Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
distress syndrome
Laringomalasia
terjadi kontraksi dan relaksasi intercosta pada abdominal.Hal ini akan menyebabkan
glottis terbuka karena medulla spinalis juga merespon terjadinya inspirasi sehingga akan
terjadi inspirasi yang cepat dan dalam. Fase ini disebut fase Inspirasi.Saat bernafas paru
memiliki daya kembang paru yang akan menyebabkan glottis menutup selama 0,2 detik.
Saat glottis menutup tekanan intratorak naik sampai 300cmH20.Fase ini disebut fase
kompresi.
Pilek :
Alergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lainlain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC).
Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen
dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan
sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B
diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthma dan membentuk IgE.IgE yang
terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada
dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya
memiliki reseptor untuk IgE.Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor
untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar
kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat
oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan
menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan
kadar cAMP. Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam
proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah
terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat
biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil
Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator
tersebut ialah obstruksi oleh
histamin.Histamin menyebabkan Vasodilatasi, penurunan tekanan kapiler & permeabilitas,
sekresi mukus.Sekresi mukus yang berlebih itulah yang menghasilkan pilek
3. Bagaimana hubungan panas tidak tinggi dan batuk pilek dengan kesulitan
bernafas?
Panas tidak tinggi dan batuk pilek 2 hari sebelumnya dengan kesulitan bernapas
merupakan suatu yang berkesinambungan. Infeksi virus diawali pada rongga hidung
merangsang makrofag (APC: antigen precenting cell)yang kemudian dipresentasikan ke
sell T-helper. T-helper 2 akan melepas IL-2,4,5,6,10. IL-2 merangsang sel B berproliferasi
menjadi sel plasma sehingga terbentuk Ig E. Ig E akan merangsang mediator inflamasi
lain seperti histamine, eosinofil kemotactic factor A, tripase dan kinin, kemudian mediator
tsb merangsang sel mukosa untuk menghasilkan mucus yang bertujuan untuk
mengahambat invasi (masuknya virus lebih dalam ke sal.pernafasan bagian bawah) dan
mengeluarkan virus dari tubuh. Hal iniah yang menyebabkan terjadinya pilek pada kasus.
Apabila virus tidak bisa dikeluarkan, virus lolos masuk ke dalam laring.Didalam laring
terdapat jaringan epitel yang dilapisi mucus bersilia bersel goblet, tempat reseptor batuk
berada. Virus yang menempel di jaringan epitel tersebut akan merangsang reseptor batuk
kemudian reseptor batuk yang akan merangsang serabut saraf afferent selanjutnya
dikirimkan stimulus ke pusat batuk di dorsal medulla oblongata dan kemudian
merangsang serabut saraf motorik dan menghasilkan reflek batuk .
Beririangan dengan itu, infeksi virus akanmerangsang makrofag untuk menghasilkan
pirogen endogen dengan tujuan untuk memfagosit dan melisis mikroorganisme dan
eksogen yang masuk kedalam tubuh. Pada saat fagositosis IL1 dihasilkan kemudian
memicu hypothalamus untuk mengeluarkan fosfolipase yang akan mengubah fosfolipid
menjadi as.arakidonat yang memicu keluarnya prostaglandin, prostaglandin akan memicu
kenaikan suhu (demam tidak tinggi). Demam bertujuan agar mikroorgsanisme yang
masuk tidak beriplikasi.
Kesulitan bernapas terjdi apabila reaksi inflamasi mencapai laring dan trakea yang
merupakan salah satu saluran napas tersempit terutama di bagain subglotis. Reaksi
inflamasi tersebut akan menyebabkan edem di dinding laring dan trakea sehingga terjadi
penyempitan saluran napas, hal ini akan menyebabkan Alwi kesulitan bernapas seperti
pada kasus.
4. Mengapa bibir dan sekitarnya tampak biru sedangkan kulit tampak merah muda
dan hangat?
