somaklon yang peka. Struktur dan kerapatan
stomata juga mempunyai hubungan dengan tingkat toleransi tanaman, dimana somaklon
yang moderat dan nomor-nomor somaklon yang toleran mempunyai struktur dan
kerapatan stomata yang lebih rendah dibandingkan dengan somaklon dan nomor
somaklon yang peka. Kata kunci : Kalus, variasi somaklonal, iradiasi sinar gamma,
polyetilene glycol (PEG), seleksi in vitro, dan toleran kekeringan.
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah dan anugrahnya-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanain Bogor. Suatu kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi penulis karena
berkesempatan dibimbing oleh Dr.Ir.Surjono H.Sutjahjo, MS; Prof.Dr.Ir.GA.
Wattimena,MSc dan Dr.Ir.Ika Mariska, APU, dengan judul disertasi Induksi Varian
Somaklon Melalui Iradiasi Sinar Gamma dan Seleksi In Vitro untuk Mendapatkan
Tanaman Nilam Toleran terhadap Cekaman Kekeringan . Berkenaan dengan hal
tersebut, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Dr.Ir.
Surjono Hadi Sutjahjo sebagai ketua komisi pembimbing atas arahan, bimbingan dan
perhatian yang tulus serta bantuan materil mulai dari perencanaan dan penelitian hingga
penyusunan disertasi ini. Beliau juga tak henti-hentinya memberikan dorongan dan
motivasi dalam penyelesaian studi. Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan
kepada Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, M.Sc. Atas bimbingan, arahan dan perhatiannya
yang tulus, mulai dari perencanaan hingga penyusunan serta penyempurnaan disertasi ini.
Kepada Dr.Ir.Ika Mariska, APU penulis menyampaikan ungkapan terima kasih dan
penghargaan yang tulus atas bimbingan, arahan dan perhatian kepada penulis. Penelitian
ini dapat dilaksanakan atas jasa baik beliau dalam memberikan dukungan fasilitas dan
material penelitian serta bahan kimia yang diperlukan dalam kultur in vitro di
Laboratorium Biologi Sel dan Jaringan yang beliau pimpin. Beliau juga telah banyak
meluangkan waktu dan perhatian serta memberikan solusi dari masalah yang cukup
serius di laboratorium.. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya juga
penulis sampaikan kepada : 1. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah
menerima penulis untuk melanjutkan pendidikan di IPB. Terima kasih kepada seluruh
staf di Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan pelayanan yang sebaik- baiknya
selama mengikuti proses belajar mengajar. Pimpinan Proyek TMPD Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan Nasional yang telah memberi beasiswa
sehingga dapat melanjutkan pendidikan S3 di IPB. 2. Ketua Program Studi Agronomi
(Dr.Ir. Satriyas Ilyas, MS) yang telah memberikan pelayanan dan arahan dalam
penyelesaian studi di Program Studi Agronomi. Kepada seluruh staf dosen yang telah
memberikan ilmu selama penulis mengikuti proses belajar mengajar di PPs IPB, semoga
ilmu yang diberikan bernilai ibadah. 3. Koordinator Kopertis Wilayah IX Sulawesi dan
Rektor Universitas Islam Makassar atas izin tugas belajar ke Sekolah Pascasarjana IPB.
Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Al Gazali Ujung Pandang atas bantuan dana yang
diberikan. Dekan Fak.Pertanian UIM (Ir.Musdalifah Mahmud,M.Si), atas bantuan dan
dukungannya selama menempuh pendididkan di IPB. Kepada rekan-rekan dosen di UIM,
terima kasih atas pengertian dan kerjasamanya.
xii 4. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian Bogor yang telah memberikan izin dan penggunaan fasilititas di laboratorium
dan rumah kaca. 5. Ketua Yayasan DAMANDIRI yang telah memberikan bantuan biaya
penulisan disertasi. 6. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan atas kebersamaan, bantuan
selama menempuh pendidikan, masing-masing kepada Ir. M. Arif Nasution,MS, Dr.Ir.St.
Aslamiah, Ir. Haris Bahrun,MS dan keluarga, Dr.Ir.A. Syakir, MS dan keluarga. Staf
peneliti dan teknisi di laboratorium Biologi dan Kultur Jaringan BB Biogen, masingmasing kepada Dr.Ir.Endang Gati Lestari,MS; Ir. Ika Rostika Siregar, Dr.Ir. Ragapadmi
Purnamaningsih, Sri, Mujiman, Djoko Tamimi, serta semua rekan dan semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini. 7. Sembah sujud ananda dan doa
yang senantiasa dipanjatkan kehadirat-Nya untuk kedua orang tua penulis, ibunda St.
Saniasa (almarhumah) dan ayahanda Lolla DG. Bunga (almarhum), semoga pengorbanan
dan kasih sayang yang tulus serta asuhan dan bimbingan sejak kecil kepada penulis
senantiasa menjadi amal jariah, Segenap rasa hormat dan terimakasih secara khusus
disampaikan kepada kedua mertua penulis yaitu bapak Muslimin Saguni (alm) dan ibu
Hj. Djuhaeri Absah atas bantuan, doa, bimbimbigan dan kasih sayang diberikan kepada
penulis. Kepada keluarga penulis M.Ali AT; Rumaedah, S.Pd; Ir. Mursalim; Ir. Ichwan;
Raoda,SE atas bantuan yang diberikan. Kepada istri tercinta Ir.A. Rahmawati, dan ketiga
putra-putri : Ilham Anugrah, Inayah Yasmin Kamila dan Irvan Nugraha Ramadhan yang
selalu mendampingi dengan penuh kesabaran, ketabahan, dan ketulusan hati, dan selalu
mendorong serta mendoakan selama menempuh pendidikan di IPB. Akhirnya dengan
segala kerendahan hati, penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat digunakan untuk
kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat. Semoga
keberhasilan yang telah dicapai ini dapat menjadi ibadah bagi penulis dan semua pihak
yang telah membantu, serta menjadi pemicu dalam berkarya lebih baik di masa yang akan
datang.
Amin.
Abdul Kadir
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Tanaman nilam (Pogostemom cablin Benth.) merupakan salah satu
tanaman penghasil minyak atsiri yang dikenal dengan minyak nilam (patchouly oil).
Minyak nilam banyak dipergunakan dalam industri kosmetik, parfum, sabun, anti septik,
dan insektisida. Keunggulan minyak tersebut dalam industri parfum yakni bersifat fiksatif
yaitu kemampuannya dalam mengikat minyak lainnya sehingga harumnya dapat bertahan
lama serta belum dapat dibuat secara sintetik. Indonesia merupakan negara pemasok
terbesar kebutuhan minyak nilam dunia yang mencapai sekitar 90 % dari seluruh
kebutuhan dunia (Dirjenbun 2002). Cina merupakan negara produsen dan pesaing
komoditi minyak nilam dunia, namun pangsa pasarnya masih kurang dari 5 %. Minyak
nilam merupakan komoditas andalan peringkat pertama kelompok minyak atsiri dalam
perolehan devisa negara. Pada tahun 2004, nilai ekspor minyak nilam telah mencapai
mencapai 2074 ton dengan nilai US $ 27.137 juta (Dirjenbun 2006). Sentra
pengembangan tanaman nilam terdapat di 10 propinsi meliputi 38 kabupaten, yaitu
Propinsi Sumetera Barat, Nangro Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jawa Tengah,
Bengkulu, Jawa Barat, Riau, Sumatera Selatan dan Jawa Timur. Pada tahun 1998, luas
areal pertanaman nilam seluas 10 601 ha dengan produksi 1106 ton dan pada tahun 2002
telah mencapai 21 605 ha dengan produksi 1449 ton, pada tahun 2004 terjadi penurunan
luas areal yakni 16 639 ha, namun produksi meningkat menjadi 2424 ton (Dirjenbun
2006). Di Indonesia, pada umumnya terdapat tiga jenis nilam yang dibudidayakan oleh
petani, yaitu nilam Aceh (P. cablin Benth.), nilam Jawa (P. hortensis Backer) dan nilam
Kembang atau nilam Sabun (P.heyneanus). Dari ketiga jenis nilam tersebut, yang paling
banyak dibudidayakan adalah nilam Aceh (P. cablin Benth) karena hasil minyaknya
tinggi yakni > 2.5 % (Nuryani dan Hadipoentyanti 1994). Nilam Jawa yang kadar
minyaknya < 2.0 % dan berkualitas rendah, namun tetap diusahakan karena jenis nilam
ini resisten terhadap nematoda, sedangkan nilam Aceh peka terhadap serangan nematoda
(Nuryani et al. 2001a ; 2001b).
2 Permintaan pasokan minyak cenderung meningkat setiap tahunnya sejak tahun 1999,
dan diikuti pula semakin meningkatnya harga minyak baik di pasaran domestik maupun
di pasaran dunia. Hal tersebut memberikan indikasi bahwa tanaman nilam mempunyai
prospek yang cukup baik untuk dikembangkan. Mengingat prospeknya yang cukup cerah,
maka tanaman nilam perlu mendapat perhatian yang lebih serius untuk diteliti khususnya
dari aspek agronomi, dimana selama ini belum banyak mendapat perhatian. Salah satu
aspek agronomi yang perlu mendapat perhatian adalah upaya pembentukan klon-klon
baru, khususnya klon-klon yang dapat beradaptasi secara luas pada berbagai wilayah
guna mendukung perluasan areal (ekstensifikasi), serta untuk menghasilkan klon-klon
nilam yang mempunyai produktivitas lebih tinggi. Tanaman nilam sangat peka terhadap
cekaman kekeringan. Menurut Emmyzar et al. (2000), tanaman nilam yang mengalami
cekaman kekeringan nyata menurunkan komponen produksi seperti bobot terna dan kadar
minyak, di lain pihak, hingga kini belum ada klon yang relatif toleran terhadap cekaman
kekeringan. Informasi dan penelitian mengenai tanaman nilam yang toleran terhadap
cekaman kekeringan juga masih sangat terbatas, padahal tanaman nilam yang toleran
terhadap cekaman kekeringan dibutuhkan dalam upaya mengembangkan tanaman nilam
pada lahan kering yang luasnya diperkirakan mencapai 55.619 juta ha (Hidayat dan
Mulyani 2002). Masalah yang dihadapi dalam perbaikan klon atau populasi nilam adalah
rendahnya variabilitas genetik. Hal ini disebabkan oleh jenis nilam yang umum
dibudidayakan adalah nilam Aceh, dimana jenis nilam ini tidak berbunga. Hal tersebut
menyebabkan sempitnya keragaman genetik dan sulitnya pembentukan genotipe baru.
Usaha untuk mendapatkan klon baru sesuai sifat yang diinginkan hanya dapat dilakukan
melalui induksi mutasi seperti mutasi in vitro (variasi somaklonal), penggunaan mutagen
fisik seperti iradiasi sinar gamma atau melalui hibridisasi somatik (fusi protoplast) .
Teknik in vitro melalui variasi somaklonal merupakan salah satu alternatif untuk
menginduksi keragaman tanaman nilam. Teknik in vitro diketahui sangat berguna untuk
menghasilkan varian somaklon yang mempunyai populasi dengan karakteristik unggul
tertentu, diantaranya mengembangkan klon yang toleran
3 terhadap faktor biotik (hama dan penyakit) dan abiotik (cekaman kekeringan, pH
rendah dan Al tinggi). Munculnya variasi somaklonal dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, yaitu (1) jenis eksplan yang digunakan, (2) tipe kultur antara lain kultur kalus,
kultur suspensi dan kultur protoplasma, (3) zat pengatur tumbuh, (4) lamanya fase
pertumbuhan kalus, (5) komposisi bahan kimia dalam media, dan (6) genotipe yang
digunakan (Jacobsen 1987). Keragaman somaklon dapat ditingkatkan melalui iradiasi
sinar gamma dengan munculnya berbagai mutan baru sebagai sumber keragaman,
diantaranya untuk mengembangkan tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan.
Iradiasi sinar gamma dilakukan pada tingkat kalus karena pada tingkat kalus, sel- selnya
masih bersifat meristematik sehingga lebih responsif terhadap radioaktif dibandingkan
dengan sel-sel yang dewasa. Hasil penelitian iradiasi sinar gamma pada kalus yang
mengalami subkultur lama dapat meningkatkan keragaman genetik, dan mendapatkan
somaklon yang kadar minyaknya lebih tinggi dari tanaman induknya (Mariska et al.
1997). Penggunaan seleksi in vitro untuk mendapatkan varian yang toleran terhadap
kekeringan dapat dilakukan dengan menggunakan agen selektif ( selective agent ).
Agen selektif berupa senyawa osmotik yang dapat mensimulasikan kondisi kekeringan di
lapang. Senyawa osmotik yang paling banyak digunakan akhir-akhir ini untuk
mensimulasikan cekaman kekeringan adalah senyawa polyethylene glycol (PEG)
(Santos-Diaz dan Ochoa-Alejo 1994; Dami dan Hughes 1997). Penggunaan PEG sebagai
media selektif tidak membahayakan tanaman karena mempunyai berat molekul lebih
besar dari 4000. Dengan demikian kerusakan atau kematian tanaman pada simulasi
dengan menggunakan senyawa PEG dapat diyakini sebagai efek kekeringan, bukan efek
langsung dari senyawa PEG, karena senyawa tersebut tidak diserap oleh tanaman (Dami
dan Hughes 1997; Verslues et al. 1998). Senyawa PEG bersifat larut dalam air dan dapat
menyebabkan penurunan potensial air yang homogen. Besarnya penurunan potensial air
sangat bergantung pada konsentrasi dan berat molekul PEG. Keadaan seperti ini dapat
dimanfaatkan untuk melakukan simulasi penurunan potensial air dan hal tersebut
mencerminkan terjadinya cekaman kekeringan eksplan yang ditanam dalam media
4 yang mengandung PEG. Dengan demikian potensial air dalam media yang mengandung
PEG dapat digunakan untuk meniru besarnya potensial air tanah (Michel dan Kaufmann
1973). Penggunaan teknik in vitro, populasi sel varian akan dapat dihasilkan melalui
seleksi dalam media selektif yang sesuai. Intensitas seleksi dapat diperkuat dan dapat
dibuat lebih homogen. Populasi jaringan atau sel tanaman dapat diseleksi dalam media
selektif sehingga akan meningkatkan frekuensi varian dengan sifat yang diinginkan, yaitu
varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan (Specht dan Graef 1996; Biswas et al.
2002). Tersedianya agen selektif untuk simulasi kekeringan serta tersedianya standar
baku yang efektif untuk menginduksi kalus dan meregenerasikannya menjadi planlet,
memungkinkan iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro dapat dilakukan untuk
mendapatkan varian somaklon tanaman nilam yang toleran terhadap cekaman
kekeringan. Tujuan Penelitian Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
varian somaklon tanaman nilam yang toleran terhadap cekaman kekeringan hasil iradiasi
sinar gamma dan seleksi in vitro menggunakan media selektif PEG. Untuk mencapai
tujuan tersebut dibuat alur kerangka penelitian seperti pada Gambar 1. Tujuan khusus 1.
Mengembangkan metode inisiasi kalus embriogenik menggunakan komposisi BA dan
2,4-D serta dapat diregenerasikan menjadi planlet menggunakan berbagai komposisi
auksin dan sitokinin. 2. Mempelajari respon PEG dan iradiasi sinar gamma dalam
menekan pertumbuhan dan perkembangan kalus dan planlet. 3. Mengembangkan metode
seleksi in vitro menggunakan media selektif PEG yang efektif untuk mendapatkan varian
yang toleran terhadap cekaman kekeringan 4. Meningkatkan keragaman somaklon hasil
iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro berdasarkan karakter morfologi, agronomi dan
fisiologi.
