Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan
masalah kesehatan yang umum terjadi di seluruh dunia. Penyakit Ginjal Kronik
menggambarkan suatu keadaan ginjal yang abnormal baik secara struktural maupun
fungsional. Penyakit Ginjal Kronik ini mempengaruhi 10-15% populasi orang dewasa
di negara-negara barat. Hal ini diakui sebagai kondisi umum yang berkaitan dengan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan kematian.
Penyakit ginjal kronik biasanya tidak menimbulkan gejala pada tahap awal.
Tes laboratorium berguna dalam mendeteksi masalah yang berkembang. Perawatan
medis pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (CKD) harus berfokus pada
pengendalian gangguan yang mendasari, memperlambat perkembangan penyakit, dan
mengobati komplikasi dari penyakit.
BAB II
ISI
a. Definisi
Penyakit Ginjal Kronik merupakan kerusakan ginjal dengan atau tanpa
penurunan tingkat filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m 2 yang
terjadi 3 bulan (Kidney, et al., 2014).
Pada tahun 2002, Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) telah
menerbitkan
klasifikasi
untuk
menentukan
Penyakit
Ginjal
Kronik
dalam
mL/min/1.73 m2)
Tahap 2 : penurunan ringan pada GFR (60-89 mL/min/1.73 m2)
Tahap 3 : penurunan moderat pada GFR (30-59 mL/min/1.73 m2)
Tahap 4 : penurunan berat pada GFR (15-29 mL/min/1.73 m2)
Tahap 5 : kegagalan ginjal (GFR <15 mL/min/1.73 m2atau dialisis)
(Gambar 1)
b. Epidemiologi
Penyakit ginjal kronis diperkirakan mempengaruhi antara 1,9 juta dan 2,3 juta
orang Kanada. Penyakit ginjal kronis ini sering bersamaan dengan penyakit jantung
dan diabetes, dimana keduanya bisa menjadi factor resiko untuk semua penyebab
kematian dan penyakit kardiovaskular. Selama 5 tahun terakhir ini penyakit ginjal
kronis sudah di sederhanakan penyebutannya menjadi kerusakan ginjal dalam jangka
waktu 3 bulan (Levin, et al., 2008).
Penyakit ginjal kronis jauh lebih banyak di seluruh dunia dari yang di
perkiraan sebelumnya. Dimana ini mempengaruhi 10 - 15 % dari populasi orang
dewasa di negara-negara barat, banyak dari mereka memerlukan perawatan yang
mahal atau terapi pengganti ginjal (transplantasi). Menurut laporan dari National
Health and Nutrition Examination Survey and the National Kidney Foundation
Kidney Disease, hampir 26 juta orang di Amerika Serikat berada dalam kategori
penyakit ini dan 20 juta lainnya berada pada peningkatan risiko untuk Penyakit
Ginjal Kronis. Pada tahun 2004 the international organization Kidney Disease :
Improving Global Outcomes (KDIGO), dibentuk untuk mengatasi epidemi Penyakit
Ginjal Kronis di seluruh dunia (Matovinovi, 2009).
c. Etiologi
Berbagai kondisi dan peyakit dapat menyebabkan terjadinya Penyakit Ginjal
Kronik (CKD). Diabetes (peningkatan gula darah) dan hipertensi (peningkatan
tekanan darah) merupakan penyebab tersering (Levey, et al., 2003).
Diabetes
Penyakit ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam tubuh. Insulin yang
tidak tercukupi menyebabkan peningkatan gula darah (glukosa). Tanpa pengobatan,
hal ini bisa menjadi fatal. Peningkatan gula darah akan merusak pembuluh darah kecil
di ginjal. Peningkatan gula darah juga bisa menyebabkan kelemahan fungsi nefron
ginjal (filtrasi). Ketika pembuluh darah ginjal dan fungsi filtrasi rusak, fungsi ginjal
pun dapat menurun. Fungsi ginjal yang menurun akan menyebabkan protein tidak
terfiltrasi sehingga lolos menuju urin yang dikeluarkan (proteinuria). Ini merupakan
salah satu tanda dari penyakit ginjal kronis.
Hipertensi
Tekanan darah yang tinggi dapat merusak pembuluh darah dan nefron dalam
ginjal. Jika tekanan darah meningkat tajam, terjadi vasokonstriksi pembuluh darah
yang menuju ke ginjal. Akibatnya terjadi penurunan perfusi ke ginjal yang dapat
menyebabkan penurunan fungsi ginjal.
