Vous êtes sur la page 1sur 27

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan
masalah kesehatan yang umum terjadi di seluruh dunia. Penyakit Ginjal Kronik
menggambarkan suatu keadaan ginjal yang abnormal baik secara struktural maupun
fungsional. Penyakit Ginjal Kronik ini mempengaruhi 10-15% populasi orang dewasa
di negara-negara barat. Hal ini diakui sebagai kondisi umum yang berkaitan dengan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan kematian.
Penyakit ginjal kronik biasanya tidak menimbulkan gejala pada tahap awal.
Tes laboratorium berguna dalam mendeteksi masalah yang berkembang. Perawatan
medis pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (CKD) harus berfokus pada
pengendalian gangguan yang mendasari, memperlambat perkembangan penyakit, dan
mengobati komplikasi dari penyakit.

BAB II
ISI
a. Definisi
Penyakit Ginjal Kronik merupakan kerusakan ginjal dengan atau tanpa
penurunan tingkat filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m 2 yang
terjadi 3 bulan (Kidney, et al., 2014).
Pada tahun 2002, Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) telah
menerbitkan

klasifikasi

untuk

menentukan

Penyakit

Ginjal

Kronik

dalam

perkembangannya. Klasifikasi ini terdiri dari 5 tahap yaitu, sebagai berikut :

Tahap 1 : kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (>90

mL/min/1.73 m2)
Tahap 2 : penurunan ringan pada GFR (60-89 mL/min/1.73 m2)
Tahap 3 : penurunan moderat pada GFR (30-59 mL/min/1.73 m2)
Tahap 4 : penurunan berat pada GFR (15-29 mL/min/1.73 m2)
Tahap 5 : kegagalan ginjal (GFR <15 mL/min/1.73 m2atau dialisis)

Penanda kerusakan ginjal ( satu atau lebih ) :


- Albuminuria ( AER 30 mg / 24 jam ; ACR 30 mg / g )
- Kelainan sedimen urin
- Kelainan elektrolit dan kelainan lain karena gangguan tubular
- Kelainan yang terdeteksi dengan pemeriksaan histologi
- Kelainan struktural terdeteksi oleh pemeriksaan radiologi
- Riwayat transplantasi ginjal sebelumnya
- GFR < 60 mL / min / 1.73m2
* GFR = glomerular filtration rate; AER = albumin excretion rate; ACR = albumin-to-creatinine ratio

(Kidney, et al., 2014)

Adapun klasifikasi CKD dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

(Gambar 1)

b. Epidemiologi
Penyakit ginjal kronis diperkirakan mempengaruhi antara 1,9 juta dan 2,3 juta
orang Kanada. Penyakit ginjal kronis ini sering bersamaan dengan penyakit jantung
dan diabetes, dimana keduanya bisa menjadi factor resiko untuk semua penyebab
kematian dan penyakit kardiovaskular. Selama 5 tahun terakhir ini penyakit ginjal
kronis sudah di sederhanakan penyebutannya menjadi kerusakan ginjal dalam jangka
waktu 3 bulan (Levin, et al., 2008).
Penyakit ginjal kronis jauh lebih banyak di seluruh dunia dari yang di
perkiraan sebelumnya. Dimana ini mempengaruhi 10 - 15 % dari populasi orang
dewasa di negara-negara barat, banyak dari mereka memerlukan perawatan yang
mahal atau terapi pengganti ginjal (transplantasi). Menurut laporan dari National
Health and Nutrition Examination Survey and the National Kidney Foundation
Kidney Disease, hampir 26 juta orang di Amerika Serikat berada dalam kategori
penyakit ini dan 20 juta lainnya berada pada peningkatan risiko untuk Penyakit
Ginjal Kronis. Pada tahun 2004 the international organization Kidney Disease :
Improving Global Outcomes (KDIGO), dibentuk untuk mengatasi epidemi Penyakit
Ginjal Kronis di seluruh dunia (Matovinovi, 2009).

c. Etiologi
Berbagai kondisi dan peyakit dapat menyebabkan terjadinya Penyakit Ginjal
Kronik (CKD). Diabetes (peningkatan gula darah) dan hipertensi (peningkatan
tekanan darah) merupakan penyebab tersering (Levey, et al., 2003).
Diabetes
Penyakit ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam tubuh. Insulin yang
tidak tercukupi menyebabkan peningkatan gula darah (glukosa). Tanpa pengobatan,
hal ini bisa menjadi fatal. Peningkatan gula darah akan merusak pembuluh darah kecil
di ginjal. Peningkatan gula darah juga bisa menyebabkan kelemahan fungsi nefron
ginjal (filtrasi). Ketika pembuluh darah ginjal dan fungsi filtrasi rusak, fungsi ginjal
pun dapat menurun. Fungsi ginjal yang menurun akan menyebabkan protein tidak
terfiltrasi sehingga lolos menuju urin yang dikeluarkan (proteinuria). Ini merupakan
salah satu tanda dari penyakit ginjal kronis.
Hipertensi
Tekanan darah yang tinggi dapat merusak pembuluh darah dan nefron dalam
ginjal. Jika tekanan darah meningkat tajam, terjadi vasokonstriksi pembuluh darah
yang menuju ke ginjal. Akibatnya terjadi penurunan perfusi ke ginjal yang dapat
menyebabkan penurunan fungsi ginjal.
Penyebab lain dari Penyakit Ginjal Kronik antara lain:
Glomerulonefritis
Gangguan ini melibatkan peradangan dari nefron ginjal. Kadang-kadang
mungkin terjadi karena infeksi. Kerusakan ginjal umumnya terjadi selama periode
waktu yang panjang.
Faktor Genetik dan Gangguan Kongenital seperti Penyakit Ginjal Polikistik atau
Polycystic Kidney Disease (PKD)
PKD merupakan suatu kondisi dimana sejumlah besar kista (kantung cairan)
berkembang di ginjal. Hal ini biasanya merupakan penyakit yang diturunkan. Kista
bisa menjadi besar dan menghalangi kemampuan ginjal untuk menyaring produk sisa
dari darah. Fungsi ginjal yang menurun akibat dari PKD umumnya terjadi dalam
periode waktu yang lama.
Penyakit autoimun seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Gangguan autoimun terjadi ketika tubuh menyerang dirinya sendiri. Lupus
merupakan salah satu jenis penyakit autoimun yang menyebabkan peradangan di
4

semua organ tubuh termasuk ginjal. Hal ini dapat memengaruhi fungsi ginjal dan
dalam waktu tertentu dapat menyebabkan CKD.
Agen nerfotoksik
Obat-obatan atau zat tertentu dapat merusak ginjal. Obat-obat golongan
NSAIDs (Non-Steroidal Anti-Inflamatory Drugs) seperti Ibuprofen (Advil, Motrin)
dan Naprosyn (Aleve) dapat menyebabkan kerusakan ginjal jika digunakan dalam
jangka waktu yang panjang.
HIV-Associated Nefropati
Dalam hal ini, kerusakan ginjal dapat disebabkan oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency

Virus).