5 Manfaat Penelitian
Varian somaklon yang toleran terhadap cekaman kekeringan yang dihasilkan dari
penelitian ini, bermanfaat untuk pengembangan tanaman nilam pada lahan kering di
berbagai wilayah di Indonesia dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas
minyak nilam. Selain itu, varian somaklon yang dihasilkan dari penelitian ini juga
bermanfaat sebagai sumber keragaman genetik serta dapat dijadikan sebagai plasma
nutfah baru tanaman nilam.
Lhokseumawe, dengan kandungan patchouli alcohol berturut-turut : 37.3, 35.0, 33.1, dan
30.5 %. (Mauladi dan Asman 2004). Tanaman nilam dapat tumbuh pada hampir semua
jenis tanah, namun untuk memperoleh produksi dan kualitas minyak yang tinggi maka
dibutuhkan tanah yang drainasenya baik, dan kaya bahan organik. Tanaman nilam
tumbuh dan berproduksi baik mulai dari dataran rendah sampai pada daerah ketinggian
1200 m dpl, namun optimum pada 10 - 400 m dpl. Tumbuh baik pada daerah dengan
curah hujan 2300 3000 mm/tahun dengan penyebaran merata sepanjang tahun (Rosman
et al. 1998).Temperatur optimum untuk tanaman nilam adalah 2228 o C dan
kelembaban rata-rata 75 o C (Reglos 1991). Werekopen dalam Rosmam et al. (1998)
menyebutkan bahwa nilam dapat diusahakan pada daerah bercurah hujan rendah (1700
2500 mm/tahun ) dengan pemberian naungan dan mulsa. Adanya musim kemarau selama
3-5 bulan, menyebabkan tanaman berada dalam kondisi
9 yang kurang menguntungkan karena dapat mengalami cekaman kekeringan selama
periode tumbuh tanaman nilam. Struktur akar nilam yang dangkal menyebabkan tanaman
mengalami kesulitan mengabsorbsi air di saat air sering menjadi faktor pembatas,
khususnya pada musim kemarau. Di Aceh dan Sumatera Utara, tanaman nilam
diusahakan masyarakat dari dataran rendah hingga 1.500 dpl ( Hayati 1992). Tanaman
nilam yang diusahakan di dataran rendah kandungan minyaknya lebih tinggi dari dataran
tinggi, namun kandungan patchouly alcohol lebih rendah (Rosman et al. 1998). Di
Bengkulu, tanaman nilam umumnya dibudayakan sebagai tanaman sela di antara tanaman
kelapa sawit, sedangkan di Pasaman, Sumatera Barat ditanam diantara tanaman jeruk. Di
Purwokerto, Jawa Tengah para petani menanam nilam sebagai tanaman sela dari tanaman
pisang, rambutan dan mangga. Tanaman nilam yang ditanam dibawah naungan
mempunyai rendemen minyak yang rendah, sedangkan tanpa naungan rendemen
minyaknya lebih tinggi (Soepadio et al. 1978). Hasil Penelitian Hasan (1994),
menunjukkan bahwa tanaman yang ditanam di sela tanaman kelapa kandungan
minyaknya lebih rendah yakni 79.8 l ha -1 sedangkan pada lahan tanpa naungan 89.3 l ha
-1 . Mutasi Dalam Pemuliaan Tanaman Prinsip dasar dari induksi mutasi (mutagen) yang
harus diketahui oleh para pemulia tanaman adalah macam kejadian yang terjadi antara
saat energi masuk ke dalam sistem biologi (tanaman) hingga tahap yang mungkin
memberikan efek yang nampak pada perubahan secara biologi. Proses dari transfer energi
dalam memberikan pengaruh kerusakan dalam sistem biologi meliputi 4 tahap perubahan
yaitu secara fisik, kimia, biokimia dan secara biologi (Gambar 2). Mutasi adalah
perubahan genetik baik gen tunggal, sejumlah gen ataupun susunan kromosom, dapat
terjadi pada setiap bagian tanaman terutama bagian yang aktif melakukan pembelahan sel
(Micke dan Donini 1993). Secara luas mutasi dihasilkan oleh segala macam tipe
perubahan genetik yang mengakibatkan perubahan fenotipe yang diturunkan, termasuk
keragaman kromosom maupun mutasi gen. Mutasi juga dapat disebut sebagai perubahan
materi genetik pada tingkat genom, kromosom dan DNA atau gen sehingga menyebabkan
terjadinya
10 keragaman genetik (Soeranto 2003). Mutasi dapat terjadi secara tiba-tiba dan acak,
dan merupakan dasar sebagai sumber keragaman bagi tanaman dan bersifat terwariskan
(heritance). Mutasi dapat terjadi secara spontan di alam (spontaneous mutation) dan dapat
terjadi melalui induksi (induced mutation) (Koornneef 1991). Secara mendasar tidak
terdapat perbedaan antara mutasi yang terjadi secara alami dan mutasi hasil induksi.
Keduanya dapat menimbulkan variasi genetik untuk dijadikan dasar seleksi tanaman
(Soeranto 2003). Mutasi induksi dapat dilakukan pada tanaman dengan perlakuan bahan
mutagen tertentu terhadap organ reproduksi tanaman seperti biji, stek batang, serbuk sari,
akar rizome, kalus dan sebagainya (Soeranto 2003). Mutagen yang sering digunakan
dalam pemuliaan tanaman yaitu mutagen kimia dan mutagen fisik (Koornneef 1991;
Micke dan Donini 1993). Frekuensi dan spektrum mutasi tergantung dari jenis mutagen
dan dosis yang digunakan. Mutagen fisik yang telah luas penggunaannya adalah sinar-X
dan sinar gamma, keduanya mempunyai penetrasi yang baik, bersifat sebagai radiasi
pengion (ionizing radiation) (Micke dan Donini 1993). Sedangkan mutagen kimia pada
umumnya berasal dari senyawa alkyl seperti ethyl methane sulphonat (EMS), diethyl
sulphate (dES), metthyl metane sulphonat (MMS), hydroxylamine, nitrous acids dan
sebagainya (Soeranto, 2003). Mutasi induksi menggunakan radiasi sinar-X dan sinar
gamma paling banyak penggunaannya sebagi metode untuk mengembangkan varietas
mutan. Hal ini terlihat dari 2250 varietas mutan yang dilepas di seluruh dunia dalam
kurun waktu 70 tahun terakhir (Maluszynki et al. 2000), 89 % dari 1585 varietas yang
dilepas sejak tahun 1985 adalah dikembangkan dari induksi mutasi secara langsung, 64 %
diantaranya adalah dikembangkan dengan menggunakan sinar gamma, sedangkan
penggunaan sinar-X hanya 22 %. (Ahloowalia et al. 2004). Secara relatif, proses mutasi
dapat menimbulkan perubahan pada sifat-sifat genetis tanaman baik kearah positif
maupun negatif, dan kemungkinan mutasi yang terjadi dapat juga kembali normal
(recovery). Mutasi yang terjadi ke arah sifat positif dan terwariskan ke generasi
berikutnya merupakan mutasi yang dikehendaki oleh pemulia tanaman pada umumnya
(Soeranto 2003). Mutasi induksi dapat memperluas variabilitas genetik tanaman. Teknik
mutasi induksi
11 pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif lebih efektif karena dapat mengubah
satu atau beberapa karakter tanpa mengubah karakteristik kultivar asalnya (Nagatomi
1996). Mutasi dapat dibedakan atas, mutasi genom, mutasi kromosom dan mutasi gen.
Mutasi genom dapat diakibatkan oleh perubahan jumlah set kromosom baik penambahan
mapun pengurangan jumlah set kromosom. Poliploidi pada tanaman mencerminkan
adanya penambahan satu set kromosom atau lebih. Mutasi kromosom terdiri atas
perubahan jumlah dan struktur kromosom (Wattimena 1992). Perubahan jumlah
kromosom dapat dibedakan menjadi euploidi dan aneuploidi (Suzuki 1993). Mutasi
kromosom dapat terjadi akibat pecahnya benang kromosom, meliputi empat kelompok
yaitu translokasi (translocations), inversi (inversion), duplikasi (duplication), defesien
(deficiens) (Soeranto 2003) Mutasi gen terjadi karena perubahan pada struktur primer
dari DNA. Mutasi gen dapat terjadi karena subtitusi, tambahan ataupun hilangnya satu
atau lebih basa-basa di dalam sebuah molekul DNA (Micke dan Donini 1993; Van
Harten 1998). Smith dan Wood (1991) mendifinisikan mutasi gen adalah perubahan
sekuen nukleotida pada gen yang menghasilkan perubahan asam amino dan produk
protein mutan. Mutasi gen juga didefinisikan sebagai perubahan satu bentuk alel menjadi
bentuk alel lainnya. Perubahan tersebut terjadi dalam satu gen pada satu lokus kromosom
atau disebut juga mutasi titik (Suzuki et al. 1993). Mutasi gen digolongkan ke dalam dua
kategori, yaitu microlessions dan macrolessions, yang dicirikan oleh adanya perubahan
basa pada DNA (Van Harten 1998). Menurut Suzuki et al. (1993) ada empat tipe
perubahan basa (1) transisi, yaitu penggantian satu basa purin dengan satu purin atau
penggantian satu basa pirimidin dengan pirimidin, (2) transversi, yaitu penggantian satu
basa pirimidin oleh basa purin atau sebaliknya, (3) delesi , yaitu pasangan basa tertentu
menghilang sehingga terjadi susunan nucleotida yang berbeda (4) dan inversi pasangan
basa, yaitu terjadi perubahan orientasi susunan pasangan basa. DNA sangat sensitif
terhadap radiasi, sehingga radiasi sinar gamma dapat meyebabkan perubahan DNA pada
makhluk hidup (Van Harten 1998).
12 Efek Iradiasi Sinar Gamma Iradiasi dapat menyebabkan perubahan genetik di dalam
sel somatik (mutasi somatik), dapat diturunkan dan dapat menyebabkan terjadinya
perubahan fenotip Perubahan tersebut dapat terjadi secara lokal pada tingkat sel atau
kelompok sel sehingga individu dapat menjadi kimera (Ismachin 1988). Iradiasi dapat
menginduksi perubahan struktur kromosom yaitu terjadi pematahan kromosom. Pada
dosis yang rendah dapat menyebabkan terjadinya delesi, semakin tinggi dosis akan
menimbulkan duplikasi, inversi dan translokasi. Iradiasi sinar gamma sering digunakan
dalam usaha pemuliaan tanaman karena dapat meningkatkan variabilitas, sehingga dapat
menghasilkan mutan baru (Wattimena 1992; Al-Safadi et al. 2000). Untuk tujuan
tertentu, misalnya menciptakan variabilitas baru, dapat digunakan mutagen fisik seperti
iradiasi sinar gamma dan sinar UV, serta perlakuan mutagen kimia seperti Ethyl Methane
Sulphonate (EMS) dan nitroso guanidine. Mutagen tersebut dapat digunakan bersamasama dalam kultur in vitro untuk meningkatkan frekuensi munculnya tanaman mutan
(Kuksova et al. 1997). Respon tanaman terhadap efek iradiasi sinar gamma, selain
dipengaruhi oleh jenis kultur yang digunakan, juga tergantung dari laju dosis iradiasi
yang digunakan. Laju dosis iradiasi adalah jumlah dosis terserap per satuan waktu (rad
per detik atau Gy perdetik). Satuan sinar radiasi adalah Gray (Gy) atau rad. 1 rad = 100
erg per gram = 10 joule per kg. 1 Gy = 100 rad = 0.1 krad. Alat yang digunakan untuk
mengukur besarnya dosis radiasi adalah dosimeter. Dosimeter yang umum digunakan
adalah Fricke yaitu mampu mengukur dosis sinar gamma antara 40 400 Gy.
Pengukuran diluar selang dosis tersebut dilakukan kalibrasi (Ismachin 1988).
kekeringan, macam species dan genotype tanaman, umur dan fase perkembangan,, tipe
organ dan tipe sel. Kehilangan air pada tingkat selluler dapat menyebabkan perubahan
konsentrasi senyawa osmotik terlarut, perubahan volume sel dan bentuk membran,
perubahan gradien potensial air dan kehilangan turgor (Bray 1997). Menurut Khirkham
(1990), pembelahan dan perluasan sel merupakan komponen yang lebih peka terhadap
cekaman kekeringan.
16 Mekanisme Resistensi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Mekanisme resistensi
kekeringan dapat dikelompokkan dalam 3 katergori yaitu escape drought (melepaskan
dari cekaman kekeringan), avoidance (penghindaran dari kekeringan) dan toleran.
Tanaman dapat menggunakan lebih dari satu mekanisme pada saat yang bersamaan saat
terjadinya kekeringan (Mitra 2001). Resistensi escape yaitu kemampuan tanaman
menyelesaikan siklus hidupnya sebelum mengalami kekurangan air yang serius,
mekanisme ini meliputi perkembangan fenologi yang cepat misalnya pembungaan dan
pematangan buah yang lebih awal, perkembangan plastisitas jaringan dan remobilisasi
pembentukan assimilat ke biji. Resistensi penghindaran yaitu, kemampuan tanaman tetap
menjaga potensial jaringan dengan cara meningkatkan penyerapan air atau menekan
kehilangan air. Mekanisme ini meliputi pemeliharaan turgor melalui penambahan
kedalaman akar, efesiensi sistem perakaran dan konduktivitas hidrolik dan mengurangi
kehilangan air melalui reduksi epidermal (stomata), mengurangi absorbsi cahaya
matahari dengan cara penggulungan atau pengguguran daun. Resistensi toleransi adalah
kemampuan tanaman menjaga turgor melalui pengaturan osmotik ( osmotic adjustment
). Toleransi terhadap stres kekeringan dapat terjadi jika tanaman dapat survive terhadap
stres yang terjadi dan adanya toleransi atau mekanisme yang memungkinkan untuk
menghindar dari situasi stres tersebut. Tanaman mempunyai toleransi yang berbeda
terhadap stres kekeringan karena perbedaan dalam mekanisme morfologi, fisiologi,
biokimia dan molekuler (Perez-Molphe- Balch et al. 1996). Toleransi stres kekeringan
melibatkan akumulasi senyawa yang dapat melindungai sel dari kerusakan yang terjadi
pada saat potensial air rendah (Jensen et al. 1996). ABA (abscisic acid) dan prolin
merupakan senyawa yang memegang peranan penting untuk toleransi terhadap cekaman
kekeringan (Kim dan Janick 1991; Pruvod et al. 1996; Nambara et al. 1998; Hanson dan
Hitz 1982). Peningkatan sintesis ABA di akar, antara lain bertujuan untuk meningkatkan
laju penyerapan air oleh akar untuk mengimbangi laju transpirasi. Dalam hal ini ABA
berperan sebagai pengatur signal transpor air secara radial (Quintero et al. 1998; Roberts
1998). Penyerapan air di akar ditentukan oleh besarnya gradien 17 hidrostatik atau
gradien osmotik. Supaya air tetap dapat mengalir dari tanah ke arah jaringan akar maka
potensial osmotik dari akar harus lebih negatif dari tanah. Dalam kondisi tercekam
kekeringan, ABA juga dapat ditranslokasikan melalui xylem ke bagian tanaman yang lain
seperti tunas dan daun. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya peningkatan konsentrasi
ABA pada cairan xylem jika tanah mengering (Schurr dan Gollan 1990; Zhang et al.