Penyebab lain dari Penyakit Ginjal Kronik antara lain:
Glomerulonefritis
Gangguan ini melibatkan peradangan dari nefron ginjal. Kadang-kadang
mungkin terjadi karena infeksi. Kerusakan ginjal umumnya terjadi selama periode
waktu yang panjang.
Faktor Genetik dan Gangguan Kongenital seperti Penyakit Ginjal Polikistik atau
Polycystic Kidney Disease (PKD)
PKD merupakan suatu kondisi dimana sejumlah besar kista (kantung cairan)
berkembang di ginjal. Hal ini biasanya merupakan penyakit yang diturunkan. Kista
bisa menjadi besar dan menghalangi kemampuan ginjal untuk menyaring produk sisa
dari darah. Fungsi ginjal yang menurun akibat dari PKD umumnya terjadi dalam
periode waktu yang lama.
Penyakit autoimun seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Gangguan autoimun terjadi ketika tubuh menyerang dirinya sendiri. Lupus
merupakan salah satu jenis penyakit autoimun yang menyebabkan peradangan di
4
semua organ tubuh termasuk ginjal. Hal ini dapat memengaruhi fungsi ginjal dan
dalam waktu tertentu dapat menyebabkan CKD.
Agen nerfotoksik
Obat-obatan atau zat tertentu dapat merusak ginjal. Obat-obat golongan
NSAIDs (Non-Steroidal Anti-Inflamatory Drugs) seperti Ibuprofen (Advil, Motrin)
dan Naprosyn (Aleve) dapat menyebabkan kerusakan ginjal jika digunakan dalam
jangka waktu yang panjang.
HIV-Associated Nefropati
Dalam hal ini, kerusakan ginjal dapat disebabkan oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency
Virus).
Pengobatan
dini
diperlukan
untuk
mengurangi
d. Patofisiologi
Pertama, laju aliran darah ginjal sekitar 400 ml/100 gr per menit. Jumlah ini
jauh lebih besar daripada laju aliran darah pada organ lain seperti jantung, hati, dan
otak. Sebagai konsekuensinya, ginjal lebih berpotensi berkontak dengan agen
berbahaya melalui peredaran darah.
Kedua, filtrasi glomerulus bergantung pada tekanan intra dan transglomerular
yang tinggi, sehingga kapiler glomerulus rentan terhadap kerusakan hemodinamik,
berbeda dengan vascular bed lainnya. Oleh sebab itu, Brenner dkk mengidentifikasi
bahwa hipertensi dan hiperfiltrasi glomerulus sebagai kontributor utama terhadap
perkembangan penyakit ginjal kronik.
Ketiga, membran filtrasi glomerulus bermuatan negatif berfungsi sebagai
barrier dari makromolekul anionik. Dengan gangguan pada barrier elektrostatik ini,
seperti pada kerusakan atau cedera glomerulus, protein plasma mendapatkan akses
menuju filtrasi glomerulus.
Keempat, bentuk dari nefron yang terdiri dari glomerulus hingga ke
tubulusnya tidak hanya sebagai penjaga keseimbangan glomerulo-tubular tetapi juga
memfasilitasi penyebaran kerusakan atau cedera glomerulus ke tubulointersitial
sehingga epitel tubular menjadi ultrafiltrat yang abnormal. Pembuluh darah
peritubular mendasari sirkulasi glomerulus, sehingga beberapa mediator dari reaksi
inflamasi glomerulus mungkin akan menyebar ke dalam sirkulasi peritubular.
Sehingga penyakit glomerular berkontribusi terhadap reaksi inflamasi interstitial.
Selain itu, setiap penurunan perfusi glomerulus menyebabkan penurunan
aliran darah peritubular, yang bergantung pada derajat hipoksia. Sehingga konsep
nefron sebagai unit fungsional tidak hanya berlaku untuk fisiologi ginjal, tetapi juga
untuk patofisiologi penyakit ginjal.
Kelima, glomerulus sendiri juga harus dianggap sebagai unit fungsional
karena mengandung komponen-komponen seperti endotel, mesangial, sel-sel epitel
viseral dan parietal (podosit), dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan salah satu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain melalui
mekanisme yang berbeda, misalnya dari koneksi antarsel (gap junction), mediator
yang larut (kemokin, sitokin, faktor pertumbuhan, dan perubahan komposisi
membran). Penyebab utama cedera ginjal didasarkan pada reaksi imunologi
(diprakarsai oleh kompleks imun), hipoksia jaringan dan iskemia, agen eksogen
(obat), agen endogen (glukosa atau paraprotein, dll), dan kelainan bawaan. Terlepas
6
dari
penyebab
yang
mendasari
terjadinya
PGK,
kerusakan
glomerulus
1.
