Vous êtes sur la page 1sur 22

Analisis Keragaman Fisiologis dan Molekular Bakteri Penyebab Layu

Stewart: Penyakit Baru Pada Tanaman Jagung di Indonesia dan


Pengelolaanya *)
Oleh :
Haliatur Rahma. **) dan Ujang Khairul **)

Abstrak
Penyakit layu stewart pada tanaman jagung merupakan penyakit baru di
Indonesia, penyakit ini belum ada dalam daftar penyakit pada Badan Karantina
Tumbuhan Indonesia dan Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Departemen
Pertanian sampai tahun 2007. Penyakit ini tergolong berbahaya, di luar negeri
telah dilaporkan dapat menyebabkan kehilangan hasil sampai 95%. Penelitian ini
bertujuan untuk: (a) Mengetahui dan memetakan daerah sebaran bakteri
Pantoea stewartii subsp.stewartii (Pnss) penyebab penyakit layu stewart pada
daerah sentra produksi jagung di Indonesia (Jawa, Sumatera dan Sulawesi), (b)
Mengetahui tingkat serangan penyakit layu stewart pada daerah sentra produksi
jagung di Indonesia, (c) mengetahui karakter morfologis dan fisiologis dari isolat
Pantoea stewartii subsp.stewartii dari berbagai sentra produksi jagung di
Indonesia, Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dan laboratorium yang
dilaksanakan selama satu tahun. Tahapannya adalah sebagai berikut (1)
Penetapan lokasi dan pengambilan sampel. Daerah sampel yang diambil adalah:
Sumatera Barat, Lampung,Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Gorontalo (2) Isolasi
dan karakterisasi Pnss dari sampel tanaman jagung. Metode yang digunakan
adalah metode pengenceran berseri dari sampel tanah dan tanaman jagung
terinfeksi, (3) Uji hipersensitivitas, patogenisitas, virulensi dan agresivines, (4)
Analisis keragaman isolat bakteri dari berbagai sentra produksi jagung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit layu stewart ini telah menyebar
di daerah sentra produksi jagung di Indonesia dengan insidensi antara 9% - 18%
dan severitas antara 11% - 27%). Semua isolat Pnss (25 isolat) yang diisolasi
dari daerah sampel menunjukkan ciriciri Pnss yaitu: gram negatif, koloni pada
medium CPG umur 3 x 24 jam berbentuk bulat, sedikit cembung, berwarna
kuning dan permukaan koloni sedikit berlendir, menghasilkan enzim pektinase.

------------------------------------------------------------------------*)

Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas dengan


Surat Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan No : 126.b/H.16/PL/HB.PID/IV/2009
tanggal : 20 April 2009

**)

Staf pengajar Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian


Universitas Andalas Padang

PENDAHULUAN
Penyakit layu stewart pada tanaman jagung disebabkan oleh
bakteri Pantoea stewartii subsp.stewartii (Pss) merupakan penyakit
penting dan baru di Indonesia.

Penyakit ini tergolong berbahaya, di

Amerika Serikat dilaporkan dapat menyebabkan kehilangan hasil berkisar


antara 15-95% Sejauh ini belum ada laporan resmi mengenai keberadaan

patogen ini di Indonesia. Khairul dan Rahma (2007) telah mendeteksi


keberadaan bakteri ini di pertanaman jagung di Sumatera Barat dengan
insidensi penyakit berkisar 4-10%.

Di Indonesia patogen ini masih

tergolong kategori A1 yaitu jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan


Karantina (OPTK) yang belum terdapat di wilayah Indonesia.
Penyakit layu stewart merupakan penyakit tular benih yang penting
pada jagung,

karena benih merupakan alat transportasi yang paling

cocok untuk menyebar melintasi batasan alaminya (Neergaard, 1977).