1990; Schurr et al. 1992). Dibagian tajuk tanaman, ABA akan mempengaruhi penutupan
stomata. ABA dapat membatasi masuknya ion-ion K + ke dalam sel penjaga (stomata)
dan menyebabkan pembukaan channel ion K + sehingga memungkinkan pengeluaran ion
K + dari sel stomata. Akibatnya, sel stomata menjadi kehilangan turgor dan stomata akan
menutup (Quintero et al. 1998). Dari hal tersebut, ABA berperan sebagai signal dari akar
bagi pucuk tanaman ketika mengalami stres kekeringan (Schurr et al. 1992). Kemampuan
untuk mengatur turgor pucuk juga merupakan suatu karakteristik tanaman yang toleran
terhadap cekaman kekeringan. Akumulasi prolin pada tanaman yang mengalami cekaman
kekeringan disebabkan oleh meningkatnya biosintesis prolin dan inaktivasi degradasi
prolin (Madan et al. 1995; Yoshiba et al. 1997; Nambara et al. 1998). Hasil penelitian
hubungan ekspresi gen-gen untuk enzim yang terlibat dalam biosintesis dan metabolisme
prolin dan akumulasi prolin di bawah kondisi tercekam kekeringan menunjukan bahwa,
level prolin pada tanaman diatur pada level transkripsi selama terjadi stres kekeringan
(Yoshiba et al. 1997). Pada tanaman, prolin disintesis dari glutamin atau dari ornitin.
Lintasan dari glutamin merupakan rute primer untuk biosintesis prolin dalam kondisi
tercekam kekeringan (Madan et al. 1995, Yoshiba et al. 1997). Akumulasi prolin dalam
respon terhadap tercekam kekeringan telah dilaporkan pada beberapa tanaman secara in
vitro dan in vivo (Handa et al. 1986; Sarkar 1993; Madan et al. 1995; Girousse et al.
1996). Jumlah prolin yang meningkat dianggap merupakan indikasi toleransi terhadap
cekaman kekeringan karena prolin berfungsi sebagai senyawa penyimpan N dan
osmoregulator dan/atau sebagai protektor enzim tertentu (Kim dan Janick 1991; Madan et
al. 1995; Prasad dan Potluri 1996; Yoshiba et al. 1997). Sel, jaringan atau tanaman yang
over produksi prolin dianggap mempunyai sifat toleransi terhadap stres 18 kekeringan
yang lebih baik. Selain sebagai osmoregulator, prolin juga berperan penting dalam
menjaga pertumbuhan akar pada potensial osmotik air rendah (Sharp 1994; Ober dan
Sharp 1994). Kultur Jaringan Tanaman Nilam Kultur jaringan adalah suatu metode untuk
mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan
organ serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut
dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh (Bhojwani dan Razdan
1983). Pada prinsipnya teknik kultur jaringan berdasar pada fenomena totipotensi (total
genetic potensial), yaitu suatu fenomena dimana sel tanaman mempunyai kemampuan
untuk beregenerasi menjadi tanaman utuh bila ditumbuhkan pada lingkungan yang cocok
(Pierik 1987). Teknik ini dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media
kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan ZPT, serta kondisi ruang kultur
dimana suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yusnita 2003). Keberhasilan penggunaan
kultur jaringan dipengaruhi oleh jenis eksplan yang dikulturkan (meliputi bagian organ
yang digunakan, umur fisiologi, ukuran, dan kualitas tanaman), media kultur dan
lingkungan tumbuh dimana kultur ditumbuhkan. Hal tersebut terkait dengan tahapan
dalam kulltur jaringan, meliputi (1) pemilihan dan penyiapan tanaman induk sebagai
sumber eksplan, (2) inisiasi kultur (culture eatablishment), (3) multiplikasi atau
perbanyakan propagul, (4) perpanjangan tunas, induksi dan perkembangan akar
aklimatisasi planlet ke lingkungan luar (5) aklimatisasi planlet ke lingkungan eksternal.
Eksplan yang dikondisikan dalam media dengan penambahan ZPT tertentu (jenis dan
konsentrasi) akan mengarahkan apakah eksplan akan terinduksi membentuk organ
melalui proses organogenesis atau embrio melalui proses embryogenesis (Yusnita 2003).
Teknik kultur jaringan tanaman nilam umumnya diinduksi untuk organogenesis.
Organogenesis adalah proses terbentuknya organ seperti tunas atau akar baik secara
langsung dari permukaan eksplan atau secara tidak langsung melalui pembentukan kalus
terlebih dahulu. Nisbah sitokinin dan auksin yang tinggi mendorong pembentukan tunas,
sedangkan nisbah sitokinin dan auksin yang rendah mendorong pembentukan akar, jika
sitokinin dan auksin 19 dalam jumlah yang seimbang akan mendorong pembentukan
kalus (Bhojwani dan Razdan 1983). Sitokinin berfungsi dalam menginduksi pembelahan
sel, mendorong poliriferasi tunas dan diferensiasi tunas adventif dari kalus dan organ,
serta sintesis protein (Watimena 1992). Beberapa senyawa sitokinin yang biasa dipakai
dalam kultur jaringan antara lain : Benzilamino purin (BAP), 6-benzil adenine (BA), 2Isopentenil adenine (2-iP), Zeatin dan 6-Fulfurilamino purin (kinetin), picloram, dan lainlain. Auksin berfungsi dalam pembelahan sel, diferensiasi akar, induksi pemanjangan
tunas (Bhojwani dan Razdan, 1983). Auksin juga berperan dalam inisiasi akar adventif,
akar primer maupun akar lateral (Moore 1979). Beberapa auksin yang sering digunakan
dalam kultur jaringan diantaranya 3-Indoleacetic acid (IAA), 3-Indolebutyric acid
(IBA),1- Naphtaleneacetic acid (NAA) dan 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D).
Dicamba (3,6 dichloro- anisic acid) dan Picloram (4-amino 3,5,6 trichloro pyridine-2carbocylic acid) (Krikorian 2004). Beberapa hasil penelitian tanaman nilam secara in
vitro menggunakan ZPT dalam menginduksi tunas atau kalus, diantaranya : untuk
regenerasi tunas tanaman nilam secara in vitro menggunakan eksplan satu ruas yang
ditanam media MS + kelompok vitamin yang diperkaya dengan BA 0.1 mg.l -1 ,
sedangkan untuk menginduksi kalus mengunakan eksplan potongan daun pada media MS
+ BA 0.1 mg. l -1 + 2,4-D 0.5 mg. l -1 (Mariska et al. 1997). Regenerasi tunas adventif
langsung dan tidak langsung (melalui kalus) dilakukan dengan menggunakan eksplan
meristem pucuk dalam media MS dengan komposisi BAP, NAA dan GA3 yang berbeda
(Hayati 1992). Hutami et al. (1998) menggunakan batang terminal dan batang satu buku
sebagai eksplan untuk proliferasi tunas nilam kimera pada media MS yang diberi vitamin
maupun Morel Wetmore dengan penambahan 2-iP 1 mg l -1 . Keberhasilan metode
regenerasi kalus membentuk planlet tanaman nilam melalui organogenesis merupakan
salah satu syarat untuk dapat melakukan seleksi in vitro. Kalus dapat dikembangkan dari
eksplan daun, eksplan batang, maupun bagian organ yang meristematik. Tomes dalam
Sutjahjo (1994), menjelaskan bahwa terdapat dua macam kalus yang terbentuk dalam
kultur in vitro suatu tanaman, yaitu (1) kalus embriogenik dan (2) kalus non embriogenik.
20 Kalus embriogenik adalah kalus yang mempunyai potensi untuk beregenerasi menjadi
tanaman melalui organogenesis atau embryogenesis. Sedangkan kalus non embriogenik
adalah kalus yang mempunyai kemampuan sedikit atau tidak mempunyai kemampuan
untuk beregenerasi menjadi tanaman. Kalus embriogenik yang mempunyai struktur
kompak, tidak tembus cahaya dan pertumbuhan relatif lambat merupakan tipe yang
dikehendaki dalam seleksi in vitro tanaman. Menurut Green et al.(1984) dalam Sutjahjo
(1994), kalus seperti ini disebut kalus tipe-I, sebaliknya kalus yang kurang kompak,
remah dan pertumbuhan cepat disebut kalus tipe-II. Kemampuan regenerasi kalus
umumnya menurun sesuai lamanya jaringan dikulturkan, namun beberapa kultur kalus
kemampuan regenerasinya dapat bertahan dalam jangka waktu relatif panjang (George
dan Sherrington 1984). Kalus nilam dapat bertahan selama 24 bulan dengan subkultur 2
bulan sekali (Mariska et al. 1997). Variasi Somaklonal Istilah variasi (keragaman)
somaklonal pertama kali dikemukakan oleh Larkin dan Scowcroft tahun 1981 yang
didefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan melalui kultur sel,
baik sel somatik (seperti sel daun, akar dan batang) maupun sel gamet (Sutjajo 1994).
Selanjutnya oleh Skrivin et al. (1993), mendifinisikan variasi somaklonal adalah
keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan. Variasi ini
berasal dari keragaman genetik eksplan dan keragaman genetik yang terjadi di dalam
kultur jaringan. Variasi somaklonal yang terjadi dalam kultur jaringan merupakan hasil
kumulatif dari mutasi genetik yang dapat disebabkan oleh bahan eksplan dan kondisi in
vitro. Variasi somaklonal merupakan perubahan genetik yang bukan disebabkan oleh
peristiwa segregasi atau rekombinasi gen seperti yang biasa terjadi akibat proses
persilangan (crossing). Thrope (1990) memberikan istilah pre-existing cellular genetik
yaitu keragaman yang diinduksi oleh kultur jaringan. Keragaman ini dapat muncul akibat
penggandaan dalam kromosom (fusi, endomitosis), perubahan jumlah kromosom
(tagging dan nondisjunction), perubahan struktur kromosom, perubahan gen dan
perubahan sitoplasma (Kumar dan Mathur 2004).
21 Keragaman somaklonal dapat dikelompokkan menjadi keragaman yang mewaris (
heritable ) yang dikendalikan secara genetik dan keragaman yang tidak mewaris yang
dikendalikan secara epigenetik. Keragaman somaklonal yang dikendalikan secara genetik
biasanya stabil dan dapat diturunkan secara seksual ke generasi selanjutnya sedangkan
keragaman epigenetik biasanya akan hilang ketika tanaman diperbanyak secara seksual
(Skirvin et al. 1993). Itulah sebabnya maka kepentingan atau manfaat kultur jaringan bagi
pemuliaan tanaman adalah merangsang keragaman genetik dan mempertahankan
kestabilan genetik. Menurut Wattimena dan Mattjik (1992) keragaman genetik pada
kultur jaringan dapat dicapai melalui fase tak berdiferensiasi (fase kalus dan sel bebas)
yang relatif lebih panjang, untuk membuat kestabilan genetik pada kultur jaringan dapat
dilakukan dengan cara menginduksi sesingkat mungkin fase pertumbuhan tak
berdiferensiasi. Terjadinya variasi somaklonal dalam kultur in vitro disebabkan oleh :
jenis zat pengatur tumbuh dan konsentrasi yang digunakan, lamanya fase pertumbuhan
kalus, tipe kultur yang digunakan, (sel, protoplasma, kalus, jaringan), serta digunakan
atau tidaknya media selektif dalam kultur in vitro (Skirvin et al. 1993; Jain 2001). Variasi
somaklonal biasanya terjadi akibat adanya amplifikasi gen, aktivasi transposable elemen,
metilasi DNA, ketidakstabilan kromosom, mutasi gen tunggal, atau poliploidi (Linacero
dan Vazquez 1992; Jayasankar 2005). Faktor yang mempengaruhi terjadinya variasi
somaklonal meliputi : fisiologi, genetik dan biokimia. Biasanya kelompok auksin 2,4-D
dan 2,4,5 T dapat menyebabkan variasi somaklonal. Perlakuan 2,4-D pada kultur kalus
tanaman kelapa sawit mampu beregenerasi, namun menunjukkan keragaman somaklonal
waktu ditanam di lapang Keragaman genetik yang terjadi selama proses kultur jaringan
merupakan perubahan tingkat kromosom. Penyimpangan biokimia merupakan faktor
yang paling sering menyebabkan keragaman somaklonal dalam kultur in vitro
(Jayasankar 2005). . Beberapa karakter dapat berubah akibat variasi somaklonal, namun
karakteristik yang lain tetap menyerupai tanaman induknya (Hawbaker et al. 1993).
Dengan demikian variasi somaklonal sangat memungkinkan untuk merubah satu atau
beberapa karakter tertentu yang diinginkan dengan tetap 22 mempertahankan karakter
unggul lainnya yang sudah dipunyai oleh tanaman induk. Menurut Mattjik (2005), dalam
kasus perbanyakan secara kultur in vitro, yang terjadi adalah mutasi somatik. Sel yang
mutasi saat membelah kemudian membentuk sekumpulan sel yang berbeda dengan sel
asalnya. Tanaman yang berasal dari sel-sel yang bermutasi ini akan membentuk tanaman
yang mungkin merupakan klon baru yang berbeda dengan induknya. Seleksi In vitro
untuk Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan Keragaman somaklonal yang dihasilkan
dari kultur in vitro dapat memberikan kesempatan untuk mengembangkan metode seleksi
in vitro sehingga dapat bermanfaat dalam program pemuliaan tananaman (Ahloowalia
1990; Mattjik 2005). Identifikasi varian somaklonal yang diinginkan biasanya dilakukan
dengan menggunakan teknik seleksi in vitro. Dalam hal ini kondisi selektif tertentu dapat
digabungkan dalam media kultur in vitro dan dipakai untuk menumbuhkan varian-varian
somaklon yang telah diperoleh. Tanaman hasil regenerasi dari jaringan yang dapat
dosage that may be combined with PEG for in vitro selection on patchouly. Key words :
Calli induction, BA, 2,4-D, polyetilene glycol (PEG), and gamma irradiation.