Pengobatan

dini

diperlukan

untuk

mengurangi

kemungkinan kerusakan dari virus penyebab HIV tersebut.


Obstruksi atau Penyumbatan saluran kemih
Aliran urin dapat terhambat dengan berbagai cara, misalnya ada batu ginjal
dan pembesaran kelenjar prostat. Penyumbatan aliran urin ini dapat menyebabkan
kerusakan ginjal dimana terjadi tekanan balik urin menuju ke ginjal.

Source : Levey, et al. 2003. National Kidney Foundation Practice


Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification,
and Stratification.
5

d. Patofisiologi
Pertama, laju aliran darah ginjal sekitar 400 ml/100 gr per menit. Jumlah ini
jauh lebih besar daripada laju aliran darah pada organ lain seperti jantung, hati, dan
otak. Sebagai konsekuensinya, ginjal lebih berpotensi berkontak dengan agen
berbahaya melalui peredaran darah.
Kedua, filtrasi glomerulus bergantung pada tekanan intra dan transglomerular
yang tinggi, sehingga kapiler glomerulus rentan terhadap kerusakan hemodinamik,
berbeda dengan vascular bed lainnya. Oleh sebab itu, Brenner dkk mengidentifikasi
bahwa hipertensi dan hiperfiltrasi glomerulus sebagai kontributor utama terhadap
perkembangan penyakit ginjal kronik.
Ketiga, membran filtrasi glomerulus bermuatan negatif berfungsi sebagai
barrier dari makromolekul anionik. Dengan gangguan pada barrier elektrostatik ini,
seperti pada kerusakan atau cedera glomerulus, protein plasma mendapatkan akses
menuju filtrasi glomerulus.
Keempat, bentuk dari nefron yang terdiri dari glomerulus hingga ke
tubulusnya tidak hanya sebagai penjaga keseimbangan glomerulo-tubular tetapi juga
memfasilitasi penyebaran kerusakan atau cedera glomerulus ke tubulointersitial
sehingga epitel tubular menjadi ultrafiltrat yang abnormal. Pembuluh darah
peritubular mendasari sirkulasi glomerulus, sehingga beberapa mediator dari reaksi
inflamasi glomerulus mungkin akan menyebar ke dalam sirkulasi peritubular.
Sehingga penyakit glomerular berkontribusi terhadap reaksi inflamasi interstitial.
Selain itu, setiap penurunan perfusi glomerulus menyebabkan penurunan
aliran darah peritubular, yang bergantung pada derajat hipoksia. Sehingga konsep
nefron sebagai unit fungsional tidak hanya berlaku untuk fisiologi ginjal, tetapi juga
untuk patofisiologi penyakit ginjal.
Kelima, glomerulus sendiri juga harus dianggap sebagai unit fungsional
karena mengandung komponen-komponen seperti endotel, mesangial, sel-sel epitel
viseral dan parietal (podosit), dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan salah satu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain melalui
mekanisme yang berbeda, misalnya dari koneksi antarsel (gap junction), mediator
yang larut (kemokin, sitokin, faktor pertumbuhan, dan perubahan komposisi
membran). Penyebab utama cedera ginjal didasarkan pada reaksi imunologi
(diprakarsai oleh kompleks imun), hipoksia jaringan dan iskemia, agen eksogen
(obat), agen endogen (glukosa atau paraprotein, dll), dan kelainan bawaan. Terlepas
6

dari

penyebab

yang

mendasari

terjadinya

PGK,

kerusakan

glomerulus

(glomerulosklerosis) dan kerusakan tubulointersitial (fibrosis tubulointersitial)


merupakan penyebab umum terjadniya PGK. Gambaran dari patofisiologi PGK
mungkin berkaitan dengan mekanisme cedera glomerulus, tubulus, dan pembuluh
darah.

1.

Mekanisme Kerusakan Glomerulus


Penyakit herediter seperti Sindrom Alport sering menjadi penyebab

munculnya CKD. Sindrom Alport merupakan penyakit terkait kromosom X, dimana


terjadi mutasi di gen COL4A5 yang mengkode rantai 5 dari kolagen tipe IV di
kromosom X. Hal ini menyebabkan membran basalis glomerulus menjadi ireguler,
berpisah, atau menebal, yang dapat menyebabkan glomerulosklerosis.
Kompleks imun yang terbentuk dapat terdeposit di mesangium (seperti pada
nefropati IgA, purpura Henoch Schonlein, lupus nefritis kelas II, glomerulonefritis

postinfeksi), di subendotel (seperti pada lupus nefritis kelas III, glomerulonefritis


membranaproliferatif), di subepitel (seperti pada nefropati membranosa idiopatik,
lupus nefritis kelas V), atau di membran basalis glomerulus (seperti pada penyakit
anti-GBM).
Tempat terdepositnya kompleks imun menentukan respon dan manifestasi
klinis. Jika kompleks imun terdeposit di:
-

Area subendotel, mesangium, atau membran basalis glomerulus, maka akan


menunjukkan respon nefritik. Kompleks imun menyebabkan aktivasi sel endotel atau
sel mesangial yang kemudian akan melepaskan produk soluble yang menarik leukosit
dan platelet. Produk leukosit berupa sitokin, enzim lisosomal, komplemen yang akan
merusak dinding pembuluh darah dan barrier filtrasi, dan menarik lebih banyak

leukosit dari sirkulasi.