Muncul dan terdeteksinya penyakit ini pada jagung di Sumatera Barat,
tidak terlepas dari impor benih yang telah berlangsung selama ini,
sehingga memungkinkan tersebarnya patogen ini bersama benih-benih
tersebut. Resiko dari penularan patogen melalui benih sangatlah penting,
terutama dalam pengiriman benih internasional.

Lebih dari 50 negara

telah melarang impor benih jagung dari Amerika Serikat kecuali benih
Dengan semakin meningkatnya lalu lintas perdagangan benih
dewasa ini dan belum memadainya perangkat pengujian kesehatan benih
di Indonesia, dikhawatirkan penyakit ini telah masuk dan tersebar.
Penyakit layu stewart tergolong sulit dikendalikan, karena menyerang
tanaman pada berbagai fase pertumbuhan, bersifat tular benih dan tular
serangga.

Sampai saat ini usaha pengendalian penyakit ini masih

menggunakan insektisida sintetis yang mengandung imidachlopriod untuk


seed treatment (Stack, et al, 2006), namun dikhawatirkan penggunaan
bahan ini akan mempercepat pencemaran lingkungan
Sesuai dengan program pertanian berkelanjutan yang diterapkan di
Indonesia maka teknik pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan
(OPT) harus mengacu pada Pengendalian Hama dan Penyakit secara
Terpadu (PHT). Salah satu komponen utama dari program PHT adalah
pengendalian hayati dengan memanfaatkan agensia pengendalian hayati
indigenous. Keuntungan penggunaan agensia hayati antara lain: dapat
diperbaharui, memanfaatkan sumber daya lokal, dapat diperbanyak
dengan teknologi yang sederhana dan mudah cara aplikasinya.

Agensia hayati yang dikembangkan sebagai bioseed treatment


sekarang ini diantaranya adalah

Bacillus polymixa (Aspiras dan Crus,

1985), Pseudomonas fluorescens (Machmud, 1985), strain avirulen dari


Ralstonia solanacearum (Chen and Echandi, 1984 ; Khairul et al, 2001),
dan

Bacillus subtilis (Khairul, 2005).

Bacillus spp. telah banyak

dilaporkan mampu mengimunisasi berbagai jenis tanaman terhadap


berbagai jenis patogen ataupun serangga (Bargabus et al, 2004).
Berdasarkan permasalahan munculnya penyakit baru ini di
Indonesia, yaitu penyakit layu stewart pada tanaman jagung dan
perancangan pengelolaannya, maka telah dilakukan penelitian mengenai
sebaran dan tingkat serangan dari penyakit ini pada daerah sentra
produksi tanaman jagung di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, analisis
keragaman morfologis, fisiologis, dan biokimia.
Penelitian ini bertujuan untuk: (a) Mengetahui dan memetakan
daerah sebaran bakteri Pantoea stewartii subsp.stewartii penyebab
penyakit layu stewart pada daerah sentra produksi jagung di Indonesia
(Jawa, Sumatera dan Sulawesi), (b).Mengetahui tingkat serangan
penyakit layu stewart pada daerah sentra produksi jagung di Indonesia, (c)
Mengetahui karakter morfologis, fisiologis, dan biokimia dari isolat
Pantoea stewartii subsp.stewartii dari berbagai sentra produksi jagung di
Indonesia
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dan laboratorium yang
dilaksanakan selama satu tahun. Tahapannya adalah sebagai berikut:
.

Pemetaan daerah sebaran penyakit layu stewart


Penetapan Lokasi dan pengambilan sampel. Langkah pertama
penetapan lokasi dimulai dengan penetapan

Propinsi yang menjadi

daerah sentra jagung di Sumatera (Sumatera Barat, dan Lampung)


Sementara di Jawa meliputi, Jawa Tengah dan Jawa Timur, kemudian di
Sulawesi meliputi Gorontalo.