Pendahuluan
Penggunaan kultur jaringan berkembang dengan pesat sejalan dengan semakin besarnya
manfaat dari penggunaan kultur jaringan tersebut . Pada mulanya kultur jaringan
digunakan untuk perbanyakan tanaman yaitu untuk mendapatkan bibit tanaman dalam
jumlah banyak dan dalam waktu yang relatif singkat, serta mempunyai sifat morfologi
dan fisiologi yang sama dengan induknya. Perkembangan selanjutnya kultur jaringan
digunakan untuk keperluan program pemuliaan tanaman dalam upaya memperoleh
keragaman genetik atau karakter unggul secara efesien tanpa melalui proses persilangan
yang membutuhkan waktu yang relatif lama. Perbanyakan secara vegetatif dalam kultur
in vitro dimungkinkan untuk memperoleh individu baru yang berbeda dengan tanaman
induknya. Perbedaan ini mengindikasikan terjadinya keragaman somaklonal. Keragaman
somaklonal dapat disebabkan oleh penggunaan zat pengatur tumbuh, yaitu akusin, serta
pengaruh dari lamanya kalus disubkultur (Larkin dan Scowcroft 1981). Menurut Li dan
Gray (2005) faktor yang mempengaruhi terjadinya keragaman somaklonal meliputi faktor
fisiogi, genetik dan biokimia. Efektivitas penggunaan teknik kultur jaringan dalam
melakukan eksploitasi keragaman somaklonal dan seleksi in vitro tergantung dari
tersedianya metode baku yang efesien untuk menginduksi terbentuknya kalus serta dapat
meregenerasikannya menjadi tanaman lengkap (planlet) (Mythli et al. 1997). Beberapa
faktor penting yang mempengaruhi induksi kalus dan regenerasi tanaman yaitu pemilihan
jenis eksplan, genotipe dan suplemen media yang digunakan, mencakup tipe dan
kuantitas zat pengatur tumbuh, dalam hal ini auksin dan sitokinin (Denchev dan Conger
1995). Komposisi auksin dan sitokinin dalam media kultur in vitro memainkan peranan
penting dalam induksi dan regenerasi kalus menjadi tunas (Zheng et al. 1999). Interaksi
antara sitokinin dan auksin merupakan hal yang krusial dalam mengontrol proses
pertumbuhan dan perkembangan dalam kultur in vitro (Gaba 2005). Walaupun auksin
berperan utama dalam pembelahan sel, namun pada beberapa tanaman sitokinin juga
sangat dibutuhkan untuk proliferasi kalus (Wattimena et al. 1992). Nisbah antara
sitokinin dan auksin yang akan menentukan apakah kalus akan beregenerasi
27 membentuk tunas, akar atau tunas dan akar (Gaba 2005). Penggunaan auksin seperti
2,4-D yang dikombinasikan dengan sitokinin seperti BA dapat menginduksi terbentuknya
kalus pada tanaman nilam (Mariska et al. 1997). Penggunaan auksin seperti 2,4-D
memainkan peranan yang sangat penting dalam menginduksi dan memelihara
kelangsungan pembelahan sel (Dudits et al. 1995; Mahalakshmi at al. 2003) dan
mengarahkan perkembangan sel membentuk kalus yang embriogenik (Raghavan 2000,
Chugh and Khurana 2002), namun demikian 2,4-D juga dapat menyebabkan ketidak
stabilan genetik dari materi kultur (Ma Guohua 1998) sehingga dapat menyebabkan
terjadinya keragaman somaklonal (Kuksova 1997). Menurut Jayasankar (2005),
penggunaan 2,4-D atau 2,4,5 T dapat menginduksi terbentuknya keragaman somaklonal
dan keragaman tersebut dapat diturunkan pada generasi berikutnya. Keberhasilan dalam
menginduksi dan memperbanyak kalus embriogenik harus pula diikuti oleh keberhasilan
melakukan regenerasi kalus menjadi planlet. Regenerasi tunas dari eksplan kalus
merupakan proses yang kompleks, karena dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya
faktor genotipe, tipe eksplan dan keseimbangan zat pengatur tumbuh, dalam hal ini
auksin dan sitokinin serta kondisi fisiologi kalus (Gaba 2005). Mengacu dari penelitian
sebelumnya, kalus nilam dapat beregenerasi menjadi tunas menggunakan media MS+BA
0.5 mg l -1 dan dilakukan pengurangan BA 0.1 mg l -1 setiap kali subkultur hingga
terbentuk tunas (Mariska et al. 1997), namun sejalan dengan lamanya tunas disubkultur
sebagai materi penelitian ini, kalus nampaknya menjadi sulit beregenerasi, sehingga perlu
mencari komposisi media regenerasi yang tepat untuk mendapatkan regeneran.
Ketersediaan kalus dalam jumlah yang banyak dan kualitas yang baik (kalus
embriogenik) serta kalus tersebut dapat diregenerasikan menjadi planlet, memungkinkan
penggunaan kalus sebagai material untuk iradiasi sinar gamma dapat dilakukan.
Perlakuan iradiasi sinar gamma pada kalus yang telah mengalami beberapa subkultur
dimaksudkan untuk meningkatkan variasi somaklonal sebagai material untuk seleksi in
vitro menggunakan agen penyeleksi polyethylena glicol (PEG) dalam upaya
mendapatkan tanaman nilam yang toleran terhadap cekaman kekeringan.
28 Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi media kultur yang terbaik
dalam menginduksi dan memperbanyak populasi kalus embriogenik menggunakan
komposisi BA dan 2,4-D dalam media dasar MS serta untuk mendapatkan media
regenerasi yang terbaik dalam menghasilkan regeneran (planlet). Selain itu, untuk
mempelajari respon kalus embriogenik dalam media selektif PEG dan pengaruhnya
terhadap iradiasi sinar gamma dalam menekan pertumbuhan kalus Bahan dan Metode
Bahan tanaman yang digunakan adalah klon nilam Tapak Tuan hasil perbanyakan secara
in vitro dan merupakan salah satu klon harapan yang dikoleksi oleh Balitbiogen. Induksi
dan perbanyakan populasi kalus embriogenik sebagai bahan untuk seleksi in vitro Kalus
dikembangkan dari eksplan daun tunas hasil perbanyakan secara in vitro. Daun di iris-iris
dengan ukuran kurang lebih 0,6 x 0,6 mm, selanjutnya di tanam dalam media dasar MS
ditambahkan gula sukrosa 30 g l -1 dan agar 8 g l -1 dan diperkaya dengan BA dan 2,4-D
dengan konsentrasi berdasarkan perlakuan. Setiap botol kultur diisi sebanyak 5 eksplan.
Pemindahan eksplan ini dilakukan setelah sebelumnya media tersebut diautoklaf pada
tekanan 20 psi selama 15 25 menit. Botol kultur yang sudah ditanami disimpan dalam
ruang kultur dengan temperatur ruang yang konstan 26 o C. Penyinaran ruang kultur
menggunakan lampu TL 100 wat dengan intensitas penyinaran selama 16 jam per hari.
Untuk mengatur gelap dan terang, digunakan timer di ruang kultur. Kalus yang terbentuk
dipisahkan dari bagian daun yang tidak terbentuk, juga dari kalus yang terbentuk dipilih
kalus yang embriogenik. Kalus yang embriogenik selanjutnya di subkultur dalam media
yang sama dengan penambahan BA dan 2,4-D dengan konsentrasi berdasarkan
perlakuan. Perbanyakan populasi kalus embriogenik dilakukan terus menerus untuk
memenuhi kebutuhan iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro pada percobaan
berikutnya.
Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap, terdiri atas lima perlakuan,
diulang 10 kali, sehingga terdapat 50 unit percobaan (50 botol kultur), setiap 1 botol
kultur terdiri atas 5 eksplan daun. Perlakuan tersebut adalah : MS+2,4-D 0.5 mg.l -1 ; MS
+BA 0,1 mg l -1 + 2,4-D 0.5 mg l -1 ; MS+BA 0.1 mg.l -1 + 2,4-D 1.0 mg l -1 ; MS+BA
0.2 mg l -1 + 2,4-D 0.5 mg l -1 ; MS+BA 0.2 mg l - 1 +2,4-D 1.0 mg l -1 . Peubah yang
diamati meliputi persentase eksplan yang berkalus, persentase luas area eksplan berkalus,
diameter kalus dan bobot segar kalus. Media yang memberikan respon yang terbaik
terhadap pertumbuhan kalus selanjutnya digunakan untuk media induksi kalus. Kegiatan
subkultur dilakukan sebanyak enam kali dengan empat minggu sekali. Perbanyakan kalus
pada iradiator Gamma Chamber 4000 A. Laju dosis 204.4437 krad/jam (pada April
2003). Setelah diradiasi selanjutnya dipindahkan pada media yang baru dengan
komposisi media yang sama sebelumnya. Setelah kalus diradiasi sinar gamma, kalus
tersebut dipindahkan pada media MS + 2,4-D 1.0 mg l -1 , setiap botol kultur diisi
sebanyak 10-12 kalus. Waktu pemindahan tidak melebihi 24 jam. Percobaan ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap, terdiri atas enam perlakuan yaitu lima
perlakuan iradiasi sinar gamma dan tanpa iradiasi (kontrol), masing-masing diulang
sebanyak lima kali, sehingga terdapat 30 unit percobaan. Setiap unit percobaan
menggunakan satu botol kultur (satu botol terdiri dari 10-12 kalus embriogenik). Dengan
demikian terdapat 30 botol kultur (352 kalus embriogenik). Peubah yang diamati meliputi
keadaan kalus setelah empat minggu pada media sub kultur pertama yaitu kondisi dan
warna kalus serta persentase kalus yang mati. Pengamatan dilakukan pada akhir
subkultur-2 dan sub kultur-3 (akhir seleksi). Hasil dan Pembahasan Induksi dan
perbanyakan populasi kalus Induksi dan perbanyakan populasi kalus merupakan
pekerjaan utama dalam mendukung keberhasilan percobaan selanjutnya. Pembentukan
kalus dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya bahan eksplan, umur, dan zat
pengatur tumbuh. Komposisi dan keseimbangan konsentrasi ZPT dalam hal ini auksin
dan sitokinin, berperan dalam mengarahkan eksplan membentuk kalus. Ketidak
seimbangan komposisi dan konsentrasi auksin dan sitokinin, mengakibatkan eksplan
tidak dapat membentuk kalus, akan tetapi eksplan tersebut membentuk tunas adventif.
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa komposisi BA 0.1mg l -1 + 2,4-D 1.0 mg.l -1 dalam
media MS menghasilkan persentase eksplan berkalus 78.2 % dan nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan komposisi lainnya kecuali komposisi BA 0.2 mg l -1 + 2,4-D 1.0
mg l -1 dengan persentase eksplan berkalus 70.59 %. Persentase ekplan berkalus pada
media MS+BA 0.1 mg l -1 + 2,4-D 0.5 mg l -1 + dan MS+BA 0.2 mg l -1 2,4-D 0.5 mg l
-1 masing-masing 52.83 % dan 55.77 %. Media MS yang diberi 2,4-D 0,5 mg l -1 tanpa
pemberian BA memberikan pengaruh buruk terhadap jumlah eksplan berkalus dengan
persentase ekplan berkalus 37.7 % Media MS+ BA 0.1 mg l -1 dan 2.4-D 1.0 mg.l -1
juga memberikan pengaruh terbaik dalam membentuk luas permukaan eksplan berkalus
dengan persentase luas permukaan berkalus 71.8 %, namun tidak berbeda nyata dengan
media MS + BA 0.2 mg l -1 + 2,4-D 0.1 mg l -1 dengan luas permukaan eksplan berkalus
55.69 %. Media MS+ BA 0.1 mg l -1 + 2,4- D 0.5 mg l -1 dan MS+ BA 0.2 mg l -1 +
2,4- D 0.5 mg l -1 membentuk luas permukaan eksplan berkalus masing-masing 46.60 %
dan 44.63 %, nyata lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan MS+BA 0.2 mg l -1 +
2,4-D 1.0 mg l -1 . Media MS yang hanya diberi 2,4-D 0.5 mg l -1 (tanpa BA)
menginduksi luas permukaan eksplan berkalus terendah yaitu 33.70 %. Kalus merupakan
kumpulan sel kompeten yang terdediferensiasi. Kalus terbentuk akibat adanya pelukaan
atau irisan pada permukaan eksplan, kelompok sel tersebut terpacu pertumbuhannya
karena tersedianya hormon endogen maupun eksogen, dalam hal ini BA dan 2,4-D dalam
jumlah yang seimbang. Kalus yang terbentuk tersebut pertumbuhannya menyebar ke
berbagai permukaan dan menutupi bagian permukaan eksplan, dan akhirnya membentuk
gumpalan sel-sel yang terdediferensiasi. Kalus pada umumnya terbentuk pada umur 3
minggu setelah eksplan dikulturkan. Laju pertumbuhan kalus dipengaruhi oleh
keseimbangan antara BA dan 2,4-D dalam media MS. Ketersediaan BA 0.1 mg l -1 +
2,4-D 1.0 mg l -1 dalam media dasar MS dapat memberikan keseimbangan hormon
endogen dan eksogen dalam sel tanaman, sehingga sel-sel akan terpacu untuk membelah.
Aktifnya pembelahan sel menyebabkan kalus berkembang dengan pesat. Hasil penelitian
Bhau dan Wakhlu (2001), juga melaporkan hal yang sama dengan hasil penelitian ini,
yaitu dengan penambahan BA 0.1 mg l -1 dan 2,4-D 1.0 mg l -1 ke dalam media MS
dapat menginduksi kalus pada 3 varietas Murbei Ichinose, Kokuso-27 dan Chinese white
berturut-turt 85 %, 60 % dan 80 %, sedangkan pada konsentrasi BA yang lebih tinggi dan
tanpa pemberian BA dalam media MS menyebabkan penurunan persentase eksplan
berkalus.
Auksin dan sitokinin yang cukup dan seimbang dibutuhkan dalam kultur in vitro karena
auksin seperti 2,4-D dapat meningkatkan daya aktifitas dalam memacu pembelahan sel.
Pembelahan sel terus menerus tanpa diikuti pembesaran dan pemanjangan sel akan
menyebabkan terbentuknya kalus (Krikorian 2004). Pemberian sitokinin konsentrasi
rendah dalam media MS yang mengandung auksin dapat membantu inisiasi kalus
(Wattimena 1988), namun jika digunakan dalam konsentrasi yang lebih tinggi akan
terjadi pemanjangan dan pembesaran sel yang lebih mengarahkan pada terbentuknya
tunas (Gaba 2005). Penelitian organogenesis tidak langsung (melalui kalus)
menggunakan kombinasi BA dan 2,4-D telah banyak diteliti sebelumnya, diantaranya
hasil penelitian Denchev dan Conger (1995) pada tanaman Switchgrass yang
menunjukkan bahwa penggunaan komposisi media MS dengan penambahan BA dan 2,4D dapat meningkatkan persentase kalus embriogenik, sedangkan media yang tidak diberi
BA pembentukan kalus nonembriogenik meningkat atau menurunkan kalus embriogenik.
Hasil penelitian pada tanaman Hypericum brasilence menggunakan eksplan ruas batang,
penambahan 2,4-D 1.0 mg l -1 dalam media MS menginduksi eksplan berkalus sebesar
62.2 % dan pengaruhnya berbeda nyata dengan perlakuan 2,4-D 0,5 mg l -1 yang hanya
menginduksi kalus 35.5 % (Cardoso dan de Oliveira 1996). Gray (2005) dalam
laporannya menyebutkan bahwa penambahan 2,4-D dalam media MS yang terlalu rendah
tidak akan memberikan respon yang baik terhadap induksi kalus, sedangkan konsentrasi
yang terlalu tinggi, 2,4-D bersifat toksik sehingga mengurangi kemampuan eksplan
membentuk kalus. Mahalakshmi et al. (2003) juga melaporkan hal sama, yaitu
penggunaan BA tanpa pemberian auksin (2,4-D) dalam media MS menyebabkan eksplan
tidak berkalus, sedangkan pemberian BA + 2,4-D masing-masing 10 M, dapat
mempercepat dan meningkatkan kemampuan eksplan membentuk kalus. Beberapa
peneliti lain juga menemukan hasil yang sama, bahwa penggunaan 2,4-D tanpa BA dalam
media dasar MS berpengaruh kurang baik terhadap kemampuan eksplan berkalus pada
tanaman murbei (Kathiravan et al. 1997) dan Morus indica (Sahoo et al. 1997). Kalus
yang terbentuk sebagaimana yang dilaporkan pada Tabel 1, disubkultur yang bertujuan
untuk mempercepat pertumbuhan kalus. Komponen pertumbuhan kalus meliputi diameter
dan bobot kalus, diamati pada umur satu bulan (subkultur-1) dan umur dua bulan
(subkultur-2) (Tabel 2). Kalus yang disubkultur pada media MS + BA 0.1 mg l -1 + 2,4D 0.5 mg l -1 nyata lebih cepat petumbuhaannya dibandingkan dengan media MS + BA
0.2 + 2.4- D 1.0 mg l -1 dan MS + BA 0.2 mg l -1 + 2,4-D 0.5 mg l -1 dengan diameter
dan bobot segar kalus pada subkultur-2, masing-masing 2.43 cm dan 2.96 cm, sedangkan
pada media MS + BA 0.2 mg l -1 + 2,4-D 1.0 mg l -1 dan MS + BA 0.2 mg l -1 + 2,4-D
0.5 mg l -1 diameter kalus masing-masing 1.64 dan 1.98 cm, dan bobot segar kalus
masing- masing 2.03 g dan 2.21 g. Diameter kalus dan bobot segar kalus yang
disubkultur dalam media MS+ BA 0.1 mg l -1 +2,4-D 1.0 mg l -1 walaupun pengaruhnya
tidak berbeda nyata dengan media MS+BA 0.1 mg l -1 + 2,4-D 0.5 mg l -1 , namun
Sejalan dengan nilai indeks kalus, kalus yang mati dalam media seleksi yang
mengandung PEG dapat diamati dari perubahan warna kalus dan ukuran (diameter kalus).