Total skor 3-5 diklasifikasikan sebagai croupmoderat. Hal ini menyajikan dengan
mendengar stridor mudah, tetapi dengan beberapa tanda-tanda lain. Hal ini juga
menyajikan dengan stridor jelas, tetapi juga fitur ditandai dinding dada indrawing.
Sebuah nilai total 12 menunjukkan yang akan adanya kegagalan pernapasan. Batuk
menggonggong dan stridor mungkin tidak lagi menonjol pada tahap ini.
85% dari anak-anak yang datang ke bagian darurat memiliki penyakit ringan, batuk parah
sangat jarang (<1%).
Diam
Bingung
Element
Yang dinilai
Gerakan ekstremitas bergerak spontan atau tidak,
Interaktivitas
Consolability
untuk sekitarnya
Gelisah/agitasi. Apakah pengasuh mengurangi agitasi
Look/gaze
dan menangis
Apakah mata anak mengikuti gerakan Anda dan
menjaga kontak mata dengan benda-benda atau orang,
Speech/cry
2. Work of breathing
Element
Suara jalan napas abnormal
Abnormal positioning
Retraksi
Yang dinilai
Altered speech, stridor, wheezing atau grunting
Head bobbing, tripoding, sniffing
Retraksi otot dinding dada, supraclavicular,
Flaring
3. Circulation
Element
Pallor
Mottling
Yang dinilai
White skin coloration from lack of peripheral blood
Patchy skin discoloration, with patches of cyanosis,
Cyanosis
General Impression
Appearance
Work of
Breathing
Stable
Normal
Normal
Normal
Respiratory Distress
Normal
Abnormal
Nasal flaring
Grunting
Stridor
Wheezing
Retractions
Normal
Respiratory Failure
abnormal
abnormal
Normal/ abnormal
Pada kasus terdapat priority sign berupa distress napas dan emergency sign berupa
central sianosis dan obstructed breathing.
Awi 2 th mengalami distress pernafasan disebabkan obstruksi akut ec severe croup
6. Croup
CROUP (Viral Laryngotracheobronchitis)
Definisi
Croup (laryngotracheobronchitis) adalah penyakit peradangan akut di daerah subglotis laring,
trakea,dan bronkus.Biasanya ditandai dengan suara serak, batuk kering seperti menggonggong,
dan stridor inspirasi
Etiologi
Penyakit ini biasanya menyebar melalui pernafasan dari percikan yang mengandung virus di
udara atau berhubungan langsung dengan penderita yang terjangkit melalui percikan dahak.
A. Virus
Parainfluenza virus tipe I,II,III (50-75% kasus), Virus influenza tipe A dan B, Adenovirus,
Enterovirus, Respiratory syncytial virus (RSV), Measles, Coxsackievirus, Rhinovirus,
Echovirus, Reovirus, Metapneumovirus.
Patogenesis / Patofisiologi
Patogenesis
Seperti
infeksi
respiratori
pada
umumnya,
infeksi
virus
pada
laringotrakeitis,
Pemeriksaan imaging tidak diperlukan untuk pasien dengan riwayat penyakit yang tipikal
yang berespon terhadap pengobatan, tetapi bagaimanapun juga, foto lateral dan
anteroposterior (AP) dari jaringan lunak leher dapat membantu dalam mengklarifikasi
Tatalaksana
Terapi suportif
Oleh karena gejala croup sering timbul pada malam hari, banyak orang tua yang merasa
khawatir
dengan
penyakit
ini,
sehingga
meningkatkan
kunjungan
ke
unit
gawat
darurat.Sehingga penting untuk memberikan edukasi kepada orang tua tentang penyakit yang
secara alami dapat sembuh sendiri ini.
Oksigen
Tatalaksana pemberian oksigen dapat dipakai untuk anak dengan hipoksia.