Beberapa
penelitian
menjelaskan
bahwa
kerusakan
tubulointerstisial berkaitan erat dengan gangguan fungsi ginjal dalam jangka panjang.
Hal ini tidak mengherankan mengingat tubulus dan intersitium menempati lebih dari
90% dari volume ginjal.
- Fibrogenesis Ginjal
Awalnya mengarah ke respon inflamasi dengan pelejpasan mediator lokal,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah lokal, aktivasi sel endotel, ektravasasi
leukosist sepanjang endotelium, sekresi berbagai mediator oleh leukosit dan sel
tubulointerstisial, dan aktivasi sel profibrotik.
-
Leukosit bermigrasi dari sirkulasi melalui venula post kapiler dan kapiler peritubular
ke interstitial mengikuti gradien dari kemoattractant dan kemokin. Semua sel tubular
bisa mengeluarkan mediator larut ketika distimulasi oleh hipoksia, iskemia, agen
infeksius, obat-obatan, dan toksin endogen seperti lipid, glukosa tinggi, paraprotein
dan faktor genetik. Penyakit glomerular berkaitan dengan tingkat cedera
tubulointerstisial dan peradangan karena sel-sel tubular terkena protein yang
seharusnya tidak disaring. Faktor-faktor yang terlibat dalam pembentukan inflamasi
filtrasi tubulointerstisial adalah : proteinuria, deposit imun, kemokin, sitokin, kalsium
fosfat, asidosis metabolik, asam urat, lipid, hipoksia, dan agen reaktif oksigen.
-
Infiltrat inflamasi
Sitokin profibrotik
Konversi fenotip sel epitel ke dalam sel mesenkim dikenal sebagai Ephitelialmesencymal Transition (EMT). Bukti untuk EMT pada penyakit berasal dari
pemanfaatan protein penanda mesenkimal seperti vimentin atau S1004A. Protein
penanda mesenkimal dalam sel epitel tubular berkorelasi baik dengan fungsi ginjal
pada IgA nefropati, lupus nefritis dan kegagalan allograft kronis.
Telah terbukti akhir-akhir ini bahwa hipoksia yang diinduksi oleh faktor 1 (HIF-1),
dianggap mengendalikan ekspresi ratusan gen, juga merangsang EMT, yang
menjelaskan bagaimana hipoksia dapat menimbulkan fibrosis dan kerusakan ginjal
yang progresif. Hipoksia mengubah metabolisme matriks proksimal tubular epitelial
(PTE), menyebabkan akumulasi matriks ekstraseluler berupa kolagen interstisial serta
supresi matriks pendegradasi. Paparan hipoksia terhadap PTE menginduksi transisi
menjadi miofibroblas, selanjutnya, paparan yang lebih lama menyebabkan cedera
mitokondria dan apoptosis. Pada PTE, hipoksia juga menginduksi ekspresi faktor
fibrogenik.
-
2. Natrium
Dengan berkurangnya LFG yang progresif pada pasien PGK, ginjal akan
mempertahankan keseimbangan natrium dengan meningkatkan ekskresi natrium oleh
nefron yang masih baik. Bila adaptasi ini tidak terjadi, akan timbul retensi natrium.
Meningkatnya ekskresi natrium ini disebabkan karena meningkatnya rejeksi tubular
dengan akibat meningkatnya fraksi ekskresi natrium (FENa). Peningkatan masukan
natrium yang tiba-tiba dapat menimbulkan perubahan volume ekstraselular dengan
segala akibatnya.
3. Kalium
Kapasitas ginjal dalam mengeksresikan kalium dipelihara sampai LFG
menurun dibawah 10 mL/menit/1,73m2. Keseimbangan kalium pada pasien PGK
dipertahankan dengan meningkatkan ekskresi renal dan ekstrarenal. Ekskresi renal
dicapai dengan meningkatkan fraksi ekskresi pada nefron yang masih berfungsi.
Sedangkan ekskresi ekstrarenal terutama melalui sekresi epitel kolon dan dikeluarkan
melaui feses yaitu sebanyak 75%. Hiperkalemia umumnya terjadi ketika LFG kurang
dari
20-25
mL/menit/1,73m2
karena
penurunan
kemampuan
ginjal
untuk
mengeluarkan kalium. Hal ini dapat terlihat lebih cepat pada penderita yang
mengkonsumsi diet kaya kalium atau jika kadar aldosteron serum rendah.