Semakin tinggi konsentrasi PEG yang dalam media MS, semakin meningkatkan
persentase kalus yang mati (menurunkan persentase kalus hidup) dan semakin
menurunkan ukuran diameter kalus (Tabel 5). Kalus dalam media MS+ PEG 25 % dapat
menyebabkan kematian kalus 100 %, sedangkan kalus dalam media MS+PEG 20 % pada
akhir seleksi mampu bertahan hidup 24.24 % yang berarti persentase kematian kalus
mencapai 75.76 %. Pertumbuhan kalus dalam media seleksi menggunakan PEG hanya
diamati melalui diameter kalus, sedangkan untuk pengamatan bobot segar kalus tidak
diamati dengan pertimbangan akan terjadi kontaminasi saat dilakukan pengamatan dan
hal tersebut menyulitkan dalam pengamatan komponen lainnya, seperti pengamatan
regenerasi. Peningkatan konsentrasi PEG menurunkan pertumbuhan kalus (diameter) dan
jumlah kalus yang mati. Kalus mengalami hambatan pertumbuhan dalam media
MS+PEG 20% dan MS+PEG 25%, hal tersebut dapat dilihat dari uji statistika yang
memperlihatkan pengaruh yang nyata dibandingkan dengan kontrol dan konsentrasi PEG
yang lebih rendah. Ketidak mampuan kalus dapat bertahan pada konsentrasi PEG 25 %
disebabkan oleh rendahnya potensial air dalam media selektif sehingga sel-sel (kalus)
tidak mampu mengabsorsi air dalam media dan hal tersebut dapat menyebabkan kematian
kalus. Pada Gambar 4 menunjukkan pertumbuhan kalus dalam media selektif PEG.
Kemampuan kalus dapat bertahan hidup pada media selektif PEG tergantung dari
konsentrasi PEG, jenis tanaman (genotipe) dan lamanya kalus mengalami tekanan seleksi
dalam media selektif (Biswas 2002). Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa beberapa
kalus nilam mampu bertahan pada PEG 20 %, sedangkan pada kalus tanaman padi
dilaporkan dapat bertahan hidup pada PEG 25 %, tetapi pada subkultur yang lebih singkat
(Lestari 2005). Demikian pula pada kalus embriosomatik kedelai dilaporkan mampu
bertahan hidup pada konsentrasi PEG subletal 20% (Widoretno 2003), sedangkan kalus
embriosomatik kacang tanah dilaporkan mampu bertahan hidup pada konsentrasi PEG
subletal 15 % (Hermon 2007).
Kesimpulan
1. Media MS+BA 0.1 mg l -1 +2,4-D 1.0 mg l -1 merupakan media terbaik untuk
menginduksi kalus dengan persentase eskplan daun berkalus lebih tinggi dan eksplan
daun yang berkalus lebih luas. Media MS+BA 0.1 mg l -1 +2,4-D 0.5 mg l -1 merupakan
media yang baik untuk perbanyakan populasi kalus. 2. Media MS+BA 0.5 mg l -1
+Prolin 100 mg l -1 merupakan komposisi media terbaik dalam meregenerasikan kalus
menjadi tunas serta jumlah tunas yang lebih banyak. 3. Semakin tinggi konsentrasi PEG
dalam media MS sebagai media selektif, semakin menurunkan kemampuan kalus
bertahan hidup dan menurunkan persentase kalus bertunas serta jumlah tunas yang
dihasilkan lebih sedikit. Media seleksi PEG 25 % dapat menyebabkan persentase
kematian kalus 100 %, sedangkan media seleksi PEG 20 % persentase kematian kalus
75.76 % dan persentase kalus bertunas 25.0%. Berdasarkan persentase kematian kalus
tersebut, konsentrasi PEG 20 % dapat dijadikan sebagai konsentrasi subletal. 4. Semakin
tinggi dosis iradiasi sinar gamma, semakin menekan kemampuan kalus bertahan hidup.
Dosis iradiasi 20 Gy dapat mematikan kalus kurang dari 20 % pada 90 hari setelah
iradiasi, sehingga merupakan batas toleransi kematian kalus yang dapat ditolerir untuk
seleksi in vitro pada percobaan selanjutnya.
variance of shoot growth. Somaclones from 20 % PEG (on two method) had high level of
survival on rise huk charcoal containing of 20 % PEG compared to somaclones from
lower of PEG on the whole selection method. Key words : Gamma ray irradiation,
polyethilene glycol (PEG), in vitro selection and drought stress.
Pendahuluan
Tanaman nilam yang umum dibudidayakan oleh petani di Indonesia adalah jenis nilam
Aceh. Hingga kini jenis nilam tersebut belum ditemukan ada yang berbunga. Hal tersebut
menyebabkan sempitnya keragaman genetik tanaman nilam dan sulitnya memperoleh
jenis atau klon baru. Keterbatasan jumlah klon yang tersedia merupakan salah satu
kendala dalam melakukan seleksi untuk memperoleh klon unggul yang adaptif terhadap
cekaman biotik dan abiotik. Ketidakstabilan genetik yang disebabkan oleh penggunaan
kultur in vitro, terutama melalui kultur sel dan kalus merupakan fenomena keragaman
somaklonal dan dapat dijadikan sebagai salah satu metode untuk meningkatkan
keragaman genetik tanaman nilam. Keragaman somaklonal umumnya bersumber dari
keragaman genetik eksplan dan dalam media kultur jaringan (Wattimena 1992).
Keragaman somaklonal merupakan mutasi in vitro yang secara efektif dapat
ditingkatkatkan frekuensi terjadinya mutan somaklon melalui pemberian mutagen fisik
(Ahloowalia dan Maluszynski 2001). Mutasi yang dihasilkan melalui mutagen fisik telah
intensif digunakan untuk memperbaiki sifat tanaman (Das et al. 2000). Kombinasi antara
teknik in vitro dan induksi mutagen fisik direkomendasikan untuk memperbaiki kultivar
tanaman yang diperbanyak secara vegetatif (Maluzynski et al. 1995; Das et al. 2000).
Penggunaan mutagen fisik seperti iradiasi sinar gamma pada kultur in vitro banyak
dilaporkan penggunaannya dalam upaya mendapatkan keragaman somaklon dengan
berbagai karakter unggul yang diinginkan (Ahloowalia 1990). Penggunaan iradiasi sinar
gamma pada kultur in vitro umumnya dilakukan pada dosis rendah (Al-Safadi et al. 2000;
La Vina et al. 2001). Penggunaan iradiasi sinar gamma dengan dosis rendah dapat
menstimulasi pertumbuhan tanaman secara in vitro (Al-Safadi et al. 2000). Selain itu juga
dapat menginduksi perubahan fisiologi dan biokimia tanaman (Berezina dan Kaushanskii
1989). Iradiasi sinar gamma sebaiknya dilakukan pada sel-sel yang masih aktif membelah
seperti kalus karena sel-sel tersebut bersifat sensitif terhadap iradiasi sinar gamma.
Pemberian iradiasi sinar gamma dengan dosis 10 100 Gy pada kalus dapat
menyebabkan peningkatan keragaman somaklonal (Van Harten 1998).
Peningkatan keragaman somaklonal pada tanaman nilam menggunakan iradiasi sinar
gamma telah dilaporkan oleh Mariska et al. (1996). Keragaman somaklonal dapat
digabungkan dengan seleksi in vitro untuk memperoleh suatu sifat unik yang diinginkan.
Teknik seleksi in vitro digunakan untuk mengembangkan tanaman toleran terhadap
cekaman abiotik seperti toleran terhadap cekaman kekeringan, cekaman temperatur
rendah (dingin) dan panas, cekaman aluminium serta cekaman salinitas (Bajji et al.
2004). Seleksi in vitro lebih efesien dan hasilnya dapat dipertanggung jawabkan, karena
melalui seleksi in vitro jutaan sel dapat diseleksi dengan hanya menggunakan beberara
botol kultur atau petridisk, sedangkan seleksi di lapang harus menggunakan beratus- ratus
tanaman yang diuji pada areal yang lebih luas, selain itu seleksi in vitro tidak terlalu
dipengaruhi oleh lingkungan serta memungkinkan melakukan seleksi pada tingkat sel
(Biswas et al. 2002). Seleksi in vitro telah banyak digunakan untuk mendapatkan
tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Beberapa jenis tanaman dilaporkan
mengalami peningkatan toleransi terhadap cekaman kekeringan, diantaranya tanaman
bunga matahari (Praksh et al. 1994), tomat (Handa et al. 1986), Wortel (Fallon dan
Fhilips 1989), padi (Reddy et al. 1994), kedelai (Adkin et al. 1995; Duncan et al. 1995;
Widoretno 2003), dan kacang tanah (Hermon 2006). Menurut Bajji et al. (2004), terdapat
korelasi yang positif antara kultivar gandum yang diketahui bersifat toleran terhadap
cekaman kekeringan berdasarkan uji lapang dengan respon kalus yang toleran terhadap
stres osmotik hasil kultur in vitto. Penggunaan seleksi in vitro untuk toleransi terhadap
cekaman kekeringan dimungkinkan karena tersedianya agen penyeleksi seperti mannitol
(Rajahekar 1995) dan polyetilene glycol (PEG) (Santoz-Diaz dan Ochoa-Alejo, 1994)
Penggunaan PEG lebih umum digunakan karena PEG merupakan senyawa yang stabil,
non ionik, mempunyai polimer yang panjang dan larut dalam air, dapat digunakan dalam
berat molekul dengan sebaran yang lebih luas dan dapat mengikat air sehingga dapat
menurunkan potensial air dalam kultur in vitro (Dami dan Huges 1997). PEG dengan
BM>= 4000 merupakan senyawa osmotik yang tidak menyebabkan plasmolisis, tidak
dapat melewati dinding sel dan tidak bersifat racun pada tanaman (Kong et al. 1998).
Dengan demikian sel-sel kalus atau eksplan yang mati dalam kultur in vitro yang
mengandung PEG bukan disebabkan oleh PEG yang diabsorbsi ke dalam sel atau
jaringan tanaman, melainkan disebabkan oleh pengaruh penurunan potensial air dalam
media kultur sehingga menyebabkan tanaman mengalami stres. Beberapa penelitian
sebelumnya melaporkan bahwa semakin tinggi konsentrasi PEG dalam kultur in vitro,
semakin menekan pertumbuhan kalus. Dengan demikian kalus yang mampu bertahan
hidup pada konsentasri PEG tertentu, dimana kalus yang lain tidak lagi mampu bertahan
(mati), mengindikasikan bahwa kalus tersebut mempunyai sifat toleransi terhadap media
selektif PEG. Sutjahjo et al. (2007), melaporkan bahwa konsentrasi PEG 20 % dapat
menyebabkan kematian kalus 66,9 85,0 %. Kalus yang berhasil diregenerasikan
menjadi tanaman lengkap berpeluang lebih besar mempunyai sifat toleran terhadap
cekaman kekeringan dan sifat tersebut dapat diwariskan pada generasi berikutnya.
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keragaman somaklonal melalaui pemberian
iradiasi sinar gamma pada eksplan kalus yang telah mengalami subkultur berulang, dan
melalui seleksi in vitro menggunakan agen penyeleksi PEG diharapkan dapat diperoleh
varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Selain itu, untuk mengetahui respon
planlet terhadap media arang sekam yang diberi larutan PEG 20 %. Bahan dan Metode
Bahan yang digunakan adalah populasi kalus embriogenik hasil perbanyakan populasi
kalus pada percobaan 1. Perlakuan iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro
menggunakan PEG Iradiasi sinar gamma dilakukan dengan prosedur : Populasi kalus
embriogenik hasil perbanyakan populasi kalus yang dilakukan pada percobaan
sebelumnya, dipindahkan pada media MS + 2,4 D 0.5 mg l -1 . Setiap botol kultur diisi
sebanyak 20-25 eksplan kalus yang ukurannya kurang lebih 2 mm 2 dan dibiarkan selama
dua hari di ruang kultur. Eksplan tersebut selanjutnya diradiasi sinar gamma dengan dosis
: 0 (kontrol), 5, 10, 15 dan 20 Gy menggunakan bahan aktif Co 60 pada iradiator Gamma
Chamber 4000 A. Laju dosis 204,4437 krad/jam (pada April 2003). Setelah diradiasi,
kalus dipindahkan pada media MS + 2,4 D 1.0 mg.l -1 dengan waktu pemindahan tidak
melebihi 24 jam. Setiap botol kultur diisi sebanyak 10-12 kalus. Kalus tersebut disimpan
pada ruang kultur selama seminggu sebelum dilakukan seleksi in vitro menggunakan
PEG. Seleksi in vitro menggunakan agen penyeleksi PEG pada kalus yang telah diradiasi
sinar gamma Seleksi in vitro dilakukan melalui 3 metode seleksi, yaitu (1) seleksi
menyeluruh, adalah seleksi in vitro yang dilakukan pada semua konsentrasi PEG
(kombinasi dosis iradiasi sinar gamma dan konsentrasi PEG), (2) seleksi langsung, yaitu
seleksi in vitro yang dilakukan dengan menggunakan dosis subletal (PEG 20 %) dan (3)
seleksi secara bertahap, yaitu seleksi in vitro yang dilakukan dengan tahapan konsentrasi
yang lebih rendah ke konsentrasi yang lebih tinggi. Varian yang toleran akibat perlakuan
PEG 20 %) Setiap perlakuan diulang 10 kali, sehingga terdapat 50 unit percobaan. Setiap
unit percobaan 4-5 kalus embriogenik (1 botol kultur), sehingga perobaan ini
menggunakan 243 kalus embriogenik (250 botol kultur). Pengamatan dilakukan setiap
kali subkultur, meliputi kondisi dan warna kalus, persentase dan jumlah kalus yang mati
serta persentase kalus yang dapat diregenerasikan. Regenerasi kalus menjadi tanaman
lengkap dan aklimatisasi Kalus hasil seleksi dari 3 metode seleksi diregenerasikan
menjadi tanaman lengkap dengan prosedur : populasi kalus hasil seleksi atau bertahan
hidup pada tekanan seleksi ditanam pada media regenerasi MS+BA 0.5 mg l -1 + prolin
100 mg l -1 . Selanjutnya disimpan dalam ruang kultur dengan suhu ruang 26 o C dan
penyinaran 14 jam. Setelah kultur berumur 3 minggu, dilakukan subkultur menggunakan
media regenerasi yang segar dengan komposisi media regenerasi yang sama sebelumnya
hingga terbentuknya tunas dan akar. Tunas yang terbentuk terdiri atas gerombol tunas
yang merupakan individu yang berbeda, sehingga setiap individu tunas tersebut dapat
dijadikan sebagai nomor-nomor somaklon yang berbeda. Nomor - nomor somaklon
tersebut, selanjutnya disubkultur pada media MS+BA 0.1 mg l -1 , dimaksudkan untuk
memperoleh ulangan yang lebih banyak. Tunas selanjutnya diaklimatisasi di rumah kaca.