Gabungan Oksigen-Helium
Pemberian gas Helium pada anak dengan croup diusulkan karena potensinya sebagai gas
dengan densitas rendah (dibanding nitrogen) dalam menurunkan turbulensi udara pada
penyempitan saluran pernapasan.
Farmakoterapi
Analgesik/Antipiretik
Walaupun belum ada penelitian khusus tentang manfaat analgesik atau antipiretik pada
anak dengan croup, sangat beralasan memberikan obat ini karena membuat anak lebih nyaman
dengan menurunkan demam dan nyeri.
Antitusif dan Dekongestan
Tidak ada penelitian yang bersifat eksperimental yang potensial dalam menunjukkan
keuntungan pemberian antitusif atau dekongestan pada anak dengan croup.Lagipula, tidak ada
dasar yang rasional dalam penggunaannya, dan karena itu tidak diberikan pada anak yang
menderita croup.
Antibiotik
Tidak ada penelitian yang potensial tentang manfaat antibiotik pada anak dengan
croup.Croup sebenarnya selalu berhubungan dengan infeksi virus, sehingga secara empiris
terapi antibiotik tidak rasional.Lagipula, jika terjadi super infeksi paling sering bacterial
tracheitis dan pneumonia- merupakan kejadian yang jarang (kurang dari 1:1.000) sehingga
pemakaian antibiotik untuk profilaksis juga tidak rasional.
Epinephrine
Berdasarkan data terdahulu, penggunaan epinephrine pada anak dengan croup berat,
dapat mengurangi kebutuhan alat bantu pernapasan. Epinephrine dapat mengurangi distres
pernapasan dalam waktu 10 menit dan bertahan dalam waktu 2 jam setelah penggunaan.
Beberapa penelitian retrospektif dan prospektif menyarankan pasien yang mendapat terapi
epinephrine dapat dipulangkan selama gejalanya tidak timbul kembali setidaknya dalam 2-3 jam
setelah terapi.
Bentuk epinephrine tartar yang umum digunakan untuk pasien croup; epinephrin 1:1.000
memiliki efek yang sebanding dan sama amannya dengan bentuk tartar. Dosis tunggal (0,5 ml
epinephrine tartar 2,25% dan 5,0 ml epinephrine 1:1.000) digunakan untuk semua anak tanpa
menghiraukan berat badan.
Anak yang hampir mengalami gagal napas, dapat diberikan epinephrine secara
berulang.Pemberian epinephrine yang kontinyu dilaporkan telah digunakan dibeberapa unit
perawatan intensif anak.
Glucocorticoids
Steroid adalah terapi utama pada croup. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan
kortikosteroid dapat menurunkan jumlah dan durasi pemakaian intubasi, reintubasi, angka dan
durasi dirawat di rumah sakit, dan angka kunjungan berulang ke pelayanan kesehatan, serta
menurunkan durasi gejala pada anak yang menderita gejala derajat ringan, sedang dan berat.
Dexamethasone sama efektifnya jika diberikan per oral atau parenteral. Dexamethasone
dosis 0,6 mg/kg BB merupakan dosis yang umumnya digunakan. Pemberiannya dapat diulang
dalam 6 sampai 24 jam. Terdapat beberapa bukti juga yang mengatakan dexamethasone dosis
rendah 0,15 mg/kg BB juga sama efektifnya. Di sisi lain, penelitian meta-analisis dengan
kontrol, yang memberikan kortikosteroid dosis lebih tinggi, memberikan respon klinis yang
baik pada sebagian besar pasien.
Inhalasi budesonide juga menunjukkan efektivitas yang sama dengan dexamethasone
oral, tetapi cara pemakaiannya lebih traumatik dan lebih mahal sehingga tidak secara rutin
digunakan. Pada pasien dengan gejala gagal napas yang berat, pemberian budesonide dan
epinephrine secara bersamaan adalah logis dan dapat lebih efektiv daripada pemberian
epinephrine saja.Pada pasien dengan gejala muntah-muntah juga merupakan alasan untuk
memberikan inhalasi steroid.