4. Asidosis metabolik
Pada gagal ginjal, terjadi gangguan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan
H+ sehingga mengakibatkan asidosis metabolik dengan ditandai penurunan pH dan
kadar HCO3- plasma. Ekskresi NH4+ yang merupakan mekanisme utama ginjal dalam
usahanya mengeluarkan H+ berkurang akibat berkurangnya jumlah nefron. Asidosis
metabolik juga dapat terjadi akibat peningkatan senjang anion. Meningkatnya senjang
anion terjadi akibat retensi anion seperti sulfat, fosfat dan anion organik dalam
plasma.
5. Anemia
Anemia pada gagal ginjal kronik disebabkan karena defisiensi hormon
eritropoietin
dengan
gambaran
morfologi
eritrosit
normokrom
normositer.
toksisitas aluminium yang berkaitan dengan penggunaan fosfat binder; juga anemia
dapat terjadi karena kehilangan darah iatrogenik selama hemodialisis atau
pengambilan darah untuk pemeriksaan darah. Manifestasi anemia umumnya terjadi
bila laju filtrasi glomerulus turun sekitar 35 mL/menit. Keadaan ini menjadi lebih
berat sejalan dengan penurunan LFG yang progresif dengan semakin sedikitnya masa
renal yang tersisa.
6. Osteodistrofi ginjal
Ginjal merupakan organ yang bertanggung jawab terhadap produksi kalsitriol
yang merupakan bentuk metabolik paling aktif dari vitamin D. Osteodistrofi ginjal
umumnya terjadi oleh karena hiperfosfatemia, hipokalsemia dan akibat peningkatan
hormon paratiroid. Kegagalan ginjal dalam menjalankan fungsinya mempunyai 3
konsenkuensi, yaitu:
Kegagalan ekskresi fosfat yang menyebabkan peningkatan fosfat serum,
menurunnya kadar kalsium darah dan timbul hiperparatiroid sekunder.
Gangguan pembentukan metabolit vitamin D aktif (1,25 (OH)D3) karena tidak
adanya proses hidroksilasi. Kurangnya vitamin D aktif menyebabkan malabsorpsi
kalsium melalui saluran cerna sehingga timbul hipokalsemia.
Kegagalan ekskresi asam dan retensi urea
Gejala klinis osteodistrofi ginjal antara lain gangguan pertumbuhan, gangguan bentuk
tulang, fraktur spontan dan nyeri tulang. Apabila disertai gejala rakitis yang jelas akan
timbul hipotonia umum, lemah otot, dan nyeri otot. Pada pemeriksaan radiologi dan
histologi ditemukan gambaran osteomalasia dan osteofibrosis.
7. Metabolisme karbohidrat
Gangguan metabolisme karbohidrat sering menyertai keadaan uremia. Pada
gagal ginjal kronik yang berat, terjadi hiperinsulinisme dengan resistensi post-reseptor
terhadap insulin. Hal ini menyebabkan kecenderungan terjadi hipoglikemia dan
gangguan metabolism karbohidrat.
8. Metabolisme lemak
Gangguan utama pada metabolisme lemak adalah hipertrigliseridemia dan
hiperkholesterolemia sedang, terutama akibat penurunan aktivitas lipoprotein lipase
dan hepatik trigliserid lipase yang terjadi pada keadaan gagal ginjal sedang.
9. Gangguan Pertumbuhan
Penyakit ginjal kronik tahap akhir pada anak dikaitkan dengan adanya
gangguan
pertumbuhan
yang
dtandai
oleh
terlambatnya
maturasi
tulang,
14
perkembangan pubertas dan kurangnya tinggi akhir saat dewasa. Hal ini dapat
disebabkan oleh banyak faktor antara lain terlambatnya diagnosis, usia timbulnya
PGK, gangguan elektrolit, cairan dan metabolik, gangguan keseimbangan asam basa,
malnutrisi, dan osteodistrofi ginjal. Kemungkinan faktor yang paling penting adalah
usia saat timbulnya PGK.
10. Hipertensi
Hipertensi pada umumnya simtomatik, tidak jarang ditemui gambaran scar
parenkim ginjal misalnya akibat refluks nefropati sehingga berakibat PGK. Hipertensi
mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal,
sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme
retensi natrium dan air dan pengaruh vasopresor dari sistem renin-angiotensinaldosteron.