Tanaman yang diperoleh merupakan generasi pertama yang dikembangkan secara in vitro
(MV 1 ) Aklimatisasi dilakukan dengan cara memindahkan planlet ke dalam polybag
ukuran 10 cm x 15 cm yang berisi campuran tanah, kompos, dan pasir dengan
perbandingan 1 : 1 : 1. Selanjutnya dilakukan penyungkupan. Sungkup yang digunakan
adalah gelas air mineral. Setelah umur 10 hari, sungkup dilepas dan dipelihara hingga
umur 30 hari. Untuk menghindari dari gangguan hama (umumnya semut), dilakukan
penyemprotan Decis 1 g l -1 . Seleksi individu (planlet) menggunakan media arang
sekam yang diberi larutan PEG 20 % Seleksi individu (planlet) menggunakan planlet
hasil regenerasi dari seleksi in vitro menyeluruh dan bertahap. Planlet ditanam dalam
polibag ukuran 5 x 7 cm berisi arang sekam, selanjutnya disiram dan disungkup dan
ditempatkan di rumah kaca. Setelah planlet berumur 10 hari, sungkup dilepas dan
dibiarkan hingga planlet berumur 20 hari. Planlet yang akan diseleksi adalah planlet yang
pertumbuhannya normal. Larutan PEG yang digunakan adalah PEG 20% (200 g
dilarutkan dalam 1 liter air), dan dimasukkan dalam wadah (baskom plastik) berukuran
40x60 cm, selanjutnya diberi pupuk NPK Plus sebanyak 3 g l -1 air. Pada baskom yang
lain, diisi air tanpa PEG dan juga diberi pupuk NPK plus. Ketinggian larutan dalam
baskom kurang lebih 2.5 cm. Tunas yang bertahan hidup dan tumbuh normal dimasukkan
dalam baskom sesuai perlakuan, selanjutnya dilakukan penyiraman menggunakan larutan
dari dalam baskom itu sendiri. Setelah planlet berumur 30 hari, dilakukan pengamatan
meliputi kondisi planlet (bertahan hidup atau mati). Planlet yang bertahan hidup
dilakukan pengamatan meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, lebar daun, panjang daun
dan panjang akar. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh perlakuan PEG 20 % dan
tanpa PEG (kontrol) dilakukan analisis statistika menggunakan uji-t. Hasil dan
Pembahasan Pengaruh iradiasi sinar gamma dan PEG terhadap kualitas, persentase
kematian kalus dan pertumbuhan kalus Sebelum kalus diseleksi menggunakan media
selektif (PEG), terlebih dahulu kalus diradiasi dengan berbagai dosis sinar gamma. Kalus
yang telah diradiasi dipindahkan ke media proliferasi menggunakan media perbanyakan
kalus yaitu MS+BA 0.1 mg l -1 + 2,4-D 0.5 mg l -1 . Setelah seminggu, kalus tersebut
dipindahkan ke media seleksi yakni media yang mengandung PEG dengan berbagai
konsentrasi berdasarkan perlakuan. Kalus yang dikultur pada media seleksi mengandung
PEG dipilih dengan kriteria kalus berwarna bening/putih, dan berstruktur remah (kalus
embriogenik) serta diberi indeks kualitas = 5. Kondisi kalus tersebut mengalami
perubahan kualitas sejalan dengan lamanya kalus dalam media kultur (subkultur) sebagai
pengaruh dari tekanan seleksi PEG maupun sebagai efek dari iradiasi sinar gamma.
Perubahan warna kalus tanaman nilam bergantung pada media yang digunakan.
Perubahan warna kalus tersebut secara umum disajikan pada Gambar 6. Pengamatan
indeks kualitas kalus setelah mengalami tiga kali subkultur menunjukkan bahwa nilai
indeks kualitas kalus menurun sejalan dengan peningkatan konsentrasi PEG pada semua
level dosis iradiasi, selain itu kualitas kalus juga menurun sejalan dengan lamanya kalus
disubkultur (Tabel 9). Penurunan indeks kualitas kalus akhir subkultur-3 paling serius
dialami oleh kalus yang diseleksi pada PEG 20 % dengan indeks kualitas 0.7 1.2, yang
berarti bahwa kalus tersebut rendah kualitasnya. Kualitas kalus yang rendah akan sulit
mengalami regenerasi. Kalus tanpa seleksi (kontrol) dan diseleksi dengan PEG 5 % PEG 15 % memperlihatkan kondisi kalus yang relatif lebih baik dengan indeks kualitas
2.0 4.9. Kalus dengan kondisi tersebut mempunyai peluang keberhasilan beregenerasi
lebih baik. Penurunan kualitas kalus hasil seleksi PEG yang sebelumnya diradiasi sinar
gamma disajikan pada Gambar 7. Keberadaan kalus dalam media yang mengandung PEG
20 % sangat sulit mengabsorbsi air serta mineral yang tersedia di dalam media kultur
karena air dijerap oleh senyawa PEG. Hal ini menyebabkan sel tidak aktif berproliferasi
karena terhambatnya proses pembelahan sel. Kalus yang aktif berproliferasi terlihat lebih
bening dan strukturnya lebih kompak, sebaliknya kalus yang mengalami hambatan
proliferasi berwarna kecoklatan hingga coklat kehitaman dan strukturnya tidak kompak.
Kalus tersebut sangat sulit mengalami regenerasi. Perubahan warna kalus yang dikaitkan
dengan kualitas kalus yaitu kalus embriogenik dan nonembriogenik juga dilakukan oleh
peneliti sebelumnya, misalnya pada kalus tanaman padi yang diseleksi dengan PEG
(Lestari 2005) dan padi yang diseleksi menggunakan Al (Edi 2004). Biswas et al. (2002)
juga menggunakan indeks kualitas kalus tanaman padi berdasarkan tingkat kesehatan
kalus sebagai salah satu komponen pengamatan pada seleksi in vitro menggunakan PEG.
Kalus dari semua genotipe padi yang diseleksi PEG 15 % mempunyai indeks kesehatan
kalus terendah dengan nilai kesehatan 8-9 dengan persentase kalus embriogenik 22.8 25.5%, sedangkan kalus tanpa seleksi mempunyai indeks kesehatan kalus antara 2-5
dengan persentase kalus embriogenik dapat mencapai 55 %. Dengan demikian semakin
tinggi konsentrasi 56 PEG, semakin menurunkan tingkat kesehatan kalus sehingga
menurunkan persentase kalus embriogenik atau meningkatkan kalus non embriogenik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kalus yang diseleksi pada PEG 20 %,
meningkatkan kalus non embriogenik, akibatnya hanya diperoleh sedikit kalus yang
masih embriogenik. Kalus tersebut merupakan kalus yang bertahan hidup dari stres yang
diakibatkan oleh PEG. Menurut Paterson dan Smith (1991), karakteristik kalus yang
embriogenik adalah kalus berwarna putih hingga kekuningan, mengkilat dan remah
sehingga mudah dipisahkan membentuk fragmen. Kalus yang masih bersifat embriogenik
dalam media seleksi PEG 20 % memungkinkan dapat diregenerasikan menjadi
tananaman lengkap, sehingga regeneran yang dihasilkan dari kalus tersebut diharapkan
membawa sifat yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Sebaliknya kalus yang tidak
dapat bertahan dalam media selekitif PEG merupakan kalus yang peka terhadap cekaman
kekeringan. Sejalan dengan indeks kualitas kalus yang diamati dari warna dan struktur
kalus, persentase kematian kalus berhubungan langsung dengan indeks kualitas kalus,
artinya semakin rendah indeks kualitas kalus semakin tinggi persentase kalus yang mati,
dan sebaliknya semakin tinggi indeks kualitas kalus semakin rendah persentase kalus
yang mati dan memungkinkan lebih banyak kalus yang dapat diregenerasikan. Kalus
yang mati umumnya berwarna hitam dan tidak menampakkan adanya bahagian kalus
yang mengalami proliferasi, juga kalus mempunyai struktur yang lembek dan rapuh.
Kalus tersebut umumnya tidak dapat beregenerasi. Pada Gambar 8 menunjukkan
pengaruh PEG terhadap kualitas kalus.
Semakin tinggi konsentrasi PEG, semakin meningkat persentase kalus yang mati pada
semua level dosis iradiasi sinar gamma (Tabel 10). PEG 20 % pada akhir seleksi
mengakibatkan tingginya persentase kematian kalus dan pengaruhnya berbeda nyata
dengan persentase kalus mati pada perlakuan PEG dengan konsentrasi yang lebih rendah
pada semua level dosis iradiasi sinar gamma. Nampak bahwa sejak dari subkultur-1,
kalus pada media selektif PEG 20 % telah mengalami kematian yang tinggi, selanjutnya
kematian kalus cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya level dosis iradiasi
sinar gamma. Demikian pula pada subkultur-2 menunjukkan hal yang sama, dimana
terjadi persentase kematian kalus paling tinggi pada dosis 20 %. Kombinasi antara
iradiasi sinar gamma 10 Gy, 15 Gy dan 20 Gy dengan PEG 20 % pada akhir seleksi
(subkultur-3), mengakibatkan kematian kalus dengan persentase berturut- turut 90.5, 100
dan 85.0 %, sedangkan pada kalus tanpa iradiasi (0 Gy) dan 5 Gy persentase kalus yang
mati berturut-turut 65.3 % dan 66.7 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa iradiasi sinar
gamma memberi pengaruh dalam meningkatkan persentase kalus yang mati. Kalus yang
dikultur pada media PEG 0 % (kontrol), pada dosis 10 20 Gy kematian kalus hanya
sebagai akibat pengaruh iradiasi sinar gamma. Sebagaimana yang dilaporkan sebelumnya
bahwa efek iradiasi sinar gamma pada selang dosis 0-20 Gy dapat mematikan kalus
hingga 20 %. Seleksi in vitro menggunakan konsentrasi subletal PEG 20 % (seleksi
langsung) mengakibatkan tingginya persentase kalus yang mati. Persentase kalus mati
meningkat sejalan dengan meningkatnya level dosis iradiasi sinar gamma serta lamanya
kalus disubkultur (Tabel 11). Persentase kematian kalus pada pengamatan subkultur-1
mencapai 46.7 75.5 %, pada pengamatan subkultur-2 terjadi peningkatan persentase
kematian kalus 61.3 79.3 %, demikian pula pada pengamatan subkultur-3 yang
mencapai 79.3 93.1 %. Pada pengamatan subkultur-1 dan 2, persentase kematian kalus
pada perlakuan 10, 15 Gy tidak berbeda nyata dengan 20 Gy, namun pada subkultur-3
persentase kematian kalus pada 10 Gy berbeda nyata dengan 15 dan 20 Gy. Hal ini
menunjukkan bahwa persentase kematian kalus meningkat sejalan dengan lamanya kalus
disubkulur pada media PEG 20 %. Kalus yang diradiasi sinar gamma 20 Gy dan diseleksi
Harten 1998). Pertumbuhan kalus hasil iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro Respon
kalus terhadap iradiasi sinar gamma dan media selektif PEG dapat diamati dari
pertumbuhan kalus. Pengamatan pertumbuhan kalus hanya dilakukan pada metode
seleksi menyeluruh untuk mengamati respon kalus terhadap perlakuan kombinasi
konsentrasi PEG dan dosis iradiasi sinar gamma. Interaksi antara iradiasi sinar gamma
dan seleksi in vitro tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan diameter, volume,
bobot segar dan bobot kering kalus (Tabel 13). Media selektif PEG 20 % nyata menekan
diameter, volume, bobot segar dan bobot kering kalus. Pertumbuhan kalus merupakan
hasil aktifitas pembelahan sel-sel, sehingga apabila sel-sel aktif mengalami proses
pembelahan akan
1.97 g. Bobot kering pada kalus yang diradiasi sinar gamma 20 Gy lebih rendah namun
tidak berbeda nyata dengan bobot kering kalus yang diradiasi sinar gamma 10 dan 15 Gy.
Kalus yang diradiasi sinar gamma 5 Gy mempunyai bobot kering kalus tertinggi yakni
mencapai 0.0355 g, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Hasil
penelitian Kim et al. (2004), juga mencatat terjadinya penurunan bobot segar kalus padi
pada dosis iradiasi sinar gamma 20 Gy. Charbaji et al. (1999), melaporkan bahwa
penggunaan iradiasi sinar gamma 5 Gy menghasilkan bobot kering kalus pada semua
jenis tanaman anggur yang diteliti dibandingkan dengan kalus yang diradiasi dengan
dosis yang lebih tinggi dan tanpa iradiasi sinar gamma (kontrol). Regenerasi kalus hasil
iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro Media regenerasi yang tepat sangat menentukan
keberhasilan kalus beregenerasi menghasilkan tunas dalam jumlah yang banyak. Media
regenerasi yang digunakan yaitu MS+BA 0.5 mg l -1 + Prolin 100 mg l -1 merupakan
media regenerasi terbaik dari hasil percobaan sebelumnya. Belum optimalnya jumlah
kalus beregenerasi dan rendahnya jumlah tunas yang dihasilkan, disebabkan oleh faktor
kondisi kalus. Kalus yang diregenerasikan dalam percoban ini telah mengalami dua
tekanan seleksi, yaitu tekanan dari iradiasi sinar gamma dan tekanan dari seleksi in vitro.
Regenerasi kalus dari seleksi menyeluruh menghasilkan persentase kalus yang dapat
beregenerasi maksimal 50.3 %, pada seleksi langsung persentase kalus yang dapat
beregenerasi maksimal 15.4 % dan pada seleksi bertahap persentase kalus yang dapat
beregenerasi 33.4 % (Tabel 14). Pada seleksi menyeluruh, kalus yang dapat bertahan
hidup dari media selektif PEG 20 % pada semua dosis iradiasi, yang diregenerasikan 100
% kalusnya mati. Hal yang sama juga terjadi pada kombinasi PEG 15 % dan 15 Gy, yaitu
semua kalus yang diregenerasikan mati. Demikian pula pada metode langsung perlakuan
pada PEG 20 % dengan iradiasi 15 dan 20 Gy tidak ada kalus yang dapat beregenerasi.
Sebaliknya pada metode bertahap, kalus hasil seleksi PEG 20 % pada semua level dosis
iradiasi sinar gamma mampu beregenerasi membentuk tunas.