Area subepitel, akan menunjukkan respon nefrotik. Membran basalis glomerulus
menghalangi kontak antara kompleks imun dengan sel inflamasi yang terdapat di
sirkulasi. Selain itu, aliran darah yang besar di glomerulus tidak memberi kesempatan
untuk terbentuknya mediator inflamasi di subepitel untuk selanjutnya berdifusi ke
endotel dan lumen pembuluh darah.
Inflamasi pada glomerulus dapat mengalami resolusi dengan derajat fibrosis
yang bervariasi. Proses resolusi ini berjalan bila tidak terjadi produksi antibodi dan
tidak ada kompleks imun yang bersirkulasi. Selain itu, harus ada pembersihan sel dan
mediator inflamasi, normalisasi permeabilitas pembuluh darah, serta pembersihan sel
glomerulus yang proliferatif.
Hipertensi Sistemik
Tekanan darah yang sangat tinggi yang sampai ke glomerulus atau keadaan
hipertensi glomerulus menyebabkan perubahan lokal pada hemodinamika glomerulus
yang dapat menyebabkan cedera glomerulus. Sebenarnya, ginjal memilki mekanisme
autoregulasi untuk memproteksi ginjal dari hipertensi sistemik, namun mekanisme
tersebut akan menjadi tidak efektif jika terdapat tekanan darah yang terlalu tinggi.
Hipertensi kronik menyebabkan vasokonstriksi arteriol dan nefrosklerosis yang
akhirnya menyebabkan atrofi glomerulus dan tubuointerstisial. Angiotensin II, EGF,
PDGF, CSGF, TGF-, aktivasi kanal ion, dan respon gen berhubungan dengan
tekanan darah tinggi pada proliferasi myointimal dan sklerosis dinding pembuluh
darah.
Hipertensi Glomerulus
8

Hal ini merupakan mekanisme adaptif untuk memberi peringatan kepada


nefron terhadap peningkatan beban kerja akibat hilangnya sejumlah nefron, apapun
penyebabnya. Hipertensi intraglomerulus meningkatkan produksi matriks dan memicu
glomerulosklerosis karena akumulasi matriks ekstraseluler. Proses ini dimediasi
terutama oleh TGF-, angiotensin II, PDGF, CSGF, dan endotelin. Hipertensi
glomerulus dapat mendahului hipertensi sistemik pada penyakit ginjal (Matovinovi,
2009).
2. Mekanisme kerusakan tubulointersitial
Terlepas dari etiologi, PGK dikarakteristikkan oleh glomerulosklerosis dan
fibrosis tubulointerstisial. Kerusakan dari tubulointerstisial berkaitan dengan
glomerulosklerosis.

Beberapa

penelitian

menjelaskan

bahwa

kerusakan

tubulointerstisial berkaitan erat dengan gangguan fungsi ginjal dalam jangka panjang.
Hal ini tidak mengherankan mengingat tubulus dan intersitium menempati lebih dari
90% dari volume ginjal.
- Fibrogenesis Ginjal
Awalnya mengarah ke respon inflamasi dengan pelejpasan mediator lokal,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah lokal, aktivasi sel endotel, ektravasasi
leukosist sepanjang endotelium, sekresi berbagai mediator oleh leukosit dan sel
tubulointerstisial, dan aktivasi sel profibrotik.
-

Induksi dan pengembangan respon inflamasi

Leukosit bermigrasi dari sirkulasi melalui venula post kapiler dan kapiler peritubular
ke interstitial mengikuti gradien dari kemoattractant dan kemokin. Semua sel tubular
bisa mengeluarkan mediator larut ketika distimulasi oleh hipoksia, iskemia, agen
infeksius, obat-obatan, dan toksin endogen seperti lipid, glukosa tinggi, paraprotein
dan faktor genetik. Penyakit glomerular berkaitan dengan tingkat cedera
tubulointerstisial dan peradangan karena sel-sel tubular terkena protein yang
seharusnya tidak disaring. Faktor-faktor yang terlibat dalam pembentukan inflamasi
filtrasi tubulointerstisial adalah : proteinuria, deposit imun, kemokin, sitokin, kalsium
fosfat, asidosis metabolik, asam urat, lipid, hipoksia, dan agen reaktif oksigen.
-

Infiltrat inflamasi

Sel inflamasi mononuklear terdiri dari monosit/makrofag dan limfosit, terutama


limfosit T. Sel T CD4 dan sel T CD3 membawa reseptor kemokin CCR5 dan CXCR3
yang terkait erat dengan fungsi ginjal. Sel-sel inflamasi ini mensekresi sitokin
profibrotik.
9

Sitokin profibrotik

Infiltrasi sel-sel inflamasi merangsang fibroblas menjadi miofibroblas. Faktor


profibrotik yang paling penting terlibat dalam fibrogenesis ginjal adalah angiotensin
II, TGF-1, CTGF, PDGF, FGF-2 (Fibroblast Growth Factor-2), EGF, ET-1, dan sel
mast triptase. Angiotensin II menginduksi sintesis TGF-1 di sel epitel tubular dan
fibroblas. Angiotensisn II dan CTGF menginduksi hipertrofi pada sel epitel tubular
yang bergantung pada TGF-1. Saat ini diasumsikan bahwa TGF-1 adalah kunci
dalam fibrogenesis ginjal.
-

Proliferasi dan aktivasi fibroblas

Fibroblas berkembang menjadi aktif mengikuti infiltrasi sel-sel inflamasi ke dalam


ruang tubulointerstisial. Fibroblas ini harus diaktifkan oleh sitokin (sebagian besar
berasal dari makrofag), mengubah fenotipnya dari fibroblas ke miofibroblas. Mitogen
yang penting bagi fibroblas ginjal adalah PDGF, bFGF-2, dan lain-lain.
-

Ephitelial-mesencymal Transition (EMT)

Konversi fenotip sel epitel ke dalam sel mesenkim dikenal sebagai Ephitelialmesencymal Transition (EMT). Bukti untuk EMT pada penyakit berasal dari
pemanfaatan protein penanda mesenkimal seperti vimentin atau S1004A. Protein
penanda mesenkimal dalam sel epitel tubular berkorelasi baik dengan fungsi ginjal
pada IgA nefropati, lupus nefritis dan kegagalan allograft kronis.
Telah terbukti akhir-akhir ini bahwa hipoksia yang diinduksi oleh faktor 1 (HIF-1),
dianggap mengendalikan ekspresi ratusan gen, juga merangsang EMT, yang
menjelaskan bagaimana hipoksia dapat menimbulkan fibrosis dan kerusakan ginjal
yang progresif. Hipoksia mengubah metabolisme matriks proksimal tubular epitelial
(PTE), menyebabkan akumulasi matriks ekstraseluler berupa kolagen interstisial serta
supresi matriks pendegradasi. Paparan hipoksia terhadap PTE menginduksi transisi
menjadi miofibroblas, selanjutnya, paparan yang lebih lama menyebabkan cedera
mitokondria dan apoptosis. Pada PTE, hipoksia juga menginduksi ekspresi faktor
fibrogenik.
-