11. Gagal jantung kongestif
Gagal jantung kongestif akibat hipertensi yang tidak dikelola dengan baik atau
kelebihan cairan dan natrium, tidak akan terjadi sampai tahap lanjut PGK, namun
pada beberapa anak dapat terlihat gejala yang membutuhkan terapi diuretik atau
dialisis.
12. Ensefalopati Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang ekstrim dan tiba-tiba dapat menyebabkan
nekrosis arteri intrakranial dan edema serebri dengan gejala sakit kepala, penurunan
kesadaran dan kejang (Sekarwana, 2004).
f. Diagnosis
Pendekatan diagnosis PGK dilihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis. Adapun
prinsipnya adalah :
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis (Hogg, et al., 2003 dan KDOQI, 2014).
Anamnesis
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi Penyakit Ginjal
Kronik, dan perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal
ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
15
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal (Hogg, et al., 2003 dan KDOQI, 2014).
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
-
Pemeriksaan Fisik
Vital sign
Pemeriksaan fisik ginjal
Pemeriksaan fisik lain
- Paru
- Jantung
- Abdomen
Terdapat tiga gejala penyakit ginjal kronis yang biasanya dapat dipakai untuk
Tes Urin
o Urinalisis
Analisis urin akan memberi gambaran keadaan fungsi ginjal secara luas.
Langkah pertama dalam urinalisis adalah melakukan tes dipstick. Dipstick memiliki
reagen-reagen yang dapat digunakan memeriksa urin untuk mengetahui ada tidaknya
berbagai zat atau molekul yang normal maupun abnormal, seperti protein, sel darah
merah, dsb. Kemudian, setelah itu urin akan diperiksa dibawah mikroskop untuk
mencari apakah terdapat sel-sel darah merah dan putih, adanya kristal ( padatan ),
maupun sel-sel epitel dan sel-sel di luar tubuh yang lain.
Dalam urin dapat dijumpai adanya albumin (protein) namun dalam jumlah
yang sangat minimal. Hasil positif pada tes dipstick untuk protein menunjukkan
terdapat keadaan yang abnormal. Pengujian yang lebih sensitif daripada tes dipstick
untuk mengetahui jumlah protein dalam urin adalah estimasi laboratorium albumin
urin ( protein ) dan kreatinin dalam urin. Rasio albumin ( protein ) dan kreatinin
dalam urin memberikan perkiraan yang baik dari albumin ( protein ) yang diekskresi
per hari.
o Tes urin-Dua puluh empat jam
Tes ini memerlukan pasien untuk mengumpulkan semua urin mereka
selama 24 jam berturut-turut. Urin dapat dianalisis untuk mengetahui jumlah protein
dan limbah produk (urea nitrogen, dan kreatinin). Keberadaan protein dalam urin
mengindikasikan adanya kerusakan ginjal. Jumlah kreatinin dan urea diekskresikan
dalam urin dapat digunakan untuk menghitung tingkat fungsi ginjal dan laju filtrasi
glomerulus (GFR).
o Laju filtrasi glomerulus (GFR)
GFR adalah sarana standar untuk mengekspresikan fungsi ginjal secara
keseluruhan. Pasien yang menderita penyakit ginjal biasanya akan diikuti dengan
menuruunnya GFR secara progresif. GFR normal sekitar 100-140 ml / menit pada
pria dan 85-115 mL / menit pada wanita. Biasanya akan menurun bersamaan dengan
bertambahnya usia seseorang. GFR dapat dihitung dari jumlah produk limbah dalam
urin selama 24 jam atau dengan menggunakan petanda khusus yang diberikan secara
intravena. Estimasi GFR (eGFR) dapat dihitung dari tes darah rutin pasien. Pasien
CKD dibagi menjadi lima tahap penyakit ginjal kronis berdasarkan GFRnya.
Tes Darah
17
penyakit
ginjal
mengganggu
produksi
sel
darah
dan
memperpendek kelangsungan hidup sel darah merah, sel darah merah dan hemoglobin
mungkin kadarnya akan rendah (anemia). Beberapa pasien juga mungkin memiliki
kekurangan zat besi karena kehilangan darah dalam sistem pencernaan mereka.
Kekurangan nutrisi lainnya juga dapat mengganggu produksi sel darah merah
(Kathuria, 2014).