Pada metode menyeluruh, persentase kalus yang dapat beregenerasi pada kalus yang
tidak diradiasi sinar gamma pada PEG (0-15 %) mencapai 31.5 - 50.3 % (27-87 tunas); 5
Gy pada PEG (0-15%) mencapai 25-50 % (22-91 tunas), 10 Gy pada PEG (0-15 %)
mencapai 30.5 41.7 % (22 59 tunas), dan 15 Gy pada PEG (0-10%) mencapai 16.7
45.5 % (18 35 tunas). Jumlah tunas yang terbanyak adalah yang dihasilkan dari kalus
yang diradiasi dengan dosis 5 Gy pada media tanpa PEG (kontrol), yaitu 91 tunas,
menyusul perlakuan tanpa iradiasi dan media tanpa PEG (kontrol) yaitu 87 tunas,
sedangkan jumlah tunas yang paling sedikit, dihasilkan dari perlakuan 20 Gy pada media
MS+PEG 10 %. Persentase kalus beregenerasi yang tinggi dan jumlah tunas yang banyak
akan dihasilkan jumlah tunas per eksplan lebih banyak. Hal tersebut ditunjukkan oleh
kalus tanpa iradiasi dalam media tanpa PEG (kontrol) dan 5 Gy dalam media MS tanpa
PEG, masing-masing sebanyak 4.2 dan 3.5 tunas. Tunas umumnya muncul setelah 50
75 hari setelah kalus disubkultur pada media regenerasi dan setelah tunas berumur 30
hari, dilakukan subkultur dan pada umur 60 hari berikutnya, tunas tersebut dapat
diaklimatisasi untuk menghasilkan bibit yang siap ditanam pada lingkungan heterogen
(Gambar 10). Pada metode seleksi langsung, persentase kalus yang mampu beregenerasi
pada perlakuan dosis 0 Gy, 5 Gy dan 10 Gy masing-masing 14.3 %, 15.4 % dan 13.3 %,
sedangkan kalus yang diradiasi dosis 15 Gy dan 20 Gy tidak dapat beregenerasi. Jumlah
tunas yang dihasilkan dari perlakuan tersebut berturut-turut 9, 8 dan 9 tunas. Namun
demikian jumlah tunas per kalus relatif lebih banyak yakni 4.5, 4.0 dan 4.0 tunas per
kalus. Persentase kalus beregenerasi dan jumlah tunas yang dihasilkan pada metode
seleksi bertahap mencapai 16.2 33.4 %. Persentase kalus beregenerasi tertinggi terdapat
pada kalus tanpa iradiasi (0 Gy) yaitu 33.4 %, Sedangkan persentase kalus beregenerasi
terendah terdapat pada kalus yang diiradiasi dengan dosis 20 Gy yaitu 16.2 %. Jumlah
tunas per kalus terbanyak terdapat pada kalus yang tanpa iradiasi yaitu 14 tunas,
sedangkan paling sedikit terdapat pada kalus yang diiradiasi 20 Gy yaitu sebanyak 4
tunas. Jika dibandingkan dengan metode langsung, maka metode bertahap menghasilkan
persentase kalus bertunas dan jumlah tunas yang lebih tinggi, namun menghasilkan
jumlah tunas per eksplan lebih rendah dari seleksi langsung. Kondisi kalus dan media
regenerasi merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan regenerasi kalus menjadi
tunas. Kalus yang mengalami tekanan seleksi yang berat yaitu pada PEG 20 % dalam
waktu yang relatif lama, serta tekanan seleksi dari pengaruh perlakuan iradiasi sinar
gamma akan menyebabkan menurunnnya kemampuan kalus mengalami diferensiasi sel
akibat terjadinya gangguan hormonal endogen. Menurut Moore (1979), iradiasi sinar
gamma dapat menyebabkan menurunnya kandungan IAA yang diakibatkan oleh
penghambatan enzim IAA dehidrogenasi yang sangat radio sensitif. Kemampuan
mengamati apakah kalus layak disebut hidup setelah mengalami dua tekanan seleksi
tersebut, dapat diamati dari penampakan kalus yakni dari warna kalus, kondisi kalus serta
ukuran kalus. Dengan demikian perbedaan antara kalus nonembriogenik (kalus mati) dan
kalus embriogenik secara jelas dapat dibedakan. Perubahan warna kalus menunjukkan
terjadinya suatu proses morfogenesis. Umumnya kalus yang siap beregenerasi ditandai
dari perubahan warna kalus menjadi hijau (George 1993). Timbulnya warna hijau
tersebut mengindikasikan terjadinya rangsangan pembentukan klorofil pada sel- sel kalus.
berbeda nyata dibandingkan tinggi tunas 15 dan 20 Gy, namun tidak berbeda nyata
dengan dosis 0 (kontrol), dan 5 Gy. Nilai ragam (pangkat dua standar deviasi) tertinggi
pada dosis 15 Gy dan 20 Gy. Jumlah daun dan jumlah ruas serta nilai ragam yang
tertinggi pada perlakuan dosis 10 Gy masing-masing 11.9 dan 5.9 dengan nilai ragam
masing-masing 2.4 dan 1.2. Dosis 20 Gy menghasilkan jumlah daun dan jumlah ruas
yang paling sedikit masing-masing 8.6 dan 4.3 dan nilai ragam 1.7 dan 0.8. Jumlah akar
terbanyak dihasilkan dari perlakuan 10 Gy yakni 4.4. namun tidak berbeda nyata dengan
perlakuan kontrol dan 5 Gy yang jumlah akarnya masing-masing 4.4 dan 4.2. Jumlah
akar terendah pada perlakuan 20 Gy, yakni 3.2..Nilai ragam jumlah akar yang tertinggi
juga terdapat pada perlakuan 20 Gy, sedangkan tanpa iradiasi (kontrol) mempunyai nilai
ragam paling rendah dari semua komponen tumbuh yang diamati. Pada metode langsung,
dosis iradiasi sinar gamma tidak berpengaruh pada semua komponen yang diamati.
Namun demikian dosis 10 Gy memberikan pengaruh tinggi tunas, jumlah akar dan
panjang akar relatif lebih baik. Selain itu mempunyai nilai ragam lebih tinggi pada semua
komponen tumbuh yang diamati kecuali jumlah ruas. Pada metode bertahap, iradiasi
sinar gamma berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas, jumlah daun, jumlah akar dan
panjang akar, sedangkan jumlah ruas tidak berpengaruh nyata. Pada dosis 15 Gy
menunjukkan respon yang terbaik terhadap semua komponen tumbuh yang diamati,
mempunyai tinggi tunas 5.4 cm berbeda nyata dibandingkan dengan dosis 20 Gy, namun
tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, 5 dan 10 Gy. Selain itu, menghasilkan
jumlah daun 10.8 dan berbeda nyata dengan kontrol dan 10 Gy, namun tidak berbeda
nyata dengan 5 dan 20 Gy. Jumlah akar 5.4 berbeda nyata dengan 5 Gy, 10 dan 20 Gy
jumlah akar masing-masing 2.5, 3.5 dan 2.5. Panjang akar 2.7 berbeda nyata dengan 0
Gy, 5 dan 20 Gy dengan panjang akar berturut-turut 1.9; 1.5 dan 1.6 cm. Pada dosis 15
dan 20 Gy, memperlihatkan nilai ragam antar individu lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai ragam pada perlakuan kontrol, dosis 5 Gy dan 10 Gy. Berdasarkan hasil analisis
seperti disebutkan di atas, diketahui bahwa penggunaan iradiasi sinar gamma dosis 5 10
Gy dapat berpengaruh baik terhadap pertumbuhan tunas. Menurut Antonov et al. (1989),
perlakuan iradiasi
Aklimatisasi planlet hasil iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro Tunas yang
diaklimatisasi merupakan tunas yang dapat dijadikan sebagai nomor somaklon. Dari 745
tunas yang berhasil diregenerasikan dari kalus hasil iradiasi sinar gamma dan seleksi in
vitro menggunakan tiga metode seleksi, terdapat 104 individu yang dapat dijadikan
sebagai nomor somaklon, terdiri atas 66 nomor somaklon dari hasil seleksi menyeluruh,
15 nomor somaklon dari hasil seleksi langsung dan 25 nomor somaklon hasil seleksi
bertahap. Sebelum dilakukan aklimatisasi, setiap individu dari masing-masing nomor
somaklon tersebut diperbanyak untuk dijadikan ulangan. Jumlah bibit yang dihasilkan
dalam proses aklimatisasi sebanyak 409 bibit dari 545 tunas yang diaklimatisasi (Tabel
16). Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak semua regeneran (planlet) dari hasil seleksi
in vitro yang diaklimatisasi berhasil tumbuh menjadi bibit. Proses aklimatisasi
merupakan periode yang sangat kritis karena kondisi iklim mikro di rumah kaca tempat
dilakukan aklimatisasi jauh berbeda dengan kondisi iklim mikro di dalam botol kultur
(Winata 1987). Hal ini disebabkan karena tunas dari kultur in vitro, daunnya tipis, lunak,
sel-sel palisade lebih kecil dan lebih sedikit serta mesofilnya lebih besar sehingga
tanaman belum dapat melakukan aktifitas fotosintesis secara efektif sehingga
memerlukan adaptasi yang lebih baik pada lingkungan luar (Pierik 1987). Somaklon yang
diaklimatisasi pada tahap pertama adalah planlet dari hasil seleksi in vitro secara
menyeluruh. Pada aklimatisasi ini, persentase kematian planlet relatif tinggi yakni
mencapai kurang lebih 33 %. Hal ini disebabkan oleh kondisi kelembaban dan teknik
atau cara memperlakukan planlet dalam proses aklimatisasi belum optimal. Aklimatisasi
dilakukan dengan cara menyungkup, setelah tujuh hari sungkup dibuka. Cara tersebut
selama ini dipakai untuk aklimatisasi berbagai jenis tanaman hasil kultur in vitro di
tempat dimana aklimatisasi ini dilakukan. Cara penyungkupan pada planlet dalam proses
aklimatisasi dapat mempengaruhi keberhasilan aklimatisasi. Penyungkupan dengan cara
menutup dan membuka dalam selang waktu 2-3 kali sehari sambil mempercikkan air ke
tanaman, memberi peluang keberhasilan yang lebih tinggi. Melalui cara ini tingkat
keberhasilan aklimatisasi dapat mencapai 91.6 % atau tingkat kegagalan
lingkungan eksternal. Selain itu, planlet tersebut mempunyai penampilan morfologi yang
baik. Respon planlet hasil iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro pada media arang
sekam padi yang diberi larutan PEG 20 % Uji respon planlet hasil iradiasi sinar gamma
dan seleksi in vitro terhadap media arang sekam yang diberi larutan PEG 20 % bertujuan
untuk menapis nomor-nomor somaklon yang dikhawatirkan sebagai tanaman somaklon
yang berkembang bukan dari sel-sel yang toleran, namun berkembang dari sel-sel atau
kalus yang sensitif yang mengalami adaptasi lingkungan stres sehingga kalus tetap
bertahan hidup dan berkembang dalam media selektif PEG. Seleksi ini, juga
dimaksudkan untuk melakukan penapisan ulang terhadap kalus yang mendapat tekanan
seleksi in vitro yang lebih ringan, yaitu pada seleksi menyeluruh dalam hal ini seleksi in
vitro pada konsentrasi PEG < 20 % (dibawah batas ambang konsentrasi subletal PEG 20
%). Dari hasil pengujian tersebut, diharapkan diperoleh individu (nomor) somaklon yang
mempunyai sifat toleransi yang relatif sama dengan somaklon hasil seleksi menggunakan
konsentrasi subletal PEG 20 % (seleksi langsung). Penggunaan media arang sekam yang
diberi PEG efektif dalam melakukan penapisan terhadap regeneran atau planlet yang
diduga bukan berasal dari sel-sel varian yang toleran (Widoretno 2003). Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa semua individu dari tanaman induk (TTin) dan individu tanpa
seleksi in vitro (TTts) tidak dapat bertahan hidup pada media arang sekam yang diberi
larutan PEG 20 %, sedangkan planlet yang ditumbuhkan pada media arang sekam tanpa
PEG (normal) persentase hidup masing-masing 83.3 % dan 100 %. Hal yang sama terjadi
pada somaklon hasil seleksi menyeluruh, dari 52 nomor somaklon yang ditanam dalam
media arang sekam yang diberi larutan PEG 20 %, hanya terdapat delapan nomor
somaklon yang bertahan hidup, yaitu dari somaklon TT0015, TT0510, TT1515, TT2010
masing-masing satu nomor somaklon, somaklon TT0515 dan TT1015 masing-masing
dua nomor somaklon (Tabel 17). Ketidak mampuan planlet tumbuh pada media tersebut
mungkin disebabkan karena planlet yang diregenasikan dari kalus hasil iradiasi sinar
gamma dan seleksi in vitro tersebut berasal dari sel-sel yang peka. Hal tersebut
menunjukkan bahwa penggunaan PEG dalam konsentrasi rendah tidak efektif
menghasilkan varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Planlet somaklon hasil
seleksi bertahap yang ditumbuhkan pada media arang sekam yang diberi larutan PEG
20% menunjukkan persentase planlet bertahan hidup lebih tinggi yakni mencapai 75
100 % dibandingkan dengan planlet yang diseleksi menggunakan konsentrasi PEG <20%
(metode menyeluruh). Dari 28 nomor somaklon yang diuji responnya, terdapat 18 nomor
somaklon yang dapat bertahan hidup. Dengan demikian keseluruhan hasil uji respon
planlet tersebut, diperoleh 26 somaklon yang mempunyai kemapuan bertahan hidup pada
media arang sekam yang diberi PEG 20 %. Somaklon yang dapat bertahan hidup pada
media arang sekam yang diberi larutan PEG 20 % diindikasikan toleran terhadap
cekaman kekeringan. Penampilan planlet yang ditanam pada media arang sekam yang
diberi larutan PEG 20 % pada Gambar 11. Berdasarkan analisis statistika menggunakan
uji t, menunjukkan bahwa persentase hidup nomor somaklon hasil seleksi in vitro
menggunakan PEG 20 % (Tp20-B) yang diuji pada media arang sekam diberi PEG 20 %,
pengaruhnya tidak berbeda nyata dengan media arang sekam tanpa PEG, sedangkan
nomor somaklon hasil seleksi in vitro PEG 15 % (TTp15), PEG 10 % (TTp10), PEG 5 %
(TTp5), PEG 0 % (TTp0) dan tanaman induk (TT-in) yang diuji pada media arang sekam
diberi PEG 20 % pengaruhnya berbeda nyata dengan media arang sekam tanpa PEG.
Nampak pula bahwa semua planlet dari TTp10, TTp5, TTp0 dan TT-in yang ditanam
pada media arang sekam yang diberi PEG semuanya mati (0 % hidup) dan penurunan
persentase hidup TTp20-B (seleksi bertahap) lebih rendah dibandingkan dengan
penurunan somaklon hasil seleksi in vitro menyeluruh dan tanaman induk (Tabel 18).
Analisis stomata Analisis stomata dilakukan dengan cara mengambil sampel daun nilam
yang diambil dari masing-masing nomor somaklon yang dikategorikan peka dan toleran.
Daun yang diambil adalah daun ketiga dari pucuk Analisis stomata dilakukan dengan
prosedur : Daun dipotong dengan ukuran 1 x 1 cm, lalu direbus pada larutan HNO 3
pekat dengan perbandingan (3:1) hingga daun terkelupas. Potongan daun tersebut
selanjutnya ditempatkan pada Petri disk. Bagian daun (epidermis) yang sudah terpisah
dengan jaringan lainnya diambil, selanjutnya dicuci dengan air bersih diatas obyek gelas.
Preparat ditetesi dengan larutan Safranin 2 % secukupnya dan dibilas dengan air bersih,
selanjutnya ditetesi dengan gliserin 50% kemudian ditutup dengan cover glas.
Pengamatan stomata meliputi struktur yaitu panjang, dan lebar stomata serta kerapatan
stomata. Setiap sampel diamati sebanyak enam kali ulangan dengan sudut pandang yang
berbeda. Kerapatan stomata dihitung berdasarkan rumus : jumlah stomata Kerapatan
stomata = ( stomata/per mm2) satuan luas bidang pandang Hasil dan Pembahasan
Evaluasi populasi somaklon hasil iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro berdasarkan
karakter morfologi dan agronomi Cekaman kekeringan menyebabkan penurunan berbagai
karakter kuantitatif populasi somaklon nilam (Tabel 25). Cekaman kekeringan nyata
menurunkan tinggi tanaman populasi somaklon dan tanaman induk sebesar 17.9 32.4 %
. Populasi somaklon TT05, TT10 dan TT15 mengalami persentase penurunan tinggi
tanaman lebih rendah dari tanaman induk, sedangkan populasi somaklon TT15, TT20
mengalami penurunan persentase tinggi tanaman relatif lebih tinggi dari tanaman induk.
Persentase penurunan tingggi tanaman tertinggi dialami oleh populasi somaklon TT15
sebesar 32.4 %. Berdasarkan analisis tinggi tanaman pada semua individu somaklon
terhadap tinggi tanaman, terdapat beberapa nomor somaklon mampu merespon cekaman
kekeringan yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman induk, hal ini dapat dilihat dari
penurunan persentase tinggi tanaman yang lebih rendah dari tanaman induk (Gambar 25).