Di setiap propinsi tersebut ditetapkan

kabupaten yang akan dievaluasi berdasarkan data dari Dinas Pertanian


setempat. Lokasi pengambilan sampel tanaman ditetapkan berdasarkan
data dari Dinas Pertanian di masing-masing kabupaten.
Sampel tanaman yang diambil adalah berupa benih, batang, daun
(5-10 helai), tongkol, dan malai yang memperlihatkan

gejala khas.

Sampel diambil dari setiap lokasi yang ditetapkan dan disimpan di dalam
wadah dengan pendingin (termos es). Tanah yang berada di sekitar
tanaman bergejala juga diambil sebagai contoh. Sampel berupa daun dan
benih dapat disimpan dalam kertas koran dan di bawa ke laboratorium.
Sebelum diamati sampel tersebut disimpan dalam refrigerator.
Isolasi dan Identifikasi Pnss dari sampel tanaman jagung. Metode
isolasi bakteri Pnss berdasarkan teknik Coplin dan Kado (2001). Bagian
tanaman jagung yang terinfeksi dipotong dan direndam dalam larutan
garam, kemudian eksudatnya digores pada medium

Casamino-acid

peptone glucosa (CPG) agar, Koloni bakteri akan muncul setelah dua
hari. Pada media CPG koloni sangat mucoid dan hanya menghasilkan
sedikit pigmen, Dari hasil pencawanan pada media CPG, semua bakteri
yang menunjukkan ciri-ciri Pnss dimurnikan.

Isolat-isolat tersebut

selanjutnya dikarakterisasi dan diidentifikasi menurut Schaad et al. (2001),


serta diuji lebih lanjut mengenai hipersensitifitas, patogenisitas, virulensi
dan agresvinesnya.
Uji Hipersensitivitas, Patogenisitas, Virulensi dan Agresivines. Isolatisolat Pnss dari berbagai sentra produksi jagung (hasil 4.1.2) dari media
CPG ditumbuhkan pada medium CPG broth dan inkubasi selama 3 x 24
jam, kemudian masing-masing isolat Pnss diinfiltrasikan ke bawah
permukaan daun tembakau. Kerapatan populasi Pnss (108 CFU/ml), HR
akan muncul setelah 24 berupa luka nekrosis (Coplin and Kado, 2001).
Uji patogenisitas dilakukan pada bibit jagung rentan (varietas
Arjuna) berumur 8 hari. Batang diinokulasi dengan suspensi bakteri 10 8
CFU/ml. Pengukuran kerapatan sel bakteri dalam suspensi menggunakan
metode turbidimetrik (Hadiotomo, 1990) dengan bantuan spektofotometer

pada panjang gelombang 620 nm. Gejala water soaking akan muncul
setelah 3 hari dan tanaman akan layu antara 5-8 hari setelah inokulasi
(Coplin and Kado, 2001). Inokulasi bakteri dilakukan sampai pada
pembuluh xylem terutama pada bagian petiole, batang atau akar
(Klement, et al, 1990)
Uji virulensi dan agresivines dilakukan pada bibit jagung berumur 8
hari varietas yang menunjukan reaksi rentan (varietas Arjuna). Batang
diinokulasi dengan suspensi bakteri 10 8 CFU/ml, Inokulasi bakteri
dilakukan sampai pada pembuluh xylem terutama pada bagian petiole,
batang dan akar (Klement et al, 1990). Cepat lambat munculnya gejala
layu pada tanaman akan mengindikasikan lebih virulen dan lebih
agresifnya isolat yang diuji. Sebagai pembanding digunakan isolat Pnss
01 sebagai kontrol positif dan air steril sebagai kontrol negatif.
Rumah kaca yang digunakan dijaga sedemikian rupa agar segala
kemungkinan penyebaran penyakit ini keluar dari lokasi penelitian tidak
terjadi.

Untuk itu, salah satu dari lima rumah kaca milik

Fakultas

Pertanian Universitas Andalas, pada bagian dalamnya dibatasi/dipagari


dengan kain kasa sehingga kemungkinan masuk dan keluarnya serangga
penyerbuk dapat dihindari. Begitu juga dengan segala macam alat dan
bahan yang digunakan dalam percobaan ini secepatnya dimusnahkan
begitu selesai digunakan.