Proteinuria dan kerusakan tubulointersitial

Proteinuria dapat merusak tubulointerstisium melalui beberapa jalur termasuk


toksisitas langsung ke tubular, perubahan dalam metabolisme epitel tubular,
menginduksi sintesis sitokin dan kemokin, dan peningkatan ekspresi molekul adesi.
Kelebihan reabsorbsi protein di tubulus proksimal dapat melebihi kapasitas
10

pengolahan lisosomal, menyebabkan lisosom pecah dan mengakibatkan toksisitas


tubular secara langsung. Protein yang dapat menembus area filtrasi glomerulus akan
terlihat dalam urin yang dikelurakan atau disebut proteinuria (Matovinovi, 2009).
Secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :
Respon ginjal pada PGK pada umumnya sama walaupun etiologinya berbeda.
Pada tahap awal penyakit, nefron yang masih berfungsi akan beradaptasi untuk
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Adaptasi penting yang
dilakukan oleh ginjal adalah hipertrofi nefron normal yang tersisa dalam upaya untuk
melakukan seluruh beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan laju filtrasi, beban zat
terlarut, dan reabsorpsi tubulus pada setiap nefron. Mekanisme adaptasi ini cukup
berhasil untuk mempertahankan homeostasis.
Lama-kelamaan, nefron yang utuh dapat mengalami cedera karena
peningkatan aliran plasma dan LFG serta peningkatan tekanan hidrostatik intrakapiler
glomerulus dan efek toksik protein yang melintasi dinding kapiler. Oleh karena itu,
seiring waktu, jumlah nefron yang sklerosis akan semakin banyak. Jika sekitar 75%
massa nefron telah hancur, maka laju filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron
yang masih bertahan sangatlah tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus
(keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus)
tidak dapat lagi dipertahankan.
Penyesuaian fungsi terhadap penurunan massa nefron menyebabkan hipertensi
glomerulus dan peningkatan LFG tiap nefron (hiperfiltrasi) pada sisa nefron yang
utuh. Peningkatan LFG tiap nefron terutama dilakukan dengan dilatasi arteriol aferen,
sekaligus dengan adanya kontraksi arteriol eferen karena pelepasan angiotensin II
lokal. Sebagai akibatnya, aliran plasma ginjal dan tekanan kapiler glomerulus
meningkat karena sebagian besar tekanan sistemik dipindahkan ke glomerulus.
Kompensasi ini berkaitan dengan perubahan lokal pada hemodinamika
glomerulus yang dapat menyebabkan cedera glomerulus. Dimana peningkatan volume
kapiler glomerulus tanpa diiringi oleh peningkatan sel epitel viseral akan
mengakibatkan penurunan densitas kapiler glomerulus yang membesar. Diyakini
bahwa kombinasi hipertensi glomerulus dan hipertrofi merupakan penyebab cedera
sekunder dari kapiler glomerulus. Penurunan densitas epitel menyebabkan hilangnya
sawar selektif sehingga menyebabkan adanya protein di dalam urine. Peningkatan
permeabilitas dan hipertensi intraglomerulus juga membantu akumulasi dari protein
11

besar dalam subendotel. Akumulasi ini menumpuk bersama proliferasi matriks


mesangial yang pada akhirnya menyebabkan penyempitan lumen kapiler. Proses
akumulasi ini dimediasi terutama oleh TGF-, angiotensin II, PDGF, CSGF, dan
endotelin.
Cedera sekunder lainnya adalah pembentukan mikroaneurisma akibat
disfungsi sel endotel. Akibat keseluruhannya adalah kolapsnya kapiler glomerulus dan
glomerulosklerosis, yang ditunjukkan dengan proteinuria dan gagal ginjal progresif.
Proteinuria pada PGK merupakan tanda penting kerusakan ginjal. Proteinuria
berperan dalam penurunan fungsi ginjal karena protein yang melintasi dinding kapiler
glomerulus berdampak toksik sehingga terjadi migrasi monosit/makrofag dan dengan
peran berbagai sitokin terjadi sklerosis glomerulus dan fibrosis tubulointerstisial
(Matovinovi, 2009 dan Pardede, 2009).
e. Manifestasi Klinis
Fungsi utama ginjal adalah untuk memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit serta fungsi endokrin. Kehilangan atau rusaknya nefron berdampak pada
perubahan ekskresi, metabolik, endokrin dan fungsi hemodinamik yang pada akhirnya
akan berpengaruh pada keseluruhan organ tubuh.
Kerusakan nefron membawa ke arah gangguan homeostasis tubuh dan retensi toksin
uremik yang dibagi atas 3 kelompok yaitu :
Gangguan sekresi zat fisiologi oleh ginjal
Gangguan sekresi metabolit fisiologi oleh ginjal
Sekresi zat yang diperlukan untuk memelihara homeostasis tetapi dalam konsentrasi
patologi (Sekarwana, 2004).
1. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Perubahan homeostasis cairan merupakan tanda awal dari kehilangan nefron,
mencakup penurunan kemampuan untuk memaksimalkan konsentrasi urin. Hal ini
membawa ke keadaan isostenuria dan diuresis osmotik dengan beban ekskresi dari
volume urin yang lebih besar untuk mengeluarkan sisa-sisa produk. Secara klinis, hal
ini menimbulkan gejala nokturia dan poliuria yang tidak sensitif terhadap pengaruh
vasopresin. Akibat dari beban ekskresi yang lebih besar, setiap asupan cairan yang
dibatasi dapat menyebabkan dehidrasi dan penurunan fungsi ginjal. Ekskresi cairan
dipelihara secara baik sampai LFG mencapai 10-15 ml/m/1,73m2. Di bawah nilai ini,
retensi cairan dan natrium menyebabkan hipertensi dan edema.
12