Cekaman kekeringan menyebabkan menurunnya jumlah cabang populasi somaklon dan
tanaman induk sebesar 34.1 52.6 % . Penurunan jumlah cabang tertinggi terjadi pada
somaklon TT20 sebesar 52.6 %, dan lebih tinggi dari tanaman induk, sedangkan populasi
somaklon lainnya penurunannya relatif sama dengan tanaman induk. Cekaman
kekeringan menyebabkan berkurangnya jumlah daun sebesar 37.4 52.2 %, persentase
penurunan jumlah daun tertinggi dialami oleh populasi somaklon TT20 sebesar 52.2 %,
sedangkan populasi somaklon lainnya mengalami penurunan lebih rendah dari tanaman
induk. Beberapa individu somaklon menunjukkan penurunan jumlah cabang dan jumlah
daun yang lebih rendah dari tanaman induk (Gambar 26 dan 27). Penurunan jumlah daun
akibat cekaman kekeringan otomatis mengurangi bobot daun segar sebagai salah satu
karakter utama tanaman nilam Persentase penurunan bobot daun segar akibat cekaman
kekeringan mencapai 41.3 - 54.8 %. Populasi somaklon TT00, TT05 dan TT10
mengalami penurunan persentase bobot daun segar lebih rendah dari tanaman induk,
sebaliknya populasi somaklon TT15 dan TT20 persentase penurunan bobot daun segar
relatif sama dengan tanaman induk. Beberapa nomor somaklon memperlihatkan respon
yang lebih baik dari tanaman induk yang diperlihatkan dari persentase penurunan bobot
daun segar lebih rendah dari tanaman induk (Gambar 28) Menurunnya jumlah daun dan
jumlah cabang akibat cekaman kekeringan mengurangi bobot terna kering. Bobot terna
kering merupakan karakter utama tanaman nilam, karena dari bobot terna kering tersebut
dihasilkan minyak melalui proses penyulingan. Populasi somaklon hasil seleksi in vitro
menggunakan PEG dengan dosis iradiasi 5 dan 10 Gy (somaklon TT05 dan TT10) serta
somaklon hasil seleksi in vitro tanpa iradiasi sinar gamma (TT00) memberikan tingkat
responsi yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman induk (TT-in). Sedangkan
somaklon hasil seleksi in vitro dan iradiasi sinar gamma 15 Gy dan 20 Gy memberikan
pengaruh yang relatif sama dengan tanaman induk dalam merespon cekaman kekeringan
dengan persentase penurunan bobot terna kering berturut-turut 44.1, 44.5 dan 48.2 %.
Berdasarkan analisis bobot terna kering pada semua nomor somaklon, beberapa nomor
somaklon memperlihatkan respon yang lebih baik dari tanaman induk (Gambar 29).
Salah satu pengaruh buruk dari cekaman kekeringan adalah tertekannya pertumbuhan
akar. Cekaman kekeringan menyebabkan penurunan bobot kering akar populasi
somaklon hasil seleksi in vitro dan iradiasi sinar gamma. Populasi somaklon TT00, TT05
dan TT10 mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam merespon cekaman kekeringan
dibandingkan dengan tanaman induk dan populasi somaklon lainnya. Hal ini dapat dilihat
dari persentase penurunan bobot kering akar yang lebih rendah yakni berturut-turut 44.9
%, 36.8 dan 40.0 %, sedangkan somaklon TT15, TT20 dan tanaman induk masingmasing 52.0 %, 58.7 dan 56.7 %. Berbeda dengan pengamatan karakter kuantitatif
lainnya, kadar minyak sebagai produk akhir dari tanaman nilam justru mengalami
peningkatan akibat cekaman kekeringan. Berdasarkan analisis statistika tidak terjadi
interaksi antara somaklon dan cekaman kekeringan. Peningkatan kadar minyak hanya
terjadi pada faktor tunggal yaitu antara rata-rata kadar minyak dari tanaman yang
ditumbuhkan pada kondisi cekaman kekeringan dengan kondisi normal (tanpa cekaman
kekeringan). Namun demikian populasi somaklon hasil seleksi in vitro tanpa iradiasi
sinar gamma (TT00) dan iradiasi sinar gamma dengan dosis 5, 10 dan 15 Gy (TT05,
TT10 dan TT15) mengalami peningkatan kadar minyak lebih tinggi dibandingkan dengan
tanaman induk. Berdasarkan analisis persentase penurunan komponen karakter kuantitatif
akibat cekaman kekeringan menunjukkan bahwa seleksi in vitro dan iradiasi sinar gamma
dapat memberikan respon yang berbeda terhadap cekaman kekeringan. Secara umum,
cekaman kekeringan menekan pertumbuhan dan hasil tanaman nilam. Somaklon hasil
seleksi in vitro tanpa iradiasi sinar gamma (populasi somaklon TT00) dan somaklon hasil
seleksi in vitro dan dosis iradiasi sinar gamma 5 Gy dan 10 Gy (populasi somaklon TT05
dan TT10) dapat mengurangi pengaruh buruk dari cekaman kekeringan dibandingkan
dengan tanaman induk dan populasi somaklon hasil seleksi in vitro dan iradiasi sinar
gamma 15 dan 20 Gy (populasi somaklon TT15 dan TT20).
Perbedaan somaklon dalam merespon cekaman kekeringan disebabkan oleh perbedaan
dalam morfologi dan mekanisme fisiologi tanaman. Seleksi in virto yang dikombinasikan
dengan iradiasi sinar gamma dapat merubah susunan genetik tanaman nilam sehingga
mempengaruhi ekspresinya dalam merespon cekaman kekeringan. Menurut Nepomuceno
et al. (1998), adanya sifat toleransi terhadap cekaman kekeringan pada suatu genotype
tertentu tidak sederhana karena melibatkan banyak gen (poligenik). Selanjutnya oleh
Okogbenin et al. (2003) dan Bohner dan Jansen (1996) serta Ingram dan Bartels (1996)
menyebutkan bahwa, perbedaan ekspresi dari gen spesifik antara tanaman yang toleran
dan peka terhadap cekaman kekeringan mengindikasikan bahwa sifat toleransi
dikendalikan secara genetik melalui suatu mekanisme biokimia dan fisiologi, dan hal
tersebut mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Hal ini yang menyebabkan para pemulia
lambat mendapatkan suatu sifat tanaman yang toleran melalui program pemuliaan
tanaman secara konvensional atau melalui persilangan. Sebaliknya penggunaan iradiasi
sinar gamma dan variasi somaklonal yang diikuti dengan seleksi in vitro, sifat toleransi
terhadap cekaman kekeringan dapat diperoleh dengan waktu yang relatif lebih singkat.
Proses pertumbuhan tanaman memerlukan ketersediaan air dalam jumlah yang cukup.
Air diperlukan untuk pereaksi biokimia yang terlibat dalam proses fotosintesis dan proses
hidrolisis (Levitt 1981; Fitter dan Hay 1994), sehingga terhambatnya pertumbuhan akar
akibat cekaman kekeringan menyebabkan terganggunya absorbsi dan translokasi air dan
mineral, transpirasi, fotosintesis serta translokasi fotosintat (Savin dan Nikolas 1996).
Cekaman kekeringan menyebabkan perubahan potensial air, potensial osmotik dan
potensial turgor sel (Moinuddin dan Chopra 2004). Translokasi dan akumulasi fotosintat
yang terbatas menyebabkan berkurangnya karbohidrat pada jaringan tanaman. Keadan
seperti ini akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Toleransi
tanaman terhadap cekaman kekeringan dicirikan oleh sistem perakaran, meliputi panjang
akar, jumlah akar dan ketahanan akar (Passioura 1994). Hasil penelitian ini menujukkan
bahwa persentase penurunan bobot akar akibat cekaman kekeringan pada somaklon
TT00, TT05 dan TT10 lebih rendah dibandingkan dengan populasi somaklon TT15,
TT20 dan tanaman induk.
Akumulasi prolin dan gula total hubungannnya dengan tingkat toleransi tanaman
terhadap cekaman kekeringan Perlakuan cekaman kekeringan menyebabkan peningkatan
kandungan prolin populasi somaklon generasi MV 2 (Tabel 29). Populasi somaklon yang
dikategorikan agak toleran nyata meningkatkan kandungan prolin saat terjadi cekaman
kekeringan, sedangkan populasi somaklon yang peka tidak nyata peningkatannya.
Populasi somaklon TT00, TT05 dan TT10 sebagai populasi yang agak toleran mengalami
peningkatan prolin masing-masing sebesar 62.9 %, 50.1 % dan 50.8 %, sedangkan
populasi somaklon TT15, TT20 dan tanaman kontrol (TTin) yang dikategorikan sebagai
populasi somaklon yang peka hanya mengalami peningkatan masing-masing sebesar 16.9
%, 33.7% dan 22.7 %. Hal yang sama juga terjadi pada masing-masing nomor somaklon,
yaitu umumnya nomor somaklon yang dikategorikan toleran kekeringan berdasarkan uji
sensitivitas mengakumulasikan prolin lebih tinggi dibandingkan dengan nomor somaklon
yang peka (Tabel 30). Nomor somaklon dengan kriteria toleran mengalami peningkatan
prolin 72.8 % sedangkan nomor somaklon agak toleran dan peka masing-masing 52.5 dan
29.9 %. Hal ini berarti bahwa rata-rata peningkatan prolin nomor somaklon yang toleran
146 % lebih tinggi dari rata-rata peningkatan prolin nomor somaklon yang peka (Gambar
31). Hasil penelitian ini sesuai hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
prolin meningkat sejalan dengan meningkatnya cekaman kekeringan (Bandurska 2000;
Rodriguez et al. 1997; Yang dan Kao 1999). Akumulasi prolin sebagai upaya tanaman
mempertahankan potensial air agar tetap rendah pada jaringan sehingga tidak mengalami
plasmolisis (Heuer 1999; Dib et al. 1998). Akumulasi prolin merupakan salah satu
senyawa organik dalam sel-sel yang berperan sebagai tindakan penyesuaian osmotik (
osmotic adjusment ) dan berfungsi untuk membantu sel-sel tanaman untuk menahan
defisit air melalui pemeliharaan tekanan turgor sehingga tanaman terhindar dari kematian
(Rodriguez et al. 1997; Gibon 2000). Semakin lama tanaman bertahan hidup dalam
kondisi cekaman kekeringan, semakin menekan pertumbuhan tanaman, namun demikian
tanaman yang tergolong toleran terhadap cekaman kekeringan akan semakin banyak
mengakumulasi senyawa prolin. Hasil
penelitian ini membuktikan bahwa umumnya nomor somaklon yang dikategorikan
toleran cekaman kekeringan dapat meningkatkan senyawa prolin lebih tinggi dari nomor
somaklon peka. Besarnya akumulasi prolin dalam kondisi cekaman kekeringan
tergantung dari lamanya tanaman mengalami cekaman kekeringan, perbedaan genotipe
tanaman dan jaringan tanaman yang dianalisis kandungan prolinnya (Verlues dan Sharp
1999; Ridwan dan Sudarsono 2004). Nayyar dan Walia (2004) melaporkan bahwa
gamdum genotipe C306 dapat mengakumulasikan prolin 300 % pada kondisi cekaman
kekeringan, lebih tinggi dari genotipe HD2329 yang hanya 250 %. Berdasarkan analisis
kandungan gula total yang diambil dari beberapa sampel daun nomor somaklon yang
dikategorikan toleran dan peka menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang nyata
baik pada faktor tunggal populasi somaklon dan faktor cekaman kekeringan, maupun
pada interaksinya. Namun demikian secara umum menunjukkan bahwa, pada somaklon
yang dikategorikan agak toleran (moderat) cenderung mengalami peningkatan gula total
lebih tinggi dari populasi somaklon yang peka (Tabel 29). Hal yang sama juga
ditunjukkan oleh kandungan gula total pada nomor somaklon, nomor somaklon yang
dikategorikan toleran umumnya mengalami peningkatan gula total relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan somaklon yang peka (Tabel 31). Hal tersebut mengindikasikan
bahwa tanaman nilam dalam kondisi cekaman kekeringan mampu mempertahankan
kandungan gula total minimal sama dengan kondisi tanpa cekaman. Dengan demikian
akumulasi gula total dalam kondisi cekaman kekeringan juga merupakan suatu
mekanisme fisiologis agar dapat terhindar dari pengaruh dehidrasi sel sehingga tanaman
tidak terlalu mengalami pengaruh buruk akibat kekurangan air. Sehubungan kandungan
gula total sebagai senyawa osmotikum. Johson et al. (1996) menemukan hubungan yang
jelas antara besarnya potensial air dengan kandungan gula total pada akar dan hipokotil
tanaman mopane, semakin rendah potensial air semakin meningkat akumulasi gula total.
Kandungan gula total meningkat secara drastis 300 % dari potensial air -0,03 Mpa
menjadi -2,00 Mpa. Sebaliknya Pelah et al. (1997) melaporkan tidak terdapat hubungan
yang jelas antara kandungan gula total dengan cekaman kekeringan tanaman populus.
somaklon TT00, TT05 dan TT10 mempunyai struktur dan kerapatan stomata lebih rendah
dibandingkan dengan tanaman induk (Gambar 32). Stomata merupakan bagian anatomi
daun yang berbentuk lubang yang mempunyai hubungan dengan atmosfir dan
mempunyai cara kerja yang spesifik. Kehilangan air dari transpirasi melalaui stomata
dapat mencapai 90 % (Passiora 1994). Stomata berfungsi sebagai pintu masuknya CO 2
ke dalam daun untuk berlangsungnya fotosintesis dan menguapkan air (transpirasi).
Stomata membuka pada siang hari sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung
(Salisbury dan Ross 1992). Dengan demikian ukuran dan kerapatan stomata yang lebih
rendah dapat mencegah transpirasi yang lebih besar, sehingga kehilangan air yang
berlebihan dapat ditekan. Semakin banyak stomata pada daun atau semakin tinggi
kerapatan stomata berarti semakin banyak ruang pada daun yang dapat melepaskan air ke
atmosfir. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nomor somaklon yang toleran
umumnya mempunyai struktur dan kerapatan stomata yang lebih rendah dibandingkan
dengan nomor somaklon yang peka (Gambar 33). Kondisi seperti ini memberikan
indikasi bahwa somaklon yang dikategorikan toleran, mampu mengurangi kehilangan air
yang berlebihan dari proses penguapan sehingga dapat mengurangi dampak buruk dari
pengaruh cekaman kekeringan dibandingkan dengan somaklon yang peka. Adanya
perbedaan dalam struktur dan kerapatan stomata pada umumnya diikuti oleh perubahan
aktifitas fisiologi tanaman (Dickson 2000).
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 21 Pebruari 1962, dari pasangan Bapak
Lolla DG. Bunga dan St. Saniasa. Pada tahun 1993 menikah dengan Ir. A. Rahmawati,
anak pertama dari pasangan A. Muslimin Saguni dan Hj. Djuhaeri Absah. Telah
dikaruniai tiga orang anak yaitu : Ilham Anugrah (13 tahun), Inayah Yasmin Kamila (9
tahun) dan Irvan Nugraha Ramadhan (5 tahun) Pendidikan Dasar Negeri Palleko II
Kab.Takalar diselesaikan pada tahun 1975. Pendidikan menengah pertama SMP Negeri 3
Ujung Pandang, diselesaikan pada tahun 1979, dan pada tahun 1982 lulus dari SMA
Negeri 2 Ujung Pandang. Pada tahun 1987, memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada
Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin. Pada tahun 1995 memperoleh gelar Magister
Pertanian dari Program Studi Sistem-Sistem Pertanian pada Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, melalui Program Bea Siswa BPPS dari Ditjen Dikti. Pada tahun
2002 melanjutkan studi pada program Doktor (S3) pada program studi Agronomi Institut
Pertanian Bogor. Penulis diangkat sebagai Dosen Kopertis Wilayah IX dan ditempatkan
pada Fakultas Pertanian Universitas Islam Makassar sejak tahun 1991 sampai sekarang.
Sebagian dari disertasi ini telah dipublikasikan pada Jurnal Agrobiogen ISSN: 19071094, Vol 3(1) Agustus 2007 dan telah diseminarkan pada Seminar Nasional Hasil
Penelitian yang Dibiayai oleh Hibah Kompetitif dalam Rangka Purnabakti
Prof.Dr.Ir.Jajah Koswara, tanggal 2 Agustus 2007.