Pemusnahannya mengikuti prosedur sistem

aseptik sehingga kemungkinan penyebaran penyakit ini karena kelalaian


peneliti dapat dihindari.
Parameter yang diamati meliputi; waktu mulai terlihatnya gejala
serangan Pnss (hari).
Analisis keragaman isolat bakteri dari berbagai sentra produksi
Analisis keragaman isolat. Isolat-isolat Pnss diamati karakter morfologi,
biokimia dan fisiologi meliputi: bentuk dan warna koloni, reaksi gram,
ekspresi enzim ektraselular (protease, dan kitinase), Karakter biokimia
dan fisiologis ini dilakukan dengan menggunakan media indikator.

Morfologi. Karakter morfologi dari masing-masing isolat Pnss yang


diamati adalah : warna kologi, bentuk koloni
Reaksi gram. Uji gram bertujuan untuk melihat apakah isolat Pnss
bersifat gram negatif atau positif.

Pengujian ini dilakukan dengan

menggunakan metoda (Klement et al, 1990).


Aktivitas Proteolitik. Gelatin digunakan sebagai substrat untuk menguji
aktivitas ini dengan mengikuti metode yang digunakan oleh Munif (2001).
Larutan gelatin (4 g/50 ml akuades) yang telah dicampur dengan medium
agar (5 g/400 ml akuades) disterilkan dengan autoklaf (120 0C, 15 lbs)
selama 20 menit.

Medium yang telah dituangkan dalam cawan petri,

dibuat 4 sumur dengan pengebor gabus (diameter 1 cm) kemudian diisi


dengan 0,2 ml suspensi bakteri Pnss (OD 600 = 0,164) dan diinkubasi pada
suhu ruang (260C) selama 3 hari. Aktivitas proteolitik dilihat dengan cara
menuangkan 5 ml

larutan ammonium sulfat jenuh ke atas medium.

Akivitas proteolitik ditunjukkan dengan adanya zone bening di sekitar


sumur yang berisi suspensi bakteri.
Aktivitas Kitinolitik. Aktivitas kitinolitik dari isolat-isolat Pnss diuji dengan
metode yang dideskripsikan oleh Munif (2001) .

Medium yang

mengandung koloidal kitin disiapkan sebagai sumber karbon dan nitrogen.


15 g

kitin crustacea di lembabkan dengan menggunakan aseton dan

dilarutkan dalam 120 ml HCl dingin dengan cara diaduk selama 45 menit
di dalam ice bath. Supernatan kemudian disaring dengan menggunakan
glass wool, koloidal kitin kemudian diendapkan.

Residu kemudian

dilarutkan kembali dan disaring tiga kali, sampai tidak ada lagi kitin yag
mengendap. Suspensi yang mengandung koloidal kitin disentrifus dengan
kecepatan 4000 rpm. Supernatan dibuang dan pelet yang mengandung
koloidal kitin dicuci 3-4 kali dengan 4 liter akuades sampai pH 2, kemudian
disimpan dalam regrigerator. Sebelum digunakan pH dijadikan 6 dengan
menggunakan 1 M NaOH.
Kitin agar yang mengandung 0,2% koloidal kitin (pH 6,2) disterilkan.
Medium dituang ke dalam cawan petri. Empat sumur dibuat pada medium
dengan menggunakan pengebor gabus steril (diameter 1 cm) dan diisi

dengan 0,2 ml suspensi bakteri Pnss. Medium yang mengandung bakteri


diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari.