2. Natrium
Dengan berkurangnya LFG yang progresif pada pasien PGK, ginjal akan
mempertahankan keseimbangan natrium dengan meningkatkan ekskresi natrium oleh
nefron yang masih baik. Bila adaptasi ini tidak terjadi, akan timbul retensi natrium.
Meningkatnya ekskresi natrium ini disebabkan karena meningkatnya rejeksi tubular
dengan akibat meningkatnya fraksi ekskresi natrium (FENa). Peningkatan masukan
natrium yang tiba-tiba dapat menimbulkan perubahan volume ekstraselular dengan
segala akibatnya.
3. Kalium
Kapasitas ginjal dalam mengeksresikan kalium dipelihara sampai LFG
menurun dibawah 10 mL/menit/1,73m2. Keseimbangan kalium pada pasien PGK
dipertahankan dengan meningkatkan ekskresi renal dan ekstrarenal. Ekskresi renal
dicapai dengan meningkatkan fraksi ekskresi pada nefron yang masih berfungsi.
Sedangkan ekskresi ekstrarenal terutama melalui sekresi epitel kolon dan dikeluarkan
melaui feses yaitu sebanyak 75%. Hiperkalemia umumnya terjadi ketika LFG kurang
dari

20-25

mL/menit/1,73m2

karena

penurunan

kemampuan

ginjal

untuk

mengeluarkan kalium. Hal ini dapat terlihat lebih cepat pada penderita yang
mengkonsumsi diet kaya kalium atau jika kadar aldosteron serum rendah.
4. Asidosis metabolik
Pada gagal ginjal, terjadi gangguan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan
H+ sehingga mengakibatkan asidosis metabolik dengan ditandai penurunan pH dan
kadar HCO3- plasma. Ekskresi NH4+ yang merupakan mekanisme utama ginjal dalam
usahanya mengeluarkan H+ berkurang akibat berkurangnya jumlah nefron. Asidosis
metabolik juga dapat terjadi akibat peningkatan senjang anion. Meningkatnya senjang
anion terjadi akibat retensi anion seperti sulfat, fosfat dan anion organik dalam
plasma.
5. Anemia
Anemia pada gagal ginjal kronik disebabkan karena defisiensi hormon
eritropoietin

dengan

gambaran

morfologi

eritrosit

normokrom

normositer.

Eritropoietin diproduksi oleh sel kortikal interstisial di sekitar tubulus proksimal


(peritubular) yang berfungsi untuk pematangan sel darah merah di sumsum tulang.
Anemia pada pasien PGK juga dapat disebabkan oleh defisiensi besi akibat malnutrisi
atau kehilangan darah kronik akibat perdarahan saluran cerna tersembunyi (occult
bleeding); masa hidup sel darah merah menjadi pendek karena toksin uremik,
13

toksisitas aluminium yang berkaitan dengan penggunaan fosfat binder; juga anemia
dapat terjadi karena kehilangan darah iatrogenik selama hemodialisis atau
pengambilan darah untuk pemeriksaan darah. Manifestasi anemia umumnya terjadi
bila laju filtrasi glomerulus turun sekitar 35 mL/menit. Keadaan ini menjadi lebih
berat sejalan dengan penurunan LFG yang progresif dengan semakin sedikitnya masa
renal yang tersisa.
6. Osteodistrofi ginjal
Ginjal merupakan organ yang bertanggung jawab terhadap produksi kalsitriol
yang merupakan bentuk metabolik paling aktif dari vitamin D. Osteodistrofi ginjal
umumnya terjadi oleh karena hiperfosfatemia, hipokalsemia dan akibat peningkatan
hormon paratiroid. Kegagalan ginjal dalam menjalankan fungsinya mempunyai 3
konsenkuensi, yaitu:
Kegagalan ekskresi fosfat yang menyebabkan peningkatan fosfat serum,
menurunnya kadar kalsium darah dan timbul hiperparatiroid sekunder.
Gangguan pembentukan metabolit vitamin D aktif (1,25 (OH)D3) karena tidak
adanya proses hidroksilasi. Kurangnya vitamin D aktif menyebabkan malabsorpsi
kalsium melalui saluran cerna sehingga timbul hipokalsemia.
Kegagalan ekskresi asam dan retensi urea
Gejala klinis osteodistrofi ginjal antara lain gangguan pertumbuhan, gangguan bentuk
tulang, fraktur spontan dan nyeri tulang. Apabila disertai gejala rakitis yang jelas akan
timbul hipotonia umum, lemah otot, dan nyeri otot. Pada pemeriksaan radiologi dan
histologi ditemukan gambaran osteomalasia dan osteofibrosis.
7. Metabolisme karbohidrat
Gangguan metabolisme karbohidrat sering menyertai keadaan uremia. Pada
gagal ginjal kronik yang berat, terjadi hiperinsulinisme dengan resistensi post-reseptor
terhadap insulin. Hal ini menyebabkan kecenderungan terjadi hipoglikemia dan
gangguan metabolism karbohidrat.
8. Metabolisme lemak
Gangguan utama pada metabolisme lemak adalah hipertrigliseridemia dan
hiperkholesterolemia sedang, terutama akibat penurunan aktivitas lipoprotein lipase
dan hepatik trigliserid lipase yang terjadi pada keadaan gagal ginjal sedang.
9. Gangguan Pertumbuhan
Penyakit ginjal kronik tahap akhir pada anak dikaitkan dengan adanya
gangguan

pertumbuhan

yang

dtandai

oleh

terlambatnya

maturasi

tulang,
14

perkembangan pubertas dan kurangnya tinggi akhir saat dewasa. Hal ini dapat
disebabkan oleh banyak faktor antara lain terlambatnya diagnosis, usia timbulnya
PGK, gangguan elektrolit, cairan dan metabolik, gangguan keseimbangan asam basa,
malnutrisi, dan osteodistrofi ginjal. Kemungkinan faktor yang paling penting adalah
usia saat timbulnya PGK.
10. Hipertensi
Hipertensi pada umumnya simtomatik, tidak jarang ditemui gambaran scar
parenkim ginjal misalnya akibat refluks nefropati sehingga berakibat PGK. Hipertensi
mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal,
sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme
retensi natrium dan air dan pengaruh vasopresor dari sistem renin-angiotensinaldosteron.
11. Gagal jantung kongestif
Gagal jantung kongestif akibat hipertensi yang tidak dikelola dengan baik atau
kelebihan cairan dan natrium, tidak akan terjadi sampai tahap lanjut PGK, namun
pada beberapa anak dapat terlihat gejala yang membutuhkan terapi diuretik atau
dialisis.
12. Ensefalopati Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang ekstrim dan tiba-tiba dapat menyebabkan
nekrosis arteri intrakranial dan edema serebri dengan gejala sakit kepala, penurunan
kesadaran dan kejang (Sekarwana, 2004).
f. Diagnosis
Pendekatan diagnosis PGK dilihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis. Adapun
prinsipnya adalah :
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis (Hogg, et al., 2003 dan KDOQI, 2014).
Anamnesis
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi Penyakit Ginjal
Kronik, dan perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal
ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
15

laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal (Hogg, et al., 2003 dan KDOQI, 2014).
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
-

Sesuai dengan penyakit yang mendasari;


Sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm uremic

frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;


Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
klorida) (Hogg, et al., 2003 dan KDOQI, 2014).