Pemeriksaan Lain
o Foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
o Pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak bisa
melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
o Pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
18
o Pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi (Hogg, et
al., 2003 dan KDOQI, 2014).
o USG
Ultrasonografi sering digunakan dalam diagnosis penyakit ginjal. USG merupakan
jenis tes pencitraan yang non invasive. Secara umum, ginjal akan mengalami
penyusutan ukuran pada penyakit ginjal kronis, meskipun pada beberapa penyakit
dapat juga ditemukan ukuran yang normal atau membesar seperti penyakit polikistik
ginjal dewasa, nefropati diabetes, dan amyloidosis. Selain itu, USG juga dapat
digunakan untuk mendiagnosa adanya obstruksi saluran kemih, batuginjal dan juga
untuk menilai aliran darah ke dalam ginjal.
o Biopsi
Sampel jaringan ginjal, kadang-kadang diperlukan dalam kasus dimana penyebab
penyakit ginjal masih belum jelas (NKDEP, 2015).
g. Tata Laksana
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit.
a.
Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b.
19
20
tulang
(MBD/mineral
and
bone
disorder),
asidosis
metabolik,
transfusi
harus
dihindari
pada
pasien
dengan
PGK
jika
22
i. Prognosis
Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik umumnya mengalami penurunan fungsi
ginjal yang progresif dan berisiko mengalamai penyakit ginjal stadium akhir atau
End-Stage Renal Disease (ERDS). Tingkat perkembangan tergantung pada usia,
diagnosis, keberhasilan penatalaksanaan, dan langkah-langkah pencegahan sekunder.
Inisiasi terapi penggantian ginjal adalah hal yang penting untuk mencegah komplikasi
yang dapat menyebabakan morbiditas yang signifikan bahkan kematian (Arora and
Batuman, 2010).
25
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Penyakit ginjal kronik adalah suatu kerusakan ginjal dengan atau tanpa penurunan
laju filtrasi ginjal. Pada tahap awal, penyakit ini jarang menimbulkan gejala. Pasien
dengan PGK membutuhkan manajemen yang kompleks. Sistem klasifikasi telah
diperkenalkan pada tahun 2002 oleh National Kidney Foundation yang sesuai dengan
tingkat keparahan penyakit pasien, sekaligus sebagai pedoman perawatan pasien.
Intervensi dini dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien PGK. Dengan
identifikasi awal, pengobatan anemia, osteodistrofi, hiperlipidemia dan penyakit
kardiovaskular, serta perawatan primer oleh dokter dan nefrologis secara bersamaan
dapat secara signifikan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit ginjal
kronis.
DAFTAR PUSTAKA
Arora,
P.
and
Batuman,
V.
2010.
Chronic
Kidney
Disease.
Available
at:
<http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview#a6>
Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification,
and
Stratification.
Available
at:
26
<http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm>
[Accessed
19
september 2015]
Hogg, R.J., et al. 2003. National Kidney Foundations Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease in Children and
Adolescents: Evaluation, Classification, and Stratification. Pediatrics 111:1416-1421.
Kathuria,
P.
2014.
Chronic
Kidney
Disease:
Diagnosis.
Available
at:
<www.emedicinehealth.com/script/main/mobileart-emh.asp?articlekey58887&page=1>
Kidney, C., et al. 2014. Management of Chronic Kidney Disease Objectives: Key points.
(March).
Levey, A.S., et al. 2003. National Kidney Foundation practice guidelines
for chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification.
Available at: <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12859163>
Levin, A., et al. 2008. Guidelines for the management of chronic kidney disease. Canadian
Medical Association journal 179(11), pp.11541162.
Matovinovi, M.S. 2009. Pathophysiology and Classificatrion of Kidney Diseases. Available
at: <http://www.ifcc.org>
NKDEP (National Kidney Disease Education Program). 2015. Chronic Kidney Disease
(CKD) and Diet: Assessment, Management, and Treatment.
Pardede, S.O. 2009. Penyakit Ginjal Kronik pada Anak. Sari Pediatri Vol. 11 No 3. Available
at <saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-3-9.pdf> [Accessed 7 September 2015]
Sekarwana, N. 2004. Gagal Ginjal Kronik pada Anak. Sari Pediatri Vol. 6 No 1. Available at:
<saripediatri.idai.or.id/pdfile/6-1-8s.pdf> [Accessed 19 September 2015]
Thomas, R., Kanso, A., and Sedor, J.R. 2008. Chronic Kidney Disease and Its Complications.
Available at: <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18486718>
27