Aktivitas kitinolitik

diindikasikan dengan adanya zone bening disekitar sumur.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran dan Tingkat serangan Penyakit Layu Stewart
Dari hasil pengamatan di beberapa daerah sentra produksi jagung
di Indonesia yang meliputi : Sumatera (Sumatera Barat, Lampung) dan di
Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) serta Sulawesi (Gorontalo),
diketahui penyakit layu stewart ini telah menyebar dengan insidensi
penyakit berkisar antara 9 % sampai 18%,

dan severitas penyakit

berkisar antara 11% sampai 27% (Tabel 1) (Gambar 1)


Tabel 1. Insidensi dan severitas penyakit layu stewart di beberapa
sentra produksi jagung di Indonesia
No

Propinsi

Kabupaten

Kecamatan

Pasaman Barat

Sumatera
Barat

Lampung

Jawa Tengah

Pasaman
Luhak nan Duo
Lima Puluh Kota Suliki
Payakumbuh
Lampung Timur Sukadana
Pekalongan
Lampung
Natar
Selatan
Katibung
Ngadirejo
Temangung
Temanggung
Blora
Bojonegora

Jawa Timur

Gorontalo

Jombang
Gorontalo
Pahuwato

Blora
Sarang
Sukosari
Radangan
Kertosuno
Gimbang
Atingola
Kuandang
Marisa
Tabulo

Insidensi
(%)
14%
4 10%40
12%
4 11%40
9%
11%
12%
18%
12%

Severitas
(%)
25%
27%
21%
20%
15%
11%
21%40
11%
24%

14%

20%

11%
15%
11%
9%
9%
11%
8%
14%
9%
15%

19%
16%
14%
21%
15%
19%
20%
22%
21%
19%

Hasil

wawancara

dengan

petani

dan petugas pengamat

hama dan penyakit di lokasi pengambilan sampel ternyata mereka tidak


mengenal penyakit dan gejala serangan Pnss pada jagung. Persentase
tanaman jagung yang terinfeksi Pnss di berbagai lokasi di Sumatera dan
Jawa serta Sulawesi

relatif masih cukup rendah (Tabel 1).

Hal ini

menunjukkan bahwa penyakit masih belum merata, namun harus


diwaspadai untuk menghindari munculnya ledakan penyakit (outbreak)
yang akan merugikan petani.

Menurut McGee (1997), masuknya suatu

patogen baru ke suatu negara atau wilayah merupakan konsekuensi logis


dari perdagangan (pertukaran plasma nutfah) antar negara atau wilayah.
Kisaran suhu optimum pertumbuhan Cmm berkisar antara 18 - 290C
(Pataky, 2003). Suhu pada semua lokasi pengambilan sampel berada
pada kisaran tersebut. Sehingga memungkin munculnya serangan Pnss .
Gejala serangan Pnss yang ditemukan di lapangan cukup
beragam, pada tanaman muda terdapat gejala water soaking yang
panjang terdapat di sepanjang daun (Luebker, 2003; Stack et al, 2006).
Daun memperlihatkan garis hijau pucat sampai kuning,

bakteri

menginfeksi tanaman pada semua fase umur, tapi kerusakan yang paling
parah tejadi pada saat infeksi terjadi pada saat tanaman berusia muda
(terutama saat menjelang munculnya 5 helai daun) (Thomas, 2002)
(Gambar 1a.), disamping itu juga ditemukan gejala layu dan kerdil
(Luebker, 2003; Stack et al, 2006) (Gambar 2b). Juga ditemukan gejala .
berupa lesio pada daun, lesio berupa goresan hijau sampai kuning
dengan pinggiran yang tak beraturan dan bergelombang di sepanjang
tulang daun dan juga diseluruh permukaan daun (Thomas, 2002) (Gambar
1c)
Di hampir semua lokasi pengambilan sampel, varietas yang paling
banyak diserang oleh Pnss adalah varietas Arjuna, dan Metro sedangkan
pada varietas lain seperti Harapan, Bisi 5, Bisi 2, Semar9, Surya dan
Pioneer serangannya bervariasi. Dengan ditemukannya serangan Pnss
ini pada beberapa varietas di sentra produksi jagung di Pulau Sumatera,

(1a)

(1b)

(1c)

Gambar 1. Gejala serangan bakteri Pnss di lapangan, (1a) : Daun


memperlihatkan garis hijau pucat sampai kuning, (1b) :
gejala layu dan kerdil, (1c) : gejala lesio pada daun

Jawa dan Sulawesi harus diwaspadai oleh semua pihak terutama instansi
terkait di pemerintahan. Penyakit ini dapat meledak (outbreak) pada suatu
saat, jika tidak diambil tindakan cepat dan bijaksana.