Pemeriksaan Fisik

Vital sign
Pemeriksaan fisik ginjal
Pemeriksaan fisik lain
- Paru
- Jantung
- Abdomen
Terdapat tiga gejala penyakit ginjal kronis yang biasanya dapat dipakai untuk

menentukan diagnosis suspect yakni anemia, hipertensi, dan edema.


Pemeriksaan Penunjang
Penyakit ginjal kronis biasanya tidak menimbulkan gejala pada stadium awal.
Hanya tes laboratorium yang dapat mendeteksi masalah yang berkembang. Siapapun
yang memiliki masalah pada peningkatan risiko untuk penyakit ginjal kronis harus
diuji secara rutin.
Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya,
seperti penurunan kadar hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, dan
silinder.
o Tes Fungsi Ginjal
Bertujuan untuk mengetahui gangguan fungsi ginjal dan menetapkan berat ringannya
penyakit (NKDEP, 2015).
16

Tes Urin
o Urinalisis
Analisis urin akan memberi gambaran keadaan fungsi ginjal secara luas.
Langkah pertama dalam urinalisis adalah melakukan tes dipstick. Dipstick memiliki
reagen-reagen yang dapat digunakan memeriksa urin untuk mengetahui ada tidaknya
berbagai zat atau molekul yang normal maupun abnormal, seperti protein, sel darah
merah, dsb. Kemudian, setelah itu urin akan diperiksa dibawah mikroskop untuk
mencari apakah terdapat sel-sel darah merah dan putih, adanya kristal ( padatan ),
maupun sel-sel epitel dan sel-sel di luar tubuh yang lain.
Dalam urin dapat dijumpai adanya albumin (protein) namun dalam jumlah
yang sangat minimal. Hasil positif pada tes dipstick untuk protein menunjukkan
terdapat keadaan yang abnormal. Pengujian yang lebih sensitif daripada tes dipstick
untuk mengetahui jumlah protein dalam urin adalah estimasi laboratorium albumin
urin ( protein ) dan kreatinin dalam urin. Rasio albumin ( protein ) dan kreatinin
dalam urin memberikan perkiraan yang baik dari albumin ( protein ) yang diekskresi
per hari.
o Tes urin-Dua puluh empat jam
Tes ini memerlukan pasien untuk mengumpulkan semua urin mereka
selama 24 jam berturut-turut. Urin dapat dianalisis untuk mengetahui jumlah protein
dan limbah produk (urea nitrogen, dan kreatinin). Keberadaan protein dalam urin
mengindikasikan adanya kerusakan ginjal. Jumlah kreatinin dan urea diekskresikan
dalam urin dapat digunakan untuk menghitung tingkat fungsi ginjal dan laju filtrasi
glomerulus (GFR).
o Laju filtrasi glomerulus (GFR)
GFR adalah sarana standar untuk mengekspresikan fungsi ginjal secara
keseluruhan. Pasien yang menderita penyakit ginjal biasanya akan diikuti dengan
menuruunnya GFR secara progresif. GFR normal sekitar 100-140 ml / menit pada
pria dan 85-115 mL / menit pada wanita. Biasanya akan menurun bersamaan dengan
bertambahnya usia seseorang. GFR dapat dihitung dari jumlah produk limbah dalam
urin selama 24 jam atau dengan menggunakan petanda khusus yang diberikan secara
intravena. Estimasi GFR (eGFR) dapat dihitung dari tes darah rutin pasien. Pasien
CKD dibagi menjadi lima tahap penyakit ginjal kronis berdasarkan GFRnya.
Tes Darah
17

o Kreatinin dan urea ( BUN ) dalam darah


Urea darah dan kreatinin serum nitrogen adalah tes darah yang paling
umum digunakan untuk screening dan untuk memantau penyakit ginjal. Kreatinin
adalah produk dari kerusakan otot yang normal. Sedangkan urea adalah produk
limbah dari pemecahan protein. Tingkat dari zat-zat ini biasanya akan meningkat
dalam darah jika pemecahan terlalu banyak atau fungsi ginjal yang memburuk.
o Perkiraan (estimasi) GFR ( eGFR )
Laboratoris atau dokter mungkin akan menghitung estimasi GFR dengan
menggunakan informasi dari darah pasien. Hal ini penting untuk menyadari estimasi
GFR seseorang dan stadium penyakit ginjal kronis yang dideritanya. Dari sini dokter
biasanya akan menggunakan staging penyakit ginjal yang diderita pasien untuk
merekomendasikan pengujian tambahan dan memberikan saran tentang manajemen
selanjutnya.
o Kadar elektrolit dan keseimbangan asam-basa
Disfungsi ginjal menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit, khususnya
kalium, fosfor, dan kalsium. Kadar kalium yang tinggi (hiperkalemia) butuh perhatian
yang khusus. Karena keseimbangan asam-basa darah biasanya akan terganggu juga.
Penurunan produksi bentuk aktif dari vitamin D dapat menyebabkan
rendahnya kadar kalsium dalam darah. Ketidakmampuan ginjal mengekskresikan
fosfor menyebabkan kadarnya di dalam darah meningkat. Kadar hormon testis atau
ovarium juga mungkin menjadi abnormal.
o Jumlah sel darah
Karena

penyakit

ginjal

mengganggu

produksi

sel

darah

dan

memperpendek kelangsungan hidup sel darah merah, sel darah merah dan hemoglobin
mungkin kadarnya akan rendah (anemia). Beberapa pasien juga mungkin memiliki
kekurangan zat besi karena kehilangan darah dalam sistem pencernaan mereka.
Kekurangan nutrisi lainnya juga dapat mengganggu produksi sel darah merah
(Kathuria, 2014).
Pemeriksaan Lain
o Foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
o Pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak bisa
melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
o Pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
18

o Pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi (Hogg, et
al., 2003 dan KDOQI, 2014).
o USG
Ultrasonografi sering digunakan dalam diagnosis penyakit ginjal. USG merupakan
jenis tes pencitraan yang non invasive. Secara umum, ginjal akan mengalami
penyusutan ukuran pada penyakit ginjal kronis, meskipun pada beberapa penyakit
dapat juga ditemukan ukuran yang normal atau membesar seperti penyakit polikistik
ginjal dewasa, nefropati diabetes, dan amyloidosis. Selain itu, USG juga dapat
digunakan untuk mendiagnosa adanya obstruksi saluran kemih, batuginjal dan juga
untuk menilai aliran darah ke dalam ginjal.
o Biopsi
Sampel jaringan ginjal, kadang-kadang diperlukan dalam kasus dimana penyebab
penyakit ginjal masih belum jelas (NKDEP, 2015).
g. Tata Laksana
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit.
a.

Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

b.

Kebutuhan jumlah kalori


Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral

19

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung


dari LFG dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal
disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik
dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus
segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis
inisial 50 u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi
dosis pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg
dan tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu.
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah
harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. Sasaran
hemoglobin adalah 11-12 gr/dL.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan utama yang
sering dijumpai pada PGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi
mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu
program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat enzim
pengkonversi angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme inhibitor/ ACE

20

inhibitor). Melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses


pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan
hal yang penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik
disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung
dari kelainan kardiovaskular yang diderita, termasuk pengendalian diabetes,
hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan
dan gangguan keseimbanagan elektrolit.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat
pada pasien yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi selektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan
Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
Indikasi selektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,
pasien- pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien
GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
21

nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik,


yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
c. Transplantasi ginjal
(Hogg, et al., 2003 dan KDOQI, 2014)
h. Komplikasi
PGK dapat mengakibatkan beberapa komplikasi, seperti: anemia, penyakit
mineral

tulang

(MBD/mineral

and

bone

disorder),

asidosis

metabolik,

ketidakseimbangan kalium dan natrium, ketidakseimbangan cairan, serta kekurangan


gizi. Pasien dengan PGK perlu dipantau untuk setiap kondisi tersebut dan ditangani
ketika komplikasi sudah teridentifikasi.
1) Anemia
Anemia merupakan komplikasi PGK dimana penurunan yang signifikan dalam
hemoglobin (Hb) biasanya terlihat pada pasien dengan PGK grade 3b atau lebih.
Berdasarkan pedoman 2013 KDIGO, anemia pada PGK didefinisikan sebagai
jumlah Hb <13 pada pria dan Hb <12 pada wanita. Evaluasi tersebut harus
mencakup hitung sel darah, jumlah retikulosit, serum feritin, dan serum saturasi
besi (TSAT) untuk menilai defisiensi besi.
Jika terdiagnosis defisiensi zat besi, harus diikuti oleh evaluasi dan
penanganan PGK sesuai dengan usia. Target Hb untuk semua tahap PGK adalah
10-12. Dalam penanganan primer harus mempertimbangkan rujukan ke
nephrologist apabila terdapat Hb <10 dan tidak ada penyebab non-ginjal yang
jelas pada pemeriksaan awal.
Pertimbangan dalam penggunaan Erythropoesis Stimulating Agent (ESA) dan/
atau zat besi parenteral harus dikonsultasikan dengan seorang nefrologis.
Umumnya,

transfusi

harus

dihindari

pada

pasien

dengan

PGK

jika

memungkinkan, karena dapat menimbulkan potensi sensitisasi yang mungkin


akan menunda atau menghalangi transplantasi ginjal di kemudian hari. Tidak
terdapat batas rentang Hb khusus untuk dilakukannya transfusi. Kuncinya ialah
pada penilaian klinis, yaitu transfusi dapat diindikasikan untuk anemia yang sudah
menimbulkan gejala, terutama pada pasien dengan gagal jantung.
2) Mineral and Bone Disorder (CKD-MBD)

22

Abnormalitas kalsium dan metabolisme fosfat biasanya terlihat jelas pada


tahap akhir PGK (grade 3b atau lebih). Studi observasional menunjukkan bahwa
penanganan CKD-MBD dalam tahap awal PGK berpotensi dapat memperlambat
atau mencegah perkembangan PGK dan dapat mencegah kalsifikasi vaskular.
Suplemen vitamin D direkomendasikan bagi pasien dengan kekurangan
vitamin D. Hidroksilasi ginjal umumnya cukup adekuat dalam PGK grade 1-3,
dan

bentuk vitamin D akan berguna dalam mengatasi defisiensi. Pemberian

suplementasi vitamin D harus diutamakan di wilayah geografis di mana pasien


berisiko tinggi defisiensi akibat paparan sinar matahari yang kurang. Rujukan ke
nefrologis diperlukan sebelum penggunaan bentuk aktif vitamin D atau
manajemen defisiensi vitamin D pada PGK tahap G4 atau G5.
3) Asidosis metabolik
Beberapa penelitian telah menunjukkan potensi manfaat natrium bikarbonat
yang paten pada semua tahap PGK untuk mencegah penyakit ginjal. Namun,
mengingat keterbatasan data yang tersedia dan potensi efek buruk pada tekanan
darah, penggunaan natrium bikarbonat belum dianjurkan.
4) Keseimbangan Kalium, Fosfor dan Natrium
Hiperkalemia merupakan masalah yang sering pada PGK, terutama pada
pasien yang mungkin mendapat manfaat dari ACEI/ARB. Kadar kalium yang
tinggi (> 5,5mEq / L), serta rendah (<4 mEq / L) telah dikaitkan dengan waktu
yang lebih singkat menuju End Stage Renal Disease (ESRD) dan mortalitas yang
tinggi pada pasien PGK stadium G3-G5.
Diet rendah kalium dianjurkan untuk pasien dengan PGK dimana K> 5,5
mEq/L. Jika kalium pasien normal dan stabil, buah dan sayuran tidak perlu
dibatasi. Namun, diperlukan peninjauan kembali dalam penggunaan obat dan diet
ketika ditemui hiperkalemia.
Target level fosfor adalah 3-5mg / dl. Dan untuk lebel natrium sekitar 2g
natrium per hari dianjurkan pada kebanyakan pasien PGK sebagai tambahan untuk
farmakoterapi dalam mengontrol tekanan darah.
5) Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Pemantauan keseimbangan cairan termasuk menangani hipervolemia,
penggunaan diuretik, garam, dan asupan air. Pasien dengan PGK rentan terhadap
hiperpigmentasi dan hipovolemia. Pada stadium lanjut dari PGK, kemampuan
untuk mengompensasi elektrolit dan perubahan volume semakin terganggu.
23