Isolasi dan Karakterisasi Pnss dari sampel tanaman jagung


Semua isolat Pnss (25 isolat) yang diisolasi dari daerah sampel
yang meliputi Sumatera Barat, Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur,
serta Gorontalo, menunjukkan ciriciri Pnss yaitu: gram negatif, koloni
pada medium CPG umur 3 x 24 jam berbentuk bulat, sedikit cembung,
berwarna kuning dan permukaan koloni sedikit berlendir, menghasilkan
enzim pektinase (Tabel 2 dan Gambar 2).
Ciri-ciri isolat Pantoea stewartii subsp.stewartii yang berhasil
diisolasi mempunyai kesamaan dengan ciri yang dikemukakan oleh

10

Pataky (2003) yaitu gram negatif,

anaerob fakultatif, non-motil, tidak

berspora, bentuk batang, pada kultur memperlihatkan warna.

Tabel 2. Karakteristik Pnss


No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Karakteristik
Warna koloni pada CPG
Bentuk sel
Produksi EPS
Uji Pektinase
Motilitas
Reaksi Gram
Reduksi Nitrat
Aktifitas Proteolitik
Aktifitas Kitinolitik
HR
Patogenisitas
Agresifines

(a)

Keterangan
Kuning
Batang
+
+
+
+
+
+
+

(b)

(c)

Gambar 2. Hasil isolasi dan karakterisasi isolat Psnn dari daerah sampel. (a).
Koloni Psnn pada medium CPG, (b) gram negatif, (c) uji pektinase

11

Uji Hipersensitif, Patogenisitas dan Agresiviness isolat Pnss


Hasil pengujian reaksi hipersensitif pada daun tembakau dari isolat
Pnss memperlihatkan bahwa gejala nekrotik muncul 2 x 24 jam, dimana
gejala awal ditandai dengan adanya bercak kebasah-basahan (water
soaking)

(Gambar

3a),

sedangkan

dari

uji

patogenisitas

yang

menggunakan varitas jagung rentan, gejala pada daun muncul pada hari
ke 7 (Gambar 3b dan 3c).

(a)

(b)

(c)

Gambar 3. Hasil uji hipersensitif dan patogenisitas isolat Pnss. (a).reaksi


HR positif pada daun tembakau, (b) dan (c) gejala layu
stewart pada daun dan bibit jagung
Tabel 3. Agresifitas isolat-isolat Pnss dari berbagai sentra produksi
jagung di Indonesia
Nomor dan asal isolat
Pasaman
Luhak nan Duo
Suliki
Payakumbuh
Sukadana
Pekalongan
Natar

Agresifitas (hari)
9
11
9
11
10
9
8

12

Katibung
Ngadirejo
Temanggung
Blora
Sarang
Sukosari
Radangan
Kertosuno
Gimbang
Atingola
Kuandang
Marisa
Tabulo