Hipervolemia dan diuretik


Hipervolemia dapat terlihat secara nyata ketika pasien menjadi oligouria atau
memiliki sindrom nefrotik, penyakit hati atau penyakit yang menyertainya seperti
gagal jantung. Terlepas dari etiologi hipervolemia, beberapa isu berkembang
terjadi dalam pemberian diuretik pada pasien dengan PGK, seperti:
1. Diet pembatasan natrium.
2. Diuretik loop lebih dipilih ketika GFR <40 ml / menit.
3. Penambahan spironolactone atau eplerenone mungkin bermanfaat,
terutama pada pasien proteinuri yang sudah diberi terapi RAAS-blocker
dengan maksimal.
4. Dosis yang lebih besar dalam pemberian loop diuretik (2 sampai 3 kali
dosis biasa) sering dibutuhkan dalam sindrom nefrotik, dalam mengikat
obat terhadap albumin.
5. Penambahan metolazone 15-20 menit sebelum loop diuretik dapat
meningkatkan respon. Ini dapat dilakukan selama 3-5 hari sampai
mendekati euvolemia, kemudian dinilai ulang.
6. Penyesuaian dosis dan frekuensi diuretik berdasarkan berat akurat pasien
lebih disukai.
7. Dosis tinggi atau terapi diuretik kombinasi sebaiknya dimulai dengan
konsultasi kepada nefrologis.
Asupan cairan
Asupan cairan tinggi dianjurkan pada tiga kondisi yang sering terlihat pada
pasien dengan PGK berikut:
1. Nefrolitiasis: dianjurkan asupan cairan setidaknya 23L sehari.
2. Salt-wasting Nephropathy (misalnya penyakit interstitial ginjal kronis,
penyakit kistik medula), jarang terjadi kondisi dimana kemampuan
berkonsentrasi ginjal berkurang: ini memerlukan asupan harian> 4L
cairan dan diet garam tinggi.
3. Diabetes insipidus nefrogenik moderate: asupan cairan > 5 L/hari
mungkin diperlukan.
Perawatan Pencegahan Sekunder
Risiko komplikasi pada pasien PGK dapat dikurangi dengan perawatan
pencegahan yang meliputi: perubahan gaya hidup menjadi lebih sehat, menghindari
obat-obatan nefrotoksik, pemberian imunisasi yang tepat, dan pemantauan untuk
diagnosis sekunder umum. Bukti yang muncul mengidentifikasi obesitas sebagai
faktor risiko yang dapat dimodifikasi baik bagi pengembangan maupun pencegahan
PGK, jadi kelebihan berat badan dan obesitas harus ditangani dengan baik (Thomas,
Kanso, and Sedor, 2008).
24

i. Prognosis
Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik umumnya mengalami penurunan fungsi
ginjal yang progresif dan berisiko mengalamai penyakit ginjal stadium akhir atau
End-Stage Renal Disease (ERDS). Tingkat perkembangan tergantung pada usia,
diagnosis, keberhasilan penatalaksanaan, dan langkah-langkah pencegahan sekunder.
Inisiasi terapi penggantian ginjal adalah hal yang penting untuk mencegah komplikasi
yang dapat menyebabakan morbiditas yang signifikan bahkan kematian (Arora and
Batuman, 2010).

25

BAB III
Penutup
Kesimpulan
Penyakit ginjal kronik adalah suatu kerusakan ginjal dengan atau tanpa penurunan
laju filtrasi ginjal. Pada tahap awal, penyakit ini jarang menimbulkan gejala. Pasien
dengan PGK membutuhkan manajemen yang kompleks. Sistem klasifikasi telah
diperkenalkan pada tahun 2002 oleh National Kidney Foundation yang sesuai dengan
tingkat keparahan penyakit pasien, sekaligus sebagai pedoman perawatan pasien.
Intervensi dini dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien PGK. Dengan
identifikasi awal, pengobatan anemia, osteodistrofi, hiperlipidemia dan penyakit
kardiovaskular, serta perawatan primer oleh dokter dan nefrologis secara bersamaan
dapat secara signifikan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit ginjal
kronis.

DAFTAR PUSTAKA
Arora,

P.

and

Batuman,

V.

2010.

Chronic

Kidney

Disease.

Available

at:

<http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview#a6>
Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification,

and

Stratification.

Available

at:

26

<http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm>

[Accessed

19

september 2015]
Hogg, R.J., et al. 2003. National Kidney Foundations Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease in Children and
Adolescents: Evaluation, Classification, and Stratification. Pediatrics 111:1416-1421.
Kathuria,

P.

2014.

Chronic

Kidney

Disease:

Diagnosis.

Available

at:

<www.emedicinehealth.com/script/main/mobileart-emh.asp?articlekey58887&page=1>
Kidney, C., et al. 2014. Management of Chronic Kidney Disease Objectives: Key points.
(March).
Levey, A.S., et al. 2003. National Kidney Foundation practice guidelines
for chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification.
Available at: <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12859163>
Levin, A., et al. 2008. Guidelines for the management of chronic kidney disease. Canadian
Medical Association journal 179(11), pp.11541162.
Matovinovi, M.S. 2009. Pathophysiology and Classificatrion of Kidney Diseases. Available
at: <http://www.ifcc.org>
NKDEP (National Kidney Disease Education Program). 2015. Chronic Kidney Disease
(CKD) and Diet: Assessment, Management, and Treatment.
Pardede, S.O. 2009. Penyakit Ginjal Kronik pada Anak. Sari Pediatri Vol. 11 No 3. Available
at <saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-3-9.pdf> [Accessed 7 September 2015]
Sekarwana, N. 2004. Gagal Ginjal Kronik pada Anak. Sari Pediatri Vol. 6 No 1. Available at:
<saripediatri.idai.or.id/pdfile/6-1-8s.pdf> [Accessed 19 September 2015]
Thomas, R., Kanso, A., and Sedor, J.R. 2008. Chronic Kidney Disease and Its Complications.
Available at: <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18486718>

27

Vous aimerez peut-être aussi