9
9
9
10
9
9
9
11
10
9
10
9
9

Pengujian patogenisitas dari isolat-isolat Pnss pada tanaman


jagung rentan (varietas arjuna), dari 25 isolat yang diuji, 20 isolat yang
menunjukkan reaksi positif, yaitu 5 isolat dari Sumatera Barat dan 3 isolat
dari Lampung, 4 isolat dari Jawa Tengah, 3 isolat dari Jawa Timur, dan 5
isolat dari Gorontalo (Gambar 3 b dan c).
Hasil pengujian agresifitas isolat Pnss pada bibit jagung varietas
Arjuna, gejala layu stewart muncul berkisar antara 8 - 11 hari setelah
inokulasi. Isolat Pnns asal Natar (Lampung) menunjukkan agresifitas
yang paling tinggi yakni 8 hari setelah inokulasi. (Tabel 3)
KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : Penyakit layu


stewart telah menyebar di daerah sentra produksi jagung Indonesia
dengan insidensi penyakit berkisar antara 9 % sampai 18%, dan severitas
penyakit berkisar antara 11% sampai 27%. Isolat Pnss yang diisolasi dari
beberapa daerah sentra produksi jagung Indonesia mempunyai karakter
yang mirip dengan bakteri Pnss yang menjadi penyebab penyakit layu
stewart pada jagung.
.

Disarankan

untuk

dilakukan

mengkonfirmasi isolat-isolat bakteri

penelitian

lanjutan

dengan

Pantoea stewartii subsp.stewartii

yang berhasil diisolasi dengan analisis molekular (PCR) dan melihat


kekerabatan antara isolat-isolat tersebut serta melihat sejauh mana

13

efektifitas penggunaan biopestisida sebagai bioseed treatment untuk


pengendalian penyakit ini pada benih.

DAFTAR PUSTAKA

Aspiras,R.B & A.R. Cruz. 1985. Potential biological control of bacterial


wilt in tomato and potato with Bacillus polymyxa FU6 dan
Pseudomonas flourescens pp. 89 92. In: Persley, G.J. (ed)
Bacterial Wilt Disease in Asia and the South Pasific. Proceeding of
an international workshop held at PCARRD. Los Banos, Philippines 8
10 October 1985. ACIAR Proceeding N0.13. Canvera, Australia
Bargabus, R.L., Zidack, N.K., Sherwood, J.W., and Jacosen, B.J. 2004.
Screening for the identiication of potential biological agens that
induce systemic acquired resisteance in sugar beet. Biological
Control 30: 342-350.
Chen W-q, Michaillides TJ. 2004. Collection and trials of biocontrol agents
against Botryosphaeria panicle and shoot blight of Pistachio.
Postdoctoral research associate.
Chen, W.Y., Echandi, E. 1984. Effects of avirulent bacteriocin producing
strain of Pseudomonas solanacearum on the control bacterial wilt.
Plant Pathology 33: 245-253.
Coplin, D.L., and Kado, C.I. 2001. Pantoea. Pages 73-83 in: Laboratory
Manual for the Identification of Plant Pathogenic Bacteria.Third
Edition. N. Schhaad, J. Jones, and W.Chun.eds. American
Phytopathological Sociaty Press, St Paul,MN.
Crop Protection
Compendium.
2002. Distribution
Pantoea stewartii subsp. Stewartii. Stewarts Wilt.
http://wwwl.cabicompendium.org/cpc/datasheet.asp

map for

Hadiotomo. S.R. 1990. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Bandung. ITB


Press.
Khairul. U, A. Hanafiah dan Aprianto. 2001. Pemanfaatan strain avirulen
Burkholderia solanacearum (E.F.Smith) Yabuuchi et al untuk
pengendalian penyakit layu bakteri pada tanaman cabai dan metoda
aplikasinya. Laporan Penelitian Dana SPP/DPP Lembaga Penelitian
Univ. Andalas Padang
Khairul. U. 2005. Analisis Keragaman Molekuler Bacillus subtilis
Dengan Teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Dan
Studi Potensi Antagonisnya Terhadap Ralstonia solanacearum

14

(E.F.Smith) Yabuuchi et al Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman


Cabai. Laporan Penelitian Dosen Muda (BBI). Dikti Depdiknas.
Jakarta
Khairul. U, H. Rahma. 2007. Deteksi penyakit layu stewart oleh bakteri
Pantoea stewartii subsp. Stewartii. Penyakit baru pada tanaman
jagung di Sumatera Barat. Laporan field trip Lapangan Jurusan
HPT. Padang. Tidak dipublikasi.
Khalid A, Arshad M. Zahir ZA. 2004. Screening plant growth-promoting
rhizobacteria for improving and yield of wheat (abstract). App
Microb 96: 473
Klement Z. Rudolph K. Sand.D.C. 1990. Methods In Phytobacteriology.
Akademiai Kiado, Budapest.
Kopperl MLS, Mitchell DJ. 2002. Selection of Streptomyces spp. with
potential for biocontrol of Fusarium oxisporum on tomato.
http://www.bspp.org. uk/icpp98/5.2/76.html. 15 Nopember 2004
Luebker Leonard. 2003. Stewarts Wilt. Technical Resource
http://www.ianrpubs.unl.edu/epublic/pages/index.jsp. [18 Oktober
2006].
Machmud. M, 1985. Bacterial wilt in Indonesia. In Bacterial Wilt Disease
in Asia and the South Pasific. ACIAR Proceedings. 13 : 30-34
Mitchell R, Alexander M. 1962. Lysis of soil fungi by bacteria. Can J.
Microbiol 9:169-177
Munif A. 2001. Studies on the importance of endophytic bacteria for the
biological control of the root-knot nematode Meloidogyne incognita
on tomato [Dissertation]. Zu Bonn: Doctor der Agrarwissenschaften.
Rheinischen Friedrich-Wilhelms-Universitat
Neergaard P. 1977. Seed Pathology. Volume 1. New York: John Wiley &
Sons.
Pataky. E. 2003. Stewarts Bacterial Wilt and Leaf Blight of
Corn. Ohio State University Extension. 2021 Coffey Road,
Columbus.
Pusat Karantina Departemen Pertanian. 2007. Jenis-jenis Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) Golongan I dan Golongan
II (Kategori A1).. Departemen Pertanian RI.
Rahma. H. 2008. Sebaran penyakit layu stewart di Sumatera Barat.
Laporan penelitian Dosen Muda. Lembaga Penelitian Universitas
Andalas Padang.
Romeiro, W., Baker KF, Franks N, Holland J. 1997. Effect of Bacillus
subtilis on increased growth of seedling in steamed and nontreated
soil. Phytopathology 97:1027-1034.

15

Romeiro RS, Moura AB, Matsuoka K, Fernandes MC.


1997.
Actinomycetes selected
for biological control of tomato wilt
(Ralstonia solanaceraum) and growth promotion after seed
microbialization. http://wwwcp.scisco. org/docs/pm/am0591.htm. 8
Nopember 2004.
Saravana, T, Bhaskaran, R., and M. Muthusamy. 2004. Fluorescens
induced enzymological change in banan root (Cv. Rasthali) against
Fusarium wilt disease. Plant Pathology 3 (2): 72-80.
Schaad NW, Jones JB, Chun W. 2001. Laboratory Guide for Identification
of Plant. Pathogenic Bacteria. St Paul: The American Phytopatology
Society.
Stack J, Chaky J, and Giesler L. 2006. Publication Wilt of Corn in
Nebraska.http://www.unl.edu/unpub/search/default.shtml. [18 Oktober
2006].
Thakuria D, Talukdar NC, Goswani C, Hazarika S, Boro RC. 2004.
Characterization and screening of bacteria from rhizosphere of rice
grown in acidic soils of Assam. Current Science 83: 1140-1143.
Thomas A. Zitter. 2002. Stewarts Bacterial Wilt-Still a Problem After 107
Years. Department of Plant Pathology Cornell Universityu Ithaca, NY
14853. (25 Januari 2007).
Vasudevan P, Reddy MS, Kavitha S, Velusamy P, Paulraj RSD. 2002.
Role of biological preparations in enhancement of rice seedling
growth and grain yield. Current Science 83: 1140-1143.

16

17

18

19

20

22

Vous aimerez peut-être aussi